BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
Pendampingan Pastoral Dalam perspektif sejarah peradaban manusia, sesungguhnya usia pendampingan setua
umur manusia di bumi. Pendampingan merupakan cara manusia memberadakan dan memberadabkan diri.1 Ada beberapa anggapan dasar yang yang digunakan oleh para praktisi dalam praktek pendampingan:2 1. Proses pendampingan sebagai “percakapan”. Dalam hal ini, pendampingan dianggap sama dengan percakapan antara pendamping dan orang yang didampingi. 2. Pendampingan sebagai proses wawancara. Anggapan dasar ini tak jauh beda dengan yang pertama, yakni percakapan. Namun bila kita menganggap pendampingan sebagai wawancara, maka kita mengandalkan praktik kita juga pada relasi verbal. Dalam proses wawancara biasanya pewawancara sudah menyusun agenda sebelum bertemu dengan orang yang akan diwawancarai. Berbagai jenis pertanyaan sudah dipersiapkan. Kalau perlu pewawancara berlatih dulu untuk mewawancarai. Biasanya, pewawancara ingin mendapat penjelasan atau informasi dari orang yang diwawancarai. Dengan kata lain, pendampingan dipakai sebagai alat untuk mencari informasi.
3. Pendampingan sebagai wawan wuruk.
1
Totok S. Wiryasaputra. Ready to Care: Pendampingan dan Konseling Psikologi. (Yogyakarta: Galang Press, 2006), 17. 2 Ibid, 51-56.
Anggapan ini agak berbeda dari kedua anggapan sebelumnya. Wawan artinya percakapan dan wuruk dalam bahasa Jawa artinya mengajar, mendidik, atau menasihati. Pendampingan ini diorientasikan pada pendidikan dan pengajaran. 4. Pendampingan sebagai konsultasi. Dalam hal ini pendamping dianggap sebagai konsultan ahli. Pendamping diharapkan dapat menemukan sumber utama persoalan yang sedang dihadapi, kemudian dapat memberikan resep tertentu untuk memecahkan persoalan yang dialami oleh orang yang didampingi. 5. Pendampingan sebagai proses terapi. Dalam hal ini, pendampingan diarahkan pada penyembuhan penyakit atau ketidaknormalan. Sedangkan istilah pastoral berasal dari kata pastor dalam Bahasa Latin yang artinya “gembala”. Secara tradisional dalam kehidupan gerejawi hal ini merupakan tugas pendeta yang harus menjadi gembala bagi jemaat atau dombaNya. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karyaNya sebagai “Pastor Sejati atau Gembala Yang Baik”. Istilah pastor dalam konotasi praktisnya berarti merawat atau memelihara. Sikap pastoral harus mewarnai semua sendi pelayanan setiap orang sebagai orang-orang yang sudah dirawat dan diasuh oleh Allah secara sungguh-sungguh. Penggembalaan adalah istilah struktural untuk mempersiapkan rohaniawan untuk tugas pastoral atau tugas pelayanan. Richard P. McBrien, seorang teolog Roma Katholik menguraikan suatu teologi pelayanan yang melihat pendampingan pastoral dapat dilakukan pada 4 level:3 1. Umum/universal yaitu pelayanan yang dilakukan oleh setiap manusia terhadap sesama manusia
3
yang
membutuhkannya.
Suatu
pelayanan
Phan Bien Ton. Perkembangan Paradigma Pendampingan Pastoral Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan, Vol. 2, No. 3/2000), 63-64.
yang
berakar
pada
di Indonesia. (Jurnal Studi
kemanusiaan/humanitas. Misalnya: demonstrasi melawan senjata nuklir, membantu orang yang kelaparan, membantu korban bencana alam, dsb. 2. Umum/spesifik yaitu pelayanan untuk sesama manusia yang dilakukan oleh profesi pertolongan seperti: perawat, pekerja sosial, bantuan hukum, pengobatan, dsb. Pelayanan ini berakar pada kemanusiaan, namun juga kompetensi tertentu yang membutuhkan validasi tertentu seperti lisensi keprofesionalan oleh yang berwenang. 3. Kristen/universal yaitu pelayanan kepada sesama yang dilakukan di dalam Kristus dan oleh karena Kristus. Pelayanan ini berakar pada baptisan setiap anggota gereja. Pelayanan umum/universal yang dilaksanakan oleh seorang Kristen dapat dikatakan merupakan pelayanan Kristen/universal ini jika dilakukan dengan motif-motif Kristen secara eksplisit. 4. Kristen/spesifik, yaitu pelayanan untuk sesama di dalam Kristus dan oleh karena Kristus, atas nama gereja dan demi membantu gereja melaksanakan misi-Nya. Ini merupakan pelayanan yang ditetapkan oleh gereja, yang dilakukan hanya oleh orang-orang tertentu. Seorang Kristen yang mengunjungi orang sakit atas prakarsanya sendiri, melakukan pelayanan Kristen/universal, tetapi orang Kristen yang mengunjungi orang sakit sebagai bagian dari tugasnya dalam Tim Visitasi Gereja, melakukan pelayanan Kristen/spesifik. Secara tradisional fungsi pastoral ada empat, keempat fungsi pastoral itu adalah:4 1. Penyembuhan Yang dimaksudkan dengan penyembuhan adalah salah satu fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya. Dalam hal ini jika dihubungkan dengan PSK, maka fungsi pastoral ini dapat mengatasi kerusakan moral
4
Mesach Krisetya. Teologi Pastoral..., 4-5.
dengan cara mengembalikan PSK itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya. 2. Penopangan Penopangan berarti menolong orang yang ”terluka” untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang di dalamnya pemulihan kepada kondisi semula atau penyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis kemungkinannya. Dalam hal ini jika dihubungkan dengan PSK, fungsi pastoral ini dapat menolong PSK untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang di dalamnya ada pemulihan kepada kondisi semula dalam kehidupan bermasyarakat. 3. Pembimbingan Membantu orang-orang yang kebingungan untuk menentukan pilihan-pilihan yang pasti di antara berbagai pikiran dan tindakan alternatif, jika pilihan-pilihan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan yang akan datang. Dalam hal ini jika dihubungkan dengan PSK, fungsi pastoral ini dapat membantu PSK yang kebingungan untuk menentukan pilihan-pilihan yang pasti di antara berbagai pikiran dan tindakan alternatif bagi masa depannya. 4. Pendamaian Berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan Allah. Secara tradisi perdamaian menggunakan dua bentuk—pengampunan dan disiplin, tentunya dengan didahului oleh pengakuan. Dalam hal ini jika dihubungkan dengan PSK, fungsi pastoral ini membangun ulang relasi PSK dengan sesamanya dan antara PSK dengan Allah, dengan begitu maka ada pengampunan bagi PSK yang memiliki keinginan untuk kembali ke masyarakat.
B.
Pelacuran
1.
Pengertian Pelacuran Pelacuran berasal dari bahasa latin Prostituere atau Prostauree, yang berarti membiarkan
diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan. Para wanita yang melakukan pelacuran sekarang ini dikenal dengan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial) yang diartikan sebagai wanita yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang, di luar perkawinan yang sah dan mendapatkan uang, materi atau jasa.5 Jenis Pelacuran dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu:6 1. Pelacuran Terdaftar Pelacuran ini pelakunya diawasi oleh Vice Control dari Kepolisian, bekerja sama dengan jawatan sosial dan jawatan kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir, dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapatkan suntikan serta pengobatan sebagai tindakan dan keamanan umum. 2. Pelacuran tidak terdaftar Pelacuran dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelapgelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya pun tidak tertentu. Bisa di sembarang tempat, baik mencari “mangsa” sendiri, maupun melalui calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib, sehingga kesehatannya sangat diragukan karena biasanya tidak mau memeriksakan kesehatannya ke dokter. Menurut jumlahnya Pelacur dapat dibagi dalam:7 1. Pelacur yang beroperasi secara individual; merupakan “single operator” 5
B Simanjuntak. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. (Bandung: Tarsito, 1982), 25. Kartini Kartono. Patologi Sosial Jilid I..., 214. 7 Ibid. 6
2. Pelacur yang bekerja dengan bantuan organisasi dan “sindikat” yang teratur rapi. Mereka tidak bekerja sendirian; akan tetapi diatur melalui satu sistem kerja suatu organisasi. Menurut tempat penggolongan atau lokasinya, pelacuran dapat dibagi menjadi:8 1. Segresi atau lokalisasi, tempatnya terisolir atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Kompleks ini dikenal sebagai daerah “lampu merah”, atau petak-petak daerah tertutup. 2. Rumah-rumah panggilan (call houses, tempat rendezvous, parlour). 3. Di balik front-organisasi atau dibalik bisnis-bisnis terhormat (apotik, salon kecantikan, rumah makan, tempat mandi uap, tempat pijat dan lain-lain). Lokalisasi pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu merah, dikelola oleh mucikari atau germo. Di luar negeri, germo mendapat sebutan “madam”, sedang di Indonesia mereka dipanggil dengan sebutan “mama” atau ‘mami”. Tempat tersebut menyediakan segala perlengkapan seperti tempat tidur, kursi tamu, pakaian dan alat berhias. Juga tersedia bermacam-macam gadis dengan tipe karakter dan suku bangsa yang berbeda. Di tempat lokalisasi tersebut menerapkan disiplin dengan ketat: misalnya: tidak boleh mencuri uang langganan, dilarang merebut langganan orang lain, tidak boleh mengadakan janji diluar, dilarang memonopoli seorang langganan dan lain-lain. PSK harus membayar pajak rumah dan pajak obatobatan, sekaligus juga uang keamanan agar mereka terlindung dan terjamin identitasnya. Suasana dalam kompleks PSK itu sangat kompetitif, khususnya dalam bentuk persaingan memperebutkan langganan. Biasanya nama-nama PSK umumnya diganti, untuk menjaga keaslian identitasnya, agar mereka tidak dikenal oleh saudaranya. Saingan berat bagi para PSK ialah wanita-wanita dan gadis-gadis yang secara individual beroperasi bebas (pelacur individual). 2.
Motif-Motif Yang Melatar belakangi Pelacuran
8
Ibid. 216.
Pelacuran merupakan bentuk penyimpangan seksual, dengan pola organisasi impulsimpuls dengan dorongan seks atau dorongan seks yang tidak wajar, dan dorongan seks yang tidak terintegrasi dalam kepribadian, sehingga relasi seks itu sifatnya impersonal, tanpa afeksi dan emosi (kasih sayang), berlangsung cepat, tanpa mendapatkan orgasme di pihak wanita. Pelacur wanita disebut PSK atau pekerja seks komersial. Dengan adanya unsur komersialisasi itu, pelacuran merupakan satu “profesi” paling tua sepanjang sejarah manusia. Motif-motif yang mendorong banyak wanita untuk memilih pelacuran sebagai mata pencaharian, antara lain ialah :9 1.
Aspirasi materiil tinggi dibarengi dengan usaha mencari kekayaan lewat jalan yang mudah dan “bermalas-malas”.
2.
Memberontak terhadap otoritas orang tua.
3.
Ada disorganisasi kehidupan keluarga atau “broken home”.
4.
Penundaan perkawinan jauh sesudah kematangan biologis.
5.
Bermotifkan standar hidup atau ekonomis yang tinggi, yang mendorong makin pesatnya tumbuhnya pelacuran.
6.
Ajakan teman-teman sekampung atau sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran. Beberapa sebab mengapa banyak kaum laki-laki melakukan relasi seks dengan PSK
antara lain ialah:10 1. Mencari variasi dalam relasi seks, 2. Nafsu kelamin laki-laki, untuk menyalurkan kebutuhan seks tanpa satu ikatan, 3. Rasa iseng, dan ingin mendapatkan pengalaman relasi seks diluar ikatan perkawinan,
9
Ibid, 232. Ibid, 234.
10
4. Jauh dari isteri karena melakukan tugas, 5. Tidak mendapatkan kepuasan dalam penyaluran kebutuhan seks, dengan partner atau isterinya, 6. Tidak perlu bertanggung jawab atau akibat relasi seks dirasakan lebih ekonomis. Misalnya tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu membina rumah tangga dan menjamin kehidupan isteri. Namun bisa bersenang-senang dengan banyak wanita. 3.
Tujuan Didirikannya Lokalisasi Lokalisasi itu pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu merah, yang
dikelola oleh mucikari atau germo. Di tempat tersebut disediakan segala perlengkapan, tempat tidur, kursi tamu, pakaian, dan alat berhias. Suasana dalam kompleks lokalisasi wanita pelacur itu sangat kompetitif, khususnya dalam bentuk persaingan memperebutkan langganan. Namanama wanita pelacur pada umumnya sudah diganti, untuk menjaga keaslian identitasnya, juga agar mereka tidak dikenal oleh handai tolan lama. Solidaritas di kalangan pelacur itu sangat kecil, terkecuali pada saat-saat menghadapi bahaya, dan sewaktu diadakan penangkapan oleh pihak yang berwajib. Saingan berat bagi para PSK ialah wanita-wanita dan gadis-gadis yang secara individual beroperasi bebas. Adapun tujuan dari lokalisasi itu sendiri ialah:11 1. Untuk menjauhkan masyarakat umum, terutama anak-anak puber dan adolesens dari pengaruh-pengaruh immoral dari praktek pelacuran, juga menghindarkan gangguangangguan kaum pria hidung belang terhadap wanita-wanita baik, 2. Memudahkan pengawasan para PSK, terutama mengenai kesehatan dan keamanannya. Memudahkan tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit kelamin,
11
Ibid, 216-217.
3. Mencegah pemerasan yang keterlaluan terhadap para PSK yang pada umumnya selalu menjadi pihak yang paling lemah, 4. Memudahkan bimbingan mental bagi para PSK, dalam usaha rehabilitasi dan resosialisasi. Kadang kala juga diberikan pendidikan keterampilan dan latihan-latihan kerja, sebagai persiapan untuk kembali ke dalam masyarakat biasa, khususnya diberikan pelajaran agama guna memperkuat iman, agar bisa tabah dalam penderitaan.
4.
Akibat-Akibat Didirikannya Lokalisasi Seks sering diartikan oleh manusia sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kelamin dan
selalu ada perkembangan. Menurut Feuct “keinginan seks sangat perlu dan penting seperti rasa haus dan lapar”, sehingga pemenuhannya tidak dapat ditahan yang terkadang melewati batasbatas normal.12 Tuhan menciptakan manusia dengan dorongan seksual yang begitu kuat, sehingga manusia tidak memiliki pilihan lain, keinginan untuk dipuaskan oleh lawan seksnya adalah wajar dan sebagaimana nyala api yang membakar habis jerami yang dilaluinya. 13 Praktek pelacuran merupakan problem sosial yang memerlukan penanganan yang bijaksana oleh pemerintah karena bersifat kompleks dan dilematis. Disebut kompleks karena praktek pelacuran dilatar belakangi oleh berbagai macam faktor yang mendorong
seperti
ekonomi, mental, penyakit kelainan seks dan lain sebagainya. Dilematis karena disatu sisi sebagian masyarakat merasa terganggu dan ingin mengatasinya, di sisi lain sebagian masyarakat menggunakan jasanya. Selain itu praktek pelacuran oleh sebagian masyarakat tidak dirasakan sebagai persoalan, justru sebaliknya dengan praktek pelacuran itu mereka banyak diuntungkan secara ekonomis, misalnya para pedagang makanan dan minuman di sekitar lokalisasi, 12
Lumoindang, Reindra dan Gilbertz. Pelacuran dibalik Seragam Sekolah: Tinjauan etis Teologis Terhadap Praktik Hubungan Seks Pranikah. (Yogyakarta: Yayasan Andi Nugraha, 1996), 60. 13 Ibid, 59.
persewaan rumah oleh masyarakat di sekitar lokalisasi dan lain-lain. Walaupun demikian, pelacuran merupakan problem sosial yang menyangkut ukuran nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat, karena sifatnya sebagai problem sosial perlu penanganan secara serius dan tidak hanya dipandang sebagai problem masyarakat secara sosiologis. Banyak penelitian dan penanganan kesejahteraan sosial yang sudah dilakukan, namun demikian realitas menunjukkan bahwa PSK dan praktek pelacuran masih terus berlangsung dan menjadi permasalahan sosial serta makin meluas di kota-kota di Jawa Tengah. Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran adalah:14 1. Menimbulkan dan menyebar luaskan penyakit kelamin dan kulit. Penyakit yang banyak terdapat ialah syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah). Akibat utama yang ditimbulkan dari syphilis yaitu, bisa menimbulkan cacat jasmani dan rohani pada diri sendiri dan anak keturunan, antara lain ialah: (1) Congenital Syphilis (sipilis herediter/ keturunan) yang menyerang bayi semasa dalam kandungan, sehingga terjadi keguguran atau bayi lahir mati. Jika bayi bisa lahir, biasanya kurang bobot, kurang darah, buta, tuli, kurang intelegensinya, defekt (rusak cacat) mental dan defekt jasmani lainnya. (2)
Syphilis Amentia, yang
mengakibatkan cacat mental ringan, retardasi atau lemah ingtan dan imbisilitas. Sedang yang berat bisa mengakibatkan serangan
epilepsi atau ayan, kelumpuhan sebagian atau
kelumpuhan total; bisa jadi idiot psikotik, atau menurunkan anak-anak idiot. 2. Merusak sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarganya menjadi berantakan. 3. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali menggoyahkan norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum dan agama, karena digantikan dengan pola pemuasan kebutuhan seks dan kenikmatan seks yang murah 14
Kartini Kartono. Patologi Sosial Jilid I..., 212-213.
serta tidak bertanggung jawab. Bila pola pelacuran ini telah membudaya, maka rusaklah sendi-sendi kehidupan keluarga yang sehat. 4. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya PSK itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya, karena sebagian besar harus diberikan kepada germo, calo-calo, centeng-centeng, dan lain-lain. Pelacuran itu tumbuh dengan pesatnya di kota-kota yang tengah berkembang, yaitu meluas dengan cepat oleh: pendirian kompleks industri baru, kemunculan berbagai sekolah, universitas dan akademi; semakin besar kebutuhan kaum pria akan pemuasan dorongan seksnya sebagai kompensasi dari kegiatan kerjanya setiap hari untuk melepaskan segenap ketegangan, semakin pesat pula pertumbuhan pusat pelacuran di kota-kota.15
C.
Pandangan Alkitab Terhadap PSK Sebelum menguraikan mengenai pandangan warga jemaat GBI Bandungangn terhadap
PSK Bandungan, penulis akan memaparkan mengenai pandangan Alkitab terhadap PSK. Selama ini isu PSK dalam Alkitab terkait dengan bagaimana isu seksualitas perempuan dikonstruksikan dan dinilai. Dalam Alkitab, PSK adalah “penyakit sosial” atau “dosa”. Dalam Kitab Perjanjian Lama, disebutkan bahwa hukuman bagi perzinahan adalah melempari pelakunya dengan batu sampai mati (Ulangan 22:22-24 dan Imamat 20:10). Ada banyak teks yang menggunakan istilah “perempuan sundal” yang berkonotasi negatif: bukan saja orang berdosa, warga paria yang dikucilkan, dicemooh, tetapi juga distereotipkan dengan ungkapan cibiran seperti “…seorang perempuan, berpakaian sundal dengan hati licik; cerewet dan liat perempuan ini, kakinya tak dapat tenang di rumah, sebentar ia di jalan dan sebentar di lapangan, dekat setiap tikungan ia menghadang” (Amsal 7: 10–12). Teks Kitab Hosea menganalogikan Israel yang murtad dari 15
Ibid, 218.
Allah sebagai “perempuan sundal”: Berfirmanlah ia kepada Hosea: “Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi TUHAN.” (Hosea 1: 2), dan teks kitab Yehezkiel menceritakan tentang perempuan sundal kakak beradik, bernama Ohola dan Oholiba, mereka berdua adalah analogi dari Samaria dan Yerusalem yang murtad dari Allah. Satu-satunya teks yang “memperdengarkan” suara perempuan yang diberi label “sundal” adalah kisah Tamar dengan mertuanya, Yehuda (Kejadian 38). Tamar melakukan “persundalan” dengan Yehuda sebagai strategi untuk membalas tindakan mertuanya yang ingkar janji memberikan Syela, anaknya, untuk menjadi suaminya. Agama Yahudi di masa Perjanjian Baru, khususnya di masa Yesus juga menganggap negatif praktek pelacuran. Karena itu orang baik-baik biasanya tidak mau bergaul dengan mereka bahkan menjauhkan diri dari orang-orang seperti itu. Namun demikian Yesus digambarkan dekat dengan orang-orang yang disingkirkan oleh masyarakat seperti para pelacur, pemungut cukai, dll. Injil Matius melukiskan demikian: "Kata Yesus kepada mereka: ’Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah'." (Matius 21:31). Bahkan Yesus diceritakan dalam Perjanjian Baru pernah membebaskan seorang perempuan yang tertangkap basah sedang berbuat zinah, saat itu Yesus berkata kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang hendak menghukum perempuan itu: ”Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yoh:8:7).
D.
Definisi dan Panggilan Tugas Gereja
Kata "gereja" acap kali diasosiasikan orang dengan beragam arti. Orang mengartikannya sebagai gedung, tempat umat Kristen melakukan kebaktian, ada juga yang mengartikan sebagai Institusi/lembaga dan sebuah organisasi.
Penggunaan istilah Gereja tanpa memperdulikan
keragaman makna serta keberbagaian konotasi dapat menimbulkan kerancuan bahkan distorsi. Kata Gereja berasal dari bahasa Portugis "igreja" (Bahasa Latin: ecclesia. Bahasa Yunani: ekklesia) yang kemudian masuk menjadi kosa kata bahasa Indonesia.16 Ekklesia berarti dipanggil keluar, yaitu orang-orang merdeka yang dipanggil berhimpun untuk suatu pertemuan.17 Dengan menggunakan pengertian ini, maka yang tergabung dalam persekutuan ini adalah orang-orang pilihan yang sudah dipanggil keluar dari lingkungannya yang gelap. Tetapi pada saat yang sama, mereka yang sudah dipanggil keluar tersebut
kembali diutus ke dalam dunia, ke dalam
lingkungannya untuk menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14). Itu berarti Allah memanggil umat pilihanNya bukan untuk dijadikan umat simpanan-Nya atau menjadi suatu umat yang diisolirkan dari lingkungan masyarakat sekitarnya (eksklusive). Oleh sebab itu, makna gereja yang sejati bukan hanya terletak pada pemilikan nota ecclesiae: adanya pemberitaan Firman Allah yang benar; penyelenggaraan sakramen yang betul dan penegakkan disiplin, tetapi juga harus menjadi gereja bagi orang lain.18 Gereja-gereja di Indonesia melalui dokumen Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) yang diputuskan Sidang Raya XII PGI 1994 memberikan rumusan tentang Gereja secara padat, antara lain:19
16
Weinata Sairin. Gereja dan Perkembangan Kehidupan Bangsa. (Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan, Vol. 2, No. 2/2000), 37. 17 Ibid. 18 David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 575. 19 PGI. Lima Dokumen Keesaan Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 53-54.
a. Roh Kudus menghimpun umatNya dari segala bangsa, suku kaum dan bahasa ke suatu persekutuan yaitu: Gereja, dimana Kristus adalah Tuhan dan kepala (Efesus 4:3-16, Wahyu 7:9). Roh Kudus juga telah memberikan kuasa kepada Gereja dan mengutusnya ke dalam dunia untuk menjadi saksi, memberitakan Injil Kerjaan Allah, kepada segala makhluk ke semua tempat dan sepanjang jaman (Kisah Para Rasul 1:8; Markus 16:15, Matius 28:1920). Dengan demikian Gereja tidak hidup untuk dirinya sendiri. Sama seperti Kristus telah meninggalkan kemuliaanNya di sorga, mengosongkan diri dan menjadi manusia (Yohanes 1:1, 14; Filipi 2:6-8) dan tergerak hatinya oleh belas kasihan kepada semua orang yang menderita karena pelbagai penyakit, dan kelemahan yang merindukan kelepasan, dapat mengalami pembebasan dan penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus (Matius 9:35-38; Lukas 4:18-19). Dengan demikian Gereja dan warganya akan dapat menghayati dengan sungguh-sungguh makna dari baptisan dan perjamuan kudus yang senantiasa dilayankan bersama-sama dengan pemberitaan Firman Allah di tengah-tengah ibadah Gereja sebagai tanda keberadaan dan kekudusanNya. b. Gereja ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks, sosial politik, ekonomi dan budaya tertentu. Demikian halnya Gereja-gereja di Indonesia dipanggil dan ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan tugas panggilannya di tengah-tengah bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang diyakini sebagai anugerah Tuhan. Kehadiran Gereja-gereja di Indonesia dalam negara kesatuan Republik Indonesia merupakan tanda pengutusan Tuhan sendiri agar Gereja-gereja secara aktif dan kreatif mengambil bagian dalam mewujudkan perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan di Indonesia. Disamping itu Gereja terpanggil secara aktif dan kreatif mengambil
bagian dalam usaha mencegah segala hal yang merongrong dan merendahkan harkat dan martabat manusia Indonesia serta segala hal yang merusak lingkungan alam Indonesia. Tugas panggilan itu dilaksanakan melalui berbagai upaya pencegahan sekaligus upaya pembelaan dan penegakkan hukum/keadilan bagi seluruh rakyat dan tanah tumpah darah Indonesia. c. Gereja mengakui bahwa negara adalah alat dalam tangan Tuhan yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Akan tetapi sebagai lembaga keagamaan yang otonom, Gereja mengemban fungsi dan otoritas yang bebas dari pengaruh negara, dan sebaliknya Gereja tidak berhak untuk mengatur kehidupan negara oleh karena negara mempunyai fungsi tersendiri dalam menjalankan panggilan di dunia (Roma 13:17; I Petrus 2:13-14). Dengan demikian Gereja dan negara harus membina hubungan yang koordinatif dan bukan hubungan subordinatif dimana yang satu menguasai yang lain. Gereja dan negara masing-masing mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab untuk kebaikan seluruh manusia bahkan seluruh ciptaan. Gereja mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum negara, sebaliknya negara berkewajiban mengayomi dan melindungi seluruh rakyatnya termasuk Gereja, agar leluasa dalam menjalankan fungsi dan panggilannya masing-masing (I Petrus 2:16). Gereja diutus ke tengah-tengah dunia oleh Allah untuk menjalankan tugas panggilannya secara konsisten dan konsekuen. Tiap Gereja adalah ungkapan dari Gereja yang kudus dan am, yaitu persekutuan orang-orang percaya, pria-wanita, tua, muda di segala tempat di sepanjang jaman. Gereja di semua tempat di sepanjang jaman terpanggil untuk:20 a. Menampakkan keesaan mereka seperti keesaan tubuh Kristus dengan rupa-rupa karunia (I Korintus 12:4). 20
Weinata Sairin. Ibid, 37.
b. Memberitakan Injil kepada segala makhluk (Markus 16:15). c. Menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakkan keadilan (Markus 10:45; Lukas 4:18; 10:25-37; Yohanes 15:16). Tugas panggilan Gereja itu adalah kelanjutan dari misi Yesus Kristus yang telah diutus oleh Allah untuk menyelamatkan dunia ini dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah. Tugas panggilan Gereja tidak pernah berubah di semua tempat dan dalam segala jaman. Sebab Gereja hidup oleh Kristus dan bagi Kristus. Dan Kristus tidak berubah, karena Ia adalah sama kemarin, hari ini, esok dan selama-lamanya.
E.
Pelayanan Pastoral Gereja dan Kaitannya Dengan PSK Pelayanan pastoral adalah suatu pelayanan yang sangat vital dalam gereja. Pelayanan
pastoral memegang peranan yang sangat penting di dalam pertumbuhan sebuah gereja. Salah satu tanda bahwa sebuah gereja bertumbuh dapat diukur dengan bagaimana kualitas pelayanan pastoral yang dilakukan oleh gereja kepada jemaatnya.21 Apabila pelayanan pastoral yang dimiliki oleh sebuah gereja kuat, maka dapat dipastikan bahwa gereja akan bertumbuh menjadi kuat. Sebaliknya apabila pelayanan pastoral di dalam sebuah gereja lemah, maka dapatlah diprediksi bahwa gereja akan menjadi lemah dan tidak dapat bertumbuh sebagaimana yang diharapkan. Ibarat seorang anak yang membutuhkan perhatian yang optimal dari orangtuanya agar dia kelak akan bertumbuh dengan sehat, demikian pula gereja terhadap jemaat. Salah satu tujuan pelayanan pastoral yang dilakukan oleh para abdi Allah di dalam gereja adalah membuat suatu transformasi atau perubahan di dalam hidup jemaat yang dilayaninya serta dalam lingkungannya. Sudah barang tentu perubahan yang dimaksud adalah suatu perubahan
21
Agung Gunawan. Teori Perubahan: Pelayanan Pastoral Yang Transformatif. (Jurnal Theologia Aletheia, Volume 6 Nomor 11, September 2004), 3.
seseorang ke arah yang positif atau yang lebih baik. Seorang jemaat yang imannya pada awalnya belum memiliki kualitas iman yang sejati, diharapkan dengan pelayanan pastoral yang dilakukan oleh pendeta akan menolong jemaat tersebut bertumbuh dalam kualitas imannya. Dalam hal ini, pelayanan pastoral suatu gereja kepada PSK dapat melalui khotbah dan pembinaan yang juga merupakan dimensi pelayanan pastoral seorang pendeta. Dalam suatu gereja, seorang jemaat yang memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang atau pun tidak selaras dengan nilai-nilai kekristenan, melalui bimbingan seorang gembala diharapkan dapat menjadi domba-domba yang tidak tersesat dan tidak berjalan menurut keinginannya sendiri. Apabila ada jemaat yang mengalami masalah-masalah psikologis yang cukup berat, sehingga mengakibatkan mereka tidak dapat menikmati hidup yang Tuhan telah anugerahkan kepada mereka; seorang Pendeta harus mampu menolong mereka untuk dapat merubah kondisi mereka melalui pelayanan pastoral agar mereka dapat keluar dari permasalahan yang mereka hadapi.22 Dalam hal ini, maka sasaran utama dari pelayanan pastoral gereja dalam kaitannya terhadap PSK adalah menolongnya untuk mengalami perubahan atau transformasi dalam hidupnya. Bila seorang Pendeta tidak mampu melakukan transformasi atau perubahan dalam diri jemaat dan lingkungannya, maka dapat dikatakan bahwa ia gagal dalam pelayanan pastoralnya.23 Jadi pelayanan pastoral adalah pelayanan yang transformatif. Pelayanan pastoral Gereja bagi PSK bukanlah sesuatu pekerjaan yang mudah, karena di dalam proses transformasi ini Pendeta berhubungan dengan mahluk hidup yang disebut manusia. Berbeda dengan benda atau sebagian binatang yang mungkin dapat dengan mudah kita ubah, manusia memiliki tubuh dan jiwa, sehingga tidaklah mudah untuk mengubahnya.
22 23
Ibid, 4. Ibid.
F.
Cara Pandang Warga Jemaat Gereja Terhadap PSK Dalam hal ini, cara pandang Jemaat Gereja terhadap PSK dapat dikategorikan juga
sebagai suatu persepsi. Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka.24 Menurut Atkinson, persepsi adalah suatu proses dimana terjadi pengorganisasian dan penafsiran pola stimulus dalam lingkungan.25 Prosesnya adalah, stimulus yang diindera oleh individu kemudian diorganisasikan dan diintepretasikan, sehingga individu menyadari/mengerti tentang apa yang diindera tersebut. Robbins juga menambahkan bahwa tujuan dari pengintepretasian/penafsiran ketika individu mempersepsikan sesuatu adalah agar stimulus itu dapat memberi makna kepada lingkungan mereka.26 Dengan demikian, maka cara pandang organisasi Gereja akan mempengaruhi stimulus atau pesan yang Warga Jemaat Gereja tangkap dan mempengaruhi makna yang mereka berikan kepada PSK. Individu pada dasarnya menerima bermacam-macam stimulus dari lingkungannya, tapi tidak semua stimulus akan ditanggapi atau direspon oleh individu. Dalam hal ini, setiap jemaat di dalam Gereja akan melakukan proses seleksi stimulus karena cenderung hanya akan merespon stimulus yang menarik bagi dirinya. Setiap karakteristik yang membuat seseorang, suatu objek, atau peristiwa menyolok akan meningkatkan kemungkinan bahwa itu akan dipersepsikan. Bahkan, menurut Leavitt, individu cenderung melihat kepada hal-hal yang mereka anggap akan memuaskan kebutuhan-kebutuhan
24
Stephen P. Robbins. Perilaku Organisasi. Jilid 1. (Jakarta: Salemba Empat, 2007),174. Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., & Hilgard, E. H. 1997. Pengantar Psikologi. Jilid 1. Edisi Ke-8. Cetakan Ke-5. Alih Bahasa : Nurdjannah Taufiq & Rukmini Barhana. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997), 201. 26 Stephen P. Robbins. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Jilid 1. Edisi Ke-8. Alih Bahasa : Hadyana Pujaatmaka & Benyamin Molan. (Jakarta : PT. Prehallindo, 2001), 124. 25
mereka, dan mengabaikan hal-hal yang dianggap merugikan/mengganggu.27 Dalam hal ini, keadaan psikologis Warga Jemaat Gereja menjadi sangat berperan dalam proses intepretasi atau penafsiran terhadap PSK, sehingga sangat mungkin persepsi setiap Warga Jemaat Gereja akan berbeda dengan individu lain, meskipun objek/stimulusnya sama. Penafsiran sarat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap, motif/kebutuhan, kepentingan/minat, pengalaman masa lalu dan harapan.28 Proses persepsi melibatkan intepretasi yang mengakibatkan hasil persepsi antara satu orang dengan orang lain sifatnya berbeda (individualistik).29 Selanjutnya, Pareek mengemukakan ada empat faktor utama yang menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi, yaitu:30 1. Perhatian. Terjadinya persepsi pertama kali diawali oleh adanya perhatian. Tidak semua stimulus yang ada di sekitar kita dapat kita tangkap semuanya secara bersamaan. Perhatian kita hanya tertuju pada satu atau dua objek yang menarik bagi kita. Dalam hal ini Jemaat suatu Gereja akan memiliki cara pandang yang netral, jika baginya pembahasan mengenai PSK bukan sesuatu yang menarik baginya. 2. Kebutuhan. Setiap orang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, baik itu kebutuhan menetap maupun kebutuhan yang sesaat. Dalam hal ini Jemaat suatu Gereja akan melihat apakah pembahasan PSK sesuai dengan kebutuhan pelayanan suatu Gereja.
27
H. J. Leavitt. Psikologi Manajemen. Edisi Ke-4. Alih Bahasa: Muslichah Zarkasi. (Jakarta : Penerbit Erlangga, 1997), 31. 28 Stephen P. Robbins. Perilaku Organisasi..., 125. 29 L. L . Davidoff. Psikologi Suatu Pengantar. Jilid 1. Edisi Ke-2. Alih bahasa: Mari Juniati. (Jakarta: Erlangga, 1988), 231. 30 U. Pareek. Perilaku Organisasi. (Jakarta: PT Pustaka Pressindo, 1984), 13.
3. Kesediaan Kesediaan adalah harapan seseorang terhadap suatu stimulus yang muncul, agar memberikan reaksi terhadap stimulus yang diterima lebih efisien sehingga akan lebih baik apabila orang tersebut telah siap terlebih dulu. Dalam hal ini Jemaat Gereja akan melihat apakah harapan mereka terhadap PSK dapat memberikan reaksi bagi pelayanan pastoral bagi PSK. 4. Sistem nilai Sistem nilai yang berlaku dalam diri seseorang atau masyarakat akan berpengaruh terhadap persepsi seseorang. Dalam hal ini Jemaat Gereja akan melihat sistem nilai yang berlaku dalam dirinya, dalam suatu masyarakat atau dalam Gereja itu sendiri. Cara pandang seseorang terdiri dari beberapa aspek. Walgito mengemukakan tiga aspek utama cara pandang, yaitu :31 1. Kognisi Aspek kognisi menyangkut komponen pengetahuan, pandangan, pengharapan, cara berpikir/mendapatkan pengetahuan, dan pengalaman masa lalu, serta segala sesuatu yang diperoleh dari hasil pikiran individu pelaku. 2. Afeksi Aspek afeksi menyangkut komponen perasaan dan keadaan emosi individu terhadap objek tertentu serta segala sesuatu yang menyangkut evaluasi baik buruk berdasarkan faktor emosional seseorang. 3. Konasi atau psikomotor Aspek konasi/psikomotor menyangkut motivasi, sikap, perilaku atau aktivitas individu sesuai dengan cara pandangnya terhadap suatu objek atau keadaan tertentu.
31
B. Walgito. Psikologi Sosial. (Yogyakarta: Andi Offset, 1991), 50.