BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI DAN HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN 1. Belajar dan Pembelajaran Biologi a. Belajar Biologi Aktivitas sepanjang hayat manusia tidak lepas dari kegiatan belajar. Semua aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan merupakan hasil dari proses belajar. Gagne (dalam Dahar 2011) memberikan definisi belajar sebagai suatu proses dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Purwanto (2009) berpendapat proses mendapat pengalaman tersebut dilakukan melalui interaksi dengan lingkungan sebagai sumber belajar. Perubahan tidak hanya dalam perilaku saja, namun juga dalam keterampilan, sikap, tingkah laku, dan pengetahuan, sesuai dengan pendapat Aunurrahman (2009) yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Biologi sebagai salah satu bagian dari sains merupakan ilmu yang memperlajari tentang fenomena alam melalui hubungan sebab akibat, sehingga dapat diketahui karakteristik dari Biologi antara lain: 1) berasal dari keingintahuan manusia tentang dirinya, lingkungan, dan kelangsungan jenisnya; 2) studi yang mempelajari tentang alam; 3) memiliki kekhasan dalam berpikirnya sehinga dapat mengembangkan berpikir rasional dan logis (Rustaman, 2005). Karakteristik Biologi memberikan pandangan lanjutan bahwa dalam belajar Biologi diperlukan sikap dan keterampilan saintis, seperti jujur, bertanggung jawab, teliti, terampil menggunakan alat, dan bekerja secara sistematis. Selain memerlukan sikap dan keterampilan saintis, diperlukan juga kemampuan berpikir, sehingga setelah mempelajari Biologi seseorang akan memiliki kemampuan berpikir yang terasah. Definisi Biologi sebagai ilmu sains memberikan arti bahwa dalam mempelajari Biologi diperlukan kemampuan saintifik. Kemampuan saintifik seperti kemampuan
6
7
proses sains, sikap ilmiah, dan berpikir tingkat tinggi dapat melatih kemampuan 4C yang diharapkan dapat dikuasai generasi muda sebagai persiapan untuk menghadapi tantangan masa depan. Belajar Biologi hendaknya diterapkan dengan dasar hands on, minds on, dan heart on sehingga tidak kehilangan esensinya sebagai sains (Sudarisman, 2011). Belajar Biologi dengan dasar minds on diperlukan dalam aktivitas yang memerlukan kemampuan berpikir siswa, seperti mengamati, menalar, merumuskan hipotesis, mendata dan mengelompokkan, mencatat dalam bentuk tampilan komunikatif, menemukan keteraturan atau polanya sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan (Rustaman, 2011). Untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut, seseorang yang belajar Biologi secara otomatis akan menggunakan kemampuan berpikir seperti logis, rasional, kritis, kreatif, dan mengambil keputusan. b. Pembelajaran Biologi Pembelajaran memiliki peran yang penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses interaksi yang dilakukan oleh guru dan siswa untuk membentuk suatu ilmu pengetahuan dalam situasi edukatif. Tujuan pembelajaran Biologi menurut Lawson (dalam Dahar, 2011) adalah: 1) membantu peserta didik mengembangkan keterampilan daam menggunakan pola-pola penalaran umum; dan 2) membantu peserta didik memperoleh konsep Biologi yang ilmiah. Karakteristik Kurikulum 2013 adalah penggunaan pendekatan saintifik yang mengandung adanya 5M, yaitu: mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013). Pendekatan saintifik diawali dengan adanya suatu keadaan yang sengaja dikondisikan untuk memungkinkan siswa dapat melakukan kegiatan 5M. Proses kegiatan 5M diawali dengan mengamati segala aktivitas yang melibatkan panca inderanya. Siswa yang melakukan kegiatan pengamatan akan melakukan identifikasi dengan cara mengajukan pertanyaan sehingga masuk dalam kegiatan menanya. Hasil kegiatan bertanya adalah pertanyaan-pertanyaan yang selanjutnya dinalar menjadi sebuah rumusan masalah. Rumusan
8
masalah tersebut mendorong siswa untuk berpikir menemukan jawaban (merumuskan hipotesa) dan merancang kegiatan penyelidikan yang selanjutnya siswa diberikan kesempatan untuk mencoba penyelidikan tersebut. Kegiatan penyelidikan akan menghasilkan suatu data yang kemudian diorganisir siswa dengan menggunakan kemampuan analisis sehingga diperoleh kesimpulan. Kesimpulan yang telah diperoleh kemudian dikomunikasikan dengan siswa lain secara lisan (presentasi) atau tulisan (laporan) (Sudarisman, 2015). Kaitan pembelajaran Biologi dengan penelitian adalah adanya peran kemampuan berpikir kritis dalam salah satu kegiatan 5M yaitu menalar, sehingga kemampuan ini perlu dikembangkan melalui penerapan model inkuiri terbimbing disertai buzz group discussion.
2. Teori Belajar a. Teori Belajar Penemuan Jerome Bruner Belajar penemuan merupakan salah satu instruksional kognitif yang dikenalkan oleh Jerome Bruner. Belajar penemuan merupakan pencarian pengetahuan secara aktif, berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya hingga menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Penerapan teori belajar penemuan dilakukan dengan partisipasi siswa secara aktif melalui eksperimen sehingga prinsip dan konsep pengetahuan dapat diperoleh. Kelebihan pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan antara lain: 1) pengetahuan lebih mudah dan lebih lama untuk diingat dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara lain; 2) hasil belajar penemuan memiliki efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya sehingga lebih mudah diterapkan pada situasi baru; 3) belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan berpikir bebas, sehingga melatih kemampuan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain (Dahar, 2011). Tujuan dari belajar penemuan oleh Jerome Bruner adalah memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemampuan intelektual, merangsang keingintahuan, dan memotivasi kemampuan siswa.
9
Penerapan belajar penemuan Bruner di dalam pembelajaran sains memiliki peran sebagai cara untuk membuat siswa berpikir secara matematis dan berpartisipasi dalam proses perolehan pengetahuan (Bruner dalam Dahar, 2011). Teori belajar penemuan Bruner relevan dengan model inkuiri terbimbing, terlihat dari sintaks inkuiri terbimbing yang dimulai dari tahapan merumuskan masalah,
merencanakan dan
melakukan penyelidikan,
menganalisis data, hingga menarik kesimpulan. Kempat tahapan ini dilakukan siswa untuk menemukan dan membangun konsep pengetahuan secara mandiri, sehingga terjadi belajar penemuan. Tahapan pertama sintaks inkuiri terbimbing yaitu menampilkan permasalahan dilakukan oleh guru yang kemudian memancing kemampuan berpikir siswa untuk menghasilkan sebuah pemikiran abstrak tentang masalah yang sedang dihadapi. Pemikiranpemikiran tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk hipotesis, dimana kegiatan ini masuk dalam tahapan merumuskan hipotesis. Kegiatan yang dilakukan untuk menemukan kebenaran dari hipotesis tersebut adalah melakukan penyelidikan, dimana kegiatan ini masuk dalam tahapan merencanakan dan melakukan penyelidikan. Tahapan merencanakan dan melakukan penyelidikan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan mengumpulkan data-data yang kemudian dianalisis hingga tersusun menjadi suatu pengetahuan dalam bentuk kesimpulan. Kegiatan ini berjalan dalam bentuk kelompok buzz group, sehingga siswa juga melakukan penemuan konsep melalui interaksi dengan teman. b. Teori Belajar Bermakna Ausubel Ausubel merupakan psikolog pendidikan yang menganut teori belajar konstruktivisme dan mengenalkan teori belajar bermakna. Teori belajar bermakna Ausubel didasari oleh dua dimensi belajar, yaitu: 1) berhubungan dengan cara informasi yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan, dan 2) berhubungan dengan cara siswa mengaitkan informasi pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif adalah fakta konsep dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh
10
siswa (Novak dalam Dahar, 2011). Menurut Ausubel, belajar bermakna merupakan proses pengaitan informasi baru dengan konsep yang relevan di dalam struktur kognitif seseorang. Belajar bermakna dilalui melalui dua tingkatan, tingkatan pertama adalah menerima informasi dalam bentuk final maupun dalam bentuk belajar penemuan yang memerlukan usaha siswa untuk menemukan sendiri materi maupun sebagian materi yang diajarkan. Tingkatan kedua adalah menghubungkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki sehingga terjadi belajar bermakna, dengan kata lain belajar akan bermakna bila siswa melakukan sendiri percobaan untuk menemukan pengetahuan. Penerapan teori belajar bermakna Ausubel dalam penelitian ini terlihat pada sintaks inkuiri terbimbing dimulai dari tahapan menampilkan masalah, merumuskan hipotesis, merencanakan dan melakukan penyelidikan, menganalisis data, hingga menarik kesimpulan. Teori belajar bermakna Ausubel relevan dengan model inkuiri terbimbing karena tahapan sintaks dilakukan oleh siswa sendiri untuk menemukan konsep pengetahuan. Siswa menggunakan panca indera, kemampuan berpikir, dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan sehingga siswa terlibat langsung dalam aktivitas pembelajaran, dengan demikian terjadi belajar bermakna. Segala aktivitas siswa tidak lepas dari bimbingan guru, karena peran guru dalam sintaks inkuiri terbimbing adalah sebagai pembimbing, yaitu menampilkan masalah dan memberikan arahan kepada siswa untuk melakukan aktivitas yang diperlukan. c. Teori Belajar Sosial Vygotsky Teori belajar Vygotsky menekankan pada aspek sosial, dimana kegiatan belajar harus dalam kondisi sosial sehingga terlihat peranan bahasa dalam belajar konstruktivisme. Selain itu Vygotsky menambahkan bahwa fungsi psikologi seperti logical memory, voluntary action, dan pembentukan konsep merupakan proses internalisasi yang juga berperan dalam proses belajar. Mengenai belajar sains, Vygotsky berpendapat bahwa interaksi sosial berperan penting saat seorang individu menginternalisasi pemahaman yang
11
sulit. Selanjutnya, proses internalisasi melibatkan rekonstruksi aktivitas psikologis dengan dasar penggunaan bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa yang didasarkan pemikiran merupakan sarana bagi para individu yang belajar untuk negosiasi kebermaknaan pengalaman yang didapat (Dahar, 2011). Inti dari teori belajar Vygotsky adalah scaffolding, yaitu pemberian bantuan kepada individu yang sedang belajar selama tahap-tahap awal perkembangan kemudian mengurangi bantuan tersebut untuk memberikan kesempatan bertanggung jawab setelah individu tersebut telah dianggap mampu melakukannya. Keuntungan teori Vygotsky dalam penerapannya di pembelajaran adalah: 1) siswa memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan
potensinya
melalui
belajar
dan
berkembang;
2)
pembelajaran lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensial daripada tingkat perkembangan aktual; 3) siswa diberi kesempatan luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajari dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas dan memecahkan masalah; 4) proses belajar dan pembelajaran merupakan suatu proses mengonstruksi pengetahuan atau makna baru (Budiningsih, 2005). Teori belajar sosial Vygotsky relevan dengan model inkuiri terbimbing disertai buzz group discussion, dimulai dari tahapan menampilkan masalah, merumuskan hipotesis, merencanakan dan melakukan penyelidikan, menganalisis data, hingga menarik kesimpulan. Semua tahapan pada sintaks inkuiri terbimbing dilakukan dengan metode diskusi sehingga siswa dapat melakukan kegiatan sosial seperti berinteraksi, berkomunikasi, bertukar pikiran dan pendapat, serta beragumentasi antar teman kelompok. d. Teori Perkembangan Jean Piaget Piaget (dalam Dahar, 2011) berpendapat bahwa setiap individu mengalami tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut: 1) sensorimotor (0-2 tahun) selama pada tingkat ini, anak mengatur alamnya dengan indra (sensori) dan tindakannya (motor); 2) pra-operasional (2-7 tahun) pada tingkatan ini, anak belum dapat melaksanakan operasi mental seperti
12
menambah, mengurangi dan lain-lain sehingga tidak dapat berpikir reversibel dan masih bersikap egosentris; 3) operasional konkrit (7-11 tahun) pada tahapan ini anak mulai berpikir rasional sehingga mulai memiliki operasioprasi logis yang dapat diterapkan pada masalah sederhana; 4) operasi formal (11 tahun keatas) pada tahapan ini anak dapat menggunakan operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks, mempunyai kemampuan berpikir abstrak dan logis, dan dapat memecahkan masalah verbal. Kemajuan utama pada tingkatan ini dapat terlihat pada ketidakperluan berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkret. Karakteristik pada tahapan berpikir operasi formal menurut Flavell (dalam Dahar, 2011) adalah: 1) anak memiliki pemikiran adolensensi, yaitu kemampuan anak merumuskan banyak alternatif hipotesis untuk membuat keputusan; 2) mampu berpikir proporsional dimana anak dapat menangani pernyataan atau proporsi yang memerlukan data konkrit; 3) dapat berpikir kombinatorial, yaitu berpikir meliputi semua kombinasi benda, gagasan, atau kemungkinan proposisi. Implementasi teori perkembangan Piaget dalam sintaks inkuiri terbimbing adalah pada tahapan formulate a hypothesis (merumuskan hipotesis). Siswa SMA kelas X yang rata-rata berumur 16 tahun telah memasuki tahapan operasi formal, dimana seseorang dapat menggunakan operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks dengan kemampuan berpikir abstrak dan logis. Kemampuan ini akan otomatis digunakan oleh siswa setelah dikenalkan pada suatu masalah. Masalah yang diberikan akan memicu kemampuan berpikir siswa untuk mengenali bagianbagian yang berkaitan dengan masalah tersebut sehingga siswa kan mencari jalan untuk menemukan solusinya.
13
3. Berpikir Kritis Terdapat beberapa pendapat menurut para ahli tentang pengertian berpikir kritis. Moore & Parker (2007) berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan proses untuk menentukan diterima atau tidaknya suatu pengetahuan melalui kegiatan evaluasi dan penilaian. Senada dengan pendapat Muslim (2014) bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan memberikan jawaban atau argument logis berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Ennis (2007) berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses keterampilan berpikir yang terjadi pada diri seseorang untuk membuat keputusan rasional mengenai sesuatu yang dapat diyakini kebenarannya dengan melakukan proses ilmiah seperti mengidentifikasi masalah, menyusun hipotesis, pengumpulan data, pengujian hipotesis, evaluasi dan penarikan kesimpulan, sehingga berpikir kritis dapat pula didefinisikan sebagai metode ilmiah. Duron et al. (2006) berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan menganalisis dan mengevaluasi informasi. Seseorang yang berpikir kritis mampu memunculan pertanyaan, ide, dan mencari informasi seluas-luasnya untuk mencari jawaban dan solusi suatu masalah, berpikiran luas, serta dapat berkomunikasi dengan baik. Seseorang yang berpikir kritis dapat diindikasikan melalui beberapa aktivitas. Aktivitas yang menunjukkan seseorang berpikir kritis merupakan aspek berpikir kritis. Beberapa ahli memiliki pendapat tentang aspek berpikir kritis. Pendapat pertama adalah dari Suprananto (2012) menyebutkan bahwa terdapat 11 indikator seseorang berpikir kritis, yaitu: memfokuskan pertanyaan, menganalisis,
berargumen,
mempertimbangkan
laporan
mempertimbangkan observasi,
hal
terpercaya,
membandingkan
kesimpulan,
menentukan kesimpulan, membandingkan kemampuan induksi, menilai, mendefinisikan konsep, mendefinisikan asumsi, dan mendeskripsikan. Pendapat kedua adalah dari Garrison, et al. (dalam Afrizon 2012) yang berpendapat bahwa berpikir kritis memiliki 5 aspek, yaitu mengidentifikasi masalah, mendefinisikan masalah, mengeksplorasi masalah, mengevaluasi masalah, dan mengintegrasi masalah. Pendapat ketiga adalah dari Ennis (dalam Afrizon, 2012) yang menyebutkan terdapat 12 indikator berpikir kritis yang dikelompokkan dalam
14
lima aktivitas, yaitu: 1) aktivitas memberikan penjelasan sederhana, terdiri dari memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan; 2) aktivitas membangun keterampilan dasar, terdiri dari mempertimbangkan sumber yang dapat dipercaya, dan mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi; 3) aktivitas menyimpulkan, terdiri dari kegiatan mendeduksi dan menginduksi hingga menemukan sebuah kesimpulan; 4) aktivitas memberikan penjelasan lanjut, terdiri dari mengidentifikasi istilah, definisi, dimensi, serta mengidentifikasi asumsi; 5) aktivitas mengatur strategi dan teknik, terdiri dari menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain. Pendapat keempat adalah dari Philips, et al. (dalam Afrizon, 2012) yang menyebutkan berpikir kritis terdiri dari lima aspek, yaitu: analisis, evaluasi, kesimpulan, pemikiran deduktif, dan pemikiran induktif. Pendapat kelima adalah dari Facione (2011) yang memberikan pendapat hampir sama dengan Philips et al., bahwa berpikir kritis memiliki lima aspek, yaitu: menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, menyimpulkan, menjelaskan, dan mengatur diri. Penelitian ini menggunakan pendapat dari Facione (2011) karena dinilai lebih mudah diaplikasikan di penelitian sebagai alat untuk mengamati kemampuan berpikir kritis siswa, yaitu dalam bentuk soal tertulis essay. Aspek berpikir kritis sebagai kemampuan kognitif dalam Facione (2011) terdiri dari: menafsirkan, menganalisis, mengevaluasi, menyimpulkan, menjelaskan dan mengatur diri. Aspek pertama
yaitu menafsirkan
(interpretation) merupakan kemampuan untuk mengenali dan memahami arti dari suatu pengalaman, situasi, data, peristiwa, keputusan, kepercayaan, prosedur, atau kriteria. Kemampuan untuk mengenali dan memahami diperlukan dalam mengkomunikasikan informasi yang diperoleh kepada orang lain dan merupakan dasar untuk memperoleh solusi permasalahan dari hubungan sebab dan akibat. Subskill atau kemampuan yang menunjukkan aspek menafsirkan diantaranya: mengkategorikan, menguraikan sebuah arti, dan menjelaskanya. Setelah mengenali bentuk representatif dari sebuah informasi, aktivitas selanjutnya adalah menganalisis yang merupakan aspek kedua berpikir kriits.
15
Aspek kedua yaitu menganalisis (analyze) merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi maksud dan kesimpulan yang benar di dalam hubungan antara pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi atau bentuk pernyataan yang diharapkan untuk menyatakan kepercayaan, keputusan, pengalaman, alasan, informasi atau pendapat. Kemampuan menganalisis diperlukan untuk menghubungkan pecahan-pecahan dari bagian sebuah informasi sehingga dapat menentukan maksud dari informasi tersebut. Setelah menganalisis informasi, aktivitas selanjutnya adalah mengevaluasi. Subskill aspek menganalisis adalah menguji sebuah pendapat atau ide dan mengidentifikasi argumen. Aspek ketiga yaitu mengevaluasi (evaluate) merupakan kemampuan untuk menilai kredibilitas pernyataan atau representasi lain dengan menilai atau menggambarkan
presepsi
seseorang,
pengalaman,
situasi,
keputusan,
kepercayaan dan menilai kekuatan logika dari hubungan inferensial yang diharapkan atau aktual di antara pernyataan, dekripsi, pertanyaan atau bentuk representasi lain. Kemampuan mengevaluasi diperlukan setelah mengetahui hubungan dari pecahan dari suatu informasi, yaitu untuk mengetahui apakah informasi tersebut dapat dipercaya atau tidak dengan mencari validitas informasi melalui pengalaman dan opini seseorang. Subskill dari aspek menganalisis adalah menilai pernyataan dan menilai argumen. Aspek
keempat
yaitu
menyimpulkan
(inference)
merupakan
kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih unsur-unsur yang diperlukan untuk membentuk kesimpulan yang beralasan atau hipotesis dengan memperhatikan informasi yang relevan dan mengurangi konsekuensi yang ditimbulkan dari data, prinsip, bukti, penilaian, keyakinan, opini, konsep, deskripsi, pernyataan, atau bentuk representasi lainnya. Subskill dari aspek menyimpulkan adalah mempertanyakan bukti, mencari alternatif, dan menarik kesimpulan. Aspek
kelima
yaitu
menjelaskan
(explanation)
merupakan
kemampuan untuk menyatakan hasil proses reasoning, kemampuan untuk membenarkan atau menyalahkan suatu alasan berdasarkan bukti, konsep, metodologi, kriteria, dan pertimbangan yang masuk akal, dan kemampuan untuk
16
mempresentasikan alasan seseorang berupa argumentasi yang meyakinkan. Kemampuan untuk menjelaskan merupakan salah satu indikator kemampuan berpikir kritis karena seseorang yang berpikir kritis dapat menambahkan penjelasan yang mendetail dari sudut pandang informasi terebut, sehingga lebih mudah untuk diterima oleh orang lain. Subskill dari aspek menjelaskan adalah menyatakan hasil, menjelaskan prosedur, dan memberikan argumen. Aspek keenam adalah mengatur diri (self regulation) merupakan kesadaran untuk mengawasi proses kognisi diri, elemen-elemen yang digunakan dalam proses berpikir dan hasil yang dikembangkan, khususnya dengan mengaplikasikan
keterampilan
dalam
menganalisis
dan
mengevaluasi
kemampuan diri dalam mengambil kesimpulan dengan bentuk pertanyaan, konfirmasi, validasi atau koreksi. Subskill dari aspek mengatur diri adalah pemeriksaan diri dan pembenaran diri. Seseorang yang dapat berpikir kritis pada awalnya pasti dipicu oleh suatu kondisi sehingga harus menggunakan kemampuan berpikir kritisnya. Kondisi tersebut dapat diaplikasikan di dalam pembelajaran dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Tabel berikut merupakan daftar pertanyaan yang dapat memicu kemampuan berpikir kritis sesuai dengan setiap aspeknya. Tabel 2.1. Pertanyaan yang Dapat Memicu Kemampuan Berpikir Kritis Aspek Pertanyaan Menginterpretasi Apa artinya? Apa yang terjadi? Bagaimana cara memahaminya? Adakah cara untuk mengelompokkan hal-hal ini? Menganalisis Kemukakan alasanmu dalam membuat pernyataan itu! Mengapa anda dapat berpikir seperti itu? Apakah dasar anda mengatakan hal itu? Mengevaluasi Seberapa terpercayakah pernyataan itu? Mengapa kita dapat percaya dengan pernyataan orang itu? Apakah kita memiliki fakta-fakta yang benar? Seberapa percayakah kita pada kesimpulan kita?
17
Lanjutan Tabel 2.1 Aspek Pertanyaan Menyimpulkan Dengan apa yang telah kita ketahui selama ini, kesimpulan apa yang dapat kita gambarkan? Dengan apa yang telah kita ketahui selama ini, apa yang dapat kita cegah? Adakah konsekuensi dari melakukan hal dengan cara itu? Menjelaskan Apakah temuan khusus dari penyelidikan ini? Jelaskan kesimpulanmu dari analisis itu! Jelaskan alasanmu mengenai hal itu! Bagaimana anda dapat menjelaskan mengapa keputusan ini dibuat? Mengatur diri Pemahaman kita pada masalah ini masih belum jelas, dapatkah kita berlatih lagi? Seberapa baikkah bukti yang kita miliki? Sebelum kita melanjutkan yang lain, apakah ada yang terlupakan? (Facione, 2015)
Pertanyaan-pertanyaan di Tabel 2.1 apabila diberikan pada proses pembelajaran akan dapat melatih berpikir kritis. Selain itu, melatih berpikir kritis dalam proses pembelajaran dapat dilakukan oleh guru dengan cara mengarahkan siswa untuk belatih bagaimana berpikir (how to think) daripada mengajarkan apa yang dipikirkan (what to think), sehingga dengan arahan tersebut siswa diharapkan menjadi pemikir kritis dan pemikir mandiri (Schafersman, 2008). Seseorang yang berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah tidak hanya sekedar dapat memberikan solusi, namun juga dapat mengutarakan alasan logis mengapa solusi tersebut diambil sebagai keputusan. Di dalam sebuah kegiatan diskusi, seorang pemikir kritis juga diharapkan mampu menghadapi argumen yang ditujukan kepadanya, menghargai perbedaan pendapat orang lain dengan memberikan umpan balik yang rasional, sehingga ditemukan suatu keputusan yang dapat diterima bersama, di samping itu siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis diharapkan dapat mempelajari masalah secara sistematis hingga menghasilkan simpulan yang dapat dipercaya dan diterima oleh orang lain, dengan demikian berpikir kritis merupakan salah satu
18
kemampuan yang perlu dikembangkan mengingat siswa yang sedang menuntut ilmu merupakan generasi penerus yang akan menghadapi tantangan masa depan.
4. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing a. Model Pembelajaran Inkuiri Inkuiri merupakan suatu proses bertanya untuk mencari dan mengumpulkan informasi. Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri termasuk salah satu contoh teori belajar konstruktivisme (Yager, 2007) dan belajar aktif, karena dalam kegiatan siswa perlu menggunakan kemampuan berpikir logis, analitis, kritis dan sistematis untuk memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Karakteristik dari pembelajaran inkuiri adalah adanya kegiatan bertanya sebagai bentuk rasa ingin tahu siswa (Rustaman, 2005). Rasa ingin tahu siswa diharapkan dapat menggiring siswa kepada aktivitas mencari tahu, dimulai dari pengamatan, identifikasi, menyusun hipotesis, pengumpulan informasi, penafsiran informasi, dan pengambilan kesimpulan (Sola dan Ojo, 2007). Menurut Trowbridge & Bybee (2005) terdapat tiga tingkatan pembelajaran menggunakan pendekatan inkuiri, yaitu: 1) pembelajaran penemuan (discovery); 2) pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry); 3) inkuiri bebas atau terbuka (open inquiry). Pada pelaksanaan pembelajaran penemuan (discovery) siswa diajak melakukan pencarian konsep melalui kegiatan yang melibatkan pertanyaan, inferensi, prediksi, berkomunikasi, interpretasi dan menyimpulkan. Pada pelaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry), masalah dimunculkan oleh guru. Sementara dalam pembelajaran inkuiri terbuka atau inkuiri bebas (open inquiry), masalah berasal dari siswa dengan bantuan arahan dari guru sampai siswa menemukan apa yang dipertanyakan dan mungkin berakhir dengan pertanyaan baru atau masalah baru yang perlu ditindaklanjuti pada kegiatan pembelajaran berikutnya. Kesamaan dari ketiga pembelajaran tersebut adalah adanya keterlibatan keterampilan proses sains dan atau kemampuan dasar bekerja ilmiah (Rustaman, 2005: 9-10). Banchi and Bell (dalam Trna, et al., 2012) membagi pembelajaran berbasis inkuiri menjadi empat level berdasarkan bimbingan guru dalam proses
19
pembelajaran, memancing pertanyaan, dan merumuskan produk yang diharapkan. Keempat level tersebut disajikan dalam bentuk Tabel yang disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Level Inkuiri Level Inkuiri Konfirmasi (confirmation) Terstruktur (structured) Terbimbing (guided) Terbuka (open) (Trna et al., 2012)
Pertanyaan (ditentukan oleh guru) Ya Ya Ya Tidak
Langkah Kerja (ditentukan oleh guru) Ya Ya Tidak Tidak
Solusi (ditentukan oleh guru) Ya Tidak Tidak Tidak
Tabel 2.2 menunjukkan level inkuiri pertama adalah inkuiri konfirmasi. Inkuiri konfirmasi didasarkan pada konfirmasi atau verifikasi sebuah hukum maupun teori alam. Inkuiri konfirmasi sangat tepat digunakan pada awal implementasi pembelajaran berbasis inkuiri, ketika guru bermaksud untuk meningkatkan
kemampuan
mengamati,
kemampuan
eksperimen,
dan
kemampuan menganalisis siswa. saat melakukan inkuiri konfirmasi, siswa mengikuti segala detail petunjuk yang diberikan oleh guru dalam bentuk bimbingan. Level inkuiri kedua adalah inkuiri terstruktur, dimana guru berpengaruh penting dalam pelaksanaannya. Guru memberikan bantuan kepada siswa dalam bentuk bimbingan dan pertanyaan yang terarah. Siswa mencari solusi atau jawaban melalui inkuiri dan memberikan penjelasan berdasarkan bukti yang mereka temukan. Langkah kerja eksperimen yang mendetail sudah ditentukan oleh guru, namun hasil eksperimen tidak ditentukan. Siswa menggunakan kemampuan kreatif mereka dalam menemukan konsep dari hasil eksperimen, namun masih dalam bimbingan guru. Inkuiri terstruktur merupakan level yang sangat penting untuk mengembangkan kemampuan siswa sebagai persiapan menuju level inkuiri yang lebih tinggi.
20
Level inkuiri ketiga adalah inkuiri terbimbing. Pada level ini, tugas guru berubah secara drastis. Guru berperan sebagai pembimbing siswa, dimana pada pelaksanaannya guru bekerjasama dengan siswa dalam menentukan rumusan masalah dan memberikan masukan dalam penyusunan langkah kerja penyelidikan. Siswa sendiri sebelumnya mengusulkan langkah kerja untuk membuktikan hipotesis dan solusi berikutnya. Guru lebih sedikit memberikan dorongan kepada siswa daripada dua level sebelumnya, sehingga meningkatkan kemandirian siswa dalam membangun konsep. Supaya dapat bekerja mandiri pada level ini, siswa perlu menguasai dua level inkuiri sebelumnya. Level keempat yaitu inkuiri terbuka, yang merupakan level inkuiri tertinggi. Inkuiri terbuka terbangun dari ketiga level inkuiri sebelumnya dan lebih mirip dengan penelitian ilmiah. Siswa dalam level ini harus menguasai cara untuk menciptakan pertanyaan inkuiri, metode dan langkah kerja untuk melaksanakan penyelidikan, mencatat dan menganalisa data, serta menarik kesimpulan dari bukti yang didapatkan melalui penyelidikan. Segala aktivitas ini memerlukan level berpikir ilmiah dan kemampuan kognitif yang tinggi, sehingga dapat dilaksanakan di kelas yang terdiri dari siswa berbakat atau siswa yang sudah dewasa. Bruner (dalam Rustaman, 2005) memberikan pendapat bahwa penggunaan pendekatan inkuiri dalam pembelajaran sains memiliki beberapa kelebihan yaitu: 1) dapat meningkatkan potensi intelektual siswa, karena adanya kesempatan untuk mencari dan menemukan keteraturan dan aspek lainnya melalui kegiatan observasi dan eksperimen; 2) adanya keputusan intelektual yang diperoleh siswa akibat kegiatan penyelidikan yang telah dilakukan; 3) siswa dapat mengetahui dan belajar bagaimana melakukan proses penemuan untuk menjawab pertanyaan atau masalah yang dihadapi; 4) belajar inkuiri mempengaruhi siswa mengingat ilmu lebih lama, karena adanya keterlibatan siswa secara langsung untuk membangun ilmu tersebut. b. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Inkuiri terbimbing merupakan salah satu dari 3 jenis model pembelajaran yang berbasis inkuiri menurut Trowbridge & Bybee (2005),
21
dengan ciri-ciri pembelajaran adalah adanya bimbingan guru yang mengarahkan siswa kepada pembangunan konsep secara mandiri. Bimbingan guru diperlukan untuk membantu siswa membatasi kegiatan yang tidak berhubungan dengan tujuan pembelajaran karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh guru dalam suatu kegiatan pembelajaran, sehingga siswa dapat menggunakan waktu seefektif mungkin hingga terbangunnya konsep baru. Rustaman (2005) berpendapat bahwa bimbingan guru diperlukan karena siswa belum dapat sepenuhnya membangun pengetahuan sendiri, sehingga memerlukan arahan, petunjuk, dan pertanyaan yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa. Adanya rasa ingin tahu siswa akan menuntun kepada penggunaan kemampuan berpikir kritis, sehingga secara tidak langsung pembelajaran inkuiri melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis dan analitis hingga penemuannya terumuskan dengan percaya diri (Gulo, 2005). Siswa yang terbiasa belajar mandiri akan mudah menemukan cara untuk mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki dengan menggunakan berbagai sumber untuk mengumpulkan informasi. c. Sintaks Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Pelaksanaan pembelajaran inkuiri dilakukan dalam sintaks yang terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan pembelajaran inkuiri terbimbing terdiri dari lima fase yang disajikan dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Sintaks Pembelajaran Inkuiri Terbimbing No Tahap Pembelajaran Kegiatan Guru 1 State the problem or Menampilkan purpose (menampilkan permasalahan permasalahan) 2 Formulate a hypothesis Membimbing dalam (merumuskan hipotesis) perumusan hipotesis 3 Plan and conduct the Membimbing dalam investigation penyusunan rancangan (merencanakan penyelidikan penyelidikan)
Kegiatan Siswa Mengidentifikasi masalah Merumuskan hipotesis Menyusun rancangan penyelidikan
22
Lanjutan Tabel 2.3 No Tahap Pembelajaran 4 Analyze data (menganalisis data) 5
Make a conclusion (menarik kesimpulan) (Scott, et al., 2010)
Kegiatan Guru Memberi kesempatan untuk menganalisis data hasil percobaan Memberi kesempatan untuk menarik kesimpulan
Kegiatan Siswa Menganalisis data hasil percobaan Menarik kesimpulan
Sebagai sebuah model pembelajaran, inkuiri terbimbing memiliki keunggulan dan kelemahan dalam penerapannya. Keunggulan inkuiri terbimbing adalah: 1) dapat mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan keterampilan dan proses kognitif siswa; 2) membangkitkan motivasi siswa apabila siswa berhasil menemukan ilmu yang dicari; 3) memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan kemampuan; 4) membantu membangun kepercayaan diri siswa, siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran karena model inkuiri terbimbing termasuk dalam model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Kelemahan inkuiri terbimbing antara lain siswa yang belum terbiasa menggunakan metode belajar baru akan mengalami kesulitan, penerapan di kelas besar memerlukan waktu yang lebih, sehingga tidak efisien dan dapat terjadi kegagalan apabila siswa sudah terbiasa belajar menggunakan model konvensional dan guru tidak dapat menguasai pembelajaran inkuiri (Suryosubroto, 2009).
5. Buzz Group Discussion Kegiatan diskusi yang dilakukan di dalam kelas merupakan salah satu strategi mengajar yang penting karena berkaitan dengan perkembangan keikutsertaan siswa di dalam pembelajaran, perkembangan berpikir kritis, dan perkembangan komunitas kelas (Larson & Keiper, 2002). Kegiatan diskusi memberikan kesempatan kepada siswa dan guru untuk berinteraksi sehingga dapat melatih kemampuan kognitif dan afektif siswa. Kemampuan kognitif yang dapat dilatih melalui kegiatan diskusi salah satunya adalah kemampuan berpikir tingkat tinggil seperti menginterpretasi, menganalisis, dan mengolah informasi. Melalui
23
kegiatan diskusi siswa berlatih menjelaskan ide dan segala jenis pemikiran yang ada di benaknya, tidak hanya sekedar mengingat. Selama diskusi berlangsung siswa merupakan peserta aktif dari penyebaran informasi yang dituangkan dari guru (Larson & Keiper, 2002). Adanya peran aktif siswa yang di dalam pembelajaran menyebabkan informasi yang didapatkan akan dapat disimpan dalam ingatan jangka panjang serta secara bertahap akan meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Ribot, 2011). Diskusi dapat dilakukan dalam berbagai teknik, baik dalam diskusi besar maupun kecil. Sebagai usaha untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, penggunaan diskusi dalam forum kecil adalah solusi sesuai dengan pendapat Mayers (dalam Zahedi, 2009) yang mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis tidak mungkin dapat ditingkatkan tanpa adanya aktivitas diskusi dan pemecahan masalah. Bales, et al. (dalam Edmunds & Brown, 2010) berpendapat bahwa diskusi dalam forum kecil yang beranggotakan tiga hingga empat orang sangat baik untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan pengambilan keputusan, selain itu belajar dengan menggunakan diskusi dalam forum kecil lebih banyak dipilih untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Edmunds & Brown, 2010). Edmunds & Brown (2010) menyebutkan dengan melakukan diskusi akan melatih kemampuan berdiskusi. Kemampuan berdiskusi yang dimaksud adalah questioning (memberi pertanyaan), listening (mendengarkan), responding (memberikan respon), dan explaining (menjelaskan). Keempat kemampuan berdiskusi ini dapat memfasilitasi kemampuan berpikir, dengan kata lain dapat meningkatkan kemampuan kognitif. 1) Questioning (memberi pertanyaan) Fungsi memberikan pertanyaan dalam aktivitas belajar dengan menggunakan metode diskusi antara lain membangun minat keingintahuan siswa, menaksir luas pengetahuan siswa, mendorong pemikiran kritis dan membangun pemikiran untuk menilai sesuatu.
24
2) Listening (mendengarkan) Mendengarkan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam diskusi forum kecil. Kegiatan mendengarkan membuat peserta diskusi dapat mengetahui arti yang tersirat dari apa yang sedang dikatakan oleh si pembicara. 3) Responding (memberikan respon) Memberikan
respon
dalam
diskusi
memiliki
fungsi
sebagai
penyemangat siswa. Di dalam satu kelompok diskusi pasti memiliki anggota yang pemalu dan sedikit bicara, dengan memberikan respon maka siswa pemalu tersebut akan berani untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas tanpa rasa khawatir akan dikritik. 4) Explaining (menjelaskan) Menjelaskan merupakan aktivitas berusaha untuk memberikan pemahaman akan sesuatu kepada seseorang. Tidak hanya dalam diskusi forum kecil, aktivitas menjelaskan memiliki peran yang penting dalam membangun komunikasi antar anggota kelompok, bahkan setelah diskusi berakhir. Adanya usaha untuk menjelaskan kepada orang lain, siswa akan menggunakan kemampuan berpikir dan kemampuan berkomunikasinya supaya apa yang dimaksud dapat dipahami oleh si pendengar. Teknik diskusi yang dapat dilakukan menurut Roestiyah (2008) antara lain: 1) Whole Group Whole group merupakan diskusi yang dilakukan oleh suatu kelompok yang beranggotakan tidak lebih dari 15 orang. Afifah (2014) menambahkan bahwa jumlah anggota diskusi whole group yang ideal adalah tidak lebih dari 20 orang. Afifah juga memberikan contoh diskusi whole group dapat dilakukan oleh satu kelas sebagai satu kelompok dan proses pemecahan masalah dilakukan oleh seluruh anggota kelas. Cara pelaksanaan adalah seluruh siswa di dalam kelas duduk dalam posisi yang membentuk huruf “U” dengan satu peserta menjadi moderator. Tugas moderator adalah sebagai pemandu untuk mengelola dan mengemukakan permasalahan, menciptakan suasana yang menarik untuk membahas masalah yang sedang
25
didiskusikan, menciptakan suasana informal dan membantu peserta lain mengemukakan pendapat. 2) Panel Diskusi panel dilakukan oleh beberapa orang panelis (3 hingga 6 orang) yang duduk dalam susunan tempat duduk semi melingkar dan menghadap kelompok lainnya yang berperan sebagai audience. Tujuan diskusi panel adalah memberikan rangangan cara berpikir secara masal dengan memberikan opini dari berbagai sudut pandang, sehingga siswa mampu berpikir secara luas dan meninjau setiap masalah dari beberapa segi supaya pendapatnya tidak sempit. 3) Symposium Diskusi
symposium
dilakukan
dengan
membahas
suatu
permasalahan oleh sedikitnya 2 orang yang ahli dalam permasalahan tersebut sehingga terjadi diskusi tentang perbedaan pendapat dari sudut pandang masing-masing ahli. Diskusi dimulai dengan penyajian suatu permasalahan di hadapan peserta symposium secara singkat (sekitar 5 hingga 20 menit) setelah itu peserta diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan yang dapat berupa pesertujuan maupun sanggahan. Pada akhir diskusi, dibacakan kesimpulan hasil kinerja tim perumus yang telah ditentukan. Tujuan diskusi symposium adalah merangsang daya pikir siswa dalam kelompok besar, sehingga dapat berpartisipasi memecahkan suatu masalah dalam waktu yang singkat. 4) Coloqium Diskusi dengan teknik coloqium dilakukan dengan satu narasumber yang memberikan pendapat dan menjawab pertanyaan dari audience. Sumber masalah adalah dari narasumber, sedangkan audience memberikan interview tentang masalah tersebut. 5) Informal Debate Diskusi informal debate dilakukan dengan membagi dua kelompok yang terdiri dari anggota dengan jumlah yang sama dan mempunyai keahlian dalam suatu bidang yang sama sehingga sama kuatnya. Kedua kelompok
26
mendiskusikan suatu masalah dengan perdebatan tanpa ada peraturan formal yang mengikat (informal). Masalah yang dimaksud biasanya dimunculkan dalam kondisi pro dan kontra. Tujuan dari diskusi informal debate adalah melatih siswa untuk menghargai pendapat orang lain, terbiasa mengeluarkan pendapat, dan mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. 6) Fish Bowl Diskusi dengan teknik fish bowl dilakukan dengan mengatur duduk dalam bentuk setengah lingkaran, dengan dua atau tiga kursi kosong menghadap ke peserta diskusi. Dengan demikian, terbentuk posisi seperti ikan (fish) di dalam mangkok (bowl). Aplikasi diskusi ini adalah dengan membagi satu kelas menjadi beberapa kelompok. Salah satu kelompok ditunjuk menjadi kelompok dalam yang bertugas sebagai pendiskusi masalah yang diberikan, sementara kelompok lain merupakan kelompok luar dan bertugas sebagai pendengar diskusi. Apabila terdapat salah satu peserta dari kelompok luar yang ingin mengutarakan gagasannya, maka peserta tersebut duduk di kursi kosong yang telah disediakan. Secara teknis, kelompok dalam merupakan panitia pengarah, sedangkan kelompok luar merupakan panitia pelaksana yang memiliki tugas untuk mendengarkan, menganalisa, serta menerjemahkan masalah yang sedang dibahas, kemudian didiskusikan dan dibicarakan untuk menjadi suatu tindakan nyata. 7) Buzz Group Discussion Menurut Roestiyah (2008) merupakan salah satu jenis diskusi yang dilaksanakan dengan membagi kelas menjadi dua hingga delapan kelompok. Diskusi dalam kelompok dilakukan dalam posisi saling menghadap untuk mempermudah komunikasi dan interaksi antar anggota. Sebelum melakukan diskusi, setiap kelompok membagi tugas seperti pemimpin diskusi, notulen, dan juru bicara. Pelaksanaan diskusi memerlukan peran guru sebagai pembimbing untuk penggunaan waktu yang efisien. Guru dapat mengunjungi satu kelompok ke kelompok lain untuk meminimalisir kemungkinan adanya topik diskusi yang keluar dari tujuan pembelajaran. Setelah diskusi berakhir, hasil diskusi kemudian dikomunikasikan melalui salah satu juru bicara
27
kelompok sehingga semua kelompok mengetahui hasil diskusi kelompok lain. Hasil belajar yang diharapkan dari diskusi model ini adalah masingmasing individu dapat membandingkan persepsi yang berbeda-beda tentang bahan pelajaran dan membandingkan interpretasi dari informasi yang diperoleh (Afifah, 2014). Diskusi yang dilakukan di penelitian ini adalah dengan melibatkan seluruh anggota kelas yang kemudian dibagi menjadi 8 kelompok. Di dalam satu kelompok terdiri dari 4 siswa dan diberi suatu masalah untuk memunculkan pertanyaan sehingga terjadi interaksi antar anggota seperti menukar pikiran, pendapat dan gagasan untuk memperoleh keputusan bersama (Rulam, 2008). Suatu masalah yang akan dipecahkan memerlukan informasi dari berbagai sumber. Informasi tersebut salah satunya berasal dari pemikiran para anggota yang berupa pendapat sehingga terjadi aktivitas bertukar pikiran. Proses bertukar pikiran dilakukan oleh seluruh anggota kelompok dengan cara memberikan pendapatnya yang kemudian ditampung untuk dipilih sebagai hasil diskusi. Secara singkat, kegiatan ini merupakan kegiatan bertukar pengalaman untuk menentukan keputusan tertentu secara bersama-sama (Davis, 2005).
6. Model Inkuiri Terbimbing Disertai Buzz Group Discussion Penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dikolaborasikan dengan buzz group discussion diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas X-1. Model pembelajaran inkuiri terbimbing mengajak siswa untuk berpikir aktif dalam mencari solusi dari sebuah masalah. Hal ini dapat dilakukan secara efektif kelas tersebut memiliki jumlah siswa yang sedikit, sehingga guru dapat membimbing setiap siswa secara mandiri. Dikarenakan kelas X-1 SMA Negeri 2 Purworejo memiliki jumlah siswa yang cukup banyak yaitu 32 orang, guru akan mengalami kendala dalam membimbing setiap siswa. Untuk menjawab kendala ini maka penggunaan inkuiri terbimbing dikolaborasikan dengan metode belajar diskusi tipe buzz group. Siswa yang belajar secara kelompok kecil (terdiri dari 3-4 orang) akan lebih memudahkan guru dalam memberikan bimbingan inkuiri. Meskipun masalah
28
dan rumusan masalah telah ditentukan oleh guru, siswa masih belum dapat seutuhnya melakukan pembelajaran secara mandiri melainkan masih memerlukan bimbingan guru. Selain mempermudah guru dalam memberikan bimbingan, belajar dalam metode diskusi kelompok kecil juga menciptakan suasana belajar aktif karena siswa dapat berinteraksi dengan teman dalam memecahkan masalah. Siswa yang memiliki suatu pengetahuan yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi
dapat
membagi
pengetahuannya
kepada
siswa
yang
belum
mengetahuinya, dan sebaliknya. Siswa yang memiliki pengetahuan yang bersebrangan akan berargumentasi untuk mempertahankan pendapatnya. Siswa yang kurang memahami suatu pengetahuan akan dibantu temannya melalui aktivitas menjelaskan dalam bentuk yang lebih komunikatif. Segala aktivitas ini dapat memicu siswa menggunakan kemampuan berpikirnya, termasuk berpikir krits. Selain itu, aktivitas ini dapat meminimalisir tugas guru dalam membimbing suatu kelompok, karena guru masih harus membimbing kelompok yang lain. Keterlibatan siswa yang aktif dalam pembelajaran inkuiri terbimbing melatih siswa menemukan pengetahuan secara mandiri, sehingga pengetahuan yang didapatkan akan bertahan lebih lama dan lebih bermakna.
29
7. Penelitian yang Relevan a. Greenwald dan Quitadamo (2014) menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis inkuiri dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada mata kuliah neuroanatomy. b. Suprapto (2009) menunjukkan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. c. Wati, Zubaidah, dan Mahanal (2009) yang menyimpulkan penerapan metode inkuiri dipadu dengan reciprocal teaching pada mata pelajaran sains dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan aktivitas siswa. d. Wulandari, dkk. (2013) menyimpulkan kemampuan berpikir kritis siswa SMA dapat ditingkatkan dengan menggunakan pembelajaran praktikum berbasis inkuiri terbimbing. e. Prasad (2009) menyimpulkan bahwa penggunaan diskusi dalam forum online dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. f. Ilmiyah (2012) menyimpulkan penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan metode diskusi dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Ekonomi.
30
B. KERANGKA BERPIKIR
Perkembangan IPTEK pada abad ke-21 telah memberikan pengaruh besar bagi kehidupan manusia. Pengaruh tersebut akan memunculkan masalah baru yang hanya dapat diselesaikan oleh generasi penerus yang sudah siap untuk menghadapinya. Menurut Roekel (2013) kemampuan yang perlu dikuasai untuk menghadapi tantangan abad ke-21 antara lain critical thinking (berpikir kritis), effective communication (komunikasi efektif), collaboration (berkolaborasi), creativity (kreativitas). Fakta hasil observasi di kelas X-1 SMA Negeri 2 Purworejo menunjukkan bahwa pembelajaran berpusat pada guru. Hal ini menyebabkan kontribusi siswa sedikit dan tidak ada interaksi siswa, pada akhirnya kemampuan berpikir siswa tidak terlatih. Observasi lanjutan menunjukkan bahwa nilai setiap aspek kemampuan berpikir kritis siswa termasuk dalam kategori cukup, yaitu 1) menginterpretasi 41,25; 2) menganalisis 41,87; 3) mengevaluasi 45,62; 4) menyimpulkan 41,87; 5) menjelaskan 43,12; 6) mengatur diri 41,87. Kesenjangan yang terdapat di kedua fakta tersebut menimbulkan masalah yang berupa pembelajaran belum mendorong siswa untuk berinteraksi dan melatih berpikir kritis. Kedua masalah ini memerlukan model pembelajaran yang melatih siswa belajar sains dan melatih siswa belajar dalam kelompok. Solusi yang digunakan untuk masalah yang ditemukan di kelas X-1 adalah menerapkan model pembelajaran inkuiri terbimbing disertai buzz group discussion. Teori yang relevan dengan inkuiri terbimbing dan buzz group discussion diharapkan dapat menciptakan kondisi ideal kelas tersebut, yaitu pembelajaran Biologi dilakukan dengan berpusat pada siswa yang menyebabkan kemampuan berpikir kritis siswa meningkat. Kerangka berpikir penelitian disajikan dalam Gambar 2.1
31
FAKTA
IDEAL
Pembelajaran berpusat pada guru (transfer pengetahuan dari guru ke siswa) Tidak ada kesempatan untuk berinteraksi sehingga tidak ada aktivitas bertukar informasi Kemampuan berpikir kritis belum terlatih, dengan nilai setiap aspek belum mencapai kategori baik Nilai setiap aspek kemampuan berpikir kritis belum optimal, yaitu: 1) menginterpretasi 41,25; 2) menganalisis 41,87; 3) mengevaluasi 45,62; 4) menyimpulkan 41,87; 5) menjelaskan 43,12; 6) pengaturan diri 41,87
Tantangan abad 21 yang berupa masalah baru dapat dihadapi apabila generasi muda memiliki kemampuan 4C, salah satunya berpikir kritis (critical thinking) Setiap individu mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah melalui interaksi sosial (collaboration) Penggunaan model pembelajaran yang berpusat pada siswa merupakan salah satu amanah penerapan Kurikulum 2013, contohnya adalah model pembelajaran berbasis inkuiri
MASALAH Pembelajaran belum mendorong siswa untuk melatih kemampuan berpikir kritis Pembelajaran belum mendorong siswa untuk berinteraksi
KEBUTUHAN Perlu model pembelajaran yang melatih siswa belajar sains melalui penemuan Perlu model pembelajaran yang melatih siswa belajar dalam bentuk kelompok SOLUSI Inkuiri Terbimbing
Model inkuiri terbimbing mendukung siswa untuk menciptakan pembelajaran sains yang berpusat pada guru Sintaks inkuiri terbimbing terdiri dari: menampilkan masalah, merumuskan hipotesis, merencanakan dan melakukan penyelidikan, menganalisis data, dan menarik kesimpulan sesuai dengan teori belajar Bruner, Ausubel, dan Piaget
Buzz Group Discussion
Buzz Group Discussion memberikan siswa kesempatan untuk berinteraksi dengan sesama Interaksi menyebabkan adanya pertukaran informasi dan merangsang kemampuan berpikir kritis (Ribot, 2011) Adanya interaksi sosial di dalam pembelajaran relevan dengan teori belajar sosial Vygotsky
HARAPAN Kemampuan berpikir kritis siswa meningkat
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
32
C.
HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis penelitian yaitu: Ada peningkatan kemampuan berpikir kritis melalui model pembelajaran inkuiri terbimbing disertai buzz group discussion pada siswa kelas X-1 SMA Negeri 2 Purworejo.
