27
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Prestasi seorang atlet banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan faktor yang paling besar pengaruhnya itu antara lain adalah sosial, struktur tubuh (fisik), fisiologis, dan psikologis, seperti yang dikemukakan Cratty (1967) dalam Carron, A (1980:4-5) bahwa ―as having an influence upon individual performance: physiological, social, body structure and psychological”. A. Prestasi 1.
Pengertian Prestasi Menurut Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun
2005, bahwa ―prestasi adalah hasil upaya maksimal yang dicapai olahragawan atau kelompok olahragawan (tim) dalam kegiatan olahraga‖. Karena itu olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan, bahkan Harsono (1985:98) mengemukakan bahwa, ―prestasi olahraga yang semula dibayangkan orang sukar atau malah mustahil akan dapat dicapai, kini menjadi hal yang lumrah, dan jumlah atlet yang mampu untuk mencapai prestasi demikian kini semakin banyak‖. Jadi, keberhasilan prestasi akan tercapai bila didukung dengan program latihan yang terencana, berjenjang dan berkelanjutan serta didukung pula dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan bidang dan cabang olahraganya. Demikian halnya dengan cabang olahraga angkat besi dan angkat berat
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
28
yang selama ini telah mengukir prestasi yang cukup fenomenal, khususnya untuk cabang olahraga perorangan, baik tingkat Asia Tenggara, Asia maupun Dunia. Bukti-bukti empirik semakin jelas dan semakin banyak dalam memperkokoh
postulat yang mengatakan
rangka
bahwa prestasi dalam suatu cabang
olahraga hanya akan dicapai oleh mereka yang sejak usia muda telah mampu memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh suatu cabang dan mampu mengikuti proses latihan yang sistematis dan berjangka panjang (Kemenegpora, 1993:1). Selanjutnya, Kemenegpora (1993), dalam Pedoman pembinaan dan Pengembangan Olahraga Prestasi menjelaskan bahwa, untuk mencapai prestasi yang maksimal harus berdasarkan analisis faktor penentu (determinasi)/indikator bakat: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Prestasi/performa yang telah dicapai Indikator dari peningkatan prestasi: Memiliki peningkatan prestasi yang lebih cepat daripada anak yang tidak berbakat Memiliki kualitas mental yang baik Memiliki motivasi intrinsik Stabilitas peningkatan prestasi Daya toleransi terhadap beban latihan (adaptasi) Memiliki jiwa kompetitif yang tinggi Mudah mempelajari dan menguasai suatu keterampilan yang baru
Berdasarkan penjelasan di atas, untuk menentukan atlet berbakat atau tidak dapat diprediksi melalui langkah-langkah atau indikator tersebut di atas. Hal inilah yang harus dijadikan pedoman bagi semua pelatih khususnya yang menggeluti olahraga prestasi, termasuk cabang olahraga angkat besi dan angkat berat. Bagi para atlet angkat besi dan angkat berat yang dibina di Padepokan Gajah Lampung indikator tersebut sangatlah besar pengaruhnya terhadap prestasi yang dicapai karena mereka hidup atau dibina dalam suasana dan iklim latihan yang telah dikondisikan
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
29
secara khusus sehingga proses latihan berjalan lebih lancar bila dibandingkan dengan cabang olahraga lain yang menerapkan pola latihan pulang pergi. 2. Angkat Besi dan Angkat Berat Kemenegpora (1991:143) dan Depdiknas (2004:134) bahwa perkumpulan angkat besi didirikan pada tahun 1950 di Semarang, dan sebelumnya yakni pada tahun 1910 berkembang hanya di pulau Jawa saja, seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Cianjur, Cimahi dan Bandung. Atas kesepakatan bersama yang dihadiri oleh utusan seluruh perkumpulan angkat besi yang ada pada saat itu maka berdirilah secara resmi induk organisasi olahraga angkat besi yang bernama JAWLA (Java Amateur Weight Lifter Association) yang berkedudukan di Bandung. Nama ini diberikan karena pada waktu itu perkumpulan angkat besi yang ada dan yang aktif tahun 1910 –1940 baru perkumpulan yang ada di pulau Jawa saja. JAWLA sebagai organisasi angkat besi Indonesia mengadakan hubunngan dengan Federation International Halter Ophile of Culturishe (FIHC) yang berdiri tahu 1920 dan sekarang menjadi IWF. Pada kongres di semarang itulah JAWLA berubah menjadi Indonesia Amateur Weight Lifter Association (IAWLA) atau Persatuan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PABSI). Karena teknik dasar latihan Binaraga dijadikan sebagai latihan penunjang dalam latihan angkat besi, maka para lifter angkat besi tempo dulu pada umumnya mempunyai otot seperti Binaraga (Depdiknas, 2004: 135). Demikian pula, angkat berat berkembang sejak tahun 1978, cabang tersebut mempunyai karakteristik hanya mengadu kekuatan mengangkat beban saja dan berdasarkan istilah (Inggris) disebut sebagai power lifting sedangkan angkat besi disebut weight lifting Ketiga cabang ini, yakni angkat besi, binaraga, dan angkat berat bernaung di bawah satu induk
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
30
organisasi yang bernama Persatuan Angkat Besi, Binaraga dan Angkat Berat Seluruh Indonesia (PABBSI) (Kemenegpora, 1991:147).
Dalam latihan dan pertandingan angkat besi dan angkat berat, perbedaan hanya terdapat pada cara dan teknik pengangkatannya. Angkat besi menggunakan angkatan snatch dan clean & jeck, sedangkan angkat berat menggunakan angkatan squat, bench press, dan dead lift. Clean and Jerk adalah jenis angkatan langsung tanpa jeda, di mana atlet harus mengangkat beban dari lantai tanpa boleh menekuk lutut sampai kedua tangan mengangkat beban (barbel) lurus di atas kepala dengan posisi berdiri sempurna beberapa detik, sampai juri membunyikan bel tanda angkatan sah. Snatch, yaitu atlet mengangkat barbel dalam dua tahap. Pertama, mengangkat beban dari lantai sampai batas dada dengan posisi jongkok. Setelah jeda sebentar untuk mengambil ancang-ancang, atlet kemudian mengangkat barbel sampai kedua tangan lurus di atas kepala, dengan posisi berdiri sempurna beberapa detik, sampai juri membunyikan bel tanda angkatan sah (http://id.wikipedia.org/wiki/Angkat_besi).
Kedua jenis angkatan ini bisa
dilombakan satu per satu, namun juga bisa digabung sehingga rekor atlet adalah penjumlahan beban maksimal dari total angkatan snatch dan clean and jerk. Angkat berat hanya mengandalkan adu kekuatan (power) saja sehingga seorang lifter angkat berat tidak dituntut teknik angkatan yang rumit. Sebaliknya angkat besi, selain dituntut kekuatan untuk mengangkat beban berat yang disebut dengan barbel, juga dituntut pula kombinasi dari
fleksibilitas, konsentrasi, disiplin,
teknik, mental dan kekuatan fisik yang prima.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
31
Secara biomekanika, mengangkat barbel pada cabang olahraga angkat besi maupun angkat berat merupakan perpaduan antara G1 dan G2 = Gaya berat atau R = G1 + G2 (R merupakan tahanan (resistance) yang harus dilawan oleh atlet; G merupakan gaya berat) (Hidayat, 1996:79). Lebih lanjut Imam Hidayat mengatakan bahwa : ―Gaya adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan keadaan (dari diam ke gerak, dari gerak ke diam atau perubahan panas, atau perubahan kecepatan)‖. Karena itu, setiap perubahan keadaan atau perubahan kecepatan pada gerak, haruslah ada ‗gaya‘.
Beberapa gaya yang dikenal,
diantaranya gaya berat/gravitasi, gaya magnet, gaya gesekan, gaya tahanan, dan yang paling utama adalah gaya kontraksi otot atau kekuatan. Dengan demikian cabang angkat besi dan angkat berat bisa dikatakan merupakan kombinasi dari gaya berat dan gaya tahanan.
Selanjutnya Kimi Kato, dkk menambahkan
mengenai angkatan snatch pada angkat besi, dari hasil penelitiannya tentang ―introducing an accelerometer‖, bahwa “one of the skill development approaches that are useful to generate higher peak acceleration is to work on syncronizing the pull (from the upper extremity) and the push (from the lower extremity‟s triple extention).
Namun yang membedakan keduanya adalah cara angkatan dan tuntutan teknis seperti dijelaskan di atas, sehingga kedua cabang tersebut sering dikonotasikan seperti IPA dan IPS pada penjurusan di SMA (ujar IR, sebagai pelatih di Padepokan Gajah Lampung/hasil wawancara terlampir).
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
32
Keberhasilan atlet angkat besi maupun angkat berat mengangkat beban atau barbel tentu saja dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang paling dominan dan nampak sekali perubahannya adalah motivasi.
B. Motivasi Motivasi sebagai konsep berprestasi banyak menarik para ahli, hal ini dapat dimengerti mengingat betapa pentingnya motivasi dalam pencapaian prestasi, khususnya dalam olahraga.
Sigit Soehardi (2003:53) bahwa motivasi adalah
dorongan dari dalam diri yang tercermin dalam prilaku. Jadi, motivasi penting dimiliki oleh setiap atlet terutama dalam menghadapi pertandingan, karena itu atlet pertandingan wajib memiliki motivasi berprestasi. 1. Motivasi Berprestasi a. Pengertian Motivasi Berprestasi Cruden dan Sherman (1972:292), menyatakan bahwa motivasi itu bisa didefinisikan sebagai “a state or condition of being induced to do something”. Menurut Bassano (2000:130) motivasi adalah “set of process that arouse, direct, and maintan human behaviour toward attaining some goal”. Motivasi merupakan faktor penting yang berpengaruh pada para atlet dalam melaksanakan tugas dan aktivitasnya. Sedangkan Robbins (2001:155-156) mendefinisikan motivasi sebagai “The process that acount for an individual‟s intensity direction and presistence of effort toward attaining a goal”. Hal ini dipertegas oleh Suryana Sumantri (2001:53) yang mengungkapkan bahwa motivasi adalah proses yang sangat penting untuk
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
33
mengerti mengenai mengapa dan bagaimana perilaku seseorang dalam bekerja atau dalam melakukan suatu tugas tertentu. The New Oxford Dictionary of English (2000:http://www.ifinger.com) motivasi didefinisikan sebagai “the general desire or willingness of someone to do something.”
Demikian pula, Torington dan Hall (1991:422) menyatakan
bahwa motivasi adalah ―a psychological concept related to strength and direction of behaviour”. Di sini juga dijelaskan bahwa orang yang motivasinya tinggi akan tampak dalam perilakunya. Selain itu, Klatt et al. (1985) dalam Kernan dan Lord (1990:196) mengemukakan bahwa motivasi adalah “an internal driving force that result in the direction, intensity, and persistence of behaviour”. Sejalan dengan itu, Lindsey (1957) mendifinisikan motivasi sebagai the combination of forces that initiate, direct, and sustain behaviour toward a goal. Selanjutnya Klatt et al. dalam Kernan dan Lord (1990:196) juga mengungkapkan bahwa motivasi itu jelas merupakan suatu hasil dari kombinasi berbagai karakteristik individu tertentu dalam situasi tertentu di tempat orang itu berada. Istilah motivasi itu sendiri merupakan turunan dari kata ‗motive‘ yang berarti to move „bergerak‘.
Istilah ini menurut Sumantri (2001:53), biasanya
digunakan untuk menunjukan suatu pengertian yang melibatkan tiga komponen utama, yaitu (1) pemberi daya pada perilaku manusia (energizing); (2) pemberi arah pada perilaku manusia (directing); (3) bagaimana perilaku itu dipertahankan (sustaining). Jadi, pada dasarnya perilaku diarahkan pada suatu tujuan dalam rangka memenuhi kebutuhan individu, terutama sekali bagi para atlet cabang olahraga Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
34
angkat besi dan angkat berat dalam rangka pencapaian prestasi angkatan yang maksimal, tidak hanya dibutuhkan dari kemampuan fisik dan terjadinya perubahan fisiologis semata, tetapi dibutuhkan pula suatu dorongan yang kuat dari dalam diri atlet itu sendiri untuk melawan beban. Pengertian motivasi menurut Baleron dan Steiner yang dikutip O. Koontz dalam Singgih D. Gunarsa (1989;92), motivasi adalah kekuatan dari dalam yang menggerakan dan mengarahkan atau membawa tingkah laku ke tujuan. Karena itu motivasi berprestasi (achievement motivation) didefinisikan sebagai suatu hasrat atau keinginan seseorang untuk menyelesaikan tugas yang sulit, mencapai standar yang tinggi dan melebihi dirinya sendiri (Maya, Chintya, 2000). Baik dalam menghadapi tekanan dari suatu tahanan atau beban yang harus diangkat, maupun harapan (expectation) dari keinginan untuk perubahan hidup yang lebih baik. Hal ini sesuai pendapat Farmet (1985 dalam
Maya, Cinthya, 2000) ―Understanding the factors that affect
achievement is important because motivation affects achievement and level of occupation. Demikian pula Murray menjelaskan bahwa achievement motivation as the desire to “accomplish something difficult… to overcome obstacles and attain a high standard; to excel oneself” (1938, p. 164 dalam Maya,Cinthya, 2000). Sejalan dengan pendapat di atas maka Maslow (1984) membagi kebutuhan manusia pada lima tingkatan; (1) Kebutuhan mempertahankan hidup (psycholocical need), menyangkut kebutuhan primer seperti makan, minum, seks, istirahat, dsb.; (2) Kebutuhan rasa aman (safety need), manifestasi kebutuhan ini nampak pada kebutuhan keamanan, kestabilan hidup, perlindungan/pembelaan, keteraturan
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
35
dan bebas dari rasa takut; (3) Kebutuhan sosial (social need), manifestasi kebutuhan ini nampak pada perasaan diterima oleh orang lain (sense of belonging), kebutuhan untuk mencapai sesuatu (sense of achievement) serta berpartisipasi (sense of participation) (4) Kebutuhan akan penghargaan/harga diri (esteem need), antara lain kebutuhan akan pristise, kebutuhan untuk berhasil, kebutuhan untuk dihormati, dan (5) Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization), manifestasi nampak pada keinginan mengembangkan kapasitas fisik, kapasitas mental melalui latihan dan pendidikan. Berdasarkan beberapa kebutuhan yang dikemukakan Maslow di atas maka pada cabang angkat besi dan angkat berat akan selalu menghadapi situasi, seperti ―toleransi dalam pembebanan‖ merupakan suatu keadaan yang bisa menimbulkan stress. Karena itu, Hans Seyle (dalam Barnard, C., 2002; 99) membagi stress menjadi dua sub-kategori‘, yakni distress dan eustress. Eustress, menjabarkan tekanan yang positif; situasi yang memberi kita perasaan menyenangkan, seperti mengantisipasi kebahagiaan saat akan bertemu dengan seseorang, pernikahan, kenaikan gaji atau bonus, memulai lembaran baru dalam kehidupan baru, dll; sedangkan distress, adalah kebalikannya, kita merasakannya ketika menghadapi tantangan yang tak bisa kita atasi. Jadi, untuk para atlet angkat besi dan angkat berat, apalagi para lifter wanita dengan adanya stress atau tekanan itu dianggap sebagai suatu motivasi dari jenis eustress, bahkan Harsono (1988: 250) menyatakan bahwa, ―..….seseorang terdorong untuk berusaha atau berprestasi sebaik-baiknya disebabkan karena
menariknya hadiah-hadiah yang dijanjikan
kepadanya bila ia menang‖.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
36
Dari uraian di atas, maka jelas betapa besar pengaruh motivasi dalam mencapai kinerja atau prestasi atlet angkat besi dan berat secara maksimal walau pembebanan dirasakan cukup berat sekali, namun karena motif untuk hidup lebih baik dengan harapan yang tinggi sehingga semua stress yang dihadapi dapat di atasi dengan baik pula.
Apalagi pada umumnya atlet angkat besi berlatar
belakang dari keluarga yang ekonomi dan pendidikan relatif rendah, sering kali keadaan tersebut akan timbul sebagai motif atau dorongan untuk berbuat yang terbaik. Hal ini sejalan dengan pendapat Setyobroto (1989:27) mengenai berbagai motivasi berolahraga, antara lain: (1) untuk menunjukan kemampuan dan prestasinya (2) untuk menunjukan kelebihan kemampuan /kekuatannya (3) untuk menyalurkan hasrat atau dorongan untuk sukses (4) untuk menyalurkan sifat agresif dengan mengalahkan orang lain (5) untuk kepentingan kebanggan kelompok (6) untuk mencari kegemparan-kegemparan (sensasi) (7) untuk kepentingan karir dalam pekerjaannya (8) untuk mendapat keuntungan material (9) untuk mendapatkan popularitas Proses motivasi sebagai pengaruh perilaku dapat dikatakan sebagai suatu siklus dan merupakan suatu sistem yang terdiri dari tiga elemen, yaitu: kebutuhan (needs), dorongan (drives), dan tujuan (goals).
Ketiga elemen itu saling
mendukung dan saling mempengaruhi. Ketiga elemen tersebut bisa diuraikan sebagai berikut: a.
b.
c.
Kebutuhan (needs): kebutuhan merupakan suatu ‗kekurangan‘. Dalam pengertian keseimbangan, kebutuhan tercipta apabila terjadi ketidak seimbangan yang bersifat fisiologis atau psikologis. Dorongan (drives): suatu dorongan dapat dirumuskan secara sederhana sebagai suatu kekurangan disertai dengan pengarahan. Dorongan tersebut berorientasi pada tindakan untuk mencapai tujuan. Tujuan (goals): suatu tujuan dari siklus motivasi adalah segala sesuatu yang akan meredakan suatu kebutuhan dan akan mengurangi dorongan. Jadi,
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
37
pencapaian suatu tujuan cenderung akan memulihkan ketidak seimbangan menjadi keseimbangan yang bersifat fisiologis dan psikologis (Surya Sumantri, 2001:54). b. Teori Motivasi Stoner (1992:177) mengelompokkan berbagai teori motivasi menjadi tiga jenis, yaitu: (a) content theory, (b) process theory, dan (c) reinforcement theory. a. Content Theory: menitik beratkan pada ‗apa‘ itu motivasi, menekankan pentingnya mengenai faktor dalam diri individu yang menyebabkan mereka berperilaku. Teori ini berusaha untuk memuaskan kebutuhan apa yang dilakukan dan apa yang mendorong mereka bertindak. b. Process Theory: menitik beratkan pada ‗bagaimana‘ dan dengan ‗tujuan apa‘ individu termotivasi atau dimotivasi. c. Reinforment Theory: menekankan pada cara-cara bahwa perilaku itu dipelajari. Bagaimana akibat tindakan di masa lampau mempengaruhi tindakan di masa mendatang daalam suatu siklus proses belajar. Dalam hal ini content theory antara lain terdiri dari (1) Teori Motivasi Berprestasi (Murray, Atkinson); (2) Tiga Motif Sosial (Mc Clelland); (3) Motif Berprestasi dari Hermans; (4) Teori Hirarki Kebutuhan dari A. Masslow; (5) Teori ERG (Aldefer). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, content theory ini menitik beratkan pada apa itu motivasi, menekankan pentingnya mengenai faktor dalam diri individu yang menyebabkan mereka berperilaku. Teori ini berusaha untuk memuaskan kebutuhan apa yang mendorong mereka bertindak. Dalam process theory antara lain diungkapkan (1) teori ‗equity‘ (Adams) yang berdasarkan pada teori pertukaran sosial; disini juga dibahas mengenai pengertian seperti hak menuntut keadilan, kesetimbangan, kesepadanan, kewajaran, dan kesebandingan (Sumantri,2001:60); (2) teori ekspektansi berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Tolman, Lewin; Atkinson; Vroom dengan variabel-variabel seperti expectancy, valency, outcome, instrumentality,
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
38
dan choice; (3) motivasi kerja ditinjau berdasarkan penetapan tujuan dengan perspektif kognitif (Locke,1968) dalam Sumantri (2001:60). Ditinjau dari perilaku manusia, Razik dan Swanson (1995:274) menyatakan bahwa motivasi merupakan konsep inti yang digunakan oleh para ahli hubungan manusia (human relation) dalam menjelaskan perilaku manusia. Menurut para ahli tersebut, istilah motivasi dan perilaku itu saling berkaitan karena perilaku manusia itu muncul sebagai akibat dari motivasi. Namun, dalam hal ini harus diakui bahwa motivasi hanya merupakan salah satu determinan yang paling penting dari perilaku. Motivasi dan perilaku berhubungan melalui kebutuhan dan keinginan (hasrat). Kebutuhan menciptakan tekanan (tension) yang dimodifikasi oleh iklim organisasi dan budaya kerjanya atau situasi seorang sehingga menyebabkan keinginan (hasrat) tertentu. Keinginan ini dimaknai dengan insentif positif dan negatif untuk menghasilkan respon atau tindakan tertentu. Tindakan ini mengarah pada pencapaian tujuan atau pemuasan kebutuhan (Davis, 1967; Halloran, 1978; Stanford, 1977 dalam Razik dan Swanson, 1995:274). Dari beberapa sumber, seperti:
Setyobroto (1989), Siagian (2006) dan
Purwanto (2007) mengemukakan tentang berbagai teori motivasi. Teori Hirarki Kebutuhan, merupakan teori motivasi yang paling terkenal dari Abraham Maslow. Menurut Maslow, jika kita ingin memotivasi seseorang, kita perlu memahami pada tingkat hierarkhi mana seseorang itu berada dan kemudian memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan tersebut atau yang berada di tingkat di atasnya. Beberpa teori lainnya yang dikutip dari sumber tersebut, antara lain: Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
39
Teori Clayton Alderfer atau ERG Theory Teori ini merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan Maslow. Alderfer menyatakan bahwa ada tiga kelompok utama kebutuhan, existence, relatedness, dan growth (ERG). Tampaknya teori ERG ini hanya menggantikan lima kebutuhan menjadi tiga kebutuhan saja. Namun demikian, yang membedakan teori ini dari teori hierarhi kebutuhan Maslow adalah bahwa teori ERG ini menunjukan bahwa (1) lebih dari satu kebutuhan akan berjalan pada waktu yang sama, dan (2) jika pemenuhan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi itu terhenti, keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih rendah semakin meningkat. Lebih lanjut, teori ERG ini tidak berasumsi bahwa terdapat suatu hierarkhi yang kaku sehingga kebutuhan yang lebih rendah itu harus dipuaskan lebih dahulu sebelum bergerak ke tingkat yang lebih tinggi. Seorang dapat saja berkerja ke tingkat growth walaupun kebutuhan existence dan relatedness belum terpuaskan; atau bisa saja ketiga kelompok kebutuhan itu berjalan pada waktu yang bersamaan. Jika makna ketiga istilah tersebut di dalami akan terlihat dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer karena ―Existence‖ dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow, ―Relatedness‖ senada dengan hierarki ketiga dan keempat konsep Maslow dan ―Growth‖ mengandung makna yang sama dengan ―self actualization‖ menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak (Siagian, 2006: 289).
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
40
Teori Herzberg atau Teori Dua Faktor Robbins (2001:158) menyatakan bahwa Two-factor Theory ini berkenaan dengan faktor-faktor intrinsik yang berkaitan dengan kepuasan kerja dan faktorfaktor ekstrinsik yang berkaitan dengan ketidakpuasan. Teori ini diajukan oleh psikolog Fredrick Herzberg, dalam keyakinannya bahwa suatu hubungan individu untuk bekerja itu bersifat mendasar dan bahwa sikap (attitude) sesorang terhadap pekerjaan itu, sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan, herzberg meneliti pertanyaan, ―Apa yang diinginkan orang dari pekerjaannya?‖ dia meminta orang untuk menggambarkan secara rinci situasi yang mereka rasakan sangat baik dan buruk mengenai pekerjaan mereka. Jawaban tersebut kemudian ditabulasi dan dipisahkan. Dari jawaban tersebut, disimpulkan bahwa jawaban yang diberikan seseorang bila dia merasa baik terhadap pekerjaannya itu sangat berbeda dari jawaban yang diberikan saat dia merasa buruk. Beberapa karakteristik cenderung selalu berkaitan dengan kepuasaan kerja dan yang lainnya pada ketidakpuasan kerja. Faktor intrinsik, seperti pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab dan prestasi, tampaknya berkaitan dengan kepuasaan kerja. Orang yang merasa buruk mengenai pekerjaannya cenderung mengaitkan fakto-faktor ekstrinsik, seperti pengawasan, gaji, kebijakan lembaga atau instansi dan kondisi pekerjaan. Siagian (2006:290) bahwa yang dimaksud dua faktor itu, yaitu faktor motivasional dan faktor higiene atau ―pemeliharaan‖. Menurut teori ini, yang dimaksud dengan faktor motivasional adalah hal-hal pendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dari dalam diri seseorang, sedangkan
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
41
yang dimaksud dengan faktor higiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri seseorang, misalnya dari organisasi, tetapi turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan kekaryaannya.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagi faktor motivasional
antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karir dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktorfaktor higiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang karyawan dengan atasannya (bisa dipersepsikan antara atlet dengan pelatih), hubungan seseorang dengan rekan-rekannya, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalam yang berlaku. Teori Keadilan Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjagan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dan imbalan yang diterima. Artinya apabila seorang karyawan (atlet) mempunyai persepsi bahwa imbalan (bonus) yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu: a. seseorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau b. mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam pelaksanan tugas yang menjadi tanggung jawabnya (Siagian, 2006:291) Teori Harapan Victor H. Vroom dalam bukunya yang berjudul ―Work and Motivation:‖ mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai ―Teori Harapan.‖ Menurut
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
42
teori ini, motivasi merupakan akibat dari suatu hasil yang ingin dicapai oleh seseorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu.
Artinya, apabila seseorang sangat
menginginkan sesuatu, dan jalan nampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya (Siagian, 2006:292). Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku. Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagi model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan sendiri. Berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal
dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa perilaku seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekuensi eksternal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan bahkan pengubah perilaku (Siagian, 2006:293). Contoh yang sangat
sederhana ialah seorang juru tik yang mampu
menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekuensi perilakunya itu. ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan ―World Processor‖ sehingga kemampuannya semakin bertambah yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekuensi positif lagi dikemudian hari.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
43
Contoh sebaliknya ialah seorang atlet yang datang terlambat berulang kali mendapat teguran dari pelatihnya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi negatif perilaku atlet itu berakibat pada
modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat
waktunya di tempat latihan. Teori Douglas McGregor atau Teori “X” dan “Y” Konsep motivasi tidak bisa terlepas dari teori x dan y. Studi psikologi menunjukan bahwa persepsi kita terhadap orang lain, dalam banyak hal, akan menentukan cara kita memperlakukan dan merespon orang lain. Teori X, yang mewakili pandangan mekanistis tradisional, berasumsi bahwa: (1) pada umumnya manusia memiliki suatu keengganan yang inheren (inherent dislike) untuk bekerja dan akan menghindari pekerjaaan itu sebisa mungkin; (2) karena karakteristik ini, sebagian besar manusia harus dipaksa, dikendalikan, diarahkan, dan diancam dengan hukuman agar mereka mengerahkan upayanya untuk mencapai tujuan organisasi : dan (3) pada umumnya manusia cenderung untuk diarahkan, ingin menghindari tanggung jawab, relatif hanya sedikit memiliki ambisi, dan menginginkan keamanan (security) di atas segalanya. Teori Y, yang mendukung pandangan hubungan manusia, memberikan asumsi yang sangat berbeda mengenai sifat manusia. Teori ini menyatakan bahwa: (1) pengerahan upaya fisik dan mental dalam pekerjaan itu bersifat alami seperti bermain atau beristirahat; (2) kontrol external dan ancaman hukuman bukan merupakan satu-satunya cara untuk membangkitkan upayanya dalam mencapai tujuan organisasi. Orang akan melatih self-direction dan self-control
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
44
dalam menyesuaikan tujuan yang disepakati bersama: (3) komitmen terhadap tujuan merupakan suatu fungsi dari imbalan (rewards) yang berkaitan dengan prestasi yang dicapai; (4) umumnya orang belajar, dalam kondisi yang tepat, untuk tidak hanya menerima melainkan juga mencari tanggung jawab; (5) kapasitas untuk melatih tingkat imajinasi yang tinggi, kecerdasan, dan kreativitas tersebar secara luas di dalam populasi; (6) dalam kondisi kehidupan industri modern, potensi intelektual manusia pada umumnya tidak hanya digunakan sebagian. Dari sini dapat dikatakan bahwa Teori X menawarkan suatu rasionalisasi untuk kinerja organisasi dan hakikat sumber-daya manusia yang tidak-efektif. Sebaliknya Teori Y menunjukkan bahwa ketidakefektifan perilaku organisasi itu terletak pada berbagai konteks dan proses organisasi. Prinsip utama dari organisasi dalam Teori X adalah direction dan control. Prinsip yang dihasilkan dari Teori Y menuntut bahwa baik kebutuhan organisasi maupun individu itu memang diakui. Menurut McGregor sendiri mengakui bahwa pengendalian dan pengarahan eksternal itu merupakan cara yang sesuai dalam keadaan ini, asumsiasumsi dalam Teori Y tidak meniadakan Teori X secara keseluruhan. Dalam hal ini menunjukan bahwa Teori X itu tidak dapat diterapkan semua kasus (Setyobroto, 1989:26 dan Purwanto, 2007:39-41). Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
45
terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Menurut model ini, motivasi seorang atlet (karyawan) sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun ekternal. Faktor –faktor internal adalah: a. persepsi seseorang mengenai diri sendiri, b. harga diri, c. harapan pribadi, d. kebutuhan, e. keinginan, f. kepuasan kerja, dan g. prestasi yang dihasilkan. Sedangkan faktor eksternal yang turut mempengaruhi motivasi seseorang antara lain: a. jenis dan sifat pekerjaan, b. kelompok kerja di mana seseorang bergabung, c. organisasi tempat bekerja, d. situasi lingkungan pada umumnya, dan e. sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya (Siagian, 2006:294). Teori David McClelland atau Teori Tiga Motif Sosial Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan: achievment, power, dan affiliation. Ketiga kebutuhan tersebut dapat di definisikan sebagai berikut: 1). Need forAchievment, yaitu kebutuhan untuk berprestasi yang merupakan refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk memecahkan masalah. Seorang atlet yang mempunyai keinginan akan berprestasi tinggi cenderung untuk berani mengambil resiko. Kebutuhan untuk berprestasi adalah kebutuhan untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik dari pada sebelumnya, selalu berkeinginan mencapai prestasi yang lebih tinggi. 2) Need for affiliation, yaitu kebutuhan untuk berhubungan sosial, yang merupakan dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain atau berada bersama orang lain, tidak mau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. 3) Need fo Power, yaitu kebutuhan untuk kekuasaan yang merupakan refleksi dari dorongan untuk mencapai otoritas dan untuk memiliki pengaruh orang lain (Sudibyo, 1989:25 dan Iwan Purwanto, 2007:41).
Dari penelitiannya, McClelland menemukan bahwa orang-orang yang prestasi pencapainnya tinggi itu membedakan diri mereka sendiri dari orang lain
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
46
dengan keinginan mereka untuk berbuat sesuatu dengan lebih baik. Kinerja mereka akan sangat baik bila mereka memandang bahwa peluang keberhasilan itu adalah 0,5, yaitu, bila mereka menduga bahwa mereka memiliki peluang 50-50 untuk berhasil. Lebih dari itu, mereka tidak menyukai peluang keberhasilan yang sangat tinggi karena bila demikian tidak ada tantangan untuk menguji keterampilan mereka. a) Ciri-ciri Individu yang Memiliki n-ach yang Tinggi McClelland (1987) mengatakan bahwa individu dengan n-ach yang tinggi mempunyai beberapa ciri. Ciri pertama, adalah memilih tugas yang mempunyai tanggung jawab pribadi. Dengan tanggung jawab pribadi, dia akan merasa puas dengan hasil pekerjaannya. Ciri lainnya adalah membutuhkan umpan balik. Dengan umpan balik mengenai hasil pekerjaannya, dia mengetahui apakah dia telah bekerja dengan baik sesuai dengan yang diharapkan. Menurut penelitian dari French (dalam McClelland, 1987), individu dengan n-ach yang tinggi akan bekerja lebih efesien jika dia mendapat umpan balik mengenai hasil kerjanya. Bersifat inovatif adalah ciri lainnya untuk individu dengan n-ach tinggi, dia selalu ingin bekerja sebaik baiknya. Dengan demikian, keinginan akan menyebabkan dia bekerja dengan cara yang berbeda dengan orang lain, yaitu mencari cara-cara yang lebih cepat dan efisien dalam mencapai goal. Hal ini akan membawa pada satu kalkulasi biaya dan keuntungan, misalnya berupaya untuk mencapai hasil yang terbaik, tetapi dengan tenaga dan biaya yang lebih ringan. Dengan kenyataan ini, akan lebih tepat jika motif berprestasi disebut motif efisiensi. Individu dengan
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
47
n-ach yang tinggi menghindari pekerjaan yang bersifat rutin, dan mencari tugastugas yang menantang. b) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Need for Achievment Berdasarkan penelitian, ada beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan n-ach, antara lain faktor psiko-sosial dan dorongan biologis (Feldman, 2008; Fraenken, 1994). Menurut penelitian Horner pada tahun 1968-1969 wanita cenderung mempunyai n-ach yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Hal ini disebabkan karena wanita cenderung menghindari sukses. Menurut Horner, sukses bagi wanita dalam situasi persaingan, akan membawa pada suatu konsekuensi yang negatif, yaitu kehilangan popularitas, teman, bahkan dianggap kurang feminim. Keadaan inilah membuat wanita cenderung mempunyai n-ach yang rendah (Franken, 1982 dalam Himatul Aliyah, 2008). Untuk motivasi berprestasi dalam penelitian ini didasarkan dari teori David McClelland, yaitu memfokuskan pada tiga kebutuhan: achievement, power, affiliation. Salah satu karakteristik olahraga modern adalah spesifikasi. Spesifikasi dalam cabang olahraga angkat besi dan angkat berat dimaknai, selain cabang olahraga tersebut memiliki nomor-nomor yang diperlombakan beda dengan cabang yang lainnya, juga cabang ini membutuhkan kemampuan yang sangat besar terutama dalam mengangkat barbel, yakni faktor fisik, sehingga performa dari struktur otot lebih proposional dan nampak lebih kekar.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
48
C. Fisik (Physical) 1. Pengertian Fisik Untuk memahami pengertian fisik secara jelas dapat dilihat pada kamus bahasa Indonesia, bahwa fisik merupakan wujud yang dapat dilihat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:245). Fisik atau dalam bahasa Inggris "Body" adalah sebutan yang berarti sesuatu wujud dan dapat terlihat oleh kasat mata, dan fisik biasanya bisa diidentifikasi berdasarkan hal-hal yang nampak dan tumbuh. Hal ini sebagaimana dikatakan, Gaul, (1991); dalam Doherty, (1996;7) ―growth refers to an increase in the size of the body and occurs as the result of hyperplasia or hypertrophy (increase in the size of chells)‖. Jadi, pertumbuhan dari ukuran tubuh itu terjadi akibat peningkatan dari ukuran sel, seperti diungkapkan oleh Malina dan Bouchard, (1991) dalam Docherty, (1996:7) bahwa “growth refer to an increase in the size of the body as a whole or the size attained by specific parts of the body, Menurut Teeple, (1978) dalam Docherty, (1996:1) menyatakan ―as in Teeple‟s original model there are status factors and change factors. Status factors of the child reflect a level of development that is the product of the two change factors”. Model ini digunakan untuk membantu memahami hubungan beberapa komponen terkait antara satu sama lainnya. Proses pertumbuhan pada anak banyak mengalami perubahan antara lain perubahan bentuk tubuh.
Perubahan bentuk tubuh menurut John Santrock
(2007:159), didasarkan pada dua pola pertumbuhan, yakni ; (1) pola cephalocaudal, (2) pola proximodistal. Santrock menjelaskan bahwa pola ―cephalo-
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
49
caudal merupakan rangkaian pertumbuhan tercepat bekerja dari atas ke bawah, sedangkan proximodistal bekerja dimulai dari pusat tubuh bergerak kearah samping tangan dan kaki‖. Berdasarkan pernyataan ini, selama masa bayi dan anak-anak awal terjadi peningkatan tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) secara cepat, kemudian melambat pada usia 6–11 tahun. Periode ini sudah banyak peneliti terdahulu melakukan survey mengkaji tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, diantaranya dilakukan oleh lembaga penelitian National Centre for Health Statistic Stanford University Medical Centre (2005) ; dalam Santrock, (2007:161-165) menyatakan bahwa ―pertumbuhan dan perkembangan anak di usia SD mengalami kenaikan tinggi badan (TB) rata-rata 5,08 -7,62 cm dalam setahun. Begitu pula tentang berat badan (BB) diketahui mengalami pertambahan sekitar 2,50 - 4,50 kg dalam setahun‖. Dengan dasar ini, diketahui anak (laki dan perempuan) pada usia 8 tahun tingginya 128,82 cm dengan berat badannya 28 kg (56 pon). Peningkatan berat badan ini disebabkan oleh peningkatan ukuran padatnya bobot kerangka tulang otot, dan beberapa organ tubuh lainnya. Selanjutnya Hamill (1977) dalam Docherty (1996:19) menyatakan terjadi hubungan antara ―tinggi badan - umur (height-age/HA) dan, berat badan - umur (weight-age/WA) dapat dijadikan indikator untuk mengetahui status gizi (nutrisi), dalam pertumbuhan dan perkembangan anak dikaitkan dengan latihan olahraga‖. Demikian pula, hubungan tinggi badan dengan berat badan (weight-for-height) dapat pula dijadikan parameter untuk
menetapkan status ideal tubuh, atau
proporsionalitas fisik anak. Untuk lebih jelasnya Hamill (1977) dalam Docherty Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
50 (1996:19) menyatakan ―Weight-for-height (WH) depict wether body weight in accordance with norm of someone height of body at age each of them. in consequence, high comparison with body weight is status parameter proporsionalitas child”. Fungsi lain dari weight-for-height adalah untuk memprediksi status tinggi badan anak dalam umur tertentu. Berkaitan pernyataan di atas, Sullivan dan Gorstein (1990); Waterlow, (1977);
dalam
Docherty,
(1996:19)
merekomendasikan
―Further
it
is
recommended that use of WH be limited to males through 138 months of age smaller than 145 cm, and to females through 120 months of age ang smaller than 137 cm‖. Maksudnya menggunakan weight-for-height (WH) dapat memprediksi anak pria umur 11, tahun 6 bulan tinggi badannya 145 cm, dan wanita umur 10 tahun tinggi badanya 137 cm. Pedoman ini penting, karena selama ini terdapat beberapa standar/norma BMI yang digunakan salah, seperti indeks quetelet Body Mass Index. Tanner, (1986); Davies & Davy, (1985);dalam Docherty,(1996:19). Penelitian tentang fenomena pertumbuhan dan perkembangan anak, salah satunya dapat dilakukan dengan pengukuran antropometrik. Faktor lainnya yang sangat penting diperhatikan adalah usia dan jenis kelamin. Perbedaan usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang serius mempengaruhi perubahan dari latihan, di samping itu tentu saja (1) intensitas, frekuensi dan lama latihan serta (2) pengaruh generik (Bowers dan Fox, 1992;263). Bahkan lebih jauh Bowers dan Fox mengatakan .. the extent of muscular hypertrophy may not be as great in female bodybuilders as in male bodybuilders. Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
51
Faktor lingkungan merupakan faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap performa/kinerja atlet, karena itu Singgih (1989) menjelaskan bahwa yang termasuk faktor eksternal adalah fasilitas, sarana dan lapangan, metode latihan, dan lingkungan. 2. Diskriminasi Ciri Fisik Setiap orang terlahir dengan ciri fisik masing-masing tanpa bisa memilih seperti apa bentuk wajah, badan, kulit, rambut, kaki, tangan, dan lain sebagainya. Diskriminasi ciri fisik berlaku secara umum, antara lain : (1) ciri fisik warna kulit, (2) ciri fisik raut wajah/kecantikan atau ketampanan, (3) ciri fisik tinggi badan;, (4) ciri fisik jenis rambut, (5) ciri fisik proporsi tubuh, (6) ciri fisik kekar atau seksi, (7) ciri fisik ras, (8) ciri fisik kelengkapan jasmani/kecacatan, (9) ciri fisik kesehatan tubuh, dan (10) ciri fisik kekuatan tubuh/badan http://organisasi.org/ diskriminasi_cirifisik. Ciri-ciri fisik ini membawa pengaruh pada penampilan (performa) seseorang dan sekaligus pula sebagai tanda yang mudah dikenal. Sheldon, (1940); dalam Keven Norton dan Tim Olds (1996:148-166) ―A basically anthropometric division of body types into the categories endomorphi, ectomorphic and mesomorphic‖.
Bentuk tubuh manusia (somatotype) terbagi
menjadi tiga bagian, yakni: (1) endomorph;ciri-cirinya lembut, gemuk, badannya tinggi. (2) mesomorph;ciri-cirinya kokoh, kuat, otot kelihatan bersegi-segi, tahan sakit. (3) ectomorph; ciri-cirinya jangkung, dada kecil pipih, lemah, otot-otot hampir tak nampak berkembang. Selanjutnya K. Norton (1996:150) mengatakan ―Human populations exhibit similar climatic variation patterns to other large-
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
52
bodied mammals, which states that individuals in cold climates will tend to be larger than ones in warm climates, and which states that individuals in cold climates will tend to have shorter, stubbier limbs than those in warm climates”. Maksudnya ―bentuk tubuh manusia bervariasi berdasarkan iklim di mana ia bertempat tinggal. Seseorang yang bertempat tinggal di daerah bersuhu dingin kecenderungan orang tersebut berbadan besar, sebaliknya orang yang bertempat tinggal di daerah bersuhu panas, maka orang tersebut cenderung bertubuh kecil‖. Namun demikian, perbedaan fisik bagi atlet angkat besi tidak menjadi penghalang untuk berprestasi karena berdasarkan fakta empirik bahwa keberhasilan dari para lifter bukan disebabkan oleh faktor postur tubuh saja tetapi dipengaruhi pula oleh banyak faktor, termasuk perubahan fisiologis. Perubahan fisiologis ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas jasmani termasuk latihan, terutama latihan yang teratur, sistematis dan berlanjut yang didasari oleh berbagai macam prinsip. D. Fisiologis 1. Pengertian Fisiologis Fisiologis diartikan sebagai kata sifat (adjektif) bersifat fisiologi; berkenaan dengan fisiologi. Fisiologi merupakan cabang dari ilmu biologi yang mempelajari objek spesifik mahluk hidup dari sudut pandang struktur dan fungsinya. Secara terminologis istilah fisiologi berasal dari kata bahasa Yunani yaitu physis (alam, pekerjaan, atau sifat) dan logos (cerita, atau ilmu) http://www.artikata.com/arti-327217-fisiologis.html. Jadi, secara garis besar
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
53
fisiologi adalah ilmu yang mempelajari fungsi mekanik, fisik, dan biokimia dari makhluk hidup. Ketika mempelajari fisiologi, kita membutuhkan disiplin ilmu pengetahuan yang memadai, baik itu taksonomi, anatomi, kimia atau fisika. Karena, ketika mempelajari gejala-gejala fisiologis pada organ sebuah organisme, maka, kita membutuhkan tinjauan analisis dari sudut pandang kimia, fisika, anatomi dan lain sebagainya. Sejarah fisiologi eksperimental diawali pada abad ke-17, ketika ahli anatomi William Harvey yang menjelaskan adanya sirkulasi darah. Herman Boerhave sering disebut sebagai bapak fisiologi karena karyanya berupa buku teks berjudul Institutiones Medicae (1708). Fisiologi memiliki beberapa subbidang; elektrofisiologi berkaitan dengan cara kerja saraf dan otot; neurofisiologi mempelajari fisiologi otak; fisiologi sel menunjuk pada fungsi sel secara individual. Banyak bidang yang berkaitan dengan fisiologi, diantaranya adalah ekofisiologi yang mempelajari efek ekologis dari ciri fisiologi suatu hewan atau tumbuhan dan sebaliknya. Genetika bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi fisiologi hewan dan tumbuhan. Tekanan lingkungan juga sering menyebabkan kerusakan pada organisme eukariotik. Organisme yang tidak hidup di habitat akuatik harus menyimpan air dalam lingkungan seluler. Perubahan
yang terjadi secara fisiologis pada beberapa
komponen yang berhubungan dengan kinerja fisik, di antaranya adalah otot dan syaraf (neuromuscular). Otot merupakan bagian tubuh yang sangat penting dalam melakukan aktivitas terutama untuk menarik dan mengangkat beban pada angkat besi dan angkat berat. Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
54
Untuk mencapai keberhasilan dari suatu angkatan pada
angkat berat
maupun angkat besi sesungguhnya merupakan kemampuan mengerahkan tenaga secara maksimal dari kinerja otot yang dibantu oleh kemampuan serabut saraf yang mengantarkan rangsang (impuls)
sehingga berat beban sebesar apapun
akhirnya dapat diangkat. Kerjasama dari kedua komponen tubuh tersebut sering disebut sebagai system saraf otot (neuromuscular system). Sistem tersebut bekerja di bagian tepi anggota tubuh atau perifer sehingga disebut dengan system saraf tepi (perifer nervous system/PNS), sedangkan pusat pengendali gerakan terletak di otak atau system saraf pusat (central nervous system/CNS). Pada dasarnya otot manusia dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu otot polos, otot jantung, dan otot rangka. Massa otot manusia kira-kira 40— 55-% dari massa tubuh, terdiri dari 40% otot rangka dan 10% otot polos dan otot jantung (Guyton, 1991; Syarifuddin, 1992). Lambs (1984), membagi jenis serabut otot pada karakteristik metabolisme dan kecepatan,
sedangkan Fox (1984)
membagi otot menjadi 2 (dua), yaitu serabut otot merah dan serabut otot putih. Serabut otot merah adalah serabut otot yang lebih kuat bekerja secara aerobik, disebut juga tipe I, serabut otot lambat (Slow Twitch: ST) serabut otot oksidatif lambat (Slow Oxidative: SO). Serabut otot ini banyak mengandung mitokondria dan enzim-enzim yang diperlukan untuk memecah lemak dan karbohidrat, sifat kontraksinya lambat, tahan lama dan banyak mengandung mioglobin sehingga disebut serabut otot merah (Guyton, 1991), Serabut otot putih adalah serabut otot yang lebih kuat bekerja secara anaerobic, disebut juga tipe II, serabut otot cepat (fast twitch: FT) atau otot glikolisis cepat (fast glycolitic: FG). Serabut otot ini
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
55
mempunyai jumlah reticulum sarkoplasma yang banyak sehingga mampu melepaskan dan mengadakan ―re-uptake‖ ion kalsium dengan cepat, sehigga kontraksinya dapat berlangsung dengan cepat. sangat baik untuk aktivitas anaerobik seperti sprint, melempar dan mengangkat beban. Serabut otot II ini dibagi lagi menjadi tipe IIa, IIb, dan IIc atau internedia (Lamb, 1984: Mc Ardle et aI, 1988).
Jadi, untuk melakukan kerja dan mengerahkan tenaga yang
berlangsung cepat seperti angkat besi atau angkat berat tipe ototnya harus banyak pada jenis ini (tipe II/fast glycolitic) yang bekerja mengandalkan anaerobic atau tanpa oksigen. Demikian pula penggunaan energi dalam mengangkat beban seperti angkat besi maupun angkat berat adalah ATP+PC atau phospagen system karena dipakai dalam waktu relative singkat. Artinya, energy yang digunakan merupakan energi yang berupa glikogen atau karbohidrat yang disimpan pada otot maupun hati. Jadi, energy yang digunakan dalam waktu di bawah 30 detik ialah ATP + PC atau phospagen system pada gerakan yang berlangsung secara singkat seperti contoh gerakan tolak peluru, lari 100 meter, renang 50 meter, memukul bola golf dan servis bola pada permainan tennis, termasuk pula gerakan mengangkat barbell pada angkat besi dan angkat berat (Fox, 1992:76). Karena olahraga angkat besi dan angkat berat dalam melakukan kerjanya menggunakan kemampuan otot secara explosive power maka energy atau tenaga yang digunakan adalah anaerobic (tanpa oksigen). Artinya, energy yang dipakai adalah energy yang sudah ada atau disimpan di otot dan hati (glycogen) atau Phospagen system (ATP+ PC). Untuk menyediakan energy di otot dan hati
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
56
(glikogen) yang cukup maka perlu meningkatkan cadangan glikogen melalui program pemberian makanan yang berupa carbohidrat loading.
Program
karbohidrat loading bisa mengikuti saran dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Saltin dan Hermansen pada tahun 1967 (dalam Fox, 1984; 277). Harre (1982), mengatakan bahwa daya ledak otot (power) dapat ditingkatkan dan dikembangkan dengan latihan. Untuk meningkatkan kemampuan daya ledak otot diperlukan peningkatan kekuatan dan kecepatan secara bersama-sama. Menurut Sage (1984) bahwa daya ledak sangat tergantung dari kecepatan system syaraf dalam mengirim sinyalnya dan kecepatan ini dapat direalisir apabila serabut cukup besar dan berfungsi secara baik serta jumlah motor unit yang dipacu dan pola frekuensi rangsangan yang diberikan besar pula. Hasil yang nampak akibat latihan pada atlet angkat besi dan berat, selain daya ledak otot (power) yang sudah termasuk pula unsur di dalamnya ialah kekuatan dan kecepatan. 1. Fleksibilitas Unsur yang dianggap penting lainnya adalah kelentukan (flekxibility). Stillwell dan Willgoose (1997: 37) mengatakan bahwa ―Flexibility is the ability to move limb or body segment through its full range of movement‖. Dapat diartikan bahwa kelentukan adalah kemampuan untuk menggerakkan tubuh atau bagian anggota tubuh melalui gerak secara keseluruhan. Jadi walau pun atlet angkat besi dan berat yang dilakukan hanya mengangkat beban atau besi melulu, tetapi unsur kelentukan sangat penting sekali dimiliki agar tidak terjadi timbulnya cedera.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
57
2. Kekuatan (strength) Walaupun ansur kekuatan merupakan bagian dari kemampuan daya ledak, tetapi penting untuk dilatih.
Definisi kekuatan menurut Pearl dan Moran
(1986:422) kekuatan adalah: ―The ability of a muscle to produce maximum amount of force‖. adalah
Menurut Stillwell dan Willgoose (1997:37) bahwa kekuatan
kemampuan
suatu
otot
untuk
mengembangkan
tegangan
yang
menghasilkan tahanan yang diperlukan untuk menggerakan suatu benda. Ada empat bentuk kekuatan yang dapat ditunjukan dalam tubuh manusia, antara lain (a) kekuatan postural, yaitu kemampuan sikap berdiri melawan daya tarik bumi, (b) kekuatan dinamis, yaitu kemampuan untuk menggunakan badan dalam melakukan keterampilan gerak, seperti berjalan, berlari, dan melompat, (c) kekuatan balistik, kemampuan
untuk menggerakkan anggota tubuh melalui
berbagai ruang gerak ketika melakukan ketrampilan dasar permainan, termasuk melempar, menendang dan
memukul, dan (d) kekuatan isometrik, yaitu
kemampuan menstabilkan tubuh atau bagian tubuh untuk menarik benda dari gaya luar. Menurut Hussner dan Van Huss (1978) dalam Safrit (1986:248) pengertian kekuatan statis dan kekuatan dinamis adalah ‗Static strength is the maximum effective force that can be applied once to a fixed object by an individual from a defined immobile position‘, dan ‗dynamic strength is the maximum load which can be moved once, through a specified range of motion of a joint, with the body in same defined position‟. Artinya, kekuatan statis adalah kekuatan maksimal yang digunakan untuk menggerakkan benda oleh seseorang dari posisi diam, sedangkan kekuatan dinamis adalah beban maksimal yang dapat digerakkan sekali, melalui Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
58
ruang gerak sendi tertentu dan tubuh dalam posisi yang sama. Dan sebagai unsur yang dominan dalam cabang angkat besi dan berat tentu saja adalah kekuatan. 3. Daya tahan otot (muscular endurance) Muscle endurance is the ability of a muscle to sustain the force necessary to move an object through space repeatedly (Stillwell dan Willgoose, 1997: 37). Jadi, daya tahan otot adalah kemampuan suatu otot untuk menggerakan suatu benda secara berulang-ulang dalam jangka waktu relative lama. Pada bagian lain Stillwell dan Willgoose (1997: 37) mengemukakan bahwa Daya tahan aerob atau daya tahan umum (aerobic endurance). …is the ability of the heart, lungs, and vascular system to provide sufficient amounts of oxygen and nutrients to the working muscle and carry the by-products of muscular work away from the working muscle. Daya tahan aerobik atau daya tahan umum adalah kemampuan jantung, paru-paru, dan sistem pembuluh darah untuk menyediakan sejumlah oksigen dan bahan gizi pada otot yang bekerja aktif dan giat. Untuk mendapatkan perubahan fisiologis otot, harus dilakukan melalui latihan kekuatan yang sistematis.
Hal ini dijelaskan Bompa, Pasquale, dan Cornacchia (2003:9);
―Systematic training results in certain structural and physiological changes, and the size and definition of the body‟s muscles indicates the level of adaptation‖. Maksudnya latihan sistematis mengakibatkan perubahan fisiologis dan struktur tertentu, perubahan ukuran dan kejelasan otot tubuh menandai terjadinya adaptasi. Adaptasi terjadi bila proporsi latihan, yaitu; volume (kuantitas), frekuensi, dan intensitas (beban) dari latihan yang diberikan sesuai.
Volume latihan dalam
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
59
latihan beban berarti berhubungan berat beban, jumlah jenis gerakan, repetisi, dan durasi latihan (Bompa, Pasquale, dan Cornacchia 2003). Profil dari seorang lifter angkat besi maupun angkat berat yang paling menonjol dan nampak sekali perbedaannya dengan atlet cabang olahraga lainnya adalah perubahan otot, yang disebut sebagai hypertropi. Hyperthropy merupakan perubahan fisiologis dari keadaan otot
yang disebabkan karena latihan.
Hypertropi yang paling jelas dapat dilihat pada atlet bina raga, namun kemampuan ototnya tidak akan sekuat atlet angkat besi maupun berat. Hal ini tentu saja sangat beralasan karena atlet bina raga ukuran otot merupakan bagian dari tujuan latihan untuk membangun dan membentuk estetika. Sedangkan atlet angkat besi dan berat tujuan latihannya adalah seberapa besar beban dapat diangkat walaupun postur tubuh sangat bervariatif. Karena itu atlet angkat besi maupun angkat berat, perubahan fisiologis terjadi disebabkan karena adanya unsur kekuatan dan kecepatan (power) yang dilatih secara terus menerus dan berlanjut. Ada beberapa perubahan
yang terjadi setelah latihan, terutama sekali
setelah sesi latihan daya tahan (Bowers dan Fox, 1992; 250 ), antara lain. 1) Terjadinya konsentrasi mioglobin, yang beguna untuk mengirimkan (diffuse) oksigen (O2) dari dinding sel (cell membrane) ke mitokondria. 2) Oksidasi karbohidrat dan lemak. Karena kemampuan aerobik pada otot rangka meningkat lebih besar yang disebabkan latihan daya tahan, maka kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen dalam menggunakan karbohidrat dan lemak sebagai bahan bakar metabolism ditingkatkan sehingga terjadi pengaruh pada serabut fast twitch (FT) maupun slow twitch (ST), yang ditandai dengan (a) meningkatnya jumlah dan ukuran mitokondria pada otot rangka, (b) suatu peningkatan pada aktivitas atau konsentrasi pada system enzymatis pada reaksi aerobic yang berlangsung di mitokondria. Melalui respek peningkatan jumlah dan ukuran mitokondria tadi
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
60
3) Perubahan pada penyimpanan glikogen otot dan trigliserida pada orang yang berlatih fisik dalam waktu lama maka disinyalir terjadi penyimpanan glikogen dan lemak di otot sebesar 83% pada orang yang sama. In human, glycogen represents the storage form of glucose and serves as a metabolic fuel for skeletal muscle (Browers dan Fox, 1992;59).
Selanjutnya, Bowers dan (1992) bahwa akibat latihan daya tahan akan terjadi perubahan pada anaerobic glycolysis (system asam laktat), dan ditemukan penurunan enzim glikolotik sekitar 20-25 %, perubahan pada penyimpanan phosphagen. Otot yang menyimpan ATP dan PC meningkat sekitar 25 – 40 %. Perubahan pada ukuran dan jumlah serabut otot. Jumlah srabut FT dan ST. pada otot tidak berubah melalui latihan, tetapi ada penyesuaian dari serabut FTb ke FTa. Persentase serabut ST akan lebih besar karena latihan daya tahan. 4. Latihan Daya Ledak (Power) Salah satu usur yang sangat penting dan menentukan keberhasilan untuk mengangkat beban pada cabang angkat besi dan angkat berat adalah kekuatan dan kecepatan lengan (power) secara penuh. Power atau daya ledak adalah kombinasi dari kekuatan dan kecepatan (Boosey, 1980:11), sedangkan Fox, Bowers dan Foss (1988, 370) mendefinisikan daya ledak sebagai kemampuan seseorang untuk menampilkan kerja maksimal per unit waktu. Demikian pula Harre (1982:10) mengemukakan bahwa, power adalah kemampuan seorang atlet untuk mengatasi tahanan/beban dengan suatu kecepatan yang tinggi dalam suatu gerakan yang utuh. Sedangkan Corbin (1980:15) menyatakan bahwa, explosive power adalah kemampuan untuk menampilkan kekuatan secara eksplosif atau dengan cepat.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
61
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa explossive power atau daya ledak adalah kemampuan seseorang untuk menggerakan kekuatan yang cepat dalam waktu yang singkat. Karena itu Harre (1982:12) menyatakan bahwa daya ledak otot dapat ditingkatkan dan dikembangkan melalui latihan, untuk meningkatkan kemampuan daya ledak otot diperlukan peningkatan dan kecepatan secara bersama-sama. Untuk mencapai hasil angkatan yang maksimal dalam cabang olahraga angkat besi dan angkat berat tidak hanya dibutuhkan dari kemampuan fisik dan terjadinya perubahan fisiologis semata, tetapi dibutuhkan pula suatu dorongan yang kuat dari dalam diri atlet itu sendiri, bahkan pengaruh dari luar diri atlet itu sendiri (ekternal) seperti: lingkungan sosial tempat atlet itu berada atau berlatih. E. Sosial 1. Pengertian Sosial Secara umum, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dan proses-proses sosial yang terjadi di dalamnya antar hubungan manusia dengan manusia, secara individu maupun kelompok, baik dalam suasana formal maupun material, baik statis maupun dinamis. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Sapto Adi dan Mu‘arifin (2007) sosiologi diartikan sebagai ilmu masyarakat yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah sosial (norma), lembaga sosial, kelompok serta lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
62
kehidupan bersama, misalnya pengaruh timbal balik antara kemampuan ekonomi yang tinggi dengan stabilitas politik dan hukum, stabilitas politik dengan budaya, dan sebagainya. Lebih lanjut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Sapto Adi dan Mu‘arifin (2007) menelaah lebih dalam tentang sifat hakiki sosiologi yang menampakkan beberapa karakteristiknya yaitu : 1. Sosiologi adalah ilmu sosial berbeda jika dibandingkan dengan ilmu alam/ kerohanian. 2. Sosiologi merupakan disiplin ilmu kategori bukan normatif, artinya bersifat non etis yakni kajian dibatasi pada apa yang terjadi, sehingga tidak ada penilaian dalam proses pemerolehan dan penyusunan teori. 3. Sosiologi merupakan disiplin ilmu pengetahuan murni, bukan ilmu pengetahuan terapan, artinya kajian sosiologi ditujukan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak. 4. Sosiologi meupakan ilmu pengetahuan empiris dan rasional artinya didasarkan pada observasi obyektif terhadap kenyataan dengan menggunakan penalaran. 5. Sosiologi bersifat teoritis yaitu berusaha menyusun secara abstrak dari hasil observasi. Abstrak merupakan kerangka unsur yang tersusun secara logis, bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat berbagai fenomena. 6. Sosiologi bersifat komulatif, artinya teori yang tersusun didasarkan pada teori yang mendahuluinya. Obyek suatu disiplin ilmu dibedakan menjadi obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah sesuatu yang menjadi bidang/kawasan kajian ilmu, sedang obyek formal adalah sudut pandang/paradigma yang digunakan dalam mengkaji obyek material.
Sebagai ilmu sosial, obyek material sosiologi adalah masyarakat, sedang obyek formalnya adalah hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Konsepsi masyarakat (society) dibatasi oleh unsur – unsur :
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
63
1) 2) 3) 4)
Manusia yang hidup bersama.
Hidup bersama dalam waktu yang relatif lama. Mereka sadar sebagai satu kesatuan. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama yang mampu melahirkan kebudayaan (Sapto Adi dan Mu‘arifin, 2007:34) Secara khusus, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat
dipandang dari aspek hubungan antara individu atau kelompok. Hubungan yang terjadi karena adanya proses sosial dilakukan oleh pelaku dengan berbagai karakter, dilakukan melalui lembaga sosial dengan berbagai fungsi dan struktur sosial. Keadaan seperti ini ternyata juga terdapat dalam dunia olahraga sehingga sosiologi dilibatkan untuk mengkaji masalah olahraga.
Selanjutnya Sapto Adi dan Muarifin (2007:40) mengemukakan bahwa bidang kajian sosiologi olahraga sangat luas, mengingat hal itu para ahli berupaya mencari batasan bidang kajian yang relevan misalnya:
a. Heizemann menyatakan bagian dari teori sosiologi yang dimasukkan dalam ilmu olahraga meliputi: Sistem sosial yang bersangkutan dengan garis sosial dalam kehidupan bersama, seperti kelompok olahraga, tim, dan klub olahraga lainnya. Masalah figure sosial, seperti figure olahragawan, Pembina, yang berkaitan dengan usia, pendidikan, dan pengalaman. b. Plessner dalam studi sosiologi olahraga menekankan pentingnya perhatian yang harus diarahkan pada pengembangan olahraga dan kehidupan dalam industri modern dengan mengkaji teori kompensasi. c. G Magname menguraikan tentang kedudukan olahraga dalam kehidupan sehari-hari, masalah olahraga rekreasi, masalah juara, dan hubungan antara olahraga dengan kebudayaan. d. John C.Phillips mengkaji tema yang berhubungan dengan olahraga dan kebudayaan, pertumbuhan, dan rasional dalam olahraga. e. Abdul Kadir Ateng menawarkan pokok kajian sosiologi olahraga yang meliputi pranata sosial, seperti sekolah, dan proses sosial seperti perkembangan status sosial atau prestise dalam kelompok dan masyarakat.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
64
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang eksistensinya selalu dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sosial budayanya (Depdiknas, 2003:18). Lingkungan sosial tempat berdomisili turut mempengaruhi dan menentukan sikap terjang seseorang dalam kehidupan sehari-hari, artinya orangorang yang tinggal di lingkungan masyarakat yang tentram akan cenderung baik dan kecil kemungkinan untuk berbuat jahat, sebaliknya apabila seseorang bertempat tinggal di lingkungan sosial yang tidak tentram, maka orang tersebut cenderung berbuat menyimpang terhadap norma yang berlaku di dalam masyarakat (La Iru, 2007:7) Berdasarkan premis-premis yang berkaitan dengan lingkungan sosial seperti pandangan Siagian (1997), Shinta Ratnawati (2000), dan Sumaatmaja (2002) dalam La Iru (2007: 7) dapat dikatakan bahwa lingkungan sosial yaitu keluarga dan masyarakat dapat mempengaruhi persepsi kepada sesama manusia. Hal ini berlaku pula pada atlet atau lifter di Padepokan Gajah Lampung. Menurut Soerjono Soekanto (2005:131) Ilmu sosial yang masih muda usianya, baru sampai pada tahap analisis dinamika artinya baru dalam tataran tentang analisis dataran masyarakat manusia yang bergerak. Selanjutnya Soerjono Soekanto masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain : (1) Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll., (2) Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll., (3) Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb., dan (4) Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
65
2. Terori-Teori Sosial Ilmu ilmu sosial belum memiliki kaidah dan dalil yang tetap menurut sebagian besar masyarakat, karena itu ilmu sosial belum lama berkembang, sedangkan yang menjadi objeknya adalah masyarakat dan selalu terus berubah. Sifat masyarakat terus berubah-ubah, hingga belum dapat diselidiki dianalisis secara tuntas hubungan antara unsur-unsur dalam kehidupan masyarakat yang lebih mendalam. Beberapa ilmuwan sosial kontemporer telah melakukan pemetaan terhadap aliran-aliran ilmu sosial dan perdebatan metodologinya. George Ritzer dalam bukunya Modern Sociological Theory (1996: 505-506) membagi sosiologi menjadi tiga paradigma; Pertama, paradigma fakta sosial (the social-facts paradigm) yang merupakan jalur positivisme Emile Durkheim dan perkembangan teorinya mempengaruhi fungsional struktural Talcot Parson dan aliran konflik struktural dari Ralf Dahrendorf sampai Lewis Coser. Kedua, paradigma definisi sosial (the social-definition paradigm) dengan Max Weber sebagai tokohnya dan perkembangan teorinya adalah fenomenologi, interaksionisme simbolis maupun etnometodologi. Ketiga, adalah paradigma perilaku sosial (the social behaviour paradigm) yang lebih merupakan teori psikologis yang dibidani oleh B.F. Skiner. Ilmuwan sosial Jerman dari madzab kritis, yaitu Habermas membagi aliran teori melalui kepentingannya (Hardiman, 1990: 127-145), yaitu kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis atau (positivisme), kepentingan praktis ilmu-ilmu Historis hermeneutis (humanisme) dan kepentingan emansipatoris ilmu-ilmu kritis. Ketiga model ilmu ini merupakan hasil proses gejolak filsafat pengetahuan Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
66
sampai abad ke- 20. Pembagian aliran ilmu sosial versi Habermas ini tampaknya lebih tepat untuk memperbincangkan perkembangan ilmu sosial. Sehingga dalam tulisan sederhana tentang diskursus metodologi ilmu-ilmu sosial ini akan mengacu pada pembagian yang dilakukan oleh Habermas. Fakta sosial adalah kenyataan masyarakat yang tidak bisa disingkirkan keberadaannya, dan tidak dapat direduksi menjadi fakta individu. Fakta sosial ini dapat diperoleh melalui penelitian empiris. Ia percaya bahwa ide-ide dapat diketahui secara instropectively (philosopicaly), tetapi benda tidak dapat disusun dengan aktifitas mental murni; mereka mengharuskan untuk konsepsi mereka ―data dari luar pikiran‖ (Ritzer, 1996:185). Positivisme adalah kesadaran positivistis tentang kenyataan sebagaimana juga pengamatan oleh ilmu-ilmu alam. Pada filsafat abad ini pemikiran positivistis tampil dalam lingkungan Wina. Lingkungan Wina menolak pembedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial, menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat diderivasikasikan, seperti etika, estetika, dan metafisika sebagai pernyataan-pernyataan yang tak bermakna atau nonsense, mempersatukan semua ilmu pengetahuan di dalam bahasa ilmiah yang universal, dan memandang tugas filsafat sebagai analisis kata-kata atau pernyataan-pernyataan. Dalam Dictionary of Philosophy and Religion (1980) W.L. Resee mendefinisikan positivisme sebagai kerabat filsafat yang bercirikan metode evaluasi sains dan saintifik positif pada tingkat ekstrem. Sebagaimana layaknya sebuah sistem pemikiran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
67
nilai.
Margaret M. Poloma (1994: 10) dengan mengutip Cotton (1966) dan
Wrong (1976) menjelaskan; Berbeda dengan sosiologi naturalistis atau positivis, sosiologi humanistis bertolak dari tiga isu penting. Pertama, tidak seperti sosiologi naturalistis, sosiologi humanistis menerima pandangan common-sense tentang hakikat sifat manusia, dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya di atas pandangan itu. Kedua, para ahli sosiologi humanis itu yakin bahwa pandangan ―Common-sense‖ tersebut dapat dan harus diperlakukan sebagai premis dari mana penyempurnaan perumusan sosiologis berasal. Dengan demikian pembangunan teori dalam sosiologi bermula dari hal-hal yang kelihatannya jelas, ada dalam kehidupan sehari-hari dan umum. Ketiga, sosiologi humanis ―mengetengahkan lebih banyak masalah kemanusiaan ketimbang usaha untuk menggunakan preskripsi metodologis yang bersumber dalam ilmu-ilmu alam untuk mempelajari masalah-masalah manusia‖. Humanisme ilmu sosial menolak positivisme yang mengambil alih metode ilmu alam kedalam ilmu sosial. Aliran ini menolak apa yang disebut sebagai fakta sosial, angka dari suatu rumusan umum, dan mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). ―Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Epistemologi transendental Immanuel Kant yang menjelaskan refleksi atas syaratsyarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kebingungan dari kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Dunia hanya dapat diketahui hanya melalui proses penyaringan, seleksi, dan pengkategorian kejadian-kejadian‖ (Ritzer, 1996: 25). Kemudian melahirkan aliran Kantian yang menolak positivisme, seperti Max Weber dan W. Dilthey. Max Weber (1864-1920), menurut Anthony Giddens
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
68
(1986) dapat disebut yang mengawali aliran humanisme dalam sosiologi, mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena ‗spiritual‘ atau ‗ideal‘, yang sesungguhnya merupakan ciri khas dari manusia, yang tidak ada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Pendekatan untuk ilmu sosial tidak seperti dalam tradisi positivisme yang mengasumsikan kehidupan sosial atau masyarakat selayaknya benda-benda, tetapi ia meletakkan pada realitas kesadaran manusia sehingga muncul usaha untuk memahami dan menafsirkan. Weber menekankan bahwa, dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial, kita berurusan dengan gejala-gejala jiwa yang ―memahaminya‖ dengan sungguh-sungguh tentu saja merupakan suatu tugas dari suatu jenis yang khusus berbeda dari fenomena-fenomena yang bisa diterangkan atau diusahakan agar bisa diterangkan oleh rencana-rencana ilmu pengetahuan alam eksata pada umumnya (Giddens, 1986: 164-179). Weber selain mendekati ilmu sosiologi melalui konsep Kantian dia juga telah berusaha membuat garis hubung perdebatan antara positivisme dan humanis. Selain Weber adalah Wilhelm Dilthey yang ikut menentang saintisme ilmu sosial, yaitu: ―Wilhelm Dilthey ikut memberikan pijakan penting bagi aliran budaya, bahwa ilmu-ilmu budaya mengobyektivasikan pengalaman seutuh-utuhnya, tanpa pembatasan. Pengalaman-pengalaman ini lebih-lebih dialami dari dalam. Ilmuilmu budaya mentransposisikan pengalaman, yaitu memindahkan obyektivasi mental kembali ke dalam pengalaman reproduktif, bermaksud membangkitkan kembali beberapa pengalaman secara sama. Sikap subyek dalam ilmu budaya adalah verstehen. Yang menjelaskan struktur simbolis atau makna. Dengan verstehen tidak ingin diterangkan hukum-hukum, melainkan ingin menemukan makna dari produk-produk manusiawi, seperti sejarah, masyarakat, candi,
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
69
interaksi. Pengalaman, ekspresi, dan pemahaman adalah tiga pokok penting yang menurut Dilthey menjadi pokok kajian ilmu budaya‖ (Hardiman, 1990: 148). Alfred Schuzt, di Austria, ikut meletakkan dasar terhadap aliran humanisme melalui fenomenologinya, baginya subyek matter sosiologi adalah melihat bagaimana cara manusia mengangkat, atau menciptakan, dunia kehidupan seharihari (Ritzer, 1996: 387), atau bagaimana manusia mengkonstruksi realitas sosial. Schuzt sendiri merupakan pelanjut pemikiran Edmund Husrell dan juga Weber, yang lebih dulu meletakkan dasar humanisme ilmu sosial. Pendekatan mereka mencirikan historisisme (Berger dan Luckmann, 1990: 10). Setelah Schuzt dengan fenomenologinya disusul oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dengan sosiologi pengetahuan (sociology of knowledgewissenssoziologie) yang memperluas jangkauan fenomenologi, ada yang mengatakan sebagai usaha menjembatani antara yang positif dan humanis. Berger pun mengakui bahwa Dilthey dan Schuzt adalah yang mendahului sosiologi pengetahuan melalui historisme. Berger lebih diposisikan sebagai aliran humanis yang juga memanfaatkan pendekatan fakta sosial, ―bahwa dalam karya-karya Berger jelas terlihat usaha untuk menjembatani yang makro dan mikro, bebas nilai dan sarat nilai, interaksionis dan strukturalis, maupun teoritis dan relevan‖ (Poloma, 1994: 303). 3. Nilai sosial
Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
70
itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya (http://id.wikipedia.org /wiki/ Nilai_sosial).
4. Paradigma Ilmu Sosial Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Ada yang menyatakan paradigma merupakan citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Ritzer (1996) mendefinisikan tentang paradigma gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Ia memberikan batasan apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab, dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh. Paradigama sosial mengacu pada orientasi perceptual dan kognitif yang dipakai oleh masyarakat komunikatif untuk memahami dan menjelaskan aspek
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
71
tertentu dalam kehidupan sosial. Paradigma sosial terbatas pada pandangan dua hal; Pertama, paradigma sosial yang hanya dimiliki oleh kalangan terbatas dan tidak melulu diterima oleh anggota masyarakat. Masyarakat yang menerima paradigma ini masyarakat ilmiah, terciptanya komunikasi guna menciptakan paradigma sosial. Kedua, paradigma sosial yang berlaku dalam aspek tertentu dari kehidupan dan bukan aspek yang menyeluruh. Paradigma sosial lebih terbatas dalam ruang lingkung penerimaan dari pada pandangan dunia yang berlaku, sebagai elemen dasar dari paradigma sosial merupakan pandangan dunia baik dalam komponen dasar, keyakinan atau sistem keyakinan dan nilai-nilai yang terkait. Bagi aliran ilmu sosial kritis, bahwa: ―metode posisitivisme atau tradisional, melalui Horkheimer, bekerja melalui metode deduktif dan induktif yang disebut oleh Husrell sebagai sistem tertutup dari proposisi-proposisi bagi ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan. Positivisme-teori tradisional menurut Horkheimer menjadi ideologi dalam arti ketat; Pertama, teori tradisional mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak menyejarah atau ahistoris dan karenanya teori-teori yang dihasilkannya ahistoris dan asosial. Kedua, masyarakat sebagai obyek yang ingin diterangkan dalam teori harus sebagai fakta yang netral yang dapat dipelajari secara obyektif, sehingga menjadi netral. Ketiga, teori dapat dipisahkan dari praksis. Seharusnya teori-teori mengenai masyarakat tidak bersifat netral, ahistoris dan lepas dari praksis, melainkan sebaliknya bersifat kritis.‖ ((Hardiman, 1990: 54-56) Kehidupan sosial senantiasa bergerak; beberapa teori yang menarik atau praktis, hipotesis atau temuan bisa diambil dalam kehidupan sosial sedemikian rupa sehingga dasar untuk melakukan pengujian juga otomatis berubah (Giddens, 1995: x-xii). Walaupun Giddens bukan sosiolog yang memasukkan dirinya dalam tradisi kritis tetapi kritik-kritik dan alternatif ilmu sosial darinya telah memungkinkan orang lain mengidentifikasi dirinya sebagai pelopor ilmu sosial kritis baru.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
72
Secara umum tradisi ilmu sosial kritis menolak positivisme yang menyederhanakan fakta sosial kedalam bungkus rumus sekaligus telah mendirikan suatu pengetahuan teoritis yang tidak tersentuh oleh kritik dan kesalahan, yaitu ideologi. ―Teoritis sosial kritis berpandangan bahwa positivisme tidak lagi sematamata teori pengetahuan namun telah menjadi ideologi baru yang penting pada masa kapitalisme akhir yang mendukung penyesuaian dengan kehidupan seharihari. Ideologi ini telah dijalankan dengan sejumlah kategori epistemologis dan kultural yang sama sebagai sesuatu yang tak tergoyahkan‖ (Agger, 2003: 39).
Pada tradisi ilmu sosial kritis yang berangkat dari semangat emansipatorik dengan maksud melepas ketertindasan dari struktur yang ada maka ―metode penelitian kritis berupaya mengungkap faktor-faktor politis dan ideologis apa yang menjadi penghambat komunikasi itu. Setelah mendeskripsikan problema struktural masyarakat, solusinya adalah perbincangan tentang bagaimana mewujudkan emansipasi dengan cara menghilangkan hambatan politis dan ideologis agar supaya aspirasi masyarakat dapat tertuang dalam program pembangunan. Status kognitif pendekatan kritis adalah phronesis, yaitu penilaian baik dan buruk bersadasarkan moral‖ (Nugroho, 2003). Dalam penelitian sosial, metode kritis menggunakan penelitian partisipatorik yang melibatkan peneliti tidak hanya untuk mendapatkan data dan menuliskan laporan tetapi ikut memberikan andil terhadap terciptanya struktur bebas kekuasaan dalam bidang-bidang kehidupan sosial. Terkait dengan keterlaksanaan olahraga dalam tata latar kehidupan sosial, terkandung tiga fungsi, yaitu (a) katarsis, (b) pembelajaran, dan (c) symbol. Berdasarkan teori katarsis,
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
73
olahraga dipandang sebagai pelampiasan segala macam dorongan yang disebabkan kondisi sosial yang menekan seperti ketidak puasan, kegelisahan, dan ketidak berdayaan masyarakat. Dapat disimpulkan fungsi katarsis sosial merupakan katup pengaman bagi masyarakat (Lutan, 1997; 43). Nampak jelas bahwa melalui pilihan pada cabang angkat besi dan angkat berat masyarakat di sekitar Pringsewu dan sekitarnya telah menjadikan cabang olahraga tersebut sebagai katup pengaman, khususnya bagi peningkatkan kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan dalam Thesis Turner, yaitu ―Centre and Phery-Phery‖, yang telah diposting oleh Syahriartato pada tanggal 28 Desember 2009 dengan judul ―Struktur Spasial wilayah Pheri Urban Sebagai Sistem dan Tata Ruang Kota”. http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_berkelanjutan)
bahwa, makin dekat
pada pusat kegiatan makin mengenal tentang kegiatan itu. Artinya, makin dekat dengan sumber atau tempat kegiatan atau latihan dari cabang olahraga angkat besi dan angkat berat makin banyak orang yang mengenal cabang tersebut, tetapi sebaliknya makin jauh dari pusat kegiatan cabang olahraga angkat besi dan angkat berat maka makin tidak mengenal seluk beluk dan keterlibatan cabang olahraga tersebut. 5. Teori-Teori Sosial yang Digunakan dalam Olahraga Beberapa teori ini membantu kita mengidentifikasi berbagai isu dan masalah- masalah penelitian. Pada beberapa itu menyediakan kerangka kerja untuk mengajukan beberapa pertanyaan
penelitian, menafsirkan infromasi,
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
74
mengungkap makna yang lebih dalam, dan cerita yang berhubungan dengan olahraga dalam budaya tertentu. Alasan Coackley (2001: 31) menggunakan teoriteori ini adalah karena mereka yang mempelajari olahraga dalam sosial yang datang dari berbagai latar belakang akademik yang berbeda dan karena kehidupan sosial yang begitu beragam dan kompleks, kita menggunakan berbagai macam teori untuk memandu pekerjaan kita. Bahkan Hooks (1992, dalam Coackley, 2001: 31) mengungkapkan bahwa, setiap kali kita bertanya mengapa dunia sosial kita adalah cara seperti itu dan kemudian membayangkan bagaimana mungkin akan berubah, kita harus "berteori". Teori itu meliputi perpaduan antara deskripsi, refleksi dan analisis. Teori-teori itu lebih akurat dan efektif dalam menghubungkan kita dengan yang lain dan mengawasi apa yang terjadi dalam hidup kita. Dan ketika kita membuat keputusan mengenai olahraga, rumusan kebijakan, atau memutuskan apakah dana dari program olahraga dipotong, kita sering kali memutuskan berdasarkan pertimbangan pada teori pribadi kita tentang olahraga dan hubungannya dengan kehidupan sosial. Menurut Coackley (2001) ada empat teori sosial yang melandasi kegiatan olahraga, antara lain: a. Teori Fungsional (Functionalist Theory) Teori fungsional adalah didasari pada asumsi bahwa kemungkinan untuk mempelajari masyarakat, penemuan ilmiah
tentang "kebenaran"
bagaimana
pelaksanaan di masyarakat dan kemudian mengembangkan sistem "hukum sosial"
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
75
yang mungkin kita gunakan untuk memahami, mengontrol, dan bahkan mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Menurut teori fungsionalis kekuatan pendorong yang mendasari semua kehidupan sosial adalah kecenderungan setiap sistem sosial untuk mempertahankan dirinya dalam keadaan seimbang, sehingga terus beroperasi secara efisien. Keseimbangan ini dicapai secara "alami" sebagai kelompok orang yang mengembangkan konsensus, nilai-nilai kebersamaan, dan organisasi yang terkoordinasi dalam lingkup utama dari kehidupan sosial, seperti keluarga, pendidikan, ekonomi, media, politik, agama, rekreasi, dan olahraga. Berdasarkan teori ini pula sistem sosial beroperasi dengan lancar ketika mereka memiliki mekanisme efisien untuk melakukan empat hal (1) sosialisasi untuk belajar dan menerima nilai-nilai budaya yang penting, (2) mempromosikan hubungan sosial antara manusia, (3) memotivasi orang untuk mencapai tujuan budaya melalui metode yang diterima, dan (4) melindungi sistem dari pengaruh luar yang mengganggu. Penggunaan Teori Fungsional dalam Kehidupan Sehari-hari Pendekatan fungsionalis ditujukan untuk mempromosikan perkembangan olahraga bagi pemuda secara terorganisir (membangun nilai-nilai), untuk mendanai olahraga di
sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi (meningkatkan
loyalitas organisasi dan laporan), mengembangkan peluang olahraga bagi remaja putri dan wanita dewasa (semakin meningkatnya motivasi berprestasi di kalangan remaja putri dan wanita dewasa), memasukkan olahraga dalam pelatihan militer (meningkatkan kesiapan militer dan kebugaran para tentara) dan mendanai siaran
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
76
olympiade lewat televisi (membangun persatuan dan hubungan baik secara internasional). b. Teori Konflik (Conflict Theory) Teori ini didasari pada gagasan Karl Max. Orang yang menggunakan teori konflik memandang masyarakat sebagai sebuah sistem dari struktur sosial dan hubungan akhirnya dibentuk oleh kekuatan ekonomi. Mereka menganggap bahwa uang, kekayaan, dan bentuk kekuatan ekonomi dapat mengatur masyarakat dan bagaimana pelaksanaannya. Mereka menganggap bahwa kehidupan sosial berkisar pada kepentingan ekonomi dan orang menggunakan kekuatan ekonominya untuk memaksa dan memanipulasi orang lain sehinga menerima pandangannya tentang dunia sebagai pandangan yang benar. Tujuan utama dari teori konflik ini mirip dengan tujuan utama dari teori fungsionalis untuk mengembangkan teori umum tentang bagaimana masyarakat melaksanakan sebagai suatu sistem. Mengakar begitu dalam sehingga perubahan yang progresif mungkin hanya jika orang tanpa kekuatan ekonomi menjadi sadar akan perlunya perubahan dan kemudian mengambil tindakan untuk melakukan perubahan yang radikal dalam mengatur ekonomi dan sosial. Penggunaan Teori Konflik dalam Kehidupan Sehari-hari Teori konflik meyebabkan orang memfokuskan perhatian pada faktor ekonomi, ketidaksetaraan kelas (class inequality) yang dibutuhkan untuk perubahan bagaimana sosial dan olahraga diorganisir. Perubahan ini akan membuat atlet
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
77
dan penonton menyadari bagaimana mereka dimanipulasi dan tertindas untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari elit ekonomi di masyarakat. Teori konflik mengarah pada kesimpulan bahwa masalah-masalah dalam olahraga akan muncul karena tidak berdaya di tangan orang yang bermain olahraga atau mungkin bermain jika olahraga diselenggarakan untuk mewujudkan kepentingan publik bukan kepentingan ekonomi semata. Teori konflik akan menyebabkan orang terpanggil untuk lebih menekan-kan pada permainan dalam olahraga dan mengurangi tekanan pada bisnis, sehingga partisipasi olahraga dapat menjadi lebih bebas dan berdaya untuk kepentingan banyak orang. c. Teori Interaksi (Interactionist Theory) Teori interaksi memfokuskan pada masalah yang berkaitan dengan makna, identitas, hubungan sosial, dan subkultur dalam olahraga.
Berdasarkan teori
interaksi manusia tidak hanya merespon dengan cara yang otomatis untuk dunia di sekitar kita, kemampuan untuk menilai keputusan dan tindakan kita serta memungkinkan untuk mengembangkan renungan perasaan tentang siapa kita dan bagaimana kita berhubungan dengan dunia sosial. Penggunan Teori Interaksi dalam Kehidupan Sehari-hari. Teori interaksi berfokus pada makna dan interaksi yang terkait dengan olahraga dan partisipasi dalam olahraga. Menekankan kompleksitas perilaku manusia serta kebutuhan untuk memahami perilaku bagaimana cara orang terlibat
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
78
dengan olahraga dan menetapkan situasi melalui hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian akan nampak unsur tampilan yang terkait dengan jati diri dan budaya olahraga, sehingga unsur tampilan tadi dapat dikontrol sebagai perubahan pada norma dan budaya dari olahraga d. Teori kritis (Critical Theory) Sekarang ini banyak orang yang mempelajari olahraga dalam masyarakat menggunakan teori kritis. Meskipun teori kritis banyak bentuknya, namun yang utama lebih memfokuskan pada penjelasan tentang budaya, kekuasaan, dan hubungan sosial. Mereka merancang dari berbagai pendekatan untuk memahami dari mana kekuasaan itu datang, bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sosial, serta bagaimana pergeseran dan perubahan sebagai orang yang berjuang atas isu-isu yang mempengaruhi kehidupannya dan hubungan antara satu dengan yang lain (McDonald, and Birrell, 1999: Tomlinson, 1998, dalam Coackley, 2001: 40). Teori kritis menawarkan berbagai penjelasan sebagai berikut (1) bagaimana memproduksi dan mereproduksi budaya, (2) bagaimana hubungan pelaksanaan kekuasaan dalam proses memproduksi dan mereproduksi budaya, dan (3) bagaimana orang dengan pertarungan dalam ide dan makna yang mereka gunakan untuk masuk pada logika dunia, wujud identitas, berinteraksi dengan orang lain, dan mengubah kondisi kehidupannya. Orang menggunakan teori fungsional dan teori konflik sering mengatakan: ‖olahraga merupakan cerminan dari masyarakat‖.
Tetapi bagi mereka yang menggunakan teori kritis menjelaskan bahwa
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
79
olahraga jauh lebih dari itu dan olahraga adalah tempat sosial (situs) di mana masyarakat dan budaya saling memproduksi dan mereproduksi, dan ini membuat jauh lebih penting daripada jika mereka hanya merefleksi dari masyarakat. Penggunaan Teori Kritis dalam Kehidupan Sehari-hari Teori kritis didasarkan pada kekhawatiran untuk keadilan dan keinginan untuk memahami, menghadapi, dan mengubah sistem eksploitasi dan tekanan dalam kehidupan sosial. Mereka yang menggunakan beberapa bentuk teori kritis menekankan bahwa perubahan dalam olahraga bergantung lebih sekedar merubah pengawasan olahraga bagi para pesertanya sendiri. Teori kritis juga menimbulkan pertanyaan tentang olahraga dalam suatu budaya. misalnya teori feminis kritis menekankan kebutuhan kritis tentang nilai dan mengubah ideologi dan organisasi olahraga, sehingga olahraga menyuarakan dan mewakili prespektif pengalaman perempuan dalam masyarakat. Teori feminis di semua disiplin ilmu tumbuh dari ketidakpuasan masyarakat dengan tradisi intelektual yang berdasarkan pengetahuan tentang nilai-nilai dan pengalaman pria, tetapi mengabaikan wanita atau tidak menganggap serius pengalaman dan wawasan perempuan. Teori feminis didasarkan pada kesadaran bahwa perempuan telah direndahkan secara sistematis dan tertindas di kalangan masyarakat umumnya serta ada keinginan mengembangkan strategi politik untuk menghilangkan penindasan dan pemberdayaan perempuan untuk mengubah budaya di mana mereka direndahkan. Teori feminis kritis perhatian utamanya
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
80
pada isu–isu kekuasaan dan dinamika perbedaan jenis kelamin yang berhubungan dengan kehidupan sosial. Pendekatan kritis feminis untuk kegiatan olahraga di masyarakat didasari pada asumsi bahwa olahraga adalah kegiatan jenis kelamin tertentu. Dengan kata lain, pemaknaan, pengaturan, dan tujuan olahraga didasari pada nilai-nilai dan pengalaman pria serta gambaran di dalam masyarakat untuk menyatakan keterampilan dan sifat-sifat yang berhubungan dengan kejantanan saja (Birrell, 2000; Burstyn, 1999; dalam Coackley, 2001:45). e. Figurational Theory Karena akar teori figurational dalam tradisi sejarah intelektual berbasis di Eropa, maka banyak ilmuwan sosial melakukan studi olahraga di Amerika Utara harus terbiasa dengan hal itu. Bagaimanapun, teori ini adalah sebuah teori komprehensif yang telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai panduan untuk membentuk Hipotesis, yaitu melakukan penelitian dan sintesis hasil penelitian tentang kehidupan sosial dan olahraga dalam masyarakat (Dunning, 1999). Teori figurational didasarkan pada pemikiran bahwa kehidupan sosial terdiri dari jaringan kerja yang saling ketergantungan. Mereka yang mengguna-kan teori ini memfokuskan pada proses sejarah melalui jaringan ini, atau keadaan yang saling keterkaitan (interkoneksi) antara orang yang muncul dan berubah setiap saat. Keadaan interkoneksi ini disebut "figurasi". Teori figurational mengasumsikan bahwa manusia adalah "saling ketergantungan satu sama lain, pertama oleh alam, kemudian melalui pembelajaran sosial, melalui pendidikan, sosialisasi, dan
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
81
kebutuhan timbal balik sosial yang dihasilkan" (Elias, 1978). pada kenyataannya, menurut teori figurational, manusia "hanya dapat dipahami istilah figurasi, dalam berbagai hal yang mereka miliki pada masa lalu dan terus diwujudkannya pada masa kini" (Goudsblom, 1977, dalam Coackley, 2001:47). Penggunan Teori Figurasional dalam Kehidupan Sehari-hari Teori figurational didasarkan pada ide bahwa pengetahuan tentang kehidupan sosial adalah kumulatif dan bahwa tujuan pengetahuan memungkinkan orang untuk mengendalikan ekspresi kekerasan, eksploitasi, dan kekuasaan yang bergerak dalam kehidupannya. Teori figurational menekankan bahwa penerapan pengetahuan dalam kehidupan sosial sehari-hari adalah rumit, karena aplikasi yang terikat pada konsekuensi yang tidak diharapkan, bisa menggagalkan hasil yang positif dan progresif . Untuk menyalurkan kreatifitas, hasrat dan keinginan seseorang dalam mencapai tujuan hidupnya, terutama sekali dalam aktivitas berolahraga biasanya diwujudkan melalui suatu wadah, yakni organisasi, badan atau perkumpulan. Sedangkan untuk mencapai tujuan sebuah oragnisasi dibutuhkan manajemen yang efektif dan efisien. F. Manajemen Salah satu upaya untuk mencapai tujuan dari suatu organisasi atau lembaga adalah terbangunnya pola pengelolaan yang efektif dan efisien.
Karena itu,
kehadiran suatu manajemen dari kegiatan pembinaan olahraga dan pembelajaran pendidikan jasmani tidak bisa ditawar lagi. Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
82
1. Definisi atau Pengertian Manajemen Robbins (1999:8) bahwa, istilah manajemen mengacu pada proses mengkoordinasikan dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan kerja agar terselesai-kan secara efisien dan efektif dengan dan melalui orang lain. Mengorganisasikan adalah proses mengatur dan mengalokasikan pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di antara anggota organisasi, sehingga mereka dapat mencapai sasaran organisasi (Purwanto, 2007:17). Menurut Daft dan Marcic (1998, dalam Bucher dan Krotte, 2002:3) bahwa, manajemen sebagai pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien melalui perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian sumber daya organisasi. DuBrin, Ireland, dan Williams (1989, dalam Bucher dan Krotte, 2002:3) mendefinisikan manajemen ‖as the coordinated and integrated process of utilizing an organization‟s resources (e.g., human, financial, physical, informational/ technological, technical) to achive specific objectives through the functions of planning, organizing, leading, controlling, and staffing.‖ Dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi yang efektif dan efisien diperlukan koordinasi dan proses terpadu dengan menggunakan sumber yang ada di organisasi itu seperti manusia, keuangan, benda/barang (fisik), informasi, dan teknik melalui fungsi perencanaan, lembaga, pemimpin, pengawasan dan pengurus/staf).
Jadi secara spesifik, definisi manajemen adalah efisien dan
efektif. Selanjutnya menurut Robbins (1999:8) pula, efisien mengacu pada hubungan antara masukan dengan keluaran. Dari sudut pandang ini, efisien sering
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
83 kali dirujuk sebagai ―melakukan segala sesuatu secara tepat,‖ artinya tidak memboroskan suber-sumber.
Sedangkan efektif seringkali dilukiskan sebagai
―melakukan hal-hal yang tepat,‖ artinya kegiatan kerja yang akan membantu organisasi tersebut mencapai sasarannya.
Dengan kata lain, efisien itu lebih
memperhatikan ―sarana-sarana‖ melaksanakan sesuatunya, efektif berkaitan dengan ―hasil akhir‖, atau pencapaian sasaran-sasaran organisasi. Dapat disimpulkan bahwa perjuangan manajemen adalah untuk menggunakan sumber daya minimal (efisien tinggi); pencapaian sasaran yang tinggi (efektivitas tinggi) (Purwanto. 2007:19). 2. Fungsi Manajemen Bucher dan Krotte (2002: 3) mengemukakan, bahwa fungsi manajemen meliputi: Planning. Perencanaan adalah proses yang logis dan disengaja untuk menguraikan pekerjaan yang dilakukan secara bersama dengan menggunakan metode dan waktu untuk melaksanakan pekerjaannya.
Organizing. Mengacu
pada pengembangan struktur formal organisasi dimana manajemen berbagai koordinasi pusat dan subdivisi kerja disusun secara terpadu dengan garis yang jelas dari otoritas. Leading. Pemimpin adalah tanggung jawab yang jatuh kepada manajer sebagai kepala organisasi. Manajer harus memimpin secara positif memotivasi, dan mempengaruhi individu yang membentuk organisasi dan karena itu akan mempengaruhi operasional dan melakukan program.
Controlling.
Mengendalikan memastikan pelaksanaan yang tepat dari rencana dan terdiri dari beberapa faktor, pekerjaan standar atau harapan harus ditetapkan, metode dan prosedur untuk memantau dan mengukur apakah standar tersebut memenuhi harus
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
84
ditetapkan pula. Staffing. Fungsi manajemen kepegawaian mengacu pada tugas personel keseluruhan harus diseleksi, penugasan, pelatihan, pengembangan staf dan menyediakan serta memelihara kondisi kerja yang menguntungkan bagi semua anggota organisasi. Fungsi manajemen yang lain yang sering dilaksanakan di berbagai organisasi, seperti; decision making, problem solving, budgeting, evaluating, communicating, reporting, delegating, innovating, coordinating, representing, creating, dan motivating (Buch dan Krotte, 2002:9).
Sedangkan Gulick &
Urwick, (1937) bahwa proses yang mendasari manajemen adalah : (1) Planning, (2) Organizing, (3) Staffing, (4) Directing, (5) Coordinating, (6) Resporting, (7) Budgeting, dan sering disingkat dengan POSDCORB. Demikian pula menurut Drucker, (1967, 1974); Hersey dan Blanchard, (1988); Koontz dan O‘donnell, (1976); Mahoney, Jerdee dan Carrol, (1965) ; McFarland, (1974) dalam Bruce dan Quarterman (2003) proses manajemen antara lain Planning, Organizing, Directing, Controlling dan Staffing. Pendekatan proses, menggunakan serangkaian kegiatan interaktif yang sedang berlangsung, umumnya dikenal sebagai proses yang mendasari manajemen untuk mencapai tujuan dan sasaran dari suatu organisasi, departemen, atau unit kerja (Park dan Quarterman, 2003:167). Leith,1983; Mullin, 1980, dalam Park dan Quarterman,(2002) mengatakan bahwa, para ahli teori manajemen olahraga mutakhir menggunakan pendekatan proses untuk menggambarkan manajemen pada organisasi olahraga.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
85
3. Organisasi Manusia adalah mahluk sosial yang cenderung untuk hidup bermasyarakat serta mengatur dan mengorganisasi kegiatannya dalam mencapai sautu tujuan tetapi karena keterbatasan kemampuan menyebabkan mereka tidak mampu mewujudkan tujuan tanpa adanya kerjasama. Hal tersebut yang mendasari manusia untuk hidup dalam berorganisasi, terutama dalam kegiatan olahraga. a. Pengertian atau Definisi Organisasi Handoko (2003:167) bahwa, kata ―organisasi‖ mempunyai dua pengertian. Pertama, menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional, seperti organisasi perusahaan, rumah sakit, perwakilan pemerintah, atau perkumpulan olahraga. Kedua, berkenaan dengan proses pengorganisasian, sebagai suatu cara dalam mana kegiatan organisasi di alokasikan dan ditugaskan di antara para anggotanya agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efisien. Berdasarkan defisini dari beberapa pendapat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa organisasi adalah ―Kelompok orang yang secara bersama-sama ingin mencapai tujuan.‖ b. Unsur-Unsur Organisasi David dan Newton medeskripsikan keterkaitan keempat unsur pokok organisasi pada gambar berikut:
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
86 People
Environment
Structure
Environment
Technology
Gambar 2.1 Keterkaitan Empat Unsur dalam Organisasi Model Davis dan Newton (Purwanto, 2007:50) a. Manusia (human Factor): artinya organisasi baru ada, jika ada unsur manusia yang bekerja sama; ada pemimpin ada yang dipimpin. b. Sasaran, artinya organisasi baru ada, jika ada tujuan yang akan dicapai c. Tempat kedudukan, artinya organisasi baru ada, jika ada tempat kedudukannya d. Pekerjaan, artinya organisasi baru ada, jika ada pekerjaan yang akan dikerjakan serta adanya pembagian pekerjaan. e. Teknologi, artinya organisasi baru ada, jika terdapat unsur-unsur teknis f. Struktur, artinya organisasi baru ada, jika ada hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, sehingga tercipta organisasi. g. Lingkungan (environment of external social system), artinya organisasi baru ada, jika ada lingkungan yang saling mempengaruhi, misalnya ada sistem kerja sama sosial. Jadi suatu organisasi dapat terbentuk manakala keempat unsur pokok itu terpenuhi, yaitu people, structure, technology dan environment. 4. Teori Manajemen Menurut Handoko (2003:41) bahwa teori manajemen mengalami perkembangan dalam empat periode, seperti digambarkan dalam tabel berikut:
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
87
Tabel 2.1 Perkembangan Teori Manajemen Berdasarkan Periode Periode waktu
Aliran Manajemen
1870 -1930
Manajemen Ilmiah
1900 - 1940
Teori Organisasi Klasik
1930 -1940
Hubungan Manusiawi
1940 – sekarang
Manajemen Modern
Kontributor Frederick W. Taylor Frank & Lilian Gilbreth Henry Gantt, Harington Emerson Henri Fayol, Max Weber James D. Mooney Mary Farker Follet Herbert Simon, Chester I Banard Hawthorne Studies, Elton Mayo Fritz Roethlisberger Hugo Munsterberg Abraham Maslow, Chris Argyris, Douglas McGregor, Edgar Schein, David Mc Cleland, Robert Blake & Jane Mouton, Ernest Dale, Peter Druker, dsb.
Aliran Manajemen Ilmiah Stoner (1996:33) manajemen ilmiah menitik beratkan kemakmuran yang maksimal bagi pengusaha dan karyawan dengan empat prinsip dasar filosofi, (1) pengembanngan manajemen ilmiah sebenarnya, (2) penyeleksian secara ilmiah terhadap pekerja, (3) pendidikan dan pengembangan ilmiah untuk para pekerja, dan (4) kerjasama yang erat dan bersahabat antara manajemen dan pekerja, Teori organisasi Klasik Teori ini biasa disebut dengan ―teori tradisional‖ atau disebut juga ―teori mesin‖. Fatah (2000:24) teori ini menekankan bahwa efisiensi hanya diukur oleh produktivitas yang hanya menyangkut penggunaan sumber secara ekonomis tanpa memperhitungkan faktor manusiawi.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
88
Aliran Hubungan Manusiawi Teori ini menekankan bahwa lingkungan sosial di tempat kerja hanya salah satu dari beberapa faktor yang saling berinteraksi yang mempengaruhi produktivitas. Jadi, produktivitas dan kepuasan kerja menjadi semakin kompleks dari yang dipikirkan semula (Handoko, 2003:52). Aliran Manajemen Modern Teori ini muncul pada tahun 1950 sebagai akibat ketidakpuasan dua teori sebelumnya yaitu klasik dan neoklasik. Teori Modern sering disebut dengan teori ―Analiasa Sistem‖ atau ―Teori Terbuka‖ yang memadukan antara teori klasik dan neoklaski. Teori Organisasi Modern melihat bahwa semua unsur organisasi sebagai satu kesatuan yang saling bergantung dan tidak bisa dipisahkan. Organisasi bukan sistem tertutup yang berkaitan dengan lingkungan yang stabil akan tetapi organisasi merupakan sistem terbuka yang berkaitan dengan lingkungan dan apabila ingin survivel atau dapat bertahan hidup maka ia harus bisa beradaptasi dengan lingkungan. 5. Kepemimpinan (leaderships) Kepemimpinan
adalah keterampilan mempengaruhi
aktivitas, situasi,
persepsi, harapan individu atau kelompok dalam menguasai kemampuannya dalam mencapai tujuan yang sama atau tujuan organisasi dalam suatu situasi tertentu. Gordon (1990) mengemukakan bahwa tidak semua orang dapat menjadi pemimpin yang efektif dalam suatu organisasi. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang anggotanya dapat merasakan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi, baik kebutuhan bekerja, motivasi, rekreasi, kesehatan, sandang, pangan, tempat
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
89
tinggal maupun kebutuhan lainnya yang pantas didapatkannya. Artinya, semua kebutuhan anggota dalam organisasi terpenuhi dengan baik.
Situasi yang
demikian menggambarkan hubungan yang positif antara pemimpin dengan para anggota organisasi. Contoh konkrit
dikemukakan oleh Avolio (1999, dalam
Bucher dan Krotte, 2002:14) bahwa, pemimpin yang utama dalam masyarakat adalah orang tua, berikutnya guru, kemudian manager. Karakteristik dan sifat-sifat yang sering dikaitkan dengan kepemimpinan adalah kemampuan yang diklasifikasikan secara umum, seperti: kapasitas, prestasi, tanggungjawab, partisipasi dan status (Pierce dan Newstrom, 2000 dalam Bucher & Krotte, 2002:15), dengan pengertiannya sebagai berikut: 1) Kapasitas (kecerdasan, kewaspadaan, komunikasi, orisinalitas, penilaian) 2) Prestasi (pengetahuan, pemahaman, beasiswa, ekstrakurikuler, layanan) 3) Tanggung jawab (ketergantungan, inisiatif, ketekunan, agresivitas, percaya diri, keinginan untuk unggul) 4) Partisipasi (kegiatan, keramahan, kerjasama, humor, kemampuan beradaptasi) 5) Status (sosial ekonomi, popularitas)
Perbedaan Manajemen dan Kepemimpinan (Leadership) Hersey dan Blanchard (1988, dalam Park dan Quarterman, 2003:165) mendefinisikan manajemen lebih komprehensif, sebagai ―the process of working with and through individuals and groups to accomplish organization goals‖. Sedangkan kepemimpinan (leadership) didefinisikan
sebagai ―the process of
influencing the activities of an individual or a group in effort toward goal achievement in a given situation‖. Berdasarkan perbedaan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, antara manajemen dengan kepemimpinan adalah manajemen
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
90
terletak mekanisme kerja untuk mencapai tujuan organisasi, sedangkan kepemimpinan terletak pada personal bagaimana cara atau upaya untuk mencapai tujuan tadi. Menurut Achyar (211:67), hampir seluruh penelitian tentang kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam empat macam pendekatan, yaitu: a. b. c. d.
pendekatan pengaruh kewibawaan (power influence approach) pendekatan sifat (trait approach) pendekatan perilaku (behavior approach) pendekatan situasional (contingency approach) Tujuan menyeluruh secara garis besar keempat macam pendekatan tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut. Menururt pengaruh kewibawaan
(power influence approach) dikatakan
bahwa keberhasilan pemimpin dipandang dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada pada para pemimpin dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin menggunakan kewibawaan tersebut kepada bawahannya. Pendekatan ini menekankan sifat timbal balik, proses lingkungan yang mempengaruhi dan pentingnya pertukaran hubungan kerjasama antara pemimpin dengan bawahan. Berdasarkan hasil penelitian French dan Reven dalam Wahjosumidjo (2002:21) terdapat pengelompokan sumber dari mana kewibawaan tersebut berasal. Kewibawaan tersebut berasal dari beberapa hal sebagai berikut: a) reward power: bawahan mengerjakan sesuatu agar memperoleh penghargaan yang dimiliki oleh pemimpin b) coersive Power, bawahan mengerjakan sesuatu agar dapat terhindar dari hukuman yang oleh pemipin
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
91
c) legitimate power, bawahan melakukan sesuatu karena pemimpin memiliki kekuasaan untuk meminta bawahan dan bawahan mempunyai kewajiban untuk menuruti atau mematuhinya d) expert power, bawahan mengerjakan sesuatu karena bawahan percaya bahwa pemimpin memiliki pengetahuan khusus dan keahlian serta mengetahui apa yang diperlukan. e) referent power, bawahan melakukan sesuatu karena bawahan merasa kagum terhadap pemimpin atau membutuhkan untuk menerima restu pemimpin dan mau berperilaku pula seperti pemimpin
Dengan demikian berdasarkan cara-cara tersebut maka seorang pemimpin dapat menggunakan seluruh kemampuan dan kekuatannya untuk mempengaruhi bawahannya dalam melaksanakan fungsi dan tugas para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Keberhasilan pemimpin ditandai oleh daya kecakapan luar biasa yang dimiliki oleh pemimpin. Kecakapan tersebut adalah: 1) tidak kenal lelah atau penuh energi, 2) intuisi tajam, 3) tinjauan ke masa depan yang tidak sempit dan 4) kecakapan meyakinkan yang sangat menarik (irresistible persuasive skill). Studi tentang pendekatan sifat (trait approach) ini didukung dengan perkembangan tentang percobaan-percobaan psikologi selama periode 1920-1950. Berdasarkan hasil studi tersebut ada tiga macam sifat pribadi seorang pemimpin, yaitu: a. ciri-ciri fisik (physical characteristic), seperti tinggi badan, penampilan dan energi b. kepribadian (personality) seperti menjungjung tinggi harga diri (self esteem), berpengaruh (dimant), stabilitas emosi. c. kemampuan/kecakapan (ability), seperti: kecerdasan umum (general intelligence), lancar bebicara (verbal fluency), keaslian (originality) dan wawasan sosial (social insight).
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
92
Berdasarkan pendekatan perilaku (the behavior approach) menunjukan bahwa pendekatan ini menekankan pentingnya perilaku yang dapat diamati atau dapat dilakukan oleh para pemimpin dan sifat-sifat pribadi atau sumber kewibawan yang dimilikinya. Oleh karena itu, pendekatan perilaku ini mempergunakan acuan sifat pribadi dan kewibawaan. Dengan menggunakan pendekatan perilaku, maka para ahli mengembangkan teori kepemimpinan perilaku ke dalam berbagai macam klasifikasi, yaitu: 1) Teori Dua Faktor (two Factor theory). Melalui dikembangkan
pengebangan
Leader
pula pemisahan
Behavior
Description
Questionairs
dua dimensi perilaku kepemimpinan, yaitu
struktur inisiasi (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Menurut Sutarto (2001:83) bahwa yang dimaksud dengan structure initiating adalah cara pemimpin melakukan hubungan dengan bawahan dalam usaha menetapkan pola organisasi, saluran komunikasi dan metode atau prosedur yang dia pakai dalam suatu organisasi. 2). Pendekatan Teori Empat Faktor. Teori empat faktor ini meliputi dimensi struktural, fasilitatif, supotif, dan partisipatif. Pendekatan struktural dalam kepemimpinan memiliki ciri-ciri: cepat mengambil tindakan, melaksanakan pendelegasian yang jelas dan menekankan pada hasil dan tujuan organisasi, mengembangkan suatu pandangan organisasi yang kohesif sebagai dasar pengambilan keputusan, memantau penerapan
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
93
keputusan dan memperkuat relasi yang positif baik dengan pemerintah atau dengan masyarakat setempat. Kepemimpinan fasilitatif memiliki indikasi mengusahakan dan menyediakan sumber-sumber yang dipelukan, menetapkan dan memperkuat kembali kebijakan organisasi, menekan dan memperkecil kertas kerja yang birokratis, memberikan saran atas masalah
kerja yang terkait,
membuat jadwal kegiatan, membantu pekerjaan agar dilaksanakan. Kepemimpin suportif, yang mencakup: memberikan dorongan atau penghargaan atas usaha orang lain, menunjukan keramahan dan kemampuan untuk melakukan pendekatan,
mempercayai orang lain dengan pendelegasian tanggung jawab,
memberikan ganjaran atas usaha perseorangan, meningkatkan moral dan semangat staf. Kepemimpinan partisipatif mencakup kepemimpinan dengan menunjukan tanda-tanda: pendekatan akan berbagai pesoalan dengan pikiran terbuka, maju atau bersedia memperbaiki posisi-posisi telah terbentuk, mencari masukan dan nasihat yang menetukan, membantu perkembangan kepemimpinan yg posisional dan kepemimpinan yang sedang tumbuh, bekerja secara aktif dengan perseorangan atau kelompok.
Dan melibatkan orang lain secara tepat dalam
pengambilan keputusan. Pendekatan kontingensi (contingency approach) menekankan pada ciri-ciri pimpinan dan situasi, mengemukakan dan mencoba untuk mengukur atau memperkirakan ciri-ciri pribadi ini dan membantu pimpinan dengan garis pedoman perilaku yang bermanfaat yang didasarkan kepada kombinasi dan kemungkinan yang bersifat kepribadian dan situasional. Berdasarkan penekanan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada empat macam model kepemimpinan
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
94
kontigensi, yaitu model Fiedler (1974). model Houses Path Goal (1974), model Vroom Yetton (1973), dan model situasi (1977) (dalam Achyar, 2011:48). Dari keempat macam
model kepemimpinan tersebut pada akhirnya muncul
kepemimpinan situasi yg berkembang karena model kepemimpinan sebelumnya tidak bisa memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul dalam kepemimpinan. Sebagai tolok ukur untuk melihat keberhasilan seseorang menjadi pemimpin dapat mengacu pada pendapat Fred E. Fiedler dan Matin M. Chamers dalam pengantar bukunya yang berjudul ―Leadership and Management‖ (Via Muviani, 2008:87), dikemukakan bahwa, persoalan utama kepemimpinan secara kasar dapat dibagi dalam tiga pertanyaan pokok, yaitu: a. Bagaimana seseorang dapat menjadi seorang pemimpin (How one become a leader) ? b. Bagaimana para pemimpin itu berperilaku (How leader behave) ? c. Apa yang membuat pemimpin itu berhasil (What makes the leader effective)? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya menyimak pendapat Harsono (1988:34) bahwa ―seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu menanamkan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan anggota-anggota lain dalam kelompoknya‖. Berdasarkan berbagai pendapat di atas tentang pemimpin maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
95
mengatur orang lain atau kelompoknya berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan kepribadiannya serta memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan organisasi. 6. Pelatih (Coach) a. Tugas Pelatih Pelatih memiliki peran yang sangat strategis sekali dalam mencapai keberhasilan bagi seorang atlet, karena itu
Harsono (1988:31) menjelaskan
bahwa ―tugas pelatih sangat luas dan tidak terbatas pada tugas meningkatkan prestasi atlet saja......kecuali tugasnya sebagai pelatih, dia juga berperan sebagai pendidik, seorang guru, bapak, dan teman sejati.‖ Seorang pelatih akan dianggap sebagai figur sekaligus model bagi atlet asuhannya, karena itu perilaku dan kepribadiannya harus dijaga, sehingga talet-atlet terutama atlet muda usia seringkali mengidentifikasi dirinya, perilakunya bahkan tabiatnya. Pada bagian lain Harsono menekankan bahwa tipe kepribadian yang ideal harus selalu tercermin pada seorang pelatih, misalnya ciri-ciri kepemimpinan, sportivitas, kestabilan emosi, ketegasan, keberanian, kesetiaan, dan kejujuran. Tiga hal yang akan menunjang suksesnya seorang pelatih dalam tugasnya ialah (a) latar belakang pendidikasnnya dalam ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan olahraga, (b) pengalamannya dalam olahraga, baik sebagai atlet top maupun sebagai pelatih, dan (c) motivasinya untuk senantiasa memperkaya diri dengan ilmu dan pengetahuan yang mutakhir mengenai olahraga, khususnya mengenai olahraga yang tekuninya (Harsono, 1988:32).
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
96
b. Tipe Pelatih Karena pelatih memiliki tanggungjawab terhadap maju dan mundurnya prestasi para atletnya, maka kemampuan pengetahuan, keterampilan, dan kualitas kepribadiannya sangat dituntut untuk tercapainya tujuan itu.
Tutko dan Richards
(1975; dalam Harsono, 1988:46-54) membagi tipe kepribadian pelatih dalam lima kategori, sebagai berikut: 1) Pelatih yang Otoriter (authoritarian coach) Pelatih tipe ini mudah dikenal, penuh energic dan selalu menuntut bawahannya untuk mengerjakan apa yang diinstruksikannya.
Akan tetapi, meskipun
demikian sering kali patut dikagumi oleh karena beberapa faktor: (a) sukses yang diperoleh dengan cara melatihnya, (b) kerja keras yang diperlihatkan dalam menangani atletnya, dan (c) atlet merasakan manfaatnya untuk dilatih oleh pelatih dengan tipe demikian. Ciri-ciri kepribadiannya; berpegang teguh pada prinsip, menerapkan sistem hukuman untuk memaksa atlet patuh pada peraturan, meskipun dirasakan pahit, ketat dalam rencana dan jadwal latihan, bisa kejam dan sadis, biasanya dia bukan pribadi yang hangat, seringkali menggunakan teknik ancaman untuk memotivasi para atletnya, tidak senang punya asisten yang mempunyai kepribadian sama dengannya, sisi baiknya sangat teroganisir dengan baik. 2) Pelatih yang Baik Hati (nice guy coach) Sebaliknya dari tipe otoriter, pelatih yang baik hati adalah pelatih yang disenangi oleh atletnya karena sifatnya yang luwes dan sangat memperhatikan Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
97
kepentingan dan kesejahteraan atlet. Ciri-ciri kepribadiannya; senang memberi pujian, sangat luwes dalam membuat rencana latihan, sering ragu-ragu mengenai metode atau sistem mana yang akan dipakai, sehingga sering coba-coba. 3) Pelatih Pemacu (intense atau driven coach) Pelatih dengan tipe ini adalah pelatih yang dalam beberapa hal mirip ciricirinya dengan tipe otoriter. Dia juga seorang pelatih yang penuh semangat, agresif, menekankan pada disiplin dan pada hal-hal kecil oleh karena keinginannya untuk memperoleh kesempurnaan dalam segala hal. Dia efektif dalam memberikan rangsangan, motivasi, dan semangat kepada para atletnya. Bedanya dengan pelatih otoriter adalah bahwa dia tidak menerapkan hukuman terhadap atlet yang kurang memenuhi tugasnya. Da juga emosional, sukar mengendalikannya dan kurang tenang. Cir-cirinya: senantiasa gelisah, khawatir, selalu merasa ada yang belum selesai, selalu mendramatisasi situasi, mempunyai pengetahuan dan informasi yang lengkap tentang cabornya, dan memandang kekalahan sebagai suatu malapetaka. 4) Pelatih Tipe Santai (easy going coach) Pelatih tipe ini adalah pelatih yang bersikap pasif, santai, laissez faire, karean itu tidak pernah merasa ada beban stress, kebalikan dari tipe pelatih pemacu.
Dia adalah orang baik, tidak banyak bicara, atlet bebas untuk
berinteraksi secara bebas kapan saja. Regunya tidak terorganisir dengan baik dan tidak pernah benar-benar siap menghadapi pertandingan. Ciri-cirinya: tidak serius menangani tim, tidak bisa menggugah semangat para pemainnya, tidak pernah
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
98
membuat jadwal latihan secara rinci, dalam suasana panik dia tetap tenang dan hampir tidak pernah bingung, tipe pelatih seperti ini terkesan sebagai orang ―dingin‖. 5) Pelatih Tipe Bisnis (business like coach) Pelatih tipe ini sering dijuluki sebagai the scientific coach. Dia inovatif, pengetahuan mengenai olahraga menakjubkan, hafal setiap pemain, baik kekurangnya maupun kekuatannya, bahkan prestasinya. Dia cerdas, yakin akan gagasannya, dan sebagai pembicara yang mengesankan. Ciri-cirinya: olahraga dianggap bisnis karena itu timnya terorganisir dengan baik, tekun mengikuti kemajuan dan kemunduran tim, mempertimbangkan segala hal secara detail sebelum diterapkan dalam latihan, hubungan dengan atlet mirip hubungan bisnis karena itu tidak mudah mendekatinya, keras hati tetapi tetap terbuka bagi gagasan baru, dan selalu menekankan pada ketepatan waktu. G. Kerangka Berfikir Kerangka berpikir merupakan suatu model yang dijadikan acuan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitiannya. Bogdan dan Bilken (1992) dalam Aswanti Rini (2007), menyatakan bahwa kerangka berpikir merupakan paradigma yang didefinisikan sebagai asumsi-asumsi, konsep ataupun proporsi-proporsi yang diyakini kebenarannya atau ketidakbenarannya yang dapat mengarahkan cara berpikir peneliti. Penelitian ini bertitik tolak dari suatu pandangan yang melihat adanya pengaruh antara faktor (karakteristik) fisik, sosial, fisiologis dan motivasi terhadap
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
99
prestasi yang diraih lifter angkat besi dan berat. Hal ini sejalan dengan pemikiran Cratty (1967) dalam Carron, A (1980:4-5) mengemukakan bahwa as having an influence upon individual performance: physiological, social, body structure and psychological. Pemikiran tersebut secara visual digambarkan dalam gambar berikut ini:
UMUM KEBIJAKAN PEMBINAAN OLAHRAGA DAERAH
D
LSM OR
PGL
POLA PARTISIPASI USIA MUDA (SOSIALISASI) ANGKA BESI & BERAT
KHUSUS
DAN OLAHRAGA FISIK FISIK DAERAH
MOTIVASI
PRESTASI IRESTASI
n FISIOLOGIS FISIOLOGIS
LINGKUNGAN SOSIALBUDAYA DAN ORIENTASI NILAI (FIGUR PEMBINA & KEPEMIMPINAN
Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian H. Asumsi Dasar Dengan merujuk kepada kerangka teori dan fakta empiris maka diajukan beberapa premis sebagai berikut:
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
100
a. Keadaan fisik atlet angkat besi dan berat (tinggi badan, berat badan, usia, jenis kelamin) yang bervariatif bukan kendala untuk mengangkat beban secara maksimal b. Pencapaian prestasi yang maksimal pada cabang olahraga angkat besi dan berat di Padepokan Lampung sering kali mengakibatkan terjadinya perubahan kehidupan para atlet, baik secara ekonomis maupun sosial. Karena itu, tidak mengherankan apabila atlet yang menekuni cabang olahraga ini berasal dari keluarga dengan ekonomi relatif kurang serta berlatar belakang pendidikan juga relatif rendah. c. Kondisi sosial atlet yang relative rendah memungkinkan semangat berlatih dan bertanding lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya faktor motivasi yang mendorong untuk merubah kehidupan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. d. Dengan faktor motivasi yang tinggi (secara intrinsik maupun ekstrinsik) dapat meningkatkan dan memacu semangat tanding, sehingga beban yang dianggap berat maupun tekanan yang besar dari berbagai pihak seperti pelatih, lawan, penonton dan lingkungan tempat pertandingan dapat di atasi dengan baik. e. Proses pembinaan yang tersusun secara terencana dan berkesinambungan dengan prisnsip latihan beban lebih (overload) maka akan meningkatkan kemampuan atlet angkat besi dan berat terutama kekuatan, daya tahan dan power untuk bagian tubuh seperti lengan, dada, perut, bahu, punggung dan tungkai (Harsono dalam Menegpora, 1990;31). Peningkatan itu disebabkan karena adanya perubahan secara fisiologis (Bowers dan Fox, 1992; 250 ) pada otot yang digunakan atlet di cabang tersebut.
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
101
I. Hipotesis Adapun hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: 1.
Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor fisik (tinggi badan, berat badan, panjang lengan, panjang tungkai, tinggi duduk, lingkar lengan, lemak paha), motivasi, dan faktor fisiologis (genggam kanan, genggam kiri, tarikan lengan, dorongan lengan, kekuatan tungkai, fleksibilitas, dan daya ledak (power)) terhadap prestasi secara simultan pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ?
2.
Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor tinggi badan (fisik) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ?
3.
Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor berat badan badan (fisik) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ?
4.
Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor panjang lengan (fisik) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ?
5.
Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor panjang tungkai (fisik) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ?
6.
Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor tinggi duduk (fisik) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ?
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
102
7.
Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor lingkar lengan (fisik) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ?
8.
Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor lemak paha (fisik) terhadap
prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di
Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ? 9.
Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor motivasi terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ?
10. Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor genggam kanan (fisiologis) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ? 11. Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor genggam kiri (fisiologis) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ? 12. Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor tarikan lengan (fisiologis) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ? 13. Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor dorongan lengan (fisiologis) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ?
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
103
14. Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor kekuatan tungkai (fisiologis) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ? 15. Terdapat
hubungan fungsional yang signifikan
antara
faktor fleksibilitas
(fisiologis) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ? 16. Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara faktor daya ledak (power) (fisiologis) terhadap prestasi secara parsial pada atlet angkat besi dan angkat berat di Padepokan Gajah Lampung, baik putra maupun putri ?
Rahmat Hermawan, 2012 Efektivitas Kepemimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu