BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.
Kajian Teori
2.1.1
Belajar Para pakar pendidikan mengemukakan pengertian yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya, namun demikian selalu mengacu pada prinsip yang sama yaitu setiap orang yang melakukan proses belajar akan mengalami suatu perubahan dalam dirinya. Menurut Slameto (1995:2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Abdillah dalam Aunurrahman (2011:33) belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu. Selanjutnya Winkel (1996:53) mengatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi yang aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Menurut Dahar (1996:11) perubahan itu bersifat secara relatif konstant. Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Kemudian Hamalik (1983:2) mendefinisikan belajar adalah suatu pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku pada individu yang dilakukan secara sengaja untuk mencapai tujuan tertentu sebagai hasil dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. 2.1.2
Pembelajaran Belajar dan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang tidak terpisahkan
dari kehidupan manusia. Oleh karena itu belajar merupakan gejala yang terkait dalam pembelajaran. Menurut Slameto (2007:4) pembelajaran adalah proses 7
8
penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan melalui belajar, mengajar, dan pengalaman. Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono dalam Saiful Sagala (2006:61) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Darsono (2001:24) pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Sedangkan menurut Hamalik (2008:55) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitator, perlengkapan, dan proses yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Sudjana (2004:2) Pada dasarnya ada lima prinsip yang menjadi landasan pengertian pembelajaran yaitu : 1. Pembelajaran sebagai usaha memperoleh perubahan perilaku Prinsip ini mengandung makna bahwa ciri utama proses pembelajaran itu adalah adanya perubahan perilaku dalam diri individu walaupun tidak semua perubahan perilaku individu merupakan hasil pembelajaran. Pengertian yang dirumuskan oleh Hamalik (2004:3), bahwa pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. 2. Hasil pembelajaran ditandai dengan perubahan perilaku secara keseluruhan, perubahan perilaku sebagai hasil pembelajaran adalah meliputi semua aspek perilaku dan bukan hanya satu atau dua aspek saja. Perubahan itu meliputi aspek kognitif ,afektif dan motorik. 3. Pembelajaran merupakan suatu proses Pembelajaran merupakan suatu aktivitas yang berkesinambungan yang terjadi melalui tahapan-tahapan aktivitas yang sistematis dan terarah. 4. Proses pembelajaran terjadi karena adanya sesuatu yang mendorong dan adanya suatu tujuan yang akan dicapai. Prinsip ini mengandung makna bahwa pembelajaran itu terjadi karena adanya kebutuhan yang harus dipuaskan dan adanya tujuan yang ingin dicapai. Belajar tidak akan efektif tanpa adanya dorongan dan tujuan. 5. Pembelajaran merupakan bentuk pengalaman Pengalaman pada dasarnya adalah kehidupan melalui situasi yang ternyata dengan tujuan tertentu , pembelajaran merupakan bentuk interaksi individu dengan lingkungannya sehingga banyak memberikan pengalaman diri situasi nyata. Kelima prinsip tersebut menjadi landasan pengertian pembelajaran sebagai kondisi pembelajaran yang berkualitas.
9
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan yang baru melalui aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). 2.1.3
Efektivitas Pembelajaran Efektifitas berasal dari bahasa Inggris yaitu Effective yang berarti berhasil,
tepat atau manjur. Starawaji dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan ke-SD-an Scholaria Volume 1 Nomor 1, (2011:199) mengemukakan bahwa efektifitas menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Suatu usaha dikatakan efektif jika usaha itu mencapai tujuannya. Menurut Hasan Sadly dalam Maryanti (2010: 50) yang dimaksud dengan efektifitas belajar adalah tingkat pencapaian tujuan belajar. Pencapaian tujuan tersebut berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan sikap melalui proses pembelajaran. Efektifitas juga menunjukkan taraf tercapainya tujuan. Suatu usaha dapat dikatakan efektif jika mencapai tujuan. Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang dikelola sedemikian rupa sehingga dengan input yang ada dan proses yang dikelola dapat dicapai hasil seoptimal mungkin. Menurut Slameto (2003:93) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat membawa siswa belajar efektif. Pembelajaran akan efektif jika waktu yang tersedia sedikit saja untuk guru melakukan ceramah dan waktu yang besar adalah untuk kegiatan intelektual dan untuk pemeriksaan pemahaman siswa. Pembelajaran dikatakan efektif jika memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain: 1. Belajar secara aktif, baik secara mental maupun fisik, 2. Adanya variasi metode dalam pembelajaran, 3. Adanya motivasi, 4. Kurikulum yang baik dan seimbang, 5. Adanya pertimbangan perbedaan individu, 6. Adanya perencanaan sebelum pembelajaran, 7. Adanya suasana yang demokratis, 8. Penyajian bahan pelajaran yang merangsang siswa untuk berfikir, 9. Interaksi semua pelajaran, 10. Kaitan antara kehidupan nyata dan kehidupan di sekolah, 11. Kebebasan siswa dalam interaksi pembelajaran, 12. Pengajaran remedial.
Sudjana (2008:35) mengungkapkan bahwa suatu pembelajaran efektif dapat ditinjau dari segi proses dan hasilnya. Dari segi proses suatu pembelajaran
10
haruslah merupakan interaksi dinamis sehingga siswa sebagai subyek belajar mampu mengumbangkan potensi secara efektif. Dari segi hasil atau produk menekankan pada penguasaan tujuan oleh siswa baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu pembelajaran dikatakan efektif jika sesuai dengan materi dan tujuan yang hasilnya optimal. Sesuai tujuan pembelajaran, maka suatu strategi efektif dapat membuat siswa berhasil mencapai hasil yang diharapkan, dalam hal ini adalah prestasi akademik yang optimal. Untuk menciptakan pembelajaran yang diharapkan dapat efektif dan efisien, maka peneliti dan guru menyiapkan perencanaan sebaik mungkin sebelum pembelajaran, diantaranya menggunakan strategi yang tepat. Dalam penelitian ini, indikator efektifitas pembelajaran hanya ditinjau dari tingkat pencapaian hasil belajar ranah kognitif siswa yang diukur dari ketuntasan hasil belajar siswa setelah mengerjakan soal post-test dalam bentuk tes pilihan ganda (tes formatif) setelah melakukan proses belajar mengajar 2.1.4
Pendekatan Pembelajaran Istilah pendekatan pembelajaran memiliki konsep yang sama dengan
model, strategi, dan metode pembelajaran, semuanya berfokus pada proses pembelajaran, atau interaksi belajar-mengajar. Menurut Sukmadinata (2004:229), pendekatan pembelajaran mempunyai lingkup yang lebih luas, melihat pembelajaran sebagai proses belajar siswa yang sedang berkembang untuk mencapai tujuan perkembangannya. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang bersifat sangat umum. Strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu. Roy Killen dalam Sanjaya (2008:295) mencatat ada dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centered approach) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approach). Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Pada
11
strategi ini peran guru sangat menentukan baik dalam pemilihan isi atau materi pelajaran maupun penentuan proses pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inquiry. Menurut
Subarinah
dalam
Kriswandani
(2008:51),
pendekatan
pembelajaran merupakan suatu konsep atau prosedur yang digunakan dalam membahas bahan pelajaran untuk mencapai tujuan belajar mengajar. Terdapat beberapa pendekatan pembelajaran matematika yaitu pendekatan spiral, deduktif, induktif, analitik dan sintetik. 2.1.5 Pendekatan Pembelajaan Matematika Realistik Menurut Zulkardi (2003:2) Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik adalah pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang “real” bagi siswa. Pendekatan ini menekankan keterampilan "Process of doing mathematics”, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (“Student inventing” sebagai kebalikan dari “teener telling”) dan pada akhirnya dapat menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah, baik secara individu maupun kelompok. Pendekatan Matematika Realistik diperkenalkan oleh Prof. Dr. Jan de Lange, Direktur Freudanthal Institude suatu institute atau lembaga pendidikan dan pengembangan pendidikan matematika di Universitas Of Ultrecth, tempat PMR dilahirkan dan dikembangkan selama hampir tiga dekade sebelum diekspor kebanyak negara di dunia. Pengalaman beliau sebagai salah seorang pakar PMR yang terkenal dalam membantu proses reformasi pendidikan matematika di berbagai negara di Eropa, USA, Afrika selatan dan Panama. Pendekatan Matematika Realistik adalah suatu pendekatan pendidikan matematika yang pertama kali diuji cobakan di Netherland. Kata realistik diambil dari salah satu di antara empat pendekatan pembelajaran matematika. Empat pendekatan pembelajaran matematika tersebut yaitu : a.
Mekanistik Menurut filosofi mekanistik manusia diibaratkan komputer. Manusia secara mekanik dapat diprogram dengan cara drill untuk mengerjakan
12
hitungan (Suherman, dkk., 2003:146). Pada pendekatan ini, baik matematisasi horizontal dan vertikal tidak digunakan. b.
Empiristik Menurut filosofi empiristik bahwa dunia adalah kenyataan, dimana siswa dihadapkan dengan situasi dimana mereka harus menggunakan aktifitas matematisasi horizontal. Treffers mengatakan bahwa pendekatan ini secara umum jarang digunakan dalam pendidikan matematik (Zulkardi, 2003: 2).
c.
Strukturalistik Pendekatan Strukturalistik lebih menekankan struktur dalam cabang matematika
yakni
mempelajari
matematika
dalam
arah
vertikal
(Marpaung, 2001:2). Sehingga peserta didik lebih ditekankan pada aspek proses pembelajarannya. d.
Realistik Realistik adalah pendekatan yang menggunakan suatu situasi dunia nyata atau suatu konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Pada tahap ini siswa melakukan aktifitas matematisasi horizontal (Zulkardi, 2003:2). Maksudnya siswa mengorganisasikan masalah dan mencoba mengidentifikasi aspek matematika yang ada pada masalah tersebut Kemudian, dengan menggunakan matematisasi vertikal siswa tiba pada tahap pembentukan konsep. Perbedaannya dapat dilihat dalam Tabel 2.1 Tabel 2.1 Perbedaan Matematika Horizontal dan Matematika Vertikal Matematisasi
Matematisasi
Horizontal
Vertikal
Mekanistik
-
-
Empiristik
+
-
Strukturalistik
-
+
Realistik
+
+
Type
Dalam pembelajaran matematika dua komponen matematisasi tersebut adalah penting, yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal, Pendekatan Realistik selain mempelajari dalam arah vertikal juga mempelajari
13
dalam arah horizontal, Matematisasi horizontal menunjuk pada proses transformasi masalah yang dinyatakan dalam bahasa sehari-hari ke bahasa matematika. Matematisasi vertikal adalah proses dalam matematika itu sendiri. Bagian dari matematisasi horizontal mencakup tiga tahap yaitu enaktif, ikonik dan simbolik. Tiga tahap itu menurut Bruner dalam Nugroho (2009:23) yaitu : 1) Tahap Enaktif Dalam tahap ini anak terlibatdalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. 2) Tahap Ikonik Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif. 3) Tahap Simbolik Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terkait dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa keterangan terhadap objek riil. (Suherman,dkk.,2003:44).
Pembuktian dalam matematika merupakan bagian dari matematisasi vertikal. Kedua jenis matematisasi memiliki nilai yang sama dalam pendekatan pembelajaran matematika realistik, dalam hal ini digambarkan bahwa: Pengembangan Matematika Realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap matematika yaitu sebagai berikut: (1) matematika harus dikaitkan dengan hal yang nyata bagi murid dan (2) matematika harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia. Menurut Asmin (2001:8) pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik dilandasi oleh pandangan bahwa siswa harus aktif, tidak boleh pasif. Dia harus aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika itu. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator artinya murid harus didorong dan diberi keleluasaan untuk mengekspresikan jalan pikirannya, menyelesaikan sendiri masalah yang diajukan menurut idenya sendiri, mengkomunikasikannya dan pada saatnya belajar dari ide teman-teman sendiri. Menurut Sutawijaya dalam Kriswandani (2008:72), pendekatan realistik menuntun siswa untuk berfikir menggunakan pengalamannya mulai dari objek nyata (konkrit) yang bersifat konstektual bagi siswa melalui skema atau model ke arah yang abstrak. Berbekal kemampuan dan pengalaman dalam pendidikan dari
14
tingkat sebelumnya, siswa dituntut untuk mempunyai pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, efisien dan efektif. Berpikir logis didasarkan pada manipulasi/ penelitian objek-objek nyata dan kemampuannya dalam menunjukkan keterkaitan hubungan dengan pengalaman empiris/ peristiwa yang langsung dialami dengan pelajaran yang berlangsung. Selain itu, melalui model ini, siswa dapat belajar matematika dari alam/ lingkungan disekitarnya sehingga siswa tidak mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika yang merupakan pelajaran yang abstrak. Berdasarkan kajian tentang berbagai pendapat mengenai pendekatan pembelajaran matematika realistik yang dikemukakan oleh para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah proses pembelajaran matematika yang menggunakan konteks dunia nyata sebagai titik awal pembelajaran dan mengutamakan keaktifan siswa selama proses pembelajaran. Menurut de Lauge dalam Suwarsono (2001:40) terdapat lima karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik. Kelima karakteristik tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pembelajaran harus dimulai dari masalah kontekstual yang diambil dari dunia nyata. Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi siswa agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai dengan pengalaman mereka. 2. Dunia abstak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus sesuai dengan tingkat abstraksi yang harus dipelajari siswa. Di sini model dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa, seperti ceritacerita lokal atau bangunan-bangunan yang ada di tempat tinggal siswa. Model dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar siswa. 3. Siswa dapat menggunakan strategi, bahasa, atau simbol mereka sendiri dalam proses mematematikakan dunia mereka. Artinya, siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam menyelesaikan masalah nyata yang diberikan oleh guru. 4. Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam pembelajaran matematika. Di sini siswa dapat berdiskusi dan bekerjasama dengan siswa lain, bertanya dan menanggapi pertanyaan, serta mengevaluasi pekerjaan mereka. 5. Hubungan di antara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan dengan masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling kait mengait dalam penyelesaian masalah.
15
Menurut Asmin dalam Nugroho (2009:24) syntak atau langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik yaitu : a. Memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta membantu untuk memberi pemahaman masalah. b. Mengulang semua konsep-konsep yang berlaku sebelumnya dan mengaitkan masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa sebelumnya. c. Memecahkan masalah berdasarkan pada pengetahuan informal atau formal yang dimiliki siswa. d. Mendiskusikan pemecahan-pemecahan dengan berbagai strategi yang siswa lakukan. e. Menyimpulkan pekerjaan siswa. Tabel 2.2 Sintak Implementasi Matematika Realistik Aktivitas Guru Guru memberikan masalah/persoalan kontekstual dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Guru menjelaskan masalah kontekstual dan guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian tertentu yang belum dipakai siswa Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri-sendiri. Guru hanya memberikan arahan berupa pertanyaan langkah atau pertanyaan penggiring agar siswa mampu menyelesaikan masalah sendiri. Guru memfasilitasi diskusi dan menyediakan waktu untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara kelompok, dan selanjutnya dengan diskusi kelas. Guru menyimpulkan hasil diskusi
Aktivitas Siswa Siswa memahami masalah konstektual yang diberikan guru Siswa memikirkan masalah konstektual berdasarkan petunjuk yang diberikan guru
Siswa menyelesaikan masalah atau soal, jawaban siswa diperbolehkan berdeda dengan siswa yang lain. Siswa mengerjakan soal pada lembar kerja kelompok
Siswa berdiskusi untuk menyelesaikan masalah konstektual
Siswa menarik kesimpulan suatu konsep, lalu meringkas dalam buku
16
Menurut Suwarsono (2001:5-10) keunggulan dan kelemahan Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik adalah sebagai berikut: a.
Keunggulan: 1) Siswa
membangun
sendiri pengetahuannya sehingga siswa tidak
mudah lupa dengan pengetahuannya. 2) Suasana
dalam
proses
pembelajaran
menyenangkan
karena
menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika. 3) Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya, 4) Memupuk kerja sama dalam kelompok. 5) Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya. 6) Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat. 7) Pendidikan budi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang sedang berbicara b.
Kelemahan: 1) Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya, 2) Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah. 3) Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai. 4) Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.
2.1.6
Pembelajaran Konvensinal Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang harus dilakukan
oleh guru seperti metode ceramah, tanya jawab dan latihan soal (Kamus Besar Bahasa
Indonesia,
2002:92).
Menurut
Sagala
(2007:187)
pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran klasikal atau yang disebut juga pembelajaran tradisional. Pembelajaran klasikal adalah kegiatan penyampaian pelajaran kepada sejumlah siswa, yang biasanya dilakukan oleh pengajar dengan berceramah di kelas. Pembelajaran klasikal memandang siswa sebagai objek belajar yang hanya
17
duduk dan pasif mendengarkan penjelasan guru. Menurut Slameto (2003:65) guru yang mengajar dengan metode ceramah saja menyebabkan siswa menjadi bosan dan pasif. Suherman (2003:257) juga menjelaskan bahwa dalam pembelajaran klasikal guru sangat mendominasi dalam menentukan semua kegiatan pembelajaran. Pembelajaran klasikal tidak dapat melayani kebutuhan belajar siswa secara individu. Ujang Sukardi dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan ke-SD-an Scholaria Volume 1 Nomor 1, (2011:215) mendeskripsikan bahwa pendekatan konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Selanjutnya Iwayan Sukra juga mengungkapkan bahwa metode pembelajaran konvensional merupakan metode pembelajaran yang berpusat pada guru dimana hampir seluruh kegiatan pembelajaran dikendalikan oleh guru. Jadi guru memegang peranan utama dalam menentukan isi dan proses belajar termasuk dalam menilai kemajuan siswa. Menurut Syaiful Sagala (2006:187) dalam pembelajaran konvensional, perbedaan individu kurang diperhatikan karena seorang guru hanya mengelola kelas dan mengelola pembelajaran dari depan kelas. Pembelajaran konvensional cenderung menempatkan siswa dalam posisi pasif. Kegiatan-kegiatan yang bersifat menerima dan menghafal pada umunya diberikan secara klasikal dengan ceramah. Dalam pembelajarannya siswa dituntut untuk selalu memusatkan perhatiannya pada pelajaran, kelas harus sunyi dan siswa harus duduk di tempat masing-masing mengikuti uraian guru. Menurut Djamarah dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan
ke-SD-an
Scholaria
Volume
1
Nomor
1,
(2011:216-220)
pembelajaran konvensional ditandai dengan ceramah, pemberian tugas dan latihan. a.
Metode Ceramah Ceramah adalah sebuah bentuk interaksi melalui penerangan dan penuturan lisan dari guru kepada peserta didik. Dalam pelaksanaan ceramah untuk menjelaskan uraiannya, guru dapat menggunakan alat-alat
18
bantu seperti gambar atau audio visual lainnnya. Ceramah juga sebagai kegiatan memberikan informasi dengan kata-kata yang mengaburkan dan kadang-kadang ditafsirkan salah (Sagala,2009:201). Metode ceramah yaitu metode yang boleh dikatakan sebagai metode tradisional, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar mengajar. Penyampaian materi pembelajaran secara lisan sangat berbeda dengan penyampaian secara tertulis, karena dalam metode inii siswa sangat tergantung pada cara guru mengajar. Kecepatan serta volume bicara atau suara yang diucapkan guru.
Oleh
karena
itu
menyampaikan
materi
pelajaran
dengan
menggunakan metode ceramah harus dengan prosedur. Menurut Jusuf Djajadisastra dalam Azizah (2006: 21), prosedur penggunaan metode ceramah antara lain: 1)
Merumuskan tujuan khusus pengajaran yang akan dipelajari siswa. Dengan tujuan tersebut dapat ditetapkan apakah metode ceramah benar-benar merukan metode yang tepat.
2)
Menyusun bahan ceramah secara sistematis
3)
Mengidentifikasi istilah-istilah yang sukar dan perlu
diberi
penjelasan dalam ceramah 4)
Melaksanakan ceramah dengan memperhatikan: a) Sajikan kerangka materi dan pokok-pokok yang akan diuraikan dalam ceramah b) Uraian pokok-pokok tersebut dengan jelas dan usahakan istilah yang sukar dijelaskan secara khusus c) Upayakan bahan pengait atau advance organizer agar penyajian lebih bermakna d) Dapat dilakukan dengan pendekatan induktif ataupun deduktif e) Gunakan multi metode dan multi media
5)
Menyimpulkan pokok-pokok isi materi yang diceramahkan dikaitkan dengan tujuan pembelajaran
19
b.
Metode Penugasan Metode penugasan adalah metode penyajian bahan dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. (Bahri Djamarah dan Aswan Zain, dalam Azizah (2006:22). Ada langkah-langkah yang harus diikuti dalam penggunaan metode penugasan, yaitu: 1.
Fase pemberian tugas Tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya mempertimbangkan: a) Tujuan yang dicapai b) Jenis tugas yang jelas dan tepat sehingga anak mengerti apa yang ditugaskan tersebut c) Sesuai dengan kemampuan siswa d) Ada petunjuk/ sumber yang dapat membantu pekerjaan siswa e) Sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas tersebut
2.
Langkah pelaksanaan tugas a) Guru memberikan bimbingan / pengawasan b) Guru memberikan dorongan sehingga anak mau bekerja c) Guru mengarahkan agar tugas tersebut dekerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain d) Guru menganjurkan agar siswa mencatat hasil-hasil yang ia peroleh dengan baik dan sistematis
3.
Fase mempertanggungjawabkan tugas a) Laporan siswa baik lisan/ tertulis dari apa yang telah dikerjakannya b) Ada tanya jawab/ diskusi kelas c) Penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes mapupun nontes atau cara lain
c.
Metode Latihan Menurut Bahri Djamarah dan Aswar Zain dalam Azizah (2006:24) metode latihan adalah suatu cara menajar tang baik untuk menanmakan kebiasaan-kebiasaan tertentu.
20
Langkah-langkah memberikan latihan menurut Russefendi dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan ke-SD-an Scholaria Volume 1 Nomor 1 (2011:218-219): a. Guru menjelaskan materi yang berkaitan dengan latihan yang akan diberikan. b. Guru memberikan contoh latihan dan cara menyelesaikannya c. Guru menyuruh siswa melakukan latihan d. Guru menganalisis hasil latihan siswa Karakteristik model pembelajaran konvensional dalam penerapannya di kelas, antara lain: (1) Siswa adalah penerima informasi, (2) Siswa cenderung bekerja secara individual, (3) Pembelajaran cenderung abstrak dan teoritis, (4) Perilaku dibangun atas kebiasaan, (5) Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan, (6) Siswa tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman, (7) Bahasa diajarkan dengan pendekatan stuktural. Pembelajaran konvensional dipandang efektif terutama untuk: (1) Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain, (2) Menyampaikan informasi dengan cepat, (3) Membangkitkan minat akan informasi, (4) Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan. Menurut Suryosubroto dalam Taniredja (2011:48) kebaikan metode ceramah antara lain (a) guru dapat menguasai seluruh arah kelas; (b) organisasi kelas sederhana. Sedangkan kelemahan metode ceramah antara lain (a) guru sukar mengetahui sampai dimana murid-murid telah mengerti pembicaraannya; (b) murid sering kali memberi pengertian lain dari hal yang dimaksudkaan guru. Selanjutnya menurut Rahardja (2002:53-54) kelebihan dan kelemahan metode ceramah antara lain; Kelebihan metode ceramah: 1. Tepat untuk menyampaikan pengantar atau informasi baru 2. Gunakan bila anak sudah mendapatkan motivasi 3. Tepat bagi guru yang bias berbicara secara jelas dan baik 4. Lebih tepat bagi orang-orang dewasa, karea dapat berkonsentrasi relative agak lama
21
5. Tepat untuk kelas besar dan untuk menekankan hal-hal penting yang telah dipelajari 6. Dapat untuk menghabiskan bahan pelajaran yang banyak dalam waktu yang singkat 7. Tidak terlalu menuntut menggunakan banyak alat/ media peraga 8. Untuk menjelaskan bahan pelajaran yang penting dan tidak terdapat dalam buku teks 9. Untuk bahan pelajaran yang dirasa sukar walaupun terdapat dalam buku teks, tetapi guru perlu menjelaskan 10. Untuk membangkitkan minat, hasrat siswa Sedangkan kelemahan metode ceramah antara lain; 1. Hanya menghasilkan ingatan jangka pendek pada siswa 2. Kurang tepat bagi anak kecil, karena belum bisa berkonsentrasi dalam waktu yang lama dan sulit menangkap penjelasan guru yang terlau banyak mengeluarkan kalimat-kalimat 3. Kegiatan lebih berpusat pada guru sehingga anak pasif 4. Dapat melemahkan perhatian siswa, membosankan siswa bila ceramahnya terlalu lamakarena setelah 20 menit pertama perhatian siswa menurun dan bicara guru tidak menarik 5. Kurang tepat/sejalan dengan prinsip pembelajaran aktif dan menimbulkan sekolah duduk 6. Merugikan siswa yang tidak peka mendengarkan dari tidak dapat mencatat secara cepat/merusak tulisan 7. Tidak dapat untuk pengajaran aspek ketrampilan (psikomotorik) 2.1.7
Hasil Belajar Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:250) hasil belajar merupakan hal
yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.
22
Menurut Hamalik (2006:30) hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Menurut Sudjana (2004:22) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Sedangkan menurut Horwart Kingsley dalam Sudjana (2004:2) membagi tiga macam hasil belajar mengajar : (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita. Menurut Sardiman A.M (2001:54), hasil belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran yang biasanya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan guru. Jadi yang dimaksud hasil belajar di sini adalah nilai tes matematika yang diberikan guru sebagai hasil penguasaan pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Menurut Slameto (2003:54) Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu: 1. Faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor individu (Intern), yang meliputi : (1). Faktor biologis, meliputi: kesehatan, gizi, pendengaran, dan penglihatan. Jika salah satu dari faktor biologis terganggu akan mempengaruhi hasil prestasi belajar, (2). Faktor Psikologis, meliputi: intelegensi, minat dan motivasi serta perhatian ingatan berfikir, (3). Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan jasmani nampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta mengantuk. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk mengahsilkan sesuatu akan hilang. 2. Faktor yang ada pada luar individu yang di sebut dengan faktor Ekstern, yang meliputi: (1). Faktor keluarga. Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan terutama. Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar. (2). Faktor Sekolah, meliputi : metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan berdisiplin di sekolah. (3). Faktor Masyarakat, meliputi : bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat mempengaruhi prsetasi belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan mendorong untuk lebih giat belajar.
Berdasarkan kajian tentang berbagai pendapat mengenai hasil belajar yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai siswa dari keberhasilan belajar yang menghasilkan perubahan, pengetahuan, pemahaman, sikap, nilai dan keterampilan yang dicapai
23
siswa dalam mata pelajaran tertentu setelah siswa mengalami proses belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes dalam satu satuan waktu, berupa semester atau tahun pelajaran. 2.1.8
Matematika dan Pembelajaran Matematika
2.1.8.1 Pengertian Matematika Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenien yang artinya mempelajari. Kata matematika diduga erat hubungannya dengan kata Sangsekerta, medha atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan atau intelegensia dikemukakan oleh Subariah (2006:1). Menurut Ruseffendi (1993), matematika adalah terjemahan dari Mathematics. Namun definisi yang tepat tidak dapat diterapkan secara pasti karena cabang-cabang matematika sangat banyak. Menurut Ruseffendi (1993:27-28), matematika itu terorganisasikan dari unsurunsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya, sehingga matematika disebut ilmu deduktif. Ruseffendi juga mengutip beberapa definisi matematika menurut pendapat beberapa ahli, yaitu: 1. Menurut James dan James, matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya dengan jumlah yang banyaknya terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri. 2. Menurut Johnson dan Rising, matematika merupakan pola pikir, pola mengorganisasikan pembuktian logic, pengetahuan struktur yang terorganisir memuat: sifat-sifat, teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya (Ruseffendi, 1993:28), 3. Reys, matematika merupakan telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat (Ruseffendi ,1993:28) 4. Menurut Kline dalam Ruseffendi (1993:28) matematika bukan pengetahuan tersendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi keberadaannnya karena untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial. Dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang memperlajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada didalamnya. Belajar matematika pada hakikatnya adalah
24
belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. 2.1.8.2 Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar (SD) Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini (BSNP, 2006). Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain. Hal senada juga disampaikan oleh Muijs & Reynolds dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan ke-SD-an Scholaria Volume 1 Nomor 1, (2011:128) bahwa matematika merupakan “kendaraan” utama untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis dan ketrampilan kognitif yang lebih tinggi pada anak-anak. Menurut Badan Standart Nasional Pendidikan (2006) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar adalah untuk: a.
b.
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
25
c.
d. e.
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan tujuan di atas, pembelajaran matematika di SD diharapkan dapat menjadi bekal bagi siswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut BSNP (2006) tujuan Pendidikan Dasar adalah meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Jadi, Sekolah Dasar merupakan dasar dari keseluruhan jenjang pendidikan selanjutnya yang sangat penting dalam menentukan masa depan dan keberhasilan peserta didik pada jenjang pendidikan berikutnya. Pentingnya Pendidikan di Sekolah Dasar juga diungkapkan oleh Sayidiman Suryohadiprojo dalam Tilaar (2002:165) yaitu bahwa Pendidikan Dasar yang menentukan hasil usaha pendidikan secara keseluruhan. Apabila tidak ada pendidikan dasar yang bermutu, sukar diharapkan penyelenggaraan pendidikan menengah dan perguruan tinggi dengan peserta pendidikan yang memadai kemampuannya. Akibatnya pendidikan menengah menjadi kurang bermutu, dan sebagai mata rantai berikutnya, pendidikan tinggi akan kurang dapat menghasilkan pakar dalam berbagai bidang yang bermutu. Menurut Suherman (2003) pembelajaran matematika di sekolah tidak bisa terlepas dari sifat-sifat matematika yang abstrak dan sifat perkembangan intelektual siswa. Karena itu perlu memperhatikan karakteristik pembelajaran matematika di sekolah yaitu sebagai berikut: a. Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap) Materi pembelajaran diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dari hal konkrit ke abstrak, hal yang sederhana ke kompleks, atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar. b. Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral Setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari. Pengulangan konsep dalam bahan ajar dengan cara memperluas dan memperdalam adalah perlu dalam pembelajaran matematika (Spiral melebar dan menaik).
26
c. Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif Matematika adalah deduktif, matematika tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun demikian harus dapat dipilihkan pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa. Dalam pembelajaran belum sepenuhnya menggunakan pendekatan deduktif tapi masih campur dengan induktif. d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi Kebenaran-kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi, tidak bertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan yang terdahulu yang telah diterima kebenarannya.
Menurut Hudoyo (2003:63-64) pembelajaran metematika di sekolah juga disesuaikan dengan kekhasan bahan ajar dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan intelektual siswa. Menurut penelitian J.Piaget, perkembangan intelektual anak dapat dibagi dalam tiga fase yaitu : a. Fase pra-operasional Pada fase ini siswa mempresentasikan tindakannya melalui pikiran dan bahasa tetapi proses berpikirnya belum didasari pada keputusan logis. Fase ini dicapai oleh anak pada usia 2-7 tahun. Pada fase ini anak mulai mampu menggunakan simbol-simbol dari benda-benda di sekitarnya tetapi masih sukar melihat hubungan-hubungannya. b. Fase operasi konkrit Pada fase ini siswa mulai berpikir logis tetapi masih berorientasi dan terbatas pada kenyataan yang langsung dialami oleh siswa. Fase ini dicapai pada usia 7-11 tahun atau 7-12 tahun, yaitu usia SD. c. Fase operasi formal Pada fase ini, siswa mulai dapat memikirkan objek yang tidak konkrit. Siswa mampu berpikir logis dan menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik dan kompleks daripada fase sebelumnya. Fase ini dicapai setelah anak berusia 11 atau 12 tahun.
Dari uraian di atas tahap-tahap perkembangan anak dimulai dari tahap yang konkrit menuju tahap yang abstrak. Karena itu pembelajaran di sekolah harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak, yaitu dimulai dari halhal yang konkrit kemudian mengarah pada hal-hal yang abstrak. Anak-anak usia SD (berumur sekitar 7-11 tahun), menurut Piaget diklasifikasikan dalam tahap berfikir operasional konkrit. Bagi anak yang berada pada tahap ini pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari
27
objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahannya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang dikemukakan oleh Hudoyo (2003:65). Pada fase operasi konkrit anak telah sanggup untuk memahami banyak konsep matematika, namun mereka belum mampu untuk menyatakan secara formal matematis apa yang mereka lakukan walaupun mereka benar-benar mampu untuk berbuat berdasarkan aturan-aturan itu.
Jadi
dalam
mengajarkan
konsep-konsep
pokok,
guru
perlu
mempertimbangkan untuk membantu anak itu secara berangsur-angsur dari berpikir konkrit ke arah berpikir secara konseptual dengan metode yang sesuai dengan perkembangan intelektual anak yang dikemukakan Nasution (2005:8). Siswa perlu dilibatkan secara aktif dan berinteraksi langsung dengan objek-objek nyata yang relevan dengan kehidupannya sehari-hari sehingga siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Menurut Suherman (2003:57) siswa belajar matematika melalui abstraksi dan generalisasi. Dalam abstraksi, siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek. Siswa dapat belajar abstraksi melalui modelmodel yang berbeda. Semakin banyak model yang berbeda akan semakin memungkinkan siswa untuk menggali sifat dan karakteristik umum dari modelmodel tersebut sehingga siswa dapat membuat abstraksi. Sedangkan dalam generalisasi, siswa dilatih untuk membuat perkiraan atau kecenderungan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang dikembangkan melalui contohcontoh dan noncontoh dari konsep yang sedang dipelajarinya. Berdasarkan
definisi
tersebut,
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran matematika bagi siswa Sekolah Dasar perlu mengacu pada beberapa hal, yaitu: a.
Materi yang diajarkan harus sesuai dengan tahapan perkembangan anak pada usia SD, yaitu tahap operasional konkrit dan disajikan dengan cara yang menyenangkan bagi siswa.
28
b.
Siswa belajar matematika dengan bertumpu pada dua hal, yaitu abstraksi dan generalisasi. Akan tetapi karena siswa SD masih berada pada tahap operasional konkrit maka proses abstraksi dan generaliasai harus dimulai dari objek-objek yang konkrit bagi mereka. Hal ini bisa dilakukan melalui model-model yang berbeda, baik yang merupakan contoh maupun noncontoh dari konsep yang sedang dipelajari.
c.
Masalah yang disajikan harus relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa dan ada keterkaitan dengan pelajaran yang lalu sehingga pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa.
2.2
Kajian Penelitian yang relevan Pada dasarnya suatu penelitian yang akan dibuat dapat memperhatikan
penelitian lain yang dapat dijadikan rujukan dalam mengadakan penelitian. Adapun penelitian yang terdahulu adalah sebagai bertikut: Hari Nugroho dalam penelitianya yang berjudul Penggunaan pendekatan pembelajaran matematika realistik dalam meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas V di SDN 2 Tempuranduwur pada pokok bahasan bangun datar tahun pelajaran 2008 / 2009. Dari penelitian tersebut di dapat hasil sebagai berikut, dengan diterapkannya pendekatan pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan bangun datar tentang penanaman konsep luas persegi panjang, segi tiga, trapesium serta layanglayang hal ini dapat dilihat dari peningkatan hasil belajar siswa pada pembelajaran siklus I dan siklus II. Terjadi peningkatan prestasi belajar siswa pada pembelajaran siklus I dari rata-rata pretes 59,26 menjadi 73,70 pada postes atau meningkat sebesar 24,36%. Terjadinya peningkatan prestasi belajar siswa pada pembelajaran siklus II dari rata-rata nilai pretes 58,59 meningkat menjadi 80,37 pada postes atau meningkat sebesar 36,47%. Meningkatnya Nilai rata-rata hasil belajar siklus I dari rata-rata 73,70 menjadi 80,37 pada siklus II atau mengalami peningkatan sebesar 9,05%. Dari penelitian tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada penelitian ini menekankan pada perbedaan efektivitas penerapan pendekatan Pembelajarn Matematika Realistik dengan pembelajaran
29
konvensional terhadap hasil belajar matematika pada siswa kelas IV SD desa Ketundan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. 2.3
Kerangka berpikir Dalam
upaya
untuk
meningkatkan
mutu
pendidikan,
khususnya
meningkatkan hasil belajar siswa, selama ini sudah diterapkan berbagai pendekatan pembelajaran, akan tetapi sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan, sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat. Implementasi pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik akan membantu siswa dalam proses belajar mengajar di kelas. Pendekatan ini dapat membantu mengurangi kebosanan siswa yang selama ini belajarnya tidak produkif dan terjebak dalam rutinitas. Penggunaan pendekatan tradisional, yaitu ceramah, tanya jawab dan mencatat apa yang ditulis guru di papan tulis akan membuat siswa merasa jenuh dan bosan. Sebagai akibatnya minat siswa terhadap pembelajaran matematika menjadi berkurang dan prestasi belajarnya menjadi rendah. Maka harus ada pilihan pendekatan pembelajaran yang berpihak dan memberdayakan siswa, menyenangkan, dan menggembirakan. Pendekatan
Pembelajaran
Matematika
Realistik
diharapkan
dapat
membantu guru dalam mengkaitkan antara materi yang akan diajarkan dengan dunia nyata siswa yang dapat mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai proses belajar yang ideal, hendaknya digunakan variasi dalam menggunakan pendekatan pembelajaran. Melalui pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik diharapkan dapat memberikan cara dan suasana baru yang menarik dalam pengajaran khususnya pada mata pelajaran matematika. Model kerangka berpikir dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:
30
Kelas Kontrol SDN Sekayu
Kelas Eksperimen SDN Ketundan1
Subjek Penelitian
Uji Kesetaraan Pembelajaran konvensional
Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Analisis Normalitas dan Analisis Homogenitas
Post-test (Tes Hasil Pembelajaran)
Uji normalitas, analisis deskriptif dan uji beda
UJI HIPOTESIS
KESIMPULAN
Gambar 2.1 Model Kerangka Berpikir
31
2.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, kajian teori, dan kerangka berfikir, maka
hipotesis dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut; H0
:
PMR
≠
pembelajaran konvensional =
y
≠
y
“Tidak ada perbedaan efektivitas pembelajaran yang signifikan antara penerapan
pendekatan
Pembelajaran
Matematika
Realistik
dengan
pembelajaran konvensional pada mata pelajaran matematika siswa kelas IV SD desa Ketundan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang semester II tahun pelajaran 2011/2012? H1
:
PMR =
pembelajaran konvensional =
y
=
y
“Ada perbedaan efektivitas pembelajaran yang signifikan antara penerapan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik dengan pembelajaran konvensional pada mata pelajaran matematika siswa kelas IV SD desa Ketundan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang semester II tahun pelajaran 2011/2012?