BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Belajar Dalam praktek pembelajaran, penggunaan suatu dasar teori untuk segala situasi merupakan tindakan kurang bijaksana. Tidak ada suatu teori belajarpun cocok untuk segala situasi. Karena masing-masing mempunyai landasan yang berbeda dan cocok untuk situasi tertentu. Robert M. Gagne mencoba melihat berbagai macam teori belajar dalam satu kebulatan yang saling melengkapi dan tidak bertentangan. Menurut Gagne belajar mempunyai delapan tipe. Kedelapan tipe itu bertingkat ada hierarki dalam masing-masing tipe. Setiap tipe belajar merupakan prasarat bagi tipe belajar di atasnya. Tipe belajar dikemukakan oleh Gagne pada hakekatnya merupakan prinsip umum baik dalam belajar maupun mengajar. Artinya dalam mengajar atau membimbing siswa belajarpun terdapat tindakan sebagaimana tingkatan belajar tersebut di atas. Ke delapan tipe itu adalah (Hakiim, 2009:40-42): (1) belajar isyarat (signal learning) belajar isyarat mirip dengan conditioned respons atau respons bersyarat. Seperti menutup mulut dengan telunjuk, isyarat mengambil sikap tidak bicara, lambaian tangan isyarat untuk datang mendekat, menutup mulut dengan telunjuk dan lambaian tangan adalah isyarat, sedangkan diam dan datang adalah respon yang dilakukan itu bersifat umum, kabur dan emosional. Menurut Kimble (1961) bentuk belajar semacam itu biasanya bersifat tidak disadari, dalam arti respon diberikan secara tidak sadar, (2) belajar stimulus-respon (stimulus respons learning) berbeda dengan belajar isyarat S-R, respons bersifat spesifik 2x3=6 adalah bentuk suatu hubungan S-R. mencium bau masakan sedap, keluar air liur, itupun ikatan S-R. jadi bhelajar stimulus respons sama dengan teori asosiasi (S-R bond). Setiap respons dapat diperkuat dengan reinforcement. Hal ini berlaku pula pada tipe belajar stimulus respon, (3) belajar rangkaian (chaining) rangkaian atau rantai dalam chaining adalah semacam rangkaian antara berbagai S-R yang bersifat segera. Hal ini terjadi dalam rangkaian motorik, seperti gerakan dalam mengikat sepatu, makan, minum, atau gerakan verbal seperti selamat tinggal, bapak ibu, (4) asosiasi verbal (verbal assosiation)
1
suatu kalimat unsur itu berbangunlimas adalah contoh asosiasi verbal. Seseorang dapat menyatakan bahwa unsur berbangun limas kalau ia mengetahui berbagai bangun, seperti balok, kubus, atau kerucut. Hubungan atau assoosiasi verbal terbentuk jika unsur-unsurnya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu mengikuti yang lain, (5) belajar diskriminasi (discrimination learning) tipe belajar ini adalah pembedaan terhadap berbagai rangkaian seperti membedakan berbagai bentuk wajah, binatang atau tumbuh-tumbuhan, (6) belajar konsep (concept learning) konsep merupakan simbol berpikir. Hal ini diperoleh dari hasil membuat tafsiran terhadap fakta atau realita, dan hubungan antara berbagai fakta. Dengan konsep dapat digolongkan binatang bertulang belakang menurut ciri-ciri khusus (kelas). Seperti kelas mamalia, reptilia, amphibia, burung, dan ikan. Dapat pula digolongkan manusia berdasarkan ras (warna kulit) atau kebangsaan suku bangsa atau hubungan keluarga. Kemampuan membentuk konsep ini terjadio jika orang dapat melakukan diskriminasi, (7) belajar aturan (rule learning) hukum, dalil atau rumus adalah rule (aturan). Tipe belajar ini banyak terdapat dalam semua pelajaran di sekolah, seperti benda memuai jika dipanaskan, besar sudut dalam sebuah segitiga sama dengan 180°. Belajar aturan ternyata mirip dengan verbal chaining (rangkaian verbal), terutama jika aturan itu tidak diketahui artinya. Oleh karena itu setiap dalil atau rumus yang dipelajari harus dipahami artinya, (8) belajar pemecahan masalah (problem solving learning) memecahkan masalah adalah biasa dalam kehidupan. Ini memerlukan
pemikiran.
Upaya
pemecahan
masalah
dilakukan
dengan
menghubungkan berbagai urusan yang relevan dengan masalah itu. Dalam pemecahan masalah diperlukan waktu adakalanya singkat adakalanya lama. Juga seringkali harus dilalui berbagai langkah seperti mengenal tiap unsur dalam masalah itu, mencari hubungannya dengan aturan (rule) tertentu. Dalam segala langkah diperlukan pemikiran. Tampaknya pemecahan masalah terjadi dengan tibatiba (insight). Dengan ulangan-ulangan masalah tidak terpecahkan, dan apa yang dipecahkan sendiri yang penyelesaiannya ditemukan sendiri lebih mantap dan dapat ditransfer kepada situasi atau problem lain. Kesanggupan memecahkan masalah memperbesar kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah lain. Kedelapan tipe sebagaimana diuraikan di atas itu ada hierarkinya. Setiap tipe belajar di atasnya. Sebaliknya tiap tipe belajar memerlukan penguasaan pada
2
tipe belajar pada tingkat di bawahnya. Untuk belajar memecahkan masalah misalnya perlu dikuasai sejumlah aturan yang relevan dan untuk menguasai aturan perlu dipakai semua konsep dalam aturan itu. Agar dikuasai konsep perlu kemampuan membuat pembedaan dan agar dapat membuat pembedaan perlu dikuasai verbal chain, dan seterusnya. Biasanya dalam pembelajaran di sekolah hanya sampai pada tingkat konsep. Namun adakalanya kita harus menggunakan taraf belajar lebih rendah lagi. Agar belajar dapat mencapai taraf lebih tinggi diperlukan kemampuan guru dalam menerapkan prinsip sebagaimana diuraikan sebelumnya. 2.1.2 Pembelajaran Prinsip-prinsip yang dijadikan pegangan guru dalam melaksanakan pembelajaran adalah (Hakiim, 2009:75-76): (1) pembelajaran harus berdasarkan pengalaman yang dimiliki siswa. Apa yang telah dipelajari merupakan dasar dalam mempelajari materi pembelajaran yang akan diajarkan oleh karena itu tingkat kemampuan siswa sebelum proses pembelajaran berlangsung harus diketahui guru. Tingkat kemampuan semacam ini disebut entry behavior. Entry behavior dapat diketahui diantaranya dengan melakukan pre tes. Hal ini sangat penting agar proses pembelajaran dapat efektif dan efisien, (2) pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan harus bersifat praktis. Materi-materi pemelajaran yang berkaitan dengan segi-segi kehidupan yang bersifat praktis pada umumnya dapat menarik minat siswa untuk mempelajari. Dengan mempelajari materi pembelajaran yang dikaitkan dengan hal itu perhatian yang bersifat khusus akan muncul, karena bisa jadi, materi pembelajaran yang sama, namun dikaitkan dengan kehidupan praktis, akan memunculkan keterkaitan dengan segi-segi tertentu yang sangat beragam. Dari keragaman ini setiap siswa akan menaruh perhatian khusus pada segi-segi tertentu dari kaitan-kaitan itu. Dengan demikian diharapkan minat untuk mempelajarinya akan meningkat. Dengan mangaitkan setiap materi pembelajaran dengan situasi kehidupan yang bersifat praktis, dapat memunculkan arti materi pembelajaran itu berarti atau bermakna, muncul rasa ingin mengetahui atau ingin memilliki .munculnya keinginan itu dapat meningkatakan minat untuk mempelajari, (3) mengajar harus memperhatikan perbedaan individual setiap siswa. Ada perbedaan
3
individual dalam kesanggupan belajar .setiap individu mempunyai kemampuan potensial (seperti bakat dan intelegansi) yang berbeda yang satu dengan yang lainnya. Apa yang dapat dipelajari seseorang secara cepat, mungkin tidak dapat dilakukan oleh yang lain dengan cara yang sama. Oleh karena itu mengajar harus memperhatikan perbedaan tingkat kemampuan masing-masing siswa, (4) kesiapan (readiness) dalam belajar sangat penting dijadikan landasan dalam mengajar. Kesiapan adalah kapasiti (kemampuan petensial) baik bersifat fisik maupun mental untuk melakukan sesuatu. Jika siswa siap untuk melakukan proses belajar, hasil belajar dapat diperoleh dengan baik. Sebaliknya jika tidak siap., tidak akan diperoleh dengan baik, oleh karena itu pembelajaran dilaksanakan kalau individu mempunyai kesiapan, (5) tujuan pembelajaran harus diketahui oleh siswa. Tujuan pembelajaran merupakan rumusan tentang perubahan perilaku apa yang akan diperoleh setelah proses pembelajaran. Jika tujuan diketahui, siswa mempunyai motivasi untuk belajar. Agar tujuan mengajar mudah diketahui, maka tujuan harus dirumuskan secara khusus, (6) mengajar harus mengikuti prinsip psikologi tentang belajar. Para ahli psikolog merumuskan prinsip, bahwa belajar itu harus bertahap dan meningkat. Oleh karena itu mengajar harus mempersiapkan materi pembelajaran yang bersifat gradual seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: dari sederhana kepada yang kompleks (rumit), kongkrit kepada yang abstrak. Untuk (general) kepada yang kompleks, dari yang sudah diketahui (fakta) kepada yang tidak diketahui (konsep yang bersifat abstrak), induksi kepada deduksi atau sebaliknya, dan sering menggunakan reinforcement (penguatan). 2.1.3 Hasil Belajar Menurut Sudjana dalam (Hakiim, 2009:20): hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia meneraima pengalaman belajarnya. Oleh karena itu hasil belajar berkaitan dengan tujuan penilaian untuk belajar. CEA (2003) menyajikan tujuan penilaian untuk belajar untuk: (1) memberikan wawasan tentang belajarr siswa kepada guru dan siswa, (2) meningkatkan kesuksesan untuk semua, (3) membantu proses penetapan tujuan, (4) memungkinkan refleksi secara kontinu terhadap apa yang siswa ketahui
4
sekarang dan apa yang mereka butuhkan untuk diketahui berikutnya, (5) mengukur apa yang dinbilai, (6) mempromosikan intervensi secara cepat dan menghubungkan dengahn penetapan tujuan pembelajaran dan, (6) meningkatkan standar yang diperoleh siswa pada edges of capabilyty. Sehubungan dengan tujuan yang dikemukakan di atas, kesuksesan dalam memiliki wawasan dan kemampuan yang memadai tentang pembelajaran, misalnya perencanaan, penetapan tujuan pembelajaran, dan membuat keputusan yang tepat berdasarkan informasi yang diperoleh dalam penilaian, sehingga siswa termotivasi untuk memperbaiki dan meningkatkan belajarnya. Kemudian penilaian untuk belajar juga memberikan wawasan tentang pembelajaran kepada siswa, bahwa semua siswa memiliki kesempatan untuk meraih kesuksesan dalam belajar. Untuk merealisasikannya tujuan yang telah dikemukakan di atas, Assesment Reform Group (2002) memberikan sepuluh prinsip utama dalam penilaian untuk belajar yaitu: (1) harus menjadi bagian dari perencanaan mengajar dan belajar yang efektif, (2) harus memusatkan bagaimana kegiatan siswa belajar, (3) harus dikenali sebagai pusat praktek di kelas,, (4) harus diketahui sebagai kunci kemampuan profesional guru, (5) harus peka dan bersifat membangun karena penilaian akan berlangsung dan berdampak pada aspek emosional, (6) harus memperhitungkan arti penting motivasi belajar siswa, (7) harus menyampaikan komitmen tujuan belajar dan membagi pemahaman tentang kriteria penilaian, (8) siswa menerima bimbingan bersifat membangun tentang bagaimana cara menjadi lebih baik, (9) pengembangan kemampuan siswa untuk penilaian pribadi sehingga mereka dapat merefleksi dan menata diri sendiri, (10) harus mengetahui keseluruhan kemampuan yang perlu diperoleh siswa. Hasil belajar yang akan diukur dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif yang diukur dengan hasil tes, berupa nilai. 2.1.4 Pendekatan Model Snowball Throwing Metode snowball throwing adalah salah satu metode pembelajaran aktif dengan permainan yang disukai anak-anak. Sintak dari metode snowball throwing ini adalah informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap
5
kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian, penyimpulan, refleksi dan evaluasi (modul model pembelajaran UKSW, 2012:12). Adapun metode snowball throwing yang akan digunakan dalam penelitian langkah-langkahnya adalah sebagai berikut (Suprijono, 2011:128): 1.
guru menyampaikan materi yang akan disajikan,
2.
guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi,
3.
masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya,
4.
kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok,
5.
kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama +15 menit,
6.
setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian,
7.
refleksi, dengan melakukan tanyajawab materi pembelajaran dan memberi kesempatan siswa yang belum jelas untuk bertanya
8.
evaluasi, siswa mengerjakan pos tes
9.
penutup, guru memberikan tindak lanjut, dengan memberikan tugas siswa di rumah (TR) berupa perbaikan bagi siswa yang tidak tuntas belajar yaitu yang nilainya di bawah KKM dan pengayaan bagi siswa yang tuntas belajar yaitu siswa dengan nilai di atas KKM
2.2 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Menurut Hidayati, (2012), yang meneliti menggunakan metode snowball throwing hasil belajar IPA dalam mengenal berbagai bentuk benda dan kegunaannya bagi siswa kelas II SD Negeri 4 Loram Kulon Semester I Tahun 2011/2012. Siklus I 71%, siklus II 94%.
6
2.3 Kerangka Berpikir Pola pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti selama ini hanya mengandalkan salah satu metode yang dianggap paling sesuai dengan kondisi sekolah yaitu metode ceramah dan jarang menggunakan alat peraga sebagai media belajar. Penggunaan media cukup merepotkan guru dan banyak menyita waktu pelaksanaan pembelajaran. Siswa cenderung banyak bermain dan susah untuk dikendalikan. Sehingga hasil belajar secara maksimal sangat sulit untuk dicapai. Dengan kondisi sekolah yang serba minim, kemampuan gurupun sangat terbatas. Latar belakang orang tua siswa secara umum menyekolahkan anaknya berarti menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada sekolah yang artinya orang tua seolah telah merasa lepas tanggung jawab untuk ikut mengawasi putra putrinya di rumah dalam belajar. Kurang partisipasinya orang tua berarti hanya memberi peluang siswa banyak bermain di rumah, dan sekolah seharian cukup membuat siswa jenuh dan melelahkan, sehingga siswa jarang belajar setiap malam, mau belajar kalau ada pekerjaan rumah saja, inipun bagi siswa yang orang tuanya sadar akan pendidikan anaknya. Masalah dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa Kelas III SDN 4 Gondangmanis Kecamatan Bae Kabupaten Kudus, peneliti merasa masih ada kekurangan dalam pembelajaran IPA. Kekurangan dalam pembelajaran IPA ini terlihat dari rendahnya hasil belajar siswa sebesar 32% (hanya 6 siswa) yang tuntas, sedangkan yang 13 siswa belum tuntas dengan rata-rata sebesar 59, di bawah KKM IPA yaitu sebesar 70. Masalah yang peneliti tangani hanya yang berkaitan dengan tekhnik pembelajaran dan rendahnya hasil belajar siswa. Atau kesalahan pola pembelajaran guru, karena hal ini berkaitan langsung dengan tugas profesional sebagai guru kelas. Metode snowball throwing adalah salah satu metode pembelajaran aktif dengan permainan yang disukai anak-anak. Sintak dari metode snowball throwing ini adalah informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian, penyimpulan, refleksi dan evaluasi. Berdasarkan kenyataan di atas maka diduga metode snowball throwing dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas III pada SDN 4 Gondangmanis Kecamatan Bae Kabupaten Kudus Semester 1 Tahun Pelajaran 2012/2013.
7
2.4 Hipotesis Tindakan Penerapan metode snowball throwing dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas III SDN 4 Gondangmanis Kecamatan Bae Kabupaten Kudus Semester 1 Tahun Pelajaran 2012/2013.
8