Bab II Kajian Pustaka
II.1. Ekositem Mangrove dan Kerusakannya Ekosistem mangrove adalah salah satu ekosistem pembentuk daerah pesisir. Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas pasang dan surut. Diperkirakan sekarang ini ada sekitar 180.000 km2 hutan mangrove di dunia yang tersebar cukup luas mulai dari daerah tropis sampai wilayah sub tropis. (Spalding, et.al. 1997 dalam Macintosh dan Ashton, 2003). Ekosistem mangrove biasanya ditemui pada kondisi tanah yang berkadar air tanah yang tinggi, oksigen rendah dan mengandung kadar humus yang tinggi (Macnae, 1968 dalam Hussain, 1995). Jenis tanah alluvial dan tanah berlumpur adalah daerah yang disenangi oleh mangrove untuk tumbuh. Vegetasi pembentuk mangrove juga menginginkan daerah dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Sayangnya sistem perakarannya yang dangkal membuatnya rentan diterpa angin kuat dan memerlukan habitat yang terlindung untuk tumbuh optimal. Oleh karena itulah maka menurut Wibisono (2005) mangrove dapat tumbuh dengan baik di sekitar muara sungai, pantai karang, teluk yang tenang dan pulau-pulau yang berada di dalam teluk tersebut.
Ada beberapa jenis vegetasi ekosistem magrove yang dikenal di Indonesia antara lain seperti : Bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera). Vegetasi pembentuk ekosistem ini mampu beradaptasi pada kondisi tanah yang miskin oksigen. Namun pertumbuhan mereka sangat
tergantung pada tingkat salinitas air. Oleh
karena itu biasanya setiap tanaman tersebut memiliki zonasi sendiri pada wilayah pesisir. Sementara itu pasokan makanan dapat diperoleh baik dari air asin maupun air tawar ditambah dengan endapan debu hasil erosi air sungai.
24
Ekosistem mangrove dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelas yang bervariasi tergantung pada lokasi di mana ekosistem ini berkembang. Menurut Soemodihardjo et al (1986) ekosistem hutan mangrove di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas yaitu : 1) delta, terdapat di muara sungai dengan frekuensi pasang surut yang rendah, 2) dataran lumpur, terdapat di pinggiran pantai, 3) dataran pulau, berbentuk pulau kecil yang dapat muncul ke permukaan air apabila air surut rendah dan, 4) dataran pantai, berbentuk jalur sempit memanjang sejajar garis pantai (dalam Dahuri, 2003). Untuk Propinsi Kalimantan Barat sendiri, berdasarkan Laporan Akhir Review Pemanfaatan Kawasan Hutan Bakau yang disusun oleh Bappeda Propinsi Kalimantan Barat sebagian besar hutan mangrove yang ada berbentuk delta dan dataran lumpur yang tersebar di empat kabupaten yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Pontianak dan Ketapang.
Berbicara tentang ekosistem mangrove adalah berbicara tentang suatu ekosistem hutan hujan tropis yang khas. Kekhasannya dikarenakan pertama, lokasi di mana ekosistem ini tumbuh dan berkembang. Ekosistem mangrove berada di wilayah pesisir di mana terjadi peralihan habitat darat dan laut (Wibisono, 2005). Dengan posisi seperti itu ekosistem ini akan mengalami fluktuasi perubahan lingkungan seperti pasang surut air laut, intrusi air asin, gelombang air laut, kekuatan angin, tumbukan dan sedimentasi yang cukup besar. Hal inilah yang mencirikan perbedaan ekosistem mangrove dengan ekosistem hutan hujan tropis yang lain di mana perubahan lingkungan habitatnya lebih kecil dibandingkan dengan ekosistem mangrove .
Hal yang kedua adalah keterkaitannya yang erat dengan segala aktivitas yang terjadi baik di darat maupun di laut. Kegiatan pertanian terestrial dan transportasi laut misalnya, dapat memberikan dampak pada ekosistem mangrove. Polusi, buangan dan limbah yang dihasilkan akan terbawa oleh aliran air sungai dan pasang surut air laut yang akhirnya terkumpul di daerah pesisir di mana ekosistem mangrove beserta ekosistem pesisir lainnya
25
berada. Gambar II.1 memperlihatkan bagaimana aktivitas tersebut di atas dapat mempengaruhi ekosistem mangrove terutama berkaitan dengan kualitas air. Kondisi seperti ini tentu tidak akan dialami oleh ekosistem hutan hujan tropis yang murni berada di darat di mana aktivitas di laut atau daerah pesisir mungkin akan sedikit sekali berpengaruh terhadap kehidupannya.
Karakteristik ekosistem mangrove yang lain adalah bentuk akarnya. Jenisjenis tumbuhan pembentuk ekosistem ini seperti Bakau (Rhizophora), Apiapi (Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera) biasanya memiliki system perakaran yang berbeda dengan perakaran pada ekosistem hutan hujan tropis daratan. Mereka memiliki akar-akar yang khas seperti akar nafas (pneumatophora), akar lutut, akar papan, atau akar tunjang (Onrizal, 2006). Ini merupakan bentuk adaptasi mereka terhadap lingkungan yang sering terendam oleh air asin dan air tawar. Dengan adaptasi seperti ini ekosistem mangrove dapat tumbuh pada kondisi lingkungan yang sulit, di mana menurut Hussain (1995), tidak semua tumbuhan dapat melakukannya seperti pada tanah yang miskin oksigen, berlumpur, berpasir, bahkan pada terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan vegetasi pembentuk ekosistem mangrove sebagai salah satu plasma nutfah berharga yang penting untuk terus dilestarikan.
Di samping karakteristiknya yang unik, ekosistem mangrove juga memiliki arti penting bagi manusia dan makhluk hidup yang lain. Masyarakat di daerah pesisir telah lama memanfaatkan kayunya sebagai bahan bangunan, bahan bakar (arang kayu) dan pulp (industri kertas). Ekosistem ini juga dapat menghasilkan gula (dari pohon nypa), madu, bahan tekstil dan obatobatan. Berbagai biota laut seperti ikan, udang dan kepiting memanfaatkan mangrove sebagai tempat berkembangbiak dan mencari makanan. Sehingga tidak mengherankan jika Nguyen Huu Nghia (tanpa tahun) mengatakan bahwa 90% produk perikanan berasal dari sini.
26
Pertanian, pertambangan, pembukaan hutan
Peningkatan laju erosi, limpasan air permukaan, banjir
Aliran sungai Erosi, pendangkalan, kekeruhan
Teluk/Pesisir Air tawar, perbandingan air asin, suplai nutrient, erosi, temperatur
Mangrove Air tawar, perbandingan air asin, suplai nutrient, erosi, temperatur
Padang Lamun
Terumbu Karang
Pertambangan lepas pantai, polusi laut, transportasi laut
Kecerahan air, masukan sediment ke dalam air, suplai nutrient, salinitas, sirkulasi air
Kecerahan air, masukan sediment ke dalam air, suplai nutrient, salinitas, sirkulasi air
Gambar II.1. Pengaruh aktivitas di darat dan laut terhadap ekosistem mangrove dan ekosistem lainnya di wilayah pesisir (Modifikasi dari Bengen, 2002). Selain itu ekosistem ini juga dijadikan tempat menetap dan bermigrasi bagi beberapa jenis unggas dan mamalia. Sebagai illustrasi, di kawasan mangrove Batu Ampar Kalimantan Barat, sedikitnya ada 40 jenis unggas yang memanfaatkan mangrove sebagai tempat tinggal, persinggahan dan mencari makan di samping satwa liar yang hampir punah seperti bekantan, kera ekor panjang dan rusa (Santoso,et.al,1998). Oleh karena itu cukup tepat bila dikatakan bahwa ekosistem ini adalah salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia yang kaya akan plasma nutfah dengan 397 jenis ikan, 259 jenis
27
kepiting, 256 jenis moluska, 450 jenis serangga, dan lebih dari 250 jenis hewan lain yang berasosiasi dengannya (Upadhyay et. al. , 2002).
Ekosistem mangrove dikenal pula sebagai penyedia jasa lingkungan yang bernilai tinggi. Mangrove dapat menahan laju abrasi pantai dan intrusi air laut (Wibisono, 2005). Hilangnya ekosistem mangrove di sepanjang pantai Kalimantan Barat telah menyebabkan abrasi sejauh lebih dari 13 km. Intrusi air laut di daratan Jakarta sejauh 12 km (Firman dan Darmapatni,1995) ditengarai juga diakibatkan oleh menurunnya kawasan mangrove di sepanjang pantai Jakarta selama 30 tahun terakhir (Dinas Tata Kota Jakarta,1995).
Keberadaan ekosisem ini juga dapat meredam gelombang dan angin. Hutan mangrove dengan ketebalan 60 meter sampai 75 meter dari pinggir pantai ternyata mampu mengurangi ketinggian gelombang laut sekitar 3,5 meter (Pratikto dalam Bappeda Propinsi Kalimantan Barat, 2005). Peristiwa bencana alam gelombang pasang tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004 adalah bukti nyata hal tersebut. Hasil analisa pasca bencana menunjukkan bahwa daerah-daerah yang memiliki pantai yang terlindung dengan hutan mangrove mengalami kerusakan yang lebih ringan dibandingkan dengan daerah pantai yang miskin mangrove sebagaimana dijumpai di pantai utara Nias dan beberapa pesisir barat pantai Aceh Selatan (Onrizal, 2005; WI-IP, 2005; dalam Onrizal, 2006).
Manfaat penting lainnya dari ekosistem ini adalah sebagai penyeimbang ekosistem darat, laut dan udara. Ekosistem mangrove dapat membantu pembentukan daratan baru dari hasil sedimentasi lumpur yang dibawa oleh aliran air sungai. Dengan kemampuannya mengikat zat pencemar maka mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter alami (Gunarto,2004) yang dapat menetralkan dan menjernihkan kawasan perairan pesisir. Penelitian yang dilakukan
oleh
Rivera-Monroy
et.al.(1999)(dalam
Irianto,
2004)
28
menunjukkan bahwa lahan mangrove seluas 0,04-0,12 ha dapat menetralkan nitrogen anorganik terlarut dari 1 ha tambak. Ekosistem ini juga merupakan penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe hutan lain
(www.dephut.go.id.).
Ini
berarti
bahwa
ekosistem
mangrove
mempunyai potensi yang besar untuk membantu mengatasi permasalahan global warming, salah satu issue lingkungan yang hangat dibicarakan dewasa ini yang terjadi akibat peningkatan konsentrasi gas CO2 di udara.
Berkaitan dengan produktivitas, ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif, bahkan lebih produktif dari ekosistem hutan hujan tropis yang lain (Upadhyay et.al., 2002). Dari ekosistem ini dapat dihasilkan biomassa 62,9 – 398,8 ton/ha, guguran serasah 5,8 – 25,8 ton/ha dan riap volume 20tcal/ha/h atau 9m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun (www.dephut.go.id). Namun dari produksi yang besar itu tidak lebih dari 10% yang dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan darat pemakannya, sedangkan sisanya tinggal di dalam wilayah perairan pantai (Odum dan Heald, 1967 dalam Noer, 2005; Heald, 1969 dalam Supriharyono, 2000). Kondisi ini menyebabkan kandungan bahan organik hutan mangrove sangat tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk budidaya perikanan. Pemanfaatan hutan mangrove menjadi areal budidaya perikanan atau akuakultur akan menguntungkan karena secara ekonomi investasi yang ditanamkan akan cepat kembali dan sumber daya yang dikelola bernilai komoditas ekspor yang tinggi.
Banyaknya manfaat yang dimiliki oleh ekosistem ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memiliki daya dukung yang tinggi terhadap kelangsungan hidup manusia dan habitatnya. Hal yang disayangkan adalah bahwa populasi hutan mangrove menunjukkan kecenderungan untuk terus menurun. Dulu, 75% dari daerah pantai di wilayah tropis dan sub tropis ditutupi oleh hutan mangrove (Mc Gill, 1959; Chapman, 1976; dalam Kairo et.al.,2001). Namun sekarang hanya tersisa tidak lebih dari separuhnya,
29
bahkan 50% dari yang tersisa itu juga telah mengalami kerusakan (www.earthisland.org, 2002 dalam Upadhyay, et.al., 2002).
Secara umum kerusakan ekosistem mangrove disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor alam dan faktor manusia. Sebagai salah satu lapisan pelindung terdepan daerah pesisir, ekosistem mangrove mudah rusak akibat becana alam yang terjadi seperti
gelombang pasang, angin topan, banjir dan
kenaikan muka air laut. Sementara itu faktor manusia yang menyebabkan kerusakan mangrove berhubungan dengan kegiatan eksploitasi, konversi, dan pengelolaan lainnya yang kurang berpihak pada kelestarian mangrove. Tabel II.1 memperlihatkan bagaimana kecenderungan ancaman kedua faktor ini terhadap kelestarian ekosistem mangrove. Tabel II.1 Rangkuman Ancaman Utama Terhadap Mangrove di beberapa bagian dunia Ancaman 1 Bencana Alam Tekanan penduduk Over eksploitasi oleh masyarakat setempat Kehutanan Pertanian Akuakultur Produksi garam Pertambangan Perkembangan industri dan perkotaan
Asia Selatan dan Tenggara 2 Rendah-tinggi Meningkat Tinggi Meningkat Tinggi Meningkat
Afrika
Amerika Tengah dan Selatan 3 4 Sedang Rendah Meningkat Meningkat Tinggi Rendah-sedang Meningkat Meningkat Rendah Tinggi Meningkat Stabil-menurun
Tinggi Stabil Tinggi Menurun Tinggi Meningkat Tinggi Menurun Rendah-Sedang Menurun Tinggi Meningkat
Sedang Meningkat Tinggi Meningkat Rendah Menurun Tinggi Stabil Sedang Meningkat Sedang Meningkat
Rendah Stabil Rendah Stabil-menurun Sedang-tinggi Meningkat Rendah-Sedang Menurun Rendah Menurun Sedang-Tinggi Meningkat
30
1 Pariwisata Pembangunan dam Polusi pantai
2 Rendah-Sedang Meningkat Sedang-Tinggi Meningkat Sedang-Tinggi Meningkat
Kegagalan Sedang-Tinggi pengelolaan Menurun Sumber: Macintosh dan Ashton, 2003.
3 Rendah Meningkat SedangTinggi Meningkat SedangTinggi Meningkat Tinggi Stabil
4 Rendah-Sedang Meningkat Rendah-Tinggi Meningkat Sedang-Tinggi Meningkat Rendah-Tinggi Stabil
Berdasarkan tabel tesebut diketahui bahwa tekanan penduduk merupakan ancaman paling utama terhadap kelestarian ekosistem mangrove. Gejala tersebut terjadi hampir di seluruh bagian dunia. Hal ini tentunya perlu dicermati dengan serius mengingat bahwa populasi penduduk cenderung untuk selalu meningkat. Pertambahan jumlah penduduk berarti peningkatan kebutuhan akan permukiman dan daerah pesisir tempat ekosistem mangrove berada merupakan lokasi yang paling mudah dikonversi untuk tujuan tersebut. Meningkatnya populasi dan daerah permukiman akan berdampak pada perkembangan perkotaan dan daerah industri yang dari tabel tersebut terlihat juga berpotensi mengancam kelestarian ekosistem mangrove di dunia.
Untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, kegiatan pertambakan atau akuakultur masih merupakan ancaman utama terhadap kerusakan mangrove. Hal ini didukung oleh data yang diungkapkan oleh Primavera (1998) di mana konversi mangrove menjadi lahan tambak adalah faktor utama penyebab hilangnya ekosistem mangrove di beberapa negara berkembang seperti di Bangladesh (6.092 ha), Srilanka (1.650 ha), Vietnam (102.000 ha), Ecuador (21.600 ha) dan Honduras (11.515 ha).
31
Indonesia sendiri mengalami kerusakan mangrove akibat perkembangan kegiatan pertambakan ini yang tidak kalah seriusnya dengan negara-negara tetangganya. Sehingga Dahuri et.al. (1996) (dalam Dahuri, 2003) menempatkan faktor ini pada tempat pertama penyebab penurunan populasi hutan mangrove di Indonesia. Sampai tahun 2005 jumlah tambak di Indonesia hampir mencapai 800.000 ha, dengan rata-rata kenaikan luasan setiap tahunnya 14% (Damanik, 2006). Menurut Alier (2001) kegiatan pertambakan tersebut terutama terkonsentrasi di pantai utara Pulau Jawa di mana penebangan hutan mangrove telah terjadi sejak periode pertengahan tahun 70-an sampai pertengahan tahun 90-an yang menyebabkan 70% area mangrove hilang dari pulau ini (Briggs dan Smith dalam Upadhyay et.al, 2002). Yang memprihatinkan adalah lokasi tersebut sebagian besar telah ditelantarkan karena produktivitas yang rendah dan kerusakan lingkungan. Sementara pemerintah sendiri sepertinya kurang peka terhadap kegiatan pertambakan yang mengancam kelestarian ekosistem mangrove ini dan malah mengalihkan aktivitas tambak di lokasi yang masih kaya dengan hutan mangrove seperti di Pulau Sulawesi dan Irian (Alier, 2001).
Kecenderungan menurunnya luasan hutan mangrove ini ternyata juga terjadi di daerah lain. Suroso (2007) mengungkapkan bahwa hingga tahun 2002 penurunan luas hutan mangrove di wilayah pesisir Lampung mencapai angka 90% (dari 20.000 ha menjadi 2.000 ha yang tersisa). Briggs dan Smith (dalam Upadhyay et.al, 2002) menuliskan bahwa akibat kegiatan pertambakan, hutan mangrove yang dikonversi mencapai angka 49% di Pulau Sulawesi dan 36% di Pulau Sumatera. Sementara itu di Propinsi Kalimantan Barat sendiri, pembangunan kolam budidaya ikan dan udang juga merupakan ancaman paling serius terhadap kerusakan hutan mangrove yang dewasa ini telah mencapai angka lebih dari 200.000 ha (Bappeda Propinsi Kalimantan Barat, 2005).
32
Pihak yang paling merasakan dampak akibat rusaknya ekosistem ini adalah masyarakat di daerah pesisir. Dari segi ekonomi, menurunnya luas hutan mangrove telah menyebabkan penurunan produksi di sektor perikanan yang berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Penghapusan sejumlah hutan mangrove dalam skala besar telah terbukti menurunkan suplai benih udang bagi tambak-tambak di Ekuador dan hasil tangkapan para nelayan skala kecil di Chokoria, Bangladesh dan di Kuala muda dan Selangor, Malaysia (Lahmann,et.l, 1987; Sultana, 1994 dan Raman, 1996 dalam Clay, 1996;dalam Primavera, 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Lamusa (2000) di wilayah Banawa Selatan Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa menurunnya luasan kawasan mangrove terbukti telah menurunkan produktivitas tambak di daerah tersebut. Dari segi fisik, terjadi peningkatan abrasi di sepanjang garis pantai dan pendangkalan di daerah muara dan teluk. Sedangkan dari segi sosial salah satu dampaknya adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan budaya. Seperti yang terjadi di Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah, menurunnya luas hutan mangrove ternyata tidak hanya menurunkan hasil tangkapan udang, tetapi juga menyebabkan berpindahnya pekerjaan masyarakat setempat dari nelayan menjadi petani karena ikan semakin susah didapat (Kompas, 19 Februari 2003). Ini berarti akan ada perubahan nilai pada masyarakat, yang tadinya mereka menggantungkan hidupnya pada daerah perairan sekarang harus memenuhi kebutuhannya dengan mengandalkan daerah daratan. Jika mereka berhasil bertahan hidup dengan nilai budaya yang baru ini maka bisa diprediksi bahwa generasi masyarakat pesisir mendatang akan asing dengan budaya pesisirnya. Dan bagi negara Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim, ini merupakan sebuah langkah mundur bagi pewarisan nilai-nilai budaya. Sehubungan dengan pengelolaan mangrove, hal yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa pengkonversian dan pemanfaatan mangrove sepatutnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam
33
jangka panjang, bukan sebaliknya. Pembabatan hutan mangrove secara luas di negara ini ternyata tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat. Hasil dari tambak yang sebagian besar dijadikan komoditas ekspor ternyata hanya menguntungkan pemilik modal yang sebagian besar bukanlah masyarakat setempat (Alier, 2001). Akibatnya sebagian besar masyarakat pesisir masih tetap berada di bawah garis kemiskinan (Down to Earth, Agustus 2003). Tabel II.2. Kemerosotan Hutan Mangrove dan Kemiskinan di Indonesia Kemerosotan hutan mangrove karena tambak
0,8 juta ha (1986-1996)
Wetlands International di Jakarta Post 14/Nov/02
Wilayah hutan mangrove
8,6 juta ha, 68% rusak berat
M Prakosa di Asia Pulse/Antara 15/May/03)
Hutan mangrove yang tersisa tahun 2000
sekitar 2,2 juta ha
WALHI (DTE 51 Nov 2001)
Target penghasilan dari ekspor udang
6,79 M dollar tahun 2003 http://www.indoocean.com/
Komunitas pesisir yang hidup di bawah garis kemiskinan
mencapai sekitar 80%
ADB in AFP
Sumber : Down To Earth, No. 58 Agustus 2003 Untuk menyelamatkan ekosistem mangrove dari kerusakan yang lebih parah dan melindungi fungsinya sebagai penyangga kehidupan makhluk hidup lain maka pengelolaan mangrove perlu dilakukan secara arif dan tepat. Sasaran yang ingin dicapai sebaiknya lebih diarahkan pada kesejahteraan masyarakat di masa sekarang dan akan datang. Selain itu mengingat ekosistem ini sangat terkait dengan kelestarian darat dan wilayah perairan, maka mengelola mangrove secara bertanggung jawab juga akan mendukung upaya melestarikan bumi sebagai habitat makhluk hidup seluruhnya.
II.2. Permasalahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Terjadinya kerusakan dan penurunan luas ekosistem mangrove di negara ini mengindikasikan bahwa pengelolaan yang dilakukan selama ini belum
34
berpihak pada azas kelestarian. Padahal jika merujuk pendapat yang dikemukakan oleh Macintosh dan Aston (2003) yang menyatakan bahwa tujuan pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk mendukung upaya konservasi, rehabilitasi, dan penggunaan berkelanjutan ekosistem mangrove agar dapat memberikan keuntungan pada seluruh manusia di muka bumi ini, maka orientasi pengelolaan mangrove seharusnya adalah kelestarian dan bukannya kepentingan ekonomi jangka pendek yang pada akhirnya mengancam kelestarian mangrove.
Oleh karena itu pengelolaan mangrove selanjutnya harus dikembalikan pada tujuan awalnya. Namun untuk merealisasikan hal terebut ada beberapa permasalahan. Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003) permasalahan pengelolaan daerah pesisir, di mana ekosistem mangrove berada di dalamnya, berhubungan dengan potensi konflik kepentingan, kewenangan, tumpang tindih pengelolaaan antar sektor, keterkaitan yang erat dengan ekosistem darat dan laut, lemahnya kerangka hukum, degradasi lingkungan serta keterlibatan masyarakat. Selain itu terbatasnya informasi dan teknologi serta kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir juga merupakan
masalah
yang
dihadapi
dalam
pengelolaan
mangrove
berkelanjutan (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994).
Permasalahan-permasalahan di atas pada dasarnya berkaitan dengan dua hal pokok yaitu perangkat pengelolaan mangrove dan kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya di daerah pesisir dan moral para pemilik . Perangkat yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove dapat berupa rencana tata ruang, informasi dan teknologi serta perundang-undangan. Jika terjadi tumpang tindih kegiatan pengelolaan mangrove ataupun eksploitasi mangrove secara berlebihan, maka yang menjadi pertanyaan pertama kali adalah apakah sudah ada rencana tata ruang yang jelas atau undang-undang yang tepat untuk mengatur pengelolaan pada lokasi yang bersangkutan.
35
Ketersediaan dan Kualitas dari Rencana Tata Ruang IPTEK Peraturan perundangundangan
Sosialisasi dan Koordinasi kepada Masyarakat Pihak Swasta Dinas Departemen LSM
Penerapan oleh Pemerintah Masyarakat Pihak Swasta
Gambar II.2 Permasalahan pada perangkat pengelolaan mangrove
Sebagai contoh, peraturan tentang pengelolaan kawasan lindung. Dalam peraturan ini ditetapkan jalur hijau (green belt) adalah 130 kali rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah, atau hanya sekitar 140 m dari garis pantai ke arah daratan. Ini malah memacu kerusakan hutan mangrove yang lebih parah karena tidak ada batasan yang tegas antara luas hutan mangrove yang masih bisa ditoleransi untuk dijadikan lahan budidaya seperti areal tambak atau pertanian yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan pada saat ini.
Jika perangkat pengelolaan tersebut telah dibuat dengan jelas dan tepat maka yang harus dilakukan kemudian adalah sosialisasi kepada pihak-pihak yang terkait. Masyarakat yang tinggal di kawasan lindung, misalnya, perlu diinformasikan bahwa daerah tempat mereka tinggal perlu dijaga kelestariannya. Selain itu mereka juga perlu diinformasikan tentang teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan secara lestari.
Seandainya sudah tersosialisasikan dengan baik, maka langkah berikutnya adalah pelaksanaan rencana tata ruang yang telah dibuat tersebut secara optimal dan penegakan hukum bagi siapa saja yang melakukan tindakan yang berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove dan lingkungan.
36
Belum optimalnya pemanfaatan dan pelaksanaan tata ruang (Dirjen Permukiman, 2001) memang sering diungkapkan sebagai salah satu masalah dalam pengelolaan suatu kawasan. Bappeda Propinsi Kalimantan Barat (2005) juga mengakui bahwa walaupun telah ditetapkan kawasan lindung dan kawasan budidaya pada areal hutan di mana ekosistem mangrove adalah bagiannya, pada prakteknya tetap saja terjadi penyimpangan. Sehingga untuk pengelolaan mangrove di masa mendatang hal ini tentunya perlu dibenahi.
Permasalahan kedua adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hampir 60% penduduk Indonesia berada di wilayah pesisir (Witoelar, 2003) dan sebagian besar dari mereka berada di bawah garis kemiskinan. Dengan kondisi seperti ini dan melihat banyaknya manfaat yang dimiliki oleh ekosistem mangrove maka adalah sesuatu yang alamiah jika masyarakat setempat mengekploitasinya guna memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraannya. Namun jika eksploitasi tersebut dilakukan secara berlebihan akan berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove dan lingkungan.
Over eksploitasi terhadap ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat setempat bukan menggambarkan bahwa mereka kurang menyadari arti penting dari mangove dan menganggapnya hanya sebagai lahan yang tidak bermanfaat (Lamusa, 2000; Macintosh dan Aston, 2003 ). Pada dasarnya masyarakat menyadari bahwa keberadaan ekosistem mangrove akan berpengaruh positif terhadap produksi perikanan mereka. Ini didukung oleh Priyono (2007) berdasarkan pengalamannya melakukan rehabilitasi kawasan mangrove di Teluk Awur Jepara. Masyarakat di sana sudah menyadari bahwa jika mangrove ditebang akan terjadi abrasi pantai atau rehabilitasi mangrove nantinya akan menyebabkan produksi perikanan mereka melimpah.
37
Kendalanya adalah bahwa tekanan pemenuhan kebutuhan dan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan sangat kuatnya, sedangkan informasi pengelolaan mangrove yang diterima tidak utuh. Maka saat ada kesempatan, kepentingan ekonomi tersebut mengalahkan kepentingan kelestarian dan terjadilah kegiatan pengelolaan yang kurang berwawasan lingkungan seperti kegiatan penebangan yang merusak atau pembukaan areal tambak yang tidak ramah lingkungan.
Menyikapi hal tersebut maka pemerintah perlu mengembangkan strategi pengelolaan yang tidak hanya mementingkan kelestarian mangrove semata tetapi juga dapat berdampak pada peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat bahkan pada kawasan yang diperuntukkan bagi tujuan preservasi dan konservasi sekalipun. Karena jika tidak, eksploitasi yang lebih parah oleh masyarakat mungkin tidak terhindarkan. Penelitian yang dilakukan oleh Mitra et.al (2006) pada kawasan konservasi suaka margasatwa Bhitarkanika mungkin dapat menjadi pelajaran di mana terbukti bahwa penetapan areal konservasi yang tidak memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat malah akan berdampak pada eksploitasi mangrove yang lebih besar dibanding sebelumnya.
Strategi yang diterapkan tersebut juga harus mampu menggali rasa memiliki masyarakat tehadap mangrove dan meningkatkan kapasitas mereka selaku pengelola pesisir yang trampil dan bertanggung jawab serta aktif terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan restorasi hutan. Seperti yang terjadi di Philipina dan Thailand misalnya, pengelolaan mangrove yang berdasar pada peran aktif masyarakat setempat terbukti telah berhasil melindungi hutan mangrove dari kerusakan akibat pembangunan tambak udang, merehabilitasi ekosistem mangrove yang rusak, melindungi masuknya perahu-perahu penangkap ikan di perairan sekitar pantai dan melidungi keanekaragaman jenis species dan ikan tangkapan (Midas Agronomics, 1995; Ferrer et al., 1996 dalam Primavera, 1998). Masyarakat perlu disadarkan bahwa mereka
38
memiliki peranan penting dalam melestarikan mangrove. Bahwa dukungan mereka tidak hanya akan berdampak pada keberhasilan program yang telah direncanakan tetapi juga peningkatan kesejahteraan mereka kini dan nanti.
Agar pengelolaan mangrove secara lestari dapat terwujud maka pemerintah, masyarakat dan pihak swasta perlu berbenah diri dan secara bersama-sama merencanakan suatu pengelolaan mangrove yang berkelanjutan sesuai dengan kondisi fisik lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Dan tidak cukup hanya itu. Diperlukan juga kemauan yang kuat untuk melaksanakan semua rencana yang telah disusun. Dua hal inilah yang disebut oleh Suhendang (2005) masing-masing sebagai collaborative management dan strong commitment , dua sikap utama yang menurutnya diperlukan dalam kegiatan pengelolaan suatu kawasan hutan. Dengan mengembangkan kedua sikap tersebut maka diharapkan permasalahan yang ada dapat diatasi dan memudahkan jalan bagi pencapaian tujuan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.
II.3. Perencanaan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan Perencanaan adalah suatu proses yang penting karena pada tahap inilah arah dan strategi dari suatu kegiatan ditentukan. Menurut Kay (1999) (dalam Dartoyo, 2004) perencanaan adalah suatu proses perumusan tujuan dan klarifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam kegiatan perencanaan ini akan dianalisa seluruh potensi sumber daya yang ada baik alam maupun manusia. Juga diperhitungkan keterbatasanketerbatasan yang dapat menghambat kegiatan pengelolaan seperti ketersediaan dana,waktu, serta kemungkinan terjadinya bencana alam yang tidak dapat terelakkan. Berdasarkan analisa dan pertimbangan tersebut dapat dipilih tindakan dan strategi yang paling tepat untuk mencapai tujuan pengelolaan yang telah ditentukan.
39
Dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir kegiatan perencanaan merupakan tahapan pertama yang harus dilakukan sebagaimana disebutkan di dalam Pokok-pokok Pikiran Rancangan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir tahun 2005 yang disusun oleh Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu : Pengelolaan wilayah pesisir adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumber daya alam dan jasa lingkungan pesisir secara berkelanjutan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan antara sektor dan antar pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan Perencanaan pengelolaan, mengutip dari Stroud (2003), diperlukan untuk memastikan bahwa pengelolaan suatu kawasan apakah itu untuk kawasan konservasi maupun untuk kepentingan lainnya berada dalam suatu kerangka pemikiran yang logis, dapat dipertanggungjawabkan dan berkesinambungan sehingga tercipta suatu konsistensi kegiatan pengelolaan dari waktu ke waktu dan pengelolaan dapat diarahkan untuk hasil yang maksimal.
Menurut Vantomme (1995) suatu perencanaan pengelolaan mangrove perlu memperhatikan hal-hal berikut: 1) perencanaan harus berorientasi pada tujuan; 2) rencana yang dibuat diusahakan untuk kepentingan jangka panjang guna menghasilkan produksi yang maksimal bagi kepentingan masyarakat seluas mungkin; 3) daya dukung ekologi adalah hal yang harus diperhitungkan dengan menitikberatkan pada kelestarian sumber daya alam; 4) perlu diidentifikasi keberpihakan pada keanekaragaman jenis dan konservasi sumberdaya alam; 5) perencanaan merupakan proses dinamis yang terus berlanjut; 6) perbaikan dalam pengumpulan data perlu dilakukan untuk mengantisipasi ketidakpastian akibat informasi yang tidak lengkap; 7) dalam mengambil keputusan harus dilakukan secara terbuka dan adil; 8) hak-hak masyarakat setempat terhadap hutan sebisa mungkin tetap
40
dihormati; dan 9) fungsi dan tanggung jawab perencanaan mulai dari tingkat lokal hingga nasional harus jelas dan dilaksanakan.
Rencana pengelolaan merupakan bagian dari serangkaian proses penyusunan strategi pengelolaan wilayah pesisir yang dimulai dari perumusan visi, misi, tujuan dan sasaran, perencanaan zonasi, rencana pengelolaan dan terakhir rencana pelaksanaan atau rencana tindak. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir (Visi, Misi, Tujuan Dan Sasaran) 1. Rencana Zonasi (Alokasi Spasial Dan Pengendalian Pemanfaatan) Rencana Pengelolaan (Panduan Daerah Prioritas Dan Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove) Rencana Tindak (Pelaksanaan Kegiatan/ Program)
Gambar II.3. Tahapan dan Keterkaitan Proses Perencanaan (Sumber Djunedi, 1997 dalam Nugroho et. Al., 2001) Sebagai panduan dalam menetapkan tujuan dan agar strategi yang dipilih dapat membantu pencapaian tujuan maka dalam proses perencanaan salah satu prinsip yang harus diperhatikan adalah prinsip keberlanjutan. Menurut Suhendang (2005) prinsip keberlanjutan mengisyaratkan bahwa pengelolaan mangrove perlu dilakukan secara bijak sehingga potensi, fungsi dan manfaatnya dapat dirasakan tidak hanya oleh generasi sekarang tetapi juga generasi mendatang. Sedangkan menurut Dartoyo (2004) ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan berkelanjutan :
41
1. bahwa instrumen ekonomi lingkungan menjadi lebih menonjol dalam melakukan analisa suatu kegiatan pengelolaan; 2. issue lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan; 3. bahwa kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi sangat diperhatikan sebelum kegiatan pengelolaan ditentukan
Namun yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa prinsip berkelanjutan itu mengandung arti yang luas, tidak hanya aspek lingkungan atau ekologi yang ditekankan, suatu perencanaan kegiatan pengelolaan juga harus memenuhi beberapa aspek kelayakan lainnya seperti
kelayakan secara
teknis, menguntungkan secara ekonomi dan dapat diterima oleh masyarakat. Ini sejalan dengan pengertian pembangunan berkelanjutan oleh FAO (1988) (dalam Primavera, 1998) yang mengartikannya sebagai upaya pengelolaan dan konservasi sumber daya alam dan orientasi perubahan kelembagaan dan teknologi dengan cara tertentu yang dapat menjamin terpeliharanya kesinambungan pemenuhan kebutuhan manusia baik untuk generasi sekarang maupun akan datang.
Oleh karena itulah maka untuk mewujudkan suatu sistem pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan, maka kawasan hutan tersebut perlu dibagi untuk berbagai peruntukan seperti untuk wilayah:1) preservasi dan konservasi, yang bertujuan untuk melindungi daerah pantai dan menjamin kelangsungan keanekaragam hayati, penelitian dan ekowisata ; 2) produksi lestari dari kayu, ikan, nipa, udang, dan sebagainya; 3) konversi menjadi tambak budidaya dan daerah pertanian; serta 4) reforestasi (Bird dan Kunstadter , 1986 dalam Primavera, 1998). Seperti di Vietnam misalnya, pemerintah di sana telah menetapkan perencanaan zonasi pada daerah Delta Lower Mekong dengan membaginya menjadi 3 zona yaitu Full Protection Zone (FPZ) yang diperuntukkan bagi perlindungan wilayah pesisir, Buffer Zone untuk kegiatan ekonomi terkontrol yang luasnya meliputi 40% dari seluruh
42
wilayah, dan Economic Zone yaitu wilayah bebas bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi tanpa dibatasi oleh aturan-aturan konservasi hutan (Macintosh dan Aston, 2003).
Menurut Bengen (2002) pembagian zonasi seperti ini disebut dengan keharmonisan spasial yang merupakan salah satu syarat pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir di samping kapasitas asimilasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial itu sendiri menurutnya adalah pengalokasian suatu wilayah pembangunan yang tidak hanya untuk zona pemanfaatan tetapi juga untuk zona preservasi dan konservasi. Keberadaan kedua zona ini akan memberikan arti penting dalam memelihara proses penunjang kehidupan seperti siklus hidrologi dan unsur hara. Sedangkan kapasitas asimilasi berkaitan dengan daya dukung sumber daya alam terhadap kegiatan pemanfaatan yang dilakukan. Besarnya eksploitasi sebaiknya tidak melebihi kemampuan sumber daya alam atau lingkungan dalam mengasimilasi limbah yang dihasilkan. Karena jika tidak, maka lingkungan akan tercemar dan pengelolaan berkelanjutan tidak akan tercapai. Adapun pemanfaatan berkelanjutan mengarah pada penggunaan sumber daya alam secara bijaksana dan hati-hati, sehingga laju eksploitasi dapat sejalan dengan waktu yang diperlukan oleh sumber daya alam tersebut untuk pulih kembali atau berregenerasi
Berbagai bentuk pengelolaan secara berkelanjutan dapat diterapkan pada ekosistem
mangrove.
Misalnya
pengembangannya
menjadi
daerah
ekowisata seperti yang dilakukan di Cilacap (JawaTengah), Sukamandi dan Cikiong, (Jawa Barat) (Gunarto 2004). Atau dijadikan pusat penelitian dan pendidikan seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia di Matang Mangrove Forest Research Reserve Centre di Perak yang ternyata malah dapat memberikan keuntungan ekonomis yang lebih besar dibandingkan jika hutan mangrove tersebut ditebang (Pontianak post, 28 April 2006). Kedua
43
bentuk pengelolaan ini terutama dapat dikembangkan pada wilayah yang diperuntukkan untuk tujuan pelestarian.
Ekosistem mangrove juga dapat dikelola menjadi hutan rakyat. Pengelolaan ini berhubungan dengan kegiatan rehabilitasi hutan pada tanah milik masyarakat. Hasil utamanya adalah kayu bakar atau serpih-serpih kayu dengan siklus tebang 15 – 30 tahun tergantung tujuan penanaman (Onrizal, 2006).
Namun pengelolaan dengan hutan rakyat ini tidak langsung
berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat, karena untuk bisa ditebang pohon yang ditanam perlu dibiarkan tumbuh dahulu sampai jagka waktu tertentu. Kegiatan ini cocok untuk dilaksanakan pada areal reboisasi atau kawasan hutan yang rusak.
Salah satu bentuk pengelolaan yang memadukan nilai-nilai ekologi dan ekonomi adalah tambak tumpang sari/wanamina/silvofishery. Dikatakan tumpang sari karena selain terdapat wilayah hutan pada lokasi yang sama juga dilakukan kegiatan budidaya perikanan. Keunggulan dari bentuk pengelolaan ini adalah dapat diterapkan pada kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, pada daerah konservasi yang masih memungkinkan dilakukan kegiatan budidaya (daerah penyangga), serta pada area reforestasi. Model
pengelolaan
seperti
ini
dapat
berdampak
langsung
pada
perekonomian masyarakat karena hasil budidaya perikanannya dapat dikonsumsi atau dijual dalam jangka waktu yang tidak lama.
Pemilihan bentuk-bentuk pengelolaan tersebut akan sangat bergantung kondisi fisik kawasan serta kondisi sosial masyarakat setempat. Bentuk pengelolaan yang berakar pada nilai-nilai budaya setempat akan memberikan dampak yang lebih baik terhadap pengelolaan mangrove karena akan memacu peran aktif masyarakat.
44
II.4. Silvofishery Konversi kawasan mangrove menjadi areal tambak oleh masyarakat yang dapat mengancam kelestarian ekosistem mangrove harus diatasi dengan penerapan teknologi yang dapat memadukan nilai ekonomi dan ekologi. Salah satunya adalah silvofishery atau wanamina. Model ini adalah model pengelolaan mangrove berkelanjutan yang sebenarnya sudah lama dikenal oleh bangsa kita dengan sebutan tambak tumpang sari atau empang parit. Dikatakan empang parit karena bentuk asalnya adalah sebuah empang yang di tengahnya ditanami pohon dan di sekelilingnya dibuat parit untuk membudidayakan ikan atau jenis biota air lainnya (Bashari, 2001). Metode ini juga cukup dekat dengan nilai budaya masyarakat pesisir, karena tidak terlalu menyimpang dari mata pencaharian mereka yang umumnya adalah nelayan.
Silvofishery ini adalah suatu bentuk pengelolaan mangrove secara terpadu dan berkelanjutan. Terpadu karena melibatkan sedikitnya tiga sektor yaitu sektor perikanan, sektor kehutanan dan sektor perekonomian. Sedangkan berkelanjutan karena memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian di mana keberadaan ekosistem mangrove tetap dipertahankan di dalam lokasi tambak baik dengan cara tidak ditebang ataupun dengan ditanami kembali.
Pada dasarnya bentuk pengelolaan ini dapat diterapkan pada semua jenis hutan. Namun karena ekosistem mangrove memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan sektor perikanan, maka model ini sangat cocok dikembangkan di kawasan ekosistem mangrove.
Fitzgerald (1997) secara jelas
menyebutkan hal itu dengan mendefinisikan silvofishery sebagai suatu bentuk budidaya perairan (aquaculture) yang memadukan pemeliharaan pohon mangrove dengan budidaya perikanan air payau. Keunggulan sistem ini adalah selain mendapatkan produk perikanan dan melestarikan hutan mangrove, sistem ini banyak memanfaatkan kondisi alam dan mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia dan pestisida. Selain itu model ini juga
45
dapat dikembangkan dalam skala kecil baik oleh perorangan maupun keluarga (Quarto, www.earthisland.org).
Secara umum ada dua macam model utama silvofishery yaitu ekosistem mangrove berada di dalam tambak atau lazim disebut dengan empang parit dan ekosistem mangrove terpisah / berada di luar tambak atau disebut dengan empang inti atau kolam. Perbedaan kedua model ini terutama menyangkut produksi serasah dan banyaknya cahaya matahari yang masuk.
Empang parit
Empang inti
Keterangan: = Ekosistem mangrove = Kolam Gambar II.4. Model Umum Tambak Silvofishery
Pada
model
empang
parit
produksi serasah lebih banyak, sedangkan cahaya matahari yang masuk lebih sedikit. Model ini tidak
dapat
komoditas
diterapkan budidaya
pada yang
memerlukan sinar matahari lebih Gambar II.5. Tambak silvofishery Pola empang parit
banyak karena produksi yang
dihasilkan akan rendah. Sebaliknya untuk model empang inti atau dikenal pula dengan tambak bakau, produksi serasah yang dihasilkan lebih sedikit
46
dan sinar matahari yang masuk ke dalam kolam lebih banyak. Kelemahan model ini
adalah
adanya
kemungkinan
terjadinya pembukaan areal tambak yang lebih besar yang melebihi daya dukung hutan
mangrove yang ada, karena
kecenderungan petambak untuk terus melakukan pembukaan hutan menjadi
Gambar II.6. Tambak silvofishery Pola empang inti
areal tambak.
Dalam prakteknya model silvofishery berkembang sesuai dengan lokasi dan kebutuhan. Di Indonesia sendiri dikenal beberapa macam pola desain konstruksi tambak silvofishery, yaitu : pola tambak/empang parit, pola tambak parit yang disempurnakan, pola jalur, komplangan dan sistem tanggul (Quarto; Hikmawati, 2001; Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Barat, 2004).
Dalam pola tambak parit tradisional, areal tumbuh mangrove dan tempat pemeliharaan ikan berada dalam satu hamparan. Pengelolaan airnya diatur melalui satu buah pintu yang menghubungkan hamparan dengan saluran air. Pola tambak parit yang disempurnakan merupakan pengembangan dari pola tambak parit tradisional. Pada pola ini antara parit pemeliharaan ikan dan hamparan mangrove dibatasi oleh tanggul pemisah. Pengelolaan airnya diatur melalui tiga buah pintu, dua buah pintu berfungsi sebagai saluran masuk, dan satu pintu sebagai saluran keluar. Ke arah hamparan diberi saluran pasang surut bebas. Tambak model komplangan memisahkan secara tegas antara parit dengan hamparan hutan mangrove yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah. Sedangkan tambak model jalur merupakan modifikasi dari model empang parit yaitu dengan menambahkan saluran-saluran di bagian tengah sebagai empang. Desain yang terakhir
47
adalah sistem tanggul di mana hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul dengan tujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor.
Ukuran silvofishery bervariasi mulai dari satu hektar sampai ribuan hektar untuk setiap lokasinya. Produksi silvofishery sangat tergantung dari unsur hara alami yang terdapat di dalam rantai makanan pada ekosistem mangrove. Unsur hara tersebut berasal dari pepohonan, dalam hal ini daundaun yang gugur. Kerapatan pohon mangrove yang diperlukan mulai 0,17 sampai 2,5 pohon/m2. Kerapatan ini akan mempengaruhi produksi guguran daun, timbunan bahan organik serta jenis biota yang cocok dikembangkan. Untuk pembudidayaan udang dan kepiting misalnya diperlukan kerapatan yang tinggi karena mereka memerlukan mangrove untuk berlindung (Fitzgerald, 1997).
Menurut Hikmawati (2001) untuk mendapatkan hasil yang optimal, dalam penerapan silvofishery ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, tambak sebaiknya dibangun pada areal yang sudah diatur dalam tata ruang. Mengingat dalam pembuatan tambak ada kemungkinan dilakukan penebangan terhadap hutan mangrove, sebaiknya silvofishery tidak diterapkan pada lokasi yang diperuntukkan untuk tujuan preservasi. Model ini cocok diterapkan untuk kawasan budidaya dan kawasan konservasi yang berfungsi sebagai daerah penyangga.
Kedua, tambak silvofishery tidak boleh dibangun pada lokasi yang diperuntukkan sebagai sempadan pantai. Pemerintah telah menetapkan jalur hijau (green belt) adalah 130 kali rata-rata perbedaan antara pasang tertinggi dan terendah, sehingga kawasan yang tidak dialokasikan untuk kegiatan pertambakan adalah kawasan sempadan pantai dengan lebar 140 meter dari garis pantai ke arah daratan. Dalam pengembangan silvofishery ketentuan itu
harus
dipatuhi
untuk
menghindari
terjadinya
bencana
akibat
pengembangan tambak silvofishery.
48
Ketiga, perlu diperhatikan ratio antara mangrove dan luas tambak yang proporsional. Menurut Quarto, ratio antara luasnya hutan mangrove yang dipertahankan dengan luas kolam adalah 80 : 20. Jika ingin meningkatkan produksi maka ratio tersebut dapat diubah menjadi 60 : 40. Namun menurut Onrizal (2002) perbandingan seperti ini biasanya diterapkan pada kawasan hutan atau tanah milik yang masih utuh di mana aspek kelestarian lebih ditekankan dibandingkan produksi ikan atau udangnya. Sedangkan jika diterapkan pada kawasan yang sudah terbuka menurutnya ratio yang dapat digunakan adalah 30 : 70. Ratio seperti ini penekanannya adalah dari sisi produksi. Ini berarti bahwa untuk kawasan konservasi ratio antara mangrove yang dipertahankan dengan mangrove yang dikonversi menjadi kolam dapat ditoleransi hingga 60 : 40, sedangkan pada kawasan budidaya toleransi ratio bisa mencapai 30 : 70. Selain itu penentuan ratio ini juga sangat tergantung dari kondisi fisik lokasi, keadaan tutupan mangrove, serta jenis komoditas yang akan dikembangkan. Sehingga perbandingan ini dapat saja bereda antara lokasi yang satu dengan lainnya
Selain itu perlu diperhatikan juga perbandingan antara luas kawasan mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak silvofishery dan yang harus dipertahankan. Ini untuk melindungi fungsi mangrove sebagai penyedia jasa lingkungan, terutama sebagai biofilter. Air yang berada di dalam tambak dalam periode tertentu
harus diganti untuk memberikan
lingkungan yang baik bagi pertumbuhan jenis biota yang dibudidayakan. Air ini akan mengalir ke luar dan disaring / dinetralkan oleh ekosistem mangrove yang ada di luar kawasan.
Menurut Ahmad dan Mangampa (2000) (dalam Gunarto,2004) sebaiknya luas hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak tidak lebih dari 20% total luas hutan yang ada. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno et al (2005) di Pulau Muaraulu menunjukkan bahwa kebijakan silvofishery dapat mendukung pemanfaatan lahan secara lestari hanya jika
49
10% wilayah yang ada dipergunakan untuk tambak udang dan sisanya untuk vegetasi mangrove.
Ini berati bahwa sistem ini telah terbukti dapat
mewujudkan pengelolaan mangrove secara lestari dengan syarat bahwa perbandingan antara mangrove yang dikonversi dan dipertahankan disesuaikan dengan kondisi setiap daerah.
II.5. Metode ecological footprint Dalam model silvofishery, untuk menentukan ratio luasan mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak dan yang tetap dipertahankan, aspek yang perlu dikaji adalah daya dukung lingkungan dan sumber daya alam. Seperti diketahui bahwa konsep besaran daya dukung merupakan salah satu syarat dalam pembangunan berkelanjutan (Bengen, 2002). Analisa daya dukung ini akan memberikan informasi tentang potensi sumber daya alam dalam menyediakan produk yang dapat dieksploitasi dan menyerap, mengasimilasi, serta menetralkan segala bentuk buangan, polusi, dan limbah dari kegiatan yang dilakukan. Dengan demikian dapat diketahui tingkat eksploitasi dan pencemaran yang dimungkinkan yang tidak akan menyebabkan menurunnya kualitas ekosistem mangrove yang dikelola.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisa daya dukung sumber daya alam ini adalah metode ecological footprint. Prinsip metode ini sederhana, hanya membandingkan besarnya pemanfaatan dan jumlah polusi atau buangan yang
dihasilkan dengan sumber daya alam yang tersedia
untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan menetralkan segala buangan yang ditimbulkan. Secara rinci Rees (1996) menyebutkan bahwa ecological footprint adalah suatu metode yang menghitung luas areal ekosistem bioproduktif (darat dan laut) yang diperlukan untuk menghasilkan sumber daya yang dapat dimanfaatkan termasuk potensi mengasimilasi sampah atau limbah dibandingkan dengan besarnya kebutuhan ekosistem dalam standar hidup tertentu.
50
Chambers et al (2000) menambahkan bahwa dengan membandingkan nilai ecological footprint dengan ketersediaan area bioproduktif global akan didapatkan indikator kelestarian lingkungan yang kemudian dapat dimonitor sepanjang waktu untuk menentukan kecenderungannya. Jika lebih banyak luas areal ekosistem daerah laut dan darat bioproduktif yang diperlukan dibandingkan dengan yang tersedia maka kemungkinan besar laju konsumsi yang terjadi tidak akan berkelanjutan (www.steppingforward.or.uk).
Dalam perhitungan ecological footprint, kawasan ekosistem darat dan laut dikelompokkan menjadi empat tipe yaitu bioproduktif daratan ( dibagi lagi menjadi daerah pertanian, peternakan dan hutan), bioproduktif lautan, lahan untuk energi (daerah laut dan hutan yang diperlukan untuk menyerap emisi karbon), dan kawasan terbangun (seperti perumahan, jalan, dan sebagainya). Tipe yang kelima mengacu pada kawasan darat dan perairan yang diperuntukkan untuk melindungi keanekaragaman hayati (Barret et al, 2004).
Gambar II.7. Area Bioproduktif Sumber: Best food Forward dalam Barret et al 2004 FAO memperkirakan bahwa pada tahun 2003 (data terbaru yang diperoleh) terdapat 1,5 miliar ha lahan untuk pertanian, 3,5 miliar ha lahan untuk peternakan, 2,3 miliar ha lahan untuk perikanan dan 3,9 miliar ha lahan untuk wilayah hutan.
51
Namun setelah diterapkan dalam berbagai kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, ditemui kelemahan dalam metode ini. Salah satunya adalah kurang dapat menjelaskan tentang permasalahan lingkungan yang muncul pada kegiatan pengelolaan sumber daya alam di daerah laut dan pesisir (Wolowicz, 2005). Selain itu elemen jasa lingkungan yang dianalisa juga hanya terbatas pada kemampuan hutan menyerap emisi CO2, padahal jasa lingkungan yang disediakan oleh sumber daya alam tidak hanya itu. Sebagai contoh ekosistem mangrove, selain dapat menyerap emisi CO2 juga bisa menghasilkan air bersih, dan fungsi ini sangat penting bagi kelestarian usaha pertambakan.
Pengembangan dari metode ecological footprint yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah ecological fishprint atau dikenal juga dengan sebutan fishprinting. Ini adalah metode baru yang tetap mengakar pada ecological footprint tetapi khusus dipergunakan untuk menghitung ruang ekologi suatu akuakultur. Dalam fishprinting terdapat suatu metode yang disebut dengan spatial ecosystem fishprinting. Perhitungannya didasarkan pada area yang diperlukan untuk menyediakan atau menyerap berbagai sumber daya alam untuk mendukung makhluk hidup dalam suatu wilayah tertentu. Metode ini banyak
diterapkan pada jenis akuakultur
ekstensif dan semi intensif. Hanya saja sistem ini juga memiliki kelemahan terutama karena elemen analisanya hanya berkisar pada kebutuhan energi dari pakan dan lingkungan untuk menyerap buangan yang dihasilkan. Sedangkan input lain seperti penggunaan tenga kerja diabaikan.
Namun jika kita menginginkan analisa daya dukung ekosistem mangrove dalam pengembangan suatu akuakultur metode ini sangat cocok untuk diterapkan. Selain menganalisa produk dari hutan mangrove terutama yang berhubungan dengan kebutuhan serasah, metode ini juga menghitung berapa luas hutan yang diperlukan untuk menyerap emisi CO2 dan menyediakan air
52
bersih. Sehingga nantinya dapat diketahui batasan minimal hutan mangrove yang harus dipertahankan agar suatu kegiatan akuakultur dapat terus lestari.
Penelitian yang dilakukan oleh Larsson et al (1998) (dalam Wolowicz, 2005) terhadap tambak udang semi intensif di Colombia adalah salah satu contoh penelitian yang menerapkan metode ini. Hasil dari penelitian itu menunjukkan bahwa ruang ekologi yang diperlukan oleh tambak akuakultur adalah 35 – 190 kali luas kolam budidaya. Berdasarkan penelitian tersebut, ada enam area fishprinting yang dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan ini : 3 area yang berhubungan dengan kebutuhan akan hutan mangrove yaitu area mangrove untuk post larval nursery, mangrove detritus untuk menghasilkan makanan bagi udang (diasumsikan 30% dari kebutuhan makan udang), dan wilayah mangrove yang diperlukan untuk menyediakan air yang bersih bagi tambak udang; 1 area hutan secara umum yaitu area hutan untuk penyerapan CO2; dan 2 ekosistem pendukung selain hutan mangrove yaitu ekosistem pertanian untuk menghasilkan tanaman yang digunakan dalam pakan ikan/udang, wilayah laut untuk menghasilkan ikan/biota laut yang digunakan dalam pakan ikan/udang. Melihat analisanya lebih menekankan pada daya dukung hutan mangrove, maka dalam penelitian ini jenis metode ecological footprint inilah yang digunakan untuk menganalisa daya dukung sumber daya alam dalam kegiatan silvofishery di Desa Dabung Kecamatan Kubu Kalimantan Barat.
53