BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Paradigma Kajian Penelitian pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan
suatu kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu. Model-model tertentu biasanya disebut dengan paradigma (Moleong, 2010). Paradigma bukanlah teori-teori, namun lebih merupakan cara pandang atau pola-pola untuk penelitian yang diperluas dan dapat menuju pembentukan suatu teori. Setiap penelitian memerlukan paradigma teori dan model teori sebagai dasar dalam menyusun kerangka penelitian. Menurut Sandjaya (2007:5) “Paradigma adalah pandangan dalam kepercayaan yang telah diterima dan disepakati bersama oleh masyarakat ilmuwan berkaitan dengan suatu keilmuan”. Dalam penelitian kualitatif “teori” lebih ditempatkan pada garis yang digunakan di bidang sosiologi dan antropologi dan mirip dengan istilah paradigma (Ritzer, dalam Bogdan & Biklen, 1982). Paradigma adalah kumpulan tentang asumsi, konsep, atau proposisi yang secara logis dipakai peneliti (Alsa, 2010). Harmon (1970) dalam Moleong (2010), mendefinisikan paradigma sebagai cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu yang secara khusus tentang visi realitas. Baker (1992) dalam Moleong (2010), mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan yang melakukan dua hal yaitu: hal itu membangun atau mendefinisikan batasbatas dan hal itu menceritakan kepada kita bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas itu agar bisa berhasil. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma interpretatif (pandangan/ pendapat) dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Dalam paradigma interpretatif, realitas sosial pada hakekatnya tidak pasti namun nisbi atau relatif. Karena kerelatifannya, maka pemaknaan setiap orang tergantung bagaimana ia terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Seseorang hanya dapat mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial. Dalam konteks ini ilmu sosial bersifat subyektif. Pendekatan ini menolak
Universitas Sumatera Utara
kedudukan sebagai “pengamat” sebagaimana dikenal pada pendekatan positivis. Seseorang hanya bisa mengerti apabila menggunakan kerangka berpikir orang yang terlibat langsung. Dengan kata lain, ia berupaya mengerti dari sisi dalam realitas sosial (Neuman, 2000). Paradigma interpretatif digunakan dalam penelitian ini karena paradigma ini menyatakan bahwa pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya seharihari. Sehingga melalui paradigma interpretatif, dalam penelitian ini peneliti dapat memahami bagaimana komunikasi persuasif agen asuransi berperan dalam merekrut calon agen asuransi di PT Asuransi Life Allianz Indonesia cabang kota Medan.
2.2
Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi
seperti buku, journal paper, artikel, disertai, tesis, skripsi, hand outs, laboratory manual, dan karya ilmiah lainnya yang dikutip di dalam penulisan proposal. Semua referensi yang tertulis dalam kajian pustaka harus dirujuk di dalam skripsi. Dengan adanya kajian teori, peneliti akan memiliki landasan dalam menentukan tujuan arah penelitiannya. Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah: Komunikasi, Komunikasi Interpersonal, Komunikasi Persuasif, AIDA, Teori Kemungkinan Elaborasi, Motivasi, Disonansi Kognitif, Rekrutmen, Agen Asuransi. 2.2.1
Komunikasi
2.2.1.1 Definisi Komunikasi Istilah komunikasi dalam bahasa Inggris “communication” berasal dari bahasa Latin “communis” yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama communis adalah istilah yang paling sering dipakai sebagai asal-usul kata komunikasi. Komunikasi terjadi ketika suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama (Mulyana, 2007:4). Sama di sini maksudnya adalah sama makna mengenai suatu hal. Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara
Universitas Sumatera Utara
orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Menurut Goyer komunikasi adalah berbagai pengalaman yang dapat diamati sebagai penelitian di mana respon penggerak dan penerima berhubungan secara sistematis untuk referensi stimulus (dalam Ardiyanto, 2007:19). Dalam pengertian ini komunikasi memberikan individu-individu untuk memahami dan merespon apa yang disampaikan, jika penyampaian dipahami dan dimengerti, maka komunikasi berjalan dengan baik dan sehat. Selain itu juga terdapat sebuah definisi lain yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia (human communication) bahwa: “Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antar sesama manusia; (2) melalui pertukaran informasi; (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu” (Cangara, 2009: 20). Everret M. Rogers seorang pakar sosiologi pedesaan Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi bahwa: “Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”. Definisi tersebut kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D.Lawrence Kincaid sehingga melahirkan suatu definisi baru yang menyatakan bahwa: “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam” (Cangara, 2009: 20). Rogers mencoba menspesifikasikan hakekat suatu hubungan dengan adanya suatu pertukaran informasi (pesan), di mana ia menginginkan adanya perubahan sikap dan tingkah laku serta kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian dari orang-orang yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi. Definisi komunikasi yang telah dipaparkan diperkuat juga dengan definisi lain, seperti definisi komunikasi menurut Shannon dan Weaver (Cangara, 2009: 20) yang menyebutkan bahwa komunikasi dapat juga diartikan sebagai bentuk
Universitas Sumatera Utara
interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain, dengan sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada komunikasi verbal saja, tetapi juga dalam ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi. Oleh karena itu, jika kita berada dalam situasi berkomunikasi, kita memiliki beberapa kesamaan dengan orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dari simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi. 2.2.1.2 Prinsip-Prinsip Komunikasi Menurut Devito (2011), ada delapan prinsip komunikasi yaitu antara lain: 1. Komunikasi adalah paket isyarat Perilaku komunikasi, verbal, non verbal, atau campuran dari keduanya, biasanya terjadi dalam waktu bersamaan. Biasanya, perilaku verbal dan non verbal saling memperkuat dan mendukung. Semua bagian dari sistem pesan biasanya bekerja bersama-sama untuk mengkomunikasikan makna tertentu. Seluruh tubuh, baik verbal maupun non verbal, bekerja bersama-sama untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan kita. 2. Komunikasi adalah proses penyesuaian Komunikasi hanya dapat terjadi apabila komunikator dan komunikan menggunakan sistem isyarat yang sama. Kita tidak akan bisa berkomunikasi dengan orang lain jika sistem bahasa kita berbeda dengannya. Tetapi, prinsip ini menjadi sangat relevan bila kita menyadari bahwa tidak ada dua orang yang menggunakan sistem isyarat yang persis sama. Budaya atau subbudaya yang berbeda, meskipun menggunakan bahasa yang sama, sering kali memiliki sistem komunikasi nonverbal yang sangat berbeda. Bila sistem ini berbeda, komunikasi yang bermakna dan efektif tidak akan terjadi. 3. Komunikasi mencakup dimensi isi dan hubungan Komunikasi, setidak-tidaknya sampai batas tertentu, berkaitan dengan dunia nyata atau sesuatu yang berada di luar pembicara dan pendengar. Tetapi sekaligus, komunikasi juga menyangkut hubungan di antara kedua pihak. Dalam setiap situasi komunikasi, dimensi isi mungkin tetap sama, tetapi aspek hubungannya dapat berbeda, atau aspek hubungan tetap sama sedangkan isinya berbeda.
Universitas Sumatera Utara
4. Komunikasi melibatkan transaksi simetris dan komplementer Hubungan dapat berbentuk simetris atau komplementer. Dalam hubungan simetris dua orang saling bercermin pada perilaku lainnya. Hubungan ini bersifat setara atau sebanding, dengan penekanan pada meminimalkan perbedaan di antara kedua orang yang bersangkutan. Hubungan simetris bersifat kompetitif di mana masing-masing pihak berusaha mempertahankan kesetaraan atau keunggulannya dari yang lain. Dalam hubungan komplementer kedua pihak mempunyai perilaku yang berbeda. Perilaku salah seorang berfungsi sebagai stimulus perilaku komplementer dari yang lain. Dalam hubungan komplementer, perbedaan di antara kedua pihak dimaksimumkan. 5. Rangkaian komunikasi dipungtuasi Peristiwa komunikasi merupakan transaksi yang terjadi secara terus menerus. Tidak ada awal dan akhir yang jelas. Paul Watzlawick, Janet Beavin, dan Don Jackson, dalam buku mereka yang berpengaruh Pragmatics of Human Communication, memberi istilah bagi kecenderungan untuk membagi berbagai transaksi komunikasi ini dalam rangkaian stimulus dan tanggapan sebagai pungtuasi. Jika kita menghendaki komunikasi yang efektif, ingin memahami maksud orang lain, maka kita harus melihat rangkaian kejadian seperti yang dipungtuasi orang lain. Selanjutnya, kita harus menyadari bahwa pungtuasi kita tidaklah mencerminkan apa yang ada dalam kenyataan, melainkan merupakan persepsi kita sendiri yang unik dan bisa keliru. 6. Komunikasi adalah proses transaksional Komunikasi adalah transaksi, maksudnya adalah komunikasi merupakan proses, bahwa komponen-komponennya saling terkait, dan bahwa para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan. 7. Komunikasi tak terhindarkan Kita mungkin menganggap bahwa komunikasi berlangsung secara sengaja, bertujuan, dan termotivasi secara sadar. Tetapi, sering kali pula komunikasi terjadi meskipun seseorang tidak merasa berkomunikasi atau tidak ingin berkomunikasi. Dalam interaksi, kita tidak bisa tidak berkomunikasi. Selanjutnya, bila kita dalam situasi interaksi, kita tidak bisa tidak menanggapi pesan dari orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Seandainya pun kita tidak bereaksi secara aktif atau secara terbuka, ketiadaan reaksi ini sendiri pun merupakan reaksi, dan itu berkomunikasi. 8. Komunikasi bersifat tak reversibel Kita dapat membalikkan arah proses beberapa sistem tertentu. Proses seperti itu dinamakan proses reversible. Tetapi ada sistem lain yang bersifat tak reversible (irreversibel). Prosesnya hanya bisa berjalan dalam satu arah, tidak bisa berbalik. Komunikasi termasuk dalam proses seperti ini, proses tak reversibel. Sekali kita mengkomunikasikan sesuatu, kita tidak bisa menarik apa yang telah kita komunikasikan. Kita mungkin bisa mengurangi dampak dari pesan yang sudah terlanjur kita sampaikan, tetapi pesan itu sendiri, sekali telah dikirimkan dan diterima, tidak bisa dibalikkan. 2.2.1.3 Unsur-Unsur Komunikasi Menurut Effendy (2006) dari berbagai pengertian komunikasi yang telah ada, tampak adanya sejumlah komponen atau unsur yang dicakup, yang merupakan persyaratan terjadinya komunikasi. Komponen atau unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: 1. Komunikator : Orang yang menyampaikan pesan; 2. Pesan
: Pernyataan yang didukung oleh lambang;
3. Komunikan
: Orang yang menerima pesan;
4. Media
: Sasaran atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya;
5. Efek
: Dampak sebagai pengaruh pesan.
2.2.1.4 Tujuan Komunikasi Ada empat tujuan atau motif komunikasi menurut Devito (2011) yaitu : 1. Menemukan Penemuan diri (personal discovery) merupakan salah satu tujuan utama dari komunikasi. Melalui komunikasi dengan orang lain, kita tidak hanya belajar mengenai diri kita sendiri melainkan juga tentang orang lain. Persepsi-persepsi yang kita punya sebagian besar dihasilkan dari apa yang telah kita pelajari tentang diri sendiri dari orang lain selama komunikasi, khususnya dalam komunikasi interpersonal. Selain itu penemuan diri dapat dilakukan melalui proses perbandingan sosial, melalui pembandingan kemampuan, prestasi, sikap,
Universitas Sumatera Utara
pendapat, nilai, dan kegagalan kita dengan orang lain. Artinya, evaluasi diri sendiri dapat dilakukan dengan membandingkan diri kita dengan orang lain. Komunikasi juga memungkinkan kita untuk menemukan dunia luar, dunia yang dipenuhi objek, peristiwa, dan manusia lain. 2. Untuk berhubungan Salah satu alasan kita yang paling kuat untuk melakukan komunikasi adalah berhubungan dengan orang lain, membina dan memelihara hubungan dengan orang lain. Kita ingin merasa dicintai dan disukai oleh orang lain, dan kita juga ingin mencintai dan menyukai orang lain. 3. Untuk meyakinkan Media massa ada sebagian besar utnuk meyakinkan kita agar mengubah sikap dan perilaku kita. Tetapi, selain itu kita juga sering melakukan persuasi interpersonal, baik sebagai sumber maupun sebagai penerima. Dalam komunikasi interpersonal sehari-hari kita berusaha mengubah sikap dan perilaku orang lain. 4. Untuk bermain Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan menghibur diri. Kita mendengarkan pelawak, pembicaraan, musik, dan film sebagian besar untuk hiburan. Demikian pula, banyak dari perilaku komunikasi kita dirancang untuk menghibur orang lain. Adakalanya hiburan ini merupakan tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan cara untuk mengikat perhatian orang lain sehingga kita dapat mencapai tujuan-tujuan lain. 2.2.1.5 Ruang Lingkup Komunikasi 1. Bidang Komunikasi Berdasarkan bidangnya (Purba, 2006:38), komunikasi meliputi jenis-jenis sebagai berikut: a. Komunikasi sosial (social communication) b. Komunikasi organisasi / manajemen (organization / management communication) c. Komunikasi bisnis (business communication) d. Komunikasi politik (political communication) e. Komunikasi internasional (international communication) f. Komunikasi antar budaya (intercultural communication)
Universitas Sumatera Utara
g. Komunikasi pembangunan (development communication) h. Komunikasi tradisional (traditional communication) i. Komunikasi lingkungan (environmental communication) 2. Sifat Komunikasi Ditinjau dari sifatnya (Purba, 2006:36), komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut : a. Komunikan verbal (verbal communication) - Komunikasi lisan (oval communication) - Komunikasi tulisan (written communication) b. Komunikasi non verbal (non verbal communication) - Komunikasi kial (gestural/body communication) - Komunikasi gambar (pictorial communication) c. Komunikasi tatap muka (face to face communication) d. Komunikasi bermedia (mediated communication) 3. Bentuk/ Tatanan Komunikasi Berdasarkan jumlah komunikan, (Purba, 2006:36) maka dikasifikasikan menjadi bentuk-bentuk sebagai berikut : a. Komunikasi Pribadi (personal communication) - Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) - Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) b. Komunikasi Kelompok (group communication) - Komunikasi kelompok kecil (small group communication) - Komunikasi kelompok besar (large group communication) c. Komunikasi Organisasi (organization communication) c. Komunikasi Massa (mass communication) - Komunikasi media massa cetak (printed mass media communication) - Komunikasi
media
massa
elektronik
(electronic
mass
communication) d. Komunikasi media (media communication) 4. Metode Komunikasi Metode komunikasi, (Purba, 2006:36) diklasifikasikan menjadi : a. Komunikasi informatif (informative communication)
Universitas Sumatera Utara
b. Komunikasi persuasif (persuasive communication) c. Komunikasi pervasif (pervasive communication) d. Komunikasi koersif (coersive communication) e. Komunikasi instruktif (instructive communication) f. Hubungan manusiawi (human relation) 2.2.2
Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar orang-orang secara
tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal. Keberhasilan komunikasi menjadi tanggung jawab peserta komunikasi. Kedekatan hubungan pihak-pihak yang berkomunikasi akan tercermin pada jenis-jenis pesan atau respon nonverbal mereka, seperti sentuhan, tatapan mata yang ekspresif, dan jarak fisik yang sangat dekat. Meskipun setiap orang dalam komunikasi interpersonal bebas mengubah topik pembicarannya, kenyataannya komunikasi interpersonal bisa didominasi oleh suatu pihak kapanpun. Komunikasi interpersonal berperan penting hingga kapanpun, selama manusia masih mempunyai emosi. Kenyataannya, komunikasi tatap muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan sesamanya (Mulyana, 2007:81). Komunikasi interpersonal didefinisikan berdasarkan komponen oleh Joseph A. Devito dalam bukunya “The Interpersonal Communication Book” (Devito, 1989:4) sebagai: “Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.” Dibandingkan
dengan
bentuk
komunikasi
lainnya,
komunikasi
interpersonal dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini,
dan
perilaku
komunikan.
Alasannya
adalah
karena
komunikasi
interpersonal umumnya berlangsung secara tatap muka, sehingga terjadi kontak pribadi. Ketika pesan disampaikan, umpan balik berlangsung seketika. Artinya, komunikator dapat mengetahui tanggapan komunikan terhadap pesan yang dilontarkan pada saat itu juga, misalnya melalui ekspresi wajah (Effendy, 2003:60-63).
Universitas Sumatera Utara
Judy C. Pearson (dalam Riswandi, 2013:66) mengemukakan enam karateristik komunikasi interpersonal, sebagai berikut: 1. Komunikasi interpersonal dimulai dalam diri pribadi/ self Berbagai persepsi komunikasi yang menyangkut pengamatan dan pemahaman berangkat dari dalam diri kita, artinya dibatasi oleh siapa diri kita dan bagaimana pengalaman kita. 2. Komunikasi interpersonal bersifat transaksional Anggapan ini mengacu pada tindakan pihak-pihak yang berkomunikasi secara serempak menyampaikan dan menerima pesan. 3. Komunikasi interpersonal mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi. Maksudnya komunikasi interpersonal tidak hanya berkenaan dengan ini pesan yang dipertukarkan, tetapi juga melibatkan siapa partner komunikasi kita dan bagaimana hubungan kita dengan partner kita. 4. Komunikasi interpersonal mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara pihak-pihak berkomunikasi. 5. Komunikasi interpersonal melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung satu dengan yang lainnya (interpenden) dalam proses komunikasi. 6. Komunikasi
interpersonal
tidak
dapat
diubah
maupun
diulang
(irreversible). Jika kita salah mengucapkan sesuatu kepada partner komunikasi kita, kita mungkin dapat minta maaf, tetapi itu tidak berarti menghapus apa yang pernah kita ucapkan (to forgive, but not to forget). Menurut Devito (2011) bahwa faktor-faktor efektivitas komunikasi interpersonal yang berdasarkan pendekatan humanistis dimulai dengan lima kualitas umum yaitu : 1. Keterbukaan (Openness) Dalam kualitas keterbukaan terdapat setidaknya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran.
Universitas Sumatera Utara
2. Empati (Empathy) Empati didefinisikan sebagai ”kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di situasi yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang. Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya. 3. Sikap Mendukung (Supportiveness) Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan di mana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategik, dan (3) provisional, bukan sangat yakin. 4. Sikap Positif (Positiveness) Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Sikap positif dapat dijelaskan lebih jauh dengan istilah stroking (dorongan). Dorongan positif mendukung citra pribadi kita dan membuat kita lebih baik. Sebaliknya, dorongan negatif, bersifat menghukum dan menimbulkan kebencian.
Universitas Sumatera Utara
5. Kesetaraan (Equality) Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidaksependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl Rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan “penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain. 2.2.3 Komunikasi Persuasif "Istilah persuasi (persuasion) bersumber pada perkataan latin persuasio. Kata kerjanya adalah persuadere, yang berarti membujuk, mengajak, atau merayu. Agar komunikasi persuasif itu mencapai tujuan dan sasarannya, maka perlu dilakukan perencanaan yang matang” (Effendi, 2006: 21-22). Menurut Jalaluddin Rakhmat “komunikasi persuasif adalah proses mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan perilaku orang dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri” (Rakhmat, 1998: 102). Menurut Devito, yang dimaksud dengan sikap adalah sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu. Sebagai contoh, jika kita mempunyai sikap menyukai terhadap asuransi, mungkin kita akan membuka polis asuransi, membaca artikel mengenai asuransi, dan bekerja sebagai agen asuransi. Sebaliknya, jika kita tidak menyukai asurnasi, kita cenderung menghindar dari agen asuransi, tidak mempunyai asuransi, dan seterusnya. Sedangkan kepercayaan adalah rasa yakin akan adanya sesuatu atau akan kebenaran sesuatu. Jadi, kita mungkin mempunyai kepercayaan bahwa asuransi sangat berguna buat kita, bahwa asuransi dibutuhkan setiap manusia. Perilaku dalam persuasi mengacu pada tindakan yang jelas dan dapat diamati. Membeli polis asuransi untuk diri
Universitas Sumatera Utara
sendiri, bekerja sebagai agen asuransi, dan membacakan sebuah artikel untuk seseorang adalah contoh-contoh perilaku karena semuanya merupakan tindakan yang dapat diamati atau dilihat. Persuasi bisa dilakukan secara rasional dan secara emosional. Dengan cara rasional, komponen kognitif pada diri seseorang dapat dipengaruhi. Aspek yang dipengaruhi berupa ide ataupun konsep. Persuasi yang dilakukan secara emosional, biasanya menyentuh aspek afeksi, yaitu hal yang berkaitan dengan kehidupan emosional seseorang. Melalui cara emosional, aspek simpati dan empati seseorang dapat digugah (Herdiyan dan Gumgum, 2013:7). Ada tiga faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi persuasif yang tujuannya adalah merubah sikap yaitu: 1. Karateristik sumber (komunikator) Ada
tiga
karateristik
sumber
komunikasi
(komunikator)
yang
mempengaruhi yaitu kredibilitas, daya tarik, dan kekuasaan. Kredibilitas atau dipercaya (believability) dari komunikator tergantung terutama pada dua faktor yaitu keahlian (expertise) dan keterandalan (trustworthiness). Keahlian adalah luasnya pengetahuan yang kelihatan/ nampak dimiliki komunikator, sedangkan keterandalan merujuk pada niat komunikator yang nampaknya tulus dan tidak memiliki keinginan untuk memperoleh sesuatu untuk kepentingan pribadinya yanga berasal dari perubahan sikap audiens yang mungkin terjadi. Daya tarik komunikator berdasarkan pada beberapa faktor yaitu penampilan fisik, menyenangkan, disukai dan kesamaan dengan komunikan. Masing-masing aspek ini berkaitan erat satu sama lain, karena tiap-tiap aspek dari daya tarik mempengaruhi persepsi tentang aspek lainnya. Komunikator yang tidak disukai pada umumnya tidak efektif dalam merubah sikap orang. Bahkan dapat menimbulkan efek negatif yakni komunikan merubah sikapnya dalam arah yang berlawanan dengan komunikator yang tidak disukai. Sebaliknya komunikator yang disukai menghasilkan perubahan sikap. Faktor lain yang berkaitan dengan efektivitas komunikator adalah kekuasaan. Jika komunikator memiliki kekuasaan untuk memberi ganjaran/ imbalan atau menghukum kepada komunikan, maka komunikan akan menyetujui dan dapat dipengaruhi.
Universitas Sumatera Utara
2. Karateristik pesan Pesan yang disampaikan jika itu sesuai dengan pandangan atau nilai-nilai dari audiens akan cenderung lebih diterima. Namun adanya kesenjangan antara isi pesan yang disampaikan dengan pendapat komunikan dapat pula menimbulkan perubahan sikap. Hal ini sesuai dengan teori disonansi kognitif, bahwa semakin besar kesenjangan, semakin besar tekanan potensial untuk berubah. Meskipun demikian, tekanan yang semakin kuat dengan semakin besarnya kesenjangan, tidak selalu menghasilkan lebih banyak perubahan. 3. Karateristik audiens (komunikan) Harga diri dan intelegensi berhubungan dengan perubahan sikap. Orang dengan harga diri tinggi pada umumnya sulit untuk dipersuasi, karena mereka memiliki keyakinan dengan pendapat mereka. Evaluasi diri mereka yang tinggi membuat komunikator yang kredibel dipersepsi menjadi kurang kredibel dalam perbandingannya. Sedangkan subyek dengan harga diri rendah pada opininya sehingga tidak menghargai opininya sendiri, agak segan mempertahankannya dan kemungkinan besar akan mengubahnya bila dipersuasi. Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh usia terhadap perubahan sikap setelah mendengar suatu pesan dari komunikator. Pada umumnya perubahan tertinggi pada subyek remaja atau dewasa dini, dan semakin tua akan semakin sulit untuk berubah (Tri Dayaksini dan Hudaniah, 2009: 106). Keberhasilan kita dalam mengukuhkan atau mengubah sikap atau kepercayaan dan dalam mengajak komunikan kita untuk berbuat sesuatu tergantung pada pemanfaatan prinsip-prinsip persuasi. Menurut Devito (2011), prinsip-prinsip dalam komunikasi persuasif adalah sebagai berikut: 1. Prinsip pemaparan selektif Para khalayak mengikuti “hukum pemaparan selektif”. Hukum ini setidaknya memiliki dua bagian: (1) pendengar akan secara aktif mencari informasi yang mendukung opini, kepercayaan, nilai, keputusan, dan perilaku mereka. (2) pendengar akan secara aktif menghindari informasi yang bertentangan dengan opini, kepercayaan, sikap, nilai, dan perilaku mereka yang sekarang. Prinsip pemaparan selektif ini mempunyai implikasi penting terhadap pembicaran persuasif kita. Jika kita ingin meyakinkan khalayak yang menganut sikap yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda dengan sikap kita sendiri, sadarilah bahwa pemaparan selektif akan terjadi, dan berlangsung secara induktif. 2. Prinsip partisipasi khalayak Persuasi akan paling berhasil bila khalayak berpartisipasi secara aktif dalam pembicaraan kita misalnya dalam mengulang atau menyimpulkan apa yang disampaikan. Persuasi adalah proses transaksional. Proses ini melibatkan baik pembicara maupun pendengar. Kita akan lebih berhasil jika kita dapat mengajak khalayak berpartisipasi aktif dalam proses ini. 3. Prinsip inokulasi Jika kita berbicara di depan “khalayak yang telah terinokulasi”, khalayak yang telah mengetahui posisi kita dan telah menyiapkan senjata berupa argumenargumen yang menentang kita, siaplah untuk maju sedikit demi sedikit. Jangan coba-coba membalikkan secara total kepercayaan atau keyakinan khalayak yang telah terinokulasi. Tugas membujuk khalayak yang belum terinokulasi sering kali jauh lebih mudah, karena kita tidak perlu menembus tameng penolakan mereka. 4. Prinsip besaran perubahan Makin besar dan makin penting perubahan yang ingin kita hasilkan atas diri khalayak, makin sukar tugas kita. Kita biasanya menuntut sejumlah besar alasan dan bukti sebelum mengambil keputusan penting seperti perubahan karir, pindah ke daerah lain, atau menginventasikan uang pesangon dalam bentuk saham tertentu. Sebaliknya, kita akan lebih mudah diyakinkan dalam hal-hal yang tidak begitu penting. Persuasi, karenanya, paling efektif bila diarahkan untuk melakukan perubahan kecil dan dilakukan untuk periode waktu yang cukup lama. Dalam komunikasi persuasif terdapat komponen atau elemen sehingga dapat disebut sebagai komunikasi persuasif. Komponen tersebut antaranya: 1. Claim, yaitu pernyataan tujuan persuasif baik yang tersurat (eksplisit) maupun tersirat (implisit). 2. Warrant, yaitu perintah yang dibungkus dengan ajakan atau bujukan sehingga terkesan tidak memaksa. 3. Data, yaitu data-data atau fakta-fakta yang digunakan untuk memperkuat argumentasi keunggulan pesan dari komunikator (Herdiyan dan Gumgum, 2013:8).
Universitas Sumatera Utara
Robert Cialdini menyebutkan bahwa ada beberapa aspek dalam proses persuasi yaitu: 1. Reciprocity Prinsip ini mengedepankan asumsi bahwa setiap individu akan selalu berpikir dengan azas timbal balik, bahwa ketika individu mendapatkan bantuan atau sesuatu dari orang lain, maka akan timbul kemungkinan untuk individu tersebut membalas bantuan atau pemberian tersebut ke orang lain. 2. Commitment dan Consistency Komitmen dan konsistensi akan membantu sekali dalam memastikan pesan berupa ide, keyakinan, dan perilaku yang kita kirim melalui persuasi menancap dengan kuat pada objek penerima persuasi. 3. Social Proof Lingkungan sosial yang terdiri dari orang-orang memiliki dampak kuat terhadap proses komunikasi. Berdasarkan prinsip ini, individu akan melakukan sesuatu bila orang lain juga melakukan hal tersebut. 4. Authority Otoritas adalah kunci persuasi dapat berjalan efektif. Individu akan cenderung mematuhi figure otoritas, bahkan ketika mereka melakukan hal yang memberatkan buat mereka. 5. Liking Individu akan lebih mudah menerima persuasi dengan orang lain ketika mereka menyukai orang yang memberi persuasi tersebut. 6. Scarcity Dipahami sebagai kelangkaan, persuasi diharapkan akan lebih berhasil ketika persuasi dilakukan dalam kondisi kelangkaan (Herdiyan dan Gumgum, 2013:16). Menurut Devito (2011) dalam pembicaraan persuasif, kita akan berusaha mencapai salah satu dari dua tujuan. Adapun dua tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pembicaraan untuk memperkuat atau mengubah sikap atau kepercayaan. Banyak pembicaraan yang ditujukan untuk memperkuat sikap atau kepercayaan yang sudah ada. Sebagai contoh, orang yang mendengarkan ceramah
Universitas Sumatera Utara
agama ,ceramah seperti ini ditujukan untuk memperkuat sikap dan kepercayaan yang sudah dianut khalayak pendengar. Di sini, khalayak cenderung mendukung sasaran pembicara dan bersedia mendengarkan. Pembicaraan yang dirancang untuk mengubah sikap atau kepercayaan lebih sukar. Kebanyakan orang menolak perubahan. Pembicaraan yang dirancang untuk memeperkuat atau mengubah sikap atau kepercayaan ada banyak bentuknya. Semua bergantung pada posisi awal dari khalayak. Bila kita berusaha memperkuat atau mengubah sikap atau kepercayaan, ada beberapa strategi untuk melakukannya yaitu antara lain : a. Perkirakanlah dengan cermat tingkat sikap atau kepercayaan pendengar saat ini. Jika pada dasarnya pendengar sependapat dengan kita, maka kita dapat mengemukakan tesis kita sedini mungkin. Namun jika kedua belah pihak belum sependapat dan kita ingin mengubah sikap mereka, maka simpanlah tesis kita sampai kita selesai mengemukakan bukti dan argumen. b. Upayakanlah perubahan sedikit demi sedikit. Bila berbicara di depan khalayak yang bertentangan dengan posisi kita, batasilah sasaran kita hanya pada perubahan-perubahan kecil. c. Berikan
alasan
yang
meyakinkan
untuk
membuat
khalayak
mempercayai apa yang kita inginkan mereka percayai. Kemukakan bukti dan argument yang meyakinkan dan nyata. 2. Pembicaraan untuk merangsang tindakan Pembicaraan yang persuasif yang dirancang untuk memotivasi suatu perilaku spesifik dapat dipusatkan pada hampir semua perilaku yang dapat kita bayangkan. Bila merancang suatu pembicaraan untuk mengajak pendengar melakukan sesuatu, ada beberapa strategi untuk melakukannya yaitu antara lain : a. Bersikaplah realistis tentang apa yang kita inginkan untuk dilakukan khalayak kita. Kita hanya bisa meminta mereka melakukan perilaku yang mudah dan sederhana saja. b. Tunjukkan kesediaan kita sendiri untuk melakukan hal yang sama. Sebagai pedoman umum, jangan pernah meminta khalayak untuk melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak melakukannya. Selain kita
Universitas Sumatera Utara
melakukannya, perlihatkan kepada mereka bahwa kita senang melakukannya. c. Tekankan manfaat spesifik dari perilaku ini bagi khalayak kita. Jangan meminta khalayak untuk menjalankan suatu perilaku hanya karena alasan-alasan yang tidak jelas. Berikan mereka contoh konkret dan spesifik mengenai bagaimana mereka akan mendapatkan manfaat dari tindakan yang kita ingin mereka lakukan. 2.2.4 AIDA AIDA dikenal sebagaimana seorang pemasar merancang pesan yang disampaikan dengan kata yang tepat sehingga terjadinya pengambilan keputusan akan pembelian produk. Tetapi tidak semua pemasar dapat menyampaikan pesannya dengan baik sehingga terjadinya keraguan pembeli dalam memilih kebutuhan dan keinginannya. Rancangan pesan tersebut dijelaskan oleh beberapa para ahli dalam mengklarifikasikan teori AIDA, sebagai berikut : Menurut Kotler menjelaskan “Teori AIDA (Attention, Interest, Desire, dan Action) merupakan suatu pesan yang harus mendapatkan perhatian, menjadi ketertarikan, menjadi minat, dan mengambil tindakan. Teori ini menyampaikan akan kualitas dari pesan yang baik”. Sedangkan menurut Tjetjep Djatnika (2007) menjelaskan “Teori AIDA merupakan pengambilan keputusan pembelian adalah suatu proses psikologis yang dilalui oleh konsumen atau pembeli, prosesnya yang di awali dengan tahap menaruh perhatian (Attention) terhadap barang atau jasa yang kemudian jika berkesan dia akan melangkah ke tahap ketertarikan (Interest) untuk mengetahui lebih jauh tentang keistimewaan produk atau jasa tersebut yang jika intensitas ketertarikannya. Jika sudah dia tertarik dengan produk atau jasa dan merasa sesuai dengan seleranya, maka akan timbul hasrat (Desire) untuk melakukan tindakan (Action) yakni dengan membeli produk atau jasa tersebut. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa AIDA merupakan alat penyampaian suatu pesan yang ideal kepada konsumen melalui suatu tahapan yang terdiri dari perhatian (attention/awareness), ketertarikan (interest), minat
Universitas Sumatera Utara
(desire), dan mengambil tindakan (action). Seorang pemasar harus menyadari bahwa pesan yang disajikan terdapat tentang AIDA, yaitu : 1. Perhatian (Attention) Menimbulkan perhatian pelanggan berarti sebuah pesan harus dapat menimbulkan perhatian baik dalam bentuk dan media yang disampaikan. Perhatian itu bertujuan secara umum atau khusus kepada calon konsumen atau konsumen yang akan dijadikan target sasaran. Hal tersebut dapat dikemukan lewat tulisan dan gambar yang menonjol dan jelas, perkataan yang menarik atau mudah diingat, dan mempunyai karakteristik tersendiri. Pesan yang menarik perhatian merupakan suatu langkah awal bagi perusahaan di mana pesan tersebut akan dikenal, diketahui, dan diingat oleh konsumen. Proses tersebut bisa dikatakan sebagai proses awareness / kesadaran akan adanya produk yang disampaikan ke konsumen. 2. Ketertarikan (Interest) Tertarik berarti pesan yang disampaikan menimbulkan perasaan ingin tahu, ingin mengamati, dan ingin mendengar serta melihat lebih seksama. Hal tersebut terjadi karena adanya minat yang menarik perhatian konsumen akan pesan yang ditunjukkan. 3. Keinginan (Desire) Pemikiran terjadi dari adanya keinginan. Hal ini berkaitan dengan motif dan motivasi konsumen dalam membeli suatu produk. Motif pembelian dibedakan menjadi dua, yaitu motif rasional dan emosional. Di mana motif rasional mempertimbangkan konsumen akan keuntungan dan kerugian yang didapatkan. Sedangkan motif emosional terjadi akibat emosi akan pembelian produk. 4. Tindakan (Action) Tindakan terjadi dengan adanya keinginan kuat konsumen sehingga terjadi pengambilan keputusan dalam melakukan pembeli produk yang ditawarkan. 2.2.5
Teori Kemungkinan Elaborasi Teori kemungkinan elaborasi yang termasuk dalam model perubahan sikap
yang terjadi dalam diri seseorang ini dikembangkan oleh ahli psikologi sosial Richard Petty dan Jhon Cacioppo yang telah menjadi teori persuasif paling populer dewasa ini. Elaborasi (elaboration) berkenaan dengan aktivitas mental
Universitas Sumatera Utara
dari respon atas sebuah pesan. Manusia mengelaborasi sebuah pesan ketika mereka berpikir apa yang dikatakan oleh pesan tersebut, mereka mengevaluasi argumen dalam pesan tersebut, dan mungkin bereaksi emosional terhadap klaim dari pesan tersebut. Pada tahap awal kedua ahli tersebut hanya ingin melakukan riset atau pengujian tentang persuasi dengan konsep pesan yang memiliki argumentasi yang lengkap
atau
berdasarkan
kredibilitas
sumber
pengirim
pesan.
Selain
membandingkan mereka juga menemukan pola kognisi penerimaan pesan dalam proses terpersuasi atau kemungkinan elaborasi tergantung pada cara seseorang memproses pesan. Ada dua rute untuk pengolahan pesan yaitu rute sentral dan rute periferal. Elaborasi atau berpikir secara kritis terjadi pada rute sentral, sementara ketiadaan berpikir secara kritis terjadi pada rute periferal (Littlejohn 2009:108). JALUR
Pemrosesan
Respon Emosional dan
UTAMA
Argumen Pesan
Kognitif terhadap Argumen Pemrosesan
EL=Tingg
Pembentukan
Eksposure
Perubahan Sikap Tetap
Sikap
terhadap Pesan:
Motivasi, Kemampuan
Argumen Pesan Sinyal Periferal
dan Peluang Penerima
PESAN
EL=
untuk Memproses
EL=
Pemrosesan
Perubahan
Pembentukan
Sikap
Sikap
Sementara
JALUR
Pemrosesan
Respon Emosional
PERIFERAL
Sinyal Periferal
dan Kognitif terhadap Argumen
Sumber : Terence A. Shimp Dalam rute sentral, seseorang dalam mengelola pesan akan distimulus suatu informasi akan mendiskursuskan terlebih dahulu dalam aktivitas mentalnya, memilih, melakukan imajiner degnan mempertimbangkan keuntungan dan
Universitas Sumatera Utara
kerugian dari informasi tersebut. Sehingga elaborasi atau pemikiran kritis terjadi pada rute sentral, di mana seseorang secara aktif memikirkan dan memboboti informasi sesuai dengan pengetahuannya. Selanjutnya rute periferal (peripheral route) kecendrungan kognitif di mana penerimaan atau penolakan suatu pesan lebih ditekankan pada kredibilitas pengirim informasi, reaksi lingkungan, atau terpengaruh oleh faktor-faktor lain di luar argumentasi (atribusi eksternal). Sehingga non elaborasi atau kurangnya pemikiran kritis terjadi pada rute periferal. Keterlibatan seseorang dalam elaborasi serta sejauh apa individu terlibat tergantung kepada motivasi diri, kemampuan, serta peluang untuk memproses sebuah pesan. Secara kolektif, ketiga faktor ini (motivation, opportunity, dan ability yang disingkat menjadi MOA) menentukan kemungkinan elaborasi setiap individu atas sebuah pesan. Kemungkinan elaborasi (elaboration likelihood) yang rendah dimungkinkan ketika faktor MOA juga rendah dan juga sebaliknya (Terence A. Shimp 2003: 23). 2.2.6 Motivasi Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin, yang berarti “bergerak”. Motivasi merujuk pada suatu proses dalam diri manusia atau hewan yang menyebabkan organisme tersebut bergerak menuju suatu tujuan, atau bergerak menjauh dari situasi yang tidak menyenangkan. Selama beberapa dekade, penelitian-penelitian mengenai motivasi didominasi oleh penelitian-penelitian yang
mempelajari
dorongan
biologis,
seperti
dorongan-dorongan
untuk
mendapatkan makanan dan minuman, untuk menjadi unik, dan untuk menghindari situasi yang tidak menyenangkan atau rasa sakit. Beberapa psikolog masih menganggap bahwa orang-orang termotivasi oleh dorongan-dorongan tertentu, terutama dorongan seksual dan dorongan yang diakibatkan oleh rasa lapar. Namun teori tersebut tidak dapat menjelaskan kompleksitas motivasi pada manusia secara penuh, karena manusia merupakan mahluk yang dapat berpikir dan merencanakan masa depannya, menentukan tujuan bagi dirinya, dan merancang strategi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kita bisa tergerak untuk mencapai suatu tujuan karena motivasi intrinsik, yakni suatu keinginan untuk melakukan suatu aktivitas atau meraih pencapaian tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan yang didapat dari melakukan aktivitas tersebut,
Universitas Sumatera Utara
atau karena motivasi ekstrinsik, yakni keinginan untuk mengejar suatu tujuan yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal. Pendekatan yang umum digunakan dalam memahami motivasi berprestasi memiliki penekanan pada tujuan (goals) alih-alih pada dorongan internal. Tujuan yang telah kita tetapkan dan alasan yang kita miliki untuk mengejar tujuan tersebut akan menentukan pencapaian (prestasi) yang kita dapatkan, meskipun tidak semua tujuan akan menuntun kita pada prestasi yang nyata. Tujuan dapat meningkatkan motivasi dan kinerja apabila ketiga kondisi berikut ini terpenuhi: 1. Tujuan bersifat spesifik. Tujuan yang tidak jelas, seperti “melakukan yang terbaik”, bukanlah tujuan yang efektif, tinjauan ini bahkan tidak berbeda dengan tidak memiliki tujuan sama sekali. Kita perlu lebih spesifik menentukan tujuan, termasuk menentukan waktu pengerjaan: “Pada hari, saya akan merekrut calon agen asuransi, minimal dua orang.” 2. Tujuan harus menantang, namun dapat dicapai. Kita cenderung bekerja keras untuk mencapai tujuan yang sulit namun realistis. Semakin tinggi dan semakin sulit suatu tujuan maka semakin tinggi juga tingkat motivasi dan kinerja kita, kecuali kalau kita memilih suatu tujuan yang mustahil kita capai. 3. Tujuan kita dibatasi pada mendapatkan apa yang kita inginkan, bukannya menghindari apa yang tidak kita inginkan. Tujuan mendekati (approach goal) merupakan pengalaman positif yang kita harapkan secara langsung, seperti mendapatkan kenaikan posisi atau mencapai target bulanan. Sedangakan tujuan menghindari (avoidance goal) melibatkan usaha menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti menghindari penolakan, atau tidak mempermalukan diri sendiri pada suatu acara. Tujuan mendekati memungkinkan kita berfokus pada tindakan yang dapat kita lakukan secara aktif untuk mencapai tujuan tersebut dan memungkinkan kita berfokus pada kepuasan intrinsik dari suatu aktivitas. Sebaliknya, tujuan menghindari akan membuat kita berfokus pada hal-hal yang harus kita korbankan. Mendefinisikan tujuan yang kita miliki akan semakin mendekatkan kita dengan keberhasilan, namun ketika mencapai tujuan, kita menemukan rintangan
Universitas Sumatera Utara
mungkin beberapa orang akan menyerah saat menghadapi kesulitan atau menghadapi kemunduran, sedangkan beberapa yang orang lainnya justru termotivasi saat menghadapi tantangan. Carol Dweck dan rekan-rekannya mengajukan asumsi bahwa faktor penting yang memprediksikan kekuatan motivasi seseorang adalah jenis sasaran yang diusahakan orang tersebut. Para
peneliti
awalnya
menentukan
definisi
operasioanl
dengan
membedakan tujuan kinerja (performance goal) dengan tujuan penguasaan (mastery goal). Orang-orang yang termotivasi oleh tujuan kerja lebih mengutamakan penilaian positif yang diberikan orang lain terhadap dirinya, dan menghindari kritik dari orang lain. Orang-orang yang termotivasi oleh tujuan penguasaan akan lebih mengutamakan peningkatan kompetensi dan keterampilan, serta lebih mengutamakan kepuasan intrinsik dalam proses pencapaian sasaran. Dweck menyatakan bahwa saat seseorang yang termotivasi oleh tujuan kinerja mengalami kegagalan, mereka cenderung menyalahkan diri sendiri dan kehilangan semangat untuk memperbaiki prestasinya. Keinginan mereka untuk dapat mendemonstrasikan kemampuan yang mereka miliki menyebabkan mereka merasa tertekan saat mengalami kegagalan, yang lazim terjadi saat kita sedang mempelajari sesuatu yang baru. Sebaliknya, orang-orang yang termotivasi untuk menguasai suatu kemampuan yang baru akan menerima kegagalan sebagai suatu sumber informasi yang penting yang akan membantu mereka memperbaiki diri mereka. Kegagalan dan kritik dari orang lain tidak akan membuat mereka menyerah, karena mereka memahami bahwa proses belajar membutuhkan waktu (Carole, 2009). 2.2.7
Disonansi Kognitif West dan Turner (2011) menyatakan bahwa sikap orang tidak dapat
diamati secara langsung, tetapi terdapat kepercayaan bahwa sikap merupakan alat prediksi mengenai perilaku manusia yang baik. Begitu pentingnya sikap sehingga banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan mengenai pembentukan sikap, perubahan, dan keterhubungan antara kognisi, sikap, emosi, dan kecendrungan perilaku. Banyak psikolog, seperti Fiske dan Taylor menyatakan bahwa pendekatan mengenai sikap yang paling berpengaruh diturunkan dari teori konsistensi kognitif.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan konsistensi kognitif menegaskan bahwa seseorang selalu berusaha mendapatkan koherensi dan makna dalam kognisinya. Jika kognisi mereka sudah konsisten dan mereka berhadapan dengan kognisi baru yang mungkin menimbulkan inkonsistensi, maka mereka akan berjuang untuk meminimalkan inkonsistensi itu. Teori konsistensi mengemukakan bahwa pikiran beroperasi seperti sebuah penengah antara stimulus (ransangan) dan respon. Teori ini menyatakan jika seseorang menerima rangsangan, maka pikiran akan memprosesnya menjadi sebuah pola dengan rangsangan lainnya yang sudah diterima atau sudah ada sebelumnya. Jikalau rangsangan baru tersebut tidak sesuai dengan pola yang ada atau tidak konsistensi, maka orang tersebut akan mengalami ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan tersebut timbul ketika seseorang menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang (inkonsisten), hal inilah yang dikatakan sebagai disonansi kognitif. Konsistensi merupakan prinsip penting dan teratur yang ada dalam proses kognitif manusia, dan perubahan respon terjadi sebagai akibat adanya informasi yang menganggu keteraturan tersebut. Menurut Festinger (1957) dalam Morissan (2013), manusia membawa berbagai unsur (elemen) dalam kognitifnya. Elemen tersebut adalah sikap, persepsi, pengetahuan, dan tingkah laku. Elemen-elemen tersebut berada dalam suatu sistem yang tidak terpisah dan saling mempengaruhi. Ada tiga jenis hubungan yang mungkin terjadi antar elemen-elemen tersebut. Pertama, hubungan yang tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap elemen-elemen yang ada, disebut sebagai hubungan nihil atau tidak relevan (irrelevant). Kedua, hubungan konsistensi atau hubungan konsonan, yaitu hubungan antar elemen yang saling menguatkan. Ketiga adalah hubungan yang menimbulkan ketidaksesuaian (inkonsisten) atau disonansi. Terdapat dua ide penting yang menjadi dasar teori disonansi kognitif ini yaitu: pertama, adanya disonansi akan menimbulkan ketegangan dan stress yang membuat seseorang tertekan dan mencari jalan untuk berubah. Kedua, kondisi disonansi membuat seseorang tidak hanya berupaya untuk menguranginya tetapi juga menghindarinya.
Universitas Sumatera Utara
Festinger (1957) dalam Morissan (2013) mengemukakan sejumlah metode yang digunakan manusia untuk mengatasi ketidaksesuaian kognitif. 1. Mengubah satu atau lebih elemen kognitf yang ada. Misal elemen tingkah laku (tindakan) dan atau elemen sikap. 2. Menambahkan elemen baru dalam hubungan yang inkonsisten guna menetralkan disonansi. 3. Mempertimbangkan kembali disonansi yang terjadi. Melalui pertimbangan tersebut seseorang memahami disonansi yang terjadi bukanlah hal yang terpenting jika dibandingkan dengan hal yang lain. 4. Mencari informasi yang dapat mendukung suatu tindakan agar seseorang punya penguatan atas tindakannya yang dilakukannya. 5. Mengurangi disonansi yang terjadi dengan mendistorsi atau menyalah artikan informasi yang ada sehingga terbentuk pemahaman yang dapat diterima oleh kognisinya. Banyak teori dan riset mengenai teori disonansi kognitif yang mengemukakan berbagai situasi atau keadaan yang memungkinkan disonansi dapat terjadi. Situasi atau keadaan yang dapat mendorong timbulnya disonansi adalah sebagai berikut: saat membuat keputusan (decision making), kepatuhan yang dipaksakan (forced compliance), memasuki kelompok baru (initiation), dukungan sosial (social support), dan usaha atau daya upaya (effort) (Morissan, 2013). Menurut Leon Festinger (1957) dalam West dan Turner (2011) perasaan ketidakseimbangan kognisi yang timbul atas ketidaksesuaian rangsangan dengan pola rangsangan yang sudah ada sebelumnya disebut sebagai disonansi kognitif. Ia juga berpendapat inti dari teori disonansi kognitif adalah adanya sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Proses disonansi kognitif Sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten Berakibat pada Mulainya disonansi Berakibat pada
Dikurangi dengan
Rangsangan yang tidak menyenangkan
Perubahan yang menghilangkan inkonsistensi
Sumber : Festinger, 1957 Festinger menyatakan bahwa ketidaknyamanan yang disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya perubahan, pernyataan ini sangat penting bagi para peneliti komunikasi. Dengan bersandar dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa disonansi kognitif dapat memotivasi perilaku komunikasi saat orang melakukan persuasi kepada orang lainnya dan saat orang berjuang untuk mengurangi disonansi kognitifnya. Dengan kata lain, ketika seseorang menemui orang lain dalam rangka mengurangi disonansi maka hal tersebut merupakan cara dan usahanya untuk mempengaruhi dirinya sendiri demi mengalami perubahan dalam dirinya (West & Turner, 2011). 2.2.8
Rekrutmen Adapun beberapa pedoman dalam melakukan perekrutan menurut Joe
Rubino dalam bukunya yang berjudul “7 Langkah Mencapai Keberhasilan Finansial” yaitu antara lain: 1. Buanglah rasa untuk memaksa siapa pun melakukan apa pun hanya karena kita ingin dia melakukannya. Menekan, memohon, dan memaksa orang membeli barang kita adalah perbuatan yang hina dalam bisnis ini. Kita bisa saja memaksa orang bergabung dengan berkata jika mereka ikut, kita tidak akan mengganggu mereka lagi. Namun, jika ingin membangun bisnis jangka panjang, mereka harus
Universitas Sumatera Utara
memiliki motivasi yang berasal dari diri sendiri., bukan paksaan. Distributor yang memohon-mohon juga tidak mencirikan jati diri yang menarik sebagai mitra bisnis. Jadi, kita harus selalu menjaga sikap yang menyampaikan pesan bahwa “saya sangat senang jika Anda mau bergabung dengan tim kami, tapi saya tidak akan memaksa Anda bergabung.” 2. Sedialah
memberikan
nilai
pada
kehidupan
prospek.
Setelah
mendengarkan presentasi kita, apakah prosepk tahu bahwa kita baru-baru ini atau sebentar lagi akan sukses dalam bisnis serta bahwa jika bergabung dengan kita mereka pun akan sukses? Jika kita melakukan pekerjaan dengan benar, prospek akan berpikir, “Ini pasti hari keberuntungan saya!” Lagi pula, yang kita bagi kepada prospek adalah berkah sejati dan akan menjadi kehormatan bagi prospek mana pun untuk memiliki orang segigih kita sebagai mitra bisnis serta sponsor mereka (Joe Rubino, 2013:149). Lebih lanjut Joe Rubino menyarankan beberapa tujuan percakapan dalam melakukan perekrutan yakni: 1. Ciptakan nilai manfaat sejati. Suksesnya perekrutan bergantung pada penciptaan nilai yang sangat besar bagi prospek. Apakah niat kita adalah membuat prospek menyadari bahwa kita menawari mereka peluang-peluang yang sangat menyenangkan untuk dijelajahi? Mungkin pertama-tama kita ingin mengecek tingkat keyakinan kita. Apakah keyakinan kita pada konsep pemasaran jaringan adalah keyakinan yang sangat kokoh dan tak tergoyahkan? Apakah kita bangga pada pekerjaan kita atau mungkin kita merasa malu pada taraf tertentu karena berafiliasi dengan teknik pemasaran yang banyak disalahpahami orang sebagai skema piramida? Apakah kita secara percaya diri melihat perusahaan kita sebagai sarana mencapai kemakmuran jangka panjang dan kebebasan ekonomi untuk setidaknya lima puluh tahun ke depan? Apakah kita sepenuhnya yakin pada nilai produk kita? Apakah kita sepenuhnya yakin bahwa kita akan sukses dan bahwa kita benar-benar tahu cara mendukung orang lain agar sukses? Jika ada jawaban dari salah satu pertanyaan itu yang tidak pasti, prospek mungkin bisa merasakan bahwa ada hal yang juga kurang dalam diri kita. Kata-kata kita mungkin benar, tapi aura yang kita pancarkan bisa jadi mengungkapkan ketidakyakinan kita.
Universitas Sumatera Utara
2. Cari tahu seperti apa dunia prospek kita. Terapkan FLOP. Tanyakan pada mereka keluarga (family), pekerjaan (occupation), dan hasrat atau hobi (passion or hobby). Tunjukkan kepedulian tulus mengenai siapa prospek kita dan apa yang membuatnya spesial. Tawarkan pujian tulus jika pantas. Jalin hubungan pertemanan. Bila kita menyisihkan waktu untuk menjalin hubungan pertemanan sebelum memberikan informasi tentang pemasaran jaringan, prospek cenderung lebih mau mendengarkan apa yang kita sampaikan. 3. Kenali hal-hal yang penting bagi prospek atau hal-hal yang belum ada dalam kehidupannya. Untuk memahami hal-hal yang menarik bagi prospek kita, kita harus menyisihkan waktu untuk mencari tahu apa saja yang penting bagi mereka, kesulitan hidup yang mereka dapat, hal apa yang mereka belum dapat baik dari hal uang, jaminan, kesenangan, pemenuhan kebutuhan, atau kebebasan. Cara yang baik untuk mendapatkan pengetahuan tentang hal apa yang paling berarti bagi prospek adalah dengan bertanya beberapa pertanyaan mengenai kehidupan prosepek kita. 4. Jalin hubungan yang didasarkan pada rasa saling bergantung dan berusahalah berkontribusi pada hidup mereka. Orang senang bekerja dan bergabung dengan mereka yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Semakin banyak ketertarikan yang sama antara kita dan prospek, semakin mungkin dia menyukai, mempercayai, serta ingin bersama kita. Jika kita juga bisa mengenali sejumlah cara yang membuat peluang yang kita tawarkan dapat berkontribusi padanya atau produk kita dapat memenuhi kebutuhannya, kita akan menjadi semakin dekat dalam membangun kesamaan lain yang kita berdua miliki yaitu bisnis (Joe Rubino, 2013:149). 2.2.9
Agen Asuransi Agen adalah pihak yang melakukan tugas mewakili prinsipalnya kepada
atau dalam berhubungan dengan pihak ketiga. Agen dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Agen Umum Pihak yang melakukan tugas mewakili prinsipalnya kepada atau dalam berhubungan dengan pihak ketiga. Dengan demikian agen umum adalah seseorang yang diberi kuasa atau wewenang untuk mewakili dan melaksanakan segala urusannya, dalam hubungan hukumnya dengan pihak ketiga. 2. Agen Asuransi (menurut Ps. 1 ayat 10 UU.No.2 Thn. 1992) Seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama Penanggung. Ketentuan-ketentuan agen asuransi (Pasal 27 PP No. 73 tahun 1992): a. Setiap agen asuransi hanya dapat menjadi agen dari satu perusahaan asuransi. b. Agen asuransi wajib memiliki perjanjian keagenan dengan perusahaan asuransi yang diageni. c. Semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni. d. Agen asuransi dalam menjalankan kegiatannya harus memberikan keterangan yang benar dan jelas kepada calon tertanggung tentang program asuransi yang dipasarkan dan ketentuan isi polis, termasuk hak dan kewajiban calon tertanggung. Untuk menjadi seorang agen, seseorang harus melalui tiga proses dasar sebagai berikut: 1. Rekrutmen dan seleksi Pertama harus mengikuti rekrutmen dan seleksi oleh perusahaan asuransi. Rekrutmen adalah proses mengumpulkan kandidat yang berminat menjadi agen asuransi. Seleksi adalah proses menilai kesesuaian kandidat dengan kriteria seorang agen. 2. Pelatihan dan pendaftaran Setelah lulus proses seleksi, akan mengikuti pelatihan, yang antara lain mencakup pengetahuan dasar asuransi, pengetahuan produk dan karir keagenan di perusahaan yang bersangkutan. Bila telah lulus pelatihan, selanjutnya akan diangkat menjadi agen perusahaan tersebut dengan menandatangani kontrak/
Universitas Sumatera Utara
perjanjian keagenan. Hubungan Anda dengan perusahaan asuransi bukanlah hubungan majikan-karyawan, tetapi hubungan kemitraan. 3. Lisensi keagenan Ada dua jenis lisensi atau sertifikat yang diberikan kepada agen, yaitu lisensi untuk menjual produk asuransi tradisional dan untuk produk unit-link. Lisensi yang kedua hanya dapat diperoleh bila Anda sudah lulus yang pertama.
2.3
Model Teoretik Objek Penelitian Komunikasi agen
persuasif
asuransi
Allianz
cabang
Kota
Medan
dalam
merekrut
calon Tujuan penelitian - Strategi
komunikasi
persuasif
yang digunakan agen asuransi
dalam melakukan perekrutan
- Tahapan-tahapan
komunikasi
persuasif agen asuransi dalam
melakukan perekrutan.
- Perubahan perilaku yang terjadi
pada calon agen asuransi sebagai
akibat
persuasif.
adanya
komunikasi
Teori : -
Komunikasi Persuasif AIDA Teori Kemungkinan Elaborasi Motivasi Disonansi Kognitif
Universitas Sumatera Utara