BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Lembaga Kemahasiswaan 2.1.1
Pengertian Lembaga Kemahasiswaan Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan
tinggi, hal ini tercantum dalam buku Peraturan Penyelenggarakan Kegiatan Akademik dalam Sistem Kredit Semester Universitas Kristen Satya Wacana (2009). Mahasiswa merupakan elemen penting dalam setiap perguruan tinggi. Seperti di Universitas Kristen Satya Wacana yang sering disebut UKSW, mahasiswanya dicetak menjadi mahasiswa yang berjiwa yang bermoral tinggi, berbudi luhur yang didasarkan atas kasih dan etika keilmuan serta peduli terhadap masalah sosial, lingkungan hidup dan kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat. Untuk mencetak mahasiswa ini diperlukan wadah khusus di dalam perguruan tinggi. Oleh karena itu setiap perguruan tinggi menyediakan wadah Lembaga Kemahasiswaan demi perkembangannya yang sering disebut LK. Universitas Kristen Satya Wacana sebagai lembaga pendidikan tinggi memiliki otonomi dan menjunjung tinggi kebebasan akademik. Dengan berlandaskan iman Kristiani, UKSW memanifestasikan norma-normanya dalam dasar UKSW serta berfungsi sebagai universitas scientiarum, magistrorum et scholarium untuk pembentukan creative minority, pembinaan calon pemimpin masyarakat, fungsi radar, sebagai pelayan dan pendidikan pelayan (diakonia) (Statuta UKSW, 2000). 7
Untuk
melaksanakan
fungsi-fungsi
tersebut
maka
UKSW
harus
melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi, mendorong pemikiran yang kritisprinsipil dan kreatif-realistis, menjadi pusat pemikiran dan pengalaman untuk pembinaan kehidupan yang adil, tertib, bebas dan sejahtera, menjadi Perguruan Tinggi Kristen Indonesia yang seluruh kegiatannya pada satu pihak merupakan perwujudan iman Kristen yang oikumenis dan pihak lain menjawab secara tepat situasi sosio-kultural dan kebutuhan bangsa dan dan negara Indonesia, mengusahakan hubungan yang bermakna antara iman Kristen dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan dan pelayanan serta mengusahakan terbentuknya angkatan pemimpin masyarakat yang dilengkapi bekal ilmu pengetahuan dan kepekaan di bidang tertentu serta memiliki kesadaran pengabdian kepada masyarakat. Keseluruhan hal tersebut tidak dapat dijalankan oleh pimpinan fakultas atau Universitas semata namun oleh semua komponen didalamnya termasuk mahasiswa melalui Lembaga Kemahasiswaan (Dera, 2004) 2.1.2
Bentuk Organisasi Lembaga Kemahasiswaan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana
(KUKM UKSW, 2011) menyebutkan bentuk organisasi LK di UKSW adalah: (1) Badan perwakilan Mahasiswa Universitas (BPMU) adalah lembaga perwakilan dan permusyawaratan mahasiswa di aras Universitas. (2) Senat Mahasiswa Universitas (SMU) adalah lembaga eksekutif mahasiswa di aras universitas yang mengkoordinasikan aktifitas mahasiswa di aras Universitas dan Fakultas. 8
(3) Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) adalah lembaga perwakilan dan permusyawaratan mahasiswa diaras fakultas. (4) Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) adalah lembaga eksekutif di aras fakultas yang mengkoordinasikan aktivitas mahasiswa di aras fakultas dan atau program studi. (5) Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP) adalah himpunan mahasiswa yang terdapat pada fakultas tertentu yang mempunyai program studi. (6) Kelompok Bakat Minat (KBM) yang merupakan himpunan mahasiswa yang memiliki satu kesamaan minat, bakat,dan perhatian pada bidang tertentu yang terintegrasi dengan LK di atas fakultas atau universitas, KBM ini termasuk dalam naungan SMF.
2.1.3
Tujuan Organisasi Lembaga Kemahasiswaan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Tujuan organisasi di UKSW dalam KUKM UKSW (2011) sebagai
berikut: (1) Menjadi wahana bagi mahasiswa untuk berperan serta dalam mewujudkan tujuan perguruan tinggi pada umumnya dan Universitas Kristen Satya Wacana pada Khususnya. (2) Menjadi wahana untuk membina persekutuan dan persaudaraan untuk kesejahteraan mahasiswa. (3) Menjadi wahana mempersiapkan calon – calon pemimpin yang kritis-prinsipil, kreatif-realistis dan non- konformis.
9
(4) Menjadi saluran bicara mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi konstruktif dan bertanggung jawab, yang hidup dikalangan mahasiswa.
2.1.4
Fungsi dan Peranan Lembaga Kemahasiswaan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga KUKM UKSW (2011) menyebutkan fungsi dan peran LK UKSW adalah:
(1) Menjadi wahana bagi mahasiswa untuk berperan serta dalam mewujudkan tujuan Perguruan Tinggi pada umumnya dan Universitas Kristen Satya Wacana pada khususnya. (2) Menjadi wahana untuk membina persekutuan dan pesaudaraan untuk kesejahteraan mahasiswa. (3) Menjadi wahana mempersiapkan calon-calon pemimpin yang kritis-analitisobyektif, kreatif-inovatif, adaptif, dinamis, dedikatif dan terampil yang religius. (4) Menjadi wahana bagi mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi kontruktif dan bertanggung jawab, yang hidup di kalangan mahasiswa.
2.1.5
Tugas dan Wewenang Organisasi Lembaga Kemahasiswaan yang ada di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Tugas dan wewenang organisasi yang ada di UKSW dalam LK FKIP
tercantum dalam KUKM UKSW (2011) yaitu:
1. Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) BPMF berfungsi dalam: (1) Mengutus wakil mahasiswa Fakultas untuk duduk di BPMU. (2) Menarik kembali wakil mahasiswa Fakultas yang duduk di BPMU. (3) Memilih dan menetapkan Ketua SMF. 10
(4) Membantu Ketua SMF Terpilih untuk membentuk kepengurusan SMF. (5) Mengajukan nama fungsionaris SMF Terpilih untuk diangkat oleh SMU. (6) Merumuskan GBHPLK di aras Fakultas. (7) Memberi saran dan pemikiran kepada SMF, baik diminta maupun tidak diminta. (8) Mengawasi dan menilai pelaksanaan program kerja serta anggaran SMF dan menyerahkan penilaiannya kepada SMU. (9) Memberi saran dan pemikiran yang kritis-prinsipiil dan kreatif-realistis kepada Pimpinan Fakultas. Menyalurkan aspirasi mahasiswa Fakultas kepada pihak-pihak yang terkait. (10) Melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan SMF secara berkala. (11) Memberhentikan Ketua SMF. (12) Melakukan advokasi terhadap masalah-masalah mahasiswa berkaitan dengan pemenuhan hak-hak mahasiswa. (13) Membentuk Peraturan BPMF. (14) Membentuk Keputusan BPMF. (15) Membahas dan mengesahkan rancangan Peraturan BPMF yang diajukan oleh SMF.
2. Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) Tugas dan tanggung jawab SMF yaitu: (1) Menyusun dan mengajukan program kerja serta anggaran berdasarkan GBHPLK di aras Fakultas pada permulaan tahun periode kepada SMU melalui BPMF untuk dikoordinasikan. 11
(2) Melaksanakan program kerja yang telah ditetapkan pada Rapat LK. (3) Memberi laporan pertanggungjawaban kepada SMU melalui BPMF pada akhir periode. (4) Menggiatkan aktivitas mahasiswa Fakultas sebagai basis kegiatan akademik mahasiswa. (5) Mewakili mahasiswa Fakultas dalam kegiatan ke dalam maupun ke luar Universitas. (6) Memberi laporan berkala mengenai perkembangan pelaksanaan program kerja dan anggaran kepada SMU melalui BPMF. (7) Memberikan saran dan pemikiran yang kritis-prinsipiil dan kreatifrealistis kepada Pimpinan Fakultas. (8) Menyalurkan aspirasi mahasiswa di arasFakultas. (9) Menyusun dan mengusulkan rancangan Peraturan BPMF untuk dibahas dan disahkan oleh BPMF. (10) Membentuk Peraturan SMF. (11) Membentuk Keputusan SMF.
3. Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP) Fungsi HMP yaitu: (1) Membentuk Badan pengurus HMP, yang selanjutnya
diangkat dengan
Surat Keputusan SMF. (2) Menyusun dan mengajukan program kerja yang berorientasi pada penalaran mahasiswa serta anggarannya berdasarkan Garis-garis Besar
12
Haluan Program embaga Kemahasiswaan aras Fakultas pada permulaan tahun periode kepada SMF untuk dikoordinasikan. (3) Melaksanakan program kerja HMP yang telah ditetapkan pada Rapat Koordinasi Lembaga Kemahasiswaan. (4) Menggiatkan aktifitas mahasiswa program studi sebagai basis kegiatan akademik. (5) Bertanggung jawab kepada SMF. (6) Dapat mengutus perwakilan mahasiswa ke BPMF. (7) Menarik kembali perwakilannya di BPMF. (8) Menghimpun dan menyalurkan aspirasi mahasiswa program studi kepada BPMF. (9) Membentuk Keputusan HMP.
4. Kelompok Bakat Minat (KBM) Fungsi KBM dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Membentuk Badan Pengurus KBM. (2) Mengajukan diri sebagai KBM pada setiap awal periode LK kepada SMU di aras Universitas atau SMF di aras Fakultas. (3) Menyusun dan mengajukan program kerja serta anggaran berdasarkan GBHPLK pada permulaan periode LK kepada SMF atau SMU untuk dikoordinasikan. (4) Melaksanakan program kerja KBM yang telah ditetapkan pada Rapat Koordinasi Lembaga Kemahasiswaan. (5) Menggiatkan aktivitas mahasiswa sesuai dengan bakat dan minat. 13
(6) Bertanggung jawab kepada SMF atau SMU. (7) Membentuk Keputusan KBM.
2.1.6. Keaktifan dalam Organisasi Kemahasiswaan Suharso dan Retnoningsih (2005) mengatakan keaktifan berasal dari kata aktif, yang memiliki arti giat, gigih, dinamis dan bertenaga atau sebagai lawan statis atau lamban dan mempunyai kecenderungan menyebar atau berkembang. Keaktifan merupakan suatu perilaku yang bisa dilihat dari keteraturan dan keterlibatan seorang untuk aktif dalam kegiatan. Keaktifan mahasiswa dalam organisasi merupakan suatu perilaku atau tindakan nyata yang bisa dilihat dari keteraturan dan keterlibatan seorang mahasiswa dalam kegiatan organisasi tersebut. Sentosa (2008) mengatakan motivasi seseorang ikut serta dalam organisasi untuk mendapatkan kecakapan yang tidak mungkin didapatkan di bangku perkuliahan. Kecakapan tersebut meliputi, kecakapan mengatur waktu, kecakapan birokrasi, kecakapan surat menyurat, dan kecakapan lainnya, nampak jelas bahwa kecakapan – kecakapan tersebut jarang didapatkan dari bangku kuliah. Melalui organisasi LK, mahasiswa percaya bahwa potensi tersebut dapat diolah dan dikembangkan secara kreatif sehingga memberi
kelebihan tersendiri bagi
mahasiswa lainnya yang tidak aktif dalam berorganisasi LK. Selain untuk mengembangkan potensi, alasan lain yang mendasari mahasiswa untuk berorganisasi LK adalah untuk mencapai sebuah prestasi. Bagi mahasiswa yang aktif berorganisasi LK, prestasi akademis maupun non-akademis 14
menjadi sebuah kebanggaan tersendiri karena ia memiliki kemampuan yang tidak hanya diukur dari aspek kognitif saja tetapi mahasiswa juga bisa membuktikan kemampuan tersebut secara aplikatif dan praktis melalui kemandiriannya. Inilah capaian yang dimiliki oleh mahasiswa yang tidak hanya berorientasi kuliah tetapi juga organisasi LK, suatu kelebihan tersendiri yang membedakan dengan mahasiswa yang berorientasi pada kuliah saja.
2.1.7. Manfaat Mengikuti Organisasi Lembaga Kemahasiswaan Dengan mengikuti organisasi LK dapat memperoleh manfaat terutama dalam kemandirian. Mahasiswa yang menjadi anggota LK dituntut memiliki sikap mandiri. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan mahasiswa dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berorganisasi LK serta perkuliahan. Sentosa (2008) meyebutkan manfaat mengikuti organisasi sebagai berikut : (1) Melatih Leadership, karena dalam berorganisasi ada banyak hal yang harus diurus seperti acara – acara organisasi yang tentu melibatkan banyak orang, baik itu sesama mahasiswa anggota organisasi maupun orang – orang di luar organisasi. (2) Belajar mengatur waktu, karena kita harus pandai – pandai mengatur waktu antara tugas kuliah dan tanggung jawab sebagai anggota organisasi. (3) Memperluas jaringan atau Networking, dalam mengikuti organisasi pasti akan menambah teman – teman baru. (4) Mengasah kemampuan sosial, orang yang mengikuti organisasi biasanya akan lebih aktif di bandingkan dengan orang yang tidak mengikuti organisasi. 15
(5) Problem Solving dan Managemen Konflik, dalam mengikuti organisasi mahasiswa dituntut untuk belajar memecahkan masalah apabila sewaktu – waktu terjadi kendala mengenai organisasi. Firdaus (2008) mengatakan mahasiswa aktivis menemui kendala dalam membagi waktu antara kuliah dan organisasi. Tetapi mahasiswa anggota organisasi LK yang memiliki kemandirian akan memperoleh nilai tambah karena dengan berorganisasi seseorang akan terbiasa bekerjasama dengan orang lain (work as a team), memiliki jiwa kepemimpinan (work as a leader), terbiasa bekerja dengan managemen (work with management).
2.1.8. Azas-Azas Organisasi LK Gulick (1957) mengatakan azas-azas organisasi, yaitu: (1) Orang yang layak pada struktur organisasi (2) Pengakuan seorang pimpinan puncak sebagai sumber wewenang (3) Yang bersangkutan dengan kesatuan perintah (4) Memakai staf khusus dan umum (5) Departemenisasi berdasarkan tujuan, proses, orang dan tempat (6) Pelimpahan dan pemakaian azas pengecualian (7) Membuat tanggung jawab sepadan dengan wewenang (8) Mempertimbangkan rentang control yang tepat.
16
2.1.9. Optimalisasi Performa Individu dalam Organisasi LK Apapun bentuk, sifat, dan ukuran organisasi selalu diarahkan pada keberhasilan pencapaian tujuan organisasi (organizational effectiveness) yang telah ditetapkan. Keberhasilan organisasi ini pada dasarnya merupakan akumulasi dan agregat
usaha-usaha
sekaligus
keberhasilan
individu-individu
(individual
effectiveness) dalam organisasi itu sendiri (Gibson, 1985). Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa performa individu atau mahasiswa anggota LK merupakan determinan terhadap performa organisasi LK. Dengan melihat mahasiswa anggota LK merupakan determinan terhadap efektifitas organisasi dan dengan munculnya pendekatan baru yang disebut pendekatan perilaku organisasi, dimana pendekatan ini peduli terhadap individu (individu dinilai sebagai people, bukan thinks), maka tulisan ini hendak mengkaji upaya-upaya secara global (makro) untuk mengoptimalkan performa individu dalam organisasi LK dalam rangka pencapaian tujuan organisasi LK, dengan mendasarkan pada pendekatan perilaku organisasi LK. Untuk mengarahkan dan mengendalikan perilaku mahasiswa dalam Organisasi LK dengan melihat manusia secara utuh (humanistic oriented) maka manajemen harus memahami berbagai variabel yang mempengaruhi perilaku individu tersebut. Dinamika menuju pendekatan perilaku organisasi dalam LK merupakan satu pendekatan yang menandai perkembangan awal dari studi perilaku yang merupakan pendekatan perspektif teoritis-makro yakni yang dikenal sebagai pendekatan tradisional. Pendekatan tradisional ini telah memberikan kontribusi dalam studi manajemen antara lain: 17
(1) Telah mengenalkan teori-teori rasional yang sebelumnya belum ada.. (2) Memusatkan perhatian pada peningkatan produktivitas dan kualitas output. (3) Menyediakan mekanisme administratif yang sesuai bagi organisasi. (4) Penerapan pembagian kerja.
(5) Meletakkan landasan bagi studi berikutnya mengenai efisiensi metode kerja dan organisasi. (6) Mengembangkan prinsip-prinsip yang umum dalam manajemen LK. Namun demikian pendekatan ini kemudian banyak ditinggalkan karena pendekatan ini hanya menekankan aturan-aturan formal, spesialisasi, pembagian tanggung jawab yang jelas dengan memberi perhatian relatif kecil terhadap arti pentingnya personal dan kebutuhan sosial dari individu-individu yang berada dalam organisasi tersebut (Bennet, 1994). Hal ini menegaskan bahwa pendekatan klasik ini memperlakukan individu-individu dalam organisasi secara mekanistikmenilai bahwa secara eksklusif manusia hanya termotivasi oleh keinginan untuk memperoleh penghargaan berupa keuntungan finansial yang tinggi. Dalam perkembangan selanjutnya muncullah pendekatan baru yakni pendekatan hubungan kerja kemanusiaan (human relation approach). Pendekatan ini muncul dengan diawali dengan eksperimen Hawthorne (Hawthorne experiments) oleh Elton Mayo dan team Industrial Research dari Universitas Harvard. Pendekatan Human Relations telah memberikan wacana baru dalam studi manajemen dengan memberikan beberapa sumbangan pemikiran dan hipotesis baru antara lain:
18
(1) Secara eksplisit pertama kali mengenalkan peranan dan pentingnya hubungan interpersonal dalam perilaku kelompok. (2) Secara kritis menguji kembali hubungan antara keuntungan finansial dan motivasi. (3) Mempertanyakan anggapan bahwa masyarakat merupakan kelompok individu yang berusaha untuk memaksimalkan pemenuhan kepentingan personalnya sendiri. (4) Menunjukkan bahwa bagaimana sistem teknis dan sistem sosial saling berhubungan. (5) Menunjukkan hubungan di antara kepuasan kerja dan produktivitasnya. Dalam bagian yang sama Bennet (1994) menunjukkan beberapa kelemahan dari pendekatan ini yakni pendekatan ini mengesampingkan pengaruh struktur organisasi terhadap perilaku individu, memandang organisasi sebagai sistem tertutup (closed system) dan mengabaikan kekuatan lingkungan politik, ekonomi dan lingkungan yang lain, tidak menjelaskan pengaruh kesatuan kerja terhadap sikap dan perilaku individu, meremehkan motivasi, keinginan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan kesadaran sendiri berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan, memusatkan perhatian kepada pengaruh kelompok kecil namun mengabaikan pengaruh struktur sosial yang lebih luas. Kemudian pada tahun 1970-an muncul pendekatan yang berspektif mikro teoritis yakni yang dikenal dengan istilah pendekatan perilaku organisasi (organizational behavior approach). Berkaitan dengan ini Thoha (1990) menga19
takan bahwa perilaku organisasi adalah secara langsung berhubungan dengan pengertian, ramalan, dan pengendalian terhadap perilaku orang-orang di dalam organisasi, dan bagaimana perilaku orang-orang tersebut mempengaruhi usahausaha pencapaian tujuan organisasi. Duncan (dalam Thoha, 1990) juga menjelaskan bahwa studi perilaku organisasi termsuk di dalamnya bagian-bagian yang relevan dari semua ilmu perilaku yang berusaha menjelaskan tindakantindakan manusia di dalam organisasi, perilaku organisasi sebagaimana suatu disiplin mengenal bahwa individu dipengaruhi oleh bagaimana pekerjaan yang diatur dan siapa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya. Walaupun dikenal adanya keunikan pada individu, namun perilaku organisasi masih memusatkan pada kebutuhan manajer untuk menjamin bahwa keseluruhan tugas pekerjaan bisa dijalankan. Sehingga kesimpulannya pendekatan ini mengusulkan beberapa cara supaya usaha-usaha individu itu bisa terkoordinir dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Lebih terperinci Gibson (1985) memberikan beberapa pokok pikiran yang perlu dicatat berkaitan dengan pendekatan perilaku organisasi ini yakni bahwa pendekatan perilaku organisasi merupakan: way of thinking: tingkat analisis pada level individu, kelompok, dan organisasi, interdiciplinary field: memanfaatkan berbagai disiplin, model, teori dan metode dari disiplin yang ada, humanistic orientation: manusia dan segala sikap, perilaku, persepsi, kapasitas, perasaan, dan tujuannya merupakan nilai utama, performance oriented : selalu mengarahkan pada performance, external environment: lingkungan eksternal dilihat memiliki pengaruh terhadap perilaku organisasi, metode ilmiah (scientific method) 20
berperanan penting dalam mempelajari variabel dan hubungan, dan application orientation: memusatkan perhatian untuk menjawab berbagai permasalahan yang muncul dalam konteks manajemen organisasi. Dengan demikian dapat digaris bawahi
bahwa
pendekatan
perilaku
organisasi
seperti
LK
merupakan
multidisipliner, integrated, comprehensive, dan people centered approach yaitu pendekatan yang memandang organisasi sebagai suatu sistem sosial, sehingga tidak lagi memandang organisasi sebagai wadah atau alat semata, sehingga dalam rangka memperbaiki produktifitas (productivity improvement) dalam arti luas guna mencapai efektivitas organisasi (organizational effectivity) tidak cukup memberi tekanan pada struktur dan desain organisasi (organizational structure and design) saja tetapi hendaknya juga dan lebih pada manusianya (human). Tabel 1 Management Skills Necessary at Various Levels of an Organization
Executive Managerial
Human
Supervisory
Conseptual Technical
Nonsupervisory Sumber: Etal, 1985 Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa human skill merupakan kapasitas yang krusial dalam setiap level manajemen. Hersey (dalam Etal, 1985) juga menegaskan bahwa human skill telah dipandang penting pada masa lalu, namun menjadi utama pada saat ini. Untuk dapat mencapai kepemimpinan yang efektif yang secara langsung juga mengarahkan perilaku individu yang berorientasi tujuan organisasi (goal oriented behavior) maka perlu adanya 21
pemahaman yang jelas terhadap berbagai variabel yang mempengaruhi perilaku organisasi termasuk LK, yaitu : (1) Perilaku Individu Individu atau anggota organisasi dalam memasuki lingkungan organisasi akan membawa beberapa unsur yang telah membentuk karakteristiknya
antara
lain
kemampuan,
kebutuhan,
kepercayaan,
pengalaman, pengharapan. Namun demikian lingkungan organisasi memiliki karakteristik sendiri yang berupa keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem penggajian (reward system), sistem pengendalian dan lain sebagainya. Kemudian dalam proses pencapaian tujuan organisasi, kedua karekteristik ini melakuakn interaksi dan akan membentuk suatu perilaku individu dalam organisasi (Anderson dan Anna Kyprianou : 1994). Selanjutnya Thoha (1990) menggambarkan model umum perilaku dalam organisasi sebagai berikut:
22
Tabel 2 Model Umum Perilaku dalam Organisasi Karakteristik Individu Kemampuan Kebutuhan Kepercayaan Pengalaman Pengharapan
Perilaku Individu Dalam Organisasi
Karakteristik Organisasi Hirarki Tugas-tugas Wewenang Tanggungjawab Sistem Reward Sistem < Kontrol
Oleh karena itu manajer yang efektif adalah manajer yang mampu memahami karakteristik individu-individu yang berada dalam organisasi tersebut, dan hal ini dapat dilakukan dengan memahami prinsip-prinsip dasar yang mempengaruhi perilaku individu. Thoha (1990) menyebutkan beberapa prinsip 23
dasar tersebut yakni: manusia berbeda perilakunya karena kemampuannya tidak sama, manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda, orang berpikir tentang masa depan dan membuat pilihan tentang bagaimana bertindak, seseorang memahami lingkungannya dalam hubungannya dengan pengalaman masa lalu dan kebutuhannya, seseorang itu mempunyai reaksi-reaksi senang atau tidak senang (affective) dan banyak faktor yang menentukan sikap dan perilaku seseorang. Dengan demikian tantangan yang dihadapi manajemen adalah berkaitan dengan kemampuan untuk mengidentifikasikan setiap perilaku individu yang berada dalam organisasi dengan berbagai historical background-nya, dan tentunya ini perlu suatu strategi dan teknik tertentu. Secara lebih terperinci Gibson (1985) mengidentifikasikan berbagai variabel yang mempengaruhi perilaku dan performa individu dalam organisasi, dan hal ini digambarkan pada gambar 3. Tabel 3 Variables That Influence Behavior and Performance
Individual Variabel Abilities and skills Mental Physical Background Family Social Class Experiences Democratis Age Race Sex
Individual behavior (e.g) What a person does Performance (e.g) Desired result
Organizational Variabel Resources Leadership Rewards Structure Job desaign
24
Psychological Variables Perception Attitude Personality Learning Motivasion
Dari ilustrasi di atas dapat diamati bahwa banyak variabel yang mempengaruhi dan menentukan perilaku dan performa individu, tidak hanya dari variabel organisasional, namun juga dari variabel individual dan variabel psikologis, yang semuanya tentunya perlu mendapat perhatian manajer secara menyeluruh dan terintegrasi. Perhatian manajer secara menyeluruh dan terintegrasi dapat dikalaukan dengan partisipasi individu dalam pembuatan keputusan, kondisi kerja dan budaya organisasi yang membuat betah (convenient), adanya program pengembangan diri yang jelas, hubungan antar individu dalam kelompok yang harmonis, gaya kepemimpinan yang mendukung situasi dan kondisi yang harmonis dan kondusif untuk mengembangkan daya kreativitas dan inovatif, tingkat stres yang seminimal mungkin.
2.2
Kemandirian
2.2.1.Pengertian Kemandirian Kemandirian dalam kamus psikologi berasal dari kata “independence” yang diartikan sebagai suatu kondisi dimana sesorang tidak tergantung pada orang lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri (Chaplin, 2000). Irene (2002) mendefinisikan kemandirian sebagai suatu sikap yang dapat menerima dan menjadi diri sendiri, percaya pada kemampuan diri sendiri serta tidak tergantung pada orang lain. Masrun (1986) mendefinisikan kemandirian sebagai salah satu komponen kepribadian yang mendorong individu untuk dapat mengarahkan dan mengatur perilakunya sendiri, menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain. Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh 25
secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri (Havighurst, 1972). Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian: (1) Bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. (2) Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya (3) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi. (4) Suatu keadaan di mana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kemajuan dirinya. Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, di mana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap.
2.2.2 Ciri-ciri Kemandirian Masrun (1986) merumuskan bahwa orang yang mandiri mempunyai ciri – ciri yaitu : memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhan sendiri, mengejar prestasi, penuh ketekunan, serta berkeinginan untuk mengerjakan segala sesuatu tanpa bantuan 26
orang lain, mampu mengatasi masalah yang dihadapi, mampu mengendalikan tindakan – tindakannya, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya terhadap diri sendiri, menghargai keadaan dirinya sendiri, dan memperoleh kepuasan dari usahanya. Havighurst (1972) berpendapat mahasiswa yang memiliki kemandrian memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Percaya pada diri sendiri. (2) Tidak mudah terpengaruh. (3) Memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakini. (4) Mampu menentukan sikapnya sendiri. (5) Gigih dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah. (6) Dapat memilih apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan.
2.2.3
Aspek-Aspek Kemandirian Masrun (1986) mengemukakan bahwa ada lima aspek penting dalam
kemandirian, yaitu : (1) Bebas bertanggung jawab, ditunjukkan dengan adanya ciri – ciri: tindakan dilakukan atas kehendak sendiri bukan karena orang lain dan tidak tergantung pada orang lain. (2) Progresif dan ulet, ditunjukkan dengan ciri – ciri: usaha mengejar prestasi, penuh ketekunan, merencanakan serta mewujudkan harapan – harapannya. (3) Inisiatif, ditunjukkan dengan ciri – ciri: mampu untuk berpikir dan bertindak secara original, kreatif, dan penuh inisiatif. 27
(4) Pengendalian diri, ditunjukkan dengan ciri – ciri: mempunyai perasaan mampu mengatasi masalah yang dihadapi, mampu mengendalikan tindakan serta mampu mempengaruhi lingkungan dan mengenal diri sendiri. (5) Kemantapan diri, ditunjukkan dengan ciri – ciri: merasa percaya pada kemampuan sendiri, dapat menerima dan memperoleh kepuasan dari usaha sendiri. Havighurst (1972) menyatakan kemandirian terdiri dari beberapa aspek yaitu: (1) Emosi, ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua. (2) Ekonomi, ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi dari orang tua. (3) Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk menghadapi masalah yang dihadapi. (4) Sosial, ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.
2.2.4
Faktor faktor yang mempengaruhi kemandirian Dari kematangan fisik dan psikis maka timbul berbagai macam tugas
perkembangan pada remaja yaitu mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara positif, 28
mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang – orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi, mempersiapkan perkawinan dari keluarga, memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi (Hurlock, 1996). Kemandirian terbentuk begitu saja akan tetapi berkembang karena pengaruh dari beberapa faktor. Menurut Hurlock (1981) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kemndirian adalah : (1) Pola asuh orangtua Orangtua yang memiliki nilai budaya yang terbaik dalam memperlakukan anaknya adalah dengan cara yang demokratis, karena pola ini orang tua memiliki peran sebagai pembimbing yang memperhatikan setiap aktivitas dan kebutuhan anaknya, terutama sekali yang berhubungan dengan studi dan pergaulan, baik itu dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sekolah. (2) Jenis Kelamin Jenis kelamin membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, dimana perbedaan ini mengunggulkan pria karena pria dituntut untuk berkepribadian maskulin, dominan, agresif dan aktif. Dibandingkan pada anak perempuan yang memiliki ciri kepribadian yang khs yaitu pola kepribadian yang feminis, pasif dan kepatuhan serta ketergantungan. (3) Urutan kelahiran dalam keluarga Anak sulung biasanya lebih berorientasi pada orang dewasa, pandai mengendalikan diri, cemas takut gagal dan pasif jika dibandingkan dengan saudaranya, anak tengah lebih ekstrovert dan kurang mempunyai dorongan, akan tetapi mereka memiliki pendirian, sedang anak bungsu adalah anak yang sangat di sayang orangtua. (4) Ukuran Keluarga Pada setiap keluarga dapat dijumpai ukuran keluarga yang berbeda-beda. Ada keluarga besar dengan jumlah anak lebih dari enam orang, keluarga ukuran sedang dengan jumlah anak empat sampai lima orang dan keluarga kecil dengan jumlah anak satu orang sampai tiga orang anak. Adanya perbedaan ukuran keluarga ini 29
dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif pada hubungan anak dengan orangtua maupun hubungan anak dengan saudaranya. Biasanya dampak negatif paling banyak dirasakan oleh keluarga yang mempunyai ukuran besar karena dengan keluarga yang besar berarti orangtua harus membagi perhatiannya pada setiap anak degan adil yang terkadang anak sering terabaikan.
2.2.5
Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik Dalam penataan pendidikan profesional konselor dan layanan Bimbingan
dan Konseling dalam jalur pendidikan formal, Departemen Pendidikan Nasional (2008) menyebutkan standar kompetensi kemandirian peserta didik Perguruan Tinggi dalam aspek perkembangan kematangan intelektual mahasiswa diharapkan mampu mengambil keputusan dan pemecahan masalah atas dasar informasi/data secara objektif serta bermakna bagi dirinya dan orang lain. Dalam aspek perkembangan kematangan emosi mahasiswa diharapkan dapat mengekspresikan perasaan dalam cara-cara yang bebas, terbuka dan tidak menimbulkan konflik dan mampu berpikir positif terhadap kondisi ketidakpuasan. Pendidikan yang bermutu, efektif dan ideal yaitu yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utama pendidikan secara sinergi, yaitu 1) Bidang Administratif dan Kepemimpinan. 2) Bidang Instruksional/Kurikuler. 3) Bidang Bimbingan dan Konseling. Berarti, pendidikan yang melaksanakan bidang administratif dan instruksional tetapi mengabaikan bidang bimbingan dan konseling menghasilkan siswa pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan/kematangan dalam aspek kepribadian. Terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis dan terpusat pada 30
konselor ke pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan Bimbingan dan Konseling Perkembangan/Developmental Guidance and Counseling, atau Bimbingan dan Konseling Komprehensif/Comprehensive Guidance and Counseling. Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan pada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi dan pengentasan masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang perlu dicapai konseli hingga pendekatan disebut Bimbingan dan Konseling Berbasis Standar/Standard Based Guidance and Counseling (Ditjen PMPTK, Depdiknas. 2007). Standar itu dirumuskan dalam Standar Kompetensi Kemandirian yang melingkupi upaya mengembangkan dan mewujudkan potensi diri siswa secara penuh dalam aspek pribadi, sosial, belajar dan karier serta upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar dan karier serta dipadukan dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial dan spiritual).
2.2.6
Perkembangan Kemandirian Dalam menghampiri masalah kemandirian, tujuan bimbingan yang bersifat
pengembangan lebih penting dari pada tujuan terapeutik atau klinis. Ini bertolak dari asumsi kemandirian tumbuh dalam proses individuasi yang terwujud dalam interaksi yang sehat antara individu dengan budaya atau lingkungannya. Pandangan ini melihat perkembangan adalah proses perubahan yang berpola dan 31
bergerak ke arah perilaku yang dikehendaki oleh individu maupun masyarakat dalam sistem nilai tertentu. Fungsi bimbingan dan konseling dalam pemikiran seperti ini adalah menciptakan kemudahan bagi terjadinya perkembangan kepribadian individu secara normal. Hasil bimbingan dapat dinyatakan dalam bentuk penguasaan tugas-tugas perkembangan atau peningkatan perkembangan dari tingkat satu ke tingkat berikut yang lebih tinggi. Oleh karena itu cukup beralasan jika kemandirian menjadi wilayah studi dan bahkan sebagai tujuan bimbingan dan konseling (Kartadinata, 2011).
2.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang signifikan antara kemandirian Mahasiswa Bimbingan dan Konseling yang menjadi anggota LK dengan yang bukan anggota LK FKIP UKSW.
32