BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
Pengertian tekanan darah Tekanan darah adalah kekuatan yang diperlukan agar darah dapat mengalir di dalam pembuluh darah dan beredar mencapai semua jaringan tubuh manusia. Tekanan yang diukur pada nadi, yang dinyatakan dalam millimeter (mm) air raksa (Hg) dan terdiri dari 2 nilai : yang atas adalah tekanan sistolik, dan yang bawah adalah tekanan diastolik. Tekanan darah sistolik dicapai bila titik bilik jantung menguncup.pada saat itu tekanan yang dicapai adalah tekanan yang tertinggi. Tekanan darah diastolik dicapai bila bilik jantung merenggang pada saat itu tekanan yang dicapai adalah tekanan yang terendah. Pada pengukuran tekanan darah kita akan mengukur dua tekanan : tekanan tertinggi dan tekanan terendah atau juga disebut tekanan sistolik dan diastolik (Ridwan, 2009).
2.1.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah. Menurut
Price
(2005)
ada
2
faktor
penyebab
yang
mempengaruhi tekanan darah yaitu : a. Faktor fisiologis 1) Kelenturan dinding arteri. 2) Volume darah, semakin besar volume darah maka semakin tinggi tekanan darah. 3)
Kekuatan gerak jantung
4) Viscositas darah, semakin besar viskositas, semakin besar resistensi terhadap aliran. 5) Curah jantung, semakin tinggi curah jantung maka tekanan darah meningkat.
7
8
6) Kapasitas pembuluh darah, makin basar kapasitas pembuluh darah maka makin tinggi tekanan darah. b. Faktor psikologis 1) Umur Dapat mempengaruhi tekanan darah karena tingkat normal tekanan darah bervariasi sepanjang kehidupan. Tingkat tekanan
darah
anak-anak
atau
remaja
dikaji
dengan
memperhitungkan ukuran tubuh dan usia (task porce on blood pressure control in children 1987). Anak-anak yang lebih besar (lebih berat atau lebih tinggi) tekanan darahnya lebih tinggi dari pada anak-anak yang lebih kecil dari usia yang sama. Tekanan darah dewasa cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia. Lansia tekanan sistoliknya meningkat sehubungan dengan penurunan elastisitas pembuluh. Menurut Departemen Kesehatan (Depkes) (2009) usia dikategorikan menjadi 9 yaitu : a) Masa balita
= 0 -5 tahun
b) Masa kanak-kanak
= 5 -11 tahun
c) Masa remaja awal
= 12 -16 tahun
d) Masa remaja akhir
= 17- 25 tahun
e) Masa dewasa awal
= 26 – 35 tahun
f) Masa dewasa akhir
= 36 – 45 tahun
g) Masa lansia awal
= 46 – 56 tahun
h) Masa lansia akhir
= 57 – 65 tahun
i) Masa manula
= 65 – sampai ke atas
2) Stress Takut, nyeri dan stress emosi mengakibatkan stimulasi simpatik, yang meningkatkan frekuensi darah, curah jantung dan tahanan vascular perifer. Efek stimulasi simpatik meningkatkan tekanan darah (Price, 2005).
9
3) Medikasi Banyak medikasi yang secara langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi tekanan darah. Golongan medikasi lain yang mempengaruhi tekanan darah adalah analgesic narkotik, yang dapat menurunkan tekanan darah (Price, 2005). 4) Variasi Durnal Tingkat tekanan darah berubah-ubah sepanjang hari. Tekanan darah biasanya rendah pada pagi-pagi sekali, secara berangsur-angsur naik pagi menjelang siang dan sore, dan puncaknya pada senja hari atau malam. Tidak ada orang yang pola dan derajat variasinya sama (Price, 2005). 5) Jenis Kelamin Secara klinis tidak ada perbedaan yang signifikan dari tekanan darah pada anak laki-laki atau perempuan. Setelah pubertas, pria cenderung memiliki bacaan tekanan darah yang lebih tinggi. Setelah menopause, wanita cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria pada usia tersebut (Price, 2005). 6) Berat Badan Menurut Price (2005) Faktor lain perbedaan tekanan darah seseorang adalah berat badan. Obesitas atau disebut juga kegemukan
merupakan
salah
satu
faktor
penunjang
meningkatnya tekanan darah. Seseorang yang mempunyai berat badan lebih diatas 20 persen dari berat idealnya lebih memiliki kemungkinan yang besar menderita tekanan darah tinggi. Untuk menghitung berat ideal tubuh sebagai berikut : Berat ideal tubuh = (tinggi badan – 100) x 90%. Kategori berat badan yaitu : a) Jika memiliki berat badan yang lebih besar dari 10 hingga 20 persen dari seharusnya berat badan ideal, dikatakan normal.
10
b) Jika berat badan melebihi angka 20 persen dari berat ideal, kategori obesitas atau kegemukan. c) Jika berat badan menunjukan 10 persen kurang dari berat badan ideal, kategori kurus. 2.1.3
Tekanan Darah Post Hemodialisa Berdasarkan hasil penelitian Musyawir, dkk (2012) terapi hemodialisa mempengaruhi perubahan tekanan darah. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Hardjoeno (2007), yaitu selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain: a. Hipotensi Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung terosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan. b. Hipertensi Hipertensi dapat didefenisikan sebagai tekanan darah tinggi persisten dengan tekanan sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg (Smeltzer, 2001). Hipertensi merupakan suatu keadaan tekanan darah seseorang berada pada tingkatan di atas normal. Jadi tekanan di atas dapat diartikan sebagai peningkatan secara abnormal dan terus menerus pada tekanan darah yang disebabkan satu atau beberapa faktor yang tidak berjalan sebagaimana mestinya (Arlis, 2010). Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan tekanan darah post hemodialisa: a. Umur Umur berhubungan dengan tekanan darah, hal ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Harahap, dkk (2008) bahwa usia berhubungan signifikan dengan tekanan darah. Ditemukan kecenderungan peningkatan prevalensi menurut peningkatan usia
11
dan biasanya pada usia ≥ 40 tahun (Bustan, 1997). Hal ini disebabkan karena tekanan arterial yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, terjadinya regurgitasi aorta, serta adanya proses degeneratife, yang lebih sering pada usia tua. Seperti yang dikemukakan oleh Muniroh, Wirjatmadi & Kuntoro (2007), pada saat terjadi penambahan usia sampai mencapai tua, terjadi pula risiko
peningkatan
penyakit
yang
meliputi
kelainan
syaraf/kejiwaan, kelainan jantung dan pembuluh darah serta berkurangnya fungsi panca indera dan kelainan metabolisme pada tubuh. b. Jenis Kelamin Pria di dalam populasi umum memiliki angka diastolik tertinggi pada tekanan darahnya dibandingkan dengan wanita pada semua usia dan juga pria memiliki angka prevalensi tertinggi untuk terjadinya hipertensi. Walau pria memiliki insiden tertinggi kasus kardiovaskular pada semua usia, hipertensi pada pria dan wanita dapat menyebabkan stroke, pembesaran ventrikel kiri, dan disfungsi ginjal. Hipertensi terutama mempengaruhi wanita karena faktor resikonya dapat di modifikasi dan hipertensi sering terjadi pada wanita tua (Sanif, 2009). Menurut Cortas, et. al (2008 dalam Sanif, 2009) mengatakan prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia pre menopause. Pada pre menopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit
12
hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45 - 55 tahun sebelum lanjut usia (Anggraini, Waren et. al, 2008 dalam sanif, 2009). Alasan terjadinya perbedaan tekanan darah berdasarkan jenis kelamin belum diketahui, namun sedang diselidiki oleh beberapa laboratorium. Estrogen sudah dipercaya namun belum terbukti mampu menurunkan tekanan darah pada wanita muda. Dari data fluktuasi tekanan darah selama kehidupan membawa dukungan terhadap hipotesis tersebut, namun kejadiannya berhubungan dengan perubahan tekanan darah dari seluruh kehidupan sampai tingkat sel endogen terkecil. Pembelajaran tentang perubahan hemodinamis
berhubungan
dengan
siklus
menstruasi
yang
dibuktikan dengan rendahnya tekanan darah sewaktu fase luteal dari pada saat fase folikular. Bagaimanapun pemantauan telah dilakukan dan hasilnya tekanan darah lebih tinggi sewaktu fase luteal. Sewaktu terjadi kehamilan normal, kadar estrogen dan progesterone 50-100 kali lebih tinggi dibanding sebelum kehamilan dan tekanan darahnya sangat rendah. Menurut Sanif (2009)
prevalensi tinggi hipertensi terjadi
pada wanita post menopause daripada wanita premenopause. Walaupun terjadi penurunan produksi estrogen di ovarium, namun estrogen memegang peranan penting dalam meningkatkan tekanan darah setelah menopause. Investigasi pada efek biologis dari estrogen sudah diperlihatkan pada hormon estrogen yang berasal dari
17-beta
estradiol,
menyebabkan
vasodilatasi
endotel.
Selanjutnya fungsi endotel menggunakan perangsang asetilkolin pada pembuluh darah lengan, diperlihatkan dengan berkurangnya vasodilatasi endotel yang berhubungan dengan menopause,
13
mempengaruhi estrogen endogen dalam regulasi tekanan darah. Secara klinis diperlihatkan bahwa estrogen dapat mengatur respon tekanan darah terhadap stimulasi stress. Umur mempengaruhi peningkatan tekanan darah pada wanita yang terbesar pada usia 62 tahun, sehingga hilangnya estrogen bukan penyebab utama. Hasil penelitian di Finland diperlihatkan wanita yang menjalani histerektomi memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibanding wanita yang tidak menjalani histerektomi,pentingnya mempelajari faktor
tambahan
patogenesis
pada
estrogen
dalam
peningkatan
tekanan
darah
hubungan pada
dengan
wanita
post
menopause. Hipertensi yang terpenting adalah kelainan heterogen, bukan hal yang aneh bila beberapa faktor pathogen dari gen yang spesifik telah diidentifikasi. Kadar renin dalam plasma yang rendah terjadi pada wanita pre menopause dan post menopause yang mengalami hipertensi dibanding pria. Nordby melaporkan rendahnya kadar estradiol serum pada wanita premenopause yang hipertensi dibanding pada wanita yang normotensi (Sanif, 2009). c. Berat Badan Menurut Anggara (2013) berat badan berpengaruh terhadap tekanan darah seseorang, hal ini karena kegemukan (obesitas) merupakan ciri khas dari populasi hipertensi, dan dibuktikan bahwa faktor ini memiliki kaitan erat dengan terjadinya hipertensi di kemudian hari. Untuk mengetahui seseorang memiliki berat badan yang berlebih atau tidak, dapat dilihat dari perhitungan BMI (Body Mass Index) atau Indeks Massa Tubuh (IMT). Menurut Utoyo (1996) dalam Cahyaningsih (2011), hubungan tekanan darah dengan berat badan, lebih nyata untuk tekanan sistolik daripada tekanan diastolik.
14
Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara IMT dengan hipertensi (p < 0,05). Salah satu factor risiko hipertensi yang dapat dikontrol adalah obesitas. Risiko hipertensi pada seseorang yang mengalami obesitas adalah 2 hingga 6 kali lebih tinggi dibanding seseorang dengan berat badan normal (Muniroh, Wirjatmadi, 2007). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada 76,9% responden hipertensi yang memiliki IMT yang menunjukan gizi lebih (obesitas) dan 6,1% yang memiliki IMT yang menunjukan gizi tidak lebih atau normal. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara berat badan dengan hipertensi. Bila berat badan meningkat diatas berat badan ideal maka risiko hipertensi juga meningkat (Hull,1996). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Framingham yang menunjukan bahwa orang yang obesitas akan mengalami peluang hipertensi 10 kali lebih besar (Dhianningtyas & Hendrati, 2006). Penurunan berat badan sebesar 5,9 pounds berkaitan dengan penurunan TDS dan TDD sebesar 1,3 mmHg dan 1,2 mmHg (Cahyaningsih
2011).
Menurut
Rilantono
(2002)
dalam
Dhianningtyas dan Hendrati (2006) menerangkan bahwa insiden hipertensi meningkat 54 hingga 142% pada penderita-penderita yang gemuk. Hal yang serupa pun dikemukakan oleh Purwanti (2005 dalam Dhianningtyas dan Hendrati (2006), bahwa orang yang kegemukan lebih mudah terkena hipertensi. 2.1.4
Pengukuran tekanan darah Untuk mengukur tekanan darah maka perlu dilakukan pengukuran tekanan darah secara rutin. Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pada metode langsung, kateter arterii dimasukkan ke dalam arteri. Walaupun hasilnya sangat tepat, akan tetapi metode pengukuran ini sangat
15
berbahaya dan dapat menimbulkan masalah kesehatan lain (Smeltzer & Bare, 2001 dalam Kandarini, 2012). Menurut Smeltzer & Bare ( 2001) bahaya yang dapat ditimbulkan saat pemasangan kateter arteri yaitu nyerii inflamasi pada lokasi penusukkan, bekuan darah karena tertekuknya kateter, perdarahan: ekimosis bila jarum lepas dan tromboplebitis. Sedangkan pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop. Sphygmomanometer tersusun atas manset yang dapat dikembangkan dan alat pengukur tekanan yang berhubungan dengan ringga dalam manset. Alat ini dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tekanan yang terbaca pada manometer seseuai dengan tekanan dalam milimeter air raksa yang dihantarkan oleh arterii brakhialis. Adapun cara pengukuran tekanan darah dimulai dengan membalutkan manset dengan kencang dan lembut pada lengan atas dan dikembangkan dengan pompa. Tekanan dalam manset dinaikan sampai denyut radial atau brakhial menghilang, Hilangnya denyutan menunjukkan bahwa tekanan sistolik darah telah dilampaui dan arterii brakhialis telah tertutup. Manset dikembangkan lagi sebesar 20 sampai 30 mmHg diatas titik hilangnya denyutan radial. Kemudian manset dikempiskan perlahan, dan dilakukan pembacaan secara auskultasi maupun palpasi. Dengan palpasi kita hanya dapat mengukur tekanan sistolik. Sedangkan dengan auskultasi kita dapat mengukur tekanan sistolik dan diastolik dengan lebih akurat Untuk mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk corong atau diafragma diletakkan pada arteri brakialis, tepat di bawah lipatan siku (rongga antekubital), yang merupakan titik dimana arteri brakhialis muncul
diantara kedua kaput otot biseps. Manset
dikempiskan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik, sementara
kita
mendengarkan
awitan
bunyi
berdetak,
yang
menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyi tersebut dikenal sebagai
16
Bunyi Korotkoff yang terjadi bersamaan dengan detak jantung, dan akan terus terdengar dari arteri brakhialis sampai tekanan dalam manset turun di bawah tekanan diastolik dan pada titik tersebut bunyi akan menghilang (Nursecerdas, 2009). 2.1.5
Hemodialisa Faktor penyebab gagal ginjal kronik harus diobati untuk menghambat laju proses gagal ginjal agar tidak menjadi gagal ginjal terminal, atau gagal ginjal tidak dapat berfungsi lagi. Pengobatan gagal ginjal kronik yang sudah pada stadium gagal ginjal terminal salah satunya dengan terapi hemodialisa. Terapi hemodialisa adalah pengobatan dengan menggunakan hemodialisa yang berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memisahkan darah dari bagian yang lain. Jadi hemodialisis yaitu memisahkan sampah nitrogen dan sampah yang lain dari dalam darah melalui membran semipermiabel. Hemodialisa tidak mampu menggantikan seluruh fungsi ginjal, namun dengan hemodialisa pada penderita gagal ginjal kronis dapat bertahan hidup bertahun-tahun (Nursecerdas, 2009). Terdapat 2 jenis terapi pengganti ginjal yaitu dialisis dan transplantasi ginjal. a. Dialisis yang terdiri dari hemodialisis, dialis peritoneal dan hemofiltrasi. Cuci darah apabila fungsi ginjal untuk membuang zatzat metabolik yang beracun dan kelebihan cairan dari tubuh sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak mampu lagi menjaga kelangsungan hidup penderita gagal ginjal, maka harus dilakukan dialisis (cuci darah) sebagai terapi pengganti fungsi ginjal. Ada dua jenis dialisis yaitu: 1) Hemodialisa (cuci darah dengan mesin dialiser) Cara yang umum dilakukan di Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah dipompa keluar dari tubuh, masuk
17
ke dalam mesin dialiser untuk dibersihkan melalui proses difusi dan ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus untuk dialisis), kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh. Agar prosedur hemodialisa dapat berlangsung, perlu dibuatkan akses untuk keluar masuknya darah dari tubuh. Akses tersebut dapat bersifat sementara (temporer) Akses temporer berupa kateter yang dipasang pada pembuluh darah balik (vena) di daerah leher. Sedangkan akses permanen biasanya dibuat dengan akses fistula, yaitu menghubungkan salah satu pembuluh darah balik dengan pembuluh darah nadi (arteri) pada lengan bawah, yang dikenal dengan nama cimino. Untuk memastikan aliran darah pada cimino tetap lancar, secara berkala perlu adanya getaran yang ditimbulkan oleh aliran darah pada cimino tersebut (Alam & Hadibroto, 2007). 2) Dialisis peritonial (cuci darah melalui perut) adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis. Dapat dilakukan pada di rumah pada malam hari sewaktu tidur dengan bantuan mesin khusus yang sudah deprogram terlebih dahulu. Sedangkan continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) tidak membutuhkan mesin khusus tersebut, sehingga dapat dikatakan sebagai cara dialisis mandiri yang dapat dilakukan sendiri di rumah atau di kantor. b. Transplantasi ginjal yang dapat berasal dari donor hidup atau donor jenazah (cadaver). Cangkok atau transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal terminal. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor kadaver). Akan lebih baik bila donor tersebut dari anggota keluarga yang hubungannya dekat,
18
karena lebih besar kemungkinan cocok, sehingga diterima oleh tubuh pasien. Selain kemungkinan penolakan, pasien penerima donor ginjal harus minum obat seumur hidup. Juga pasien operasi ginjal lebih rentan terhadap penyakit dan infeksi, kemungkinan mengalami efek samping obat dan resiko lain yang berhubungan dengan operasi (Alam & Hadibroto, 2007). 2.1.6
Komplikasi Hemodialisa Hemodialisa merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik (Kandarini, 2012). Menurut Daurgirdas et al., (2007) komplikasi HD dapat dibedakan
menjadi
komplikasi
akut
dan
komplikasi
kronik.
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisa berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau
HID.
Komplikasi
yang
jarang
terjadi
adalah
sindrom
disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Kandarini, 2012).
19
2.2 Kerangka Teori
Ultrafiltrasi Berlebihan saat HD Umur Jenis Kelamin Berat badan
Hipertensi Intradialitik (HID)
Dialisat Mesin HD Membran Dialis Obat-obatan antihipertensi Kadar Na, K, Ca serum Terapi eritropoetin
Gambar 2.1 Kerangka Teori (Chazot dan Jean, 2010; Weir dan Jones, 2010 dalam Kandarini, 2012)
20
2.3 Kerangka Konsep
Terapi Hemodialisa
Tekanan darah (Usia, Jenis Kelamin, Berat Badan), kategori : 1. Hipotensi: sistolik (< 90), diastolic (< 60) 2. Normal: sistolik (90 – 119), diastolic (60 – 79) 3. Prehipertensi : sistolik (120 – 139), diastolic (80 – 89) 4. Hipertensi Tingkat 1: sistolik (140 – 159), diastolic (90 – 99) 5. Hipertensi Tingkat 2: sistolik (160 – 179), diastolic (100 – 109) 6. Hipertensi Tingkat Darurat: sistolik ( ≥ 180, diastolic (≥ 110) (Sixth Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, NIH Pub No 984080, National Heart, Lung, and Blood Institute of Health).
Gambar 2.2 Kerangka Konsep