BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Empati
2.1.1
Pengertian Empati Empati diartikan sebagai kemampuan untuk menempatkan diri dalam perasaan atau fikiran orang lain, tanpa secara nyata harus terlibat dalam perasaan atau tanggapan orang itu (Powell, 1983; Feshbach & Roe, 1968; Hoffman, 1977) Eisenberg (2000) menyebut empati sebagai respon afektif yang berasal dari ketakutan atau pemahaman lain keadaan yang emosional atau kondisi dan mirip dengan apa yang dirasakan oleh orang lain atau perasaan yang diharapkan akan dirasakan oleh orang lain. Eisenberg menempatkan respon afektif pada pusat dari pengertian yang disampaikannya, bukan ketakutan atau pemahaman lain mengenai keadaan yang emosional atau kondisi seperti yang disarankan dalam kebanyakan pengertian lain dari empati. Empati merupakan sebuah fitur dalam mendefinisikan hubungan manusia. Empati mendorong seseorang untuk peduli, atau menawarkan kenyamanan untuk orang lain, bahkan meskipun tidak memiliki hubungan sama sekali dan tidak mendapatkan apapun sebagai balasannya (BaronCohen, 2003). Empati mengacu pada kemampuan multidimensional untuk mengidentifikasi dan berbagi perasaan dan pikiran dengan orang lain, serta kemampuan untuk memahami dan menanggapi pengalaman afektif yang unik dari orang lain (Derntl dkk., 2009; Moriguchi dkk., 2007). Dalam perkembangannya, empati sudah ada sejak usia awal, yang ditunjukkan melalui reaksi fasial, kemudian mengalami perkembangan
11 http://digilib.mercubuana.ac.id/
12 sejalan dengan pertambahan usia, elaborasi kognisi (Hoffman, 2000). Jika dalam perjalanannya ternyata antara satu orang dengan yang lainnya memiliki perbedaan dalam memberikan atau menerima reaksi empati, hal itu dikarenakan oleh (a) perbedaan jenis kelamin, (b) perbedaan self esteem dan (c) tuntutan keluarga. Berk (2009) mengatakan “Empathy is the ability to take another’s emotional perspective and to ‘feel with’ that person, or respond emotionally in a similar way”. Selain itu, empati juga diartikan sebagai kemampuan untuk mendalami emosi yang dialami orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan kemampuan untuk mengartur respon emosi yang dirasakan kepada orang lain. Sebagai konsep yang luas, pada dasarnya empati memiliki tiga aspek utama, yaitu: (a) respon afektif dalam menanggapi keadaan emosional yang dialami orang lain (affective sharing); (b) kapasitas kognitif untuk memahami sudut pandang orang lain (perspective taking); dan (c) mengenali emosi (emotion regulation) (Decety & Jackson, 2006).
2.1.2
Komponen Empati
Empati melibatkan kemampuan mengolah isyarat emosional verbal dan nonverbal yang ditampilkan oleh orang lain. Hoffman (2000) mengemukakan bahwa dalam perkembangannya, empati memiliki dua komponen yaitu kognitif dan afektif, selain itu empati memiliki korelasi dengan perkembangan pada kemampuan kognitif. 1. Komponen Kognitif Komponen kognitif merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain berdasarkan sudut pandang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13 orang lain. Hal ini diperkuat oleh pernyataan beberapa ilmuwan bahwa proses kognitif sangat berperan penting dalam proses empati (Hoffman, 2000), selanjutnya Hoffman mendefinisikan komponen kognitif sebagai kemampuan untuk memperoleh kembali pengalamanpengalaman masa lalu dari memori dan kemampuan untuk memproses informasi sematik melalui pengalaman-pengalaman. Feschbach (1997) mendefinisikan
aspek
kognitif
sebagai
kemampuan
untuk
membedakan dan mengenali kondisi emosional yang berbeda (Hoffman, 2000). Premack & Woodruff (1978), mengatakan empati kognitif dalam pengertian ini sangat berhubungan erat pada konsep theory of mind (ToM). Theory of Mind artinya (1) Kemampuan untuk mengembangkan sebuah pemahaman keadaan mental pada orang lain, dimana tidak dapat dilihat secara langsung (yaitu, mengenali bahwa orang dapat mengungkapkan emosi tertentu ketika merasakan hal yang berbeda) dan (2) menarik kesimpulan sehubungan dengan reaksi dan tingkah laku orang lain. Untuk membuat prediksi-prediksi ini diasumsikan bahwa observer memiliki “theory of mind”atas orang lain (Hoffman, 2000) Istilah theory of mind (ToM) mengacu pada kemampuan kognitif yang mewakili keadaan emosi sendiri dan orang lain, mengenai keinginan, niat, dan keyakinan pada orang lain dalam memperediksi dan mengontrol perilaku. Kegagalan pada ketiga aspek tersebut dapat mengakibatkan kegagalan untuk melihat sesuatu dari perspektif orang lain, sehingga dapat mengganggu kemampuan empati (Shamay-Tsoory dkk., 2003) Reniers dkk. (2011) menyebutkan empati kognitif memerlukan informasi yang ada dalam pikiran dan dimanipulasi. Isyarat visual, auditori atau situasional digunakan untuk mewakili keadaan kognitif dan emosional orang lain. Proses representasi ini dapat berlangsung
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14 pada tingkat eksplisit, tetapi juga muncul pada tingkat implisit, tingkat lebih tinggi sebagai metarepresentation. Secara garis besar, aspek kognitif dari empati meliputi aspek pemahaman atas kondisi orang lain. 2. Komponen Afektif Menurut definisi kontemporer, pada prinsipnya empati adalah pengalaman afektif (Eisenberg & Strayer, 1987; Feschbach, 1997; Hoffman, 2000), respon emosional yang seolah-olah terjadi pada diri sendiri merupakan pusat dari pengalaman empati, dan proses-proses empati kognitif untuk mendukung atau menuju pengalaman afektif (Hoffman, 2000). Dua komponen afektif diperlukan untuk terjadinya pengalaman empati, yaitu kemampuan untuk mengalami secara emosi (Feschbach, 1997), dan tingkat reaktivitas emosional yang memadai (Damon & Eisenberg, 1998), yaitu kecenderungan individu untuk bereaksi secara emosional terhadap situasi-situasi yang dihadapi, termasuk emosi yang tampak pada orang lain (Hoffman, 2000). Davis (1983) menyebutkan empati afektif, di sisi lain, lebih jelas melibatkan suatu pengakuan cepat mengenai emosi orang lain berdasarkan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan intonasi suara. Ini memunculkan respons emosional pada situasi orang lain dan identifikasi diri yang benar sesuai keadaan emosional yang kemudian dapat dinyatakan melalui ekspresi emosional atau verbal atau dengan menampilkan simpati dan memberikan kenyamanan kepada orang lain (Reniers dkk., 2011). Empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
2.1.3
Peringkat Perkembangan Empati Proses empati yang berlaku dalam diri individu memiliki peringkat.
Terdapat lima peringkat mode empati, seperti yang awalnya diusulkan dua puluh tahun yang lalu (Hoffman, 2000) dan diperbarui di sini. Tiga jenis mode primitif dan dua jenis mode matang. 1. Mode primitif (Primitif Modes) Mode primitif adalah peringkat empati yang melibatkan proses kognitif atau pemahaman yang sedikit. Mode ini terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: a. Mimikri (Peniruan) Mimikri adalah peniruan emosi atau aspek afektif oleh pemerhati yang berlaku secara otomatis (bukan sesuatu yang dibuat atau memiliki sebab). Biasanya berupa ekspresi wajah, suara dan posisi tubuh. Peniruan ini biasanya akan memberikan efek secara langsung pada diri pemerhatinya. Misalnya : seseorang yang tertawa di dalam sebuah ruangan bayi karena melihat tingkah laku bayi-bayi tersebut. Dua langkah sebagai “imitasi” dan “umpan balik” dan seluruh proses sebagai mimikri. i.
Imitasi Bavelas, Black, Lemery, dan Mullett (1987) melakukan survei terhadap penelitian yang mendokumentasikan keberadaan imitasi atau mimikri. Mereka menemukan bahwa orang-orang meniru ekspresi lain seperti sakit, tawa, tersenyum, kasih sayang, malu, ketidaknyamanan, jijik, gagap, berusaha mencapai sesuatu, dan sejenisnya, dalam berbagai situasi sejak bayi hingga dewasa. Dimulai dengan meniru ekspresi ibu ketika bayi dan orang-orang dewasa di sekitarnya (Hoffman, 2000, p. 37).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16 Orang
cenderung
secara
otomatis
meniru
ekspresi
emosional orang-orang di sekitar mereka, seperti ekspresi wajah, ekspresi vokal, dan mungkin sikap mereka. ii. Umpan Balik William James (1893), menyebutkan bahwa umpan balik adalah kunci untuk semua pengalaman emosional. Kita merasa marah karena pengalaman masa lalu memberitahu kita bahwa kemarahan “sesuai dengan posisi” pada tahap pengelolaan ekspresi wajah
kita
saat
itu,
tetapi
kemarahan
mungkin
sesuai
dengan posisi di tempat pertama karena umpan balik aferen (Hoffman, 2000, p. 40). Mimikri mungkin tidak hanya sebagai
mekanisme lain
dalam peringkat perkembangan empati yang memiliki predisposisi seseorang dalam membantu orang lain, tetapi juga menjadi sarana langsung dalam memberikan dukungan dan kenyamanan pada orang lain. b. Classical Conditioning Classical
conditioning
adalah
sebuah
mekanisme
perkembangan empati yang penting pada anak-anak di awal tahun, preverbal. Suatu cara yang dapat memunculkan respon empati dengan cepat dan secara otomatis. Biasanya respon tersebut dihasilkan dari proses
pembelajaran
dari
pengalaman
masa
lalu,
kemudian
memberikan pengaruh pada pengalaman masa kini. Misalnya : Ketika seorang Ibu memperlakukan anaknya
dengan
memeluk
erat,
memberikan rasa aman, kasih sayang, memberikan senyuman pada bayi (stimulus), anak merasa diperlakukan baik oleh ibunya, maka anak juga akan memberikan respon yang sama ketika ia berhadapan dengan ibunya (respon).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17 c. Direct Association (Asosiasi Langsung) Direct association adalah suatu proses yang berlaku apabila individu melihat situasi yang melibatkan emosi dan perasaan dan mengingatkan ia kepada masa lalu. Namun, berbeda dengan pengkondisian klasik, direct association tidak melibatkan individu yang sama dalam situasi tersebut. Misalnya : Seseorang yang terjatuh di depan orang ramai dan anda berada di sana, saat itu anda dapat merasakan bagaimana malunya anda saat itu karena pernah mengalaminya sebelumnya. Untuk
meringkas,
Mimikri,
Conditioning
dan
Direct
Association merupakan mekanisme empatik yang penting, dengan beberapa alasan: (a) terjadi secara otomatis, tindakan yang cepat dan tidak disengaja; (b) mengaktifkan preverbal bayi dan anak-anak, serta orang dewasa, untuk berempati dengan kesulitan yang dialami orang lain; (c) sebagai awal untuk menghasilkan anak-anak yang mengalami distress emphatic dengan penderitaan orang lain sebenarnya, yang memberikan kontribusi untuk anak-anak setiap kali mereka terkena tekanan lain; (d) memperkuat diri sampai batas tertentu karena perilaku membantu yang dilakukan dapat menghasilkan pertolongan empatik; (e) berkontribusi pada dimensi yang disengaja untuk pengalaman empati anak-anak di masa depan. 2. Mode Matang (Mature Modes) Mode matang adalah peringkat empati yang melibatkan proses kognitif yang lebih tinggi dan matang biasanya berkembang sesuai dengan perkembangan bahasa dan aspek kognitif individu. Mode matang terbagi menjadi dua cara, yaitu : a. Languange mediated association Seseorang
yang
berada
di
dalam
cara
ini
biasanya
mengungkapkan empatinya melalui bahasa. Biasanya dapat berlaku meskipun emosinya tidak ditunjukkan secara langsung namun tampak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18 dari cara berbicara. Cara ini membutuhkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi berupa penafsiran bahasa dan proses memberikan penjelasan. Misalnya: penulisan bahasa dalam novel, cerpen dan kisahkisah yang sebenarnya. b. Role taking Role taking adalah penggambaran perasaan empati yang berlaku apabila individu mengambil alih peranan atau menilai sesuatu permasalahan melalui sudut pandang orang lain. Role taking terbagi menjadi dua, yaitu : i.
Self focused : Membayangkan seolah-olah dirinya sendiri yang mengalami permasalah tersebut.
ii.
Other focused : Membayangkan apa yang akan dialami oleh individu yang terlibat dalam situasi tersebut atau yang dialami oleh kebanyakan orang.
2.1.4
Faktor yang mempengaruhi Empati 1. Gender Gender disebut sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi empati. Dalam beberapa penelitian, terdapat perbedaan empati yang signifikan antara perempuan dan laki-laki (Joliffe & Farrington, 2006). Hal ini salah satunya dikarenakan metode dalam pengukuran empati itu sendiri yaitu menggunakan kuesioner berbentuk self-report yang biasanya akan menghasilkan perbedaan yang signifikan antara perempuan dan laki-laki karena adanya demand characteristics yaitu partisipan perempuan merasa karena dirinya perempuan ia harus lebih berempati sehingga ia cenderung mengisi nilai yang tinggi dalam kuesionernya (Rueckert, Branch, & Doan, 2011). Sehingga saat digunakan alat ukur yang lebih objektif perbedaan gender tidak ditemukan (Rueckert dkk., 2006). Dalam penelitiannya, menemukan bahwa perbedaan gender dalam empati hanya terjadi dalam kondisi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19 yang
spesifik
yaitu
pada
empati
afektif
dan
meningkatkan
kemungkinan hal ini didasarkan oleh reaktivitas emosi dimana perempuan lebih reaktif dalam mengungkapkan emosi dibanding laki-laki. 2. Tempramen Davis
(1994)
menyatakan
bahwa
tempramen
bisa
mempengaruhi empati karena tempramen diperkirakan mengandung karakteristik penting dari respon afektif seseorang, khususnya bagaimana ia akan berespon dan intensitas emosinya. Davis (1994) merangkum hasil penelitian yang menghubungkan tempramen dengan empati, yaitu: a. Tempramen dasar Emotionality. Orang yang memiliki tempramen emotionality merupakan orang yang dengan mudah dibuat tegang dengan emosi negatif orang lain. Emotionality ini bisa disamakan dengan konstruk neuroticism dari Eyesemck yang ditandai dengan moodiness, ketegangan, kecemasan, dan emosionalitas. b. Affect intensity. Orang yang tinggi dalam tempramen affect intensity cenderung mengalami reaksi emosional yang kuat baik terhadap emosi yang positif atau negatif dari orang lain. c. Arousability yaitu derajat dari perubahan informasi secara mendadak yang mengubah pola ketegangan individu sepanjang waktu. Orang yang memiliki arousability tinggi cenderung terpengaruh secara emosional dalam perubahan lingkungan. Orang yang tinggi dalam emotionality, neuroticism, affect intensity dan arousability akan cenderung tinggi dalam merespon secara afektif keadaan emosi orang lain akan tetapi tempramen ini tidak berpengaruh pada kemampuan mengambil peran dalam empati (Davis, 1994).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20 3. Pengasuhan Orang Tua Orang tua yang menyediakan hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang berkontribusi dengan tingkat empati anak. Menurut Davis (1994) hal ini bisa dilihat dari dua hal yaitu anak yang kebutuhan emosionalnya terpenuhi dengan rasa aman, ikatan cinta dengan orang tua akan membuat anak tidak menjadi fokus hanya dengan diri sendiri dan lebih responsif dengan kepentingan orang lain. Maka dari itu tak heran jika gaya pengasuhan orang tua yang buruk seperti menyiksa anak, maka anak akan cenderung sulit melihat sudut pandang orang lain (Davis, 1994). Gaya penanaman disiplin juga berpengaruh pada bagaimana anak bisa melihat sudut pandang orang lain. Gaya penanaman disiplin yang induktif yang berperan dalam membentuk empati (Davis, 1994) karena gaya ini menekankan pada konsekuensi sosial dari perilaku anak sehingga mendorong anak untuk bisa berpikir dan melihat sudut pandang orang lain. Orang tua juga menjadi model dimana anak-anak bisa mencontoh bagaimana mereka melakukan empati ke orang lain. 4. Usia Menurut Hoffman (2000) ada lima tingkat empati yang didasarkan pada kemampuan untuk membedakan dirinya dengan orang lain, yaitu: a. Global Empathy Empati ini biasanya akan dirasakan oleh semua orang ketika diletakkan dalam sebuah situasi yang sama ketika ia baru saja dilahirkan. Empati ini juga tidak dapat dibedakan antara perspektif diri dan orang lain. Kondisi empati ini biasanya terjadi pada bayi yang baru saja lahir. Contohnya ketika dalam suatu situasi di ruang bersalin di rumah sakit, dan terdapat bayi-bayi yang memiliki perasaan yang sama.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21 b. Egosentric Empathy Empati ini terdapat pada anak yang berusia 6 bulan hingga 1 tahun. Anak biasanya belum merasakan adanya ketakutan terhadap orang lain dan masih memiliki perspektif yang sama dengan orang lain. Anak masih belum mampu membedakan emosi diri dan emosi orang lain tetapi tidak lagi dipengaruhi oleh emosi orang lain. Anak ketika melihat emosi dari orang lain maka akan mengambilnya sebagai emosi miliknya, kemudian berkelakuan seolah-olah dirinya sendiri yang mengalami situasi tersebut. Contohnya : apabila seorang anak A menangis, maka anak lain akan berlari ke arah ibunya dan memegang tangan ibunya. c. Emphaty for another’s feelings Anak ketika berusia 2 atau 3 tahun sudah mulai mengambil peran yang telah ada, seperti merespon isyarat dari orang lain dengan berbagai respon emosi. Anak akan mulai mengenal adanya perbedaan antara setiap individu termasuk emosi yang ia miliki dengan emosi yang orang lain miliki. Seorang anak biasanya akan mencoba untuk membantu temannya, walaupun demikian bantuan yang diberikan seolah-olah dapat mengurangi kesedihan yang dialami oleh dirinya sendiri. Contoh: ketika seorangnya teman yang bersedih, diajak untuk bermain permainan yang dia sukai. d. Emphaty for another’s life condition Setelah melewati tahap anak-anak, seorang anak akan memasuki usia preadolescense. Biasanya anak akan memiliki kesadaran tentang kehidupannya yang terjadi dalam sehari-hari. Mula-mula anak akan memahami bahwa adanya perbedaan antara dirinya dengan orang lain ketika dihadapkan oleh situasi yang berbeda akan menghasilakn emosi dan respon yang berbeda.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22 Selain itu, kesadaran akan hal tersebut juga menumbuhkan bahwa setiap respon dalam situasi yang berbeda akan memberikan emosi yang berbeda pula. Kemudian menilai perasaan orang lain dengan menganalisis situasi yang terlibat atas seseorang secara konteks maupun latar belakangnya. e. Broader emphaty Pada tahap ini, seseorang telah mampu mengambil perspektif dalam waktu jangka panjang. Mampu memahami antar perspektif dirinya dengan perspektif orang lain. Bukan hanay dalam hal mengenal pasti perasaan dalam yang dialami serta situasi yang mengakibatkannya tetapi juga melihat kepada aspek lainnya. Seperti aspek sejarah masa lalu dan kesannya terhadap masa depan. Contohnya dalam hal masalah keluarga miskin, peperangan, dan lainnya. 2.2 2.2.1
Alexithymia Pengertian Alexithymia Menurut
Taylor,
Bagby,
&
Luminet
(2000)
alexithymia
didefinisikan sebagai gangguan dalam mengidentifikasi, membedakan, dan menggambarkan emosi diri kepada orang lain. Kerusakan pada kedua fungsi afektif dan kognitif seseorang sehingga menurunkan kemampuan mengelola emosi dengan baik dan menyebabkan defisiensi empati merupakan ciri dari alexithymia. Alexithymia diperkenalkan oleh Peter E. Sifneos dan John C. Nehemiah pada tahun 1972. Mereka merupakan psikiater Beth Israel Hospital. Teori ini berawal dari banyaknya pasien psikosomatik
yang
secara
ekstrim
mengalami
kesulitan
dalam
mendiskusikan emosi mereka (Thompson, 2009, p. 6). Hasil dari penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Shands, (1975), Vogt dkk. (1977) dan von Rad, Lalucat & Rank (1977), menegaskan bahwa banyak pasien dengan penyakit psikosomatik klasik
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23 memiliki
kesulitan
yang
ditandai
dengan
ketidakmampuan
menggambarkan perasaan subjektif dan gaya yang komunikatif yang ditandai oleh sebuah kesenangan dengan peristiwa eksternal dan kekurangan atau tidak adanya fantasi yang berhubungan (Thompson, 2009). Parker, Taylor, & Bagby, (2001) mengatakan, individu dengan alexithymia mampu menampilkan emosi, namun mereka tidak memahami bahkan tidak nyaman terhadap perubahan emosi yang terjadi. Kondisi ini membuat seseorang dengan alexithymia mengalami keterbatasan dalam fungsi personal dan interpersonal. Hal tersebut berpotensi menyebabkan seseorang mengurangi interaksi sosial (Thompson, 2009)
2.2.2
Aspek Alexithymia Selama beberapa dekade konsep alexithymia telah dibukukan secara teoritis, dimana saat ini didefinisikan oleh fitur berikut: 1. Kesulitan mengidentifikasi perasaan dan membedakan antara perasaan dan sensasi emosional tubuh 2. Kesulitan menggambarkan perasaan diri kepada orang lain secara verbal 3. Memiliki keterbatasan imajinasi dan fantasi 4. Fokus pada perhatian eksternal dan pengalaman terdalam (Bagby & Taylor, 1999; Kooiman, Spinhoven, & Trijsburg, 2002) Menurut Thompson (2009) alexithymia memiliki tiga aspek utama yaitu: 1. Kesulitan mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan Saat mengalami emosi yang kuat sekalipun seperti perasaan sedih hingga menangis atau marah, individu dengan alexithymia umumnya hanya merasakannya secara samar-samar, dan mengalami kebingungan ketika mencoba untuk menemukan penyebab emosi itu.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24 Mereka umumnya salah mengartikan ekspresi fisik emosi sebagai ekspresi fisik dari penyakit, seperti air mata terjadi bukan karena kesedihan tapi saluran air mata yang rusak, jantung berdebar sebagai sebuah katup yang terbuka, atau kecemasan sebagai gangguan pada usus buntu. Selain itu, emosi dapat disalahkan pada faktor pengaruh buruk lingkungan seperti perubahan barometer, racun di udara, atau kasur yang
tidak
nyaman.
memungkinkan
Seolah-olah
imajinasi
untuk
ada
kesalahan
membentuk
yang
gambaran
akan situasi
emosional dengan pikiran. Individu dengan alexithymia turut mengalami kesulitan dalam mendeskripsikan perubahan emosi yang terjadi. Mereka tidak memiliki kata-kata untuk mendeskripsikan perasaan yang dialami. Bahkan cenderung tidak dapat mendeskripsikan perasaan yang dialami kepada kerabat terdekat sekalipun. Ketika diminta untuk mendeskripsikan perasaan yang dialami, umumnya akan mengalami perubahan fisik seperti detak jantung yang semakin meningkat, dan ada kemungkinan mengarang jawaban atau berusaha mengalihkan topik pembicaraan. 2. Gangguan imajinasi Imajinasi merupakan sebuah fenomena kompleks yang memerlukan definisi detail terhadap ketiadaan pada individu dengan gangguan alexithymia. Hal ini sering dipahami sebagai kemampuan untuk membentuk suatu gambar dalam pikiran dari pengalaman sensorik yang diingat. “Membayangkan” merupakan fungsi yang penting, seperti kemampuan untuk membayangkan emosi yang dialami, keinginan terhadap suatu hal, membedakan antara keinginan atau kebutuhan dan cara untuk memenuhinya; tentang bagaimana membayangkan masa lalu dan konflik yang terjadi di masa kini; tentang bagaimana mengatur jenis dan intensitas ekspresi emosional; dan tentang bagaimana dalam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25 membayangkan diri dalam posisi orang lain, poin terakhir merupakan dasar dalam
konsep empati dan efektifitas kemampuan yang
berhubungan dengan emosi orang lain. 3. Fokus pada perhatian eksternal Individu dengan alexithymia memiliki fokus pada perhatian eksternal. Umunya cenderung mengabaikan makna atas suatu peristiwa. Tanpa adanya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kata-kata yang berkaitan erat dengan perasaan, mereka menyesuaikan diri dengan hal-hal yang bersifat logis. Selain itu, mereka lebih mudah beradaptasi dengan sesuatu yang berkaitan dengan realitas dan fakta empiris dimana mereka mampu menerapkan kekuatan intelektual mereka secara mengesankan. Secara sederhana, mereka lebih terlihat sebagai seorang manusia robot karena sifatnya yang terkesan kaku.
2.2.3
Penyebab Alexithymia 1. Biogenik Alexithymia dengan penyebab biogenik secara langsung terjadi sebagai hasil dari kelainan fisik struktur otak. Kelainan ini mungkin disebabkan oleh cedera otak (misalnya dari kecelakaan mobil), kurangnya oksigen ke otak selama kelahiran, atau terkena racun. Kelainan mungkin juga dapat terjadi akibat genetik atau otak tidak dapat berkembang dengan baik pada masa kelahiran atau selama masa kanak-kanak. 2. Psikogenik Penelitian menunjukkan bahwa alexithymia psychogenic disebabkan
oleh
berbagai
trauma
emosional,
keterlambatan
perkembangan atau budaya dan pola asuh orangtua. Trauma emosional dapat dihasilkan oleh pengalaman seperti pelecehan seksual, kelalaian terhadap suatu peristiwa, menyaksikan atau mengalami kekerasan,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26 hingga sakit fisik yang terkait dengan cedera atau penyakit kronis seperti kanker, penyakit jantung, diabetes, dan rheumatoid arthritis. Alexithymia lebih lanjut terkait dengan beberapa gangguan kejiwaan. 3. Primary and Secondary Alexithymia Perbedaan primary alexithymia dan secondary alexithymia diperkenalkan pada pertengahan 1970-an (Nemiah, Freyberger, & Sifneos 1976) untuk mengklasifikasikan alexithymia sebagai sebuah trait atau state (Thompson, 2009). Primary alexithymia merupakan sebuah trait kepribadian yang bersifat permanen. Pada primary alexithymia, perubahan alexithymia dalam diri seseorang sangat kecil kemungkinannya. Kondisi alexithymia ini tidak bergantung pada faktor lingkungan maupun situasi psikologis. Secondary alexithymia merupakan reaksi seseorang terhadap trauma emosional (Thompson, 2009). Alexithymia akan menghilang ketika stresor menghilang atau gejala mereda. Trauma emosional dapat dipicu oleh beragam situasi seperti adanya penyakit fisik, gangguan mental, maupun tekanan yang berasal dari lingkungan sosial. 4. Keterlibatan sktuktur neurologis Menurut Nemiah, Sifneos & Apfel-Savits (1976) saat ini ada dua alternatif model disfungsi neuropsikologi yang mengusulkan penyebab alexithymia. Pertama, model limbik-neocortical atau hubungan vertikal antara syaraf dalam otak yang disebut proses berpikir (neokorteks) dan otak emosional disebut (sistem limbik). Dalam model ini pusat respons emosional sistem limbik tidak berbagi informasi dengan cara yang biasa dengan pusat-pusat kognitif neokorteks yang lebih tinggi. Ketika jalur saraf ini mengalami disfungsional, neokorteks tidak dapat mengakses informasi yang memadai tentang emosi (Thompson, 2009, p. 15) Kedua, model interhemispheric atau hubungan horisontal yang merujuk pada proses komunikasi antara dua bagian otak, dan patologi resultan ketika jalur komunikasi ini disfungsional. Studi pada pasien
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27 “split otak” – mereka yang memiliki sambungan besar antara belahan pembedahan memutuskan untuk memudahkan epilepsi kronis dan kondisi lain-mengungkapkan alexithymia-seperti kekurangan fantasi, kesulitan menggambarkan perasaan, dan gaya berpikir operatif. Menurut Hoppe dan Bogen (1977) hal ini memunculkan hipotesis bahwa noncommunication interhemispheric fungsional mungkin hadir di alexithymia dalam ketiadaan gangguan yang sebenarnya pada struktur saraf (Thompson, 2009, p. 16) 2.2.4 Karakteristik dan Perilaku Alexithymia Menurut Thompson (2009) ada tujuh karakteristik yang berkaitan dengan alexithymia yaitu: 1. Gaya Komunikasi Langs (1978) menyebutkan bahwa individu dengan alexithymia cenderung berbicara dengan logis dan terfokus pada topik pembicaraan saja. Mereka sulit membangun hubungan emosional yang bermakna dengan orang lain. Selain itu, cenderung menampilkan bahasa tubuh yang provokatif terhadap orang di sekitarnya dengan mengekspresikan bahasa tubuh yang sama selama berjam-jam (Thompson, 2009, p. 34). Menurut Joyce McDougall (1985) hal ini membuat orang lain merasa terganggu dengan perilaku tersebut. Akibatnya orang lain seringkali mencoba untuk membantu agar mereka mengetahui kondisi yang mereka rasakan. Ini seperti sebuah komunikasi primitif seperti yang terlihat pada ibu dan bayi (Thompson, 2009). 2. Anhedonia dan Negativisme Kata bukan merupakan respon favorit bagi orang dengan alexithymia. Respon tersebut secara spontan muncul atas setiap pertanyaan yang dilontarkan kepada mereka, termasuk pertanyaan yang bersifat positif. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28 sigap mereka menunjukkan sisi negatif suatu situasi sebelum mempertimbangkan sisi positifnya. Kecenderungan tersebut berakar pada ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan. Menurut Krystal (1998) kehadiran anhedonia di individu alexithymic menunjukkan bahwa seluruh masalah berasal dari pengalaman traumatis, seluruh masalah akan selalu dihubungkan dengan pengalaman tersebut. Pada orang dengan pengalaman traumatis, kesenangan merupakan sebuah hal yang tidak layak untuk mereka
dapatkan.
Mereka
merasakan
perasaan
bersalah
atas
kesenangan. Akibatnya mereka meminimalkan semua prestasi yang seharusnya dapat mereka capai (Thompson, 2009, p. 37). 3. Hipokondria Hipokondria atau “kecemasan terhadap kesehatan” merupakan sebuah kondisi dimana seseorang meyakini dirinya menderita penyakit serius. Kondisi tersebut ditandai dengan ketakutan irasional mengenai penyakit dan obsesi pada gejala fisik. Termasuk tidak percaya atau memiliki keraguan tentang akurasi diagnosa dokter, dikombinasikan dengan pemeriksaan diri secara obsesif dan diagnosis diri, dan sebuah ketertarikan dengan satu bagian tubuh. Padahal beberapa gejala fisik seharusnya dapat dimaknai sebagai rangsangan emosional. Bagi seseorang dengan alexithymia, mereka
tidak
mampu
mengidentifikasi
hal
tersebut.
Mereka
menganggap perubahan kondisi tubuh sebagai suatu penyakit fisik. 4. Gangguan tidur dan rendahnya intensitas mimpi Alexithymia berkaitan dengan kualitas tidur yang buruk. Beberapa orang dengan gangguan alexithymia melaporkan tetap merasa lelah setelah tidur dengan periode waktu yang cukup. Kondisi tersebut terjadi karena proses restoratif tidak beroperasi dengan baik. Seseorang dengan tingkat alexithymia yang tinggi memiliki pola tidur
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29 yang disfungsional. Kondisi ini ditandai dengan penurunan waktu yang dihabiskan dalam tahap tidur tiga dan empat. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah waktu yang dihabiskan dalam tahap tidur pertama. Para peneliti juga menemukan kecenderungan orang dengan alexithymia tertidur lebih cepat sebagai akibat dari kelelahan ekstrim. Di
sisi
lain,
individu
dengan
alexithymia
dapat
menyederhanakan mimpi yang dialaminya dalam satu kalimat saja yaitu hanya berupa sebuah fakta konkret mengenai mimpinya. Padahal umumnya orang lain mampu menceritakan mimpinya secara imajinatif. Dalam semua kemungkinan itu dapat ditemukan bahwa kombinasi dari (a) pola tidur disfungsional, (b) kurangnya materi baru untuk impian, dan (c) selektif menceritakan mimpi bersama-sama membentuk seseorang dengan alexithymia miskin mimpi. 5. Ekspresi emosi yang tidak tepat Beberapa orang dengan alexithymia seringkali menampilkan emosi spontan dan tidak terprediksi, seperti menangis, tertawa, agresi, dan menampilkan tindakan emosional lainnya dengan rangsangan yang menjengkelkan terhadap suatu peristiwa. Hal tersebut umumnya tidak sesuai dengan situasi lingkungan. Ketika dikonfrontasi mengenai perilakunya, mereka sulit untuk menjelaskan mengenai alasan perilaku tersebut. 6. Defisit empati dalam hubungan interpersonal Ketiadaan empati seringkali membuat seseorang dengan alexithymia sulit untuk membangun hubungan yang erat dengan orang lain. Empati merupakan kesadaran kognitif dan pemahaman tentang emosi orang lain. Empati berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk membayangkan diri dalam situasi yang dialami oleh orang lain dan berusaha merespon dengan tepat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30 Individu dengan alexithymia tidak dapat membayangkan dirinya dalam posisi orang lain, dan karena itu mereka kesulitan untuk merefleksikan diri atau memahami emosi orang lain. 7. Penurunan kemampuan kognitif di usia tua Usia dewasa dilengkapi dengan perubahan dalam proses kognitif dan afektif, yang berdampak pada mereka dengan alexithymia. Yang utama di antara perubahan-perubahan ini adalah penurunan memori dan kemampuan kognitif, dan keterlibatan dalam kegiatan 'meringkas kehidupan' yang dapat meningkatkan refleksi akan pengalaman yang dialami. Peningkatan refleksi dapat menyebabkan individu dengan alexithymia di usia lanjut untuk mengenali perjuangan hidup mereka dengan buruknya pengaturan perasaan dan ketidakmampuan untuk mencari kebahagiaan. Hal itu didukung dengan beberapa fakta yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengalami kesenangan dalam kehidupan sosial, aktivitas seksual, relasional, pekerjaan dan rekreasi yang umunya sulit dilakukan. Serta adanya kemungkinan memiliki rasa tidak nyaman mengenai apakah ada yang benar-benar mencintai dan peduli dengan orang lain karena ketidakmampuan mereka untuk mengalami cinta atau mengenali rasa sayang dari orang lain untuk mereka.
2.3
Schizophrenia Spectrum Disorder Menurut Ritsner (2011) gangguan spektrum skizofrenia adalah sekelompok kondisi kejiwaan, dengan serangkaian kriteria diagnostik, yang memiliki kesamaan keadaan klinis atau berada pada tingkat atau etiologi yang berbeda. Biasanya, gangguan ini memiliki fitur klinis yang sama dengan skizofrenia, melibatkan beberapa tingkat distorsi realitas. Bersama-sama dengan skizofrenia, diagnosa yang paling sering disebutkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31 dalam
spektrum
adalah
gangguan
schizoaffective
dan
gangguan
kepribadian schizotypal. Gangguan dalam spektrum skizofrenia didiagnosis menggunakan berbagai kriteria standar. Spektrum skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya termasuk skizofrenia, gangguan psikotik lainnya, dan gangguan schizotypal (kepribadian). Didefinisikan dengan kelainan dalam satu atau lebih dari lima domain fitur kunci : delusi, halusinasi, kemampuan berpikir dan berbicara yang tidak terorganisir, perilaku motorik abnormal (termasuk katatonia yaitu kelainan psikis yang disebabkan oleh ketegangan otot yang tidak wajar), dan gejala negatif. Bagian ini diorganisasikan oleh gradient psikopatologi. Beberapa gangguan dalam bagian ini dalam DSM V (American Psychiatric Association, 2013) yaitu gangguan kepribadian skizotipal (schizotypal personality disorder), gangguan psikotik singkat (brief psychotic disorder),
skizofrenia,
gangguan
skizofreniform
(schizophreniform
disorder), gangguan skizoafektif, gangguan psikotik diakibatkan zat atau pengobatan, gangguan psikotik diakibatkan kondisi medis lain, katatonik, dan spektrum skizofrenia dan gangguan psikotik tidak teridentifikasi.
2.4
Dinamika Hubungan antara Alexithymia dengan Empati Empati mengacu pada kemampuan multidimensional untuk mengidentifikasi dan berbagi perasaan dan pikiran dengan orang lain, serta kemampuan untuk memahami dan menanggapi pengalaman afektif yang unik dari orang lain (Derntl dkk., 2009; Moriguchi dkk., 2007). Menurut Decety & Jackson (2006), pada dasarnya empati memiliki tiga aspek utama, yaitu: (a) respon afektif dalam menanggapi keadaan emosional yang dialami orang lain (affective sharing); (b) kapasitas kognitif untuk memahami sudut pandang orang lain (perspective taking); dan (c) mengenali emosi (emotion regulation).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32 Ada dua unsur utama empati. Yang pertama adalah komponen afektif, ditandai dengan kemampuan mengungkapkan dan mendeteksi kedaan emosi yang ditampilkan oleh orang lain, dan mengatur respon emosional kepada orang lain. Elemen kedua empati adalah komponen kognitif. Dicirikan dengan kemampuan memahami perasaan orang lain dan kemampuan untuk mengambil perspektif mereka (Abramowitz, Ginger, Gollan, & Smith, 2014). Berdasarkan literatur, peneliti menemukan bahwa terdapat sebuah konsep yang hampir sama terkait dengan kemampuan dalam mengenal emosi untuk mendukung hubungan sosial, yaitu alexithymia. Menurut Taylor, Bagby, & Luminet (2000) alexithymia didefinisikan sebagai gangguan dalam mengidentifikasi, membedakan, dan menggambarkan emosi diri kepada orang lain. Kerusakan pada kedua fungsi afektif dan kognitif seseorang sehingga menurunkan kemampuan mengelola emosi dengan baik dan menyebabkan defisiensi empati merupakan ciri dari alexithymia (Thompson, 2009). Sebagai salah satu gangguan psikotik, skizofrenia ditemukan memiliki
fitur
utama
yang
terdapat
pada
alexithymia,
yaitu
ketidakmampuan mengenal emosi. Pada individu dengan gangguan skizofrenia yang memiliki afek datar hampir tidak ada stimulus yang dapat memunculkan respons emosional dan beberapa diantaranya memiliki afek yang tidak sesuai; memunculkan respon emosional yang tidak sesuai dengan stimulus yang diberikan (Kring, Johnson, Davison, & Neale, 2012). Dan salah satu karakteristik alexithymia juga terdapat pada individu dengan gangguan skizofrenia, yaitu kemampuan untuk merasakan kesenangan disebut anhedonia (Thompson, 2009). Penelitian Koelkebeck dkk. (2010) tersebut menemukan hubungan antara alexithymia dengan pengukuran self-report empati pada kedua kelompok, namun pada pengukuran tugas ToM pasien skizofrenia secara signifikan menunjukkan performa yang buruk dibandingkan kelompok
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33 kontrol. Secara singkat, kerusakan pada kemampuan ToM sebagian besar mempengaruhi keadaan klinis individu, alexithymia dan empati. Namun berbeda dengan Koelkebeck dkk. (2010), penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Divilbiss (2011) menunjukan bahwa kemampuan empati memiliki hubungan dengan alexithymia dalam arah positif, meskipun tidak signifikan, dan alexthymia tidak memediasi hubungan antara simtom dan kemampuan empati. Secara keseluruhan keparahan simtom dan simtom positif memiliki hubungan dengan alexithymia, emosi negatif, dan fungsi sosial, namun tidak terkait dengan kemampuan empati. Penemuan ini menunjukkan bahwa hubungan antara berbagai jenis empatik mungkin tidak sepenuhnya stabil dan konsisten. Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan meneliti bagaimana hubungan antara alexithymia dengan empati sebagai langkah pertama dalam menguji hipotesis ini dengan menyelidiki peran alexithymia pada defisit empatik yang ditemukan pada individu dengan karakteristik skizofrenia dalam populasi. Alasannya, baik empati maupun alexithymia memiliki beberapa karakteristik yang serupa yaitu: (1) keduanya dapat dipicu oleh beragam faktor, (2) keduanya dapat memicu skor defisit bagi individu dengan gangguan skizofrenia dalam memproses emosi diri dan emosi orang lain (Singer & Lamm, 2009; Singer dkk., 2004) (3) keduanya berpotensi mendorong seseorang mengurangi interaksi sosial (Thompson, 2009). Responden dalam penelitian ini adalah orang dengan diagnosa schizophrenia spectrum disorder pada usia dewasa, berdasarkan kriteria DSM-V (American Psychiatric Association, 2013). Pemilihan responden merujuk pada data statistik yang menunjukkan bahwa dalam kriteria DSM-V, schizophrenia spectrum disorder terjadi pada rentang usia dewasa.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34 Untuk melihat bagaimana hubungan antara alexithymia dengan empati pada schizophrenia spectrum disorder di Indonesia.
Alexithymia (X)
Empati (Y)
Gambar 2.1 Dinamika Hubungan antara Alexithymia terhadap Empati.
2.5
Hipotesis Penelitian Berdasarkan tema penelitian yang diambil maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: a.
Hipotesis Alternatif (Ha) Ha1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara alexithymia dengan empati kognitif pada schizophrenia spectrum disorder. Ha2 : Terdapat hubungan yang signifikan antara alexithymia dengan empati afektif pada schizophrenia spectrum disorder.
b.
Hipotesis Null (H0) H01:
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara alexithymia dengan empati kognitif pada schizophrenia spectrum disorder.
H02 :
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara alexithymia dengan empati afektif pada schizophrenia spectrum disorder.
http://digilib.mercubuana.ac.id/