BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Perairan Kabupaten Raja Ampat Secara administratif, Kabupaten Raja Ampat terletak pada (BPS Raja Ampat 2011, dalam Agustina, 2012): Sebelah Utara
: Samudera Pasifik, berbatasan dengan negara Palau
Sebelah Timur
: Kabupaten Sorong, Provinsi Papua
Sebelah Selatan
: Laut Seram
Sebelah Barat
: Laut Seram dan wilayah perairan Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara
Kepulauan Raja Ampat terletak di bagian barat daya Samudera Pasifik, bagian timur Indonesia dan bagian barat dari Halmahera. Raja Ampat adalah bagian dari Bird’s Head Seascape dan berada di tengah-tengah kawasan Coral Triangle – kawasan yang kaya akan keanekaragaman biota laut dan terumbu karang – yang mencakup wilayah Indonesia, Timor Leste, Filipina, Malaysia Timur (Borneo), Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Coral Triangle ini sendiri adalah sebagai bagian dari usaha untuk menekan penurunan biodiversitas di kawasan-kawasan tersebut. Oleh karena itu Kepulauan Raja Ampat dianggap sebagai tempat yang cocok untuk konservasi laut. Biodiversitas Kabupaten Raja Ampat sudah dibuktikan oleh The Nature Conservancy dalam pengamatan udara mereka pada tahun 2006. Dalam data mereka, terlihat bahwa Raja Ampat adalah sebuah daerah penting bagi kumpulan beraneka ragam dari biota laut besar seperti paus/lumba-lumba yang menyebar di sekitar Pulau Waigeo Selatan, Pulau Kofiau dan pulau-pulau kecil di lepas pantai utara Misool. Juga, pari manta terlihat di beberapa lokasi tertentu seperti Ayau, Selat Dampier, dan Misool bagian selatan. Selain dua biota tersebut, terdapat juga dugong, penyu, hiu, juga gerombolan ikan umpan/tuna. Selain biodiversitas biota laut, Raja Ampat dan BHS juga memiliki biodiversitas habitat maupun ekosistem pesisir. Area pesisir dan pulau-pulau di BHS memiliki banyak macam tipe hutan – sagu, pohon palem, hutan mangrove, dll (Mangubhai et al., 2012). Raja Ampat
6
7
juga memiliki keanekaragaman terumbu karang yang paling tinggi, dengan 553 spesies (Veron et al., 2009 dalam Mangubhai et al., 2012). Berdasarkan informasi monitoring di Indonesia, ada 31 atau lebih jenis paus dan lumba-lumba di perairan Indonesia. Banyaknya keanekaragaman mamalia laut di perairan Indonesia ini berarti lebih dari sepertiga dari paus dan lumba-lumba yang berada di dunia dapat ditemukan di perairan Indonesia, baik itu yang tinggal menetap atau sekedar bermigrasi secara musiman (Kahn, 2007).
Gambar 1. Cetacea yang ditemukan di perairan Raja Ampat (mammals-of-papua.webs.com, 2013)
Bird Head Seascape (BHS) memiliki batimetri yang cukup kompleks dan kondisi oseanografi yang dinamis. Habitat cetacea di dalam kepulauan Raja Ampat dan BHS termasuk ekosistem pesisir yang beranekaragam seperti ekosistem terumbu karang, mangrove dan delta sungai utama (walaupun sampai sekarang belum ditemukannya spesies cetacea yang hidup di ekosistem tersebut hingga kini). Lingkungan laut terbuka yaitu termasuk pulau-pulau, seamounts, ngarai, deep-sea trenches, fronts, dan peristiwa upwelling. Perairan ini sangat dipengaruhi oleh equatorial counter currents, Indonesian throughflow (ITF), atau yang biasa disebut dengan ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) – pertukaran massa air antara Samudera Pasifik bagian barat dengan Samudera Hindia – dan juga dipengaruhi oleh perubahan cuaca muson (Kahn, 2007).
8
Gambar 2. Daerah cakupan Bird’s Head Seascape (reefresilience.org, 2009)
Hampir seluruh pulau di Raja Ampat memiliki paparan benua (continental shelf) yang sempit. Ini berarti cetacea dan habitat pelagis dan habitat laut dalam (>1000m) banyak yang terletak di dekat pantai. Gabungan dari keanekaragaman dan kedekatan habitat pesisir-laut lepas ini menghasilkan peluang untuk konservasi dan manajemen mamalia laut (Kahn, 2007). Kofiau dan Misool adalah salah dua dari enam Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Areas) di Raja Ampat, yang ditetapkan dalam surat keputusan Raja Ampat Nomor 27/2008, untuk mengelola kegiatan perikanan dan sumberdaya laut lainnya. Luas area DPL Kofiau adalah 170.000 ha, terletak di ujung bagian barat Papua dan terdiri dari 44 pulau kecil di dua pulau besar – Pulau Kofiau di sebelah timur dan Pulau Boo di sebelah barat, sedangkan luas DPL Misool adalah 366.000 ha, yang terletak pada bagian selatan dari Kabupaten Raja Ampat. Memiliki luasan terumbu karang sebesar 12.391 ha dan hutan mangrove seluas 5.238 ha di dalam DPL (Muhajir et al., 2012). 2.2 Cetacea 2.2.1 Morfologi Paus, lumba-lumba, dan porpoise bisa dikelompokkan kedalam sebuah ordo yaitu cetacea. Kata cetacea berasal dari bahasa latin yaitu ‘cetus’ yang berarti
9
hewan yang besar dan bahasa yunani yaitu ‘ketos’ berarti monster laut (Carwadine, 1995 dalam Setiawan, 2004). Ordo cetacea dikelompokkan menjadi tiga sub ordo, yaitu: archaeoceti, odonticeti, dan mysticeti. Tetapi Archaeoceti adalah hewan purba – yang diduga berasal dari hewan darat berkaki empat yang berevolusi (Carwadine, 1997). Mereka sudah punah, meninggalkan sub ordo odonticeti (bergigi) dan mysticeti (baleen) saja yang masih ada di bumi. Semua cetacea merupakan hewan yang hidup di air dan mempunyai karakteristik sebagai berikut: memiliki flippers (sirip anterior) berbentuk seperti dayung; tidak mempunyai jari atau cakar; tidak mempunyai sirip belakang; ekor lateral dan menghasilkan fluks horizontal pada ujungnya (Rice, 1967) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4. Menurut Carwadine et al. (1997), ciri-ciri umum yang terdapat pada cetacea yaitu mereka memiliki bentuk bagian tubuh yang berbeda dengan kebanyakan mamalia yang lain. Kebanyakan mamalia memiliki lubang hidung yang menghadap kedepan, sedangkan cetacea memiliki lubang hidung diatas kepala mereka. Lebih ke belakang, terdapat cekungan disamping kepala yang merupakan posisi dari kuping namun tidak terdapat daun telinga. Cetacea memiliki leher pendek yang tidak fleksibel dan pergerakan yang terbatas. Di belakang kepala terdapat lengan depan yang berbentuk seperti sirip tanpa jari dan lengan. Bentuk seperti ikan yang terdapat pada bagian tubuh cetacea adalah sirip dorsal dan sirip ekor (fluks). Sirip dorsal berguna untuk kestabilan dan pengaturan panas tubuh. Pada beberapa spesies, sirip dorsalnya kecil atau bahkan tidak dijumpai sama sekali. Tidak dapat dijelaskan apakah perbedaan ini berpengaruh terhadap kemampuan berenang mereka. Selain itu cetacea tidak memiliki sisik, melainkan lapisan lemak dibawah kulit mereka. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 4. Menurut Reseck (1998), satu perbedaan mendasar yang membedakan antara ikan dengan cetacea adalah dari bentuk tubuh yaitu pada ekor, dimana ekor mamalia laut adalah horizontal dan ketika berenang bergerak keatas dan kebawah dan dikombinasikan sedikit dengan gerakan memutar, sedangkan pada ikan ekor mereka berbentuk vertikal dan bergerak dari sisi ke sisi ketika berenang.
10
Gambar 3. Morfologi dan bagian-bagian tubuh cetacea sub ordo Mysticeti dan Odonticeti (Jefferson et al., 2003 dalam Setiawan, 2004)
2.2.2 Habitat Selain beruang kutub, sapi laut (manatee) Amazon, dan beberapa jenis paus baleen, semua mamalia laut memerlukan makan hampir sepanjang tahun; hingga distribusi mereka pun biasanya dipengaruhi oleh distribusi makanan mereka. Akan tetapi, setiap cetacea memiliki pemilihan habitat yang berbeda. Contohnya, lumba-lumba gigi kasar (Steno bredanensis). Mereka biasanya ditemukan di perairan tropis yang dalam dan hangat diseluruh dunia. Makanan mereka termasuk ikan (berbagai macam ukuran) dan cephalopoda (cumi-cumi dan gurita) (Reeves et al., 2002). Contoh lainnya adalah lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), salah satu jenis yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia. Ini dikarenakan mereka dapat ditemukan di lautan, serta perairan sekitarnya dan juga dapat ditemukan pada perairan tropis maupun perairan pada lintang yang tinggi. Mereka dapat menempati banyak habitat dan mungkin jenis cetacea yang paling dapat menyesuaikan diri (adaptasi). Beberapa populasi mereka yang ditemukan di pesisir sepanjang benua dan sekitar pulau dan atol. Mereka terkadang berpindah, atau tinggal di teluk, estuaria, dan muara sungai. Beberapa populasi ditemukan jauh ke lepas pantai. Di Amerika Utara, lumba-lumba hidung botol biasanya
11
ditemukan dimana suhu permukaan laut berkisar antara 10 – 32oC (Reeves et al., 2002).
Gambar 4. Wilayah sebaran lumba-lumba hidung botol (commons.wikimedia.org, 2007)
Paus sperma (Physeter macrocephalus) (Lampiran 1), mereka dapat ditemukan di kepadatan tertinggi dalam perairan ngarai yang dalam, di dekat ujung-ujung banks, dan sekitar continental slope. Walaupun mereka sering ditemukan di lepas pantai, tapi mereka juga dapat ditemukan di dekat pantai dimana sebuah pulau atau continental shelf sempit dan memiliki perairan yang dalam. Ada sedikit perbedaan dalam pola migrasi jantan dan betina dalam spesies ini. Jantan dewasa akan bermigrasi ke lintang yang lebih tinggi untuk mencari makan, sedangkan semua umur dan kedua jenis kelamin terdistribusi di perairan tropis maupun yang lebih dingin (Reeves et al., 2002). 2.2.3 Rantai Makanan Fitoplankton membentuk rantai makanan paling rendah di lautan dan hampir seluruh kehidupan di laut bergantung kepada mereka, baik itu langsung maupun tidak langsung (Yankee Fleet, 2013).
12
Gambar 5. Rantai makanan umum cetacea (yankeefleet.com, 2013)
Pada paragraf-paragraf sebelumnya sudah dijelaskan bahwa perairan Raja Ampat memiliki beberapa daerah upwelling. Upwelling ini dapat menyebabkan produktivitas primer yang tinggi yang menjadi dasar rantai makanan yang mampu mendukung ikan-ikan pelagis besar dan cetacea (Huffard, et al., 2010). Fenomena upwelling ini dapat berubah-ubah setiap musimnya dan tidak menentu, maka dari itu cetacea harus beradaptasi akan pola distribusi makanan mereka dan strategi migrasi untuk mendapatkan makanan tersebut (Berta & Sumich, 1999 dalam Walker, 2005). Distribusi paus pada musim panas bergantung kepada kepadatan makanan mereka – krill. Konsentrasi krill yang padat berada dimana arus yang kaya akan nutrien mengarah ke dekat pesisir, menghasilkan rantai makanan yang kaya akan plankton (Katona et al., 1993 dalam Walker, 2005). Krill termasuk kedalam makroplankton atau mikronekton yang berbentuk seperti udang. Selain cetacea, berbagai macam burung dan cumi-cumi juga memakan udang kecil ini (Perrin et al., 2008). 2.3 Sub Ordo Odonticeti Sub ordo ini merupakan jenis cetacea yang memiliki gigi, tidak seperti sub ordo mysticeti, yang giginya terbentuk dari bahan keratin dan dikenal dengan nama baleen, terdapat pada bagian tepi langit-langit mulut sebagai pengganti gigi (Ayers, 2001 dalam Subhan et al., 2010). Gigi ini berfungsi sebagai alat untuk memangsa makanan, baik itu merupakan ikan atau cumi-cumi (Carwadine, 1995
13
dalam Subhan et al., 2010). “Jumlah dan bentuk dari giginya bervariasi. Golongan paus bergigi memiliki susunan gigi yang berhubungan dengan kebiasaan makan. Paus pemakan cumi-cumi seperti paus sperma (Physeter macrocephalus) memiliki gigi berukuran kecil cenderung tidak tampak dan jumlahnya sedikit berkisar antara 20-25 gigi” (Evans, 1990 dalam Subhan et al., 2010). Mereka memiliki satu blowhole diatas kepala mereka, sedangkan paus baleen memiliki dua. Sebagai adaptasi terhadap kemampuan mereka berekolokasi, odonticeti memiliki kerangka tulang yang asimetris. Organ yang mengandung lemak yang biasa disebut melon dikepala mereka berguna seperti lensa untuk memfokuskan gelombang suara untuk ekolokasi. Mereka tidak mempunyai pita suara; suara ‘klik’ yang mereka hasilkan berasal dari sistem blowhole mereka (Hooker, 2009 dalam Perrin et al., 2008)
(a)
(b)
Gambar 6. (a) Gigi pada sub ordo mysticeti(camashilli.blogspot.com, 2010) (b) Gigi pada sub ordo odonticeti (schule-bw.de, 2009)
Klasifikasi cetacea sub ordo odonticeti menurut Jefferson et al. (1993) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata Kelas
: Mamalia Ordo
: Cetacea Sub Ordo
: Odonticeti
14
Famili
: Delphinidae
2.4 Faktor Oseanografi Yang Mempengaruhi Distribusi Cetacea 2.4.1 Batimetri Batimetri merupakan unsur serapan yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kedalaman laut. Dari Kamus Hidrografi yang dikeluarkan oleh Organisasi Hidrografi Internasional (International Hydrographic Organization, IHO) tahun 1994, istilah batimetri dalam bahasa aslinya adalah “bathymetry” memiliki makna determination of ocean depths. Batimetri adalah penentuan kedalaman laut dan hasil yang diperoleh dari analisis data kedalaman merupakan konfigurasi dasar laut (Atlas Nasional Indonesia). Perilaku mencari makan oleh lumba-lumba telah ditemukan lebih tinggi di area-area yang biasanya memang dilewati oleh para lumba-lumba. Dapat dilihat adanya hubungan yang jelas antara pencarian makan (feeding events) dengan karakteristik batimetri di perairan Moray Firth, Skotlandia. Beberapa perilaku makan terjadi di perairan yang dalam dan curam saat bulan Juni dan Juli. Hasil ini mendukung hipotesis yang mengatakan bahwa perbedaan distribusi yang ditunjukan oleh para lumba-lumba berhubungan dengan perilaku mencari atau kesempatan makan, dan bahwa karakteristik batimetri kemungkinan besar sebagai faktor dalam perilaku makan mereka (Hastie et al., 2004). 2.4.2 Suhu Permukaan Laut “Suhu di laut merupakan faktor yang penting bagi kehidupan organisme di lautan,
karena
suhu
dapat
mempengaruhi
metabolisme
maupun
perkembangbiakan dari organisme laut. Suhu permukaan laut sangat penting untuk diketahui karena sebaran suhu permukaan laut dapat memberikan informasi mengenai front, upwelling, arus, daerah tangkapan ikan, cuaca/iklim, pencemaran minyak, dan pencemaran panas” (Susilo, 2000). Menurut Tomascik (1997) dalam Satyawardhana (2006), suhu permukaan laut rata-rata di perairan Indonesia berkisar antara 28-31oC. Untuk kasus tertentu seperti adanya upwelling, nilai suhu permukaan laut dapat turun menjadi 25oC.
15
hal ini disebabkan oleh naiknya massa air yang berada di bawah (bersuhu rendah) ke permukaan laut. Pengaruh suhu permukaan laut terhadap distribusi cetacea sub ordo odonticeti telah dibuktikan oleh Benson et al. (2002). Mereka mengatakan bahwa perubahan drastis kondisi oseanografi yang diakibatkan oleh peristiwa El Nino di California bagian tengah membuat jumlah cetacean odonticeti bertambah. Penambahan ini dikarenakan banyaknya spesies air hangat yang masuk, terutama lumba-lumba common yang bisa mencapai 500-1000 dalam kelompok. Studi sebelumnya di sepanjang pesisir California menemukan bahwa odonticeti mengubah pola distribusi mereka sejalan dengan perubahan musim (Forney dan Barlow, 1998 dalam Benson et al., 2002). Suhu permukaan laut adalah prediksi yang sangat berpengaruh terhadap lumba-lumba common di California pada tahun 1996 hingga 1999 (Jefferson, 1991 dalam Benson et al., 2002). Lumba-lumba humpback biasanya ditemukan pada perairan yang bertemperatur diatas 15oC, sedangkan lumba-lumba hidung botol dapat ditemukan pada perairan bersuhu 10 hingga 32oC (Reeves et al., 2002). Pada penelitian Swartz et al. (2002), Stenella attenuata ditemukan pada suhu permukaan laut antara 25.5 – 26.8oC dan Stenella longirostris pada suhu 26.5 – 27.0oC. Berdasarkan studi ekologi Huffard et al. (2012), di beberapa tempat di perairan Raja Ampat seperti Selat Dampier, Selat Sagewin dan Misool bagian tenggara memiliki area upwelling, dan ini mengakibatkan suhunya dapat mencapai 19.3oC. Mereka juga mendapatkan bahwa perairan Bird’s Head Seascape (BHS) mengalami pendinginan suhu permukaan laut dari April hingga Agustus, dan puncaknya yaitu pada bulan Juli/Agustus. Suhu permukaan laut ratarata Raja Ampat adalah 29oC dengan rangenya adalah 19.3 hingga 36oC (Mangubhai et al., 2012). 2.4.3 Arus “Arus laut merupakan gerakan massa air laut dari suatu tempat ke tempat lain. Arus laut tercipta karena adanya tiupan angin yang bertiup melintasi permukaan laut. Arus laut pada hakikatnya timbul akibat pemanasan yang tidak
16
merata pada permukaan bumi. Pemanasan yang tidak merata ini menimbulkan perbedaan tekanan atmosfer yang mengakibatkan gerakan udara (angin) dari tekanan tinggi ke rendah. Angin yang bertiup diatas permukaan laut menimbulkan perbedaan arus dan gelombang laut. Pemanasan yang tidak merata ini juga menimbulkan perbedaan densitas air laut dalam arah horizontal yang pada gilirannya mengakibatkan terbentuknya arus laut” (Hadi, 2002 dalam Darma, 2012). Dalam berbagai cara makan cetacea yang diuraikan oleh Shane (1990), salah satunya adalah bahwa mereka (lumba-lumba) terkadang berada di permukaan air saat melawan arus pasang surut yang kuat dan tetap berada di satu tempat kecuali ketika sedang menangkap dan mengejar ikan. Tingkah laku makan ini disebut sebagai cara makan melawan arus (against current feeding). “Sesuai dengan letaknya, pola arus di perairan Raja Ampat dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Pasifik Barat (Western Pacific Ocean) yang bergerak dari arah timur menuju barat laut dan sejajar dengan daratan Papua bagian utara” (COREMAP II, 2007). “Didapatkan bahwa arus di perairan Raja Ampat didominasi oleh pengaruh angin, namun untuk wilayah teluk dan pulaupulau kecil yang berdekatan, pola arusnya lebih dipengaruhi oleh pasang surut” (Mambrisaw et al., 2006 dalam COREMAP II, 2007). Mereka pun mendapatkan pengukuran untuk kecepatan arus di perairan Raja Ampat yaitu sekitar 0.11 m/det. 2.4.4 Klorofil-a Klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik sehingga biasanya produktivitas primer dianggap padanan dari fotosintesis (Nybakken, 1982 dalam Haikal, 2012). Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasi pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrient
17
dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrient dari daratan secara langsung (Presetiahadi, 1994 dalam Rizal, 1996). Nilai rata-rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar 0,19 mg/ m3. Daerah-daerah dengan nilai klorofil tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air (upwelling) (Nontji, 2002 dalam Rizal, 1996). 2.5 Migrasi Cetacea Di Indonesia 2.5.1 Lumba-lumba Lumba-lumba maupun paus adalah mamalia yang hidupnya bermigrasi, baik itu dekat maupun jauh. Dalam penelitian Rudolph et al. (1997), dapat terlihat kemungkinan jalur migrasi yang digunakan oleh lumba-lumba dan paus. Pada bulan Januari, lumba-lumba banyak ditemukan di perairan Indonesia bagian timur, yaitu di Laut Banda, Laut Sawu, Laut Maluku dan sebagian juga ditemukan di perairan Pulau Halmahera bagian utara. Bulan Februari, lumba-lumba juga ditemukan di perairan Laut Seram dan Laut Banda. Bulan April lumba-lumba bergerak ke Indonesia bagian barat dimana mereka ditemukan di perairan sepanjang Laut Jawa dan Selat Malaka, dan beberapa juga ditemukan di perairan Selat Sunda. Lumba-lumba pada bulan Mei kembali lagi ke Indonesia bagian timur. Mereka ditemukan di Laut Sulawesi dan perairan sekitar Pulau Yamdena, bagian barat laut Laut Arafuru. Bulan Juni, lumba-lumba ditemukan tidak hanya di Indonesia bagian timur saja, tetapi beberapa juga ditemukan di Indonesia bagian barat, yaitu di Selat Sunda dan Laut Jawa. Pada Indonesia bagian timur mereka ditemukan di Laut Sawu, Pulau Lembata, Taman Nasional Komodo di Flores, Selat Wetar, bagian utara Irian Jaya, Laut Maluku dan juga perairan Teluk Weda (Rudolph et al., 1997). Bulan Juli lumba-lumba banyak ditemukan di perairan sekitar Lamalera, Laut Sawu dan Selat Ombai. Lumba-lumba masih berada di Indonesia bagian timur pada bulan Agustus dan September. Bulan Agustus mereka ditemukan di Taman Nasional Komodo, Laut Sawu, Raja Ampat dan juga Laut Banda, sedangkan pada bulan September mereka ditemukan di perairan Laut Sawu dan
18
Laut Seram. Bulan Oktober lumba-lumba ditemukan di Laut Flores dan Laut Arafuru, sedangkan pada bulan November mereka ditemukan di Laut Jawa dan utara Laut Banda (Rudolph et al., 1997). 2.5.2 Paus Bulan Januari paus ditemukan di Indonesia bagian timur yaitu di perairan Selat Wetar, Teluk Weda, dan bagian utara Pulau Morotai kecuali satu kelompok paus yang ditemukan di perairan Singapura. Pada bulan Maret paus bergerak kearah barat, dimana mereka ditemukan di bagian timur laut Bali yang juga masuk ke dalam perairan Selat Ampana. Bulan Mei mereka tetap bergerak kearah barat. Mereka ditemukan di sebelah tenggara Kepulauan Riau (Rudolph et al., 1997). Hampir seluruh kelompok paus pada bulan Juni ditemukan kembali lagi ke perairan Indonesia bagian timur dimana mereka ditemukan di Laut Maluku, perairan Balikpapan, Laut Sawu, Laut Banda, dan juga sebelah timur Pulau Alor. Pada bulan Juli mereka hanya ditemukan di perairan sekitar Laut Sawu dan Selat Ombai, sedangkan pada bulan Agustus paus bergerak lagi ke perairan Indonesia bagian barat yaitu di perairan Selat Sunda. Bulan September dan Oktober paus ditemukan di sekitar perairan Laut Flores, bagian utara Laut Sawu dan bagian timur Pulau Alor (Rudolph et al., 1997).