6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1.
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Berpikir kritis menurut Boss (2010:4), adalah kumpulan dari beberapa
keterampilan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dibutuhkan untuk hal intelektual dan pengembangan pribadi. Kata kritis berasal dari bahasa Yunani yaitu kritikos, yang berarti ketajaman, kemampuan untuk menilai dan mempertimbangkan, atau pengambilan keputusan. Berpikir kritis, seperti logika, membutuhkan kemampuan analisis yang baik. Logika adalah bagian dari berpikir kritis yang didefinisikan sebagai metode dan prinsip yang digunakan untuk membedakan argument yang baik dan argument yang kurang baik. Berpikir kritis melibatkan aplikasi dari logika baik dalam mengumpulkan bukti, melakukan evaluasi, maupun dalam rencana pelaksanaan. Keterampilam berpikir kritis meerupakan bagian dari ketrampilan berpikir tingkat tinggi (Arnyana, 2007:670). Keterampilan berpikir kritis membutuhkan kemampuan untuk menganalisis dan menilai. Kemampuan menganalisis meliputi tiga macam proses yaitu mengidentifikasi motif yang spesifik, mempertimbangkan dan informasi yang diperlukan agar tercapai kesimpulan berdasarkan informasi, dan menganalisis suatau kesimpulan untuk mendapatkan bukti yang dapat menunjang atau menolak kesimpulan. Kemampuan menilai mencakup kemampuan menyampaikan pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu, misalnya, kemampuan dalam menilai argumen. Kemampuan evaluasi mencakup kemampuan dalam membuat pertimbangan atau penilaian untuk membuat keputusan. Kemampuan ini menuntut cara berpikir yang lebih tinggi daripada kemampuan menganalisis, sehingga kemampuan evaluasi juga menggambarkan tingkat penalaran. Seseorang yang mampu mengevaluasi
6
7
atau menilai maka siswa tersebut telah dapat menggunakan penalarannya untuk membuat keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Kemampuan berpikir kritis menurut Moon (2008:20), merupakan kemampuan berpikir secara mendalam yang ditunjukkan dengan mengharapkan sesuatu bukan informasi yang diterima dimana informasi tersebut kurang tepat atau memerlukan evaluasi lebih lanjut. Pengertian kemampuan berpikir kritis menurut Facione (2010:2-5), adalah kemampuan berpikir seseorang secara baik tentang suatu permasalahan yang mencakup enam aspek, yaitu aspek interpretasi (interpretation), analisis (analysis), evaluasi (evaluation), kesimpulan (inference), penjelasan (explanation), dan pengaturan diri (self-regulation). Pengertian kemampuan berpikir kritis yang diungkapkan dalam penelitian Quitadamo et al (2008:3), adalah sebuah proses yang bertujuan untuk memutusan, menilai dan mempertimbangkan pengaturan diri dimana dapat mengarahkan kepada penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa berpikir kritis didefinisikan sebagai suatu proses penilaian dan pengaturan diri yang mendorong pemecahan masalah serta pengambilan keputusan yang harus dilakukan, sehingga kemampuan berpikir kritis tersirat dalam suatu proses pembelajaran. Beberapa konsep dasar berpikir kritis yaitu berpikir kritis merupakan kemampuan seseorang dalam memproses informasi dari beberapa sumber kemudian memproses melalui suatu cara yang kreatif dan logis, menganalisis informasi, dan pada akhirnya membuat kesimpulan yang pasti, jelas, dan dapat dipercaya; berpikir kritis merupakan tantangan dari suatu teori atau ide; berpikir kritis merupakan kemampuan mengembangkan argumen, memilah atau menyusun ide-ide kemudian mengasosiasikannya menjadi ide yang kompleks; berpikir kritis merupakan analisis dari situasi yang didasarkan fakta, bukti sehingga didapat satu keputusan atau kesimpulan. Aktivitas yang menunjukkan kemampuan berpikir kritis menurut Moon (2008:31-33), antara lain mempelajari kembali suatu kasus atau ide dari orang lain (review of someone else’s argument), mengevaluasi suatu objek (evaluation of an object), mengembangkan argumen (development of an argument), berpikir kritis
8
terhadap diri sendiri (critical thinking about self), meninjau kembali suatu peristiwa (the review of an incident), terlibat dalam respon yang membangun terhadap argumen atau ide orang lain (engage in constructive response to the arguments of others), dan kebiasaan terlibat dengan alam sekitar (habits of engagement with the wold). Beberapa konsep berpikir kritis menurut Burris and Garton (2006:19), antara lain sikap yang mencakup kemampuan untuk mengakui adanya permasalahan dan menerima kebutuhan secara umum terhadap bukti-bukti yang mendukung permasalahan itu menunjukkan kebenaran; pengetahuan tentang kesimpulan yang benar, abstraksi, dan generalisasi yang akurat dari beberapa bukti yang menyertai; dan kemampuan dalam mengaplikasikan sikap dan pengetahuan. Berpikir kritis bukanlah kemampuan yang berdiri sendiri, berpikir kritis merupakan kumpulan beberapa keterampilan yang mempertinggi dan menguatkan satu sama lainnya. Berpikir kritis membutuhkan analisis dan dukungan logika untuk memperkuat pendapat. Keterampilan analisis sangat penting dalam mengenali dan mengevaluasi pendapat orang lain.
2. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Pembelajaran
dapat
berhasil
dengan
baik
apabila
guru
dapat
menampilkan pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik dan lingkungan belajar di kelas sehingga peserta didik dapat aktif selama proses pembelajaran berlangsung. Sudjana dalam Dimyati dan Mudjiono (1999: 63) menyatakan bahwa keterlibatan peserta didik / keaktifan peserta didik dapat dikondisikan. Salah satunya adalah dengan menentukan model pembelajaran yang tepat. Inkuiri berasal dari kata ”inquire”, yang berarti mencari atau mempertanyakan. Sedangkan Inkuiri secara harfiah berarti penyelidikan. Inkuiri ditandai dengan adanya pencarian jawaban yang mempersyaratkan siswa melakukan serangkaian kegiatan intelektual agar pengalaman ataupun masalah dapat dipahami. Karena itu, inkuiri menekankan pada kemauan siswa untuk
9
mengalami proses belajarnya sendiri. Proses pembelajaran dipandang sebagai stimulus yang dapat menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Sementara itu, Victor dan Kellough (2004) dalam Jacobsen (2009: 243) mengemukakan bahwa inkuiri merupakan sebuah proses dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memecahkankan masalah-masalah berdasarkan pada pengujian logis atas fakta-fakta dan observasi-observasi. Lebih lanjut, Mulyani (2001: 142) mengemukakan bahwa metode inkuiri
melibatkan peserta didik
dalam proses mental untuk menemukan informasi-informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya. Kegiatan-kegiatan yang melibatkan proses mental peserta didik menurut Mulyasa (2006: 109) dapat dilakukan dengan: mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena alam, merumuskan masalah,
menyusun
hipotesis,
merancang
dan
melakukan
eksperimen,
mengumpulkan serta menganalisis data, kemudian menarik kesimpulan. Model inkuiri juga dapat diterapkan dengan guru memberikan suatu benda/barang/buku yang masih asing kepada siswa, semua siswa diminta untuk mengamati, meraba, melihat dengan seluruh alat inderanya. Kemudian guru memberikan masalah/pertanyaan kepada seluruh siswa yang sudah siap dengan jawaban atau pendapat. Jawaban atau pendapat
yang sudah dikemukakan
terdahulu tidak boleh diulang oleh teman yang lainnya sehingga masalah berkembang sesuai dengan garis pelajaran yang telah direncanakan (Roestiyah. 2008: 76). Salah satu dasar penting untuk bisa melakukan inkuiri menurut Widodo (2009: 22) adalah kemampuan mengajukan pertanyaan produktif. Pertanyaan produktif adalah pertanyaan yang jawabannya bisa ditemukan melalui kegiatan atau pengamatan, sedangkan pertanyaan nonproduktif adalah pertanyaan yang jawabannya didasarkan pada buku atau sumber kedua lainnya. Ada beberapa perbedaan antara pertanyaan produktif dan pertanyaan nonproduktif. Jelly (1985) menyebutkan perbedaan pertanyaan produktif dan nonproduktif antara lain pertanyaan produktif mendorong munculnya pengertian bahwa sains adalah cara kerja sedangkan pertanyaan nonproduktif mendorong munculnya pengertian sains sebagai informasi. Dalam pertanyaan produktif
10
jawaban diperoleh dari pengamatan langsung yang menuntut tindakan pengamatan atau percobaan sedangkan pada pertanyaan nonproduktif jawaban diperoleh dari sumber kedua misalnya dari bacaan. Di samping itu, pertanyaan produktif mendorong munculnya kesadaran bahwa jawaban yang berbeda bisa saja benar, tergantung konteksnya. Adapun pertanyaan nonproduktif cenderung menekankan bahwa ada jawaban yang lebih benar. Selain itu, pertanyaan produktif mampu dijawab oleh semua anak sedangkan pertanyaan nonproduktif hanya mampu dijawab oleh anak berkemampuan verbal baik. Menurut Sund and Trowbridge (1973) dalam Mulyasa (2006:109) metode inkuiri dibagi menjadi tiga, yaitu inkuiri terbimbing, inkuiri bebas, dan inkuiri bebas yang dimodifikasi. Penelitian ini menggunakan metode inkuiri terpimpin (guide inquiry). Inkuiri terbimbing merupakan suatu metode yang diterapkan pada peserta didik yang belum terbiasa dengan metode inkuiri. Pembelajaran dilaksanakan dengan bantuan dari guru yang berupa guru memberikan pertanyaan-pertanyaan secara runtut dan sistematis kemudian dengan petunjuk yang jelas dari guru, peserta didik menyusun dan mengumpulkan data untuk memperoleh informasi yang diinginkan. Pada tahap awal bimbingan dan arahan cukup luas. Namun, sejalan dengan waktu, sedikit demi sedikit bimbingan dikurangi. Pendapat ini didukung oleh Asmani (2010: 159) yang menyatakan bahwa metode inquiri merupakan metode yang menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar, namun guru tetap memegang peranan penting sebagai perancang pembelajaran. Guru berperan sebagai pengarah siswa untuk melakukan suatu kegiatan. Guru dapat memancing pertanyaan-pertanyaan kepada peserta didik yang kemudian peserta didik aktif untuk memecahkan permasalahan yang diberikan. Dengan demikian, peserta didik aktif membaca buku, berpikir, bertukar pikiran dan berdiskusi. Tugas guru selain sebagai penggiring peserta didik, juga sebagai pencipta iklim yang kondusif dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini dapat diciptakan menggunakaan fasilitas media dalam bentuk modul pembelajaran. Asmani (2010: 158) mengatakan bahwa metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang mampu menyadarkan peserta didik mengenai apa yang
11
telah dialaminya dalam belajar. Siswa dituntut berpikir untuk memproses pengalaman yang telah didapatkannya menjadi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, proses inkuiri dapat berjalan dengan baik jika peserta didik memiliki bekal pengetahuan sebelumnya yang kemudian siswa memproses pengetahuan yang telah dimiliki menjadi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dari hasil inkuiri. Siklus inkuiri menurut Suwarna (2006: 122) meliputi observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data dan kesimpulan. Siklus inkuiri yang pertama adalah observasi. Peserta didik dihadapkan pada fenomena alam yang terjadi di sekitar lingkungan peserta didik untuk dilakukan pengamatan. Kemudian guru mengajukan pertanyaan kaitannya dengan fenomena tersebut, dilanjutkan dengan siswa mengajukan dugaan-dugaan kaitannya dengan pertanyaan.
Dugaan-dugaan
tersebut
dikumpulkan
kemudian
dilakukan
penyelidikan berdasarkan eksperimen atau dengan menggali berbagai informasi kemudian hasilnya dianalisis untuk kemudian penarikan kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Kesimpulan dapat diperoleh dengan jalan peserta didik aktif, kreatif, berpikir kritis, analitis dan produktif. Langkah-langkah dalam proses inkuiri menurut Wenno (2008: 62) adalah a. observasi, b. perumusan masalah, c. menetapkan jawaban sementara / hipotesis, d. siswa mencari informasi, data, fakta yang diperlukan, e. menarik kesimpulan jawaban. Implementasi inquiri di kelas adalah sebagai berikut: mengidentifikasi dan merumuskan situasi dengan jelas yang berarti memfokuskan inkuiri, guru mengajukan pertanyaa-pertanyaan, pertanyaan yang diberikan sejatinya adalah untuk merangsang keingintahuan peserta didik. Setiap peserta didik aktif berpikir menemukan dugaan-dugaan atas pertanyaan yang diberikan berdasarkan atas pengetahuan yang dimiliki, kemudian siswa mengumpulkan data yang relevan dengan hipotesis yang dibuat dengan cara menjelajahi informasi atau data eksperimen, selanjutnya mengevaluasi data tersebut untuk sampai kepada kesimpulan.
12
Menurut Sanjaya (2008:199-203) secara umum proses pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran inkuiri dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: orientasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data , menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan. Setiap langkah yang ada dalam inkuiri mengakomodasi ketrampilan proses sains. Menurut Roestiyah (2008:75) ada beberapa langkah dalam pelaksanaan pembelajaran inkuiri. Pertama, guru membagi tugas meneliti sesuatu maslah ke dalam kelas. Kedua guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Masingmasing kelompok mendapatkan tugass tertentu yang harus dikerjakan. Setiap kelompok mempelajari, meneliti, dan membahas tugas yang harus mereka kerjakan. Setiap kelompok menuliskan laporan hasil diskusi mereka dengan susanan yang baik. Hasil diskusi setiap kelompok didiskusikan secara bersamasama untuk kemudian diambil kesimpulan bersama. Langkah-langkah dalam inkuiri terbimbing ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Para siswa akan berperan aktif
melatih
keberanian,
berkomunikasi
dan
berusaha
mendapatkan
pengetahuannya sendiri untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tugas guru adalah mempersiapkan skenario pembelajaran sehingga pembelajarannya dapat berjalan dengan lancar. Salah satu cara yang dilakukan untuk mendukung terjadinya inquiri adalah dengan memberikan teka teki bergambar. Menurut Roestiyah (2008: 79) gambar, peragaan, atau situasi yang sesungguhnya dapat digunakan untuk meningkatkan cara berpikir kritis dan kreatif siswa. Keunggulan inkuiri menurut Hanafiah dan Suhana (2009: 79) yaitu: a. membantu peserta didik untuk mengembangkan penguasaan keterampilan dalam proses kognitif, b. peserta didik lebih mudah dalam memahami materi dan lebih mengendap dalam pikirannya, c. mampu motivasi dan gairah belajar peserta didik untuk belajar lebih giat lagi, d. memberikan peluang untuk maju dan berkembang sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing peserta didik, e. memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penyelidikan.
13
Sedangkan kelemahan yang dimiliki oleh inkuiri dalam pelaksaan pembelajaran di kelas menurut Hanafiah dan Suhana (2009: 79) adalah a. peserta didik harus memiliki kesiapan dan kematangan mental serta kemauan untuk mengetahui keadaan sekitar dengan baik, b. jumlah siswa yang besar menyebabkan pelaksanaan inkuiri kurang memuaskan, c. guru dan siswa yang sudah sangat terbiasa dengan pembelajaran gaya lama maka inkuiri ini akan sangat mengecewakan. Lebih lanjut, kelemahan metode inkuiri menurut Slameto (1991:117) adalah : a. Tidak dapat diterapkan secara aktif pada semua tingkatan kelas, b. Tidak semua guru/instruktur mampu menerapkannya, c. Terlalu menekankan aspek kognitif dan kurang menekankan aspek afektif, d. memerlukan banyak waktu. Sanjaya (2008:206) mengungkapkan bahwa ada beberapa kelebihan pembelajaran inkuiri. Yang pertama inkuiri menekankan pada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor siswa secara seimbangsehingga lebih bermakna. Kedua pembelajaran inkuiri memberikan ruang pada siswa belajar sesuai gaya belajar mereka. Ketiga, proses pembelajaran inkuiri dianggapsesuai dengan psikologi belajar modern dimana menuntut adanya proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Keempat, inkuiridapat meayani kebutuhan siswa yang memilii kemampuan di atas rata-rata.
3.
Gaya Belajar Gaya belajar atau learning style memiliki banyak pengertian. Honey dan
Mumford (1992) dalam Herman (2008:8) mendefinisikan gaya belajar sebagai sikap dan tingkah laku yang menunjukkan cara belajar seseorang yang paling disukai. Nasution (2005:93) mengungkapkan gaya belajar adalah cara siswa bereaksi dan menggunakan perangsang-perangsang yang diterimanya dalam proses belajar. Ibrahim dkk. (2006:2) menyatakan gaya belajar umumnya dicirikan oleh sebuah kombinasi bagaimana seseorang menerima, mengolah, mengorganisasi, dan menyampaikan informasi.
14
Gaya belajar menurut Nasution (2000) adalah cara konsisten yang dilakukan oleh seorang peserta didik dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berpikir, dan memecahkan masalah. Herman (2008:8) meringkas dari beberapa penelitian mengenai gaya belajar menunjukkan bahwa (1) beberapa pelajar mempunyai kebiasaan belajar yang berbeda dengan yang lainnya, (2) beberapa pelajar belajar lebih efektif bila diajar dengan metode yang paling disukai, dan (3) prestasi pelajar berkaitan dengan bagaimana caranya belajar (Riding dan Rayner, 1998). Gaya belajar mempengaruhi efektivitas pelatihan, tidak peduli apakah pelatihan tersebut dilakukan secara tatap muka atau secara on-line (Benham, 2002). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan gaya belajar dalam proses belajar mengajar. Gaya belajar digolongkan menjadi beberapa model, bergantung pada dasar teori yang dipakai oleh peneliti untuk menggolongkannya. Salah satu gaya belajar yang dikenal dengan kesederhanaannya adalah visual, auditorial, dan kinestetik (VAK). Gaya belajar VAK menggunakan tiga penerima sensori utama, yakni visual, auditory dan kinestetik dalam menentukan gaya belajar seorang peserta didik yang dominan (Rose, 1987 dalam Herman, 2008:9). Gaya belajar VAK ini didasarkan atas teori modaliti, yakni meskipun dalam setiap proses pembelajaran, peserta didik menerima informasi dari ketiga sensori tersebut, akan tetapi ada salah satu atau dua sensori yang dominan. Modalitas belajar yang dimaksudkan
ialah
jaringan
yang
digunakan
seseorang
dalam
proses
pembelajaran, pemrosesan informasi yang diterimanya serta komunikasi (Susanto, 2006:48). Meskipun kebanyakan orang mampu untuk mengakses/menggunakan ketiga modalitas tersebut, namun orang memiliki kecenderungan hanya menggunakan satu modalitas tertentu didalam pembelajaran, pemrosesan informasi, ataupun komunikasi (Grinder, 1991 dalam DePorter dan Hernacki, 2010:112). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Dunn (1993) dalam Susanto (2006:48) yang mengatakan bahwa setiap orang biasanya memiliki sebuah kekuatan atau modalitas belajar yang dominan, dan juga sebuah kekuatan sekunder.
15
De Porter dan Hernacki (2010: 116-120) mengungkapkan banyak ciri-ciri perilaku yang merupakan petunjuk kecenderungan belajar. Dia mengatakan bahwa orang-orang visual memiliki ciri-ciri rapi dan teratur, berbicara dengan cepat, perencana dan pengatur jangka panjang yang baik, teliti terhadap detail, mementingkan penampilan baik dalam pakaian maupun presentasi, pengeja yang baik, mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar, mengingat dengan asosiasi visual, biasanya tidak terganggu dengan keributan, mempunyai masalah untuk mengingat informasi verbal kecuali ditulis, pembaca cepat dan tekun, lebih suka membaca daripada dibacakan, mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon atau dalam rapat, sering menjawab pertanyaan dengan singkat ya atau tidak, lebih suka melakukan demonstrassi daripada berpidato, seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan tetapi tidak pandai memilih kata-kata, kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan. Orang-orang auditorial memiliki ciri-ciri berbicara kepada diri sendiri ketika bekerja, mudah terganggu oleh keributan, menngerakkan bibir dan mengucapkan tulisan ketika membacca buku, senang mendengarkan, dapat mengulang kembali dan menirikan nada, birama, dan warna suara, merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita, biasanya pembicara yang fasih, belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat, suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar, mempunyai masalah dengan pekerjaan yang melibatkan visual. Orang-orang kinestetik memiliki ciri-ciri berbicara dengan perlahan, menanggapi perhatian fisik, menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka, berdiri dekat ketika berbicara dengan seseorang, berorientasi pada fisik dan banyak gerak, belajar melalui memanipulasi dan praktik, menghafal dengan cara berjalan dan melihat, banyak menggunakan isyarat tubuh, menggunakan kata-kata yang mengandung aksi, menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot, ingin melakukan segala sesuatu, menyukai permainan yang menyibukkan. Ada 3 jenis gaya belajar menurut Rose dan Nicholl (2002). Pertama, gaya belajar visual adalah gaya belajar melalui melihat sesuatu misalnya gambar atau diagram dan sebagian kecil dari mereka berorientasi pada teks tercetak dan dapat
16
belajar melalui membaca. Kedua, gaya belajar auditori adalah belajar melalui mendengar sesuatu seperti suara musik , kaset audio, ceramah kuliah, diskusi, debat, dan intruksi (perintah verbal). Ketiga, gaya belajar kinestetik adalah belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung seperti bergerak, menyentuh, dan merasakan atau mengalami sendiri. Rose dan Nicholl (2002) mengemukakan ada beberapa ciri khusus dalam setiap gaya belajar siswa. Ciri-ciri gaya belajar visual antara lain (a) rapi dan teratur, (b) berbicara dengan cepat, (c) berencana dan mengatur jangka panjang yang baik, (d) teliti dan detail, (e) mementingkan penampilan baik dalam pakaian dan presentasi, (f) pengeja yang baik dan dapat mengeja kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka, (g) mengingat apa yang dilihat daripada yang didengar, (h) mengingat dengan asosiasi visual, (i) biasanya tidak terganggu oleh keributan, (j) mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika seringkali meminta bantuan seseorang untuk mengulanginya, (k) pembaca yang cepat dan tekun, (l) lebih suka membaca daripada dibacakan, (m) membutuhkan ppandangan dan tujuan yang menyeluruh serta bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek, (n) mencorat-coret tanpa arti selama berbicara di depan dan dalam rapat, (o) lupa menyampaikan pesan verbal pada orang lain, (p) sering menjawab pertanyaandengan jawaban singkat “Ya” atau “Tidak”, (q) lebih suka melakukan demonstrasi daripada pidato, (r) lebih suka seni daripada music, (s) seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata, (t) kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan. Menurut Rose dan Nicholl (2002), ciri-ciri orang dengan gaya belajar auditorial antara lain, (a) mudah terganggu oleh keributan, (b) menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca, (c) senang membaca dengan keras dan mendengarkan, (d) dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, iram dan warna suara, (e) berbicara dalam irama yang berpola, (f) biasanya pembicara yang fasih, (g) lebih suka musik daripada seni, (h) belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat, (i)
17
suka berbicara, berdiskusi dan menjelaskan tentang sesuatu panjang lebar, (j) mempunyai masalah-masalah dengan pekerjan yang melibatkan visualisasi seperti memotong-memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain, (k) lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya, (l) lebih suka gurauan daripada komik. Menurut Rose dan Nicholl (2002), orang dengan gaya belajar kinestetik memiliki ciri-ciri sebagai berikut (a) berbicara dengan pelan, (b) menanggapi perhatian fisik, (c) menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka,(d) berdiri di dekat ketka berbicara dengan orang lain, (e) selalu beroriwntasi pada fisik dan banyak gerak, (f) mempunyai perkembangan awal otot yang besar, (g) belajar melalui manipulasi dan praktik, (h) menghafal dengan cara berjalan dan melihat, (i) menggunakan jari sebagai petunjuk ketika membaca, (j) banyak menggunakan isyarat tubuh, (k) tidak dapat duduk diam dalam jangka waktu yang lama, (l) tidak dapat mengingat geografis kecuali jika mereka pernah berada di tempat itu, (m) menggunakan kata-kata yang mengandung aksi, (n) menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot mereka mencerminkan aksidengan gerakan tubuh saat membaca, (o) kemungkinan tulisannya jelek, (p) ingin melakukan sesuatu, (q) menyukai permainan yang menyibukkan.
B. Kerangka Berpikir Biologi merupakan salah satu cabang ilmu sains yang senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan IPTEK. Seiring dengan perkembangan dari ilmu biologi maka tuntutan pembelajaran Biologi di sekolahsekolah pun menjadi semakin berat karena semakin banyak dan kompleks pula materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa. Padahal sebagai sains, biologi bukan semata-mata ilmu hafalan teori dan materi, melainkan dalam memahami konsep yang ada perlu dilakukan secara sistematis dan ilmiah. Semua itu membutuhkan adanya kemampuan berpikir kritis yang memadai sehingga siswa
18
dapat memahami materi pelajaran Biologi dengan baik dan benar untuk meminimalisir adanya kesalahan konsep materi. Setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda sesuai dengan kebiasaannya masing-masing. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap penerimaan mereka terhadap materi pelajaran dan konsep yang ada. Selain itu, gaya belajar yang biasa dilakukan oleh siswa akan mempengaruhi cara berpikir mereka, termasuk dalam hal ini adalah kemampuan berpikir kritis mereka. Penggunaan
model
pembelajaran
inkuiri
ini
diharapkan
dapat
mengakomodir setiap gaya belajar yang dimiliki oleh siswa. Selain itu dengan kegiatan-kegiatan yang ada dalam pembelajaran ini seperti merumuskan masalah, membuat hipotesis, menganalisis dan menarik kesimpulan serta mengadakan evaluasi, maka akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Pada akhirnya dengan bertambahnya kemampuan berpikir kritis siswa, maka penyerapan mereka terhadap materi biologi akan lebih mudah dan terhindar dari kesalahan konsep. Untuk memperjelas kerangka pemikiran tersebut, maka dapat dilihat pada Gambar 2.1.
C. Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Ada pengaruh penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dalam
pembelajaran biologi terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. 2.
Ada pengaruh gaya belajar siswa terhadap kemampuan berpikir kritis
siswa. 3.
Ada interaksi antara model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan gaya
belajar siswa terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.
19
FAKTA Pembelajaran berpusat pada guru, sehingga guru tidak memberi
kesempatan
mengkonfirmasi
konsep
pada yang
siswa
untuk
diterimanya
dan
mengembangkan gagasannya.
AKIBAT/PERMASALAH AN 1.
Kurang terciptanya iklim berpikir kritis siswa dalam pembelajaran. Siswa cenderung pasif Siswa kurang terkondisikan untuk berpikir kritis Kurangnya penggunaan model pembelajaran yang mengakomodasi penggunaan kemampuan berpikir kritis.
2. 3. 4.
Model pembelajaran Inkuiri Terbimbing 1. Observasi 2. Perumusan masalah 3. Penentuan hipotesis 4. Pengambilan data 5. Penarikan kesimpulan
Siswa
dapat
kemampuan pembelajaran
menyalurkan
berpikir dan
Siswa dapat memahami konsep
dalam
dari
menggunakan
permasalahan
diberikan
gaya belajarnya masing-masing Kemampuan
berpikir
siswa
berkembang dan gaya belajar siswa terakomodasi dengan baik Gambar 2.1. Skema Kerangka Berpikir
yang