BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Metabolisme Lipid Beberapa senyawa kimia di dalam makanan dan tubuh diklarifikasikan
sebagai lipid. Lipid ini meliputi : 1) lemak netral, yang dikenal sebagai trigliserida, 2) fosfolipid, 3) kolesterol, dan 4) beberapa lipid lain yang kurang penting. Secara kimia, sebagian lipid dasar dari trigliserida dan fosfolipid adalah asam lemak, yang hanya merupakan asam organik hidrokarbon rantai panjang. Rumus kimia asam lemak yang khas, yaitu asam palmitat, adalah CH3(CH2)14COOH (Campbell & Reece, 2010). Sejauh ini yang paling banyak dalam diet adalah lemak netral atau trigliserida, yang setiap molekulnya tersusun dari sebuah inti gliserol dan rantai panjang tiga asam lemak. Tiga asam lemak yang paling sering terdapat dalam trigliserida di tubuh manusia adalah 1. Asam stearat yang mempunyai 18 rantai karbon dan sangat jenuh dengan atom hidrogen, 2. Asam oleat yang juga mempunyai 18 rantai karbon tetapi mempunyai satu ikatan ganda di bagian tengah rantai, dan 3. Asam palmitat yang mempunyai 16 atom karbon dan sangat jenuh (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010).
7
8
Gambar 2.1 Asam Stearat Sumber : Guyton & Hall 2007 Lemak ini merupakan unsur utama dalam bahan makanan yang berasal dari hewan dan sangat sedikit ada dalam makanan berasal dari tumbuhan. Dalam diet lemak yang biasa juga mengandung sejumlah kecil fosfolipid, kolesterol, dan ester kolesterol. Fosfolipid dan ester kolesterol terdiri atas asam lemak dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai lemak. Walaupun kolesterol tidak mengandung asam lemak, inti sterolnya disintesis dari gugus molekul asam lemak, ditambah lagi kolesterol merupakan turunan lemak, sehingga kolesterol memiliki banyak sifat fisik dan kimia dari zat lipid lainnya (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010; Pearce, 2011). Trigliserida dipakai dalam tubuh terutama untuk menyediakan energi bagi berbagai proses metabolik, suatu fungsi yang hampir sama dengan fungsi karbohidrat. Akan tetapi, beberapa lipid, terutama kolesterol, fosfolipid, dan sejumlah kecil trigliserida, dipakai untuk membentuk semua membran sel dan melakukan fungsi-fungsi sel yang lain (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010). Sejumlah kecil trigliserida dicernakan dalam lambung oleh lipase lingual yang disekresikan oleh kelenjar lingual di dalam mulut dan ditelan bersama dengan
9
saliva. Jumlah pencernaan pada lambung kurang dari 10 persen. Tahap pertama dalam pencernaan lemak adalah secara fisik memecahkan gumpalan lemak menjadi ukuran sangat kecil, sehingga enzim pencernaan yang larut air dapat bekerja pada permukaan gumpalan lemak. Proses ini disebut emulsifikasi lemak, dan dimulai melalui pergolakan di dalam lambung untuk mencampur lemak dengan produk pencernaan lemak (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011). Selanjutnya, kebanyakan proses emulsifikasi terjadi di dalam duodenum di bawah pengaruh empedu, sekresi dari hati yang tidak mengandung enzim pencernaan apapun. Akan tetapi, empedu mengandung sejumlah besar garam empedu juga fosfolipid lesitin, yang sangat penting untuk emulsifikasi lemak. Gugus-gugus polar (titik terjadinya ionisasi di dalam air) dari garam empedu dan molekul-molekul lesitin sangat larut air, sedangkan sebagian besar sisa gugusgugus molekul keduanya sangat larut lemak. Oleh karena itu, gugus yang larut lemak dari sekret hati ini terlarut dalam lapisan permukaan gumpalan lemak, sedangkan gugus polarnya menonjol. Penonjolan gugus polar, selanjutnya, terlarut dalam cairan berair di sekitarnya, sehingga sangat menurunkan tegangan antarpermukaan lemak dan membuat lemak tersebut ikut terlarut (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011). Bila tegangan antar permukaan gumpalan cairan yang tidak tercampur ini rendah, cairan yang tidak bercampur ini, melalui pengadukan, dapat dipecah menjadi banyak partikel yang sangat halus secara jauh lebih mudah daripada bila tegangan antar permukaanya tinggi. Akibatnya, fungsi utama garam empedu dan lesitin (utamanya), dalam empedu adalah untuk membuat gelembung lemak siap
10
untuk dipecah oleh pengadukan dengan air di dalam usus halus. Setiap kali diameter gumpalan lemak secara signifikan diturunkan sebagai akibat pengadukan pada usus halus, daerah permukaan lemak total meningkat berlipat-lipat. Karena diameter rata-rata partikel lemak dalam usus setelah terjadinya emulsifikasi hanya kurang dari 1 mikrometer, ukuran ini menggambarkan peningkatan sebanyak 1000 kali lipat pada daerah permukaan lemak total yang disebabkan oleh proses emulsifikasi (Guyton & Hall, 2007). Enzim lipase merupakan senyawa yang larut air dan dapat menyerang gumpalan lemak hanya pada permukaannya. Enzim lipase pankreas merupakan enzim paling penting untuk pencernaan trigliserida dan terdapat dalam jumlah sangat banyak di dalam getah pancreas. Enzim ini cukup dengan waktu 1 menit untuk mencernakan semua trigliserida yang dicapainya. Produk akhir dari pencernaan lemak ialah asam lemak bebas dan 2-monogliserida yang merupakan pemecahan dari trigliserida oleh getah pankreas (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010; Pearce, 2011). Hidrolisis trigliserida merupakan proses yang sangat reversibel, oleh karena itu, akumulasi monogliserida dan asam lemak bebas di sekitar lemak yang dicerna sangat cepat menghambat pencernaan lebih lanjut. Namun garam empedu memiliki peran tambahan yang penting dalam memindahkan monogliserida dan asam lemak bebas dari lingkungan pencernaan gelembung lemak hampir secepat pembentukan produk akhir pencernaan ini (Campbell & Reece, 2010; Pearce, 2011). Garam empedu, saat berada pada konsentrasi yang cukup tinggi di dalam air, mempunyai kecendrungan untuk membentuk misel, gumpalan berbentuk
11
silinder sferis kecil, berdiameter 3 sampai 6 nanometer, dan terdiri dari 20 sampai 40 molekul garam empedu. Misel-misel ini terbentuk karena setiap molekul garam empedu tersusun dari sebuah inti sterol yang sangat larut lemak, dan satu gugus polar yang sangat larut air. Inti sterol ini melingkupi lemak yang dicernakan, membentuk gumpalan lemak kecil di tengah misel yang telah terbentuk, dengan gugus-gugus polar garam empedu yang menonjol ke luar untuk menutupi permukaan misel. Karena bermuatan negatif, gugus polar ini memungkinkan seluruh gumpalan misel larut di dalam air cairan pencernaan dan tetap dalam bentuk larutan yang stabil sampai lemak tersebut diabsorbsi ke dalam darah (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010). Misel garam empedu juga bertindak sebagai medium transport untuk mengangkut monogliserida dan asam lemak bebas, keduanya relatif tidak larut tanpa misel tersebut, menuju brush order sel-sel epitel usus. Di sana monogliserida dan asam lemak bebas diabsorbsi ke dalam darah, sedangkan garam empedu itu sendiri dilepaskan kembali ke dalam kismus untuk dipakai berulang-ulang dalam proses pengangkutan ini (Guyton & Hall, 2007). Selain trigliserida, kolesterol dan fosfolipid juga mengalami proses hidrolisis. Kolesterol, dalam makanan sebagian besar berbentuk ester kolesterol, dan fosfolipid dihidrolisis oleh dua lipase yang berbeda dalam sekresi pankreas yang untuk membebaskan asam lemak, enzim hidrolase ester kolesterol untuk menghidrolisis ester kolesterol dan fosfolipase A2 untuk menghidrolisis fosfolipid. Dan tentu saja dalam pengangkutanya memerlukan peranan misel (Guyton & Hall, 2007).
12
Selanjutnya, asam lemak bebas dan monogliserid yang terlarut dalam misel, akan ditranspor ke permukaan mikrovili brush order sel usus halus dan kemudian menembus ke dalam ceruk di antara mikrovili yang bergolak dan bergerak. Di sini, keduanya akan segera berdifusi keluar misel dan masuk ke dalam sel epitel yang dapat terjadi karena lipid juga larut dalam membran sel epitel. Proses ini meninggalkan misel empedu tetap dalam kimus, yang selanjutnya akan melakukan fungsinya berkali-kali untuk membantu mengabsorbsi lebih banyak monogliserida dan asam lemak lagi (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011). Fungsi misel sangat penting untuk absorbsi lemak. Adanya misel empedu dalam jumlah yang sangat banyak, menyebabkan lebih kurang 97% lemak diabsorbsi, bila tidak ada misel empedu, normalnya hanya 40 sampai 50 persen lemak yang dapat diabsorbsi. Setelah memasuki sel epitel, asam lemak bebas dan monogliserida diambil oleh sel retikulum endoplasma halus, yang akan digunakan untuk membentuk trigliserida yang baru yang selanjutnya dilepaskan dalam bentuk kilomikron melalui bagian basal sel epitel, mengalir ke atas melalui duktus limfe torasikus dan menuju aliran darah (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010). Kemudian, sewaktu melalui sel epitel usus, monogliserida dan asam lemak disintesis kembali menjadi molekul trigliserida baru yang masuk ke dalam limfe dalam bentuk kilomikron. Kilomikron ini berdiameter 0,8 sampai 0,6 mikron. Sejumlah apoprotein B diabsorbsi ke permukaan luar kilomikron. Keadaan ini membuat sisa molekul protein menonjol ke dalam air di sekitarnya dan karena itu, akan meningkatkan stabilitas suspense kilomikron ke dalam cairan limfe dan
13
mencegah perlekatan kilomikron ke dinding pembuluh limfe (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010). Kurang lebih satu jam setelah makan makanan mengandung lemak, konsentrasi kilomikron dalam plasma dapat meningkat 1 sampai 2 persen dari total plasma, dan membuat warna plasma menjadi keruh. Namun, waktu paruh kilomikron kurang dari 1 jam sehingga plasma akan menjadi jernih kembali. Setelah dalam sirkulasi darah, kilomikron akan dipindahkan melalui kapiler jaringan adiposa dan hati. Kedua jaringan tersebut mengandung banyak enzim lipoprotein lipase. Enzim ini terutama aktif pada endotel kapiler tempat enzim menghidrolisis trigliserida dari kilomikron begitu trigliserida melekat pada dinding endotel, sehingga asam lemak dan gliserol dapat dilepaskan (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010). Asam lemak, yang sangat menyatu dengan membran sel, segera berdifusi ke dalam sel lemak jaringan adiposa dan ke dalam sel hati. Begitu berada di dalam sel-sel ini, asam lemak disintesis kembali menjadi trigliserida, dengan gliserol baru yang disuplai oleh proses metabolism sel penyimpan (Guyton & Hall, 2007). 2.2
Deposit Lipid
Sebagian besar lemak disimpan dalam dua jaringan tubuh utama, yaitu jaringan adiposa (biasa disebut sebagai deposit lemak atau jaringan lemak) dan hati (Guyton & Hall, 2007; Mescher, 2011). Fungsi utama jaringan adiposa adalah menyimpan trigliserida sampai diperlukan untuk membentuk energi dalam tubuh. Fungsi tambahan adalah untuk menyediakan penyekat panas untuk tubuh (Guyton & Hall, 2007). Jaringan adiposa
14
merupakan jenis jaringan ikat khusus, yang terutama terdiri atas sel-sel lemak atau adiposit. Sel ini dapat tersebar sendiri-sendiri atau berupa kelompok di dalam jaringan ikat irregular atau longgar, sering dalam kelompok besar tempat sel-sel ini menjadi komponen utama jaringan adiposa. Karena terdapat di banyak area di tubuh, pada pria dengan berat badan normal, memiliki jaringan adiposa 15-20% dari berat badannya, sedangkan pada wanita dengan berat badan normal, mencapai 20-25% dari berat badannya (Mescher, 2011) Setelah sekian lama dianggap sebagai massa inert simpanan energi sebagai lemak, adiposit kini dikenal sebagai regulator utama metabolisme energi tubuh. Jaringan adiposa merupakan gudang energi terbesar ( dalam bentuk trigliserida) di tubuh. Organ lain yang menimbun energi, terutama hati dan otot rangka, melakukannya dalam bentuk glikogen. Namun, pasokan glikogen memiliki keterbatasan dan sejumlah besar kalori harus dimobilisasi di antara waktu-waktu makan. Karena densitas trigliserida lebih rendah daripada glikogen dan memiliki nilai kalori yang lebih tinggi (9,3 kkal/g untuk trigliserida berbanding 4,1 kkal/g untuk karbohidrat), jaringan adiposa telah berkembang menjadi suatu jaringan penimbun yang sangat efisien. Jaringan adiposa juga mengisi ruang antara jaringan lain dan membantu menahan sejumlah organ di tempatnya (Mescher, 2011; Pearce, 2011). Terdapat dua jenis jaringan adiposa dengan lokasi, struktur, warna dan ciri patologi yang berbeda. Jaringan adiposa putih dan jaringan adiposa coklat. 2.2.1 Jaringan Adiposa Putih Merupakan jenis tersering, terdiri atas sel-sel yang mengandung satu tetes (droplet) lemak kuning-keputihan yang berukuran besar di bagian tengah di
15
sitoplasmanya bila berkembang sempurna. Dikhususkan untuk penyimpanan energi dalam jangka panjang. Hampir semua jaringan adiposa pada orang dewasa terdapat dalam jenis jaringan ini dan ditemukan dalam banyak organ di seluruh tubuh. Jaringan adiposa putih adalah depot energi yang besar bagi organisme. Lipid yang tersimpan dalam sel adiposa terutama trigliserida, yaitu ester dari asam lemak dan gliserol. Trigliserida yang ditimbun sel-sel ini berasal dari lemak makanan yang dibawa ke adiposit dalam bentuk kilomikron, dalam bentuk trigliserida yang disintesis dalam hati dan dibawa ke sel-sel adiposa dalam bentuk VLDL (very low density lipoprotein), dan dihasilkan oleh sintesis asam lemak bebas dan gliserol setempat dari glukosa untuk membentuk trigliserida (Mescher, 2011).
Gambar 2.2 Jaringan Adiposa Putih Sumber : Mescher, 2011 Meskipun
semua jaringan adiposa putih serupa secara histologis dan
fisiologis, perbedaan ekspresi gen telah diamati antara deposit lemak putih viseral
16
(abdomen) dan deposit lemak putih subkutan. Perbedaan semacam itu penting untuk penentuan resiko medis obesitas; peningkatan jaringan adiposa viseral diyakini meningkatkan resiko diabetes dan penyakit kardiovaskular, sedangkan peningkatan lemak subkutan tidak demikian. Pelepasan produk lemak viseral secara langsung ke sirkulasi portal dan hati juga dapat memengaruhi kepentingan medis bentuk obesitas ini (Mescher, 2011). Jaringan adiposa subkutan (putih) tersimpan hanya di bawah kulit, menyimpan sekitar 80-90% total lemak tubuh, terutama di daerah perut (sekitar pinggang), lengan atas (triceps), subscapularis, gluteal dan femoral (Ludescher B, et al., 2007; Haupt A, et al., 2010). Oleh karena itu, jaringan adiposa subkutan membantu membentuk permukaan tubuh (Mescher, 2011). Dan jaringan adiposa viseral pada daerah intraabdominal yang berada di antara dengan organ pencernaan dan menyimpan sekitar 6-20% total lemak tubuh (Ludescher B, et al., 2007; Haupt A, et al., 2010). 2.2.2 Jaringan Adiposa Cokelat Terdiri atas sel-sel yang mengandung banyak tetes lipid di antara sejumlah besar mitokondria, yang membuat sel ini tampak gelap. Warna jaringan adiposa cokelat atau lemak cokelat timbul karena banyaknya mitokondria (yang mengandung sitokrom berwarna) yang tersebar dalam adiposit dan banyaknya kapiler darah pada jaringan ini. Adiposit lemak cokelat mengandung banyak inklusi lipid kecil sehingga disebut multilokular (Mescher, 2011).
17
Gambar 2.3 Jaringan Adiposa Coklat Sumber : Mescher, 2011 Fungsi utama sel adiposa multilokular adalah menghasilkan panas melalui thermogenesis tanpa menggigil. Pada manusia baru lahir yang terpapar lingkungan lebih dingin daripada rahim ibu, impuls saraf akan melepaskan norepinefrin ke dalam jaringan adiposa cokelat. Seperti pada lemak putih, neurotransmitter ini mengaktifkan lipase peka-hormon yang terdapat dalam sel adiposa, yang meningkatkan hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Namun, tidak seperti lemak putih, asam lemak yang dibebaskan akan cepat dimetabolisme, yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi panas, yang menaikkan suhu jaringan dan menghangatkan darah yang melaluinya (Mescher, 2011; Pearce, 2011). Sejumlah besar lipase terdapat dalam jaringan adiposa. Beberapa dari enzim lipase ini mengatalisis deposit trigliserida sel dari kilomikron dan lipoprotein. Lipase yang lain, bila diaktifkan oleh hormon, menyebabkan pemecahan trigliserida sel lemak untuk melepaskan sel lemak bebas. Karena perubahan asam lemak yang cepat, trigliserida dalam sel lemak diperbaharui satu kali setiap 2
18
sampai 3 minggu, yang berarti bahwa lemak yang disimpan di dalam jaringan hari ini tidak sama dengan lemak yang disimpan bulan lalu, yang menunjukkan dinamika penyimpanan lemak (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011). 2.2.3 Lipid Hati Fungsi utama hati dalam metabolisme lipid adalah untuk memecahkan asam lemak menjadi senyawa kecil yang dapat dipakai untuk energi, menyintesis trigliserida, terutama dari karbohidrat tetapi juga dari protein dalam jumlah yang lebih sedikit, dan menyintesis lipid lain dari asam lemak, terutama kolesterol dan fosfolipid. Sejumlah besar trigliserida terdapat di hati selama stadium awal kelaparan, pada diabetes mellitus, dan pada beberapa keadaan lain ketika lemak dipakai untuk energi bukannya karbohidrat. Pada keadaan ini, sejumlah besar trigliserida dimobilisasi dari jaringan adiposa, yang ditranspor sebagai asam lemak dalam darah, dan ditimbun kembali sebagai trigliserida di hati, tempat dimulainya tahap awal dari sejumlah besar degradasi lemak. Dalam keadaan fisiologis normal, jumlah total trigliserida di hati sangat ditentukan oleh kecepatan penggunaan lipid sebagai sumber energi secara keseluruhan (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011). Sel hati, selain mengandung trigliserida, juga mengandung sejumlah besar fosfolipid dan kolesterol, yang secara kontinu disintesis oleh hati. Juga, sel hati lebih mampu mendesaturasi asam lemak daripada jaringan lain sehingga trigliserida hati secara normal lebih tidak jenuh daripada trigliserida dari jaringan adiposa. Kemampuan hati untuk mendesaturasi asam lemak secara fungsional penting untuk semua jaringan tubuh, sebab banyak elemen struktur dari seluruh sel mengandung
19
jumlah lemak tak jenuh yang cukup banyak, dan sumber utamanya adalah hati. Desaturasi ini dilakukan oleh suatu dehidrogenasi di sel hati (Guyton & Hall, 2007). 2.3
Sintesis Lipid Bila lemak yang telah disimpan dalam jaringan adiposa hendak digunakan
dalam tubuh untuk menghasilkan energi, pertama, lemak harus ditranspor dari jaringan adiposa ke jaringan lain. Lemak yang ditranspor terutama berbentuk asam lemak bebas. Keadaan ini dicapai dengan hidrolisis trigliserida kembali menjadi asam lemak dan gliserol. Transpor asam lemak bebas dalam darah dilakukan dalam bentuk gabungan dengan albumin (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010). Ada dua jenis rangsangan berperan penting dalam meningkatkan hidrolisis ini. Pertama, bila sediaan glukosa pada sel lemak tidak adekuat, salah satu hasil pemecahan glukosa, α-gliserofosfat, juga tidak tersedia dalam jumlah yang cukup. Karena zat ini dibutuhkan untuk mempertahankan gugus gliserol dari trigliserida yang baru disintesis, hidrolisis trigliserida akan terjadi. Kedua, sel lipase peka hormon dapat diaktifkan oleh beberapa hormon dari kelenjar endokrin, dan hormon ini juga meningkatkan hidrolisis trigliserida dengan cepat (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). Sewaktu meninggalkan sel lemak, asam lemak mengalami ionisasi kuat dalam plasma dan gugus ioniknya segera bergabung dengan molekul albumin protein plasma. Asam lemak yang berikatan dengan cara ini disebut asam lemak bebas atau asam lemak tidak teresterifikasi untuk membedakannya dari asam lemak
20
lain dalam plasma yang terdapat dalam bentuk : ester gliserol, kolesterol, dan zat lainnya (Guyton & Hall, 2007). Konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma pada keadaan istirahat kirakira 15 mg/dl, yang seluruhnya hanya mencapai 0,45 gram asam lemak dalam seluruh sistem sirkulasi. Jumlah sekecil ini berperan penting dalam keseluruhan sistem transport asam lemak antara berbagai bagian. Ini dikarenakan, pertama, kecepatan penggantianya (turn over) sangatlah cepat, dimana separuh asam lemak plasma akan digantikan oleh asam lemak baru setiap 2 sampai 3 menit. Pada kecepatan ini, semua kebutuhan energi normal tubuh dapat disediakan oleh oksidasi asam lemak bebas yang ditranspor tanpa menggunakan karbohidrat atau protein sebagai sumber energi (Guyton & Hall, 2007). Kedua, semua keadaan yang meningkatkan kecepatan pemakaian lemak untuk energi sel juga meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dalam darah, bahkan, konsentrasi ini terkadang meningkat sampai lima hingga delapan kali. Peningkatan yang besar ini terjadi pada kasus kelaparan dan diabetes utamanya, dikarenakan sedikitnya atau tidak sama sekali memproleh energi dari metabolisme karbohidrat (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). Pada keadaan normal, hanya sekitar 3 molekul asam lemak yang bergabung dengan setiap molekul albumin, namun sebanyak 30 molekul asam lemak dapat bergabung dengan satu molekul albumin bila kebutuhan transpor asam lemak sangat besar. Ini menunjukkan bervariasinya kecepatan transport lipid pada keadaan fisiologis yang berbeda-beda (Guyton & Hall, 2007).
21
2.3.1 Pembentukan Adenosin Trifosfat dari Trigliserida Pemakaian lemak sebagai sumber energi sama pentingnya dengan pemakaian karbohidrat karena jumlah energi yang dibebaskan dari setiap gram karbohidrat setelah oksidasi menjadi karbon dioksida dan air adalah 4,1 kalori, dan yang dibebaskan dari lemak adalah 9,3 kalori, sedangkan, dari protein sebesar 4,35 kalori. Selain itu, banyak karbohidrat yang ditelan bersama makanan diubah menjadi trigliserida, kemudian disimpan, dan kemudian dipakai dalam bentuk asam lemak yang dilepaskan dari trigliserida sebagai sumber energi (Powers & Howley, 2009). Untuk memproleh energi dari lemak netral, lemak pertama-tama dipecah menjadi gliserol dan asam lemak. Asam lemak kemudian dipecah oleh oksidasi beta mitokondria menjadi radikal asetil berkarbon 2 yang membentuk asetil-koenzim A (asetil-KoA). Asetil-KoA dapat memasuki siklus asam sitrat dan dioksidasi untuk membebaskan sejumlah energi yang sangat besar. Oksidasi beta dapat terjadi di semua sel tubuh, namun terutama terjadi dengan cepat dalam sel hati. Hati sendiri tidak dapat menggunakan semua asetil-KoA yang dibentuk, sebaliknya, asetil-KoA diubah menjadi asam asetoasetat, yaitu asam dengan kelarutan tinggi yang lewat dari sel hati masuk ke cairan ekstrasel dan kemudian ditranspor ke seluruh tubuh untuk diabsorbsi oleh jaringan lain. Jaringan ini kemudian mengubah kembali asam asetoasetat menjadi asetil-KoA dan kemudian mengoksidasinya dengan cara biasa (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). Jumlah ATP yang dihasilkan dari proses oksidasi asam lemak bila menggunakan 1 molekul asam stearat adalah 146 molekul ATP. Satu molekul asam
22
stearat dipecah untuk membentuk 9 molekul asetil-KoA dan dikeluarkan 32 atom hidrogen ekstra. Lalu, untuk 9 molekul asetil-KoA yang didegradasi oleh siklus asam sitrat, 8 atom hidrogen dikeluarkan per molekul asetil-KoA, sehingga membentuk tambahan 72 hidrogen. Jumlah tersebut menghasilkan total 104 atom hidrogen yang akhirnya dilepaskan oleh degradasi setiap molekul asam stearat. Dari jumlah ini, 34 dikeluarkan dari pemecahan asam lemak oleh flavoprotein dan 70 dikeluarkan oleh nikotinamid adenine dinukleotida (NAD+) sebagai NADH dan H+ (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). Kedua kelompok ini dioksidasi di mitokondria, namun, atom hidrogen tersebut memasuki sistem oksidasi pada tempat yang berbeda-beda, sehingga 1 molekul ATP disintesis untuk setiap hidrogen dari 34 hidrogen flavoprotein dan 1,5 molekul ATP disintesis untuk setiap hidrogen dari 70 hidrogen NADH dan H+. Hasilnya adalah 34 dan 105, atau total 139 molekul ATP dibentuk melalui oksidasi hidrogen yang berasal dari 1 molekul asam stearat. Sembilan molekul ATP lainnya dibentuk dalam siklus asam sitrat itu sendiri (tidak termasuk ATP yang dilepaskan oleh oksidasi hidrogen), satu untuk masing-masing dari 9 molekul asetil-KoA yang dimetabolisme. Jadi, 148 molekul ATP dibentuk selama oksidasi lengkap dari 1 molekul asam stearat. Tetapi, dua ikatan berenergi tinggi dipakai dalam kombinasi awal dari koenzim A dengan molekul asam stearat, membentuk hasil akhir 146 molekul ATP (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009; Campbell & Reece, 2010).
23
2.3.2 Sintesis Trigliserida dari Karbohidrat Setiap kali karbohidrat yang memasuki tubuh lebih banyak dari yang dapat dipakai sebagai energi atau disimpan dalam bentuk glikogen, kelebihan karbohidrat tersebut dengan cepat diubah menjadi trigliserida dan kemudian disimpan dalam bentuk ini dalam jaringan adiposa. Pada manusia, kebanyakan sintesis trigliserida terjadi di hati, tetapi sejumlah kecil juga dibentuk di jaringan adiposa itu sendiri. trigliserida yang dibentuk di hati terutama ditranspor oleh lipoprotein berdensitas sangat rendah ke jaringan adiposa tempat zat tersebut disimpan (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009) 2.3.3 Sintesis Trigliserida dari Protein Banyak asam amino dapat diubah menjadi asetil-KoA. Asetil-KoA kemudian dapat disintesis menjadi trigliserida. Oleh karena itu, bila seseorang mengonsumsi protein dan makanannya melebihi jumlah protein yang dapat digunakan jaringannya, sejumlah besar kelebihan ini akan disimpan sebagai lemak (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). 2.4
Komposisi Tubuh Kompartemen tubuh terdiri atas massa bebas lemak atau fat free mass
(FFM) dan massa lemak atau fat mass (FM). FFM yang lazim disebut sebagai lean body mass merupakan komponen yang terdiri dari air, protein, mineral, cairan intra dan ekstraseluler, otot, organ-organ vital, komponen protein dari sel adiposa dan tulang. Sedangkan FM merupakan berat lemak tubuh yang bisa diukur dalam satuan kilogram maupun dalam persentase (Asiah & Tjakradidjaja, 2013).
24
Sedangkan komposisi tubuh didefinisikan sebagai proporsi relatif dari jaringan lemak dan jaringan bebas lemak dalam tubuh. Pengukuran ini penting untuk menilai keadaan fisiologi tubuh individu dan menentukan korelasinya dengan kejadian penyakit yang mungkin akan timbul (ACSM, 2010). Pengukuran komposisi tubuh dapat dilakukan dengan mengukur keseluruhan lemak tubuh dikarenakan jaringan otot menempati sedikit ruang dalam tubuh dibandingkan dengan jaringan lemak, serta relasi dari peningkatan lemak tubuh terhadap komorbiditas penyakit (Anonim, 2014). Lemak dalam tubuh seperti yang sudah dibahas sebelumnya, disimpan dalam jaringan adiposa dan hati. Penyebaran lokasi penyimpanan lemak dibagi menjadi 2, yaitu, lemak subkutan dibawah kulit dan viseral yang berada disekitar organ pencernaan. Akumulasi lemak tubuh dilakukan dengan 2 cara, yaitu, hipertropi, dan hiperplasia dari sel lemak. Hipertropi disebabkan oleh membesarnya ukuran sel karena jumlah adiposit yang meningkat. Sedangkan hiperplasia merupakan pembentukan sel lemak yang baru. Proses ini terjadi secara alami dari lahir menuju dewasa (Vella & Kravitz, 2002). Umumnya, wanita memiliki persentase lemak tubuh yang lebih tinggi dari pria. Tempat penyimpanan lemak pada wanita lebih banyak pada area gluteal-femoral, sedangkan pria pada area viseral atau abdomen. Ini disebabkan oleh faktor hormonal yang menonjol antara keduanya, yaitu jumlah hormon estrogen yang lebih banyak dan cenderung fluktuatif pada wanita (Canoy D, et al., 2007). Perbedaan ini juga menyebabkan perbedaan bentuk tubuh yang berbeda antara pria dan wanita. Bila adipositas tubuh terus meningkat, tubuh wanita akan cenderung berbentuk pola gynoid atau buah pir (pear-shaped body type),
25
disebabkan pembesaran dari regio hip dan paha. Pada pria, akan terjadi pembentukan pola android atau buah apel (apple-shaped body type) (RegitzZagrosek, et al., 2006). Pengukuran komposisi tubuh yang berkaitan langsung dengan adipositas dan paling banyak digunakan adalah dengan persentase lemak tubuh dan IMT, serta pengukuran Basal Metabolic Rate (BMR) sebagai kompartemen penunjang terhadap perubahan aktivitas fisik dan pola makan (Guyton & Hall, 2007). 2.4.1 IMT a.
Definisi IMT Indeks massa tubuh atau body mass index merupakan alat ukur antropometri yang paling sering digunakan dengan membandingkan antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m) kuadrat (Guyton & Hall, 2007). IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, namun adanya korelasi dengan pengukuran secara langsung lemak tubuh seperti underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-Strawn, 2009). IMT adalah cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkolerasi tinggi dengan lemak tubuh dan untuk mengidentifikasi pasien obesitas dengan risiko mendapat komplikasi medis (Pudjiadi et al., 2010). Keunggulan menggunakan teknik IMT yaitu bisa menggambarkan keadaan lemak tubuh yang berlebihan, paling sederhana, dapat digunakan pada skala populasi besar dan hanya membutuhkan 2 variabel, berat badan dan tinggi badan, namun memiliki kelemahan tidak dapat digunakan pada individu
26
dengan IMT tinggi karena besar massa otot (Guyton & Hall, 2007; Paramurthi, 2014). Rumus perhitungan IMT sebagai berikut : Berat Badan (Kg) IMT = ------------------------------------------------------Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)
b.
Klasifikasi IMT 1)
Menurut World Health Organization (WHO) IMT diintrepetasikan menggunakan kategori status berat badan
standar yang sama untuk semua umur bagi pria dan wanita dewasa yang berusia 18 tahun ke atas (juga bisa dimulai dari usia 20 tahun ke atas) (CDC, 2009). Secara umum, skor nilai IMT diatas 25 kg/m2 didefinisikan sebagai kategori obesitas dan dibawah 18,5 kg/m2 didefinisikan sebagai underweight oleh WHO.
27
Tabel 2.1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO Klasifikasi
IMT (kg/m2) Principal cut-off points
Additional cut-off points
Severe thinness
<16,00
<16,00
Moderate thinness
16,00 – 16,99
16,00 – 16,99
Mild thinness
17,00 – 18,49
17,00 – 18,49
Underweight
<18,50
<18,50
Normal range
18,50 – 24,99
Overweight
≥ 25,00
Pre-obese
25,00 – 29,99
Obese
≥ 30,00
Obese class I
30,00 – 34,99
Obese class II
35,00 – 39,99
Obese class III
≥ 40,00
18,50 – 22,99 23,00 – 24,99 ≥ 25,00 25,00 – 27,49 27,50 – 29,99 ≥ 30,00 30,00 – 32,49 32,50 – 34,99 35,00 – 37,49 37,50 – 39,99 ≥ 40,00
Sumber: adaptasi dari WHO, 1995, WHO, 2000 dan WHO 2004. 2)
Menurut Kriteria Asia Pasifik Kriteria Asia Pasifik digunakan untuk orang-orang yang berada di
daerah Asia, karena IMT orang Asia lebih kecil 2-3 kg/m2 dibandingkan dengan orang Afrika, Eropa, Amerika ataupun Australia (Ekky, 2013). Dijelaskan lebih lanjut dalam buku Sugondo (2006), dijelaskan bahwa meta-analisis beberapa kelompok etnik sungguh berbeda. Dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama menunjukkan bahwa
28
etnik Amerika kulit hitam memiliki nilai IMT lebih tinggi dari etnik Polinesia, dan etnik Polinesia memiliki nilai IMT lebih tinggi dari etnik Kaukasia. Sedangkan untuk Indonesia memiliki nilai IMT berbeda 3,2 kg/m2 dibandingkan etnik Kaukasia. Kriteria Asia Pasifik diperuntukkan untuk orang-orang yang berdomisili di daerah Asia, karena Index Massa Tubuh orang Asia lebih kecil sekitar 2-3 kg/m2 dibanding orang Afrika, orang Eropa, orang Amerika, ataupun orang Australia (Sugondo, 2006). Tabel 2.2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Kriteria Asia Pasifik Klasifikasi
Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2)
Kurang dari normal Kisaran normal Berat badan lebih
< 18,5 18,5 – 22,9 ≥ 23
Beresiko
23 – 24,9
Obese I
25 – 29,9
Obese II
≥ 30
Sumber : Sugondo. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV Jilid III 3)
Menurut Departemen Kesehatan RI Menurut Depkes RI, kategori dewasa yang digunakan ialah diatas
18 tahun dan kriteria IMT berdasarkan Depkes RI sama dengan kriteria Asia Pasifik dikarenakan kesamaan demografis penduduk dan berdasar pula penelitian yang telah dirangkum oleh Center for Obesity Research and Education pada tahun 2007.
29
Tabel 2.3 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Depkes RI Klasifikasi Kurang dari normal Kisaran normal Berat badan lebih
Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2) < 18,5 18,5 – 22,9 ≥ 23
Beresiko
23 – 24,9
Obese I
25 – 29,9
Obese II
≥ 30
Sumber : Center for Obesity Research and Education, 2007. 2.4.2 Persentase Lemak Tubuh Kelemahan IMT yang tidak dapat digunakan pada individu dengan massa otot besar, disolusikan dengan menggunakan pengukuran persentase lemak tubuh ( body fat percentage / BF%) yang lebih baik dalam mendefinisikan kelebihan lemak total hingga mencapai kondisi obesitas (Guyton & Hall, 2007). Lemak tubuh terdiri dari lemak tubuh esensial dan lemak tubuh cadangan. Lemak tubuh esensial digunakan untuk menjaga kehidupan dan fungsi reproduksi. Persentase lemak esensial pada wanita lebih banyak daripada pria, dikarenakan proses kehamilan dan fungsional hormon. Pada pria, persentase lemak esensial sebanyak 3-5%, sedangkan pada wanita 8-12%. Jumlah lemak esensial yang menurun akan berdampak pada kondisi kesehatan fisik dan psikologik (Muth, 2009). Persentase lemak tubuh dihitung dari massa lemak dibagi total massa dikalikan 100 untuk seluruh tubuh, region android dan gynoid. Saat ini, tidak ada kategori persentase lemak tubuh yang menjelaskan penyimpanan jaringan adiposa
30
yang sehat maupun berlebihan. Nilai persentase lemak tubuh sebesar 25 persen atau lebih sudah dikatakan sebagai obesitas pada pria dan sebesar 35 persen atau lebih pada wanita. Dengan demikian, titik potong ini digunakan sebagai ukuran obesitas pada penelitian saat ini (Guyton & Hall, 2007; Romero, et al., 2008; Peltz, et al., 2010). Persentase lemak tubuh dapat digunakan untuk mengukur tingkat kebugaran, dikarenakan merupakan satu-satunya pengukuran tubuh yang langsung menghitung proporsi relatif komposisi tubuh tanpa melihat besaran tinggi atau berat badan. (Muth, 2009). Pengukuran persentase lemak tubuh dapat menggunakan alat bio electrical impedance (BIA) yang akan dibahas subab selanjutnya. Tabel 2.4 Klasifikasi Rata-rata Persentase Lemak Berdasar Kategori menurut American Council on Exercise Deskripsi
Wanita
Pria
Essensial Fat
10-13%
2-5%
Athlete
14-20%
6-13%
Fitness
21-24%
14-17%
Average
25-31%
18-24%
Obese
32%+
25%+
Sumber : American Council on Exercise, 2009. 2.4.3 BMR Tingkat energi minimum yang diperlukan untuk bertahan hidup saat keadaan tubuh sedang beristirahat dinamakan kecepatan metabolik basal atau basal metabolic rate (BMR). BMR mencakup sekitar 50-70% dari energi harian yang dipakai pada individu tidak aktif (sedentary) (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).
31
Gambar 2.4 Komponen Pengeluaran Energi Sumber : Guyton & Hall, 2007 Karena tingkat aktivitas fisik sangat bervariasi di antara individu yang berbeda, pengukuran BMR dapat berfungsi sebagai perangkat yang berguna dalam membandingkan kecepatan metabolisme seseorang dengan orang lain (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). Metode yang biasa digunakan untuk menentukan BMR adalah dengan mengukur kecepatan penggunaan oksigen selama waktu yang ditentukan di bawah kondisi-kondisi berikut : a. Seseorang tidak boleh makan paling sedikit 12 jam terakhir. b. Kecepatan metabolisme basal ditentukan setelah tidur penuh semalaman c. Tidak melakukan pekerjaan berat selama setidaknya 1 jam sebelum pengujian d. Semua faktor fisik dan psikis yang menimbulkan rangsangan harus dihilangkan. e. Suhu kamar harus nyaman dan berkisar antara 680 dan 800F.
32
f. Selama pengujian, tidak diijinkan melakukan aktivitas fisik apapun (Guyton & Hall, 2007) Nilai BMR normalnya berkisar antara 65 sampai 70 kalori per jam pada laki-laki kebanyakan yang berat badannya 70 kilogram. Walaupun kebanyakan BMR terpakai dalam aktivitas esensial sistem saraf pusat, jantung, ginjal, dan organ lainnya, variasi dalam BMR di antara individu yang berbeda terutama terkait pada perbedaan jumlah otot rangka dan ukuran tubuh (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). Otot rangka, bahkan dalam keadaan istirahat, mencakup 20 sampai 30 persen dari BMR. Karenanya, BMR biasanya dikoreksi untuk perbedaan yang berasal dari ukuran tubuh dengan menyatakannya dalam Kalori per jam per meter persegi luas permukaan tubuh, yang dihitung dari tinggi dan berat badan (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). Sebagian besar penurunan BMR akibat penambahan usia terkait juga dengan penambahan jaringan adiposa yang menggantikan massa otot yang hilang, yang mempunyai kecepatan metabolisme lebih rendah. Berbanding lurus dengan perbandingan kelamin dimana wanita kecepatan metabolisme lebih rendah dibandingkan dengan pria dikarenakan massa otot yang lebih rendah dan jumlah jaringan adiposa yang lebih tinggi (Guyton & Hall, 2007). 2.4.4 Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) BIA adalah suatu metode pengukuran komposisi tubuh dengan menerapkan konsep konduksi listrik tubuh. Mesin BIA akan menciptakan arus yang melewati seluruh tubuh melalui pemasangan elektroda pada tangan dan atau kaki. Fungsi
33
dasarnya untuk mengukur “apa” yang menyebabkan tubuh resisten dan reaktif terhadap arus tersebut. Semakin besar jumlah air dan cairan dalam tubuh, semakin mudah arus melintas dari tangan hingga kaki. Bila semakin sedikit, maka semakin sulit arus untuk menjalar. Konduktivitas pada darah dan urin tinggi, pada otot sedang, dan pada tulang, lemak dan udara, rendah (TNC-CDAAR, 2003). BIA menggabungkan berbagai model teori. Model yang paling sederhana, yang melibatkan tangan-kaki atau pengukuran kaki-kaki pada frekuensi 50 KHz. Publikasi dari data BIA pada populasi sangat spesifik namun buruk pada individu yang sehat, dengan tingkat kesalahan lemak individual ± 8%. Data pediatri yang telah dipublikasikan digunakan untuk menunjukkan kondisi penyakit seperti obesitas, kista fibrosis, dan HIV. Namun, akurasi pada individu tetap buruk dan hasil pengukuran dapat dikacaukan oleh status klinis (Wells & Fewtrell, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa BIA memiliki penilaian yang baik untuk mengukur lean atau massa lemak pada manusia. Bila dibandingkan dengan IMT, antropometri, dan metode skin fold, BIA menunjukkan hasil terpercaya untuk mengukur adipositas pada jaringan tubuh (Khalil, et al., 2014) BIA menyediakan penempatan elektroda yang konsisten, dan karenanya cocok untuk menilai perubahan jangka pendek pada TBW individual. Mengingat bahwa pertumbuhan relatif konsisten selama jangka waktu yang singkat, pengukuran dengan BIA memiliki indikasi yang dapat menunjukkan arah perubahan FFM, tapi tidak cukup akurat untuk mengukur nilai besarannya (Wells & Fewtrell, 2006).
34
Prosedur pengukuran dengan menggunakan BIA adalah sebagai berikut (TNC-CDAAR, 2003) : a. Dimulai dengan menunjukkan alat BIA dan menjelaskan secara jelas dan detail penggunaannya kepada subjek b. Tempat pengukuran harus nyaman dan bebas dari berbagai alat yang menghasilkan panas dari listrik c. Cek kalibrasi dan baterai alat d. Subjek tidak melakukan latihan olahraga atau sauna selama 8 jam sebelum pengukuran e. Subjek tidak meminum alkohol 12 jam sebelum pengukuran f. Subjek tidak dalam kondisi diaphroretic (berkeringat) atau menahan kencing. g. Pastikan kenyamanan subjek dan tidak ada pergerakan yang dilakukan subjek selama waktu pengukuran h. Lepaskan perhiasan atau benda logam pada area telapak tangan i. Bersihkan elektroda dengan alkohol swab, terutama bila kulit subjek berkeringat atau menggunakan pelembab. j. Hidupkan alat dan ubah nilai pada panel layar ke nilai 0 k. Subjek dipersilahkan untuk memegang kedua elektroda dengan kedua tangannya. l. Setelah beberapa detik, nilai pengukuran akan muncul dan lalu catat nilai tersebut. m. Matikan alat dan bersihkan elektroda dengan alkohol swab
35
2.5
Peningkatan Lemak Tubuh terhadap Patogenesis Penyakit Overweight hingga mencapai obesitas dapat didefinisikan sebagai kelebihan
lemak tubuh. Hal ini sebabkan oleh pemasukan jumlah makanan yang lebih besar daripada pemakaiannya oleh tubuh sebagai energi. Makanan berlebihan, baik lemak, karbohidrat, maupun protein, kemudian disimpan hampir seluruhnya sebagai lemak di jaringan adiposa, untuk dipakai kemudian sebagai energi. Oleh karena itu, kelebihan adipositas disebabkan masukkan energi yang melebihi pengeluaran energi. Untuk setiap kelebihan energi sebanyak 9,3 kalori yang masuk ke tubuh, kira-kira 1 gram lemak akan disimpan. Sebelumnya diyakini bahwa jumlah adiposit dapat bertambah hanya selama masa balita dan kanak-kanak dan bahwa kelebihan masukan energi pada anak dapat menimbulkan obesitas hiperplastik, yang ditandai dengan peningkatan jumlah adiposit dan hanya terjadi sedikit peningkatan ukuran adiposit (Kumar, et al., 2007; Guyton & Hall, 2007). Sebaliknya, obesitas pada orang dewasa diyakini timbul sebagai akibat peningkatan ukuran adiposit, yang menimbulkan obesitas hipertrofik. Akan tetapi, beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa adiposit yang baru dapat berkembang dari fibroblas yang mirip dengan preadiposit di segala usia, dan perkembangan obesitas pada orang dewasa juga terjadi akibat penambahan jumlah adiposit dan peningkatan ukurannya. Seseorang dengan obesitas yang ekstrem dapat memiliki adiposit sebanyak empat kali normal, dan setiap adiposit memiliki lipid dua kali lebih banyak dari orang yang kurus. Begitu seseorang menjadi obese dan berat badannya stabil, masukan energi sekali lagi akan seimbang dengan pengeluaran energi. Agar seseorang dapat mengurangi berat badannya, masukan
36
energi harus lebih kecil dari pengeluaran energi (Kumar, et al., 2007; Guyton & Hall, 2007). Peningkatan lemak tubuh hingga mencapai kondisi obesitas mampu meningkatkan resiko terjadinya suatu penyakit. Secara umum, baik pada pria maupun wanita, meningkatnya lemak tubuh hingga mencapai obesitas akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis, jantung koroner, diabetes tipe 2, hingga kematian prematur (ACSM, 2010). Dijelaskan lebih khusus bahwa efek merugikan obesitas berkaitan tidak saja dengan berat badan total, tetapi juga distribusi simpanan lemak. Obesitas sentral atau viseral, yang lemaknya menumpuk di badan dan rongga abdomen (mesenterium dan sekitar viseral) memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk beberapa penyakit dibandingkan dengan kelebihan lemak pada jaringan subkutan (Kumar, et al., 2007). Obesitas sentral meningkatkan risiko sejumlah penyakit, termasuk diabetes, hipertensi, hipertrigliseridemia, kolesterol HDL yang rendah, dan kemungkinan juga penyakit arteri koronaria. Mekanisme yang mendasari hubungan ini rumit dan tidak langsung berkaitan. Contohnya, obesitas berkaitan dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia, suatu gambaran penting pada diabetes tipe 2, dan penurunan dari berat badan menyebabkan timbulnya perbaikan dari patologi ini. Akibat dari kelebihan insulin, akan berdampak pada terjadinya retensi natrium, ekspansi volume darah, pembentukan norepinefrin secara berlebihan, dan proliferasi otot polos yang merupakan tanda utama hipertensi. Disimpulkan bahwa risiko
37
mengalami hipertensi di antara orang yang semula normotensive meningkat sebanding dengan berat badan (Kumar, et al., 2007). Lalu, dari hipertrigliseridemia dan kolesterol HDL rendah berkorelasi dengan peningkatan risiko penyakit arteri koronaria pada orang yang sangat gemuk. Hubungan antara obesitas dan penyakit jantung tidaklah secara langsung, melainkan merupakan proses yang panjang dan rumit, dengan contoh dari obesitas hingga munculnya diabetes, hipertensi dan arteri koronaria yang langsung berhubungan dengan penyakit jantung (Kumar, et al., 2007). Orang dengan kelebihan lemak tubuh juga mengalami kolelitiasis (batu empedu) daripada orang normal. Faktor penyebabnya dikarenakan jumlah kolesterol tubuh yang tinggi, meningkatkan perputaran kolesterol, dan percepatan ekskresi kolesterol melalui empedu yang akhirnya memudahkan terbentuknya batu empedu kaya kolesterol (Kumar, et al., 2007). Orang yang sangat gemuk juga mengalami sindrom hipoventilasi (pickwickian syndrome) yaitu suatu konstelasi kelainan pernapasan yang menyebabkan mudahnya jatuh tertidur atau hipersomnolensi. Hipersomnolensi terjadi pada siang dan malam hari, disertai dengan episode apnea saat tidur, polisitemia, dan akhirnya gagal jantung kanan (Kumar, et al 2007). Kelebihan lemak tubuh juga meningkatkan penyakit degeneratif sendi yaitu osteoarthritis. Risiko penyakit ini akan semakin meningkat bila terjadi pada usia lanjut yang mengalami gangguan kelebihan berat badan. Selain karena disebabkan oleh efek kumulatif dari wear and tear pada sendi, osteoarthritis juga diperparah
38
oleh peningkatan beban berat tubuh yang menyebabkan semakin meningkatnya trauma seiring berjalannya waktu (Kumar, et al 2007). Obesitas dan kanker juga memiliki kaitan, terutama kanker endometrium dan payudara. Pada kanker endometrium, dijelaskan bahwa obesitas meningkatkan kadar estrogen, dan dari kadar estrogen yang tinggi meningkatkan risiko terjadinya kanker endometrium. Sedangkan pada kanker payudara, studi observasi menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya kanker pada wanita pascamenopause dan dengan obesitas sentral (Kumar, et al., 2007). 2.6
Faktor Penyebab Penumpukan Lemak Berlebih Penyebab overweight hingga menjadi obese sangat kompleks. Meskipun
gen berperan penting dalam menentukan asupan makanan dan metabolisme energi, gaya hidup dan faktor lingkungan dapat berperan penting pada banyak orang dengan berat badan berlebih. Peningkatan prevalensi obesitas yang cepat dalam kurun waktu 20 sampai 30 tahun terakhir, memperkuat pentingnya peran faktor lingkungan dan gaya hidup (Kumar, et al., 2007; Guyton & Hall, 2007). Faktor penyebabnya adalah sebagai berikut : a.
Gaya Hidup Penyebab utama terjadinya berat badan berlebih adalah gaya hidup
tidak aktif dimana aktivitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan massa otot dan mengurangi massa lemak tubuh, sedangkan sebaliknya, aktivitas yang tidak adekuat dapat menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas. Sekitar 25 hingga 30 persen energi yang digunakan setiap hari oleh rata-rata orang ditujukan untuk aktivitas
39
otot, dan pada seorang pekerja kasar / buruh, sebanyak 60-70 persen digunakan untuk tujuan tersebut. Pada orang dengan obesitas, peningkatan aktivitas fisik biasanya akan meningkatkan pengeluaran energi melebihi asupan makanan, yang berakibat penurunan berat badan yang bermakna. Bahkan sebuah episode aktivitas berat dapat meningkatkan pengeluaran energi basal selama beberapa jam setelah aktivitas fisik tersebut dihentikan. Karena aktivitas otot adalah cara terpenting untuk mengeluarkan energi dari tubuh, peningkatan aktivitas fisik sering kali menjadi cara yang efektif untuk mengurangi simpanan lemak (Kumar, et al., 2007; Guyton & Hall, 2007). b.
Prilaku Makan Prilaku makan seperti faktor mulut juga ikut andil dalam
menyebabkan kejadian penumpukan lemak berlebih, yang berkaitan dengan prilaku mengunyah, salivasi, menelan, dan mengecap, akan mengukur makanan sewaktu makanan tersebut memasuki mulut, dan bila makanan dalam jumlah tertentu sudah masuk , pusat makan di hipotalamus akan dihambat. Efek inhibisi ini tidak terlalu kuat dan hanya berlangsung singkat selama 20 sampai 40 menit. Prilaku makan juga ditentukan oleh suhu lingkungan yang telah diteliti pada hewan termasuk mamalia manusia. Bila suhu lingkungan yang terpapar adalah udara dingin, maka akan terjadi kecenderung peningkatan prilaku makan, sebaliknya bila terpapar udara panas, cenderung untuk mengurangi asupan kalorinya. Ini terjadi akibat adanya interaksi antara sistem pengaturan suhu dan sistem pengaturan
40
asupan makan di dalam hipotalamus. Proses ini penting dikarenakan asupan makanan pada tubuh yang kedinginan akan meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh dan menyediakan banyak lemak yang berfungsi sebagai penahan panas, sehingga kedua hal tersebut akan mengurangi rasa dingin pada tubuh (Kumar, et al., 2007; Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010; Pearce, 2011). c.
Lingkungan dan Psikologis Faktor selanjutnya adalah faktor lingkungan dan psikologis yang
saling berkaitan. Faktor lingkungan yang sangat terlihat dampaknya terdapat pada sebagian besar negara maju, dimana jumlah makanan dengan kandungan energi tinggi (terutama makanan berlemak) berlimpah disertai dengan perkembangan teknologi yang membuat pekerjaan manusia jauh lebih ringan sehingga meningkatkan gaya hidup tidak aktif. Faktor psikologis yang paling banyak terjadi adalah bila individu mengalami stress hingga depresi dan prilaku makan menjadi sarana penyaluran stress sehingga berdampak pada kenaikan berat badan (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). d.
Pola Makan Dini Pada tahun-tahun pertama kehidupan, kecepatan pembentukan sel-
sel lemak yang baru meningkat pesat dan makin besar kecepatan penyimpanan lemak, makin besar pula jumlah sel lemak. Anak-anak cenderung untuk mengikuti pola makan dalam keluarganya dan ini menentukan bagaimana prilaku makan anak tersebut hingga tua nanti. Bila
41
kebiasaan keluarganya menerapkan pola makan yang teratur dengan apa yang dimakan harus sampai pada kondisi mengenyangkan, ini bisa menyebabkan dampak obese pada anak tersebut. Secara fisiologis, jumlah sel lemak pada anak obese tiga kali lebih banyak dari jumlah sel lemak pada anak dengan berat badan normal. Demikian, prilaku nutrisi yang diberikan pada masa anak-anak-terutama pada bayi dan yang lebih jarang pada masa kanak-kanak berikutnya dapat menimbulkan obesitas di kemudian hari (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011). e.
Kelainan Neurogenik Kelainan neurogenik juga dapat menyebabkan penumpukan lemak
berlebih. Kelainan yang dimaksud bisa berupa lesi pada nucleus ventromedial hipotalamus yang dapat menyebabkan makan secara berlebihan, bisa juga pada individu dengan gangguan tumor hipofisis yang menginvasi hipotalamaus yang sering kali mengalami obesitas yang progresif.
Walaupun kerusakan hipotalamus pada orang obese sangat
jarang terjadi, namun susunan fungsional hipotalamus atau pusat makan neurogenik lainnya pada orang obese dapat berbeda dengan orang normal. Abnormalitas neurotransmitter juga dijumpai pada jaras saraf hipotalamus yang mengatur prilaku makan. Teori ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan pada orang obese dimana diberlakukan diet ketat sehingga berat badan orang tersebut normal kembali. Hasilnya berupa rasa lapar yang jauh lebih hebat daripada orang normal. Hal tersebut diartikan sebagai set-point sistem pengaturan prilaku makan pada orang obese diatur pada tingkat
42
penyimpanan zat nutrisi yang lebih tinggi daripada tingkat set-point pada orang non-obese. Ini menandakan terjadinya perubahan yang nyata pada hipotalamus yang menimbulkan rasa lapar yang hebat dan penurunan berat badan yang drastis. Sebagian dari perubahan ini meliputi peningkatan produksi neurotransmitter oreksigenik seperti NPY dan penurunan pembentukan zat anoreksigenik seperti leptin dan α-MSH (Kumar, et al., 2007; Guyton & Hall, 2007). f.
Genetik Obesitas jelas menurun dalam keluarga dengan angka kejadian 20
sampai 25 persen obesitas disebabkan oleh faktor genetik. Gen dapat berperan dalam obesitas dengan menyebabkan abnormalitas satu atau lebih jaras yang mengatur pusat makan dan pengeluaran energi dan penyimpanan lemak. Selanjutnya, penyebab monogenik dari obesitas bisa berupa mutasi MCR-4 (penyebab monogenik tersering), defisiensi leptin kongenital yang diakibatkan mutasi gen namun sangat jarang terjadi, dan mutasi reseptor leptin yang juga jarang terjadi. Penyebab monogenik hanya ditemukan pada persentase sangat kecil dari keseluruhan kasus obesitas (Kumar, et al., 2007; Guyton & Hall, 2007). 2.7
Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh Bila sebelumnya hanya dibahas teknik pengukuran komposisi tubuh yang
hanya berkaitan langsung dengan lemak tubuh, maka kali ini akan dijabarkan beberapa teknik selain di atas yang bisa digunakan untuk mengukur komposisi tubuh.
43
2.7.1 Skinfold Thickness atau Skinfold Calliper Skinfold calliper
digunakan untuk pengukuran secara individual pada
jumlah lemak atau ketebalan lemak pada area yang spesifik. Pengukuran dengan teknik ini cepat dan mudah mendapatkan hasil pada sebagian besar kelompok umur termasuk balita. Secara umum, kesalahan intraobservasi dan interobservasi sangat rendah bila dibandingkan dengan teknik pengukuran antara variabilitas subjek, namun pada anak-anak obesitas, akurasi dan ketepatan teknik ini sangat buruk. Kegunaan utama skinfold terletak pada penggunaan data kasar, dimana ada indikasi reliabilitas pada masing-masing regional lemak. Data ini bisa dikonversi menjadi format standard deviation score (SDS) untuk evaluasi longitudinal. Hasil publikasi dari penggunaan kontemporer skinfold pada anak-anak dapat digunakan untuk prioritas penelitian assessment pada pasien dengan ketebalan lemak yang relatif (Wells & Fewtrell, 2006). 2.7.2 Lingkar Perut (Waist Circumference) Merupakan pengukuran yang sederhana untuk obesitas sentral, dengan lebih prediktif daripada hasil yang meragukan antara profil lipid atau resistensi insulin dibandingkan total lemak. Pada orang dewasa, rasio pinggang-pinggul secara independen terkait dengan morbiditas setelah penyesuaian pada berat badan relatif, sehingga penggunaan dari berat relatif dan bentuk tubuh secara bersamaan memberikan perkiraan lebih baik pada risiko morbiditas daripada penggunaan yang sendiri-sendiri (Wells & Fewtrell, 2006).
44
2.7.3 Teknik Dua Komponen dan Model Metode dua komponen membagi tubuh menjadi FM dan FFM. Teknik ini menghindari dua kesulitan teknik sebelumnya, yaitu, menangani kedua komponen berat dan menghindari kebutuhan untuk memprediksi jumlah massa total dari regional atau lapisan superfisial. Namun, tetap berpegang pada landasan teori seperti komposisi FFM (Wells & Fewtrell, 2006). Antara kelahiran dan menjadi dewasa, pematangan kimiawi dari lean mass terjadi, dimana proporsi relatif dari tiga komponen utama (air, protein, dan mineral) berubah sesuai usia dan status pubertas. Dalam teknik dua komponen, perubahan ini ditangani dengan mengasumsikan karakteristik lean mass konstan untuk usia tertentu dan kelamin. (Wells & Fewtrell, 2006). Berbagai metode yang tersedia ialah : a.
Dual Energy X-ray Absorptiometry (DXA) DXA dikembangkan untuk mengukur massa mineral tulang, dengan perhitungan dari penyerapan differensial x-ray pada dua energi yang berbeda. Karena perhitungan ini membutuhkan penyisihan (dan karenanya juga suatu kuantifikasi) atas jaringan lunak, nilai adipositas dan juga FFM pada keseluruhan tubuh, menggunakan instrumen dengan algoritma yang spesifik (Wells & Fewtrell, 2006). Perhitungan DXA sangat cepat dan dapat diterima pada anak-anak sekitar usia 4 tahun, dan juga dapat digunakan pada bayi di bawah usia 2 tahun. Metode ini menggunakan radiasi ion namun dengan dosis yang efektif pada instrumen yang kontemporer di bawah tingkat latar belakang
45
(usia, jenis kelamin, dll). Bias yang bervariasi dengan usia dan kegemukan, dan dalam beberapa kasus, pada berbagai tingkatan penyakit. Antara kelompok cenderung mengidentifikasi arah perubahan, tetapi gagal untuk mengukur perbedaan yang akurat, sedangkan akurasi pada individu dapat diukur untuk memproleh peningkatan atau penurunan berat badan yang dapat dikacaukan oleh status perubahan berat badan (Wells & Fewtrell, 2006). Keterbatasan DXA bervariasi sesuai dengan bentuk tubuh dan hasil pengukuran. DXA dapat memberikan informasi yang berguna pada lemak relatif dan lean mass sebagai pengukuran tunggal dalam individu, khususnya yang berkaitan dengan lean mass tungkai. Tapi pengukuran pada jaringan lunak terhambat oleh referensi satuan normal per jaringan, sedangkan pada jaringan tulang, memiliki akurasi yang baik (Wells & Fewtrell, 2006). b.
Densitometry Metode ini membedakan antara FM dan FFM, dengan asumsi densitas dua jaringan, dan karena itu memerlukan densitas dari keseluruhan tubuh (massa tubuh / volume tubuh). Sementara kepadatan lemak memang relatif konstan, yang dari FFM bervariasi menurut komposisinya. Variabilitas ini sebagian didapat dari prose pematangan kimiawi yang terjadi sebelum dewasa, tetapi variabilitas antarindividu juga signifikan, bahkan pada anak-anak yang sehat (Wells & Fewtrell, 2006).
46
Secara umum, densitometri tidak cocok untuk diaplikasikan sebagai teknik dua komponen pada pasien yang komposisi lean mass abnormal. Efek khusus dari abnormalitas ini adalah retensi kelebihan cairan dan undermineralisation, baik mengurangi kepadatan lean mass dan karenanya menyebabkan kegemukan yang terlalu tinggi. Dengan demikian, densitometri mungkin berguna untuk memantau perubahan dari waktu ke waktu pada individu kelebihan berat badan atau obesitas, dan akurasinya kurang dari DXA pada perubahan longitudinal yang dikacaukan oleh kegemukan (Wells & Fewtrell, 2006). c.
Isotope Dilution (Hydrometry) Dilusi atau pengenceran deuterium dapat digunakan untuk mengukur TBW, memungkinkan estimasi FFM. Dosis dari air dengan deuterium, mengikuti kondisi keseimbangan, mengukur kondisi “kolam air” tubuh menggunakan saliva, urin, atau darah. Sampel secara umum di analisis dengan massa spektrometri rasio isotop (Wells & Fewtrell, 2006). Estimasi FFM dari TBW membutuhkan nilai yang diasumsikan untuk hidrasi FFM. Saat ini dilusi isotop paling baik digunakan untuk menilai hidrasi normal atau tidak pada populasi dengan normalitas yang telah diketahui (Wells & Fewtrell, 2006). Dilusi isotop sederhana untuk dilaksanakan dan membutuhkan kerjasama subjek yang minimal. Hal ini penting untuk pada bayi dan balita karena kepatuhan yang rendah, dan dapat dengan mudah digunakan dalam studi lapangan (Wells & Fewtrell, 2006).
47
d.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI adalah teknik pencitraan yang memperkirakan volume daripada massa suatu jaringan adiposa. Dengan menganalisis penyerapan dan emisi energi dalam rentang frekuensi radio dari spektrum elektromagnetik, teknik ini menghasilkan gambar berdasarkan variasi spasial dalam fase dan frekuensi energi yang diserap maupun dipancarkan. Terutama energi inti hidrogen, yang terletak baik di dalam air atau lemak, dan menggunakan hasil data ini untuk membedakan jenis jaringan di “irisan pencitraan” yang kemudian dapat disimpulkan untuk menghitung volume jaringan per regional (Wells & Fewtrell, 2006). Kesulitan dalam menggunakan MRI ada dua yaitu pertama, dalam mendapatkan massa lemak, perlu untuk membedakan kandungan lemak dari jaringan adiposa dan kepadatan lemak. Yang kedua, massa lemak yang dilihat oleh MRI hanya massa lemak pada jaringan adiposa. Dengan demikian
teknik
seperti
densitometri,
hydrometry,
atau
model
multikomponen lain mengukur entitas yang berbeda dari MRI, yaitu total massa lemak dengan massa jaringan adiposa (Wells & Fewtrell, 2006). Keunggulan utama dari MRI dari teknik lain adalah kapasitasnya dalam untuk mengukur komposisi tubuh per regional, dan saat ini menjadi teknik terakurat dan sesuai untuk pengukuran jaringan adiposa intraabdominal (Wells & Fewtrell, 2006).
48
2.7.4 Multikomponen Model Multikomponen model mampu meminimalkan asumsi yang dibuat dalam model sederhana dan oleh karena itu, paling baik untuk mengatasi variabilitas dalam komposisi lean mass. TBW dan mineral tulang yang diukur dengan teknik khusus yang dirancang untuk tujuan tersebut, mampu meningkatkan akurasi hasil. Saat model dua komponen menilai poin penting sifat tubuh, multikomponen mampu mengukur keseluruhan sifat tersebut, dan dapat memberikan data tentang hidrasi, kepadatan, dan mineralisasi FFM. Hal ini sangat penting pada pasien pediatri, yang diantaranya memiliki komposisi tubuh tidak teratur. (Wells & Fewtrell, 2006). Model multikomponen membagi berat badan menjadi lemak, air, dan sisanya berupa jaringan kering bebas lemak, dan membutuhkan pengukuran dari berat badan, hidrasi tubuh dengan hydrometry, dan volume tubuh dengan densitometri. Keempat komponen selanjutnya membagi jaringan kering bebas lemak menjadi protein dan mineral, dan membutuhkan data yang sama serta ditambah dengan pengukuran mineral tulang dengan DXA (Wells & Fewtrell, 2006). 2.8
Burpee Interval Training
2.8.1 Definisi Burpee Interval Training Burpee Interval Training (BIT) merupakan suatu bentuk latihan kombinasi dari Basic Burpee atau Squat Thrust dengan Sprint Interval Training (SIT). Burpee sendiri diciptakan oleh Royal H. Burpee, seorang fisiologis dari New York City pada tahun 1939. Tujuan awal diciptakan Burpee adalah untuk menilai kebugaran
49
individu sehari-hari disaat penerapan ilmu olahraga saat itu sebagian besar hanya berkaitan dengan mengukur kebugaran pada individu yang sudah bugar (Tamarkin, 2014). Menurut kamus Oxford sendiri, burpee didefinisikan sebagai latihan fisik yang terdiri dari squat thrust yang berawal dan berakhir pada posisi berdiri. Latihan ini terdiri dari 4 (empat) hitungan gerakkan dasar yang melibatkan hampir seluruh otot tubuh dan dilakukan dengan sangat cepat. Dimulai dari posisi awal berdiri, lalu melakukan squat down (jongkok) disertai meletakkan tangan di lantai sejajar dengan tubuh depan, dilanjutkan dengan melemparkan kaki ke belakang (leg thrust) hingga mencapai posisi plank (tengkurap dengan tangan tetap tegap), lalu tarik kembali kaki ke posisi squat down, dan diakhiri dengan posisi berdiri (Tamarkin, 2014). Analisa gerakkan burpee adalah sebagai berikut :
Gambar 2.5 Posisi Awal Berdiri Sumber : Tamarkin, 2014
50
a.
Posisi awal dari berdiri menuju squat down Dilakukan hingga telapak tangan menyentuh tanah. Gerakkan yang terjadi berupa flexi knee dan hip serta dorsifleksi ankle. Flexi spine juga terjadi dalam derajat rendah. Pergerakan ini membutuhkan kontraksi esentrik dari quadriceps, hamstrings dan gluteus maximus. Otot punggung juga bekerja untuk menghindari flexi spine yang berlebihan. Otot ekstremitas atas bekerja secara eksentrik untuk menahan dada dalam posisi tinggi yang wajar (Neumann, et al., 2002).
Gambar 2.6 Squat Down Sumber : Tamarkin, 2014 b.
Posisi dari squat down menuju leg thrust Dari posisi squat down, gunakan lengan untuk menahan tubuh bagian atas, serta keseluruhan tungkai dilempar ke belakang sampai posisi tubuh memanjang horizontal sampai pada posisi planck. Gerakkan ini memerlukan kontraksi konsentrik dari
51
quadriceps untuk ekstensi knee, dan kontraksi konsentrik dari hamstring dan gluteus maximus untuk ekstensi hip (Neumann, et al., 2002). c.
Posisi leg thrust disertai planck Sebagian besar kontraksi otot yang terjadi pada posisi ini merupakan kontaksi isometrik. Saat tumit mennyentuh tanah, quadriceps dan flexor hip berkontraksi isometrik untuk mencegah tungkai dan hip jatuh ke tanah serta otot rectus abdominis berkontraksi isometrik untuk menstabilkan bagian tulang belakang (Neumann, et al., 2002).
Gambar 2.7 Planck Sumber : Tamarkin, 2014 Pectoralis major, anterior deltoid dan rotator cuff berkontraksi isometrik untuk menstabilkan shoulder dan triceps brachii juga berkontraksi isometrik untuk menstabilkan elbow. Pada bagian ini, kekuatan otot tersebut harus cukup kuat untuk melawan
52
efek gravitasi dan mencegah bagian dada jatuh ke tanah (Neumann, et al., 2002). Grup otot scapula, trapezius, rhomboids, serratus anterior, dan pectoralis minor berkontaksi isometrik untuk menstabilkan scapula. Grup otot ini saling bekerja sama untuk menstabilkan scapula sehingga otot dari rotator cuff mempunyai dasar yang kuat untuk gerakkan selanjutnya (Neumann, et al., 2002). Grup otot leher juga berkontraksi isometrik untuk menstabilkan bagian core dan mencegah timbulnya gerakkan yang tidak diharapkan dari spine. Grup otot yang berfungsi ekstensi dan flexi spine juga saling bekerja sama untuk menstabilkan spine (Neumann, et al., 2002). d.
Posisi dari leg thrust kembali menuju squat down Perubahan posisi ini memerlukan kontraksi kuat dari otot yang bekerja. Gastrocnemius berkontraksi kuat untuk melakukan plantar flexi, mengangkat kaki dari tanah sehingga knee dan hips bisa flexi secara cepat dan mengembalikan tubuh ke posisi squat down (Neumann, et al., 2002). Flexi hip disebabkan oleh kontraksi konsentrik dari iliopsoas dan rectus femoris, dan flexi knee oleh kontraksi konsenstrik dari otot hamstrings. Sedangkan otot tubuh bagian atas bekerja sesuai dengan gerakkan sebelumnya yang bertujuan untuk menstabilkan tubuh bagian atas (Neumann, et al., 2002).
53
e.
Posisi dari squat down kembali menuju berdiri Perubahan menuju berdiri hampir sama seperti pada gerakkan awal, namun, ada tambahan bantuan dari otot gastrocnemius untuk membantu menegakkan tungkai. Selain itu, tetap terjadi kontraksi konsentrik dari quadriceps, gluteus maximus, dan hamstring yang menyebabkan ekstensi hip dan knee. Grup otot core juga berkontraksi untuk menstabilkan spine (Neumann, et al., 2002).
2.8.2 Fungsi Burpee Interval Training Perkembangan ilmu pengetahuan telah menyebabkan burpee tidak hanya dijadikan sebagai tes kebugaran saja, namun telah menjadi suatu latihan yang meningkatkan kekuatan otot, daya tahan, membakar kalori dan juga meningkatkan nilai EPOC (Healthline, 2015). EPOC atau excess post-exercise oxygen consumption merupakan nilai ukuran bertingkat terhadap asupan oksigen yang mengikuti beratnya aktivitas yang dimaksudkan untuk memenuhi defisit oksigen selama waktu tersebut (Scott & Kemp, 2005). Oksigen pada EPOC digunakan untuk memulihkan kondisi fisiologis tubuh pasca latihan, oleh karena itu, proses pembakaran kalori tetap terjadi sekalipun latihan telah usai dengan tujuan pemulihan (Saladin, 2012). Pada dua minggu perlakuan, akan terjadi peningkatan kapasitas oksidasi otot yang diukur dengan aktivitas maksimal atau jumlah protein pada enzim di mitokondria seperti sitrat sintase dan oksidase sitokrom (Burgomaster, et al., 2005; ; 2007; 2008; Gibala, et al., 2006). Selama dua minggu juga terjadi perubahan faktor
54
resiko metabolik seperti peningkatan resting fat oxydation dan penurunan resting carbohydrate oxidation. Dan juga penurunan besar lingkar perut dan pinggul selama waktu dua minggu pada pria dengan overweight dan obesitas sedentary (Whyte, et al., 2010). Bila dilanjutkan hingga enam minggu perlakuan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Fisher, menunjukkan ada penurunan komposisi tubuh yaitu penurunan berat badan, BMI, persentase lemak, kolesterol total, jumlah trigliserida, medium VLDL, hingga medium HDL (Fisher, et al., 2015). Penelitian lain juga mengemukakan bahwa interval training dengan usaha maksimal (>150% VO2peak) meningkatkan kapasitas oksidasi karbohidrat (jumlah besar pada piruvat dehidrogenase (PDH), glikogen, dan glukosa serta protein transport laktat GLUT 4 dan MCT 1 & 2), namun timbul juga peningkatan oksidasi lemak yang masih kontroversi (Burgomaster, et al., 2007; 2008). 2.8.3 Bentuk Latihan Burpee Interval Training Konsep yang digunakan pada Burpee Interval Training adalah latihan intenval intensitas tinggi berdasar pada Sprint Interval Training (SIT) dan termasuk dalam High-Intensity Interval Training (HIIT) (Mark, 2008). Yang dimasudkan dengan interval intensitas tinggi adalah latihan yang ditandai dengan percepatan berulang dengan upaya intensitas yang relatif, diselingi oleh periode istirahat atau latihan intensitas lebih rendah sebagai pemulihan. Bentuk yang paling sering digunakan adalah interval training Wingate Test, dimana menerapkan 30 detik “total” pengerahan tenaga dan kecepatan gerakkan, diselingi 4 sampai 5 menit istirahat. Satu waktu gerakkan total disertai istirahat disebut dengan 1 interval dan dalam satu sesi latihan dilakukan 4-6 interval. Perminggunya dilakukan tiga sesi
55
latihan dengan total waktu keseluruhan untuk satu latihan adalah ± 25 menit dengan beberapa tambahan waktu untuk pemanasan dan pendinginan yang disertakan dalam waktu istirahat (Gibala & McGee, 2008).
2.9
a. Intensitas
: 4 - 6 interval / 6 x (30 detik “all out”, 4 menit istirahat)
b. Frekuensi
: 3 x seminggu
c. Teknik
: Burpee
Latihan Aerobik Intensitas Ringan
2.9.1 Definisi Latihan Aerobik Intensitas Ringan Latihan aerobik adalah latihan yang menggunakan energi yang berasal dari pembakaran dengan oksigen. Contohnya, lari, jalan, senam dan bersepeda. . Menurut American College of Sports Medicine (ACSM) intensitas latihan aerobik harus mencapai 60-90% dari MHR (Maximum Heart Rate). Untuk latihan aerobik intensitas ringan, harus mencapai MHR sebesar 60-69%. Jalan aerobik atau disebut juga jalan sehat adalah jalan kaki yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan dan mempertahankan denyut jantung pada zona pelatihan 60-69% MHR selama 30 menit tanpa henti selama 3-4 kali dalam seminggu. Proses berjalan itu merupakan gabungan dari beberapa gerakan dalam usaha tubuh untuk memindahkan titik berat dan keseimbangan tubuh agar dapat berpindah tempat (Triangto, 2005). Proses berjalan terdiri dari 2 fase utama yaitu stance phase dan swing phase dengan 8 gerakan dalam 1 siklus gerakan jalan. a. Stance Phase Dibagi lagi menjadi 5 subdivisi dengan diawali dengan heel contact yaitu saat tumit bersentuhan dengan tanah, lalu dilanjutkan dengan foot flat yaitu
56
saat permukaan plantar tarsal bersentuhan dengan tanah. Mid stance merupakan titik poin saat berat tubuh ditopang penuh oleh ekstremitas bawah. Lalu dilanjutkan dengan heel off, yaitu saat tumit diangkat menjauhi tanah. Dan toe off, yaitu saat permukaan plantar tarsal diangkat menjauhi tanah (Neumann, et al., 2002). b. Swing Phase Dibagi menjadi 3 subdivisi, yaitu early swing, merupakan periode waktu antara toe off menuju mid swing. Dilanjutkan dengan mid swing, yaitu posisi pada mid stance dengan posisi yang berbeda antar pasangan ekstremitas bawah dimana satu kaki melakukan ayunan melewati kaki lainnya yang sedang dalam posisi tegak menopang. Dan diakhiri dengan late swing, yaitu periode dimana dari mid swing menuju saat telapak kaki bersentuhan dengan tanah (Neumann, et al., 2002).
Gambar 2.8 Fase Berjalan Sumber : Neumann, et al., 2002
57
Sama seperti olahraga pada umumnya, fase latihan aerobik ringan dengan jalan juga melalui fase-fase yang hampir mirip, yaitu, diawali dengan fase pemanasan, yang bertujuan mempersiapkan tubuh untuk menghadapi latihan yang lebih intensif. Dilanjutkan dengan fase latihan inti berupa peningkatan fungsional seluruh organ tubuh untuk mencapai target heart rate dengan durasi 15-30 menit. Diakhiri dengan fase pendinginan dengan tujuan mencegah penimbunan asam laktat pada otot, menurunkan kerja jantung dan nadi sehingga kondisi tubuh kembali ke keadaan semula (Nala, 2011). 2.9.2 Fungsi Latihan Aerobik Intensitas Ringan Efek dari latihan ini tidak hanya pada kebugaran kardiorespirasi, namun juga pada sistem metabolisme dimana latihan aerobik bisa meningkatkan jumlah kapiler, menurunkan jumlah lemak dalam darah dan meningkatkan enzim pembakar lemak (Kurniawati, 2010). Latihan aerobik intensitas ringan sampai sedang selama 30 menit akan membakar 250 kalori dan jika dilakukan selama 20 menit atau lebih akan membakar lemak di dalam tubuh (Ratmawati, 2013). Latihan aerobik yang dilakukan rutin seperti jalan kaki akan menimbulkan beberapa perubahan karena adanya stimulus pada otot. Pertama, perubahan pada jenis serat otot. Latihan aerobik intensitas ringan banyak menggunakan jenis otot slow twitch, sehingga terjadi perkembangan pada serat slow twitch. Kedua, pada latihan aerobik terjadi perubahan supplai kapiler dimana pada setiap ototnya menjadi lebih banyak 5-10% dan pada latihan dengan durasi yang lama dapat meningkat sampai 15%. Adanya peningkatan jumlah kapiler menyebabkan pertukaran gas, panas, sisa metabolisme dan nutrisi serta serat otot semakin besar.
58
Dan hasilnya, proses produksi energi pada kontraksi otot yang berulang-ulang tetap terjaga (Sugiharto, 2010). Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi utama dari proses oksidasi metabolisme. Pada aerobik intensitas ringan, proses oksidasi lemak akan meningkat. Ini dikarenakan sumber utama energi pada aerobik intensitas ringan berasal dari lemak. Latihan pada intensitas ini, yang sesuai dengan laju maximal fat oxidation dinamakan sebagai Fatmax. Latihan aerobik pada intensitas sesuai Fatmax berpotensial untuk meningkatkan fat oxidation rate (Fox) dan sensitivitas insulin pada orang obesitas maupun dengan gangguan metabolik sindrom (Dumortier, et al., 2003, Venables & Jeukendrup, 2008). Dan berdampak sangat signifikan pada perubahan komposisi tubuh serta kontrol glukosa (Maurie, et al., 2011). 2.9.3 Bentuk Latihan Aerobik Intensitas Ringan Latihan aerobik intensitas ringan dilakukan dalam bentuk latihan jalan kaki sesuai dengan fase berjalan selama 30 menit dilakukan selama 3 kali per minggu selama 6 minggu lamanya. Latihan ini harus mencapai zona latihan MHR 60-69% (ACSM, 2010; 2011). a. Intensitas
: 60-69% MHR
b. Waktu
: 30 menit
c. Frekuensi
: 3 x seminggu
d. Teknik
: Berjalan