BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori
2.1.1 Pembelajaran IPA Sekolah Dasar Pembelajaran IPA SD merupakan interaksi antara siswa dengan lingkungan sekitarnya. Pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Hal ini mengakibatkan pembelajaran IPA perlu mengutamakan peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran tersebut. Dalam pembelajaran IPA siswa diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat”, sehingga bisa membantu siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Guru berkewajiban untuk meningkatkan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran IPA. Tujuan ini tidak terlepas dari hakikat IPA sebagai produk, proses dan sikap ilmiah. Oleh sebab itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran yang tepat. Beberapa prinsip pembelajaran IPA di SD sebagai berikut: 1. Empat Pilar Pendidikan Global, yang meliputi learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together. Learning to know, artinya dengan meningkatkan interaksi siswa dengan lingkungan fisik dan sosialnya diharapkan siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuan tentang alam sekitarnya. Learning to do, artinya pembelajaran IPA tidak hanya menjadikan siswa sebagai pendengar melainkan siswa diberdayakan agar mau dan mampu untuk memperkaya pengalaman belajarnya. Learning to be, artinya dari hasil interaksi dengan lingkungan siswa diharapkan dapat membangun rasa percaya diri yang pada akhirnya membentuk jati dirinya. Learning to live together, artinya dengan adanya kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu akan membangun 5
pemahaman sikap positif dan toleransi terhadap kemajemukan dalam kehidupan bersama. 2. Prinsip Inkuiri, prinsip ini perlu diterapkan dalam pembelajaran IPA karena pada dasarnya anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, sedang alam sekitar penuh dengan fakta atau fenomena yang dapat merangsang siswa ingin tahu lebih banyak. 3. Prinsip Konstruktivisme. Dalam pembelajaran IPA sebaiknya guru dalam mengajar tidak memindahkan pengetahuan kepada siswa. Melainkan perlu dibangun oleh siswa dengan cara mengkaitkan pengetahuan awal yang mereka miliki dengan struktur kognitifnya. 4. Prinsip Salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana. 5. Prinsip pemecahan masalah. Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhadapan dengan berbagai macam masalah. Disisi lain, salah satu alat ukur kecerdasan siswa banyak ditentukan oleh kemampuannya memecahkan masalah. Oleh karena itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip ini agar siswa terlatih untuk menyelesaikan suatu masalah. 6. Prinsip pembelajaran bermuatan nilai. Masyarakat dan lingkungan sekitar memiliki nilai-nilai yang terpelihara dan perlu dihargai. Oleh karena itu, pembelajaran IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan atau kontradiksi dengan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat sekitar. 7. Prinsip Pakem (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif untuk melakukan kegiatan baik aktif berfikir maupun kegiatan yang bersifat motorik.
6
Ketujuh prinsip itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA yang kontekstual di SD. Hal ini bertujuan agar pembelajaran IPA lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa maksimal. IPA bermula timbul dari rasa tahu manusia, dari rasa keingintahuan tersebut membuat manusia selalu mengamati terhadap gejala-gejala alam yang ada dan mencoba memahaminya. Menurut H.W Fowler (dalam Trianto, 2013 : 136) IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan deduksi. Menurut Jujun Suriasumatri (dalam Trianto, 2013 : 136) IPA merupakan bagian dari ilmu pengetahuan atau sains yang berasal dari terjemahan kata-kata dalam bahasa inggris yaitu natural science. Natural yang dimaksudkan berhubungan dengan alam atau bersangkutan dengan alam, sedangkan science artinya ilmu pengetahuan. Jadi IPA dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang alam. Ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini. Sedangkan menurut Kardi dan Nur dalam (dalam Trianto, 2013 : 136) IPA mempelajari tentang alam semesta, benda-benda yang ada dipermukaan bumi, di dalam perut bumi dan di luar angkasa, baik yang dapat diamati oleh indera maupun yang tidak dapat diamati oleh indera. Oleh karena itu IPA adalah ilmu tentang dunia zat, baik mahkluk hidup maupun benda mati yang diamati. Menurut Wahyana (dalam Trianto, 2013 : 136) mengatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Menurut Sumanto dkk (dalam Putra, 2013 : 40) IPA merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan faktafakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah, Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan, bahwa IPA merupakan suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum berhubungan dengan gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan 7
eksperimen dari pengalaman belajar secara langsung serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka dan jujur. Menurut pendapat Marsetio Sonosepoertro (dalam Trianto, 2013 : 137) Pada hakikatnya IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu, IPA dipandang pula sebagai proses, sebagai produk, dan sebagai prosedur. Sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru. Sebagai produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di luar sekolah ataupun bahan bacaan untuk penyebaran pengetahuan. Sebagai prosedur dimaksudkan adalah metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu yang lazim. Menurut Laksmi Prihantoro dkk (dalam Trianto, 2013 : 137) berpendapat bahwa IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. Sebagai produk, IPA merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep dan bagan konsep. Sebagai suatu proses, IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk mempelajari objek studi, menemukan dan mengembangkan produk-produk sains, dan sebagai aplikasi, teori-teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat memberi kemudahan bagi kehidupan. Secara umum IPA merupakan ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkahlangkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesi melalui eksperimen, penarikan kesimpulan serta penemuan teori dan konsep. IPA mempelajari gejala-gejala melalui serangkain proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip dan teori yang berlaku secara universal. Pembelajaran IPA dapat diartikan sebagai segala aktivitas yang dilakukan guru untuk memotivasi siswa mau melakukan proses belajar tentang prinsip-prinsip dan proses yang dapat menumbuhkan sikap ilmiah. Prihanto Laksmi (Trianto, 2013: 142) menyebutkan ada beberapa nilai-nilai yang ditanamkan dalam pembelajaran IPA adalah sebagai berikut: 8
1. Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis menurut langkahlangkah metode ilmiah. 2. Ketrampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, mempergunakan alat-alat eksperimen dalam memecahkan masalah. 3. Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam pemecahan masalah. Pembelajaran IPA SD memuat konsep-konsep yang masih terpadu, karena belum dipisahkan secara sendiri-sendiri, seperti misalnya kimia, biologi dan fisika. Tujuan pembelajaran IPA SD menurut BNSP (Susanto, 2013:171), dimaksudkan untuk : 1. Memperoleh keyakinan tehadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keteraturan alam. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman IPA untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang hubungan yang saling mempengaruhi IPA. 4. Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat kesimpulan. 5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam menjaga lingkungan alam. 6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya. 7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan ketrampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan ke jenjang SMP. Dalam standar isi terdiri dari standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD), yang secara rinci disajikan melalui tabel di bawah ini.
9
Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas V Semester II Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 5.1 Mendeskripsikan hubungan antara gaya, Energi dan Perubahannya 5. Memahami hubungan antara gaya, gerak dan energi melalui percobaan (gaya gerak, dan energi, serta fungsinya gravitasi, gaya gesek, gaya magnet) 5.2 Menjelaskan pesawat sederhana yang dapat membuat pekerjaan lebih mudah dan lebih cepat 6. Menerapkan sifat-sifat cahaya melalui 6.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya kegiatan membuat suatu karya/model 6.2 Membuat suatu karya/model, misalnya periskop atau lensa dari bahan sederhana dengan menerapkan sifat-sifat cahaya 7.1 Mendeskripsikan proses pembentukan Bumi dan Alam Semesta 7. Memahami perubahan yang terjadi di tanah karena pelapukan alam dan hubungannya dengan 7.2 Mengidentifikasi jenis-jenis tanah penggunaan sumber daya alam 7.3 Mendeskripsikan struktur bumi 7.4 Mendeskripsikan proses daur air dan kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya 7.5 Mendeskripsikan perlunya penghematan air 7.6 Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan dampaknya bagi makhluk hidup dan lingkungan 7.7 Mengidentifikasi beberapa kegiatan manusia yang dapat mengubah permukaan bumi (pertanian, perkotaan, dsb) Sumber : Permendikbud RI No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi
2.1.2 Model Masyarakat Belajar dalam Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Kesuma (2010 : 5) CTL adalah mengajar dan belajar yang menghubungkan isi pelajaran dengan lingkungan. Selanjutnya Johnson (2011 : 14) CTL adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah, jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. Kemudian, menurut Putra (2013 : 241) CTL adalah suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk 10
memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya, dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan sehari-hari (konteks pribadi sosial, dan cultural). Jadi pengertian CTL adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mendorong guru menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Dan juga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar. Karakteristik CTL, Hanafiah (2012:69) ada 10 karakteristik dalam CTL yaitu : 1.
Kerja sama antarpeserta didik dan guru
2.
Saling membantu antarpeserta didik dan guru
3.
Belajar dengan bergairah
4.
Pembelajaran terintergrasi secara konstektual
5.
Menggunakan multi media dan sumber belajar
6.
Cara belajar siswa aktif
7.
Sharing dengan teman
8.
Siswa kritis dan guru kreatif
9.
Dinding kelas dan lorong kelas penuh dengan karya siswa
10. Laporan siswa bukan hanya buku rapor, tetapi juga hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan sebagainya Prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran CTL, menurut Hanafiah dan Suhana (2012 : 69) dalam bukunya dijelaskan ada tiga prinsip yaitu : 1. Kesaling-bergantungan (Intedependensi) Prinsip ini membuat hubungan yang bermakna (making meaningfull connection) antara proses pembelajaran dan konteks kehidupan nyata sehingga peserta didik berkeyakinan bahwa belajar merupakan aspek yang esensial bagi kehidupan di masa datang. Bekerjasama (collaborating) untuk membantu peserta didik belajar secara selektif dalam kelompok, membantu peserta didik belajar secara efektif dalam 11
kelompok, membantu peserta didik untuk berinteraksi dengan orang lain, saling mengemukakan gagasan, saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, mengumpulkan data, mengolah data, dan menemukan alternatif pemecahan masalah. 2. Perbedaan (Diferensiasi) Prinsip diferensiasi adalah mendorong peserta didik menghasilkan keberagaman, perbedaan, dan keunikan. Adanya kemandirian siswa untuk belajar yang dapat mengkonstruksi minat peserta didik dalam belajar mengkorelasikan bahan ajar dengan kehidupan nyata untuk mencapai tujuan secara penuh makna. Terciptanya berpikir kritis dan kreatif di kalangan peserta didik dalam rangka pengumpulan, analisis, dan sintesa data guna pemecahan masalah. Terciptanya kemampuan peserta didik untuk mengidentifikasi potensi pribadi untuk mengembangkan gaya belajar yang paling sesuai sehingga dapat mengembangkan potensinya. 3. Pengaturan Diri Prinsip ini menyatakan bahwa proses pembelajaran diatur, dipertahankan, dan disadari oleh peserta didik sendiri, dalam rangka merealisasikan seluruh potensinya. Melalui interaksi antarsiswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus menemukan minat pribadi serta keterbatasan diri. 4. Penilaian Autentik (Authentic Assessment) Penggunaan penilaian autentik, yaitu menantang peserta didik agar dapat mengaplikasikan berbagai informasi akademis baru dan ketrampilannya ke dalam situasi kontekstual secara signifikan. Penerapan pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen utama yaitu : kontruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat
belajar
(learning
community),
pemodelan
(modeling),
refleksi
(reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Dalam penelitian ini lebih menekankan pada komponen masyarakat belajar, berikut uraian penjelasannya. Pembelajaran kontekstual menekankan arti penting pembelajaran sebagai proses sosial. Melalui interaksi dalam komunitas belajar, proses,dan hasil 12
belajar menjadi lebih bermakna. Hasil belajar diperoleh dari dari sharing antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Praktiknya diwujudkan dalam kelompok kecil, pembentukan kelompok besar, sharing antar teman, antar kelompok dan antar yang tahu ke yang tidak tahu. Masyarakat belajar terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar (Suprijono, 2012:85-88; Trianto, 2007:103-115). Masyarakat belajar merupakan proses pembelajaran yang menekankan pada proses kerja sama antara peserta didik dengan peserta didik, antara peserta didik dengan gurunya, dan antara peserta didik dengan lingkungannya. Pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok belajar baik secara homogen maupun heterogen, sehingga di dalamnya akan terjadi saling berbagi masalah, informasi, pengalaman, dan pemecahan masalah yang memungkinkan semakin banyaknya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh (Hanafiah dan Suhana, 2012:74). Anggota
masyarakat belajar yaitu orang-orang yang saling
sharing atau berbagi di lingkungan ruang kelas, antar kelas atau sekolah, keluarga, dan masyarakat atau dimanapun orang itu berada. Seorang guru yang mengajari siswanya bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru dari arah siswa. Seseorang yang terlibat dalam masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Dalam pelaksanaan kegiatan masyarakat belajar siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang heterogen, yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu mengajari yang tidak tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke kelas. Kegiatan ini bisa terjadi apabila tidak 13
ada pihak yang dominan dalam komunikasi, merasa segan untuk bertanya, menganggap paling tahu, dan semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang bisa menjadi sumber belajar, dan kaya dengan pengetahuan atau pengalaman (Trianto, 2007:111-112). Berdasarkan definisi dari model masyarakat belajar dalam CTL di atas, penggunaan masyarakat belajar dalam CTL dalam pembelajaran dirasa penting karena memungkinkan proses yang berlangsung menyenangkan berlangsung secara alami serta adanya keterkaitan materi dengan dunia nyata
juga menciptakan
kerjasama antar siswa. Sedangkan pembelajaran IPA di SD merupakan interaksi antara siswa dengan lingkungan sekitarnya. Jadi ada keterkaitan yang saling melengkapi antara masyarakat belajar dalam CTL dengan IPA bila ditinjau dari uraiannya. Serta adanya kesesuaian dengan masalah yang diangkat dalam penelitian dan latar belakang permasalahannya, yaitu meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA. Kelebihan dan kelemahan masyarakat belajar dalam CTL. Menurut Putra (2013:259) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, karena dengan mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa, karena model masyarakat belajar dalam CTL menganut aliran konstruktivisme, yakni seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme, siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”. Pembelajaran kontekstual adalah model pembelajaran yang menekankan pada 14
aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental. Penerapan pembelajaran konstektual bisa menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna. Kelemahan masyarakat belajar dalam CTL menurut Putra (2013 : 259) antara lain; guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam model masyarakat belajar dalam CTL, guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai indvidu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran masyarakat belajar dalam CTL berdasarkan pengertian masyarakat belajar yang diungkap oleh Trianto, Suprijono, serta Hanafiah dan Suhana. Secara garis besar, langkah-langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut : 1. Siswa menyimak tujuan pembelajaran 2. Siswa membentuk kelompok 3. Siswa mengerjakan tugas dalam kelompok 4. Siswa berbagi pengalamannya kepada teman 5. Siswa menyampaikan pendapat terhadap cerita teman 6. Sharing hasil pekerjaan dengan kelompok lain 7. Siswa membuat kesimpulan bersama 8. Siswa melakukan evaluasi
2.1.3 Hasil Belajar Menurut Darmansyah (2006: 13) menyatakan bahwa hasil belajar adalah hasil penelitian terhadap kemampuan siswa yang ditentukan dalam bentuk angka. 15
Selanjutnya Abdurrahman dalam Jihad dan Haris (2013 : 14) hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Menurut Sudjana (2010 : 22) mengatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Selanjutnya Nawawi (Susanto, 2013: 5) hasil belajar diartikan sebagai keberhasilan siswa dalam memahami pembelajaran di sekolah yang ditunjukkan dengan skor sesuai dengan hasil tes pada mata pelajaran tertentu. Beberapa ahli lain yaitu Krathwohl, Bloom dan Masia (Suprihatiningrum, 2013: 38) membedakan hasil belajar menjadi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Pertama, aspek kogitif ini berhubungan dengan kemampuan berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah. Kedua, aspek afektif berkaitan dengan kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai, minat dan apresiasi. Ketiga, aspek psikomotorik mencakup tujuan yang berkaitan dengan ketrampilan yang bersifat manual dan motorik. Berdasarkan uraian di atas tentang hasil belajar maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah pemberian skor terhadap kemampuan siswa yang diperoleh dari pengukuran baik tes maupun non tes yang dijadikan acuan untuk mengetahui kuantitas sesuatu apakah siswa sudah mencapai tingkat kelulusan yang ditentukan. Permendikbud No.66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan dinyatakan bahwa penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah. Masing-masing penilaian yang dimungkinkan digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut. 1. Penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses,dan keluaran (output) pembelajaran.
16
2. Penilaian diri merupakan penilaian yang dilakukan sendiri oleh siswa secara reflektif untuk membandingkan posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan. 3. Penilaian berbasis portofolio merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai
keseluruhan
entitas
proses
belajar
siswa
termasuk
penugasan
perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau di luar kelas khususnya pada sikap/perilaku dan keterampilan. 4. Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar siswa. 5. Ulangan harian merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi siswa setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih. 6. Ulangan tengah semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan tengah semester meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut. 7. Ulangan akhir semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut. 8. Ujian Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut. 9. Ujian Mutu Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UMTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UMTK meliputi sejumlah Kompetensi
17
Dasar
yang
merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi
tersebut. 10.
Ujian Nasional yang
selanjutnya
disebut
UN
merupakan
kegiatan
pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai siswa dalam rangkamenilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan, yang dilaksanakan secara nasional. 11.
Ujian Sekolah/Madrasah merupakan kegiatan pengukuran pencapaian
kompetensi di luar kompetensi yang diujikan pada UN, dilakukan oleh satuan pendidikan. (Permendikbud No.66 Tahun 2013) Menurut Permendikbud No.66 Tahun 2013 penilaian hasil belajar siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut. 1. Objektif, berarti penilaian berbasis pada standardan tidak dipengaruhi faktor subjektivitas penilai. 2. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan berkesinambungan. 3. Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya. 4. Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak. 5. Akuntabel, berarti penilaian dapat
dipertanggungjawabkan
kepada pihak
internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya. 6. Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi siswa dan guru. Pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan kriteria (PAK). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang didasarkan pada kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik siswa. (Permendikbud No.66 Tahun 2013) 18
Ruang Lingkup Penilaian hasil belajar siswa mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap yang
standar
telah ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi,
kompetensi mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan proses. Hasil belajar dapat diketahui apabila ada pengukuran, pengukuran menurut Arifin Zainal (2012 : 4) Pengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu. Kata “sesuatu” bisa berarti peserta didik, guru, gedung sekolah, meja belajar, white board, dan sebagainya. Dalam proses pengukuran, tentu guru harus menggunakan alat ukur (tes dan non tes). Pengukuran menurut Wardani Naniek Sulistya, dkk (2012: 47) adalah kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa. Pengukuran juga dapat diartikan penetapan angka dengan cara yang sistematik untuk menyatakan keadaan individu. Alen dan Yen dalam Wardani Naniek Sulistya, dkk (2012:48) Menurut Mardapi Djoemari (2008 : 2) Pengukuran pada dasarnya merupakan kegiatan penentuan angka bagi suatu objek secara sistematik. Penentuan angka ini merupakan usaha untuk menggambarkan karakteristik suatu objek. Kemampuan seseorang dalam bidang tertentu dinyatakan dengan angka. Penilaian hasil belajar dapat menggunakan teknik tes dan non tes. Teknik tes sendiri menurut (Arifin Zainal 2012 : 118) tes merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan dalam rangka melaksanakan kegiatan pengukuran, yang di dalamnya terdapat berbagai pertanyaan, pernyataan, atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta didik untuk mengukur aspek perilaku peserta didik. Menurut Mardapi Djoemari (2012 : 67) Tes merupakan salah satu bentuk instrument yang digunakan untuk melakukan pengukuran. Tes terdiri atas sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban benar atau salah, atau semua benar atau sebagian 19
benar. Tujuan melakukan tes untuk mengetahui pencapaian belajar atau kompetensi yang telah dicapai peserta didik untuk bidang tertentu. Hasil tes merupakan informasi tentang karakteristik seseorang berupa kemampuan kognitif atau keterampilan seseorang. Menurut Suharsimi, Arikunto (2008:139) menegaskan bahwa teknik tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok Dari uraian di atas tes merupakan suatu teknik atau cara dalam rangka melaksanakan pengukuran yang berupa pertanyaan, untuk mengetahui pencapaian belajar atau kompetensi yang telah dicapai peserta didik untuk bidang tertentu. Berikut jenis-jenis tes dalam Sudijono, Anas (2008 : 67), tes dapat dibedakan beberapa jenis atau golongan : (1) berdasarkan fungsinya sebagai alat pengukur perkembangan / kemajuan belajar peserta didik (2) berdasarkan aspek psikis yang ingin diungkap (3) penggolongan lain-lain. 1. Ditinjau dari segi fungsi yang dimiliki oleh tes sebagai alat pengukur perkembangan belajar peserta didik, tes dapat dibedakan menjadi enam golongan, yaitu : a. Tes Seleksi Tes ini dilaksanakan dalam rangka penerimana, contoh calon siswa baru. Sifatnya yaitu menyeleksi atau melakukan penyaringan, materi tes terdiri atas butir-butir soal yang cukup sulit. Tes seleksi dapat dilaksanakan secara lisan, secara tertulis, dengan tes perbuatan dan dapat pula mengkombinasikan ketiga kenis tes tersebut secara serempak. b. Tes Awal Tes awal dikenal dengan istilah pre-test. Tes jenis ini dilaksanakan dengan tujaun mengetahui sejauh manakah materi atau bahan pelajaran yang akan diajarkan telah dapat dikuasai oleh para peserta didik. 20
c. Tes Akhir Tes akhir dikenal dengan istilah post-test. Tes akhir dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah semua materi pelajaran yang tergolong penting sudah dapat dikuasai dengan sebaik-baiknya oleh para peserta didik. d. Tes Diagnostik Tes diagnostic adalah tes yang dilaksanakan untuk menentukan secara tepat, jenis kesukaran yang dihadapi oleh para peserta didik dalam suatu mata pelajaran tertentu. e. Tes Formatif Tes formatif adalah tes hasil belajar yang bertujuan untuk mengetahui, sudah sejauh manakah peserta didik „telah terbentuk” sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah ditentukan) setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Tes formatif dilaksanakan di tengah-tengah perjalanan program pengajaran, yaitu dilaksanakan pada setiap kali satuan pelajaran atau subpokok bahasan berakhir atau dapat diselesaikan. f. Tes Sumatif Tes sumatif adalah tes hasil belajar yang dilaksanakan setelah sekumpulan satuan program pengajaran selesai diberikan. Tes sumatif disusun atas dasar materi pelajaran yang telah diberikan selama satu catur wulan atau satu semester. Materi tes sumatif jauh lebih banyak dari materi tes formatif. Tes sumatif dilaksanakan secara tertulis, agar semua siswa memperoleh soal yang sama. Butir-butir soal yang dikemukakan dalam tes sumatif ini jauh lebih sulit atau lebih berat daripada butir-butir soal tes formatif. Tujuan utama tes sumatif adalah untuk menentukan nilai yang melambangkan keberhasilan peserta didik setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
21
2. Penggolongan tes berdasarkan aspek psikis yang ingin diungkap. Dilihat dari segi aspek kejiwaan ada beberapa lima golongan : a. Tes intelegensi (intellegency test), yakni tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap atau mengetahui tingkat kecerdasan seseorang. b. Tes kemampuan (aptitude test), yakni tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap kemampuan dasar atau bakat khusus yang dimiliki oleh testee. c. Tes sikap (attitude test), yakni salah satu jenis tes yang dipergunakan untuk mengungkap kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu respon tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa individu-individu maupun obyek-obyek tertentu. d. Tes kepribadian (personality test), yakni tes yang dilaksanakan dengan tujuan mengungkap ciri-ciri khas dari seseorang yang banyak sedikitnya bersifat lahiriah, seperti gaya bicara, cara berpakaian, nada suara, hobi atau kesenangan dan lain-lain. e. Tes hasil belajar (tes pencapaian / achievement tes), yakni tes yang biasa digunakan untuk mengungkap tingkat pencapaian atau prestasi belajar. 3. Ditinjau dari penggolongan lain-lain Dilihat dari segi banyaknya orang yang mengikuti tes, tes dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : a. Tes individual (individual test), yakni tes di mana tester hanya berhadapan dengan satu orang testee saja, dan b. Tes kelompok (group tes), yakni tes di amana tester berhadapan dengan lebih dari satu orang testee. Dilihat dari segi waktu yang disediakan bagi testee untuk menyelesaikan tes, tes dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : a. Power test, yakni tes di mana waktu yang disediakan buat testee untuk menyelesaikan tes tersebut tidak dibatasi, dan 22
b. Speed test, yakni tes di mana waktu yang disediakan buat testee untuk menyelesaikan tes tersbeut dibatasi. Dilihat dari segi bentuk responnya, tes dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : a. Verbal test, yakni suatu tes yang menghendaki respon (jawaban) yang tertuang dalam bentuk ungkapan kata-kata atau kalimat, baik secara lisan maupun secara tertulis, dan b. Nonverbal test, yakni tes yang menghendaki respon (jawaban) dari testee buka berupa ungkapan kata-kata atau kalimat, melainkan berupa tindakan atau tingkah laku, jadi respon yang dikehendaki muncul dari testee adalah berupa perbuatan atau gerakan-gerakan tertentu. Dilihat dari segi cara mengajukan pertanyaan dan cara memberikan jawabannya, tes dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : a. Tes tertulis (pencil and paper test), yakni tes di mana tester dalam mengajukan butir-butir pertanyaan atau soalnya dilakukan secara tertulis dan testee memberikan jawabannya juga secara tertulis. b. Tes lisan (nonpencil and paper tes), yakni tes di mana tester di dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau soalnya dilakukan secara lisan, dan testee memberikan jawabannya secara lisan pula. Selain menggunakan teknik tes hasil belajar juga dapat di ukur melalui teknik non tes. Teknik non tes berisi tentang pertanyaan atau pernyataan yang tidak memiliki jawaban benar atau salah. Instrumen non tes dapat berbentuk kuesioner atau inventori. Kuesioner berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan, siswa diminta menjawab atau memberikan pendapat terhadap pernyataan. Inventori merupakan instrumen yang berisi tentang laporan diri yaitu keadaan siswa, misalnya potensi siswa. Hasil pengukuran melalui instrumen non tes berupa angka disebut kuantitatif dan bukan angka di sebut (Wardani Naniek Sulistya, dkk 2012:73)
23
Teknik non tes digunakan untuk menilai ranah afektif dan psikomotorik. Macam-macam teknik non tes adalah sebagai berikut: 1. Unjuk kerja adalah suatu penilaian atau pengukuran yang dilakukan melalui pengamatan aktivitas siswa dalam melakukan sesuatu yang berupa tingkah laku atau interaksinya seperti berbicara, berpidato, membaca puisi dan berdiskusi; kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dalam kelompok; partisipasi siswa dalam diskusi; ketrampilan menari; ketrampilan memainkan alat musik; kemampuan berolahraga; ketrampilan menggunakan peralatan laboratorium; praktek sholat; bermain peran; bernyanyi dan ketrampilan mengoperasikan suatu alat. 2. Penugasan adalah penilaian yang berbentuk pemberian tugas yang mengandung penyelidikan (investigasi) yang harus selesai dalam waktu tertentu. 3. Tugas individu adalah penilaian yang berbentuk pemberian tugas kepada siswa yang dilakukan secara individu. Tingkat berpikir yang terlibat pada siswa sebaiknya menerapkan (apply), menganalisis (analyse), mengevaluasi (evaluate), dan membuat (create). 4. Tugas kelompok sama seperti tugas individu, namun tugas ini dikerjakan secara kelompok. Tugas ini diberikan untuk menilai kompetensi kerja kelompok. 5. Laporan adalah penilaian yang berbentuk laporan atas tugas atau pekerjaan yang diberikan seperti laporan diskusi, laporan kerja praktik, laporan praktikum, dan Laporan Pemantapan Praktik Kerja Lapangan (PPL). 6. Responsi atau ujian praktik adalah suatu penilaian yang dipakai untuk mata pelajaran yang ada kegiatan praktikumnya. Ujian responsi dapat dilakukan pada awal praktik ataupun pada akhir praktik. 7. Portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukan perkembangan kemampuan siswa dalam satu periode tertentu.
24
Berdasarkan pada uraian tentang teknik memperoleh hasil belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah besaran skor atau angka yang diperoleh melalui pengukuran baik itu tes dan non tes yang dijadikan acuan untuk mengetahui apakah siswa sudah mencapai tingkat keberhasilan yang ditentukan atau belum.
2.2
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dengan
Menggunakan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Pada Mata Pelajaran IPA Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri Sraten 01 Salatiga Tahun Pelajaran 2011/2012” oleh Natalia Natal. Hasil penelitian dari hasil belajar awal siswa yaitu 12 siswa (52%) yang mendapatkan nilai tuntas. Setelah dilaksanakan siklus 1, nilai siswa meningkat menjadi 15 siswa (74%) yang mendapat nilai tuntas. Selanjutnya pada siklus II nilai siswa mengalami peningkatan menjadi 18 siswa (89%). Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri Sraten 01 Salatiga. Kelebihan dari penelitian ini adalah adanya peningkatan dari siklus I ke siklus II yang meningkat cukup signifikan pada ketuntasan hasil belajar yaitu dari 74% menjadi sebesar 89% pada akhir siklus II. Namun penelitian ini memiliki kelemahan yaitu tingkat ketuntasan hasil akhir baru mencapai 89% ini masih jauh dari rentang keberhasilan 100%. Solusinya mungkin perlu ada siklus III untuk mencapai tingkat ketuntasan yang mendekati atau mencapai 100%. Saran yang diberikan bagi guru sebaiknya dapat menerapkan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk mata pelajaran lainnya. Penelitian yang berjudul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui Pendekatan Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) pada Mata Pelajaran IPA Materi Perpindahan Panas Kelas IV Semester 2 SD Negeri Sidoharjo 03 Kecamatan Bawang Kabupaten Batang Tahun Pelajaran 2011/2012” oleh Joko Ujianto. Hasil penelitian dari hasil belajar awal siswa yaitu 8 siswa (40%) 25
yang mencapai KKM dengan rata-rata hasil belajar siswa (57,7). Setelah dilaksanakan siklus 1, nilai siswa meningkat menjadi 11 siswa (55%) yang mencapai KKM dengan rata-rata hasil belajar siswa (68,0). Selanjutnya pada siklus II nilai siswa mengalami peningkatan menjadi 20 siswa (100%) dengan rata-rata hasil belajar siswa (78,4). Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), dapat meningkatkan hasil belajar Mata Pelajaran IPA Materi Perpindahan Panas Kelas IV Semester 2 SD Negeri Sidoharjo 03 Kecamatan Bawang Kabupaten Batang. Kelebihan dari penelitian ini adalah adanya peningkatan dari siklus I ke siklus II yang meningkat cukup signifikan pada ketuntasan hasil belajar yaitu
dari 55% menjadi sebesar 100% pada akhir siklus II. Dalam
menerapkan model Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) perlu memperhatikan materi yang dipilih dan dapat mengalokasikan waktu. Teknologi sederhana yang dibuat juga memperhatikan kesesuaian materi dan kemampuan siswa. Dengan penelitian ini disarankan bagi guru sebaiknya dapat menerapkan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk mata pelajaran lainnya.
2.3
Kerangka Berpikir Penerapan model pembelajaran berpengaruh terhadap tujuan pembelajaran yang
akan dicapai. Namun pada kenyataannya saat ini pembelajaran yang ada di kelas hanya menggunakan model pembelajaran konvensional, dimana guru menguasai seluruh proses pembelajaran, sedangkan siswanya pasif. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap tingkat pemahaman siswa yang di tunjukkan oleh hasil belajar bawah KKM <75. Hal ini terjadi secara terus menerus sehingga perlu diadakan perbaikan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan model masyarakat belajar dalam CTL. Dalam proses pembelajaran menggunakan model masyarakat belajar dalam CTL diharapkan pembelajaran menjadi menyenangkan dan siswa menjadi aktif dalam pembelajaran dan hasil belajar siswa dapat meningkat. 26
Langkah-langkah dalam pembelajaran menggunakan model masyarakat belajar dalam CTL adalah : 1. Siswa menyimak tujuan pembelajaran 2. Siswa membentuk kelompok 3. Siswa mengerjakan tugas dalam kelompok 4. Siswa berbagi pengalamannya kepada teman sekelompok 5. Siswa menyampaikan pendapat tentang cerita teman 6. Sharing hasil pekerjaan dengan kelompok lain 7. Siswa membuat kesimpulan bersama 8. Siswa melakukan evaluasi
Langkah-langkah dalam pembelajaran menggunakan model masyarakat belajar dalam CTL dapat digambarkan melalui kerangka berfikir. Lebih jelasnya kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat kita lihat pada gambar 2.1. Secara sistematis kerangka berfikir digambarkan sebagai berikut :
27
Pembelajaran IPA Pembelajaran Konvensional Hasil belajar <75 Model masyarakat belajar dalam CTL Menyimak tujuan pembelajaran “Batuan dan Pelapukan” 1. Membentuk kelompok @6 siswa Menceritakan pengalaman berkaitan tentang batuan dan pelapukan (contoh dalam kehidupan sehari-hari) kepada teman satu kelompok. Menyampaikan pendapat terhadap cerita teman tentang batuan (proses terbentuk, ciri dan fungsi) dan pelapukan (proses terjadinya, contoh dalam kehidupan sehari-hari).
Rubrik Unjuk Kerja
Skor proses belajar
Sharing hasil pekerjaan dengan kelompok lain Membuat kesimpulan bersama
Tes Formatif Hasil Belajar ≥ 75
Skor tes
Gambar 2.1 Skema Peningkatan Hasil Belajar IPA Dengan Model Masyarakat Belajar dalam CTL 28
2.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Peningkatan hasil belajar IPA dapat diupayakan melalui model masyarakat belajar dalam CTL siswa kelas V SDN Candirejo 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2013/2014.
29