19
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kinerja Kata
performance
diterjemahkan
ke
dalam
dalam
bahasa
Inggris
bahasa
Indonesia
sering
berbeda, sampai sekarang belum dibakukan. Ada yang menerjemahkan sebagai: unjuk kerja, kinerja, hasil karya, karya, pelaksanaan kerja, hasil pelaksanaan kerja. Ilyas (1999) menerjemahkan performance menjadi unjuk
kerja,
sedangkan
Wahyudi
(1996)
menerjemahkan menjadi prestasi kerja. Beberapa mengenai
pendapat
kinerja
di
yang
antaranya
mengemukakan adalah
pendapat
Prawirosentono (1999) yang menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam
rangka
mencapai
tujuan
organisasi
yang
bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Sedangkan Steers (1980) menyatakan bahwa prestasi kerja individu merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu: 1) kemampuan,
penerimaan
atas
peranan
seorang
pekerja, 2) kejelasan dan penerimaan atas peranan seorang pekerja, dan 3) tingkat motivasi pekerja.
20
Meskipun penting,
setiap tetapi
faktor
terpisah
kombinasi
dari
mempunyai ketiganya
arti
sangat
menentukan kinerja setiap pegawai, yang akhirnya dapat meningkatkan prestasi kerja organisasi secara keseluruhan. Menurut Ilyas (1999), kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi dan merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personil. Mangkunegara (2006) menyatakan bahwa kinerja merupakan istilah dari kata Job Performance atau Actual Performance (Prestasi Kerja) adalah hasil kerja secara
kualitas
seseorang
dan
kuantitas
karyawan/pegawai
yang
dalam
dicapai
oleh
melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Hasibuan (2003) kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Menurut Martoyo (1998), penilaian kinerja adalah proses melalui apa organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai kinerja karyawan. Sehubungan
dengan
konsep
kinerja,
Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa kinerja adalah tingkat tertentu.
pencapaian Kinerja
hasil
individu
atas atau
pelaksanaan kinerja
tugas
karyawan
21
merefleksikan
bagaimana
karyawan
memenuhi
keperluan pekerjaan dengan baik. Menurut Bernadin dan Russel yang dikutip Gomes (2000), “Kinerja adalah outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu
periode
tertentu.”
Pendapat
yang
lebih
komprehensif disampaikan oleh Armstrong (1998: 16) sebagai berikut: Performance means behaviours and results. Behaviours emanate from the performer and transform performance from abstraction to action. Not just the instruments for results, behaviours are also outcomes in their own right – the product of mental and physical effort applied to tasks – and can be judged apart
from
menekankan
results. hasil,
Armstrong juga
(1998)
menambahkan
Selain perilaku
sebagai bagian dari kinerja. Menurutnya, perilaku penting karena akan berpengaruh terhadap hasil kerja seorang pegawai. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka arti performance atau kinerja adalah sebagi berikut: Suatu hasil kerja yang dicapai oleh masing-masing pegawai yang dalam pelaksanaan tugas pekerjaan berdasarkan ukuran dan waktu yang telah ditentukan guna mewujudkan tujuan organisasi.
22
2.1.1. Teori Kinerja Ilyas (1999) deskripsi kinerja menjadi 3 komponen penting yaitu: (1) Tujuan: Penentuan tujuan dari setiap unit organisasi merupakan strategi yang digunakan untuk meningkatkan kerja.; (2) Ukuran: Dibutuhkan ukuran
apakah
seorang
personel
telah
mencapai
kinerja yang diharapkan, untuk itu kuantitatif dan kualitatif standar kinerja untuk setiap tugas dan jabatan
personel
Penilaian:
memegang
Penilaian
peranan
kinerja
secara
penting; reguler
(3)
yang
dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan kinerja setiap personnel. Pengertian kinerja dengan deskripsi tujuan, ukuran operasional, dan penilaian regular mempunyai
peran
penting
dalam
merawat
dan
meningkatkan motivasi personel. Kinerja karyawan (job performance) dapat diartikan sebagai
sejauh
mana
seseorang
melaksanakan
tanggung jawab dan tugas kerjanya (Singh et al., 1996). Gomes
(1995)
mengatakan
performansi
pekerjaan
adalah catatan hasil atau keluaran (outcomes) yang dihasilkan dari suatu fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Sedangkan pengukuran performansi menurut Gomes (1995)
merupakan
cara
kontribusi
individu
karyawan
umumnya
untuk
kepada
mengukur
tingkat
organisasinya.
Kinerja
diposisikan
sebagai
variabel
dependen dalam penelitian-penelitian empiris karena
23
dipandang sebagai akibat atau dampak dari perilaku organisasi atau praktek-praktek sumber daya manusia bukan sebagai penyebab atau determinan. Gomes (1995) lebih lanjut menjelaskan terdapat dua kriteria pengukuran performansi atau kinerja pegawai, yaitu (1) pengukuran berdasarkan hasil akhir (result-based
performance
evaluation);
pengukuran
berdasarkan
perilaku
performance
evaluation).
Pengukuran
hasil,
mengukur
kinerja
dan
(2)
(behaviour-based berdasarkan
berdasarkan
pencapaian
tujuan organisasi atau mengukur hasil-hasil akhir saja. Tujuan organisasi ditetapkan oleh pihak manajemen atau kelompok kerja, kemudian pegawai dipacu dan dinilai performanya berdasarkan seberapa jauh pegawai mencapai Kriteria
tujuan-tujuan pengukuran
management
by
ini
yang
sudah
mengacu
objective
(MBO).
ditetapkan.
pada
konsep
Keuntungan
pengukuran kinerja karyawan seperti ini adalah adanya kriteria-kriteria dan target kinerja yang jelas dan secara kuantitatif dapat diukur. Namun demikian, kelemahan utama adalah dalam praktek kehidupan organisasi, banyak pekerjaan yang tidak dapat diukur secara kuantitatif sehingga dianggap mengabaikan dimensidimensi kinerja yang sifatnya non kuantitatif. Teori
yang
dipakai
dalam
penelitian
ini
berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Gomes (2003),
yang
mana
kinerja
dapat
mempengaruhi
24
perkembangan usaha, semakin tinggi kinerja karyawan semakin baik perkembangan usahanya yang kemudian dilihat berdasarkan quantity of work, quality of work, job knowledge, creativeness, cooperation, dependability, initiative, personal qualities. 2.1.2. Penilaian Kinerja Dalam kerangka manajemen, penilaian kinerja merupakan kegiatan strategi bagi upaya meningkatkan kinerja institusi secara umum. Beberapa pendapat mengenai penilaian kinerja karyawan di antaranya Prawirosentono (1999) meyatakan penilaian kinerja adalah
proes
penilaian
hasil
kerja
yang
dapat
digunakan oleh pihak manajemen untuk memberikan informasi kepada para karyawan secara individual tentang mutu hasil pekerjaannya dipandang dari sudut kepentingan perusahaan. Menurut Martoyo (1998), penilaian kinerja adalah proses melalui apa organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai kinerja karyawan. Menurut Hasibuan (2003) penilaian kinerja adalah menilai suatu hasil kerja nyata dengan standar baik kualitas maupun kuantitas
yang
Menurut
Utama
penilaian
prestasi
organisasi,
dihasilkan (2001), kerja
mengevaluasi
oleh
setiap
karyawan.
mengemukakan
bahwa
adalah
proses
melalui
atau
menilai
kinerja
karyawan. Selain itu menurut pendapat Belows yang
25
dikutip oleh Ruky (2001), penilaian kinerja adalah suatu penilaian periodik atas nilai seorang individu karyawan bagi organisasinya, dilakukan oleh atasannya atau seseorang yang berada dalam
posisi untuk
mengamati atau menilai kinerjanya. Handoko (1997) mendefinisikan penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses suatu organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kegiatan
ini
dapat
mempengaruhi
keputusan-
keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka. Adapun kegunaan penilaian kinerja adalah sebagai berikut: 1. Mendorong orang atau pun karyawan agar berperilaku positif atau memperbaiki tindakan mereka yang di bawah standar. 2. Sebagai apakah
bahan
penilaian
karyawan
bagi
tersebut
manajemen
telah
bekerja
dengan baik; dan memberikan dasar yang kuat bagi
pembuatan
kebijakan
peningkatan
organisasi. Sementara
menurut
Gomes
(2003)
penilaian
kinerja mempunyai tujuan untuk me-reward kinerja sebelumnya (to reward past performance) dan untuk memotivasi demi perbaikan kinerja pada masa yang akan
datang
(to
motivate
future
performance
improvement), serta informasi-informasi yang diperoleh
26
dari penilaian kinerja ini dapat digunakan untuk kepentingan pemberian gaji, kenaikan gaji, promosi, pelatihan dan penempatan tugas-tugas tertentu. Dengan penilaian
demikian
kinerja
dapat
adalah
disimpulkan
proses
suatu
bahwa
organisasi
mengevaluasi atau menilai kerja karyawan. Pimpinan atau seseorang yang diserahi wewenang yang secara terus menerus dan sistematis melakukan penilaian terhadap karyawan agar dapat diketahui kinerjanya. Pengukuran
kinerja
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan sistem penilaian (rating) yang relevan. Rating tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur, dan mencerminkan hal-hal yang memang
menentukan
(1996).
kinerja
Pengukuran
Werther
kinerja
dan
juga
Davis berarti
membandingkan antara standar yang telah ditetapkan dengan kinerja sebenarnya yang terjadi. Pengukuran kinerja dapat bersifat subyektif atau obyektif. Obyektif berarti pengukuran kinerja dapat juga diterima, diukur oleh pihak lain. Faktor obyektif memfokuskan pada fakta yang bersifat nyata dan hasilhasil
yang
kehadiran. subyektif
dapat
diukur:
Kuantitas,
kualitas,
Sedangkan pengukuran yang bersifat berarti
pengukuran
yang
berdasarkan
pendapat pribadi atau standar pribadi orang yang melakukan penilaian dan sulit untuk diverifikasi oleh
27
orang lain. Cenderung berupa opini, seperti mengenai sikap, kepribadian, dan penyesuaian diri. Penilaian
kinerja
mampu
untuk
menciptakan
gambaran yang tepat mengenai kinerja pegawai yang dinilai. Penilaian tidak hanya ditujukan untuk menilai dan memperbaiki kinerja yang buruk, namun juga untuk mendorong para pegawai untuk bekerja lebih baik lagi. Berkaitan dengan hal ini, penilaian kinerja membutuhkan standar pengukuran, cara penilaian dan analisa data hasil pengukuran, serta tindak lanjut atas hasil pengukuran. 2.1.3. Dimensi-dimensi Penilaian Kinerja Dimensi-dimensi utama dalam sistem penilaian kinerja Werther dan Davis (1996) adalah: 1. Performance Standard Penilaian kinerja sangat membutuhkan standar yang jelas yang dijadikan tolok ukur atau patokan terhadap kinerja yang akan diukur. Standar
yang
dibuat
tentu
saja
harus
berhubungan dengan jenis pekerjaan yang akan diukur dan hasil yang diharapkan akan terlihat dengan adanya penilaian kinerja ini. Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam menyusun standar penilaian kinerja yang baik dan benar yaitu
validity,
objectivity.
agreement,
realism,
dan
28
a) Validity adalah keabsahan standar tersebut sesuai
dengan
jenis
pekerjaan
yang
dinilai. Keabsahan yang dimaksud di sini adalah standar tersebut memang benarbenar sesuai atau relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai tersebut. b) Agreement
berarti
persetujuan,
yaitu
standar penilaian tersebut disetujui dan diterima oleh semua
pegawai yang akan
mendapat penilaian. Ini berkaitan dengan prinsip validity di atas. c) Realism berarti standar penilaian tersebut bersifat realistis, dapat dicapai oleh para pegawai dan sesuai dengan kemampuan pegawai. d) Objectivity berarti standar tersebut bersifat obyektif,
yaitu
adil,
mampu
mencerminkan keadaan yang sebenarnya tanpa
menambah
atau
mengurangi
kenyataan dan sulit untuk dipengaruhi oleh bias-bias penilai. 2. Kriteria manajemen kinerja Kriteria penilaian kinerja dapat dilihat melalui beberapa dimensi, yaitu kegunaan fungsional (functional utility), keabsahan (validity), empiris (empirical
base),
pengembangan
sensitivitas sistematis
(sensitivity), (systematic
29
development), dan kelayakan hukum (legal appropriateness). a) Kegunaan fungsional bersifat krusial, karena hasil penilaian kinerja dapat digunakan untuk melakukan seleksi, kompensasi,
dan
pengembangan
pegawai, maka hasil penilaian kinerja harus valid, adil, dan berguna sehingga dapat
diterima
oleh
pengambil
keputusan. b) Valid
atau
sebenarnya
mengukur hendak
apa
yang
diukur
dari
penilaian kinerja tersebut. c) Bersifat empiris, bukan berdasarkan perasaan semata. d) Sensitivitas
kriteria.
Kriteria
itu
menunjukkan hasil yang relevan saja, yaitu kinerja, bukan hal-hal lainnya yang
tidak
berhubungan
dengan
kinerja. e) Sistematika kriteria. Hal ini tergantung dari
kebutuhan
lingkungan
organisasi
organisasi.
Kriteria
dan yang
sistematis tidak selalu baik. Organisasi yang berada pada
lingkungan yang
cepat berubah mungkin justru lebih baik
menggunakan
kriteria
yang
30
kurang
sistematis
menyesuaikan
diri
untuk dan
cepat
begitu
juga
sebaliknya. f) Kelayakan hukum yaitu kriteria itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Dimensi-dimensi ini digunakan dalam penentuan jenis-jenis kriteria penilaian kinerja. Adapun kriteriakriteria tersebut adalah people-based criteria, productbased criteria, behaviour-based criteria. People-based criteria
dibuat
berdasarkan
dimensi
kegunaan
fungsional sehingga banyak digunakan untuk
seleksi
dan
dibuat
penentuan
kompensasi.
Kriteria
ini
berdasarkan penilaian terhadap kemampuan pribadi, seperti
pengalaman,
kemampuan
intelektual,
dan
keterampilan. Product-based criteria biasanya dianggap lebih baik daripada people-based criteria. Kriteria ini didasarkan atas tujuan atau jenis output yang ingin dicapai. Behaviour-based criteria mempunyai banyak aspek, bisa dari segi hukum, etika, normatif, atau teknis.
Kriteria
ini
dibuat
berdasarkan
perilaku-
perilaku yang diharapkan sesuai dengan aspek-aspek tersebut. Begitupun
yang
dikemukakan
oleh
Gie
dan
Ibrahim (1999) menyatakan bahwa kinerja sangat ditentukan antara lain oleh dimensi-dimensi: a) Motivasi kerja
31
b) Kemampuan kerja c) Perlengkapan dan fasilitas d) Lingkungan eksternal e) Leadership f) Misi strategi 2.1.4. Aspek-aspek Kinerja Pegawai Selanjutnya peneliti akan mengemukakan aspekaspek
yang
dinilai
dalam
kinerja
pegawai
yang
dikemukakan oleh Bernandin & Russell (1993) yang dikutip oleh Gomes (2003) yaitu sebagai berikut: 1. Quantity of work: jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang ditentukan. 2. Quality of work: kualitas kerja yang dicapai berdasarkan
syarat-syarat
kesesuaian
dan
kesiapanya. 3. Job Knowledge: luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya. 4. Creativeness: keaslian gagasan –gagasan yang dimunculkan
dan
tindakan-tindakan
untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul. 5. Cooperation: dengan
kesediaan
orang
lain
untuk
atau
bekerjasama
sesama
anggota
organisasi. 6. Dependability: kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja.
32
7. Initiative: semangat untuk melaksanakan tugastugas
baru
dan
dalam
memperbesar
menyangkut
kepribadian,
tanggungjawabnya. 8. Personal Qualities:
kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi. Dharma (2003) menyatakan bahwa hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan
keluaran
dari
proses
atau
pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan. b. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran ”tingkat kepuasan”, yaitu
seberapa
baik
penyelesaiannya.
Ini
berkaitan dengan bentuk keluaran. c. Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu
yang
direncanakan.
Pengukuran
ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran
kuantitatif
yang
menentukan
ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan. Dari beberapa aspek-aspek yang dijelaskan oleh para ahli maka, dalam mengukur kinerja digunakan delapan aspek dari Bernandin & Russell (1993) yang
33
dikutip oleh Gomes sebagai tolak ukur dalam penelitian ini. 2.1.5. Faktor-faktor
yang
Berpengaruh
Terhadap
Kinerja Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah pertama,
efektivitas
Prawirosentono
(1999)
dan bila
efisiensi. suatu
tujuan
Menurut tertentu
akhirnya bisa dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut efektif tetapi apabila akibat-akibat yang tidak dicari kegiatan mempunyai nilai yang penting
dari
mangakibatkan
hasil
yang
dicapai
ketidakpuasan
sehingga
walaupun
efektif
dinamakan tidak efisien. Sebaliknya, bila akibat yang dicari-cari tidak penting atau remeh maka kegiatan tersebut efisien. Kedua, otoritas (wewenang). Arti otoritas menurut Barnardi (Prawirosentono, 1999) adalah sifat dari suatu komunikasi atau perintah dalam suatu organisasi formal yang dimiliki (diterima)oleh seorang anggota organisasi kepada anggota yang lain untuk melakukan suatu kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya. Perintah tersebut menyatakan apa boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam organisasi tersebut. Ketiga, disiplin. Menurut Prawirosentono (1999) disiplin adalah taat kepada hukum dan peraturan yang berlaku.
Jadi,
disiplin
karyawan
adalah
kegiatan
34
karyawan
yang
berangkutan
perjanjian
kerja
dengan
dalam
organisasi
menghormati di
mana
dia
berkarya. Keempat, inisiatif yaitu berkaitan dengan daya pikir
dan
kreativitas
dalam
bentuk
ide
untuk
merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi. Jadi inisiatif adalah daya dorong kemajuan yang
bertujuan
untuk
mempengaruhi
kinerja
organisasi. Senada yang dikemukakan oleh Prawirosentono (1999), Martoyo (1998) juga mengungkapkan, faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kinerja yaitu: 1. Motivasi Motivasi
merupakan
suatu
cara
untuk
memberikan dorongan kepada karyawan agar lebih berprestasi yaitu dengan memberikan balas jasa
yang
bersifat
finansial
maupun
non
finansial. 2. Kepuasan Kerja Penilaian atau cerminan dari perasaan karyawan terhadap
hasil
kerja,
jika
nilai
balas
jasa
dirasakan adil dan layak baik itu di dalam maupun di luar pekerjaan. 3. Tingkat Stress Prestasi umumnya
kerja
karyawan
akan
yang
menurun
stress
karena
pada
mereka
35
megalami ketegangan pikiran dan perilaku aneh, pemarah, suka menyendiri. 4. Kondisi fisik pekerjaan Segala sesuatu yang ada disekitar karyawan dan yang
dapat
mempengaruhi
dirinya
dalam
menjalankan tugas yang dibebankan, misalnya kondisi fisik, misalnya kondisi fisik lingkungan 5. Sistem kompensasi Kompensasi atau balas jasa yang diberikan sangat
penting
karena
merupakan
dorongan
untama seorang karyawan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil kerjanya. Menurut
Gibson
dalam
Mangkunegara
(2006)
kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor: a. Faktor Individual yang mencakup kemampuan, keahlian, latar belakang dan demografi. b. Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi. c. Faktor Organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur dan job design. Sebaliknya menurut Timple (dalam Mangkunegara, 2006) faktor kinerja terdiri dari dua faktor yaitu : a. Faktor Internal yang terkait dengan sifat-sifat seseorang misalnya kinerja baik disebabkan mempunyai pekerja keras.
kemampuan
tinggi
dan
tipe
36
b. Faktor Eksternal yang terkait dari lingkungan seperti perilaku, sikap, dan tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi, fasilitas kerja dan iklim organisasi. 2.2. Kepemimpinan Kepemimpinan yang dikenal berasal dari bahasa Inggris
“Leadership”,
memberikan
arahan,
yaitu
mengajak,
membimbing,
mendorong,
menggerakkan
bawahannya, dalam arti kata kepemimpinan berarti mempengaruhi orang lain. Sedangkan pemimpin adalah individu
yang
mempunyai
kemampuan
untuk
mengarahkan orang lain agar bertingkah laku sesuai petunjuknya(Nursiah, 2008) Kepemimpinan menurut Handoko (2002) dapat didefenisikan sebagai suatu proses pengarahan, dan pemberian
pengaruh
pada
kegiatan-kegiatan
dari
sekelompok anggota yang saling berhubungan. Robbins & Judge (2008) mendefenisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan
menurut
Rost
(1993),
adalah
sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan bawahan yang menginginkan perubahan nyata
yang
mencerminkan
tujuan
bersamanya.
37
Menurut Kotter (dalam Robbins & Judge, 2008), kepemimpinan berkaitan dengan perubahan. Pemimpin menentukan arah dengan cara mengembangkan suatu visi masa depan; kemudian mereka menyatukan orangorang
dengan
menginspirasi
mengkomunikasikan mereka
untuk
visi
mengatasi
ini
dan
berbagai
rintangan. Definisi lain tentang kepemimpinan dikemukakan oleh Hemhill dan Coon (1995) yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang
memimpin
aktifitas-aktifitas
suatu
kelompok
kesuatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal). Dari defenisi-defenisi dari beberapa ahli maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah seseorang yang
dapat
mempengaruhi
bawahannya,
demikian
sebaliknya orang-orang yang terlibat dalam hubungan tersebut menginginkan sebuah perubahan sehingga pemimpin diharapkan mampu menciptakan perubahan yang
signifikan
dalam
organisasi.
Selanjutnya
perubahan tersebut bukan merupakan sesuatu yang diinginkan pemimpin, tetapi lebih pada tujuan yang diinginkan dan dimiliki bersama. Tujuan tersebut merupakan sesuatu yang diinginkan dan diharapkan, yang harus dicapai di masa depan sehingga tujuan ini menjadi motivasi utama visi dan misi organisasi.
38
2.2.1. Tipe dan Karakteristik Pemimpin Karakteristik
pemimpin
menurut
Terry
dalam
Martoyo (1998) yaitu: 1. Penuh energi, untuk tercapainya kepemimpinan yang baik diperlukan energi yang baik pula, jasmani maupun rohani. Seeorang pemimpin harus sanggup bekerja dalam jangka panjang dan dalam waktu yang tidak tentu, sewaktuwaktu dibutuhkan tenaganya, ia harus sanggup melaksanakannya, mengingat kedudukan dan fungsinya. 2. Memiliki stabilitas emosi, seorang pemimpin yang efektif harus melepaskan diri dari kecurigaan terhadap bawahannya dan tidak boleh cepat naik pitam, ia harus tegas, konsekuen dan konsisten dalam tindakan-tindakannya, percaya diri dan memiliki jiwa sosial terhadap bawahannya. 3. Memiliki kemampuan tentang hubungan antar manusia, mengingat tugas yang penting dari seorang
pemimpin
memajukan
adalah
bawahannya,
memimpin maka
dan
seorang
pemimpin harus mengetahui benar sifat-sifat orang, bagaimana mereka mengadakan reaksi terhadap sesuatu tindakan atau situasi yang bermacam-macam. 4. Motivasi pribadi, keinginan itu harus datang dari dorongan batinnya sendiri, bukan dari luar
39
dirinya. Kekuatan dari luar hanya menstimulir saja
terhadap
untuk
keinginan-keinginan
menjadi pemimpin. Hal ini tercermin dalam keteguhan penderiannya, kemauan yang keras dalam bekerja, kegembiraan dalam bekerja, tidak ada sesuatu yang besar dapat dicapai tanpa adanya kegembiraan dalam bekerja. 5. Kemahiran
mengadakan
komunikasi,
seorang
pemimpin harus cakap dalam mengutarakan gagasan baik secara lisan maupun tulisan, hal ini sangat penting bagi pemimpin, untuk dapat mendorong maju bawahan, memberikan atau menerima informasi bagi kemajuan organisasi dan kepentingan bersama. 6. Kecakapan mengajar, mengajar adalah jalan yang terbaik untuk memajukan orang-orang ataupun menyadarkan orang-orang atas pentingnya tugastugas yang dibebankan. Pemimpin harus mampu memberikan
petunjuk-petunjuk
mengoreksi
kesalahan-kesalahan yang terjadi, mengajukan saran-saran maupun menerima saran-saran. 7. Kecakapan
sosial,
seorang
pemimpin
harus
memiliki kemampuan bekerja sama dengan orang lain dengan berbagai ragam sifatnya, harus pandai mengadakan pendekatan terhadap orangorang dan menghargai pendapat orang lain.
40
8. Kemampuan teknis, meskipun dikatakan bahwa makin tinggi kepemimpinan seseorang, makin kurang diperlukan kemampuan teknis, namun masih diperlukan karena akan lebih mudah mengadakan korelasi bila terjadi suatu kesalahan pelaksanaan tugas dari bawahannya. Delapan
tipe
kepemimpinan
menurut
Wahjosumidjo (1982) dalam Kartono (1983), yaitu : a. Tipe Deserter (Pembelot), Sifatnya: bermoral rendah, tidak memiliki rasa keterlibatan, tanpa pengabdian, tanpa loyalitas dan ketaatan, sukar diramalkan. b. Tipe Birokrat, Sifatnya: patuh pada peraturan dan norma-norma. c. Tipe Missionary, Sifatnya: terbuka, penolong, lembut hati dan ramah tamah. d. Tipe
Developer,
inovatif,
Sifatnya:
memberikan
wewenang
dengan
kreatif,
atau baik
dinamis,
melimpahkan dan
menaruh
kepercayaan kepada bawahan. e. Tipe Otokrat, Sifatnya: keras, diktatoris mau menang sendiri, keras kepala, sombong dan bandel. f. Tipe Benevolent Autocrat, Sifatnya: lancar, tertib, ahli
dalam
mengorganisir
keterlibatan diri.
dan
besar
rasa
41
g. Tipe Compromiser, Sifatnya: selalu mengikuti angin
tanpa
pendirian,
tidak
mempunyai
keputusan dan berpandangan pendek. h. Tipe Eksekutif Sifatnya: bermutu tinggi, dapat memberikan motivasi yang baik, berpandangan jauh dan tekun. Dari
tipe
dan
karakteristik
pemimpin
maka
kepemimpinan terus mengalami perkembangan dan di kelompokkan ke dalam klasifikasi yang berbeda oleh pakar organisasi misalnya Luthan (1995) dan Robbins (1996)
membagi
pemikiran
tentang
kepemimpinan
menjadi empat landasan teoritik yaitu: 1. Teori kepemimpinan sifat (Trait theories), 2. Teori kepemimpinan perilaku (Behavior Theories). 3. Teori
kepemimpinan
kontigensi
(Contigency Theories). 4. Teori kepemimpinan Baru (The New leadership Theories)
yang
mencakup
atributif,
karismatik,
dan
kepemimpinan kepemimpinan
transformasional. Penelitian-penelitian mengenai tipe kepemimpinan transaksional menyimpulkan bahwa segala aktifitas pekerjaan yang dilakukan bawahan harus memiliki harga atau mendapatkan imbalan. Namun hal tersebut justru
menjadi
kelemahan
tipe
kepemimpinan
transaksional karena komitmen bawahan terhadap
42
organisasi biasanya berjangka pendek (Bass, Avolio, and
Jung,
1999).
Mereka
menambahkan
bahwa
aktivitas pekerjaan bawahan hanya terfokus pada negosiasi upah serta mengabaikan pemecahan masalah atau
visi
organisasi
bersama. akan
Komitmen
tergantung
bawahan pada
terhadap
sejauh
mana
kemampuan organisasi dalam memenuhi keinginan bawahan. Hal inilah nampaknya yang mendorong Bass pada
tahun
1990
untuk
mengembangkan
konsep
kepemimpinan transformasional untuk melengkapi teori kepemimpinan
transaksional
yang
masih
memiliki
kelemahan (Rahyuda, 2008) dan mendorong peneliti untuk
memberikan
kontibusi
yang
baru
bagi
perkembangan kepemimpinan yaitu pemimpin yang dapat
menggerakkan
bawahan
dengan
cara-cara
tertentu serta dapat memberikan perubahan bagi suatu organisasi demi meningkatnya kinerja. Untuk itulah peneliti
mengambil
kepemimpinan
transformasional
sebagai variabel bebas dalam penelitian ini. 2.2.2. Kepemimpinan Transformasional Awalnya, konsep kepemimpinan transformasional diperkenalkan oleh Burns pada tahun 1978 (Jabnoun and
al-Ghasyah,
pemimpin
yang
2005)
yang
menyatakan
transformasional
bahwa
meningkatkan
kebutuhan dan motivasi bawahan dan mempromosikan perubahan dramatis dalam individual, group, dan
43
organisasi.
Bass
mendefinisikan
(1985)
bahwa
pemimpin transformasional adalah seseorang yang meningkatkan kepercayaan diri individual maupun grup,
membangkitkan
kesadaran
dan
ketertarikan
dalam grup dan organisasi, dan mencoba untuk menggerakkan perhatian bawahan untuk pencapaian dan pengembangan eksistensi. Menurut Bass (1990) dalam Swandari (2003) kepemimpinan yang
transformasional
mempunyai
bawahan Dengan
dengan penerapan
sebagai
kekuatan
untuk
cara-cara
tertentu
kepemimpinan
pemimpin
mempengaruhi (Yukl,
1989).
transformasional
bawahan akan merasa dipercaya, dihargai, loyal dan respek kepada pimpinannya. Pada akhirnya bawahan akan termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan.
Sedangkan
kepemimpinan
menurut
transformasional
O’Leary
(2001)
adalah
gaya
kepemimpinan yang digunakan oleh seseorang manajer bila ia ingin suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki kinerja melampaui status quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru. kepemimpinan
transformasional
pada
prinsipnya
memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang
bisa
dilakukan,
meningkatkan
dengan
kepercayaan
atau
kata
lain
dapat
keyakinan
diri
bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.
Sedangkan
menurut
Burns
(1978),
44
kepemimpinan
transformasional
dicirikan
sebagai
pemimpin yang berfokus pada pencapaian perubahan nilai-nilai, kepercayaan, sikap, perilaku, emosional, dan kebutuhan bawahan menuju perubahan yang lebih baik di masa depan. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan
transformasional
adalah
kepemimpinan yang dapat mempengaruhi bawahan dengan cara-cara tertentu dan membuat perubahan terhadap bawahan, mentransformasi ulang organisasi secara menyeluruh serta memotivasi bawahan untuk berbuat lebih positif atau lebih baik dari apa yang biasa dikerjakan sehingga organisasi bisa mencapai kinerja yang
lebih
maksimal.
Jika
pemimpin
kurang
berpengaruh maka akan mempengaruhi kepatuhan, kesungguhan dan disiplin dalam bekerja. Menurut teorinya kepemimpinan transformasional dibangun
atas
gagasan-gagasan
awal
dari
Burns
(1978). Tingkat Sejauh mana seorang pemimpin disebut transformasional dapat diukur dalam hubungannya dengan
efek
bawahan.
pemimpin Bawahan
transformasional
tersebut
terhadap
seorang
merasa
adanya
para
pemimpin kepercayaan,
kekaguman, kesetiaan dan hormat terhadap pemimpin tersebut dan mereka termotivasi untuk melakukan halhal yang lebih dari pada yang awalnya diharapkan pemimpin.
Pemimpin
tersebut
memotivasi
para
45
bawahan dengan: 1) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, 2) mendorong
mereka
untuk
lebih
mementingkan
organisasi dari pada diri sendiri, dan 3) mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi. Bass
&
Avolio
kepemimpinan
(1994)
mengatakan
transformasional
berbeda
bahwa dengan
kepemimpinan transaksional dalam dua hal. Pertama, meskipun pemimpin transformasional yang efektif juga mengenali kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin
transaksional
aktif.
Pemimpin
transformasional yang efektif berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. Motivasi yang meningkat dapat dicapai dengan menaikkan harapan akan kebutuhan dan
kinerjanya.
Misalnya,
bawahan
di
dorong
mengambil tanggungjawab lebih besar dan memiliki otonomi
dalam
bekerja.
Kedua,
pemimpin
transformasional berusaha mengembangkan bawahan agar mereka juga menjadi pemimpin. Luthans
(1995)
mengemukakan
dalam
karakteristik
Safaria dari
(2004) pemimpin
transformasional yang efektif sebagai berikut:
Mereka
mengidentifikasi
dirinya
sendiri
sebagai agen perubahan.
Mereka
mendorong
pengambilan resiko.
keberanian
dan
46
Mereka percaya pada orang-orang
Mereka
adalah
seorang
pembelajar
sepanjang hidup.
Mereka
memiliki
kemampuan
untuk
mengatasi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian.
Mereka juga adalah seorang pemimpin yang visioner.
Avolio
&
kepemimpinan mengenali
Bass
(1994)
transformasional kebutuhan
mengatakan yang
bahwa
efektif
bawahan.
juga
Pemimpin
transformasional yang efektif berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. Motivasi yang meningkat dapat dicapai dengan menaikkan harapan akan kebutuhan dan
kinerjanya.
Misalnya,
bawahan
didorong
mengambil tanggung jawab lebih besar dan memiliki otonomi dalam bekerja dan berusaha mengembangkan bawahan agar mereka juga menjadi pemimpin. Teori yang di pakai dalam penelitian ini adalah berdasarkan
teori
Burns
(1978)
kemudian
dikembangkan oleh Bass (1987) dengan "the Four I's" sebagai tolak ukur kepemimpinan transformasional. 2.2.3. Aspek Kepemimpinan Transformasional Aspek kepemimpinan transformasional menurut Robbins & Judge (2008) yaitu:
47
Pemimpin bisa memotivasi karyawan untuk bekerja di atas ekspetasi dan mengorbankan pribadi
kepentingan
mereka
demi
kepentingan organisasi.
Perhatian
individual, dan
diperhatikan khusus
oleh
bawahan
merasa
diperlakukan
pemimpinnya.
secara
Pemimpin
memperlakukan setiap bawahannya sebagai seorang
pribadi
kebutuhannya
dengan
kecakapan
masing-masing.
dan
Pemimpin
menimbulkan
rasa
mampu
pada
bawahannya
bahwa
mereka
dapat
melakukan pekerjaannya, dapat memberikan sumbangan yang berarti untuk tercapinya tujuan kelompok.
Stimulasi
intelektual,
bawahan
merasa
bahwa pemimpin mendorong mereka untuk memikirkan Untuk
kembali cara kerja mereka.
mencari
cara-cara
baru
dalam
melaksanakan tugas mereka dan mendapat cara baru dalam mempersepsikan tugastugas mereka.
Motivasi inspirasional di mana pemimpin mampu menimbulkan inspirasi bawahannya dan memberikan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai. Bawahan merasa mampu
48
melaksanakan tugas pekerjaannya, merasa mampu
memberikan
berbagai
macam
gagasan. Mereka merasa diberi inspirasi oleh pemimpinnya.
Pengaruh ideal, pemimpin berusaha malalui pembicaraan
mempengaruhi
bawahan
dengan menekankan pentingnya nilai-nilai dan
keyakinan.
Perlu
dimilikinya
tekat
mencapai tujuan. Pemimpin memperlihatkan kepercayaannya
pada
cita-citanya,
keyakinannya dan nilai hidupnya.
Mendorong karyawan untuk bekerja lebih keras,
pemimpin
memberikan
motivasi-
motivasi kepada bawahan untuk bekerja melebihi yang diharapkan.
Meningkatkan
produktivitas,
pemimpin
mendorong bawahan untuk menciptakan dan menghasilkan kinerja yang baik sesuai visi dan misi organisasi.
Memiliki moral kerja serta kepuasan kerja yang
lebih
tinggi,
pemimpin
mampu
menciptakan suatu keadaan yang puas bagi bawahan sehingga bawahan merasa dihargai dengan upah dan penghargaan yang layak.
49
Meninggikan efektivitas organisasi, bawahan merasa
pemimpin
mampu
membuat
organisasi berkembang dengan baik.
Meminimalkan perputaran karyawan.
Menurunkan tingkat ketidakhadiran, dengan pengaruhnya
pemimpin
menurunkan bawahannya
tingkat dan
mampu
ketidakhadiran
membuat
bawahan
menjadi disiplin.
Memiliki secara
kemampuan organisasional
meyesuaikan yang
lebih
diri
tinggi.
Pemimpin dan bawahan menjadi relasi yang baik dalam organisasi. Para
pemimpin
transformasional
mendorong
bawahannya agar lebih inovatif dan kreatif. Para pemimpin yang transformasional lebih efektif karena mereka sendiri lebih kreatif, tetapi mereka juga lebih efektif karena mampu mendorong para pengikutnya menjadi kreatif pula. Pada akhirnya, kepemimpinan transformasional juga menghasilkan komitmen di pihak para pengikut dan menanamkan pada diri mereka rasa percaya yang lebih besar kepada pemimpin. Dalam Robbins & Judge (2008), sebuah telaah atas 87 studi yang menguji kepemimpinan transformasional menemukan bahwa hal ini terkait dengan motivasi dan
50
kepuasan para bawahan dan kinerja yang tinggi serta efektivitas si pemimpin. 2.2.4. Dimensi Kepemimpinan Transformasional Pemimpin transformasional bersikap dengan caracara
yang
memungkinkan
untuk
mencapai
hasil
superior dengan menggunakan Empat I atau “Four Is” yaitu
Idealized
Influence,
Inspirational
Motivation,
Intellectual Stimulation, dan Individualize Consideration. Bass
dan
Avolio
(1994)
mengemukakan
kepemimpinan
transformasional
dimensi
disebutnya
yang
mengemukakan
bahwa
mempunyai
sebagai
bahwa
"the
empat
Four
I's".
kepemimpinan
transformasional memiliki dimensi-dimensi penting, yaitu menampilkan karakteristik yang menunjukkan perilaku
karismatik,
memunculkan
motivasi
inspirasional, memberikan stimulasi intelektual dan memperlakukan karyawan dengan memberi perhatian terhadap individu. Ribuan pemimpin di sektor swasta dan para pemimpin komunitas di sektor umum telah dilatih menggunakan model kepemimpinan lengkap. Model ini mencakup “Four Is” dari kepemimpinan transformasional (Bass & Avolio, 1994). 1. Idealized Influence Karisma atau pengaruh yang diidealkan, faktor ini mendeskripsikan para pemimpin bertindak sebagai model yang berperan kuat bagi para pengikutnya;
51
pengikut mengenali para pemimpinnya dan sangat ingin menyamai mereka. Para pemimpin ini biasanya mempunyai standard moral dan etika penyelenggaraan yang
sangat
tinggi
dan
dapat
dihitung
dalam
melakukan hal yang benar. Mereka dihormati secara penuh
oleh
para
pengikutnya,
yang
biasanya
menempatkan kepercayaan besar terhadap mereka. Mereka
memberikan
pengikutnya pemimpin
dan yang
mengagumi,
sebuah
visi
digambarkan membuat
dan
misi
sebagai para
menghormati
pada
perilaku
pengikutnya
dan
sekaligus
mempercayainya. 2 Inspirational Motivation Motivasi yang memberikan inspirasi, merupakan deskripsi pemimpin yang menyampaikan harapanharapan tinggi kepada para pengikutnya, menginspirasi mereka melalui motivasi untuk berkomitmen dan menjadi bagian dari visi bersama organisasi dan digambarkan
sebagai
pemimpin
yang
mampu
mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap
seluruh
menggugah
spirit
tujuan tim
organisasi,
dalam
dan
mampu
organisasi
melalui
penumbuhan entusiasme dan optimisme 3. Intellectual Stimulation Stimulasi intelektual, meliputi kepemimpinan yang mendorong para pengikutnya untuk menjadi kreatif
52
dan inovatif, dan untuk menantang keyakinan dan nilai-nilai mereka sendiri para pemimpin dan organisasi untuk memecahkan masalah dengan cermat. Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru,
memberikan
solusi
yang
kreatif
terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari
pendekatan-pendekatan
yang
baru
dalam
melaksanakan tugas-tugas organisasi. 4. Individualize Consideration Pertimbangan
individual
merupakan
faktor
transformasional yang mewakili para pemimpin dalam memberikan
iklim
yang
mendukung
dan
mendengarkan kebutuhan individu para pengikutnya dengan cermat. Pemimpin bertindak sebagai pelatih dan penasihat sambil mencoba untuk membantu individu-individu agar teraktualisasi secara penuh. Para pemimpin ini dapat menggunakan delegasi sebagai alat untuk membantu para pengikut. Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara
khusus
mau
memperhatikan
kebutuhan-
kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Untuk itulah empat dimensi kepemimpinan transformasional dari Bass dan Avolio (1994) ini menjadi tolak ukur dalam penelitian ini.
53
2.2.5.
Faktor–faktor Kepemimpinan Transformasional
Secara
rinci
faktor-faktor
kepemimpinan
transformasional tersebut menurut Bass & Avolio (1994), adalah sebagai berikut: 1. Karismatik Karismatik
menurut
Yukl
(1998)
merupakan
kekuatan pemimpin yang besar untuk memotivasi bawahan
dalam
melaksanakan
tugas.
Bawahan
mempercayai pemimpin karena pemimpin dianggap mempunyai
pandangan,
nilai
dan
tujuan
yang
dianggapnya benar. Oleh sebab itu pemimpin yang mempunyai karisma lebih besar dapat lebih mudah mempengaruhi
dan
mengarahkan
bawahan
agar
bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemimpin.
Selanjutnya
karismatik
dapat
mengeluarkan
upaya
dikatakan
memotivasi kerja
kepemimpinan
bawahan
ekstra
karena
untuk mereka
menyukai pemimpinnya. 2. Inspirasional Perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl & Fleet (dalam Bass, 1985) dapat merangsang antusiame bawahan terhadap tugas-tugas kelompok dan dapat mengatakan
hal-hal
yang
dapat
menumbuhkan
kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok.
54
3. Stimulasi Intelektual. Menurut merupakan
Yukl upaya
(1998)
stimulasi
bawahan
terhadap
intelektual persoalan-
persoalan dan mempengaruhi bawahan untuk melihat persoalan-persoalan tersebut melalui perspektif baru, sedangkan oleh Seltzer dan Bass (1990) dijelaskan bahwa
melalui
stimulasi
intelektual,
pemimpin
merangsang kreativitas bawahan dan mendorong untuk menemukan pendekatan-pendekatan baru terhadap masalah-masalah
lama.
Jadi,
melalui
stimulasi
intelektual, bawahan didorong untuk berpikir mengenai relevansi cara, sistem nilai, kepercayaan, harapan, didorong persoalan
melakukan dan
inovasi
berkreasi
dalam
untuk
menyelesaikan
mengembangkan
kemampuan diri serta didorong untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang menantang. Kontribusi intelektual dari seorang pemimpin pada bawahan harus didasari sebagai suatu upaya untuk memunculkan kemampuan penelitian
bawahan.
Seltzer
dan
Hal bass
itu
dibuktikan
(1990)
dalam
bahwa
aspek
stimulasi intelektual berkorelasi positif dengan extra effort. Maksudnya, pemimpin yang dapat memberikan kontribusi supaya
intelektual mampu
senantiasa
mendorong
mencurahkan
perencanaan dan pemecahan masalah.
upaya
staf
untuk
55
4. Perhatian secara Individual Perhatian atau pertimbangan terhadap perbedaan individual implikasinya adalah memelihara kontak langsung face to face dan komunikasi terbuka dengan para pegawai. Zalesnik (1977; dalam Bass, 1985) mengatakan, bahwa pengaruh personal dan hubungan satu persatu antara atasan-bawahan merupakan hal terpenting yang utama. Perhatian secara individual tersebut dapat sebagai indentifikasi awal terhadap para bawahan terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk
menjadi
seorang
pemimpin.
Sedangkan
monitoring merupakan bentuk perhatian individual yang ditunjukkan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan tuntunan yang diberikan oleh senior kepada yunior yang belum berpengalaman bila dibandingkan dengan seniornya. Walaupun
penelitian
mengenai
model
transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model konsep
kepemimpinan
transformasional
kepemimpinan
menguraikan Butchatsky,
karakteristik 1996).
yang
terbaik
pemimpin Konsep
merupakan dalam
(Sarros
dan
kepemimpinan
transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak
56
(trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan
konsep-konsep
terdahulu
yang
dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber, 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns, 1978). 2.3. Kepuasan kerja Robbins (2003) mendefenisikan kepuasan kerja sebagai
suatu
sikap
umum
terhadap
pekerjaan
seeorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Jadi karyawan yang menikmati pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja keras dan balas jasa dirasa adil dan layak (Fathoni, 2006). Tiffin dalam Tohardi (2002) menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesama karyawan. Selanjutnya menurut Blum dalam Tohardi (2002), kepuasan
kerja
merupakan
sikap
umum
yang
merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor
pekerjaan,
penyesuaian
diri
dan
hubungan sosial individu di luar kerja (Tohardi, 2002). Siagian (1999) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seseorang baik secara positif
maupun
secara
negatif
tentang
tugasnya.
57
Menurut
Moekijat
(1995)
kepuasan
kerja
adalah
keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan memandang
dengan
pekerjaan
mencerminkan
mana mereka.
perasaan
para
karyawan
Kepuasan
seseorang
kerja
terhadap
pekerjaannya. Ini tampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya, karena hal itu mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja,
keluhan-keluhan
dan
masalah-masalah
personalia vital lainnya. Menurut Luthans (2006) kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul pada saat harapan-harapan ini tidak terpenuhi. Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi, secara umum adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, sifat alami dari kelompok atau tim kerja dan kondisi kerja. Setiap dimensi menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan itu sendiri. Menurut mendefinisikan seseorang sering
Taylor kepuasan
terhadap
(dalam kerja
pekerjaannya.
Houtte, sebagai
2006) perasaan
Kepuasan
kerja
dihubungkan dengan penghargaan ekstrinsik
dan intrinsik dalam bekerja. Selain itu Perie (1997)
58
menyatakan bahawa kepuasan kerja merupakan reaksi afektif terhadap situasi pekerjaan seseorang. Ini dapat dijelaskan
sebagai
keseluruhan
dari
perasaan
seseorang mengenai pekerjaannya dalam aspek yang spesifik pada suatu pekerjaan. Kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi diri. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mencatat catatan kehadiran lebih baik dari pada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Menurut Gomes (2003), kepuasan kerja pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang sifatnya subjektif. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Dengan demikian, kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas. Menurut
As’dat
(1991)
seseorang
cenderung
bekerja dengan penuh semangat apabila kepuasan
59
dapat diperolehnya dari pekerjaannya dan kepuasan kerja karyawan merupakan kunci dapat diperolehnya dari
pekerjaannya
dan
kepuasan
kerja
karyawan
merupakan kunci pendorong moral, kedisiplinan, dan prestasi
kerja
karyawan
dalam
mendukung
terwujudnya perusahaan. Kepuasan
kerja
yang
tinggi
atau
baik
akan
membuat pegawai semakin loyal kepada organisasi. Semakin termotivasi dalam bekerja, bekerja dengan rasa tenang, dan yang lebih penting lagi kepuasan kerja yang
tinggi
akan
memperbesar
kemungkinan
tercapainya kinerja yang baik. Karyawan yang tidak merasa puas terhadap pekerjaanya, cenderung akan melakukan atau menghindar diri dari situasi-situasi pekerjaan baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Menurut Spector (1997) definisi kepuasan kerja adalah suatu tingkat sejauh mana seseorang menyukai pekerjaannya. Sebagian orang menikmati pekerjaannya dan
menjadikannya
prioritas
dalam
hidupnya,
sementara sebagian orang lainnya tidak menyukai pekerjaannya di mana mereka melakukannya karena faktor keadaan yang memaksa mereka melakukan pekerjaan tersebut. Studi tentang sebab akibat dari perilaku seperti ini adalah merupakan satu dari sekian banyak faktor inti di dalam psikologi industri organisasi dan perilaku organisasi. Pengukuran tingkat kepuasan kerja sudah banyak dilakukan secara rutin oleh
60
organisasi-organisasi
yang
faktor
utama
bisnisnya
sangat ditentukan oleh kesehatan fisik dan psikologi karyawannya. Dari konsep-konsep di atas, maka dapat ditarik kesimpulan tingkat
bahwa
sejauh
pekerjaannya. terhadap
kepuasan mana
adalah
seseorang
Mencakup
pekerjaannya
kerja
sikap yang
seorang beragam
suatu
menyukai pekerja sehingga
memberikan respons terhadap situasi kerjanya, hasil yang dicapai, dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pekerjaan itu karena pekerjaan itu sendiri memiliki
aspek-aspek
pengawasan,
seperti;
tunjangan,
gaji,
promosi,
penghargaan,
prosedur
pelaksanaan kerja, rekan kerja, sifat pekerjaan, dan komunikasi. 2.3.1. Teori Kepuasan Kerja Menurut Wexley dan Yukl (1977) teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu: A. Teori kesenjangan (Discrepancy Theory) Teori kesenjangan (Discrepancy Theory) dicetuskan oleh Locke (1969,1976). Dalam teori kesenjangan ini Locke (dalam Wexley & Yukl, 2005) mengemukakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dengan sejumlah aspek pekerjaan tergantung pada selisih antara apa yang dianggap telah didapatkan dengan apa yang
61
diinginkan (should be). Jumlah yang “diinginkan” dari karakteristik pekerjaan didefenisikan sebagai jumlah minimum
yang
diperlukan
untuk
memenuhi
kebutuhan yang ada. Kepuasan akan didapatkan ketika tidak terdapat selisih antara kondisi-kondisi yang
diinginkan
dengan
kondisi-kondisi
yang
didapatkan. Apabila ternyata yang didapatkan oleh pegawai
lebih
besar
dari
yang
diinginkan,
maka
individu akan merasa lebih puas lagi. Walaupun terdapat Discrepancy, tetapi merupakan Discrepancy positif. Sebaliknya, apabila terjadi Discrepancy negatif di mana apa yang didapatkan jauh di bawah batas minimum
maka
pegawai
akan
merasakan
ketidakpuasan. Semakin besar kekurangan selisih yang dirasakan, maka akan semakin besar ketidakpuasan yang
dirasakan
pegawai.
Contohnya,
karyawan
menganggap peluang untuk maju lebih penting dari aspek-aspek pekerjaan yang lain, yaitu penghargaan, dengan
demikian
maka
kemajuan
bagi
karyawan
tersebut dapat dinilai tinggi akan kepuasannya dari pada penghargaan. Sedangkan ketidakpuasan kerja dapat
terjadi
ketika
kepentingannya,
terdapat
yaitu
pertentangan
ketidaksesuaian
akan antara
pendapatan dengan keinginan. Contohnya, banyak karyawan mendapatkan gaji yang tidak sesuai menjadi tidak puas, atau ruang kerja terlalu panas.
62
Jadi,
kesimpulan
teori
kesenjangan
adalah
menekankan selisih antara kondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual (kenyataan), jika ada selisih jauh antara keinginan dan kekurangan yang ingin dipenuhi dengan kenyataan maka orang menjadi tidak puas. Tetapi jika kondisi yang diinginkan dan kekurangan yang ingin dipenuhi ternyata sesuai dengan kenyataan yang didapat maka ia akan puas. B. Teori Keadilan (Equity Theory) Teori yang kedua dikemukakan oleh Zalesnik (1958), dan dikembangkan oleh Adams (1963), adalah Theory Interpersonal Comparison Processes yang dikenal juga sebagai teori keadilan yang menyatakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasa adanya keadilan. Perasaan equity atau inequity atas suatu situasi diperoleh seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Teori
keadilan
mengungkapkan
bagaimana
seseorang mempersepsikan kondisi yang ia terima, apakah imbalan dan keuntungan yang ia dapatkan dipekerjakannya telah sesuai dengan apa yang ia berikan untuk perusahan. Maka muncul istilah adil dan tidak adil. Komponen utama dari teori ini adalah: 1) Input
yaitu
seseorang
sesuatu yang
yang
dianggap
bernilai
bagi
mendukung
63
pekerjaannya, pengalaman, yang
seperti: kecakapan,
dicurahkan,
peralatan
atau
pendidikan,
banyaknya
jumlah
jam
perlengkapan
usaha
kerja,
pribadi
dan yang
dipergunakan untuk pekerjaannya. 2) Hasil yaitu sesuatu yang diperoleh pegawai dari pekerjaannya yang dianggap bernilai, seperti: upah/gaji,
keuntungan
sampingan,
status,
penghargaan, serta kesempatan untuk berhasil atau ekspresi diri. 3) Orang bandingan. Orang bandingan ini bisa saja orang yang satu organisasi dengan dirinya yang memiliki kualifikasi dan sifat pekerjaan yang sama dengan dirinya ataupun orang dari organisasi
lain
yang
melakukan
kegiatan
sejenis atau bahkan dirinya sendiri dengan pekerjaan terdahulunya. 4) Keadilan dan ketidakadilan. Seorang pegawai menilai
adil
membandingkan
kondisinya hasil
dengan apa yang
yang
ia
dengan dapatkan
ia keluarkan kemudian
dibandingkan dengan orang bandingan, apa yang mereka terima dan apa yang mereka keluarkan. Jika rasio perbandingan antara hasil
yang
dikeluarkan
diterima sama
dengan dengan
apa rasio
yang orang
bandingan, maka pegawai menganggap adanya
64
keadaan keadilan. Namun, jika para pegawai menganggap perbandingan tersebut tidak adil, maka keadaan ketidakadilan dianggap ada (Wexley & Yukl, 2005). Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi ketika keadaan ketidakadilan dianggap ada, yaitu: a) Seseorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar. b) Mengurangi dalam
intensitas
pelaksanaan
usaha tugas
yang yang
dibuat menjadi
tanggung jawabnya (Siagian, 2008). Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pegawai dalam menegakkan keadilan menurut Wexley & Yukl (2005) adalah: a) Meningkatkan atau mengurangi input-input pribadi, khususnya usaha. b) Membunjuk
orang
bandingan
untuk
meningkatkan atau mengurangi input-input pribadinya c) Membujuk orgnisasi untuk mengubah hasil perseorangan
pekerja
atau
hasil
orang
bandingan. d) Pengabaian psikologis terhadap input-input atau hasil-hasil pribadinya. e) Pengesampingan psikologis terhadap inputinput atau hasil-hasil pribadinya.
65
f)
Memilih orang bandingan yang lain.
g) Meninggalkan organisasi. C. Teori Dua Faktor Teori yang ketiga adalah teori yang dinyatakan oleh Herzberg (1959), sebagai Teori Dua faktor. Keyakinan bahwa hubungan seseorang dengan pekerjaan adalah mendasar
dan
bahwa
sikap
seseorang
terhadap
pekerjaan bisa sangat baik menentukan keberhasilan atau kegagalan. Dua faktor yang dapat menyebabkan timbulnya
rasa
puas
Herzberg,
yaitu
faktor
atau
tidak
puas
pemeliharaan
menurut
(Maintenance
factors) dan faktor pemotivasian (Motivational factors) karena
kondisi
itu
diperlukan
untuk
memelihara
tingkat kepuasan yang layak (Herzberg, 1996). Faktor pemeliharaan disebut juga dissatisfiers, hygiene factors, job
context,
extrinsic
factors,
Sedangkan
faktor
pemotivasian disebut juga satisfiers, motivators, job content, intrinsic factors. Herzberg (1959) menyebutkan faktor pemeliharaan atau hygiene factors sebagai berikut: 1. Kebijakan
perusahan
dan
administrasi
(company policies). Kebijakan yang dilakukan adil bagi karyawan. Yang termasuk dalam kebijkan perusahan dan administrasi ialah semua yang berkaitan dengan prosedur yang
66
dilakukan perusahan dalam mengatur jalannya pekerjaan di perusahan. 2. Supervisi
(supervision).
Bimbingan
dan
bantuan teknis yang diberikan atasan kepada karyawan, diantaranya: bimbingan, dorongan, semangat, bantuan teknis, dan komunikasi informasi. 3. Hubungan interpersonal dengan rekan kerja. Derajat
kesesuaian
yang
dirasakan
dalam
berinteraksi dengan tega kerja lainnya. Bagi kebanyakan
karyawan,
kerja
juga
mengisi
kebutuhan akan interaksi sosial oleh karena itu
mempunyai
rekan
kerja
yang
ramah,
membina hubungan, mendukung pelaksanaan tugas, dapat diajak bekerja sama, mempunyai rasa kesatuan yang kuat akan menghantar seorang karyawan kepada kepuasan kerja yang meningkat. 4. Hubungan
interpersonal
dengan
atasan.
Perilaku atasan juga merupakan unsur utama dari kepuasan kerja pada umumnya. Kepuasan kerja
karyawan
akan
meningkat
apabila
pimpinan bersifat ramah, dapat memahami, memberikan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan
pendapat
pegawai,
menunjukkan suatu pribadi pada karyawan, memberikan
kebebasan
karyawan
untuk
67
berpendapat, mengkritik atau memberi saran, kerja sama, dan cara berkomunikasi. 5. Gaji (salary). Imbalan yang sesuai dengan hasil kerja
karyawan.
Karyawan
menginginkan
sistem upah yang dipersepsikan sebagai adil, tidak meragukan, segaris dengan pengharapan karyawan.
Upah
didasarkan
pada
dipandang tuntutan
adil
apabila
pekerjaan,
dan
tingkat ketrampilan individu. 6. Keamanan kerja (Security). Rasa aman yang dirasakan
karyawan
terhadap
lingkungan
kerja, suasana kerja yang aman baik berupa material maupun non-material. 7. Kondisi kerja (working conditions). Lingkungan baik
dan
nyaman
akan
memudahkan
karyawan untuk mengerjakan tugas dengan baik. Lingkungan kerja yang nyaman dan dinilai dari fasilitas yang bersih dan modern, peralatan
dan
perlengkapan
kantor
yang
memadai, lingkungan kerja yang tenang dan aman. Herzberg
(1959)
menjelaskan
faktor
motivator
sebagai berikut: 1. Prestasi
(achievement).
Keberhasilan
menyelesaikan tugas, besar kecilnya karyawan mencapai
prestasi
kerja
yang
tinggi,
melakukan pekerjaan yang terbaik, berprestasi,
68
penilaian
prestasi
kerja
dilakukan
secara
konsisten, adil, objektif, komitmen terhadap prestasi yang dicapai selama bekerja. 2. Penghargaan
(recognition).
penghargaan
atau
Besar
kecilnya
penghormatan,
pujian,
pengakuan dari atasan yang diberikan kepada karyawan atas kinerjanya. 3. Kenaikan pangkat (advancement). Kesempatan untuk maju yang dicapai selama bekerja. Yang termasuk
dalam
kebijakan
promosi
berusaha promosi
kenaikan yang
mendapatkan yang
kesempatan
adil.
untuk
pangkat adil.
Karyawan
kebijakan
Promosi
ialah
praktek
memberikan
pertumbuhan
pribadi,
tanggung jawab yang lebih banyak, status sosial yang meningkat dan kesempatan untuk maju. 4. Pekerjaan itu sendiri (work it self). Besar kecilnya tantangan bagi tenaga kerja dari pekerjaannya. Karyawan cenderung menyukai pekerjaan yang memberi kesempatan untuk menggunakan beragam
tugas,
keterampilan, kebebasan,
menawarkan umpan
balik
mengenai betapa baik karyawan bekerja. Pada kondisi tantangan yang sedang kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.
69
5. Tanggung
jawab
(responsibility).
Tanggung
jawab yang diemban atau dimiliki terhadap tugas
yang
harus
diselesaikan,
diberi
kekuasaan, kewenangan untuk melaksanakan dan
menyelesaikan
pekerjaannya
sebagai
tanggung jawab, sanksi yang tegas atas sikap dari pelaksanaan tugas. Herzberg (1959) selanjutnya menetapkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan adalah dua hal yang berbeda. Secara ringkas dinyatakan oleh Herzberg bahwa
hygiene
factors
atau
faktor
pemeliharaan
menyebabkan ketidakpuasan bila faktor itu tidak ada, tetapi
memberikan
motivasi
jika
faktor
itu
ada.
Sebaliknya faktor motivator dapat membimbing ke arah pemuasan
bila
faktor
itu
ada,
tetapi
tidak
menyebabkan ketidakpuasan jika faktor itu tidak ada. Untuk itulah Teori dua faktor dari Herzberg (1959) ini dipakai sebagai dasar dari variabel kepuasan kerja dalam penelitian ini, yang mana hubungan antara pekerja
pada
pekerjaanya
merupakan
hubungan
dasar dan bahwa sikapnya terhadap pekerjaan ini sangat menentukan sukses atau gagal pekerja tersebut. 2.3.2. Aspek-Aspek Kepuasan Kerja Menurut Mobley (1986) aspek-aspek kepuasan kerja diantaranya adalah :
70
a. Aspek pekerjaan meliputi jenis pekerjaan, bobot pekerjaan dan melibatkan keterampilan serta kemampuan
individu
dalam
mengerjakan
pekerjaan tersebut. b. Aspek imbalan merupakan faktor utama untuk mencapai
kepuasan
kerja
sehingga
banyak
pihak manajemen dalam upaya meningkatkan kerja karyawan dengan meningkatkan imbalan kerja. c. Aspek kepangkatan, kurang atau sedikitnya kesempatan untuk memperoleh jabatan dan kepangkatan
sering
ketidakpuasan
karyawan
dikaitkan
dengan
terhadap
promosi
jabatan atau kepangkatan yang ada. d. Aspek
pimpinan
hubungan
atau
atasan
dengan
kebijaksanaannya
yang
menyangkut
bawahan
atas
dikaitkan
dengan
kepuasan kerja. e. Aspek rekan kerja, hubungan antara pekerja satu dengan yang lain berkaitan erat dengan kepuasan
kerja.
Pekerja
yang
mengalami
ketidakpuasan kerja karena memiliki rekan kerja yang tidak bisa diajak kerjasama, tidak menyenangkan dan tidak memuaskan (Mobley, 1986). Spector (1997) mengungkapkan aspek-aspek kepuasan kerja sebagai berikut:
71
a. Gaji/Pendapatan, karyawan puas dengan gaji dan kenaikan gaji yang di dapat dari organisasi. b. Promosi, yaitu kesempatan dan keadilan untuk promosi atau kenaikan jabatan atau karir. c. Pengawasan,
karyawan
puas
dengan
pengawasan langsung dari atasan. d. Tunjangan, karyawan merasa puas dengan tunjangan moneter (keuangan) maupun nonmoneter dari organisasi seperti asuransi dan cuti. e. Penghargaan (Contingent Reward), karyawan merasa puas dengan apresiasi, pengakuan, dan penghargaan yang diterima atas hasil pekerjaan yang baik. f. Prosedur
pelaksanaan
kerja,
karyawan
merasa puas dengan kebijakan dan prosedur yang ada. g. Rekan kerja, setiap karyawan merasa puas dengan rekan kerja di kantor. h. Sifat
Pekerjaan,
karyawan
merasa
puas
dengan jenis/tipe pekerjaan yang dilakukan. i. Komunikasi, setiap karyawan merasa puas dengan
komunikasi
yang
terjalin
dalam
organisasi dan berbagi informasi baik antar karyawan, atasan dan bawahan, maupun
72
perusahaan terhadap karyawan baik secara lisan maupun tulisan. Jadi, dari aspek-aspek yang telah dipaparkan maka aspek kepuasan kerja dari Spector (1997) dengan sembilan aspek kepuasan kerja menjadi tolak ukur dalam penelitian ini. 2.3.3. Faktor-faktor Kepuasan Kerja Faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja menurut Herzberg (1959) adalah faktor motivator dan faktor hieginis. Faktor motivator merupakan segala sesuatu psikologis
yang
berhubungan
seseorang.
Apabila
dengan faktor
kebutuhan
motivator
ini
dipenuhi, maka akan menimbulkan kepuasan kerja dan
selanjutnya
akan
memotivasi
pegawai
untuk
bekerja. Faktor motivator meliputi: 1) Pekerjaan itu sendiri yaitu besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari pekerjaannya. 2) Tanggung
jawab
yaitu
besar
kecilnya
tanggung jawab yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja. 3) Kemajuan yaitu besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mengalami kemajuan dalam pekerjaannya.
73
4) Pencapaian
yaitu
besar
kecilnya
kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi. 5) Pengakuan yaitu besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas unjuk kerjanya. Faktor
kedua
adalah
faktor
hieginis.
Faktor
hieginis adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan fisik atau biologis pegawai. Faktor ini
menentukan
ketidakpuasan
pegawai.
Apabila
pegawai merasa faktor-faktor ini kurang terpenuhi maka pegawai akan merasa tidak puas dan banyak mengeluh. Faktor hieginis terdiri dari: 1) Gaji yaitu derajat kewajaran yang dirasakan pegawai atas gaji atau imbalan yang ia terima sebagai hasil kinerjanya. 2) Kondisi kerja yaitu derajat kesesuaian yang dirasakan pegawai mengenai kondisi kerja dengan
proses
pelaksanaan
tugas
pekerjaannya. 3) Hubungan
antara
pribadi
yaitu
derajat
kesesuaian yang dirasakan oleh pegawai dalam berinteraksi dengan pegawai lainnya 4) Penyelia
yaitu
derajat
kewajaran
pengawasan yang diterima oleh pegawai. 5) Administrasi dan kebijakan perusahan yaitu derajat kesesuaian yang dirasakan
tenaga
74
kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahan. Menurut Spector (1997) kepuasan kerja ada 2 faktor yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik terdiri dari: 1. Activity, Seberapa jauh pekerjaan tersebut tetap dapat meyibukkan individu. 2. Independence,
Kewenangan
untuk
dapat
bekeja sendiri. 3. Variety,
Kesempatan
untuk
melakukan
pekerjaan yang berbeda-beda. 4. Social status, Pengakuan masyarakat luas tentang status pekerjaan. 5. Moral values, Pekerjaan tidak berhubungan dengan
segala
sesuatu
yang
dapat
mengganggu hati nurani. 6. Security, Kepastian kerja yang diberikan. 7. Social service, Kesempatan untuk membantu orang lain mengerjakan tugas. 8. Authorit, Memiliki kekuasaan terhadap orang lain. 9. Ability
utilization,
Kesempatan
untuk
menggunakan kemampuan yang ada. 10. Responsibility,
Tanggung
jawab
dalam
membuat keputusan dan tindakan. 11. Creativity,
Kebebasan
mengungkapkan ide yang baru.
untuk
75
12. Achievement, Perasaan yang didapat ketika menyelesaikan suatu tugas. Faktor ekstrinsik terdiri dari: 1. Compensation, Besarnya imbalan atau upah yang diterima. 2. Advancement, Kesempatan untuk memperoleh promosi. 3. Coworkers, Seberapa baik hubungan antara sesama rekan kerja. 4. Human relations supervisions, Kemampuan atasan
dalam
menjalin
hubungan
interpersonal. 5. Technical supervisions, Kemampuan atau skill atasan
menyangkut
segala
sesuatu
yang
berhubungan dengan pekerjaan. 6. Company policies and practise, Seberapa jauh perusahaan menyenangkan para pekerja. 7. Working conditions, Kondisi pekerjaan seperti jam kerja, temperatur, perlengkapan kantor serta lokasi pekerjaan. 8. Recognition,
Pujian
yang
diperoleh
ketika
menyelesaikan pekerjaan yang baik. 2.4. Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini yang terkait dengan kinerja karyawan adalah sebagai berikut:
76
Indah Wijaya (2011), tentang Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Transformasional,
Kepuasan
kerja
Terhadap Kinerja Pegawai di Badan Pemberdayaan Perempuan
dan
Keluarga
Berencana
Kabupaten
Jember. Berdasarkan hasil perhitungan maka variabel bebas yang paling dominan memberikan pengaruh terhadap Kinerja Pegawai (Y) yaitu gaya Kepemimpinan transformasional (X1) sebesar 50,42 persen sedangkan pengaruh Kepuasan Kerja Pegawai (X2) sebesar 36,625 persen.
bahwa
Menunjukkan
variabel
gaya
kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai yang ada di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Jember. Penelitian oleh Anikmah (2008) mengenai Pengaruh Kepemimpinan Transformasional
dan Motivasi Kerja
Terhadap Kinerja Karyawan (Survey Pada PT. Jati Agung Arsitama Grogol Sukoharjo). Hasilnya adalah kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Hal ini terbukti dari nilai koefisien 0,485
kepemimpinan menyatakan
transformasional
jika
terjadi
sebesar
peningkatan
kepemimpinan transformasional sebesar satu satuan maka kinerja karyawan akan mengalami peningkatan sebesar 0,485 satuan. Dari pengujian yang telah dilaksanakan menghasilkan nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,685 sehingga dapat dikatakan bahwa hasil
77
pengujian yang dilakukan memberikan hasil yang baik (goodness of fit). Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 68,5% variasi dari kinerja karyawan dapat dijelaskan oleh variabel kepemimpinan transformasional. Suyuthi,
Hamzah
dan
Payangan
(2006)
dalam
penelitian mengenai Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional Terhadap Kinerja Melalui Kepuasan Kerja Karyawan Pada PT. Telkom Divre
VII
Makasar.
Hasil
analisis
menunjukkan
pengaruh langsung kepemimpinan transformasional terhadap kinerja adalah sebesar 28,09%. Jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruh kepemimpinan transformasional
terhadap
kinerja
adalah
positif.
Artinya semakin baik kepemimpinan transformasional yang diterapkan oleh pimpinan, maka kinerja karyawan semakin baik. Baiknya kepemimpinan transformasional dapat
memberikan
karyawan pengaruh
yang ini
pengaruh
membaik.
menunjukkan
terhadap
Interpretasi bahwa
kinerja lemahnya
kepemimpinan
transformasional pengaruhnya sangat signifikan. Hasil analisis
yang
menunjukkan
besarnya
pengaruh
langsung kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan sebesar 7,54%. Kepuasan kerja dapat menjadi salah satu komponen yang mampu menjelaskan perbaikan kinerja. Sedangkan dari pola hubungan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan diketahui adalah positif. Akan tetapi jika dilihat besarnya pengaruh kepuasan
78
kerja ini terhadap kinerja karyawan, dapat dikatakan kuat.
Artinya
kepuasan
kerja
dianggap
memiliki
pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan kinerja karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh A. Senthamil Raja dan P. Palanichamy (2011) mengenai Transformational Leadership
Styles
menghasilkan
and
Employee
kepemimpinan
Performance,
transformasional
dan
kinerja karyawan dengan adjusted R adalah tinggi (Disesuaikan
R ² = 0,632), yaitu, 63% dari kinerja
karyawan dijelaskan oleh model ini. Hal ini berarti bahwa ada bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa ada hubungan yang linear dan positif antara kepemimpinan transformasional dan kinerja karyawan dengan tingkat signifikansi 5%. Penelitian yang dilakukan oleh Mokgolo,
Patricia
Mokgolo,
Mike
Manasseh M. Modiba
(2012),
mengenai Transformational leadership in the South African public service after the April 2009 national elections dengan hasil untuk dimensi pengaruh idealis adalah prediktor terbaik dari prestasi kerja (β = 0.31; p ≤ 0.001). Stimulasi Intelektual, pertimbangan individual dan motivasi inspirasional (β = 0.22, p ≤ 01; β = 0.13, p ≤ 0.001, dan β = 0.12, p ≤ 0.01) dengan signifikansinya (disesuaikan R2 = 0.60). Menunjukkan bahwa variabel independen menyumbang 60% dari varians dalam
79
kinerja. Hasil menunjukkan korelasi yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dan kinerja. Penelitian yang dilakukan oleh Komardi (2009) mengenai Pengaruh kepemimpinan Transformasional dan Transaksional serta motivasi kerja terhadap kinerja dan kepuasan individual karyawan dalam organisasi perusahan industri Telekomunikasi. Dari hasil uji persamaan
struktural
transformasional pengujian
hubungan
dan
kinerja
hipotesis
kepemimpinan
berdasarkan
pengaruh
antar
hasil
variabel
kepemimpinan transformasional membuktikan bahwa kepemimpinan
transformasional
berpengaruh
non
signifikan terhadap kinerja karyawan. Dari
penelitian-penelitian
terdahulu
ini
menghasilkan pengaruh yang positif kepemimpinan transformasional terhadap kinerja. Tetapi ada juga menghasilkan kinerja.
pengaruh
Itu
berarti
non
signifikan
bahwa
terhadap
kepemimpinan
transformasional tidak harus dipahami dalam konteks kekurangan
dan
kelemahan
bawahan
namun
kepemimpinan transformasional mempunyai peranan penting terhadap peningkatan kinerja dalam suatu organisasi.
Oleh
sebab
itu
gaya
kepemimpinan
transformasional perlu diterapkan dan dipakai sebagai kepemimpinan
yang
mempunyai
mempengaruhi
bawahan
sebagai
pengaruh penggerak
yang dalam
organisasi demi tercapainya visi dan misi organisasi.
80
Dari hasil penelitian pro dan kontra ini maka perlu diteliti kembali menjadi suatu referensi terbaru dalam penelitian selanjutnya. Penelitian oleh Purwanto dan Wahyudin (2004) tentang
Pengaruh
Faktor-faktor
Terhadap
Kinerja
Komputer
Akuntansi
Karyawan IMKA
Kepuasan Pusat
di
Kerja
Pendidikan
Surakarta.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan, baik secara bersama-sama maupun secara
masing-masing.
kepuasan
kerja
peningkatan
dan
kepuasan
Hubungan
kinerja kerja
semua
searah, akan
yaitu
aspek setiap
meningkatkan
kinerja pula. Penelitian oleh Nursiah (2008) tentang Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Indosat Devisi Regional Medan.
Ditemukan
bahwa
secara
serempak
kepemimpinan dan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Secara parsial gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap
karyawan,
kepuasan
kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh penelitipeneliti terdahulu menghasilkan hasil yang sama yaitu kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja. Ini berarti bahwa kepuasan kerja merupakan faktor
81
kinerja yang mempunyai pengaruh besar terhadap pegawai. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang sifatnya subjektif. Tiap individu memiliki tingkat kepuasan berbeda-beda sesuai dengan sistim nilai yang berlaku pada dirinya. Kepuasan kerja yang semakin baik akan membuat karyawan merasa termotivasi untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dengan sebaik-baiknya yang berakibatkan pada penyelesaian tugas sesuai waktu yang telah ditetapkan. Namun, ada penelitian oleh Gosal (2011) mengenai Analisis
Pengaruh
Komitmen
Organisasional
dan
Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada CV Karya Sejahtera yang menghasilkan kepuasan kerja para karyawan di CV Karya Sejahtera dilihat dari ratarata sebesar 3,8617 adalah sangat baik. Dan rata-rata kinerja karyawan yang baik juga sebesar 3,1476. Tetapi kepuasan
kerja
tidak
memiliki
pengaruh
secara
signifikan terhadap kinerja karyawan. Ini disebabkan karena adanya faktor lain. Kepuasan Kerja tidak berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
kinerja
karyawan yang dapat dilihat pada faktor kepuasan fisik dan kepuasan psikologi yang masih kurang pada perusahaan. Dimana karyawan merasa kurang puas karena diharuskan agar selalu disiplin dalam bekerja dan juga harus fokus dalam setiap pekerjaan yang diberikan sebab jika tidak sesuai, maka dapat diberi
82
sanksi
sesuai
kesepakatan
yang
telah
disepakati
dengan karyawan, selain itu juga karyawan yang merasa kurang nyaman dengan keadaan ruangan/ suhu
di
tempat
kerja.
Jadi
kepuasan
kerja
di
perusahaan saat ini harus lebih ditingkatkan. 2.5. Hipotesis Kepemimpinan kerja
sebagai
transformasional
prediktor
secara
dan
kepuasan
bersama-sama
berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai Kantor Pertanahan Kota Ambon. 2.6.
Model Penelitian Berdasarkan
tinjauan
pustaka
di
atas
menyangkut variabel kepemimpinan transformasional dan
kepuasan
selanjutnya
kerja
dibentuk
terhadap sebuah
kinerja
kerangka
pegawai, pemikiran
teoritis yang akan digunakan sebagai acuan untuk pemecahan masalah. (Daga, 2006). Pemikiran teoritis yang dibangun ditampilkan pada gambar dibawah ini: Gambar 2.1 Kerangka pemikiran Kepemimpinan Transformasional (X1) KinerjaPegawai (Y) Kepuasan Kerja (X2)