BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Waduk Cirata Waduk Cirata merupakan salah satu waduk yang dibangun di DAS Citarum, yang pada saat pembangunannya ditunjukan sebagai pembangkit listrik. Waduk ini dibangun pada tahun 1988, berada pada ketinggian 221 m dari permukaan laut. Luasnya 6.200 hektar (ha) dengan luas tangkapan air 603.200 ha, kedalaman rata-rata 34,9 m dan volume 2.165 x 106 m3 (Garno 2002). Wilayah genangan airnya meliputi Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung. Namun, wilayah genangan air terluas berada di Cianjur. Menurut SK Gubernur No 41 2002 fungsi utama dari waduk ini adalah sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan fungsi sekunder sebagai areal budidaya ikan, tranportasi air dan rekreasi. Waduk Cirata menampung berbagai jenis senyawa yang bersumber dari limbah, baik oleh aliran sungai Citarum dan anak-anak sungainya, maupun limbah yang bersumber dari kegiatan di dalam waduk sendiri (autochtonous) misalnya dari kegiatan jaring terapung yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat (BP3U 2010). Budidaya ikan di Waduk Cirata dilakukan dengan sistem karamba jaring apung (KJA). Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) mencatat, jumlah KJA di Cirata saat ini mencapai 50.000 unit jaring. Dari jumlah KJA itu, 60%-nya berada di wilayah Cianjur. Karamba Jaring apung di waduk Cirata mempunyai luas permukaan tiap petaknya 7 x 7 m2 dan kedalamnya bervariasi anatara 2-4 m, biasanya petani menggunakan 4 petak atau sama dengan 1 unit untuk budidaya ikan (Garno dan Adibrotop 1999). Jaring dibuat dari bahan polyethilen (PE) dengan mesh size (lebar mata jaring) antara 0,75-1 cm (Departemen Kelautan dan Perikanan 2003). Ikan-ikan yang dibudidayakan di Waduk Cirata antara lain ikan Oreochromis niloticus (nila), Cyprinus carpio (mas), Pangasius hypophthalmus (patin), Clarias batrachus (lele), Colossoma macropomum (bawal), dan
Barbonymus gonionotus (tawes). 5
6
2.2 Mekanisme Toksisitas pada Ikan Pengambilan (uptake) zat kimia dari lingkungan oleh makhluk hidup disebut bioakumulasi. Bioakumulasi diartikan sebagai terdapatnya bahan pencemar pada organisme dalam konsentrasi jauh lebih besar daripada konsentrasi di dalam lingkungannya karena adanya proses akumulasi. Bioakumulasi dimulai dengan kapasitas racun memasuki biota. Hal ini menjadi sangat besar kemungkinannya apabila bahan asing bersifat racun (xenobiotik) tersebut presisten dalam lingkungannya. Mekanisme masuknya xenobiotik ke dalam organisme dapat lewat pernafasan atau permukaan tubuh kemudian memasuki sirkulasi darah (Soemirat 2003).
2.3 Biologi Ikan Mas Ikan mas memiliki nama latin Cyprinus carpio dan terdaftar dengan nomor 163344 dalam ITIS (Integrated Taxonomic Information System). Secara umum ikan mas dikenal sebagai common carp (English). Berdasarkan taksonomi, ikan mas diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin 1984). Phylum Subphylum Class Subclass Ordo Family Genus Species
: Chordata : Vertebrata : Actinopterygii : Neopterygii : Cypriniformes : Cyprinidae : Cyprinus : Cyprinus carpio Linnaeus
Gambar 1. Ikan Mas (Cyprinus carpio L) (Sumber : http://www.dkp.go.id/upload/mas.JPG&imgrefurl)
7
Ikan mas memiliki kepala yang dilengkapi dengan sepasang mata, sepasang cekung hidung yang tidak berhubungan dengan rongga mulut, celahcelah insang, sepasang tutup insang, sepasang misai, alat pendengar dan keseimbangan yang tampak dari luar. Seluruh bagian tubuh ikan mas ditutupi dengan sisik yang besar dan berjenis cycloid. Pada bagian itu terdapat garis linea lateralis, memanjang mulai dari belakang tutup insang sampai pangkal ekor. Jaringan tulang atau tulang rawan yang disebut jari-jari. Sirip-sirip ikan ada yang berpasangan dan ada yang tunggal, sirip yang tunggal merupakan anggota gerak yang bebas (Santoso 1993). Saluran pencernaan ikan mas berupa segmen-segmen, meliputi mulut, rongga mulut, faring, esofagus, pilorus, usus, rektum dan anus. Ikan mas dapat memakan plankton maupun invertebrata kecil. Ikan mas merupakan ikan omnivora yang cenderung herbivora. Keadaan usus yang sangat panjang pada ikan herbivora merupakan kompensasi terhadap kondisi makanan yang memiliki kadar serat yang tinggi sehingga memerlukan pencernaan lebih lama. Hal ini dapat dibuktikan melalui pengamatan pada organ dalam ikan mas yang tidak ditemukan adanya lambung tetapi bagian depan usus halus terlihat membesar yang lebih dikenal dengan istilah “lambung palsu”. Ikan mas memilki panjang usus yang melebihi panjang tubuh ikan. Pada pengukuran yang telah dilakukan diketahui bahwa tubuh ikan mas memiliki panjang baku 19 cm sedangkan panjang ususnya mencapai 50 cm atau hampir tiga kali lipat dari panjang tubuhnya. Usus yang
panjang
tersebut
bertujuan
untuk
mendapatkan
hasil
hidrolisis
makromolekul makanan secara maksimal (Santoso 1993).
2.3.1 Ikan Sebagai Alat Memonitor Pencemaran Untuk menaksir efek toksiologis dari beberapa polutan kimia dalam lingkungan dapat diuji dengan menggunakan spesies yang mewakili lingkungan yang ada di perairan tersebut. Spesies yang diuji harus dipilih atas dasar kesamaan biokimia dan fisiologis dari spesies. Kriteria organisme yang cocok untuk digunakan sebagai uji hayati tergantung dari beberapa faktor (Mason 1980) :
8
1. Organisme harus sensitif terhadap material beracun dan perubahan lingkungan. 2. Penyebarannya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak. 3. Mempunyai arti ekonomi, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun nasional. 4. Mudah dipelihara dalam laboratorium. 5. Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit. 6. Sesuai untuk kepentingan uji hayati. Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi ini dapat ditunjukkan dalam percobaan di laboratorim, di mana terjadi perubahan aktivitas pernafasan yang besarnya perobahan diukur atas dasar irama membuka dan menutupnya rongga mulut dan overculum (Mark 1981).
2.4 Histologi dan Histopatologi Histologi sangat diperlukan dalam mempelajari struktur jaringan normal suatu organ atau alat tubuh lain baik struktur anatomi maupun fisiologi. Hal ini sangat penting dalam mengenali suatu kondisi patologis yang merupakan akibat suatu penyakit dan perubahan-perubahan seluler. Ilmu yang mempelajari kelainan patologis (abnormal) suatu jaringan disebut Histopatologi (Panigoro dkk 2007). Struktur jaringan normal dan abnormal dapat dipelajari dengan mikroskop dalam bentuk preparat jaringan. Preparat ini dibuat melalui proses pengolahan jaringan sampai didapatkan preparat yang telah diwarnai, dengan demikian struktur histologi dapat terlihat dengan jelas sehingga memudahkan pembacaan jaringan. Pembuatan preparat sediaan histologi dilakukan melalui beberapa tahap yaitu persiapan, pengolahan, pengirisan dan pewarnan jaringan (Panigoro dkk 2007). Persiapan jaringan meliputi tahap fiksasi, pemotongan jaringan, pelabelan spesimen, refiksasi dan deklasifikasi. Selanjutnya, pengolahan jaringan dilakukan dengan tahap dehidrasi, penjernihan, penyusupan paraffin dan pembuatan blok. Jaringan paraffin dalam bentuk blok yang akan dibuat irisan tipis jaringan dengan
9
mikrotom sehingga menjadi preparat yang dapat diwarnai dengan beberapa jenis pewarnan seperti pewarnaan Hematoksilin-eosin, Giemsa, Zieh-Neelsen dan lainlain (Panigoro dkk 2007).
2.5 Organ Hati 2.5.1 Struktur Hati Hati merupakan kelenjar pencernaan yang paling besar dan tersusun dari sel parenkim dan jalinan serabut. Struktur utama hati adalah sel hati atau hepatosit. Hepatosit berpengaruh terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang berisi darah dan saluran empedu. Sel Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dalam sistem retikuloendotelial
tubuh
(Lu
1995).
Sel
Kupffer
merupakan
sistem
monositmakrofag dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah. Sehingga hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen toksik (Anderson 1995). Sel hati berbentuk polihedral, dengan enam permukaan atau lebih. Sel hati mempunyai satu/dua buah inti bulat, banyak retikulum endoplasma halus dan kasar, serta mempunyai banyak mitokondria yang berbentuk ovoid atau sferis. Sel hati berkelompok dalam lempeng-lempeng dan saling berhubungan sedemikian rupa sehingga membentuk bangunan lobulus hati. Di dalam lobulus hati, sel hati tersusun secara radier. Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid. Sinusoid adalah pembuluh darah kapiler yang merupakan percabangan dari vena porta dan arteri hepatika. Tidak seperti kapiler lain, sinusoid dibatasi oleh Sel Fagositik atau Sel Kupffer (Anderson 1995). Mikroanatomi hati ikan mas normal dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin dan pembesaran 400x dapat dilihat pada Gambar 2.
10
2.Hepatosit
1.Vena Sentralis
4. Sinusoid
3. Inti sel
Gambar 2. Mikroanatomi Hati Ikan Mas Normal (Sumber : Dokumentasi Pribadi) 2.5.2 Sirkulasi Darah pada Hati Sirkulasi darah pada hati meliputi sistem vena porta dan sistem arteri. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan sekitar dua per tiga adalah darah dari vena porta. Darah mengalir melalui vena porta dan arteri hepatika, dan disalurkan melalui vena sentral ke vena hepatika kemudian ke vena cava. Aliran darah pada hati mengalir dari perifer ke pusat lobulus, sehingga metabolit-metabolit dan semua zat toksik atau non toksik yang diabsorbsi dari usus mula-mula mencapai sel perifer dan kemudian ke sel–sel tengah lobulus (Yuniar 2009).
2.5.3 Fungsi Hati Organ hati memiliki beberapa fungsi, antara lain detoksikasi, yaitu hati menetralisir zat-zat berbahaya menjadi zat-zat yang tidak berbahaya yang kemudian diekskresi oleh ginjal. Suatu toksikan dalam hati akan diinaktifkan oleh enzim-enzim di dalam hati, tapi apabila toksikan diberikan secara terus-menerus, kemungkinan toksikan di dalam hati akan menjadi jenuh (enzim tidak mampu mendetoksifikasi toksikan lagi), sehingga terjadi penurunan aktifitas metabolisme dalam hati. Hal ini akan menyebabkan proses detoksifikasi tidak efektif lagi, maka senyawa metabolit akan dapat bereaksi dengan unsur sel dan hal tersebut
11
dapat menyebabkan kematian sel. Fungsi yang lain adalah pembentukan dan eksresi
empedu,
metabolisme
garam
empedu,
metabolisme
karbohidrat
(Glikogenesis, glikogenolisis, glukoneogenesis), sintesis protein, metabolisme dan penyimpanan lemak (Anderson 1995).
2.5.4 Kerusakan Hati Kerusakan hepatosit menurut Ressang (1984) terdiri dari taksohepatik dan trofohepatik. Kerusakan akibat taksohepatik disebabkan oleh pengaruh langsung dari agen yang toksik, baik berupa zat kimia maupun kuman. Kerusakan akibat trofohepatik disebabkan adanya kekurangan faktor-faktor penting untuk kehidupan sel seperti oksigen atau zat makanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia dan sering menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia. Oleh karena itu, hati merupakan organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan. Menurut Lu (1995) hal ini disebabkan sebagian besar toksikan yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh usus halus dibawa ke hati oleh Vena Porta hati. Melihat fungsi hati tersebut, maka dapat dipahami bahwa hati merupakan organ yang mudah terkena efek toksik senyawa asing. Peristiwa tersebut dapat terjadi dikarenakan: 1. Senyawa kimia yang diberikan secara oral akan diabsorbsi dari saluran cerna ke dalam hati melalui vena porta dapat meracuni hati. 2. Senyawa kimia yang dimetabolisme di dalam hati dieksresikan ke dalam empedu dan kembali lagi ke duodenal. 3. Senyawa asing yang dimetabolisme di dalam hati sebagian dilokalisir di dalam hati. Hati merupakan organ yang banyak berhubungan dengan senyawa kimia sehingga mudah terkena efek toksik (Loomis 1978). Tingkat kerusakan hati menurut Darmono (1995), dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Perlemakan hati termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah kematian sel atau nekrosis.
12
Kematian sel adalah proses dimana sel-sel kehilangan integritasnya sebagai suatu unit fungsional. Dalam keadaan ini telah terjadi suatu keadaan dimana terlewatinya Point Of No Return yaitu suatu titik yang menunjukan bahwa suatu kerusakan pada sel tidak akan dapat kembali lagi menjadi seperti sedia kala dan dengan pasti akan mengalami nekrosis yaitu kematian lokal jaringan dalam tubuh individu yang masih hidup. Kematian sel atau jaringan yang terjadi setelah hewan mati disebut Autolisis Postmortal, kondisi ini bagi pemeriksa patologis tidak berguna, karena kerusakan yang terjadi berlangsung setelah hewan mati. Bagi pemeriksa patologis yang perlu diketahui adalah kerusakan pada tingkat sel maupun jaringan saat hewan itu masih hidup (Priosoeryanto 2012). Penyebab terjadinya nekrosis antara lain : 1. Racun (Bahan kimia, racun mikroorganisme patogen, tumbuh-tumbuhan dan hasil proses penghancuran dalam tubuh) 2. Tidak cukup mendapat darah 3. Tidak ada inervasi saraf 4. Suhu (terlalu panas atau dingin) 5. Mekanis 6. Aliran listrik 7. Sinar radioaktif Perubahan yang tampak secara histopatologi (Mikrokopis) adalah terlihat batas-batas sel tidak jelas dan hilang. Sel-sel yang baru mengalami proses nekrosis akan kelihatan bengkak. Sitoplasma dari sel yang nekrosisi mengambil warna lebih banyak dengan pewarnaan eosin (lebih merah dibanding sel normal) dan warna intinya tidak jelas bahkan tidak terwarnai sama sekali secara mikroskopis, perubahan nekrosis yang lengkap dan berurutan meliputi : 1. Perubahan pada inti a. Karyopiknosis, inti mengecil dan menjadi lebih bundar, berwana lebih gelap ( ungu tua dengan pewrna hematoxillin ) b. Karyohexis, inti dari sel yang telah mati tersebut robek, hancur berkepingkeping kecil yang hampir tak kelihatan,
13
c. Karyolysis, keadaan dimana bahan inti mengalami pelarutan, biasanya inti terlihat sebagai lingkaran kosong yang terdiri dari selaput inti. Pada proses ini yang dilarutkan adalah kromatin inti sehingga sebenarnya proses ini adalah kromatolisis. Kromatin inti dilarutkan d. Hilangnya inti, ketiga proses diatas berakhir dengan penghancuran inti secara komplit dan apabila inti telah hilang maka selnya telah mati. 2. Perubahan pada sitoplasma: a. Warna asidofil (kemerahan) yang luar biasa karena saat hidup bersifat lebih basa, sedangkan mati lebih asam b. Sitoplasmolysis, apabila perubahan sitoplasma berkelanjutan, maka sitoplasma menjadi semakin berkurang dan kemudian menghilang sama sekali 3. Perubahan lebih lanjut: a. Hilangnya batas-batas sel b. Hilangnya sifat pewarnaan diferensiasi c. Hilangnya sel Degenerasi vakuola atau pembengkakan sel merupakan salah satu indikasi terjadinya perlemakan hati, pada keadaan ini sel hati tampak membesar. Perlemakan hati merupakan tahap awal terjadinya kerusakan dalam hati. Perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5% atau telah terjadi penimbunan lipid dalam hati. Degenerasi sel dapat berupa degenerasi hidropis, degenerasi berbutir, dan degenerasi lemak. Degenerasi lemak terjadi sebagai respon lanjut dari degenerasi hidropis, dimana sel tidak mampu memetabolisme lemak dengan baik sehingga terjadi akumulasi lemak pada sel. Degenerasi terjadi karena gangguan biokimiawi yang disebabkan iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang besifat toksik. Hal ini menyebabkan membran sel normal akan mengalami kerusakan sehingga keseimbangan pengeluaran ion K+ dan pemasukkan ion Na+, Ca2+ dan air akan terganggu. Kerusakan membran sel menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah air kedalam sel, sehingga menyebabkan sitoplasma menjadi bengkak dan dipenuhi butiran-butiran air. Apabila kerusakan membran sel terus berlangsung, maka
14
sitoplasma sel akan berisi cairan yang membentuk vakuola-vakuola, sehingga sitoplasma terlihat lebih pucat, keadaan ini dinamakan degenerasi hidropis (Cheville 1999). Menurut Ressang (1984) perlemakan yang berlangsung lama dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hati yaitu kongesti. Kongesti adalah terjadinya pembendungan darah pada hati yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi. Pada sel hati, kongesti didahului dengan pembengkakan sel hati dimana sel hati membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat (Ressang 1984). Hemoragi adalah keluarnya darah dari sirkulasi kardiovaskuler dan biasanya terdapat kerusakan pada susunan kardiovaskuler tersebut (arteri, vena dan kapiler) (Sudiono 2003). Atrofi adalah menurunnya ukuran jaringan yang disebabkan berkurangnya jumlah sel atau ukuran sel.
2.6 Kualitas Air 2.6.1 Suhu Suhu adalah pengatur utama dalam proses-proses alami di lingkungan perairan. Daya toleransi ikan terhadap suhu sangat bervariasi bergantung pada spesies dan stadia hidupnya. Menurut SNI 2000, suhu yang baik untuk ikan mas berkisar antara 25oC- 30oC. Kenaikan suhu perairan yang masih dapat diterima oleh ikan, akan diikuti derajat metabolisme dan selanjutnya kebutuhan oksigen akan naik pula (Mulyanto 1992). Kenaikan suhu pula akan mempengaruhi kelarutan oksigen dan kelarutan logam berat yang masuk keperairan. Semakin tinggi suhu perairan maka kelarutan logam berat akan semakin tinggi (Erlangga 2007), sehingga suhu akan berpengaruh pada ikan untuk merespon zat kimia.
2.6.2 Derajat Keasamaan (pH) Besarnya derajat keasamaan (pH) pada suatu perairan adalah besarnya konsentrasi ion hidrogen yang terdapat di dalam perairan (Mulyanto 1992). Derajat keasaman dipengaruhi oleh kadar karbondioksida, kepadatan fitoplankton,
15
alkalinitas total serta tingkat kesadahan. Nilai pH yang baik untuk budidaya ikan mas adalah 6,5 – 8,5 (SNI 2000). Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan akan semakin tinggi dan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida-hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat di badan perairan.
2.6.3 Oksigen Terlarut (DO) Pada lingkungan perairan, kandungan oksigen dalam air dapat dilihat melalui kandungan oksigen terlarut. Berdasarkan hasil penelitian kualitas air dan kontaminasi polutan membuktikan bahwa oksigen terlarut (dissolved oxygen) merupakan parameter paling penting sebagai penunjang kehidupan organisme akuatik. Oksigen digunakan oleh organisme akuatik untuk proses respirasi. Ketersediaan oksigen sangat berpengaruh terhadap metabolilsme dalam tubuh dan untuk kelangsungan hidup suatu organisme. Oksigen terlarut yang baik untuk budidaya ikan mas adalah lebih dari 5 mg/l (SNI 2000). Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari difusi dengan udara dan adanya proses fotosintesis dari tanaman air. Kelarutan oksigen di air menurun dengan semakin meningkatnya salinitas, setiap peningkatan salinitas sebesar 9 mg/l mengurangi kelarutan oksigen sebanyak 5% dari yang seharusnya di air tawar (Boyd 1982). Kebutuhan organisme akan oksigen sangat bervariasi bergantung pada umur ikan, ukuran ikan, dan kondisi ikan (Bond 1979). Menurut Brett (1979), jika kandungan oksigen terlarut dalam air pada wadah budidaya kurang dari 3 mg/l dan suhu air berkisar antara 200C-320C dapat menyebabkan laju pertumbuhan, efisiensi pakan, dan jumlah pakan yang diberikan menurun. Penurunan kadar oksigen terlarut hingga di bawah 5 mg/l dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi, pertumbuhan, dan kematian organisme budidaya.
16
2.6.4 Amonia (NH3) Secara umum ammonia pada suatu perairan berasal dari urin dan feses yang dihasilkan oleh ikan. Pada dasar perairan kemungkinan terdapat ammonia dalam jumlah yang lebih banyak dibanding perairan di bagian atasnya karena oksigen terlarut pada bagian dasar relatif lebih kecil. Konsentrasi ammonia yang tinggi pada permukaan air akan menyebabkan kematian ikan yang terdapat pada perairan tersebut. Hal ini diperkuat oleh pendapat Djenar dan Budiastuti (2008), air limbah berasal dari sisa-sisa pengolahan limbah cair yang mengandung amoniak dan urea yang dibuang ke badan air sehingga terjadi penurunan kualitas air. Menurut PP no 82 tahun 2001 kisaran nilai amonia yang baik untuk budidaya ikan < 0,02 mg/l.