BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perspektif/Paradigma Kajian Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran. Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh peneliti melalui model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian yang berfungsi (perilaku di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu) (Moleong, 2005:49). Perspektif atau paradigma yang peneliti gunakan adalah kualitatif dimana pendekatan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris). Sementara itu penelitian kualitatif tidak menggunakan statistik, data hasil penelitian diperoleh secara langsung, misalnya observasi partisipan, wawancara mendalam, dan studi dokumen sehingga peneliti mendapat jawaban apa adanya dari responden.(Iskandar:35-37). Peneliti menggunakan pendekatan interpretif dimana berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Pendekatan interpretif diadopsi dari orientasi praktis. Secara umum pendekatan interpretatif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail langsung mengobservasi. (Newman, 1997: 68). Selain itu interpretif juga melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna sosial. Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan interpretatif. Fakta-fakta tidaklah imparsial, objektif dan netral. Fakta merupakan tindakan yang spesifik dan kontekstual yang bergantung pada pemaknaan sebagian orang dalam situasi sosial. Interpretif menyatakan situasi sosial mengandung ambiguisitas yang besar. Perilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang banyak
dan
dapat
dinterpretasikan
dengan
berbagai
cara.
(http://ernams.wordpress.com/2008/01/07/pendekatan-interpretif/ diakses pada tanggal 5 Juli 2012).
2.2 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan acuan atau landasan berpikir peneliti dengan basis pada bahan pustaka yang membahas tentang teori atau hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan dijalankan (Prajarto, 2010:49). Pencarian dan penelusuran kepustakaan atau literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian sangat diperlukan. Penelitian tidak dilakukan di ruang kosong dan tidak pula dapat dikerjakan dengan baik, tanpa basis teoritis yang jelas. Penelitian kekinian sesungguhnya menelusuri atau meneruskan peta jalan yang telah dirintis oleh peneliti terdahulu. (Danim Sudarwan, 2001:105 dalam Iskandar, 2009:100). Dengan adanya kajian teori, maka peneliti akan mempunyai landasan untuk menentukan tujuan dan arah penelitian. Adapun teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah:
2.2.1 Komunikasi Secara etimologis atau menurut asal katanya, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Arti communis disini adalah sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat keasamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Secara trminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian itu jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia. Karena itu, komunikasi yang dimaksudkan disini adalah komunikasi manusia atau dalam bahasa asing human communication, yang sering kali pula disebut komunikasi sosial atau social communication. Komunikasi manusia sebagai singkatan dari
komunikasi
antarmanusia dinamakan komunikasi sosial atau komunikasi kemasyarakatan karena hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat terjadinya komunikasi (Effendy, 2004: 3-4). Selain itu, Komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. (De vito, 1997:23). Selanjutnya, Liliweri (2004:5) berpendapat esensi komunikasi terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang “melayani’ hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Itulah sebabnya mengapa semua orang pertama-tama tertarik mempelajari komunikasi manusia (human communication), sebuah proses komunikasi yang melibatkan
manusia pada kemarin, kini dan mungkin di masa yang akan datang. Komunikasi manusia itu melayani segala sesuatu, akibatnya orang bilang komunikasi itu sangat mendasar dalam kehidupan manusia, komunikasi merupakan proses yang universal. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan yang trampil dari manusia (communication involves both attitudes and skills). Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain. Menurut (Rudy, 2005:1), komunikasi adalah proses penyampaian informasi-informasi, pesan-pesan, gagasan-gagasan atau pengertian-pengertian, dengan menggunakan lambanglambang yang mengandung arti atau makna, baik secara verbal maupun non verbal dari seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau sekelompok orang lainnya dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian dan/atau kesepakatan bersama.. Sedangkan (Morissan, 2009:11), mengemukakan komunikasi merupakan bentuk interaksi. Komunikasi adalah kendaraan atau alat yang digunakan untuk bertingkah laku dan untuk memahami serta memberi makna terhadap segala sesuatu di sekitar kita. Interaksi akan mengarah pada makna yang dipahami bersama dan sekaligus memperkuat makna bersama itu. Interaksi juga membangun berbagai konvensi yang merupakan standar makna dan tindakan, seperti peraturan, peran orangorang tertentu, serta norma-norma yang memungkinkan terjadinya interaksi lebih jauh. Teori interaksi dirancang untuk menjelaskan proses sosial dan menunjukkan bagaimana tingkah laku orang dipengaruhi oleh aturan atau norma-norma kelompok. Robert E. Park mengungkapkan dalam Liliweri (2004:179), komunikasi menjadi sangat penting dalam membentuk sebuah kebersamaan masyarakat, komunikasi mencipatakan, atau membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti, bahwa sebuah konsensus dan pengertian bersama diantara individu-individu sebagai anggota kelompok sosial akan mudah menghasilkan, tidak saja unit-unit sosial tetapi juga unit-unit kultural, dalam masyarakat. Karena kebudayaandalam hal ini adat istiadat-menjadi harapan atau menjadi harapan atau menjadi faktor perekat bersama. Bagaimanapun juga kehidupan bersama suatu kelompok dalam masyarakat menjadi ada dan terus ada karena memiliki sejarah dan tradisi yang panjang yang diturunkan dari saru generasi ke generasi lain
2.2.1.1 Karakteristik Komunikasi Adapun karakteristik dari komunikasi itu sendiri adalah (Fajar, 2009:33-34): 1. Komunikasi suatu proses Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. Proses komunikasi melibatkan banyak faktor atau unsur. Faktor atau unsur yang dimaksud antara lain dapat mencakup pelaku atau peserta, pesan (meliputi bentuk, isi, dan cara penyajiannya), saluran atau alat yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan, waktu, tempat, hasil atau akibat yang terjadi. 2. Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja serta sesuai dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya.
Pengertian sadar disini menunjukkan
bahwa kegiatan komunikasi yang dilakukan seseorang sepenuhnya berada dalam kondisi mental psikologis yang terkendalikan bukan dalam keadaan mimpi.
Disengaja
maksudnya bahwa komunikasi yang dilakukan memang sesuai dengan kemauan dari pelakunya sementara tujuan menunjuk pada hasil atau akibat yang ingin dicapai. 3. Komunikasi menurut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat. Kegiatan komunikasi akan berlangsung dengan baik apabila pihak-pihak yang berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama-sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian yang sama terhadap topik pesan yang dikomunikasikan. 4. Komunikasi bersifat simbolis Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang, misalnya: bahasa. 5. Komunikasi bersifat transaksional Komunikasi pada dasarnya menuntut dua tindakan: memberi dan menerima. Dua tindakan tersebut tentunya perlu dilakukan secara seimbang atau proporsional oleh masing-masing pelaku yang terlibat dalam komunikasi. 6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu Komunikasi menembus faktor waktu dan ruang maksudnya bahwa para peserta atau pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak harus hadir pada waktu serta tempat yang
sama. Dengan adanya berbagai produk teknologi komunikasi seperti telepon, faksimili, teleks, dan lain-lain, kedua faktor tersebut (waktu dan ruang) bukan lagi menjadi persoalan dan hambatan dalam berkomunikasi.
2.2.1.2 Saluran Komunikasi Setelah dikemas, pesan dapat disampaikan melalui saluran (channel) atau media. Pengirim dapat memilih media lisan (oral), tertulis (written), atau elektronik (elektronic). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain, dan akan berhasil bila terjadi saling pengertian diantara kedua belah pihak yang berkomunikasi baik secara individu ataupun kelompok secara verbal maupun nonverbal (Fajar, 2009:34)
2.2.2 Komunikasi Antarbudaya Menurut (Devito, 1997:479), komunikasi antarbudaya mengacu pada komunikasi antara orang-orang dari kultur yang berbeda-beda antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai, atau cara berperilaku kultural yang berbeda. Sedangkan William B. Hart II, 1996 dalam Liliweri (2004:8) mengungkapkan komunikasi antarbudaya yang paling sederhana adalah komunikasi antapribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan Definisi komunikasi antarbudaya menurut para ahli dalam (Liliweri, 2004:10-11) yaitu sebagai berikut: a. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial. (Samovar dan Porter, 1976:25) b. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. (Samovar dan Porter, 1976:4) c. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhinya perilaku komunikasi para peserta (Dood, 1991:5). d. Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang - yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu – memberikan interprestasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna
yang dipertukarkan. (Lustig dan Koester Intercultural Communication Competence, 1993). e. Interculutral communication yang disingkat “ICC”, mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan. f. Guo – Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negoisasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan : 1. Dengan negoisasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegoisasikan atau diperjuangkan; 2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama; 3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita; 4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasikannya dengan pelbagai cara. Sehubungan dengan itu, menurut Mulyana (2005:20), komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi dimana suatu pesa disandi dalam suatu budaya dan haus disandi balik dalam budaya lain. Seperti telah kita lihat, budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan. Namun, melalui studi dan pemahaman atas komunikasi antarbudaya, kita dapat mengurangi atau hampir menghilangkan kesulitankesulitan ini. Jadi, kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Oleh karena itu, di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita (Liliweri, 2004: 8-12). 2.2.2.1 Teori Negoisasi Muka Ting-Toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan facework. Muka jelas merupakan fitur yang penting dalam kehidupan, sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini David-Ho (1976) melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial. Konsep muka telah ber-
evolusi dalam hal interpretasi selama bertahun-tahun. Konsep ini bermula dari bangsa Cina yang sebagaimana dikemukakan oleh Ho, memiliki dua konseptualisasi mengenai muka: lien dan mintzu, dua istiah yang mendeskripsikan identitas dan ego. Menurut Ho, “muka dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri”. Erving Goffman (1967) diakui sebagai sosok yang menempatkan muka dalam penelitian Barat kontemporer. Ia mengamati bahwa muka (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang dalam percakapannya dengan orang lain. Ting-Toomey dan koleganya (Oetzel, Ting-Toomey, Yokochi, Masumoto, & Takai, 2000) mengamati bahwa muka berkaitan dengan nilai diri yang positif dan/atau memproyeksikan nilai lain dalam interpersonal. Orang tidak “melihat” muka orang lain; sebaliknya, muka merupakan metafora bagi batasan yang dimiliki orang dalam hubungan dengan orang lain. Goffman (1967) mendeskripsikan muka sesuatu yang dipertahankan, hilang, atau diperkuat. Pada penulisan naskahnya, Goffman tidak memperkirakan bahwa istilah ini akan diaplikasikan pada hubungan dekat. Sebagai seorang sosiolog, ia percaya bahwa muka dan semua yang berkaitan dengannya lebih dapat diaplikasikan pada kajian mengenai kelompok sosial. Sejalan dengan waktu, kajian mengenai muka telah diaplikasikan pada beberapa konteks, termasuk hubungan dekat dengan kelompok kecil. Ting-Toomey menggabungkan beberapa pemikirn dari penelitian mengenai kesantunan yang menyimpulkan bahwa keinginan mengenai muka merupakan keinginan yang universal (Brown & Levinson, 1978). Ting-Toomey (1988, 1991, 2004) memperluas pemikiran Goffman dan berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang diproyeksikan dan merupakan klaim akan penghargaan diri dalam sebuah hubungan. Ia percaya bahwa muka “melibatkan penampilan dari bagian depan yang beradab kepada individu lain”. (Ting-Toomey & Chung, 2005, hal.268). Ting-Toomey dan koleganya Beth Ann Cocroft (1994) dengan ringkas mengidentifikasi muka sebagai “fenomena lintas budaya”, yang artinya adalah semua budaya memiliki dan mengelola muka; muka melampaui semua budaya. Sehubungan dengan cerita pembuka, Ting-Toomey dan para teoritikus Negoisasi Muka lainnya akan tertarik dalam mengetahui bahwa Profesor Yang berasal dari Cina dan Kevin Johnston adalah seorang Amerika. Keberagaman budaya mereka memengaruhi cara yakin bahwa walaupun muka adalah konsep yang universal, terdapat berbagai representasi muka dalam berbagai budaya. Kebutuhan akan muka ada didalam semua budaya, tetapi semua budaya tidak mengelola kebutuhan ini secara sama. Ting-Toomey berpendapat bahwa muka dapat
diinterpretasikan dalam dua cara yang utama: kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka. Kepedulian akan muka (face concern) mungkin berkaitan baik dengan muka seseorang maupun muka orang lain. Dengan kata lain, terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. Kepedulian akan muka menjawab pertanyaan, “apakah saya menginginkan perhatian tertuju pada diri saya atau pada orang lain?” Kebutuhan akan muka (face need) merujuk pada dikotomi keterlibatan-otonomi. Maksudnya, “apakah saya ingin diasosiasikan dengan orang lain (keterlibatan) atau apakah saya ingin tidak diasosiasikan dengan mereka (otonomi)?”
2.2.2.2 Muka dan Teori Kesantunan Sebagaimana telah kita lihat sebelumnya, Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan strategi kesantunan berdasarkan persepsi ancaman muka. Para peneliti melihat lebih dari selusin budaya yang berbeda di seluruh dunia dan menemukan bahwa terdapat dua kebutuhan universal: kebutuhan muka posiif dan kebutuhan muka negatif. Muka positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting di dalam hidup kita; muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memilki otonomi dan tidak dikekang. Karen Tracy dan Sheryl Baratz (1994) menyatakan bahwa “kebutuhan muka” ini merupakan bagian dari suatu hubungan. Mereka mendukung klaim sebagai berikut: Pengakuan akan kebutuhan muka yang ada menjelaskan mengapa seorang mahasiswa yang ingin meminjam catatan teman sekelasanya tidak akan meminta mereka dengan langsung (“pinjam catatanmu, ya?), tetapi lebih sering mereka akan meminta dalam sikap yang memberikan perhatian kepada keinginan muka negatif seseorang (“apakah bisa saya meminjam catatanmu untuk satu jam saja? Saya akan memfotokopinya dan segera mengembalikannya kepadamu.”) Penelitian Brown dan Levinson mengilustrasikan sebuah dilema bagi individu-individu yang berusaha untuk memenuhi kedua jenis kebutuhan muka di dalam sebuah percakapan. Misalnya, dalam cerita pembukaan kita ditunjukkan bahwa Profesor Yang ingin agar Kevin bekerja untuk mencapai potensi dirinya
yang terbaik. Kebutuhan muka positifnya, dihadapkan dengan
tantangan untuk memberikan waktu lebih bagi Kevin, dan karenanya merugikan kebutuhan muka negatifnya.
2.2.2.3 Facework Ketika positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka. Ting-Toomey (1994), mengikuti Brown dan Levinson, mendefinisikan hal ini sebagai facework, atau “tindakan yang diambil untuk menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya”. Stella Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah “mengenai strategi verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, memepertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan (atau “menyelamatkan’) citra sosial orang lain. Dengan kata lain, facework berkaitan dengan bagaimana orang membuat apa pun yang mereka lakukan konsisten dengan muka mereka. Ting-Toomey menyamakan facework dengan “tarian komunikasi yang berjinjit” (communication dance that tiptoes) antara rasa hormat bagi muka diri sendiri dan muka orang lain. Jaimzadi, komentar Profesor Yang kepada Kevin mengenai kemampuannnya untuk menyelesaikan proyek dan presentasinya menggambarkan bagaimana profesor secara berkesinambungan menyelamatkan mukanya sendiri (tidak mengingkari batas waktu penyerahan tugasnya sendiri) dan juga muka Kevin (memberinya pujian). Te-Stop Lim dan John Bowers (1991) memperluas diskusi ini dengan mengidentifikasi tiga jenis facework: kepekaan, solidaritas, dan pujian. Pertama, facework ketimbangrasaan (tact facework) merujuk pada batas dimana orang menghargai otonomi seseorang. Facework ini memberikan kebebasan kepada seseorang untuk bertindak sebagaimana yang ia inginkan sekaligus meminimalkan hal-hal yang akan membatasi kebebasan ini. Jenis facework kedua, facework solidaritas (solidarity facework), berhubungan dengan seseorang menrima orang lain sebagai anggota dari kelompok dalam (in-group).hub Solidaritas meningkatkan hubungan diantara dua orang yang sedang berbicara. Maksudnya, perbedaan-perbedaan diminimalkan dan kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal dan pengalama-pengalaman yang dimiliki bersama. Jenis facework yang terakhir adalah facework keperkenanan (approbation facework), yang melibatkan meminimalkan penjelekan dan memaksimalkan pujian kepada orang lain. Facework keperkenanan muncul ketika seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif orang lain dan lebih berfokus pada aspek yang positif (West and Turner, 2008:161-163).
2.2.3 Hambatan Komunikasi Komunikasi atau berkomunikasi itu kelihatannnya mudah, tetapi sebenarnya tidak lepas dari berbagai kendala atau hambatan dalam pelaksanaannya. Dengan mengetahui atau menyadari adanya (kemungkinan) hambatan atau faktor yang lazim bisa menjadi kendala dalam aktivitas berkomunikasi ini, bisa kita harapkan bahwa kita bisa menanggulanginya atau menghindarinya. Agar proses penyampaian pesan berlangsung dengan baik serta tercapainya tujuan komunikasi yang kita lakukan (saling pengertian atau kesepakatan bersama (Rudy, 2005:22-23). Disamping itu, Rakhmat (1978:164-165) menjelaskan hambatan tidak menyebabkan komunikasi berhenti, tetapi ia menahan (menimbulkan kesulitan pada) aliran pesan itu. Beberapa pesan “dibendung” dan tidak dapat melampaui hambatan itu. Walaupun kegagalan mekanistis berarti adanya penghentian komunikasi, hambatan mekanistis mengemukakan adanya “bendungan” pada saluran yang menahan arus pesan dan memodifikasikan karakter dan arti pentingnya. Sedangkan menurut Liliweri (2001:236-238) Beberapa hambatan yang perlu diantisipasi antara lain hambatan intern,ekstern dan pribadi. Pada hambatan intern perlu diperhatikan adalah masalah yang berkaitan dengan struktur/hirarki/wewenang, spesialisasi, kekuasaan, jarak sosial/psikologis, manager ‘owner information’, sarana dan prasarana, dan benalu komunikasi. Setiap organisasi mempunyai struktur. Karena struktur itu sifatnya formal, hubungan antarpribadi yang diciptakan adalah impersonal. Struktur dan hirarki juga tidak membenarkan pelanggaran atas disiplin, loncatan komando, dan terbatasnya delegasi untuk mengambil keputusan. Misalnya komunikasi antara atasan dan bawahan, seorang bawahan harus melalui beberapa tahapan untuk berkomunikasi langsung dengan atasan mengenai keluhan pekerjaannya setelah itu juga atasan tersebut tidak dapat langsung menanggapi keluhan tersebut secara sepihak melainkan harus dibicarakan kembali kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah tersebut sehingga dampaknya pekerjaan dan pengambilan keputusan berjalan lamban terhadap masalah yang dihadapi. Kecenderungan lain yang terlihat pula adalah diferensiasi organisasi, berarti organisasi menambah struktur-struktur atau lapisan baru dalam organisasi yang sebenarnya kurang diperhatikan. Akibatnya terjadi lebih banyak karyawan yang “kurang kerja” sehingga dari segi efisiensi menjadi beban organisasi. Serta spesialisasi meskipun ideal namun mengakibatkan
karyawan menutup diri dalam keahlian dan profesinya dan kurang memperhatikan kerja sama dengan pihak lain. Timbul juga streotip untuk meremehkan pekerjaan atau spesialisasi yang lain. Kekuasaan sering mengakibatkan timbulnya jarak sosial dan psikologis antara atasan dengan bawahan. Jarak itu demikian formal sehingga hubungan antara atasan dan bawahan hanya ditentukan oleh struktur. Terutama bagi bawahan, hubungan dengan atasan merupakan sesuatu yang mahal. Akibatnya, Atasan sebagai manajer tidak terlalu merasa perlu membagi semua informasi kepada bawahan (owner information). Maka, muncullah benalu komunikasi, yakni medium komunikasi tidak resmi (yang kadang-kadang merupakan saluran rumor atau gosip) di kalangan karyawan. Pada hambatan ekstern yang perlu diperhatikan adalah beberapa faktor, seperti perubahan sosial dan ekonomi, masalah persaingan, konflik. Karena organisasi itu terletak dalam masyarakat, perubahan-perubahan yang melanda masyarakat, misalnya gerakan sosial, perubahan kebijaksanaan dalam bidang ekonomi dan perdagangan, persaingan di pasar bebas, konflik antar perusahaan, akan mempengaruhi cara kerja organisasi. Organisasi merupakan wadah kerja sama antarmanusia. Tatkala sumber daya manusia kurang mampu menangani perubahan dan mekanisme kerja ataupun tidak bisa menyesuaikan diri dengan masukkan teknologi, mekanisasi dan otomatisasi, keadaan itu akan mempengaruhi cara kerja organisasi. Faktor-faktor lain seperti latar belakang sosiologis dan antropologis, misalnya struktur sosial dalam masyarakat, kebudayaan dan adat-istiadat, juga mempengaruhi perilaku kerja. Salah satu pengaruh yang patut dicegah adalah, nepotisme dan primordialisme yakni terjadinya pembentukan “klik” berdasarkan ikatan suku, agama, ras dan golongan. Faktor demografis seperti umur, faktor psikologis seperti suasana ketenteraman dan kedamaian dan lain-lain ikut berpengaruh terhadap cara kerja organisasi. Dalam komunikasi dapat terjadi salah paham atau salah pengertian seperti yang dikatakan (Hardjana, 2003:16-46) sehingga pesan tidak dimengerti seperti dimaksud oleh pengirim dan ditanggapi sebagaimana diinginkan oleh pengirim. Masalah salah paham dapat terjadi pada pengirim, penyampaian pesan, penerimaan, dan penafsiran pesan. a. Pengirim Salah pengertian dapat terjadi karena: 1. Pengirim tidak jelas tentang isi pesan yang hendak disampaikan 2. Meski isi pesan jelas, tetapi pengirim mengemas pesan itu secara tidak tepat dan mengirim melalui media yang tidak mendukung
3. Pada diri pengirim ada konflik batin tentang pesan yang akan dikirim dan tentang penerima yang akan dikirimi pesan 4. Pengirim merasa sulit bagaimana mengungkapkan pesan yang akan disampaikan. b. Penyampaian Pesan Pada penyampaian pesan, kesalahpahaman dalam komunikasi disebabkan karena: 1. Faktor-faktor fisik yang tidak mendukung: tulisan jelek dan tidak terbaca, saluran komunikasi rusak, alat pendengar tidak berfungsi baik, suara tidak jelas. 2. Dua pesan yang saling berebut perhatian penerima sehingga konsentrasi penerima kacau atau pesan sendiri mempunyai makna yang bertentangan. 3. Terlalu banyak gabungan saluran yang digunakan untuk menyampaikan sehingga pesan menjadi terlalu banyak pula. c. Penerima Pesan Pada waktu menerima pesan faktor-faktor yang bisa membuat salah pengertian dalam komunikasi antara lain: 1. Ada gangguan-gangguan fisik: penerangan, penglihatan, pendengaran, suara terlalu bising atau tidak terdengar. 2. Ada gangguan-gangguan mental: sulit konsentrasi, sibuk dengan urusan lain, sikap menolak. 3. Kesehatan fisik: sakit, lelah, tidak ada gairah. 4. Latar belakang budaya, pendidikan, dan pengalaman penerima jau berbeda dari pengirim. 5. Terjadi perbedaan penafsiran kata antara pengirim dan penerima. 6. Ada perbedaan tanggapan emosional, baik terhadap makna isi pesan maupun makna hubungan antara pengirm dan penerima. 2.2.3.1 Halangan Untuk Komunikasi Yang Efektif Komunikasi efektif menjadi cita-cita semua orang yang berkomunikasi. Komunikasi akan efektif jika: 1. Pesan diterima dan dimengerti sebagaimana yang dimaksud oleh pengirimnya. 2. Pesan disetujui oleh penerima dan ditindaklanjuti dengan perbuatan yang diminta oleh pengirim. 3. Tidak ada hambatan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menindaklanjuti pesan yang dikirim. Namun komunikasi yang ideal itu tidak selalu terjadi karena ada halangan- halangan yang menghadang pada proses komunikasi. Halangan dapat bersifat interpersonal maupun organisasional. 2.2.3.2 Halangan Interpersonal Halangan interpersonal adalah halangan yang ada pada pribadi penerima. Hubungan itu adalah persepsi yang merupakan pandangan orang tentang kenyataan. Persepsi merupakan proses
yang kompleks yang dilakukan orang untuk memilih, mengatur, dan memberi makna pada kenyataan yang dijumpai disekelilingnya. Persepsi dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, dan kebudayaan. Ada dua persepsi yang menghalangi komunikasi. Pertama, persepsi selektif (selective perception), dan kedua, bertindak berdasarkan stereotipe (stereotype). Persepsi selektif merupakan kecenderungan orang untuk melihat orang, objek, dan situasi bukan sebgaimana adanya, tetapi sebagaimana dikehendakinya. Berbuat menurut stereotipe membuat orang cenderung untuk melihat dan mengatur kenyataan menurut pola yang tetap, pasti, dan dapat diramalkan. Contohnya, “perempuan suka begini atau begitu.” “Orang bule pasti..”, dan seterusnya.
2.2.3.3 Sikap Defensif Sikap defensif adalah sikap mental orang untuk menjaga dan melindungi diri terhadap bahaya, entah itu nyata atau hanya bayangan saja. Sikap defensif pada pengirim pesan lisan membuat raut wajah, gerak tubuh, dan cara berbicara yang membuat penerima ikut-ikutan menjadi bersikap defensif pula. Akibatnya, pesan yang diterima tidak tepat dan maksud pengirim tidak dimengerti secara benar. Jika bersikap defensif, perhatian penerima pesa yang mendengar pesan menjadi pesan menjadi terpusat pada apa yang mau dikatakan untuk menjawab dan bukan pada apa yang disampaikan oleh pengirim pesan. Penggunaan media untuk menyampaikan pesan dapat mengalami gangguan, yang dalam bahasa Inggris disebut noise. Gangguan adalah “segala sesuatu yang menghambat atau mengurangi kemampuan kita untuk mengirim dan menerima pesan”. Gangguan komunikasi itu meliputi: 1. Pengacau indra, misalnya suara terlalu keras atau lemah, di tempat menerima pesan, bau menyengat, udara panas, dan lain-lain. 2. Faktor-faktor pribadi, antara lain, prasangka, lamunan, perasaan tidak cakap.
2.2.3.4 Faktor-Faktor Penghambat Komunikasi 1. Hambatan sosio-antro –psikologis Proses komunikasi berlangsung dalam konteks situasional (situasional context). Ini berarti bahwa komunikator harus memperhatikan situasi ketika komunikasi dilangsungkan, sebab
situasi amat berpengaruh terhadap kelancaran komunikasi, terutama situasi yang berhubungan dengan faktor-faktor sosiologis-antropologis-psikologis. a. Hambatan sosiologis Seorang sosiolog Jerman bernama Ferdinand Tonnies mengklasifikasikan kehidupan manusia dalam masyarakat menjadi dua jenis pergaulan yang ia namakan Gemeinschaft dan Gesselschaft. Gemeinschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat pribadi, statis, dan tak rasional, seperti dalam kehidupan rumah tangga; sedang Gesselschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat tak pribadi, dinamis, dan rasional, seperti pergaulan di kantor atau dalam organisasi. Berkomunikasi dalam Gemeinschaft
dengan istri atau anak tidak akan menjumpai
banyak hambatan karena sifatnya personal atau pribadi sehingga dapat dilakukan dengan santai; adalah lain dengan komunikasi dalam Gesselschaft. Seseorang yang bagaimanapun tingginya kedudukan yang ia jabat, ia akan menjadi bawahan orang lain. Masyarakat terdiri dari bebrbagai golongan dan lapisan, yang menimbulkan perbedaan dalam situasi sosial, agama, ideologi, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi.
b. Hambatan antropologis Dalam melancarkan komunikasinya, seorang komunikator tidak akan berhasil apabila ia tidak mengenal siapa komunikan yang dijadikan sasarannya. Yang dimaksudkan dengan “siapa” di sini bukan nama yang disandang, melainkan ras apa, bangsa apa, atau suku apa. Dengan mengenal dirinya, akan mengenal pula kebudayaannya, gaya hidup dan norma kehidupannya, kebiasaan dan bahasanya. Komunikasi akan berjalan lancar jika suatu pesan yang disampaikan komunikator diterima oleh komunikasi secara tuntas, yaitu diterima dalam pengertian received atau secara inderawi, dan dalam pengertian accepted atau secara rohani. Seorang pemirsa televisi mungkin menerima acara yang disiarkan dengan baik karena gambar yang tampil pada pesawat televisi amat terang dan suara yang keluar amat jelas, tetapi mungkin ia tidak dapat menerima ketika seorang pembicara pada acara itu mengatakan bahwa daging babi lezat sekali. Si pemirsa tadi hanya menerimanya dalam pengertian accepted. Jadi teknologi komunikasi tanpa dukungan kebudayaan tidak akan berfungsi.
c. Hambatan Psikologis Faktor psikologis sering kali menjadi hambatan dalam komunikasi. Hal ini umumnya disebabkan si komunikator sebelum melancarkan komunikasinya tidak mengkaji diri komunikan. Komunikasi sulit untuk berhasil apabila komunikan sedang sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, dan kondisi psikologis lainnya; juga jika komunikasi menaruh prasangka (prejudice) kepada komunikator. Prasangka merupakan salah satu hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap menentang komunikator. Prasangka sebagai faktor psikologis dapat disebabkan oleh aspek antropologis dan sosiologis; dapat terjadi terhadap ras, bangsa, suku bangsa, agama, partai politik, kelompok, dan apa saja bagi seseorang merupakan suatu perangsang disebabkan dalam pengalamannya pernah diberi kesan yang tidak enak. Berkenaan dengan faktor-faktor penghambat komunikasi yang bersifat sosiologisantropologis-psikologis itu, yang menjadi permasalahan ialah bagaimana upaya kita mengatasinya. Cara mengatasinya ialah mengenal diri komunikan seraya mengkaji kondisi psikologisnya sebelum komunikasi dilancarkan, dan bersikap empatik kepadanya. Empati (empathy) adalah kemampuan memproyeksikan diri kepada diri orang lain; dengan lain perkataan, kemampuan mengahayati perasaan orang lain atau merasakan apa yang dirasakan orang lain. 2. Hambatan Semantis Kalau hambatan sosiologi-antropologis-psikologis terdapat pada pihak komunikan, maka hambatan semantis terdapat pada diri komunikator. Faktor semantis menyangkut bahas yang dipergunakan komunikator sebagai “alat” untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada komunikan. Demi kelancaran komunikasinya seorang komunikator harus benar-benar memperhatikan gangguan semantis ini, sebab salah ucap atau salah tulis dapat menimbulkan salah pengertian (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation), yang pada gilirannya bisa menimbulkan salah komunikasi (miscommunication). Gangguan semantis kadang-kadang disebabkan pula oleh aspek antropologis, yakni katakata sama bunyinya dan tulisannya, tetapi memiliki makna yang berbeda. “Rampung Sunda lain dengan “Rampung” Jawa. “Atos” Sunda tidak sama dengan “atos” Jawa. Salah komunikasi atau miscommunication ada kalanya disebabkan oleh pemilihan kata yang tidak tepat, kata-kata yang
sifatnya konotatif. Dalam komunikasi bahasa yang sebaiknya dipergunakan adalah kata-kata yang denotatif. Kalau terpaksa juga menggunakan kata-kata yang konotatif, seyogyanya dijelaskan apa yang dimaksudkan sebenarnya, sehingga tidak terjadi salah tafsir. Kata-kata yang bersifat denotatif adalah yang mengandung makna sebagaimana tercantum dalam kamus (dictionary meaning) dan diterima secara umum oleh kebanyakan orang yang sama dalam kebudayaan dan bahasanya. Kata-kata yang mempunyai pengertian konotatif adalah yang mengandung makna emosional atau evaluatif (emotional or evaluative meaning) disebabkan oleh latar belakang kehidupan dan pengalaman seseorang. Jadi, untuk menghilangkan hambatan semantis dalam komunikasi, seorang komunikator harus mengucapkan pernyataannya dengan jelas dan tegas, memilih kata-kata yang tidak menimbulkan persepsi yang salah, dan disusum dalam kalimat-kalimat yang logis. 3. Hambatan Mekanis Hambatan mekanis dijumpai pada media yang dipergunakan dalam melancarkan komunikasi. Banyak contoh yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari; suara telepon yang krotokan, ketikan huruf yang buram pada surat, suara yang hilang-muncul pada pesawat radio, berita surat kabar yang sulit dicari sambungan kolomnya, gambar yang meliuk-liuk pada pesawat televisi dan lain-lain. Hambatan pada beberapa media tidak mungkin diatasi oleh komunikator, misalnya hambatan yang dijumpai pada surat kabar, radio dan televisi. Tetapi pada beberapa media komunikator dapat saja mengatasinya dengan mengambl sikap tertentu, misalnya ketika sedang menelepon terganggu oleh krotokan. Barangkali ia dapat mengulanginya beberapa saat kemudian. Hambatan yang dijumpai pada surat, misalnya huruf ketikan yang buram, dapat diatasi dengan mengganti pita mesin tik atau mesin tiknya sendiri. Yang penting diperhatikan dalam komunikasi ialah seperti telah disinggung di muka-sebelum suatu pesan komunikasi dapat diterima secara rohani (accepted), terlebih dahulu harus dipastikan dapat diterima secara inderawai (received), dalam arti kata bebas dari hambatan mekanis. Apakah pesannya kemudian dapat diterima secara rohani atau tidak, itu merupakan maslah kedua yang akan dibahas pada bab mendatang.
4. Hambatan Ekologis Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi, jadi datangnya dari lingkungan. Contoh hambatan ekologis adalah suara riuh orang-orang atau kebisingan lalu-lintas, suara hujan atau petir, suara pesawat terbang lewat, dan lain-lain pada saat komunikator sedang berpidato. Situasi komunikasi yang tidak menyenangkan seperti itu dapat diatasi komunikator dengan menghindarkannya jauh sebelum atau dengan mengatasinya pada saat ia sedang berkomunikasi. Untuk menghindarkannya komunikator harus mengusahakan tempat komunikasi yang bebas dari gangguan suara lalu-lintas atau kebisingan orang-orang seperti disebutkan tadi. Dalam menghadapi gangguan seperti hujan, petir, pesawat terbang lewat, dan lain-lain yang datangnya tiba-tiba tanpa diduga terlebih dahulu maka komunikastor dapat melakukan kegiatan tertentu, misalnya berhenti dahulu sejenak atau memperkeras suaranya (Effendi, 2004:60). 2.2.4. Komunikasi Verbal dan Non Verbal Fajar (2009:110), mengemukakan bahwa komunikasi verbal yang menggunakan katakata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia lain. Dasar komunikasi verbal adalah interaksi antara manusia. Dan menjadi salah satu cara bagi manusia berkomunikasi secara lisan atau bertatapan dengan manusia lain, sebagai sarana utama menyatukan pikiran, perasaan dan maksud kita. Selain itu, Rubin dalam Larry A.Samovar dan Richard E Porter (2007:169) mengatakan Language is a set of characters or elements and rules for their use in relation to one another. These characters or elements are language symbols that are culturally diverse. (bahasa adalah kumpulan perilaku atau elemen serta peraturan untuk digunakan dalam berhubungan satu sama lain. Karakter dan elemen tersebut adalah simbol bahasa dengan bermacam-macam adat istiadat). Sedangkan komunikasi verbal menurut Hardjana (2003:22-23), adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tertulis. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antarmanusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pikiran, gagasan atau maksud mereka, menyampaikan fakta data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat,dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting. 2.2.4.1 Bahasa Sebagai Suatu Sistem Simbol
Pada buku komunikasi antarbudaya Devito (1997:119-120) mengatakan bahwa Bahasa dapat dibayangkan sebagai kode, atau sistem simbol, yang kita gunakan untuk membentuk pesan-pesan verbal kita. Kita dapat mendefinisikan bahasa sebagai sistem produktif yang dapat dialihkan dan terdiri atas simbol-simbol yang cepat lenyap (rapidly fading), bermakna bebas (arbitary), serta dipancarkan secara kultural (Hockett, 1977). Masing-masing karakteristik ini akan dijelaskan secara singkat. a. Produktivitas Bahasa bersifat produktif, terbuka, kreatif. Artinya, pesan-pesan verbal kita merupakan gagasan-gagasan baru; setiap gagasan bersifat baru. Tentu ada beberapa pengecualian dari kaidah umum ini, tetapi tidak banyak dan tidak penting. Ketika anda berbicara, anda tidak mengulang kalimat-kalimat hasil mengingat melainkan menciptakan sendiri kalimat-kalimat baru. Begitupula, pemahaman anda atas pesan-pesan verbal menunjukkan produktivitas dalam arti bahwa anda dapat memahami pemikiranpemikiran baru yang dikemukakan. b. Pengalihan Karena bahasa kita mengenal pengalihan (displacement), kita dapat berbicara mengenai hal-hal yang jauh dari kita baik dari segi tempat maupun waktu. Kita dapat berbicara tentang masa lalu dan maa depan semudah kita berbicara tentang masa kini. Dan kita dapat berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah kita lihat-tentang manusia duyung, kuda bertanduk, dan mahluk dari planet lain. c. Pelenyapan Cepat Suara kita melenyap dengan cepat; suara-suara ini lenyap. Suara harus diterima segera setelah itu dikirimkan atau kita tidak akan pernah menerimanya. Sudah barang tentu, semua isyarat berangsur-angsur akan melenyap; simbol-simbol tertulis bahkan simbolsimbol yang dipahatkan pada batu permanen. Tetapi, secara relatif, isyarat suara barangkali merupakan yang paling tidak permanen diantara semua media komunikasi,; inilah yang dimaksud dengan pelenyapan cepat (rapid fading). d. Kebebasan Makna Isyarat bahasa mempunyai kebebasan makna (arbitary); mereka tidak memiliki karakteristik atau sifat fisik dari benda atau hal yang mereka gambarkan. Kata anggur tidak lebih lezat ketimbang kata bulgur. Kata bulgur juga tidak lebih mengenyangkan ketimbang kata anggur. Suatu kata memiliki arti atau makna yang mereka gambarkan karena kitalah yang secara bebas menentukan arti atau maknanya.
2.2.4.2 Proses Verbal Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yangkita gunakan. Proses-proses ini (bahasa verbal dan pola-pola berpikir) secara vital berhubungan dengan persepsi dan pemberian serta penyertaan makna. 1. Bahasa Verbal Setiap diskusi tentang bahasa dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya harus mengikutsertakan pembahasan atas isu-isu bahasa yang umum sebelum membahas masalah-masalah khusus tentang bahasa asing, penerjemahan bahasa, dan dialek serta logat subkultur dan subkelompok. Dalam perkenalan kita dengan berbagai dimensi budaya ini, kita akan membicarakan bahasa verbal dan relevansinya dengan pemahaman kita tentang budaya. Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya. Objek-objek, kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, dan perasaanperasaan mempunyai suatu label atau nama tertentu semata-mata karena suatu komunitas orang, atas kehendak mereka, memutuskan untuk menamakan hal-hal tersebut demikian. Karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran. Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk pikiran. 2. Pola-Pola Berpikir Proses-proses mental, bentuk-bentuk penalaran, dan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah yang terdapat dalam suatu komunitas, merupakan suatu komponen penting budaya. Kecuali bila mereka mempunyai pengalaman bersama orang-orang lain dari budaya lain yang mempunyai pola berpikir yang berbeda, kebanyakan orang menganggap bahawa setiap orang berpikir dengan cara yang sama. Namun, kita harus sadar bahwa terdapat-perbedaan-perbedaan budaya dalam aspekaspek berpikir. Perbedaan-perbedaan ini dapat dijelaskan dengan membandingkan pola-pola berpikir Timur. Di Barat umumnya orang berpikir bahwa ada suatu hubungan yang langsung antara konsep-konsep mental dan dunia realitas yang nyata. Orientasi ini menuntut pertimbangan-pertimbangan logis dan rasionalitas. Ada kepercayaan bahwa kebenaran terdapat diluar sana, bahwa kebenaran dapat diperoleh dengan mengikuti tahapan-tahapan logis yagn benar. Pandangan Timur, Sebagaimana dicontohkan dengan pandangan pemeluk agama Tao, ternyata menunjukkan bahwa bagi mereka, manusia tidak dianugerahi rasionalitas yang segera. Kebenaran tidak
ditemukan dengan pencarian aktif dan penerapan cara-cara berpikir Aristotelian. Sebaliknya, orang harus menunggu, dan bila kebenaran memang harus diketahui, maka kebenaran itu akan menampakkan diri. Perbedaan utama dalam kedua pandangan ini terdapat pada bidang kegiatan. Bagi orang-orang Barat, kegiatan manusia itu penting dan akhirnya akan menuntun kepada penemuan kebenaran. Dalam tradisi pemeluk agama Tao, kebenaran merupakan agen yang aktif, dan bila kebenaran itu harus diketahui, kebenaran akan muncul melalui kegiatan penampakan diri kebenaran tersebut. Pola-pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannnya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespons individu-individu dari suatu budaya lain. Kita tak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat banyak pola berpikir danbelajar menerima pola-pola tersebut akan memudahkan komunikasi antarbudaya tersebut. (Mulyana, 2005:30). 2.2.4.3 Bahasa Menurut Wardhaugh (1985) dalam Devito (1997: 157) berpendapat bahasa merupakan institusi sosial, bahasa ada karena manusia berinteraksi dalam kelompok-kelompok sosial. Sebagai suatu institusi sosial, bahasa mencerminkan dan mempengaruhi masyarakat dimana bahasa menjadi salah satu bagiannya. Entah
komunikasi
verbal
atau
komunikasi
nonverbal,
dalam
berkomunikasi
menggunakan bahasa. Pada dasarnya bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik. Dalam komunikasi nonverbal, bahasa yang dipakai adalah bahasa nonverbal berupa bahasa tubuh (raut wajah, gerak kepala, gerak tangan), tanda, tindakan, objek. Bahasa suatu bangsa atau suku bangsa berasal dari interaksi dan hubungan antara warganya satu sama lain. Pada awalnya bahasa terdiri dari lambang-lambang nonverbal, seperti raut wajah, gerak mata, gerak anggota tubuh seperti tangan atau kaki, atau gerak-gerik tubuh, dan tindakan-tindakan tertentu seperti bersalaman, berpelukan dan berciuman. Tetapi dengan berjalannya waktu dan perkembangan hidup, bahasa nonverbal dirasa tidak memadai lagi. Karena banyak gagasan, pemikiran, perasaan, atau sikap tidak mampu lagi diungkapkan dan disampaikan dengan bahasa nonverbal. Maka, terciptalah bahasa verbal, mulamula berbentuk lisan, kemudian tertulis, dan akhir-akhir ini elektronik. Bahasa verbal terusmenerus dikembangkan dan disesuaikan agar dapat memenuhi kebutuhan zaman dimana orang hidup. Maka, bahasa berdifat dinamis.
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual kita (Mulyana, 2007: 260-261). Pesan verbal terdiri dari kata-kata terucap atau tertulis (berbicara dan menulis adalah perilaku-perilaku yang menghasilkan kata-kata), sementara pesan nonverbal adalah seluruh perbendaharaan perilaku lainnya. Perilaku mungkin disadari.Kadang-kadang kita melakukan perilaku sesuatu tanpa menyadarinya, terutama kalau perilaku kita bersifat nonverbal. Kebiasaankebiasaan seperti menggigit kuku jari tangan, menganggukkan kepala, menatap dan tersenyum, misalnya, seringkali berlangsung tanpa disadari. Bahkan perilaku-perilaku seperti duduk membungkuk di kursi, mengunyah permen karet, atau menyesuaikan letak kacamata, seringkali merupakan perilaku-perilaku tak disadari. Oleh karena suatu pesan terdiri dari perilaku-perilaku yang dapat diartikan, kita harus mengakui kemungkinan memberikan pesan yang tidak kita ketahui. Implikasi dari pesan-perilaku ini adalah ini adalah bahwa kita sering berperilaku tanpa sengaja. Misalnya, bila kita malu kita mungkin menampilakan muka bersemu merah atau berbicara tidak lancar. Kita tidak bermaksud untuk menampilkan muka yang merah atau suara yang gagap, tetapi toh kita berperilaku demikian. Perilaku yang tidak disengaja ini menjadi pesan bila seseorang melihatnya dan menangkap suatu makna dari perilaku tersebut. (Mulyana, 2005:12-13). Liliweri (2001: 193-195) mengemukakan kita tidak cukup berkomunikasi dengan mengandalkan pesan-pesan verbal karena tidak semua konsep diwakili oleh sebuah kata atau bahkan kalimat. Kita membutuhkan dukungan pesan nonverbal. Ada tiga bentuk pesan non verbal yaitu: (1) kinesik, (2) proksemik (3) paralinguistik. Pesan-pesan kinesik berkaitan dengan pesan yang disampaikan melalui gerakan tubuh/anggota tubuh, misalnya emblem, ilustrator, adaptor, regulator dan effect display. Sedangkan pesan proksemik pada prinsipnya ditunjukkan melalui pemeliharaan jarak fisik tatkala kita berkomunikasi, misalnya jarak intim, kelompok, dan jarak dengan khalayak. Ke dalam pesan proksemik dikelompokkan pula pesan melalui penataan ruang, pilihan waktu.
Terakhir pesan-pesan berbentuk paralinguistik melalui penampilan khusus kualitas suara, ciri-ciri vokal, pembatasan vokal dan pemisahan vokal. Sedangkan pesan-pesan verbal lebih banyak digunakan untuk penyampaian pesan yakni bahasa. Karena itu seorang komunikator membutuhkan: 1) Pengetahuan tentang bentuk-bentuk pesan verbal masyarakat sasaran, yang terdiri dari: a. Struktur pesan: ditunjukkan oleh pola penyimpulam (tersirat atau tersurat), pola urutan argumentasi (mana yang lebih dahulu, argumentasi yang disenangi atau yang tidak disenangi), pola obyektivitas (satu sisi atau dua sisi). b. Gaya pesan: menunjukkan variasi linguistik dalam penyampaian pesan (perulangan, mudah dimengerti, perbendaharaan kata). c. Appeals pesan: mengacu pada motif-motif psikologis yang dikandung pesan (rasional-emosional, fearappeals, reward-appeals). 2) Pengetahuan terhadap isi pesan, sebagai contoh, apabila materi pesan itu berisi inovasi informasi maupun teknologi, maka pesan yang disampaikan sebaiknya mengandung sesuatu cara yang dapat membantu masyarakat memecahkan masalah yang dihadapinya. Secara teknis isi pesan harus mudah dipahami secara verbal, agar cepat dikerjakan meskipun dalam skala kecil agar hasilnya cepat dirasakan.
2.2.4.4 Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal menurut Devito (1997:177) pastilah merupakan kata yang sedang populer saat ini. Setiap orang tampaknya tertarik pada pesan yang dikomunikasikan oleh gerkan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, sosok tubuh, penggunaan jarak (ruang), kecepatan dan volume bicara, bahkan juga keheningan. Kita juga ingin bisa mengendalikan komunikasi nonverbal kita sendiri sehingga kita dapat berkomunikasi secara lebih efektif. Jelas bahwa ini semua merupakan tujuan yang penting. Sayangnya, komunikasi nonverbal begitu kompleks sehingga tidak mudah bagi kita untuk mencapai tujuan tersebut. Apalagi, kita tidak mempunyai cukup pengetahuan yang memungkinkan kita membaca pikiran seseorang dari gerak-gerik, sosok tubuh, atau ekspresi wajah. Kita juga tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang komunikasi nonverbal untuk menetapkan aturan yang jelas mengenai komunikasi nonverbal yang menyangkut status atau kekuasaan. Tetapi belakangan ini kita telah belajar banyak tentang
komunikasi nonverbal dan kaitannya dengan sejumlah besar karakteristik penting seperti status, persuasi, kredilitas, kontrol, persahabatan, dan wewenang. Seperti yang diungkapkan Hardjana (2003:26-27), komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk nonverbal, tanpa kata-kata. Dalam hidup nyata komunikasi nonverbal ternyata jauh lebih banyak dipakai daripada komunikasi verbal, dengan kata-kata. Dalam berkomunikasi hampir secara otomatis komunikasi nonverbal ikut terpakai. Karena itu, komunikasi nonverbal bersifat tetap dan selalu ada. Komunikasi nonverbal lebih jujur mengungkapkan hal yang mau diungkapkan dengan spontan. Tamu dirumah kita, meski lapar, dapat berbasa-basi menolak pada waktu kita tawari makan siang. Tetapi adik kecil yang masih bayi, pada waktu lapar langsung menangis dan minta ASI. Meskipun lebih umum, terus-menerus dipakai dan lebih jujur, namun komunikasi nonverbal lebih sulit ditafsir karena kabur. Misalnya, jika ada orang tersenyum kepada kita, maka kita tidak dapat dengan cepat menangkap apa artinya: senang, kaget, bingung ataupun bertanya-tanya. Kekaburan ini disebabkan karena struktur komunikasi nonverbal tidak jelas. Susunan suatu komunikasi nonverbal, misalnya berjabat tangan, mungkin masih mudah dimengerti. Tetapi jika jabat tangan itu disambung dengan raut wajah seperti cemberut, gerak mata seperti terkejut, gerak anggota tubuh seperti tangan yang kaku dan seluruh tubuh yang tegang, kita sulit mengartikannya. Karena itu, mempelajari komunikasi nonverbal lebih sulit daripada mempelajari komunikasi verbal. Sebab perbendaharaan kata, tata kalimat, dan tata bahasanya sulit ditunjuk. Liliweri (2004: 138-140) menyatakan ada beberapa hal yang termasuk dari komunikasi non verbal yaitu: 1. Komunikasi non verbal merupakan tindakan dan atribusi (lebih dari penggunaan kata-kata) yang dilakukan seorang kepada orang lain bagi pertukaran makna, yang selalu dikirimkan dan diterima secara sadar oleh dan untuk mencapai umpan balik atau tujuan tertentu (Burgoon dan Saine 1978) 2. Komunikasi non verbal meliputi ekspresi wajah, nada suara, gerakan anggota tubuh, kontak mata, rancangan ruang,pola-pola perabaan, gerakan ekspresif, perbedaan budaya dan dan tindakan-tindakan non verbal lain yang tak menggunakan kata-kata. Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa komunikasi non verbal itu sangat penting untuk memahami perilaku antarmanusia daripada memahami kata-kata verbal yang diucapkan atau yang ditulis, pesan-pesan non verbal memperkuat apa yang disampaikan secara verbal. 3. Studi tersendiri untuk menggambarkan bagaimana orang berkomunikasi melalui perilaku fisik, tanda-tanda vokal dan relaso ruang atau jarak. Akibatnya penelitian
tentang komunikasi non verbal acapkali menekankan pada dimensi beberapa aspek tertentu dari bahasa (TerrenceA.
[email protected] June 20, 2001 00:59:56). 4. Komunikasi non verbal merujuk pada variasi bentuk-bentuk komunikasi yang meliputi bahasa. Bagaimana seorang itu berpakaian, bagaimana seseorang melindungi dirinya, menampilkan ekspresi wajah, gerakan tubuh, suara, nada dan kontak mata dll (Eugene Matusov-Email:
[email protected], University of California at Santa Cruz-1996). 5. Komunikasi nonverbal meliputi semua stimuli non verbal yang dalam setting komunikastif digeneralisasikan oleh individu dan lingkungan yang memakainya. 6. Komunikasi non verbal meliputi pesan non verbal yang memiliki tujuan ataupun tidak memiliki tujuan teretentu. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa komunikasi non verbal adalah cara berkomunikasi melalui pernyataan wajah, nada suara, isyarat-isyarta, kontak mata, dan lain-lain. Cara ini memainkan peranan yang sangat penting dalam hidup daripada interaksi verbal, meskipun harus diakui bahwa perbedaan isyarat membawa perbedaan makna.
2.2.4.5 Fungsi-fungsi Pesan Non Verbal Ada lima kategori fungsi komunikasi non verbal menurut Simon Capper (Suzugamine Woman’s College, Hiroshima, 1997) dalam Liliweri (2004:140-141) yaitu: 1. Fungsi Regulasi Regulation function. Fungsi regulasi menjelaskan bahwa simbol non verbal yang digunakan mengisyaratkan bahwa proses komunikasi verbal sudah berakhir. Dalam percakapan dengan sesama, anda akan mengalami kesulitan menyatakan diri, atau memberikan reaksi balik (feedback). Fungsi regulasi dimaksudkan untuk membantu orang yang sedang mendengarkan anda membrikan interpretasi yang tepat terhadap apa yang sedang anda sampaikan secara verbal. Jadi fungsi regulasi bermanfaat untuk mengatur pesan non verbal secara seksama untuk meyakinkan orang lain menginterpretasi makna yang disampaikan secara verbal. 2. Fungsi Interpersonal Interpersonal function. Fungsi ini membantu kita untuk menyatakan sikap dan emosi dalam relasi antarpribadi (bisa disebut pula dengan ‘affect displays’). Dalam beberapa penelitian yang berkaitan dengan pertukaran non verbal ditunjukkan bahwa ada sinkronisasi, kongruens dan konvergensi yang dapat ditunjukkan oleh pesan non verbal (Wallbott, 1995). Mereka menemukan bahwa pesan non verbal dapat meningkatkan relasi yang sangat tinggi antara para peserta komunikasi, misalnya meningkatkan simpati, daya tarik kepada lawan bicara. 3. Fungsi Emblematis Emblematic function menerangkan bahwa pesan non verbal dapat disampaikan melalui isyarat-isyarat gerakan anggota tubuh, terutama tangan. Contoh yang baik untuk ini adalah ketika anda menyatakan kemenangan dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati anda menyatakan kemenangan itu dengan membuat huruf ‘V’ dengan jari telunjuk dan jari tengah.
4. Fungsi Ilustrasi Illustrative function. Fungsi ilustrasi menerangkan bahwa pesan non verbal digunakan untuk mengindikasikan ukuran, bentuk, jarak, dll. Contoh, ketika anda memberikan pengarahan kepada seseorang maka anda akan menunjukkan jarak suatu obyek, apakah dekat-jauh, besarkecil, tinggi-rendah. (Simon Capper 1997). 5. Fungsi Adaptasi Adaptive function. Fungsi adaptif dimaksudkan sebagai fungsi pesan non verbal untuk menyesuaikan pelbagai pesan baik verbal maupun non verbal. Misalnya, anda menciptakan jenis-jenis tanda atau simbol yang menyenangkan diri sendiri (kesukaan). Kadang-kadang tandatanda itu anda lakukan secara tidak sadar. Gerakan-gerakan refleks seperti megang-megang jenggot, mencabut kumis, mengurai rambut, menggigit kuku, mencubit-cubit jerawat termasuk dalam kategori fungsi adaptasi. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Larry Samovar dan Richard E. Porter dalam Mulyana (2007:343), komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangasangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penreima; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain. 2.2.4.6 Bentuk Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal dapat berbentuk bahasa tubuh, tanda (sign), tindakan/perbuatan (action) atau objek (object). 1. Bahasa tubuh. Bahasa tubuh yang berupa raut wajah, gerak kepala, gerak tanngan, gerak-gerik tubuh mengungkapkan berbagai perasaan, isi hati, isi pikiran, kehendak, dan sikap orang. 2. Tanda Dalam berkomunikasi nonverbal tanda mengganti kata-kata, misalnya bendera, rambu-rambu lalu lintas darat, laut, dan udara, aba-aba dalam olahraga. 3. Tindakan/Perbuatan Tindakan/perbuatan sebetulnya tidak khusus dimaksudkan mengganti kata-kata, tetapi dapat menghantarkan makna. Misalnya, menggebrak meja dalam pembicaraan, menutup pintu keras-keras pada waktu meninggalkan rumah, menekan gas mobil kuatkuat. Semua itu mengandung makna tersendiri. 4. Objek Objek sebagai bentuk komunikasi nonverbal juga tidak mengganti kata, tetapi dapat menyampaikan arti tertentu. Misalnya, pakaian, aksesori dandan, rumah, perabot rumah, harta benda, kendaraan, hadiah (Cangara, 2006:101-102) 2.2.4.7 Proses-Proses Nonverbal Proses-proses verbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun, proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-proses nonverbal. Walaupun tidak terdapat kesepakatan tentang bidang proses nonverbal ini, kebanyakan ahli setuju
bahwa hal-hal berikut mesti dimasukkan: isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu, dan suara. Dalam proses-proses nonverbal yang relevan dengan komunikasi antarbudaya, terdapat tiga aspek yang akan kita bahas: perilaku nonvverbal yang berfungsi sebagai bentuk bahasa diam, konsep waktu, dan penggunaan dan pengaturan ruang. 1. Perilaku Nonverbal Tidaklah bijaksana untuk menyelidiki semua unsur yang merupakan perilaku nonverbal karena begitu banyaknya aktivitas yang merupakan perilaku nonverbal ini. Satu atau dua contoh kiranya memungkinkan kita untuk menggambarkan bagaimana isu-isu nonverbal ini relevan dengan komunikasi antarbudaya. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi nonverbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman, kaum wanita seperti juga kaum lelakinya biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial; di Amerika Serikat kaum wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan, (berpegangan tangan dengan lawan jenis) di temapat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial. Anda dapat membayangkan maslah-masalah yang akan timbul bila orang tidak memahami kelainan-kelainan ini. Suatu contoh adalah kontak mata. Di Amerika Serikat orang dianjurkan untuk mengadakan kontak mata ketika berkomunikasi. Di Jepang kontak mata seringkali tidak penting. Dan beberapa suku Indian Amerika megajari anak-anak mereka bahwa kontak mata dengan orang yang lebih tua merupakan tanda kekurangsopanan. Seorang guru sekolah berkulit putih di suatu pemukiman suku Indian tidak menyadari hal ini dan ia mengira bahwa murid-muridnya tidak berminat bersekolah karena muridnya tersebut tidak pernah melihat kepadanya. Sebagai suatu komponen budaya, ekspresi nonverbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai pengalaman budaya. Sebagaimana telah kita pelajari bahwa kata stop dapat berarti berhenti, kita pun telah mempelajari bahwa lengan yang diangkat lurus di udara dengan telapak tangan menghadap ke muka sering berarti hal yang sama. Karena kebanyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambangkannya seringkali merupakan hal yang telah budaya sebarkan kepada anggota-anggotanya. Misalnya, lambang nonverbal untuk bunuh diri berbeda-beda antara budaya yang satu denga budaya yang lainnya. Di Amerika Serikat hal itu dilambangkan dengan jari yang diarahkan ke pelipis, di Jepang dilambangkan dengan tangan yang diarahkan ke perut, dan di New Guinea dilambangkan dengan tangan pada leher. Lambang-lambang nonverbal dan respons-respons yang ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya-apa yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalamanpengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan kita: bagaimana kita mengirim, menerima, dan merespons lambang-lambang nonverbal tersebut.
2. Konsep Waktu Konsep waktu sutau budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa depan, dan pentingnya atau kurang pentingnya waktu. Kebanyakan budaya Barat memandang waktu sebagai langsung dan berhubungan dengan ruang dan tempat. Kita terikat oleh waktu dan sadar akan adanya masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Sebaliknya, suku Indian Hopi tidak begitu memperhatikan waktu. Mereka percaya bahwa setiap hal-apakah itu manusia, tumbuhan, atau binatangmemiliki sistem waktunya sendiri-sendiri. Dalam budaya Amerika Serikat dominan bahkan kita pun menemukan kelompokkelompok yang mempersepsi waktu dengan cara yang aneh bagi orang-orang asing. Orang-orang Amerika keturunan Meksiko menggunakan istilah “waktu Meksiko” (Chinano Time) untuk menyebut waktu mereka yang berbeda dengan konsep waktu yang dominan di negara itu. Kaum berkulit hitam pun menggunakan istilah “waktu orang-orang hitam” (Black people’s time) yang berarti bahwa prioritas diberikan kepada apa yang sedang terjadi pada saat itu. Waktu merupakan komponen budaya yang penting,. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya dan perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi komunikasi. 3. Penggunaan Ruang Cara orang menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi anra- persona disebut proksemika (proxemics). Proksemika tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisik mereka. Kita mungkin tahu bahwa orang-orang Arab dan orang-orang Amerika Latin cenderung berikteraksi lebih dekat kepada sesamanya daripada orang-orang Amerika Utara. Penting disadari bahwa orangorang dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Bila kita berbicara dengan orang yang berbeda budaya, kita harus dapat memperkirakan pelanggaran-pelanggaran apa yang bakal terjadi, menghindari pelanggaran-pelanggaran tersebut, dan meneruskan interaksi kita tanpa memperlihatkan reaksi permusuhan. Kita mungkin mengalami perasaan-perasaan yang sulit kita kontrol, kita mungkin menyangka bahwa orang lain tak tahu adat, agresif, atau menunjukkan nafsu seks ketika orang itu berada pada jarak yang dekat dengan kita, padahal sebenarnya tindakannya itu merupakan perwujudan hasil belajarnya tentang bagaimana menggunakan ruang, yang tentu saja dipengaruhi oleh budayanya. Orientasi fisik juga dipengaruhi oleh budaya, dan turut menentukan hubungan sosial. Orang-orang Amerika Utara lebih senang duduk berhadapan muka. Kita juga cenderung menentukan hirearki sosial dengan mengatur ruang. Duduk di belakang meja sambil berbicara dengan seseorang yang sedang berdiri biasanya merupakan tanda hubungan atasan-bawahan, dan orang duduk itulah atasannya. Perilaku yang serupa juga dapat digunakan untuk menunjukkan ketidaksetujuan, kekurangajaran, atau penghinaan, bila orang melanggar norma-norma budaya. Kesalahpahaman mudah terjadi dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya ketika dua orang, masing-masing berperilaku sesuai dengan budayanya masing-masing, tak memnuhi harapan pihak lainnya. Bila kita tetap duduk sedangkan kita diharapkan berdiri, kita dikira orang melanggar norma budaya dan menghina pribumi atau tamu, padahal kita tidak menyadari hal tersebut.
Cara kita mengatur ruang merupakan suatu fungsi budaya. Rumah kita, misalnya, secara nonverbal menunjukkan kepercayaan dan nilai yang kita anut. Rumah-rumah di Amerika Serikat dirancang sedemikian rupa dengan sebuah pintu terbuka langsung ke jalan dan bagian-bagian lainnya ada di belakang tembok, menunjukkan betapa rumah-rumah itu mengandung nilai-nilai pribadi. Orang-orang Amerika Utara terbiasa menggunakan halaman depan yang luas dan tidak bertembok dengan jendela-jendela rumah yang tembus pandang sehingga orang-orang lewat bisa melihat apa yang terjadi dalam rumah. Di Amerika Selatan, seorang Amerika Utara bisa jadi merasa dikucilkan dan penasaran tentang apa yang terjadi di belakang tembok itu.
2.2.4.8 Kemampuan Menyampaikan Pesan Nonverbal Antarpribadi Ketika berhubungan antarpribadi maka ada beberapa faktor dari pesan non verbal yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Ada beberapa bentuk perilaku non verbal yakni: (1) kinesik; (2) okulesik, dan (3) haptiks; (4) proksemik; dan (5) kronemik 1. Kinesik, adalah studi yang berkaitan dengan bahasa tubuh, yang terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah, gambaran tubuh, dll. Tampaknya ada perbedaan antara arti dan makna dari gerakan-gerakan tubuh atau anggota tubuh yang ditampilkan tersebut. 2.Okulesik, adalah studi tentang gerak gerakan mata dan posisi mata. Ada perbedaan makna yang ditampilkan alis mata diantara manusia. Setiap variasi gerakan mata atau posisi mata menggambarkan satu makna tertentu, seperti kasih sayang, marah,dll. Orang Amerika Utara tidak membenarkan seorang tidak melihat wajah mereka kalau sedang berbicara. Sebaliknya orang Kamboja yakin bahwa setiap pertemuan didahului oleh pandangan mata pertama, namun melihat seorang adalah sesuatu yang bersifat privacy sehingga tidak diperkenankan memandang orang lain dengan penuh nafsu. 3. Haptiks, adalah studi tentang peradaban atau memperkenankan sejauh mana seseorang memegang dan merangkul orang lain. Banyak orang Amerika Utara merasa tidak nyaman ketika seorang dari kebudayaan lain memegang mereka dengan ramah, menepuk belakan dan lain-lain. Ini menunjukkan derajat keintiman: fungsional/profesional, sosial dan sopan santun, ramah tamah dan baik budi, cinta dan keintiman, dan daya tarik seksual. 4. Proksemik, studi tentang hubungan antar ruang, antar jarak, dan waktu berkomunikasi, sebagaimana dikategorikan oleh Hall pada tahun 1973, kecenderungan manusia menunjukkan bahwa waktu orang berkomunikasi itu harus ada jarak antara pribadi, terlalu dekat atau terlalu jauh. Makin dekat artinya maikn akrab, makin jauh artinya makin kurang akrab. 5. Kronemik, adalah studi tentang konsep waktu, sama seperti pesan non verbal yang lain maka konsep tentang waktu yang menganggap kalau suatu kebudayaan taat pada waktu maka kebudayaan itu tinggi atau peradaban maju. Ukuran tentang waktu atau ketaatan pada waktu kemudian menghasilkan pengertian tentang orang malas, malas bertanggung jawab, orang yang tidak pernah patuh pada waktu. 6. Tampilan, Appearance-cara bagaimana seorang menampilkan diri telah cukup menunjukkan atau berkorelasi sangat tinggi dengan evaluasi tentang pribadi. Termasuk di dalamnya tampilan biologis misalnya warna kulit, warna dan pandangan mata, tekstur dan warna rambut, serta struktur tubuh. Ada stereotip yang berlebihan terhadap perilaku seorang dengan tampilan biologis. Model pakaian juga mempengaruhi evaluasi kita pada orang lain. Dalam
sebagian masyarakat barat, jas dan pakaian formal merefleksikan profesionalisme, karena itu tidak terlihat dalam semua masyarakat. 7. Posture, adalah tampilan tubuh waktu sedang berdiri dan duduk. Cara bagaimana orang itu duduk dan berdiri dapat diinterpretasi bersama dalam konteks antarbudaya. Kalau orang Jawa dan orang Timor (Dawan) merasa tidak bebas jika berdiri tegak di depan orang yang lebih tua sehingga harus merunduk hormat, sebaliknya duduk bersila berhadapan dengan orang yang lebih tua merupakan sikap yang sopan. (Liliweri, 2004:98-99).
2.2.5 Gambaran Rebu Dalam Kehidupan Kekerabatan Masyarakat Batak Karo Menurut Yunus (1995: 38-51) mengungkapkan bahwa kata Rebu berarti ‘pantang’, ‘tidak pantas’, ‘dilarang’, ‘tidak dapat’, ‘tidak diijinkan’ melakukan sesuatu hal atau perbuatan. Jadi dalam perkataan ini terkandung pengertian yang negatif yang berisi larangan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Orang yang melanggar larangan tersebut adalah orang yang tidak tahu adat, dan tidak menuruti tata kebiasaan yang berlaku. Orang demikian akan dicemoohkan oleh masyarakat. Agaknya pengertian kata rebu dalam bahasa Karo ini dapat disejajarkan dengan kata tabu dalam bahasa Polinesia, yang sudah tidak asing lagi dalam dunia Antropologi. Pada masyarakat Karo, sudah terkenal akan adanya rebu sebagai berikut: 1. Rebu antara mami (mertua wanita) dengan Kela (menantu laki-laki) Secara sempit kata mami berarti ibu dari isteri ego (diri sendiri), dan secara luas berarti isteri dari saudara laki-laki ibu ego, dalam pengertian yang pertama, hubungan itu terjadi karena adanya perkawinan. Tanpa adanya perkawinan, hubungan mami dan kela tidak terjalin. Dalam pengertian yang kedua, hubungan darah turut menjembatani hubungan tersebut, tanpa terlebih dahulu mengadakan perkawinan dengan puteri mereka. Apabila hubungan yang telah ada tersebut diperkuat lagi dengan perkawinan terhadap puteri mereke, maka semakin eratlah hubungan kekeluargaan mereka. Kata kela berarti suami dari anak perempuan ego. Ini erat hubungannnya dengan kata mami dalam pengertian sempit di atas tadi. Sejalan dengan pengertian mami secara luas, maka kela dapat pula berarti anak laki-laki dari saudara perempuan ego, yang mengawini anak perempuan ego. Sebelum terjadi perkawinan itu, anak laki-laki tersebut adalah bebere (kemenakan), tetapi sekaligus merupakan kela (menantu laki-laki) juga.
a. Rebu Berbicara Langsung Menurut adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat karo, merupakan rebu
jika
seorang mami berbicara langsung dengan kelanya, atau sebaliknya. Antara mami dan kela pantang sekali berbicara, dan bercakap-cakap seperti halnya seorang ibu dengan anaknya atau seorang ayah dengan anaknya. Karena mereka tidak dapat berkomunikasi secara langsung, maka mereka harus menggunakan orang ketiga sebagai perantara. Melalui orang ketiga inilah kedua belah pihak menyampaikan pesan, pertanyaan dan jawabannya. b. Rebu Bersentuhan Anggota Badan Rebu yang kedua antara mami dan kela adalah rebu bersentuhan anggota badan. Selain itu disebut juga mereha artinya akan sangat memalukan dan hina bila itu sampai terjadi. Orang banyak akan mencemoohkan serta membuatnya menjadi uah mulut”: “Janganlah kamu seperti si Anu, tidak tahu malu, tidak tahu adat, dan tidak tahu rebu, karena ia memegang maminya. “Misalnya bila keadaan memaksa, seperti sakit keras atau parah, mami dapat menyentuhkelanya dengan terlebih dahulu mengucapkan sentabi yang berarti maaf. Kejadian seperti ini dapat dimengerti bahkan dianjurkan oleh masyarakat. Seseorang tidak akan sampai hati membiarkan mami atau kela-nya mati begitu saja apabila mendapat kecelakaan atau sakit parah tanpa memberi pertolongan hanya karena rebu bersentuhan. Perlu diingat bahwa seseorang mami merupakan ibu juga bagi seorang kela dan sebaliknya seorang kela pun merupakan seorang anak yang sangat disayangi oelh seorang mami. Ini terbukti dari ucapan mami dalam kehidupan sehari-hari. Jika seorang ibu telah bermenantu dan mereka masih tinggal bersamanya atau dalam kesempatan lain tinggal bersamanya maka seorang ibu akan selalu bertanya kepada puterinya: “Apakah sudah kamu sediakan makanan dan minuman untuk kela saya? Dan apabila hendak makan, dan kebetulan sang kela tidak ada, tentu akan ditanyakan: “Apakah kela saya sudah makan?” Jika puterinya menjawab: “Sudah saya sediakan ibu! Atau “Kela ibu sudah makan tadi!” Barulah sang mami dapat makan dengan tenang. c. Rebu Duduk Berhadap-hadapan Rebu yang ketiga antara mami dan kela adalah duduk berhadap-hadapan, saling menantang dengan pandangan yang tajam atau bertatapan muka. Seorang kela yang tahu sopan santun, dan tahu adat akan menundukkan kepala serta memandang ke bawah bila harus berbicara atau bertemu dengan maminya. Seorang kela yang tahu adat tidak akan berani datang ke rumah
(bertamu dan menginap) bahkan ia akan mengurungkan niatnya, kalau ia tahu di rumah hanya ada maminya seorang diri. d. Rebu Duduk Pada Sehelai Tikar/Papan Rebu lain yang terdapat antara mami dan kela adalah duduk pada sehelai tikar atau papan tanpa ada orang lain yang duduk di antara mereka. Perlu diketahui bahwa tikar merupakan tempat duduk utama yang dipergunakan oleh masyarakat Karo dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pesta atau upacara adat. Dalam bahasa Karo tikar ini disebut amak. Ada beberapa jenis amak, di antaranya amak cur yaitu tikar yang halus dan biasanya dipergunakan untuk tempat duduk orang-orang terhormat. Ada pula amak belang yaitu tikar lebar yang digunakan untuk tempat duduk orang kebanyakan. Demikianlah dalam adat Karo dianggap rebu bila mami dan kela duduk bersama-sama pada sehelai tikar, terkecuali ada orang lain yang duduk di antara mereka dan dapat berfungsi sebagai orang ketiga (perantara) dalam berkomunikasi. 2. Rebu antara bengkila (mertua laki-laki) dengan permain (menantu wanita) Secara sempit bengkila berarti ayah dari suami seorang wanita. Secara lebih luas berarti suami dari saudara perempuan ayah seseorang. Dalam pengertian yang pertama, hubungan bengkila-permain itu terjadi karena adanya hubungan perkawinan. Dalam hubungan yang seperti ini istilah bengkila biasa diganti dengan istilah ajinta. Pengertian yang kedua, hubungan darah turut menjembatani hubungan bengkila-permain, tanpa harus terlebih dahulu mengadakan perkawinan putera mereka, maka semakin eratlah hubungan kekeluargaan mereka. Perkawinan seperti inilah biasanya yang diidam-idamkan oleh orang-orang tua. Padanan kata bengkila dalam bahasa Toba adalah amangboru. Sedangkan dalam bahasa Simalungun adalah mengkela yang berasal dari kata amang (ayah) kela (menantu laki-laki). Mengingat hal itu, mungkin kita dapat membuat suatu analogi bahwa bengkila berasal dari kata bapa (ayah) + kela (menantu laki-laki). Kata permain dalam bahasa Karo, secara sempit berarti isteri dari anak laki-laki sepasang suami isteri. Ini erat hubungannya dengan kata bengkila dalam pengertian sempit. Sedangkan pengertian bengkila secara lebih luas sejalan dengan pengertian permain yang berarti anak perempuan (bahkan juga anak laki-laki) dari saudara laki-laki isteri seseorang.
Pada dasarnya rebu berlaku antara mami dan kela, juga berlaku dalam hubungan bengkila dan permain, yaitu: a. Rebu berbicara langsung tanpa ada orang ketiga sebagai perantara. b. Rebu bersentuhan badan c. Rebu duduk berhadap-hadapan d. Rebu duduk pada sehelai tikar atau selembar papan, kalau tidak ada orang lain yang duduk di antara mereka. Pada sub I di atas, harus diingat bahwa bengkila mempergunakan nina permain (kata menantu) terhadap permain apabila mereka harus melakukan komunikasi atau pembicaraan tanpa ada ornag ketiga sebagai perantara. Bengkila dan permain tidak boleh mempunyai merga yang sama, mereka harus berlainan merga. Karena bila suami si permain meninggal dunia, adat Karo mengijinkan tutur bengkilanya, yaitu salah seorang saudara bengkilanya, yaitu salah seorang saudara bengkila untuk menggantikan almarhum tersebut sebagai suami. Perkawinan ini dalam bahasa dan masyarakat Karo disebut lako man atau lako mangani.
2.3 Model Teoritik Secara skematis, kajian pustaka peneliti dalam melakukan penelitian ini akan dibentuk suatu model teoritis sebagai berikut:
Gambaran Rebu antara mertua dan menantu pada suku karo di desa Batukarang
Hambatan Komunikasi Verbal dan Non Verbal
Pengumpulan Data
Observasi
Wawancara
Sumber Lain
Analisis Domain
Analisis Taksonomi
Analisis Komponen
Analisis Tema
Interpretasi Data
Gambar 2.3 Model Teoritis Sumber: Modifikasi Peneliti
Menulis Laporan