`BAB II KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan relationship marketing theory sebagai teori utama dalam menjelaskan pentingnya memelihara hubungan jangka panjang dengan konsumen dan mitra bisnis dalam menghadapi persaingan usaha bisnis yang semakin ketat. Kajian lain yang mendukung penelitian ini adalah kajian tentang manajemen pemasaran, budaya organisasi, sumber daya TI, dan kinerja bisnis. Semua teori dan kajian tersebut selanjutnya dijelaskan sebagai berikut.
2.1 Pengertian Manajemen Pemasaran Menurut Kotler dan Keller (2012:5), manajemen pemasaran terjadi ketika setidaknya satu pihak dalam sebuah pertukaran potensial berpikir tentang caracara untuk mencapai respons yang diinginkan pihak lain. Sehubungan dengan itu, manajemen pemasaran dipandang sebagai seni dan ilmu memilih pasar sasaran dan meraih, mempertahankan, serta menumbuhkan pelanggan dengan menciptakan, mengantarkan, dan mengomunikasikan nilai pelanggan yang unggul. Kotler dan Keller (2012:36) mengemukakan bahwa inti pemasaran adalah memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Sasaran bisnis adalah mengantarkan nilai pelanggan untuk menghasilkan laba. Untuk penciptaan dan mengantarkan nilai dapat meliputi fase memilih nilai, fase menyediakan nilai, dan fase mengomunikasikan nilai. Urutan penciptaan dan mengantarkan nilai melalui tiga fase, yaitu sebagai berikut.
11
12
1. Fase memilih nilai, pemasar harus menyegmentasikan pasar, memilih sasaran pasar yang tepat, dan mengembangkan penawaran positioning nilai (STP). 2. Fase menyediakan nilai, pemasar harus menentukan fitur produk tertentu, harga, dan distribusi. 3. Fase
mengomunikasikan
nilai,
pemasar
mendayagunakan
tenaga
penjualan, promosi penjualan, iklan, dan sarana komunikasi lain untuk mempromosikan produk. Menurut Kotler dan Keller (2012 : 58), pada dasarnya kegiatan pemasaran mencakup konsep produksi, konsep produk, konsep penjualan, konsep pemasaran, dan konsep pemasaran holistik. 1. Konsep produksi Konsep ini berorientasi pada proses produksi atau operasi. Produsen meyakini bahwa konsumen hanya akan membeli produk-produk yang murah dan mudah diperoleh. Para manajer mengasumsikan bahwa konsumen tertarik pada ketersediaan produk dan harga yang rendah. Orientasi ini berguna ketika perusahaan ingin memperluas pasar. 2. Konsep produk Dalam konsep ini pemasar beranggapan bahwa konsumen lebih menghendaki produk yang memiliki kualitas, kinerja, dan fitur superior. Para manajer organisasi memusatkan perhatian untuk menghasilkan produk yang unggul dan memperbaiki mutunya dari waktu ke waktu.
13
3. Konsep penjualan Konsep ini berorientasi pada tingkat penjualan, yaitu pemasar beranggapan bahwa konsumen harus dipengaruhi agar penjualan dapat meningkat. Konsep ini mengasumsikan bahwa konsumen umumnya menunjukkan penolakan untuk membeli sehingga harus dibujuk supaya membeli. 4. Konsep pemasaran Konsep pemasaran berorientasi pada pelanggan dengan anggapan bahwa konsumen hanya akan bersedia membeli produk yang mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya serta memberikan kepuasan. Konsep pemasaran terdiri atas empat pilar, yakni pasar sasaran, kebutuhan pelanggan, pemasaran terpadu atau terintegrasi, dan berkemampuan menghasilkan laba. 5. Konsep pemasaran holistik Konsep pemasaran holistik merupakan suatu pendekatan terhadap pemasaran yang mempunyai kompleksitas tinggi. Pemasaran holistik mengakui bahwa segala sesuatu bisa terjadi pada pemasaran. Terdapat empat komponen dari pemasaran holistik, yaitu relationship marketing, integrated marketing, internal marketing, dan perfomance marketing, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut.
14
Products & service Senior management Communications Channels Marketing department
Other departments Integrated marketing
Internal marketing
Brand & costumer equity
Sales revenue
Holistic marketing
Relationship marketing
Performance marketing
Ethics
Community Environment
Costumers
Channel
Partners
Legal
Gambar 2.1 Dimensi Pemasaran Holistik Sumber: Kotler dan Keller (2012) 1. Relationship marketing mempunyai tujuan membangun hubungan jangka panjang yang saling memuaskan dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan utama (pelanggan, pemasok, dan distributor) dalam rangka mendapatkan serta mempertahankan preferensi dan kelangsungan bisnis jangka panjang. 2. Internal marketing, tugas pemasaran internal adalah merekrut, melatih, dan memotivasi karyawan yang mampu untuk melayani pelanggan dengan baik. Pemasaran internal berlangsung pada dua tingkatan. Pertama, berfungsi sebagai pemasaran sales force, advertising, layanan pelanggan,
15
manajemen produk, dan riset pemasaran. Kedua, pemasaran berlangsung oleh departemen lain. Departemen tersebut memerlukan pemasaran yang berpikir bahwa pelanggan dapat menembus keseluruhan perusahaan. 3. Integrated marketing, lebih merencanakan kegiatan pemasaran dan program pemasaran terpadu untuk menciptakan, mengomunikasikan, dan memberikan nilai bagi pelanggan. Dengan kata lain, rancangan dan penerapan suatu aktivitas pemasaran adalah dengan melakukan bisnis secara menyeluruh dalam manajemen permintaan, manajemen sumber daya, dan manajemen jaringan. 4. Perfomance
marketing
adalah
konsep
pemasaran
yang
mempertimbangkan pendapatan penjualan, merek dan ekuitas pelanggan, hukum, etika, sosial, dan lingkungan.
2.2 Relationship Marketing Theory Pemasaran
dapat
dideskripsikan
sebagai
proses
mendefinisikan,
mengantisipasi, menciptakan, dan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan terhadap produk dan layanan. Di dalam pemasaran terdapat tujuh fungsi dasar, yaitu (1) analisis pelanggan, (2) penjualan produk/layanan, (3) perencanaan produk dan layanan, (4) pricing, (5) distribusi, (6) riset pemasaran, dan (7) analisis peluang (David, 2011). Salah satu model pemasaran yang berkembang saat ini adalah pemasaran dengan melakukan kerja sama untuk mencapai tujuan menguntungkan bersama dalam jangka panjang, yang melibatkan seluruh stakeholder termasuk kompetitor, yang dikenal dengan pemasaran relasional (relationship marketing).
16
Menurut Berry dan Parasuraman (1991), relationship marketing berkaitan dengan menarik, mengembangkan, dan mempertahankan hubungan dengan pelanggan. Selanjutnya relationship marketing juga didefinisikan sebagai pemasaran yang dilihat sebagai hubungan, jejaring, dan interaksi (Gummesson, 1994: 2). Definisi lain menyatakan bahwa relationship marketing adalah kegiatan mengidentifikasi, membangun, mempertahankan, dan meningkatkan hubungan dengan pelanggan dan pemangku kepentingan (stakeholder) lain secara menguntungkan sehingga tujuan semua pihak yang terlibat dapat dipenuhi. Hal ini dilakukan dengan interaksi saling menguntungkan dan pemenuhan hal yang dijanjikan (Grönroos, 2000: 111). Di pihak lain Sheth (1994) mendefinisikan relationship marketing sebagai pemahaman, penjelasan, dan manajemen hubungan bisnis kolaboratif yang berkelanjutan antara pemasok dan pelanggan. Selanjutnya, Sheth dan Parvatiyar (1995) memandang relationship marketing sebagai upaya untuk melibatkan dan mengintegrasikan pelanggan, pemasok, dan mitra (partner) lain ke dalam sebuah aktivitas pengembangan dan pemasaran perusahaan. Secara teoretis, ada sepuluh bentuk hubungan yang menunjukkan relationship marketing berdasarkan konsep Morgan and Hunt (1994), yaitu (1) kemitraan dalam interaksi relasional bersifat jangka panjang antara pabrikan dan pemasok; (2) interaksi relasional melibatkan pemasok jasa; (3) aliansi strategis antara perusahaan dan pesaing; (4) aliansi antara sebuah perusahaan dan organisasi
nirlaba;
(5)
kemitraan
(partnership)
untuk
penelitian
dan
pengembangan bersama; (6) interaksi jangka panjang antara perusahaan dan
17
konsumen; (7) hubungan relasional dalam kemitraan kerja; (8) hubungan relasional (relational exchange) yang melibatkan bagian-bagian (department) fungsional; (9) interaksi hubungan relasional (relational exchange) antara sebuah perusahaan dan pegawainya; serta (10) interaksi hubungan relasional (relational exchange) di dalam perusahaan, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.2
berikut .
Kemitraan Internal (Internal Partnerships)
Pemasok Barang (Good Suppliers)
Penyedia Jasa (Services Suppliers)
Pesaing (Competitors)
Unit Bisnis (Business Unit)
Karyawan (Employees)
Perusahaan yang Fokus (Focal Firm)
Departemen Fungsional (Functional Departments)
Hubungan dengan Pembeli (Buyer Partnerships)
Hubungan Kemitraan (Suppliers Partnerships)
Pemerintah (Government)
Organisasi Nirlaba (Nonprofit Organizations)
Pelanggan Menengah (Intermediate Customers)
Pelanggan Utama (Ultimate Customers)
Gambar 2.2 Bentuk Hubungan Relationship Marketing Sumber: Morgan and Hunt (1994)
Kemitraan Lateralis (Lateral Partnerships)
18
Berdasarkan konsep hubungan pada Gambar 2.2 diketahui bahwa di dalam relationship marketing termuat interaksi focal firm dengan pihak pemasok barang dan jasa; lateral partnership yang terdiri atas pesaing, organisasi non profit, dan pemerintah; buyers partnership yang terdiri atas intermediate customers dan ultimate customers, serta internal partnership yang terdiri atas unit bisnis, pekerja, dan departemen fungsional. Hubungan pada Gambar 2.2 tidak membatasi relationship marketing hanya pada hubungan pelanggan (customers relationship). Kesepuluh interaksi tersebut bersifat hubungan relasional sehingga relationship marketing mengacu pada semua aktivitas pemasaran yang ditujukan untuk membangun, mengembangkan, dan mempertahankan interaksi hubungan yang sukses. Secara umum, strategi berbasis relationship marketing didesain untuk memungkinkan perusahaan lebih mudah berbagi, mengembangkan, dan memanfaatkan sumber-sumber daya (informasi, proses, dan kompetensi) dengan perusahaan lain dan konsumen. Melalui kerja sama, perusahaan dapat berkompetisi dengan lebih efisien dan efektif (Morgan and Hunt, 1994). Penelitian dalam area relationship marketing telah mengidentifikasi minimum delapan tipe faktor yang memengaruhi kesuksesan strategi berbasis relationship marketing. Untuk lebih jelasnya, kedelapan tipe faktor yang memengaruhi kesuksesan strategi berbasis relationship marketing seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 berikut.
19
Resource Factor Complementary Idiosyncratic
Competence Factor Alliance competences Market-relating capabilities Relationship portfolio management
Relationship Marketing Success
Relational Factor
Trust Commitment Cooperation Keeping promise Shared values Communication
Public Policy Factor Property rights Contract law Alternative governance mechanisms
Internal Marketing Factor Internal market orientation Part-time marketers
Information Technology Factors
Competitive advantage Financial performance Satisfaction Learning Propensity to stay Acquiescence Decreased uncertainty
Interorganizational information system Integrated infrastructure CRM Database Data mining
Historical Factor
Market Offering Factors
Opportunistic behavior Termination cost Relationship benefits
Quality Innovativeness Customization Brand Equity
Gambar 2.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Relationship Marketing Sumber : Hunt and Hurnett (2004)
20
1) Faktor relasional Teori relationship marketing yang berkaitan dengan faktor-faktor dan pengaruhnya pada kesuksesan strategi berbasis relationship marketing dibangun di atas teori interaksi sosial (social exchange theory) (Blau, 1964; Homans, 1958; Macaulay, 1963; Thibaut dan Kelley, 1959) dan relational contracting (Macneil, 1980). Studi ini meneliti faktor-faktor yang membedakan antara interaksi atau transaksi diskrit dan interaksi relasional. Interaksi diskrit (discrete exchange) memiliki awal yang jelas, akhir yang jelas, durasi singkat, dan melibatkan pihakpihak yang anonim. Sebaliknya, interaksi relasional (relational exchange) mencakup serangkaian interaksi pada periode waktu yang panjang dengan para pihak yang saling mengenal satu sama lain (Dwyer et al., 1987; Macneil, 1980). Pandangan faktor-faktor relasional mengartikan bahwa keberhasilan relationship marketing dihasilkan dari aspek tertentu dari hubungan yang mencirikan interaksi relasional yang sukses. Penelitian yang telah ada mengidentifikasi banyak faktor yang berkaitan dengan interaksi relasional (relational exchange) yang sukses. Akan tetapi, enam faktor yang paling sering digunakan, yaitu sebagai berikut. a. Kepercayaan (trust) (Dwyer et al., 1987; Morgan and Hunt, 1994; Sividas dan Dwyer, 2000; Smith and Barclay, 1997; Wilson, 1995). b. Komitmen (Anderson dan Weitz, 1992; Day, 1995; Geyskens et al., 1999; Moorman et al., 1992). c. Kerja sama (Anderson and Narus, 1990; Morgan and Hunt, 1994). d. Menepati janji (Gronroos, 1990, 1994).
21
e. Nilai bersama (shared values) (Brashear et al., 2003; Morgan and Hunt, 1994; Yilmaz and Hunt, 2001). f. Komunikasi (Mohr and Nevin, 1990; Mohr et al., 1996). Spekman et al. (2000: 43) menyatakan bahwa kepercayaan (trust) dan komitmen merupakan kondisi yang perlu (sine qua non) dari aliansi karena tanpa kepercayaan
dan
komitmen,
tidak
akan
terdapat
aliansi.
Hubungan
antarperusahaan didasarkan pada upaya harus sering bekerja sama untuk bersaing (Morgan and Hunt, 1994).
Hubungan yang dicirikan oleh komunikasi yang
efektif, nilai-nilai bersama, dan tindakan menepati janji menghasilkan kepercayaan antarperusahaan, yang mendorong kerja sama (Grönroos, 1990, 1994; Morgan and Hunt, 1994; Sarkar et al., 2001). Kerja sama yang efektif memungkinkan para mitra (partners) berhasil mengombinasikan sumber daya dengan cara yang berkontribusi untuk pengembangan keunggulan kompetitif (Madhok dan Tallman, 1998). Penjelasan faktor relasional untuk kesuksesan strategi
berbasis
relationship
marketing
mendesak
pemasar
untuk
mengembangkan dan merawat karakteristik hubungan yang diasosiasikan dengan interaksi relasional
yang sukses, yaitu kepercayaan (trust), komitmen,
komunikasi, tepat janji, nilai-nilai bersama, dan kerja sama. 2) Faktor sumber daya Teori relationship marketing yang fokus pada faktor sumber daya dan pengaruhnya pada strategi berbasis relationship marketing bersumber pada penelitian Penrose (1959) dan artikel berpengaruh dari Lippman dan Rumelt (1982), Rumelt (1984), dan Wernerfelt (1984), yang telah mengembangkan
22
”pandangan berbasis sumber daya” (resource-based view). Pandangan berbasis sumber daya memberikan masukan untuk teori keunggulan sumber daya (resource advantage theory) tentang kompetisi (Hunt, 2000; Hunt and Morgan, 1995). Sumber daya didefinisikan sebagai entitas berwujud atau tak berwujud yang tersedia bagi perusahaan yang memungkinkannya untuk menghasilkan sebuah penawaran pasar (market offering) secara efisien dan efektif yang memiliki nilai untuk beberapa segmen pasar (Hunt and Morgan, 1995: 11). Terkait dengan hubungan antarperusahaan (interfirm relationship), para peneliti berpegang bahwa kesuksesan strategi berbasis relationship marketing dipengaruhi secara signifikan oleh sumber daya yang dikontribusikan oleh tiaptiap mitra untuk sebuah hubungan dan derajat sejauh mana sumber daya baru diciptakan di dalam sebuah hubungan (Jap, 1999). Menurut Das dan Teng (2000: 36), strategi berbasis relationship marketing adalah upaya menciptakan nilai terbanyak dari sumber daya yang sudah ada dalam sebuah perusahaan yang dikombinasikan dengan sumber daya perusahaan lain. Seperti dinyatakan Das dan Teng (2000) bahwa sumber daya para mitra mungkin tumpang tindih (dalam arti dimiliki oleh kedua mitra) atau tidak tumpang tindih (dalam arti unik untuk mitra tertentu). Mereka menyatakan bahwa sumber daya yang tumpang tindih (overlapping) bisa bermanfaat untuk sebuah aliansi (sumber daya suplementer) atau tidak bermanfaat (surplus). Mereka berpegang bahwa sumber daya yang tidak tumpang tindih bisa juga bermanfaat bagi sebuah aliansi (komplementer), tetapi bisa juga tidak berguna meskipun sumber daya suplementer memberikan manfaat untuk strategi berbasis relationship marketing. Penelitian menunjukkan bahwa
23
sumber daya komplementer secara khusus penting untuk kesuksesan (Das dan Teng, 2000; Sarkar et al., 2001). Menurut Jap (1999), para mitra dengan sumber daya komplementer dipaksa untuk mengabaikan kesulitan dan fokus pada hasilhasil. Hal itu penting karena disadari bahwa mereka dapat menghasilkan produkproduk bersama yang unggul (superior) dibandingkan dengan
yang dapat
diproduksi oleh salah satu perusahaan secara tersendiri. Sumber daya komplementer yang dihasilkan dari hubungan menurut Lambe et al. (2002) meliputi hal-hal di bawah ini. a. Dikembangkan selama hidup hubungan. b. Diciptakan dengan mengombinasikan sumber-sumber daya masingmasing dari para mitra. c. Unik untuk hubungan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa sumber daya komplementer sangat penting dalam kesuksesan strategi berbasis relationship marketing. Lambe et al. (2002) meneliti 145 aliansi strategis dan menemukan bahwa sumber daya komplementer merepresentasikan sebuah variabel mediasi kunci dalam model kompetensi aliansi. Penjelasan faktor-faktor sumber daya terhadap kesuksesan strategi berbasis relationship marketing menyarankan para pemasar untuk mencari mitra dengan sumber daya bersifat komplementer. 3) Faktor kompetensi Teori relationship marketing terkait dengan faktor kompetensi. Teori ini bersumber pada literatur manajemen strategis. Dalam teori ini kompetensi didefinisikan sebagai sebuah kemampuan untuk mempertahankan pengerahan aset
24
secara terkoordinasi dengan cara membantu perusahaan untuk mencapai sasarannya (Sanchez et al., 1996: 8). Karena kompetensi krusial, memungkinkan perusahaan menggunakan sumber daya secara efisien dan efektif. Artinya, kompetensi merepresentasikan sebuah pandangan berbasis sumber daya (Lado et al., 1992; Reed and De Fillippi, 1990). Karena banyak kompetensi tidak dapat secara eksplisit diartikulasikan, maka kompetensi dipelajari dengan melakukan (learned by doing) (Polanyi, 1966). Karena kompetensi melibatkan hubungan yang kompleks di antara keterampilan (skills) banyak individu, kompetensi tertanam secara mendalam di dalam organisasi (Day, 1994: 38). Terkait dengan hubungan antarperusahaan (inter-firm relationship), para peneliti menyatakan bahwa kesuksesan strategi berbasis relationship marketing dipengaruhi secara signifikan oleh kemampuan sebuah perusahaan untuk mengembangkan kompetensi aliansi, yang didefinisikan sebagai kemampuan sebuah organisasi untuk menemukan, mengembangkan, dan mengelola aliansi (Lambe et al., 2002 : 145). Untuk meningkatkan kesuksesan strategi berbasis relationship marketing, perusahaan harus mengidentifikasi dan mengintegrasikan sumber daya yang mendorong identifikasi, pengembangan, dan pengelolaan aliansi.
Sehubungan
management)
dengan
merupakan
itu,
sebuah
manajemen komponen
pengetahuan kunci
(knowledge
pengembangan
dan
pemeliharaan kompetensi aliansi. Seperti yang dikemukakan Kale et al. (2002) bahwa perusahaan harus dapat mengumpulkan dan menyebarluaskan keahlian aliansi, yang sering kali terdiri atas pengetahuan diam-diam (implisit, tidak tertulis, tidak mudah ditransfer) yang didasarkan pada sejarah aliansi dari sebuah
25
perusahaan. Sebuah porsi yang signifikan dari pengetahuan ini berada dalam individu-individu yang terlibat dalam manajemen hubungan. Perusahaan yang dapat menemukan cara-cara untuk memfasilitasi pengetahuan berbasis individu (baik di dalam maupun antarmitra) akan lebih sukses dalam membentuk dan mempertahankan hubungan antarperusahaan. Simonin (1997) menyatakan bahwa ketika manajer aliansi belajar tentang bagaimana berkolaborasi dengan mitra aliansi (dalam arti berbagi pengetahuan), aliansi akan lebih sukses. Dengan demikian, pengembangan sebuah kompetensi aliansi membutuhkan aksesibilitas pengetahuan, mekanisme yang bersifat memfasilitasi, dan pengaruh pengetahuan yang efektif (Inkpen, 1998; Spekman et al., 2000). Menurut Day (2000: 24), tidak setiap perusahaan dapat atau harus mencoba untuk menguasai kapabilitas relasi pasar. Akan tetapi, karena kapabilitas relasi pasar sulit ditiru, kapabilitas ini sering menghasilkan keunggulan kompetitif yang bertahan lama dibandingkan dengan para pesaing. Gummesson (1994: 17) menyatakan bahwa tidak semua hubungan penting untuk semua perusahaan sepanjang waktu. Beberapa pemasaran paling baik ditangani sebagai pemasaran transaksi. Artinya, tidak semua hubungan yang mungkin dengan para pemangku kepentingan potensial akan menguntungkan. Dengan demikian, penting bagi para manajer mengembangkan sebuah kemampuan untuk secara efektif mengelola portofolio hubungan. Hunt (1997: 439) menyatakan bahwa perusahaan harus mengembangkan sebuah portofolio hubungan yang terdiri atas hubungan yang meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan. Setiap hubungan potensial dan hubungan
26
yang sudah ada harus diteliti untuk memastikan bahwa hubungan tersebut berkontribusi pada kemampuan perusahaan untuk secara efektif dan efisien menghasilkan penawaran ke pasar yang memiliki nilai bagi beberapa segmen pasar. Penjelasan kesuksesan strategi berbasis relationship marketing berdasarkan kompetensi merekomendasikan para pemasar untuk mengembangkan kompetensi aliansi, mengasah kapabilitas relasi pasar, dan mengelola dengan baik portofolio hubungan. 4) Faktor pemasaran internal Teori relationship marketing menonjolkan pentingnya interaksi personal tidak hanya untuk individu lintas perusahaan, tetapi juga untuk pegawai di dalam perusahaan. Sehubungan dengan itu, penelitian strategi berbasis relationship marketing menginvestigasi faktor-faktor pemasaran internal. Akan tetapi, seperti yang dinyatakan Gummesson (1991) bahwa banyak pegawai yang memengaruhi kesuksesan strategi berbasis relationship marketing bukan pemasar penuh waktu. Artinya, banyak pegawai adalah pemasar paruh waktu. Mereka melaksanakan aktivitas pemasaran, tetapi kontras dengan para pemasar penuh waktu. Mereka tidak termasuk ke dalam departemen pemasaran atau penjualan (Gummesson, 1991: 60). Para ahli pemasaran menekankan bahwa penerimaan oleh pegawai adalah krusial untuk kesuksesan strategi berbasis relationship marketing. Arnett et al. (2002: 87) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan pendekatan pemasaran baru secara sukses, sering kali perlu mengubah budaya sebuah organisasi untuk membantu menyelaraskan sikap pegawai dengan strategi baru
27
tersebut. Secara umum, hal ini mengharuskan pengembangan sebuah orientasi layanan di dalam perusahaan, yang membutuhkan pengembangan hubungan yang baik di antara para pegawai di dalam organisasi. Grönroos (2000: 330) menyatakan bahwa tanpa hubungan internal yang berfungsi baik, hubungan pelanggan eksternal tidak akan berkembang secara sukses. Untuk mengimplementasikan strategi berbasis relationship marketing dengan sukses, manajer harus mengidentifikasi dan memuaskan keinginan dan kebutuhan para pegawai. Artinya, mereka harus memiliki sebuah orientasi pemasaran internal (Lings, 2004). Sebuah orientasi pasar internal meningkatkan aspek-aspek kinerja internal (misalnya kepuasan dan komitmen pegawai), yang berdampak secara positif pada orientasi pasar eksternal dan aspek-aspek kinerja eksternal (misalnya kepuasan pelanggan dan laba). Dengan demikian, penjelasan pemasaran internal untuk kesuksesan strategi berbasis relationship marketing merekomendasikan para pemasar untuk memastikan bahwa semua pegawai perusahaan berpartisipasi dalam mengembangkan hubungan intraperusahaan (di dalam
perusahaan)
yang
mendorong
kesuksesan
pemasaran
hubungan
(relationship marketing). 5) Faktor teknologi informasi Teori relationship marketing menyatakan bahwa hubungan kolaboratif menuntut transfer teknologi dan knowledge sharing di kalangan para mitra (Lam, 1997). Strategi berbasis relationship marketing yang sukses sering menuntut perusahaan
untuk
mengadopsi
sistem
informasi
antarorganisasi
(interorganizational information systems), misalnya sistem electronic data
28
interchange (EDI) dan menciptakan proses organisasional yang kondusif untuk pemanfaatan dan berbagi pengetahuan. Sebagai contoh, untuk mendorong hubungan pemasok-pabrikan, pabrik mobil AS mengembangkan Extranet yang disebut Automotive Exchange Network (AXN), yang menghubungkan para pabrikan mobil dengan ribuan pemasok (Evans and Wurster, 1997). Akan tetapi, keputusan
untuk
(interorganizational)
mengadopsi bukanlah
sebuah sebuah
sistem
informasi
keputusan
antarorganisasi
unilateral.
Sistem
interorganizational melibatkan kerja sama dan komitmen dari semua anggota yang berpartisipasi (Premkumar and Ramamurthy, 1995). Adopsi sistem informasi antarorganisasi (interorganizational) yang sukses membutuhkan eksistensi dari sebuah hubungan erat di antara perusahaan yang terlibat untuk mendorong keterlibatan atau penerapan kewenangan untuk memaksakan keterlibatan. Para mitra (partner) mengadopsi teknologi informasi karena mereka mempersepsikan bahwa teknologi informasi tersebut akan mendorong tercapainya tujuan-tujuan, baik dari hubungan maupun tujuan-tujuan individu perusahaan. Manfaat sistem teknologi informasi antarorganisasi yang sukses mencakup peningkatan, baik efisiensi internal maupun efisiensi antarorganisasi (Bakos and Treacy, 1986; Johnston and Vitale, 1988), peningkatan hubungan antara para mitra (Vijayasarathy and Robey, 1997), dan peningkatan dalam kerja sama antarperusahaan (Konsynski and McFarlan, 1990; Vijayasarathy and Robey, 1997).
Namun,
pengembangan
sistem
informasi
antarorganisasi
(interorganizational information systems) tidak cukup untuk menjamin kerja sama. Untuk meningkatkan kesuksesan sistem informasi antarorganisasi,
29
perusahaan harus mengadaptasi infrastruktur existing dengan cara memfasilitasi kolaborasi dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) lintas batas organisasi internal (Gold et al., 2001). Infrastruktur sebuah perusahaan harus menautkan (link) sistem informasinya dengan sistem komunikasinya. Seperti yang ditekankan oleh Menon dan Varadarajan (1992: 53) bahwa informasi yang relevan harus diproduksi dan disebarluaskan ke berbagai departemen dan manajer dalam bentuk yang paling tepat untuk meningkatkan penggunaannya. Infrastruktur teknologi informasi memfasilitasi penggunaan pengetahuan dan
berbagai informasi melalui aliran komunikasi internal yang lebih baik
sehingga
infrastruktur
informasi
dan
infrastruktur
komunikasi
harus
diintegrasikan di dalam perusahaan. Sehubungan dengan itu, upaya mengelola hubungan dengan pelanggan secara khusus merupakan hal yang menantang untuk banyak perusahaan karena perusahaan terlibat dalam banyak tipe transaksi berbeda. Selain itu, kebutuhan dan keinginan pelanggan bervariasi signifikan. Untuk memenuhi tantangan ini, banyak perusahaan beralih pada program-program manajemen hubungan pelanggan formal yang berpusat pada segmentasi pelanggan yang dikenal dengan nama pemasaran relasional pelanggan (customer relationship marketing) disingkat CRM. Program-program CRM melibatkan sebuah komponen manajemen hubungan (misalnya tim pendukung dan program loyalitas) dan sebuah komponen yang digerakkan data (misalnya mengidentifikasi segmen yang menguntungkan melalui teknik-teknik statistik) (Dowling, 2002). Dalam pendekatan ini teknologi informasi mendukung proses CRM, yaitu dengan memberikan mekanisme kebutuhan pelanggan, maksudnya data pelanggan
30
dianalisis sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan strategi-strategi pemasaran. Program-program yang digerakkan data menekankan pada database dan penggunaan teknik-teknik penggalian data (data mining), seperti pohon keputusan (decision trees), jejaring neural (neural networks), dan analisis klaster (cluster analysis) (Nairn and Bottomley, 2003). Penggalian data (data mining) mencoba untuk memformulasikan, menganalisis, dan mengimplementasikan induksi dasar yang memfasilitasi ekstraksi informasi dan pengetahuan yang bermakna dari data yang tidak terstruktur (Grossman et al., 1999:1). Hasil-hasil data mining CRM mungkin menjadi wawasan (insight), aturan, atau model prediktif yang dapat digunakan untuk mengelola pelanggan dengan lebih baik. Sebagai contoh, data mining menurut Peacock (1998a, 1998b), dapat digunakan untuk hal berikut. a. Memprediksi respons pelanggan terhadap upaya pemasaran langsung. b. Mengidentifikasi pelanggan penting yang membutuhkan perhatian khusus. c. Mengisolasi pelanggan yang membutuhkan biaya lebih daripada yang dikontribusikan. Penjelasan teknologi informasi tentang kesuksesan strategi berbasis relationship marketing merekomendasikan para pemasar untuk mengembangkan sistem
informasi
antarorganisasi
(interorganizational),
mengintegrasikan
infrastruktur informasi dan komunikasi, serta mengimplementasikan programprogram CRM untuk mengelola hubungan pelanggan secara efisien dan efektif.
31
6) Faktor penawaran pasar (market offering) Teori relationship marketing yang terkait dengan faktor-faktor penawaran pasar (market offering) menyatakan bahwa penawaran pasar suatu perusahaan mungkin menjadi sebuah sumber daya bernilai untuk strategi-strategi perusahaan. Sebagai contoh, sebuah peritel mungkin membentuk sebuah hubungan jangka panjang dengan sebuah pemasok karena memberikan akses prioritas pada penawaran bernilai dari pemasok. Untuk peritel (retailer), penawaran pasar dari pemasok menjadi sebuah sumber daya karena memungkinkan memberikan nilai lebih bagi pelanggannya. Semakin bernilai penawaran dari pemasok (supplier), maka hubungan tersebut semakin dikehendaki. Hunt (2000: 43) menyatakan bahwa sebuah penawaran adalah sebuah entitas unik, yaitu (1) terdiri atas sejumlah atribut; (2) mungkin bersifat berwujud atau tak berwujud, objektif atau subjektif; dan (3) mungkin dipandang oleh beberapa pembeli potensial sebagai sebuah pemuas keinginan. Kebanyakan penawaran pasar (market offering) memiliki bauran atributatribut yang berwujud (misalnya body mobil) dan tidak berwujud (misalnya garansi mobil). Jika atribut berwujud (tangible) yang mendominasi, penawaran pasar disebut sebagai barang (goods). Sebaliknya, jika yang tak berwujud (intangible) mendominasi, maka disebut jasa (service). Atribut penawaran pasar dianggap relatif lebih objektif atau subjektif bergantung pada derajat keseragaman antarpembeli tentang bobot yang diberikan untuk atribut-atribut berbeda. Derajat penawaran pasar yang berbeda memiliki atribut berbeda dan seberapa jauh penawaran berbeda memiliki tingkat atribut berbeda.
32
Atribut umum yang digunakan oleh konsumen untuk tujuan perbandingan mencakup kualitas, inovasi, dan seberapa jauh penawaran pasar dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan individu. Terkait dengan kualitas, tingkat kualitas yang lebih tinggi diasosiasikan dengan penawaran pasar (market offering) yang dipersepsikan seperti di bawah ini. a. Lebih baik memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. b. Lebih dapat diandalkan (reliable). c. Lebih tahan lama (durable) (Clark et al., 1994; Crosby et al., 2003; Garvin, 1987). Akibatnya, penawaran berkualitas tinggi ke pasar sering memungkinkan perusahaan untuk meraih posisi keunggulan kompetitif di pasar (Hunt and Morgan, 1995). Keinovatifan mengacu pada penawaran yang dipersepsikan dengan kebaruan, orisinalitas, keunikan, dan keradikalan (Henard and Szymanski, 2001). Penelitian menunjukkan bahwa produk inovatif cenderung lebih sukses (Cooper, 2000; Troy et al., 2001; Kleinschmidt and Cooper, 1991). Penelitian tersebut juga menemukan bahwa penawaran pasar yang inovatif kemungkinan akan meliputi hal-hal berikut. a. Sukses dan lebih menguntungkan. b. Memiliki pangsa pasar domestik dan luar negeri yang lebih tinggi. c. Membuka peluang baru. d. Memenuhi target penjualan dan keuntungan.
33
Satu sumber daya yang diidentifikasi sebagai sumber keunggulan kompetitif yang bernilai bagi banyak organisasi adalah ekuitas merek (Aaker, 1991; Bharadwaj et al., 1993; Keller, 1998). Sesungguhnya aset paling bernilai dari sebuah perusahaan untuk meningkatkan produktivitas pemasaran adalah pengetahuan yang telah diciptakan tentang merek dalam benak konsumen dari investasi perusahaan dalam program-program pemasaran sebelumnya (Keller, 1993:2). Jika positif, pengetahuan ini dapat menambah nilai bagi penawaran pasar (market offering) organisasi. Di samping itu, manfaat yang dihasilkan dari sebuah merek yang kuat meliputi loyalitas pelanggan yang lebih besar (Keller, 1998), kurangnya kerentanan terhadap tindakan pesaing (Aaker, 1991; Kamakura and Russell, 1991; Keller, 1998), diferensiasi produk (Bharadwaj et al., 1993; Park et al., 1986), dan keuntungan yang lebih besar (Keller, 1998; Yoo and Donthu, 2001). Ekuitas merek (brand equity) memiliki karakteristik yang sering menjadi sebuah sumber keunggulan jangka panjang bagi organisasi. Hal itu disebabkan oleh sebagian hukum merek memproteksi nama dan simbol yang digunakan oleh organisasi untuk mewakili bisnis dan penawaran. Sehubungan dengan itu, pesaing tidak dapat begitu saja menduplikasi penawaran perusahaan lain dengan memanfaatkan nama merek perusahaan tersebut. Salah satu konsekuensi yang paling penting dari nama merek yang kuat bersumber dari fakta bahwa ekuitas membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk pengembangannya. Dalam upaya untuk merespons merek dengan ekuitas tinggi dari perusahaan lain kompetitor mungkin menemukan kesulitan untuk mengembangkan nama merek sendiri yang
34
kuat dengan cepat. Oleh karena itu, penjelasan kesuksesan strategi berbasis relationship
marketing
berdasarkan
penawaran
pasar
(market
offering)
merekomendasikan perusahaan untuk fokus pada hubungan yang dapat memberikan akses pada market offering dengan ekuitas tinggi dan berkontribusi pada pengembangan market offering dengan ekuitas tinggi. 7) Faktor historis Teori pemasaran hubungan (relationship marketing theory) mencatat bahwa hubungan yang berhasil membutuhkan waktu untuk pengembangannya. Tidak seperti interaksi jangka pendek, hubungan jangka panjang yang sukses memiliki sebuah sejarah. Akibatnya, perilaku mitra (partner) pada masa lalu dan masa sekarang memiliki kemampuan untuk memengaruhi interaksi pada masa depan. Penelitian menunjukkan bahwa faktor sejarah dapat memiliki sebuah dampak signifikan terhadap hubungan antarperusahaan (Anderson and Narus, 1990; Bucklin and Sengupta, 1993; Morgan and Hunt, 1994). Faktor-faktor yang diidentfikasi meliputi perilaku oportunis, manfaat hubungan pada masa lalu, dan biaya tinggi untuk mengakhiri hubungan (Morgan and Hunt, 1994). Perilaku oportunis meliputi pelanggaran dengan tujuan menipu janji eksplisit atau implisit tentang peran seseorang yang pantas atau diharapkan (John, 1984: 279). Misalnya, sebuah pabrik mungkin memindahkan bisnis baru dari pemasok jangka panjang dengan cara yang melanggar norma-norma hubungan yang sudah mapan. Perilaku seperti itu jika terungkap, mungkin mengurangi kepercayaan pemasok kepada pabrik tersebut, yang pada gilirannya mungkin memengaruhi interaksi pada masa
35
depan (misalnya negosiasi harga). Beberapa faktor sejarah berpengaruh positif terhadap proses pengembangan atau pemeliharaan hubungan. Sehubungan dengan itu, kesuksesan strategi berbasis relationship marketing berdasarkan faktor-faktor sejarah menyarankan para pemasar untuk mengelola interaksi dengan semua mitra. Dengan berjalannya waktu, perilaku oportunis dapat diminimalkan, manfaat yang diraih didistribusikan secara adil, dan biaya pemutusan hubungan dimonitor. 8) Faktor kebijakan publik Relationship
marketing
theory
mengakui
bahwa
kadang-kadang
perusahaan harus bekerja sama untuk bersaing (Hunt, 1997; Morgan and Hunt, 1994). Akan tetapi, seperti semua strategi pemasaran lain, strategi berbasis relationship marketing juga dipengaruhi oleh kebijakan publik. Hukum menetapkan batasan untuk semua bentuk interaksi, termasuk interaksi relasional (relational exchange). Dengan demikian, perubahan aturan dan regulasi sering memiliki dampak signifikan terhadap hubungan antarperusahaan. Pertama, hukum antitrust membatasi upaya kerja sama. Diakui secara luas bahwa hukum anti persaingan tidak sehat (antitrust law) sekarang sangat kuat memengaruhi ekonomi ekuilibrium neoklasik, yang cenderung memusuhi kerja sama antarperusahaan (Hunt and Arnett, 2001). Kesuksesan strategis berbasis relationship marketing bergantung pada bagaimana regulator menginterpretasikan dan merespons upaya kerja sama perusahaan. Kedua, seperti yang dinyatakan Gundlach (1996: 186) bahwa dua area hukum kunci merepresentasikan infrastruktur legal dari transaksi (exchange), yaitu meliputi hukum hak milik dan hukum kontrak.
36
Hukum hak milik berlaku pada transaksi dengan menerapkan hak-hak dan tanggung jawab dasar bagi mereka yang memiliki sebuah kepentingan pada objek, baik berwujud maupun tak berwujud (Cribbet, 1986). Hukum kontrak menangani aturan, prosedur, dan remedi untuk mentransaksikan objek di mana perusahaan dan individu memiliki hak dan tanggung jawab (Calamari and Perillo, 1987). Baik hukum hak milik maupun hukum kontrak, cenderung berubah ketika sifat transaksi atau interaksi berubah. Seperti dinyatakan oleh Vargo and Lusch (2004: 1) bahwa pemasaran telah bergeser dari pertukaran benda berwujud menuju pertukaran benda tak berwujud, keterampilan, pengetahuan, dan proses khusus. Pergeseran dari penekanan pada yang berwujud ke tak berwujud telah menghasilkan tantangan unik untuk kebijakan publik. Sehubungan dengan itu, kebijakan publik harus berpacu dengan realitas transaksi di pasar. Menurut Gundlach (1996: 199), kebijakan publik terkait dengan hukum hak milik memiliki banyak tantangan. Meskipun kebijakan publik terkait dengan hukum-hukum yang mengatur transaksi beradaptasi agar lebih cocok dengan realitas pasar, beberapa ilmuwan menonjolkan fakta bahwa hukum-hukum hak milik dan kontrak tidak akan pernah dapat mengakomodasi sifat yang kompleks dari interaksi relasional (Morgan and Hunt, 1994). Di samping itu, riset menekankan pada kebutuhan untuk mengandalkan basis alternatif dari tata kelola (misalnya tata kelola berbasis kepercayaan) (Hunt and Arnett, 2003). Apabila dilihat dari perspektif kebijakan publik, ketika mekanisme tata kelola menghasilkan hasil-hasil positif yang tidak hanya untuk perusahaan, tetapi juga untuk masyarakat, maka mekanisme tersebut harus diakui dan didukung. Dengan
37
demikian, penjelasan kesuksesan strategis berbasis relationship marketing berdasarkan kebijakan publik merekomendasikan para pemasar untuk memahami posisi hukum anti persaingan tidak sehat (antitrust law), hukum hak milik dan kontrak, dan berupaya merevisi hukum-hukum yang menghalangi adopsi dan implementasi interaksi relasional yang bermanfaat untuk masyarakat.
2.2.1 Kajian empiris customer relationship marketing (CRM) Pemasaran relasional pelanggan (customer relationship marketing) atau disingkat CRM adalah kegiatan mengidentifikasi, membangun, mempertahankan, dan meningkatkan hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholder) lain secara menguntungkan sehingga tujuan semua pihak yang terlibat dapat dipenuhi, yaitu melalui interaksi saling menguntungkan serta memenuhi hal yang dijanjikan. CRM pada hakikatnya merupakan hubungan relasional yang mengacu pada semua aktivitas pemasaran yang bertujuan untuk membangun, mengembangkan, dan mempertahankan interaksi hubungan yang sukses yang bersifat jangka panjang. Berry (1983) memandang CRM sebagai sebuah strategi untuk menarik, mempertahankan, dan meningkatkan hubungan pelanggan. Menurut Moorman et al. (1993), dalam melaksanakan CRM, kepercayaan (trust) sebagai “sebuah kesediaan untuk mengandalkan mitra (partner) interaksi kepada siapa seseorang menaruh kepercayaan”. Di pihak lain Oliver (1999) mendefinisikan CRM sebagai sebuah komitmen yang dipegang secara mendalam untuk membeli kembali sebuah produk pada masa depan meskipun terdapat pengaruh situasional dan upaya pemasaran yang berpotensi menyebabkan perilaku beralih ke produk lain. Di sisi lain Gundlach et al. (1995) menyatakan bahwa komunikasi merupakan
38
determinan penting dari kekuatan CRM dan sebuah konstruk yang berguna untuk mengukur kemungkinan loyalitas pelanggan dan memprediksi frekuensi pembelian pada masa depan. Menurut Dwyer et al. (1987), dalam pelaksanaan CRM, penanganan konflik (conflict handling) sebagai kemampuan pemasok untuk menghindari
konflik
potensial,
memecahkan
konflik
sebelum
konflik
menimbulkan permasalahan, dan membahas solusi secara terbuka ketika permasalahan timbul. Di samping yang sudah dijelaskan di atas, terdapat pengakuan yang makin besar di kalangan akademisi dan praktisi bahwa diferensiasi produk dan jasa merupakan sebuah sumber keunggulan kompetitif. Sebagai sebuah bentuk ekstrem dari diferensiasi adalah konsep customization, yang berarti derajat penyesuaian penawaran perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang heterogen (Anderson et al., 1997). Customization bertujuan memenuhi sebanyak mungkin kebutuhan pelanggan individual dengan teknik konvensional yang mencoba menjangkau sebanyak mungkin pelanggan, tetapi hanya memenuhi sejumlah terbatas kebutuhan pelanggan (Simonson, 2005; Fiore et al., 2004). Menurut Kotler (1989) dan Pine (1993), customization merupakan jawaban atas pergeseran tuntutan pelanggan yang mengharapkan variasi yang lebih besar, fitur yang lebih banyak, dan kualitas yang lebih tinggi, baik dalam produk maupun jasa. Karena didorong oleh manfaat yang diharapkan tersebut, maka customization telah menjadi sebuah tonggak customer relationship management (Freeland, 2003; Lemon et al., 2002).
39
Konsep CRM sudah berkembang sejak beberapa tahun terakhir sebagai dampak meningkatnya kompetisi dan tuntutan pelanggan terhadap pelayanan yang lebih baik sehingga mengharuskan fokus bisnis mengarah pada pelayanan kebutuhan individual pelanggan. Gagasan utama CRM adalah membantu perusahaan dengan menggunakan teknologi, proses bisnis, dan sumber daya manusia untuk memperoleh pengetahuan mengenai perilaku dan nilai pelanggan. Program CRM merupakan bagian dari operasional bisnis, yang menuntut pelaku bisnis peka terhadap kebutuhan dan tuntutan pelanggan. Selain itu, juga merupakan wujud dari tanggung jawab perusahaan yang berhubungan erat dengan pembentukan citra perusahaan (brand equity) di mata konsumen dan masyarakat. Perusahaan terdorong untuk mengadopsi CRM karena motif-motif defensif dan ofensif. Motivasi ofensif terkait dengan hasrat untuk meningkatkan keuntungan usaha, yaitu dengan cara menekan biaya (cost) serta meningkatkan pendapatan (revenue) melalui peningkatan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Sebaliknya, motivasi defensif timbul ketika para kompetitor terkemuka juga berhasil mengadopsi CRM yang membuat pihak perusahaan khawatir kehilangan konsumen dan pendapatan (Buttle, 2004). Upaya mengelola hubungan dengan pelanggan secara khusus merupakan hal yang menantang bagi perusahaan karena perusahaan terlibat dalam banyak tipe transaksi berbeda. Selain itu, kebutuhan dan keinginan pelanggan bervariasi signifikan. Untuk memenuhi tantangan ini, banyak perusahaan beralih pada program-program manajemen hubungan pelanggan CRM formal yang berpusat pada segmentasi pelanggan berdasarkan kebutuhan dan profitabilitasnya di
40
samping
mendesain
dan
mengimplementasikan
program-program
untuk
mengalokasikan sumber daya yang tepat secara efektif dan efisien untuk tiap-tiap pelanggan (Srivastava et al., 1999). Alokasi sumber daya yang tepat memungkinkan manfaat akan didapat, baik oleh organisasi maupun pelanggan (Ramsey, 2003). Pelaksanaan program CRM melibatkan sebuah komponen manajemen hubungan (misalnya tim pendukung dan program loyalitas) dan sebuah komponen yang digerakkan data (misalnya mengidentifikasi segmen yang menguntungkan melalui teknik-teknik statistik) (Dowling, 2002). Dengan demikian, penjelasan sumber daya TI tentang kesuksesan strategi berbasis relationship marketing merekomendasikan para pemasar untuk mengembangkan sistem
informasi
antarorganisasi
(interorganizational),
mengintegrasikan
infrastruktur informasi dan komunikasi, serta mengimplementasikan program CRM untuk mengelola hubungan pelanggan secara efisien dan efektif.
2.3
Pengertian Budaya Organisasi Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya
yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis, maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan berjalannya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberikan kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
41
Pengertian budaya organisasi menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut. a) Menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan, dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu, harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir, dan merasakan masalah yang dihadapi. b) Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan memengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian memengaruhi cara bekerja dan berperilaku para anggota organisasi. c) Menurut Robbins (2003: 305), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lain. Sistem makna bersama ini bila diamati dengan lebih saksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh suatu organisasi. Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana
karyawan
mempersepsikan
karakteristik
suatu
budaya
organisasi, bukan dengan apakah para karyawan menyukai budaya atau tidak.
42
2.3.1 Sumber-sumber budaya organisasi Budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu seperti berikut. 1) Pengaruh umum dari luar yang luas mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi. 2) Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat dan nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas, misalnya kesopansantunan dan kebersihan. 3) Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi masalah, baik eksternal maupun internal organisasi, akan didapatkan penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.
2.3.2 Fungsi budaya organisasi Robbins (2003: 311) menyatakan bahwa budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu seperti di bawah ini. 1) Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan organisasi yang lain. 2) Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota organisasi. 3) Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang. 4) Budaya memantapkan sistem sosial, artinya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan suatu organisasi dengan memberikan
43
standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. 5) Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
2.3.3 Ciri-ciri budaya organisasi Menurut Robbins (2003:289), ada tujuh ciri budaya organisasi, yaitu sebagai berikut. 1) Inovasi dan pengambilan risiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan mengambil risiko. 2) Perhatian
terhadap
detail.
Sejauh
mana
karyawan
diharapkan
menunjukkan kecermatan, analisis, dan perhatian terhadap detail. 3) Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen fokus pada hasil, bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. 4) Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada anggota di dalam organisasi itu. 5) Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim, bukan pada individu. 6) Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan. 7) Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang sudah baik. Dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai
44
organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku.
2.3.4 Karakteristik budaya organisasi Kualitas budaya organisasi dalam suatu organisasi dapat dilihat dari sepuluh faktor utama, yaitu sebagai berikut. 1)
Inisiatif individu, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi yang dipunyai individu.
2)
Toleransi terhadap tindakan berisiko, yaitu sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan berani mengambil risiko.
3)
Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi.
4)
Integrasi, yaitu sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.
5)
Dukungan manajemen, yaitu sejauh mana para manajer berkomunikasi yang jelas, memberikan bantuan, dan dukungan terhadap bawahan mereka.
6)
Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.
7)
Identitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional.
45
8)
Sistem imbalan, yaitu sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, pilih kasih, dan sebagainya.
9)
Toleransi terhadap konflik, yaitu sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik kritik secara terbuka.
10) Pola-pola komunikasi, yaitu sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal.
2.3.5 Tipe budaya organisasi Kreitner dan Kinicki (2001) mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu seperti berikut. a) Budaya konstruktif (constructive culture) merupakan budaya, yaitu pekerja didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan bekerja pada tugas dan proyek yang akan membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang. b) Budaya pasif-defensif (passive-defensive culture) mempunyai karakteristik menolak keyakinan bahwa pekerja harus berinteraksi dengan orang lain dengan cara tidak menantang keamanan mereka sendiri. c) Budaya agresif-defensif (aggressive-defensive culture) mendorong pekerja mendekati tugas dengan cara memaksa dengan maksud melindungi status dan keamanan kerja mereka.
46
2.3.6 Hubungan antara budaya organisasi dan kinerja Budaya organisasi yang disosialisasikan dengan komunikasi yang baik akan dapat menemukan kekuatan menyeluruh organisasi, kinerja, dan daya saing dalam jangka panjang. Kinerja karyawan ditentukan oleh persepsi subjektif karyawan mengenai organisasi. Keseluruhan persepsi inilah menjadi dasar terbentuknya budaya organisasi. Persepsi yang mendukung atau tidak mendukung ini kemudian memengaruhi kinerja individu karyawan dan kepuasan karyawan, dengan dampak yang lebih besar pada budaya yang lebih kuat. Budaya yang kuat memperlihatkan kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota organisasi mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi itu.
Asumsi teori Asumsi-asumsi teori budaya organisasi adalah sebagai berikut. 1) Anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan yang dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi. Inti asumsi ini adalah nilai yang dimiliki organisasi. Nilai merupakan standar dan prinsip yang terdapat dalam sebuah budaya. 2) Penggunaan dan interpretasi simbol sangat penting dalam budaya organisasi. Ketika seseorang dapat memahami simbol tersebut, maka seseorang akan mampu bertindak menurut budaya organisasinya. 3) Budaya bervariasi dalam organisasi yang berbeda dan interpretasi tindakan dalam budaya ini juga beragam. Setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda dan setiap individu dalam organisasi tersebut menafsirkan budaya
47
tersebut secara berbeda. Perbedaan budaya dalam organisasi justru menjadi kekuatan dari organisasi sejenis lainnya.
2.3.7 Unsur-unsur budaya organisasi Unsur-unsur budaya organisasi adalah sebagai berikut. 1) Artifak (unsur dasar organisasi yang paling mudah dikenali karena ia dapat dilihat, didengar, dan dirasakan ). 2) Keyakinan, nilai, dan sikap yang berlaku di dalam organisasi. 3) Asumsi-asumsi dasar yang mau tidak mau harus diterima sebagai solusi bila terjadi suatu masalah. Menurut Schein (1992), ada lima dimensi yang perlu diperhatikan jika berbicara tentang asumsi-asumsi dasar dalam konteks budaya organisasi. Kelima dimensi tersebut adalah hubungan manusia dengan lingkungan, hakikat kenyataan dan kebenaran, sifat dasar manusia, hakikat aktivitas manusia, dan hakikat hubungan antarmanusia.
2.3.8 Kajian empiris budaya organisasi Menurut
penelitian
Koentjaraningrat
(2005),
konsep
kebudayaan
mencakup arti yang sangat luas, yaitu seluruh pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya yang dapat dicetuskan oleh manusia sesudah melalui proses belajar. Di pihak lain Hofstede et al. (2010) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola pemikiran, perasaan, dan tindakan suatu kelompok sosial yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu (1)
48
berperan menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain; (2) membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi; (3) mempermudah timbulnya komitmen; dan (4) meningkatkan kemantapan sistem sosial organisasi (Robbin, 2003). Penelitian Quinn (1988) menyatakan ada empat tipe budaya, yaitu rasional, hierarkis, grup, dan bersifat membangun (developmental). Menurut Deshpande and Farley (1999), ketika para pegawai mendeskripsikan budaya perusahaan, mereka cenderung mendeskripsikan karakteristik (trait) sebagai budaya rasional, budaya hierarkis, budaya kelompok, dan bersifat membangun, tetapi mereka cenderung akan menuju pada satu budaya. Sebuah
budaya yang kuat dapat menghasilkan
komitmen terhadap nilai-nilai organisasi. Terkait dengan itu, Collins dan Porras (1998) menyatakan bahwa budaya yang kuat merupakan sarana yang dapat memperkuat kinerja organisasi, memberikan dorongan beradaptasi dengan perubahan dan perubahan lingkungan sehingga mampu meningkatkan peluang untuk bertahan hidup, dan mempertahankan kinerja kompetitif melalui proses manajemen. Sebagian besar proses manajemen strategis berlangsung di dalam sebuah budaya organisasi tertentu. Eksekutif dalam perusahaan yang sukses secara emosional berkomitmen terhadap budaya perusahaan. Jika manajemen strategis dapat mengapitalisasi kekuatan budaya, seperti etika kerja atau keyakinan etis yang tinggi, maka manajemen sering dapat dengan cepat dan mudah mengimplementasikan perubahan. Sebaliknya, jika budaya perusahaan tidak mendukung, perubahan strategis bisa tidak efektif atau malah kontra produktif.
49
Menurut David (2011), budaya organisasi (organizational culture) adalah sebuah pola perilaku yang dikembangkan oleh sebuah organisasi ketika mencoba menangani permasalahan adaptasi eksternal dan integrasi internal. Di samping itu, telah berfungsi dengan cukup baik untuk dianggap valid dan dapat diajarkan ke anggota baru sebagai cara yang benar untuk mempersepsikan, berpikir, dan merasa. Definisi berikutnya dikemukakan oleh Tolfo and Wazlawick (2008) bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai (values), keyakinan (belief), dan regulasi yang dimiliki dan di-share oleh anggota sebuah organisasi. Menurut Lee and Yu (2004), budaya organisasi adalah atmosfer atau keyakinan khusus yang diciptakan oleh para anggota sebuah organisasi dan tidak dapat ditiru oleh organisasi lain. Di pihak lain Jones and George (2007) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai bersama, regulasi, prinsip-prinsip perilaku, dan ekspektasi yang memengaruhi interaksi dan kerja sama antarindividu, grup, dan tim dalam proses mencapai sasaran organisasi. Menururt Wallach (1983), budaya organisasi terbagi ke dalam budaya birokratis, inovatif, dan yang bersifat mendukung (supportive) dalam perusahaan. Suatu perusahaan yang ingin meningkatkan kinerja dan produktivitasnya sangat ditentukan oleh nilai-nilai bersama secara luas dan kuat yang mendasari dan menentukan budaya dalam perusahaan, dalam studi ini dikenal sebagai budaya wirausaha (intrapreneurship culture). Budaya intrapreneurship dalam studi ini maksudnya adalah kemampuan perusahaan untuk mengembangkan lingkungan kerja yang mendorong kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan (Chandler et al., 2000). Demikian juga yang dinyatakan oleh Khazanchi et al.
50
(2007) bahwa agar menjadi inovatif, perusahaan harus membentuk budaya organisasi
untuk
mencapai
tujuan
berinovasi
terus-menerus.
Budaya
intrapreneurship merupakan penentu utama dari inovasi dalam perusahaan. Menurut Xin and Shi (2007), perusahaan yang mampu mengembangkan lingkungan kerja yang mendukung inovasi adalah yang paling mungkin untuk mencapai jumlah yang lebih tinggi daripada produk dan proses inovasi.
2.4 Pengertian Teknologi Informasi Teknologi informasi adalah seperangkat alat untuk membantu dalam memudahkan pelaksanaan tugas melalui proses informasi (Haag dan Keen, 1996:29). Teknologi informasi tidak hanya terbatas pada teknologi komputer (seperangkat alat keras dan lunak) yang digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi, tetapi mencakup teknologi informasi untuk mengirimkan informasi. Teknologi informasi memiliki peranan penting dalam perekayasaan proses bisnis. Kecepatan, kemampuan pemrosesan informasi, dan konektivitas komputer serta teknologi internet dapat meningkatkan proses bisnis.
2.4.1 Teori-teori tentang pengadopsian teknologi Berbagai teori perilaku (behavioral theory) banyak digunakan untuk mengkaji proses adopsi teknologi informasi oleh pengguna akhir (end users), di antaranya adalah Theory of Reason Action, Theory of Planned Behaviour, The Diffusion of Innovation Theory, dan Technology Acceptance Model. Technology Acceptance Model (TAM) merupakan model penelitian yang paling luas digunakan untuk meneliti adopsi teknologi informasi. Lee et al. (2003)
51
menjelaskan bahwa dalam kurun waktu delapan belas tahun terakhir TAM merupakan
model
yang
populer
dan
banyak digunakan dalam berbagai
penelitian mengenai proses adopsi teknologi informasi. Model atau teori yang paling mutakhir adalah Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT), yang dikemukakan pertama kali oleh Venkantesh (2003).
2.4.2 Theory of reason action (TRA) Theory of Reason Action (TRA) dikembangkan untuk memahami dan memprediksi sikap dan perilaku individu. TRA telah berhasil memprediksi dan menjelaskan perilaku pada berbagai wilayah kajian. Teori tersebut paling sering digunakan sebagi model teoretis dalam sistem informasi. Kinerja seseorang mengenai perilaku tertentu ditentukan oleh tujuan untuk menjalankan perilaku. Selain itu, tujuan juga ditentukan oleh sikap dan norma subjektif. Beberapa faktor penentu dalam menetapkan perilaku penerimaan teknologi, antara lain behavioral intention untuk menetapkan perilaku. Apabila behavioral intention digabungkan dengan attitude dan subjective norm, tampak seperti dikutip oleh Davis et al. (1989:18), yang ditunjukkan pada Gambar 2.4 berikut.
Beliefs and Evaluation Normative Beliefs and Motivation in
Attitude Toward Behavior
Behavioural Intention
Subjektive Norm
Gambar 2.4 Theory of Reason Action Sumber: Davis et al. (1989)
Actual Behavior
52
2.4.3
Theory of planned behavior (TPB) TPB merupakan perluasan dari TRA, yaitu dengan penambahan variabel
perceived behavioral control selain perilaku dan norma subjektif. Tujuannya untuk menerangkan situasi ketika individu tidak memiliki pengendalian terhadap perilaku yang diinginkannya (Ajzen, 1991). Penelitian mengenai adopsi teknologi sudah menggunakan TRA dan TPB sebagai model teoretisnya, tetapi TRA lebih umum digunakan. Chau dan Hu (2001:53) menggabungkan TPB dengan TAM. Variabel pengendaliannya diukur dengan tiga indikator, yaitu kemampuan, pengetahuan, dan sumber daya yang dimiliki, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 berikut.
Behavioral Beliefs and Evaluations
Attitude Toward
Normative Beliefs and Motivation in to Comply
Behavior
Control Beliefs and Perceived Facilitation
Perceived Behavioral Control
Behavioral Intention
Gambar 2.5 Theory of Planned Behavior Sumber: Chau dan Hu (2001)
Actual Behavior
53
2.4.4 The diffusion of innovation theory (IDT) Menurut
Rogers
(1995),
IDT
adalah
proses
suatu
inovasi
dikomunikasikan dari waktu ke waktu melalui saluran tertentu antaranggota sistem sosial. Terdapat lima faktor yang memengaruhi suatu adopsi inovasi. Kelima faktor tersebut adalah relative advantage, compatibility, complexity (ease of use), trialability, dan observability, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6 berikut.
Relative Advantage Compatibility Ease of Use
Attitude
Intention to Use
Triability
Observability
Gambar 2.6 The Diffusion of Innovation Theory Sumber: Rogers (1995) 2.4.5 Technology acceptance model (TAM) TAM yang diperkenalkan pertama kali oleh Fred D. Davis pada tahun 1986 merupakan adaptasi dari TRA yang dibuat khusus untuk pemodelan penerimaan pengguna terhadap sistem informasi. Tujuan utama TAM adalah untuk memberikan dasar penelusuran pengaruh faktor eksternal terhadap kepercayaan, sikap, dan tujuan pengguna. TAM menganggap bahwa dua
54
keyakinan individual, yaitu persepsi manfaat (perceived usefulness) dan persepsi kemudahan penggunaan (perceived easy of use) adalah pengaruh utama untuk perilaku penerimaan komputer. TAM mendeskripsikan dua faktor yang secara dominan memengaruhi integrasi teknologi. Pertama, persepsi pengguna terhadap manfaat teknologi. Kedua, persepsi pengguna terhadap kemudahan penggunaan teknologi. Kedua faktor tersebut memengaruhi kemauan untuk memanfaatkan teknologi.
Selanjutnya
memengaruhi penggunaan
kemauan
untuk
teknologi
memanfaatkan
yang sesungguhnya.
teknologi
akan
Pada umumnya
pengguna teknologi akan memiliki persepsi positif terhadap teknologi yang disediakan.
Persepsi negatif akan muncul sebagai dampak dari penggunaan
teknologi tersebut. Artinya, persepsi negatif berkembang setelah pengguna mencoba teknologi tersebut atau pengguna berpengalaman penggunaan
teknologi
buruk
terhadap
tersebut. Dengan demikian, model TAM dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan upaya yang diperlukan untuk mendorong kemauan menggunakan teknologi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7 berikut.
Perceived Usefulness External Variables
Attitude of Use Perceived Ease of Use
Gambar 2.7
Behaviour Intention of Use
System Actual Use
55
Technology Acceptance Model Sumber: Davis (1986) 2.4.6 Unified theory of acceptance and use of technology (UTAUT) Menurut Venkatesh et al. (2003:12), UTAUT merupakan model yang disusun berdasarkan teori dasar mengenai perilaku pengguna teknologi dan model penerimaan teknologi, yaitu TRA, TAM, TPB. Model ini terdiri atas empat variabel sebagai determinan terhadap tujuan dan penggunaan teknologi informasi, yaitu ekspektasi kinerja, ekspektasi usaha, pengaruh sosial, dan kondisi pendukung. Di samping itu, terdapat empat variabel sebagai moderator antara determinan dengan tujuan dan penggunaan teknologi informasi. Keempat variabel yang dimaksud adalah jenis kelamin, usia, pengalaman, dan kesukarelaan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8 berikut.
Performance
expectancy Effort expectancy
Intention to Use
Attitude
Social influence
Facilitating
condition s Gender
Age
Experiences
Voluntariness of use
Gambar 2.8 Unified Theory of Acceptance and Use of Technology Sumber: Venkatesh et al. (2003)
56
2.4.7 Kajian empiris sumber daya teknologi informasi (TI) Menurut Roberts (1996), teknologi informasi mengacu pada semua perangkat keras dan perangkat lunak yang mendapatkan, menerapkan, menyajikan, menyimpan, dan mengomunikasikan informasi. Menurut Porter and Miller (1985), teknologi informasi harus meliputi informasi yang diciptakan dan digunakan oleh perusahaan dan teknologi untuk memproses informasi. Di samping komputer, teknologi informasi meliputi teknik-teknik komunikasi, alat identifikasi informasi, teknologi pabrik terotomasi, dan layanan yang terkait dengan perangkat lunak dan perangkat keras. Di pihak lain Lee (2004) mendefinisikan
keterlibatan
teknologi
informasi
(information
technology
involvement) sebagai sumber daya dan usaha yang diinvestasikan oleh organisasi dengan tujuan untuk meraih fungsi manajemen dari teknologi informasi. Penelitian Sakaguchi and Dibrell (2008) menyatakan bahwa keterlibatan teknologi informasi dapat diukur dengan investasi dan pelatihan teknologi informasi. Investasi teknologi informasi diukur dengan ukuran kuantitatif berupa anggaran perangkat lunak dan perangkat keras, sedangkan pelatihan teknologi informasi mengacu pada pelatihan personel untuk menggunakan teknologi informasi. Sumber daya teknologi informasi (TI) meliputi segala alat dan metode yang terintegrasi untuk menjaring atau menangkap data (capture), menyimpan (saving), mengolah (process), mengirim (distribute), atau menyajikan (display) kebutuhan informasi secara elektronik ke dalam berbagai format, yang bermanfaat
57
bagi pemakai informasi (user). Penelitian Chung et al. (2010a) mengkaji literatur yang relevan dan mengelompokkan keterlibatan sumber daya TI ke dalam empat dimensi, yaitu (1) persepsi pegawai, (2) investasi pada perangkat keras dan perangkat lunak, (3) pelatihan personel, dan (4) tingkat aplikasi teknologi informasi. Menurut Miller and Doyle (2007), keterlibatan teknologi informasi harus didasarkan pada tiga aspek, yaitu (1) kesadaran akan pentingnya teknologi informasi di perusahaan; (2) investasi tertentu dalam perangkat lunak, perangkat keras, dan personel untuk meraih manfaat; serta (3) pelatihan personel sesuai dengan kebutuhan personel, pengembangan, dan para pengguna. Perkembangan teknologi informasi telah mengakibatkan perubahan dalam struktur industri serta praktik pengelolaan organisasi bisnis di dalam berkompetisi dan melaksanakan kegiatan untuk melayani pelanggan. Industrialisasi membawa teknologi baru dalam kegiatan manufaktur. Industrialisasi bersama teknologi yang ada menyebabkan terjadi perubahan yang sangat mendasar pada aspek sosial dan ekonomi, penciptaan kemakmuran masyarakat, menganut paham efisiensi melalui operasi skala besar (mass production) yang dilaksanakan melalui proses industri. Sehubungan dengan itu, inovasi telah menjadi keharusan strategis bagi perusahaan yang ingin bersaing dengan sukses di sektor mereka (Tarafdar dan Gordon, 2007). Sumber daya TI memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan organisasi
lain,
seperti
meningkatkan
keuntungan
bagi
perusahaan,
mengembangkan produk baru, dan meningkatkan kompetensi fungsional (Pavlou dan El Sawy, 2006). Di samping itu, sumber daya TI memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan integrasi rantai pasokan (Rai et al., 2006).
58
Dalam beberapa tahun terakhir, sumber daya TI telah dibahas sebagai motor penggerak dalam inovasi perusahaan, baik dari segi produk maupun inovasi proses (Tarafdar dan Gordon, 2007). Di pihak lain Pine et al. (1995 : 103) menyatakan bahwa pelanggan tidak menginginkan lebih banyak pilihan, tetapi secara eksak menginginkan apa yang diinginkan, kapan, di mana, dan bagaimana mereka menginginkannya. Terkait dengan itu, teknologi membuat perusahaan dapat memberikannya kepada pelanggan.
2.5 Pengertian Kinerja Pengertian kinerja dikemukakan oleh Payaman Simanjuntak (2005) bahwa kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja tiap-tiap individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut. Dessler (2009) berpendapat bahwa kinerja karyawan adalah prestasi aktual karyawan dibandingkan dengan prestasi yang diharapkan dari karyawan. Prestasi kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat dilihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat. Selain itu, juga dapat dilihat kinerja karyawan tersebut terhadap karyawan lainnya. Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja dan prestasi kerja dapat disimpulkan bahwa pengertian kinerja dan prestasi kerja mengandung substansi pencapaian hasil kerja oleh seseorang. Dengan demikian, baik kinerja maupun
59
prestasi kerja, merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinerja perusahaan (corporate performance) mempunyai hubungan yang erat. Dengan demikian, bila kinerja karyawan (individual performance) baik, maka kemungkinan besar kinerja perusahaan (corporate performance) juga baik.
2.5.1 Syarat penilaian kinerja Terdapat kurang lebih dua syarat utama yang diperlukan untuk melakukan penilaian kinerja yang efektif, yaitu (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif dan (2) adanya objektivitas dalam proses evaluasi (Gomes, 2003). Di pihak lain dari sudut pandang kegunaan kinerja itu sendiri, Sondang Siagian (2002) menjelaskan bahwa bagi individu penilaian kinerja berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal, seperti kemampuan, keletihan, kekurangan, dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana, dan pengembangan kariernya. Sebaliknya, bagi organisasi, hasil penilaian kinerja sangat penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan tentang berbagai hal, seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem balas jasa, serta berbagai aspek lain dalam proses manajemen sumber daya manusia. Berdasarkan kegunaan tersebut, maka penilaian yang baik harus dilakukan secara formal berdasarkan serangkaian kriteria yang ditetapkan secara rasional, diterapkan secara objektif, dan didokumentasikan secara sistematik. Dengan demikian, dalam melakukan penilaian atas prestasi kerja para pegawai
60
harus terdapat interaksi positif antara para pejabat pimpinan dan bagian kepegawaian.
2.5.2 Metode penilaian kinerja Terdapat beberapa metode dalam mengukur prestasi kerja, sebagaimana diungkapkan oleh Gomes (2003:137--145), yaitu seperti berikut. 1. Metode tradisional. Metode ini merupakan metode tertua dan paling sederhana untuk menilai prestasi kerja dan diterapkan, baik secara sistematis maupun tidak sistematis. Yang termasuk ke dalam metode tradisional adalah rating scale, employee comparation, check list, free form essay, dan critical incident. a. Rating scale. Metode ini merupakan metode penilaian yang paling tua dan banyak digunakan, yaitu penilaian yang dilakukan oleh atasan atau supervisor untuk mengukur karakteristik, misalnya mengenai inisitaif, ketergantungan, kematangan, dan kontribusinya terhadap tujuan kerjanya. b. Employee comparation. Metode ini merupakan metode penilaian yang dilakukan dengan cara membandingkan antara seorang pegawai dan pegawai lainnya. Metode ini terdiri atas (1) alternation ranking,
yaitu metode penilaian dengan cara
mengurutkan peringkat (ranking) pegawai dimulai dari yang terendah sampai yang tertinggi berdasarkan kemampuan yang dimilikinya; (2) paired comparation, yaitu metode penilaian dengan cara seorang pegawai dibandingkan dengan seluruh
61
pegawai lainnya sehingga terdapat berbagai alternatif keputusan yang akan diambil dan metode ini dapat digunakan untuk jumlah pegawai yang relatif sedikit; (3) porced comparation (grading), metode ini sama dengan paired comparation, tetapi digunakan untuk jumlah pegawai yang relatif banyak. c. Check list. Metode ini hanya memberikan masukan/informasi bagi penilaian yang dilakukan oleh bagian personalia. d. Freeform essay. Dengan metode ini seorang penilai diharuskan membuat karangan yang berkenaan dengan orang/karyawan/ pegawai yang sedang dinilainya. e. Critical incident. Dengan metode ini penilai harus mencatat semua kejadian mengenai tingkah laku bawahannya sehari-hari yang kemudian dimasukkan ke buku catatan khusus yang terdiri atas berbagai macam kategori tingkah laku bawahannya, misalnya mengenai inisiatif, kerja sama, dan keselamatan. 2. Metode modern. Metode ini merupakan perkembangan dari metode tradisional dalam menilai prestasi kerja. Yang termasuk ke dalam metode modern ini adalah
assesment centre, management by objective
(MBO=MBS), dan human asset accounting. a. Assessment centre. Metode ini biasanya dilakukan dengan pembentukan tim penilai khusus. Tim penilai khusus ini bisa berasal, baik dari luar, dari dalam, maupun kombinasi dari luar dan dari dalam.
62
b. Management by objective (MBO = MBS). Dalam metode ini pegawai langsung diikutsertakan dalam perumusan dan pemutusan persoalan dengan memperhatikan kemampuan bawahan dalam menentukan sasarannya masing-masing yang ditekankan pada pencapaian sasaran perusahaan. c. Human asset accounting. Dalam metode ini faktor pekerja dinilai sebagai individu modal jangka panjang sehingga sumber tenaga kerja dinilai dengan cara membandingkan terhadap variabelvariabel yang dapat memengaruhi keberhasilan perusahaan.
2.5.3 Kajian empiris kinerja bisnis Kinerja bisnis terkait erat dengan kinerja individu. Kinerja individu (karyawan) adalah prestasi aktual karyawan dibandingkan dengan prestasi yang diharapkan dari karyawan. Sehubungan dengan itu, baik kinerja maupun prestasi kerja, merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang. Dalam hal ini terdapat hubungan yang erat antara kinerja perorangan (individual performance) dan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinerja perusahaan (corporate performance). Di samping itu, terdapat minimal dua syarat utama yang diperlukan untuk melakukan penilaian kinerja yang efektif, yaitu (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif dan (2) adanya objektivitas dalam proses evaluasi (Dessler, 2009). Menurut Baker and Sinkula (1999), pengaruh aktivitas inovatif terhadap kinerja korporasi diukur dengan pendapatan dari penjualan (sales revenue), pangsa pasar, dan tingkat laba. Sementara Slater and Narver (2000) mengevaluasi kinerja perusahaan dengan
63
pengembalian atas investasi (return on investment, ROI). Pada penelitian Su et al. (2003) kinerja bisnis diukur dengan laba dan kepuasan pelanggan perusahaan, sedangkan penelitian Pelham (2000) mengukur kinerja perusahaan melalui efisiensi perusahaan, pertumbuhan pangsa pasar, dan kemampuan mencetak laba. Berdasarkan konsep Chung et al. (2012), diketahui bahwa kinerja bisnis dapat diukur dari tingkat keuntungan, pertumbuhan penjualan, kualitas pelayanan produk, tingkat pemeliharaan konsumen, keberhasilan produk baru di pasar, dan pengembalian investasi. Menurut Kirca et al. (2005), pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan mengukur kinerja bisnis secara keseluruhan, seperti tingkat laba (profit rate), penjualan, dan pangsa pasar (market share). Pengukuran kinerja pemasaran diakui sebagai suatu proses bisnis yang memberikan umpan balik kinerja kepada organisasi sehubungan dengan hasil dari usaha pemasaran (Clark et al., 2006). Tanpa adanya skema dan matriks pemasaran yang jelas, akan menimbulkan keraguan mengenai kontribusi aktivitas pemasaran terhadap perusahaan. Melalui matriks pemasaran dapat ditunjukkan hubungan antara kinerja pemasaran dan kinerja perusahaan. Matriks pemasaran diartikan sebagai indikator kinerja yang digunakan manajemen melacak dan menilai kemajuan, khususnya kinerja pemasaran (Gaskill dan Winzar, 2013). Kemampuan mengukur kinerja pemasaran berdampak positif terhadap kinerja perusahaan (O’Sullivan et al., 2009). Sehubungan dengan itu, perusahaan harus menyadari pentingnya pengukuran yang akurat dari kinerja pemasaran untuk pemahaman tentang konsekuensi dari setiap keputusan pemasaran. Pengukuran kinerja pemasaran dianggap sebagai proses yang teratur. Sumber dari proses ini
64
berorientasi pada pelanggan dan pesaing perusahaan. Dalam bisnis, perusahaan memfokuskan kegiatan pada pelanggan dan pesaing. Pengukuran
kinerja
pemasaran
dapat
dilakukan
dengan
matriks
pemasaran, yang terdiri atas pengukuran finansial, perilaku konsumen, dan inovasi
(Nwokah,
2009).
Pengukuran
finansial
menyangkut
keuangan,
pengukuran perilaku konsumen meliputi penetrasi konsumen dan loyalitas pelanggan, sedangkan pengukuran inovasi meliputi produk dan pendapatan (Eusebio et al., 2006). Di samping itu, kinerja pemasaran juga diukur berdasarkan matriks arus pelanggan dan karakteristik struktural (Trestyak dan Sloev, 2013). Matriks ini menunjukkan hubungan berbagai kegiatan pemasaran dan pelanggan untuk menilai hasil kegiatan pemasaran serta menekankan perbedaan antara mengelola pelanggan potensial dan pelanggan setia. Dalam kaitan ini, dinamika pelanggan merupakan strategi akuisisi dan retensi pelanggan. Artinya, semakin tinggi akuisisi dan retensi pelanggan, semakin tinggi produktivitas aksi pemasaran dan berdampak positif pada pendapatan finansial. Jadi, analisis akuisisi dan retensi pelanggan menyediakan indikator untuk penilaian efisiensi pemasaran perusahaan. Kinerja pemasaran juga diukur dengan matriks pemasaran finansial dan nonfinansial (Gaskill dan Winzar, 2013). Matriks pemasaran finansial menyangkut return on marketing investment (ROMI), budget, dan marketing expenditure of revenue. Di samping itu, matriks finansial dapat digunakan untuk mengukur kontribusi pemasaran terhadap hasil kinerja organisasi. ROMI digunakan sebagai proksi berkaitan dengan kegiatan pemasaran dan hasil
65
keuangan serta hubungan antara kegiatan pemasaran dan hasilnya. Selain penggunaan ROMI, matriks pendapatan per pelanggan juga digunakan untuk menunjukkan hubungan secara finansial antara kegiatannya dan hasil organisasi. Sebaliknya, matriks pemasaran nonfinansial menyangkut merek, pangsa pasar, dan jumlah pelanggan baru. Matriks ini merefleksikan kinerja pemasaran yang terpusat pada pelanggan, seperti kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, dan kualitas produk yang dirasakan. Selain itu, matriks nonfinansial juga ditujukan untuk melengkapi kelemahan matriks yang terkait dengan ukuran ROMI yang mengasosiasikan hasil bisnis dengan kegiatan pemasaran. Matriks pemasaran ini memberikan manfaat bagi fungsi pemasaran dan kinerja bisnis sebagai konsekuensi dari akuntabilitas pemasaran (Gaskill dan Winzar, 2013). Pengukuran kinerja pemasaran tidak hanya terbatas pada masalah finansial, tetapi juga berbasis pada matriks nonfinansial yang menyangkut pelanggan dan pesaing. Penggunaan matriks nonfinansial diidentifikasi sebagai pangsa pasar, kualitas produk, loyalitas pelanggan, profitabilitas pelanggan, dan nilai pelanggan seumur hidup. Upaya mengembangkan seperangkat matriks pemasaran
memungkinkan
pemasaran
menunjukkan
akuntabilitas
dan
mendapatkan pengaruh tambahan dalam organisasi. Dengan demikian, melalui peningkatan pengaruh dalam organisasi fungsi pemasaran dapat diperoleh manfaat dari sumber daya untuk pemasaran baru.