BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Perairan Morotai Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Propinsi Maluku Utara dulunya merupakan wilayah kecamatan di bawah Kabupaten Halmahera Utara dan pada tahun 2009 secara resmi menjadi kabupaten tersendiri bernama Kabupaten Kepulauan Morotai. Secara geografis letak kepulauan Morotai yaitu sebelah utara berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Morotai, sebelah timur berbatasan dengan Laut Halmahera, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Sulawesi. Kabupaten Kepulauan Morotai memiliki luas wilayah 4.301,53 km2 yang terdiri dari luas daratan 2.330,60 km2 dan luas lautan 1.970,93 km2 serta memiliki panjang garis pantai 311,217 km. Kabupaten Kepulauan Morotai memiliki 33 pulau dengan 7 pulau telah berpenghuni dan 26 pulau belum berpenghuni. Badan Pusat Statistik Maluku Utara menyatakan bahwa Kabupaten Pulau Morotai terletak antara 2º0'-2º40' lintang utara dan 128º15'-129º8' bujur timur (Anonim 2011). Pulau Morotai memiliki stok sumberdaya ikan yang beragam yakni, berdasarkan penelitian dari potensi laut yang ada, terdapat 160 jenis ikan yang bernilai ekonomis dan 31 jenis ikan komersial, dengan jumlah potensi perikanan diperkirakan mencapai 148.473,8 ton/tahun dengan jumlah potensi lestari yang dapat dimanfaatkan sebesar 81.660,6 ton/tahun. Sedangkan untuk sektor budidaya laut, kawasan pesisir dan laut kepulauan Morotai mempunyai kualitas perairan tenang dan sangat memungkinkan untuk pengembangan budidaya laut seperti, kerapu, lobster, rumput laut, dan mutiara (KKP 2012). Perairan Morotai sebelah selatan dipengaruhi oleh Samudra pasifik bagian barat, Laut Sulawesi, dan Laut Halmahera. Perairan tropis Pasifik bagian barat merupakan daerah persimpangan bertemunya sistem arus laut seperti Arus Mindanao,
Arus Khatulistiwa Utara, Arus Khatulistiwa Selatan, Arus Pantai Papua, dan Arus Bawah Pantai Papua. Arus-arus tersebut menggerakkan beberapa jenis massa air dari belahan bumi bagian utara dan selatan sehingga melintas dan bertemu di Perairan Pasifik Barat (Papilaya 2008). Perairan Morotai yang dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Pasifik memiliki karakteristik yang berbeda dengan perairan Indonesia lainnya. Menurut Haikal (2012) perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya memengaruhi tinggi rendahnya produktivitas perairan.
2.2 Plankton Plankton merupakan organisme mikroskopik yang memiliki kemampuan renang yang lemah sehingga pergerakannya dipengaruhi oleh arus. Menurut Nybakken (1992), plankton memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan di laut. Anggota plankton yang bersifat nabati (fitoplankton) merupakan penyumbang fotosintesis terbesar di dalam laut. Energi matahari yang terperangkap dalam plankton kemudian berturut-turut dipindahkan ke komunitas-komunitas laut lainnya. Tanpa adanya tumbuhan planktonik yang berukuran renik dan mampu mengikat energi matahari, tidak mungkin ada kehidupan di dalam laut. Berbeda dengan fitoplankton, zooplankton adalah hewan laut yang planktonik dan merupakan herbivora primer dalam laut. Zooplankton dari subklas kopepoda berperan sebagai mata rantai yang amat penting antara produksi primer fitoplankton dengan para karnivora besar dan kecil. Nybakken (1992) membagi golongan plankton berdasarkan ukuran plankton. Terdapat lima golongan plankton, yaitu: 1. Megaplankton: organisme planktonik yang besarnya lebih dari 2.0 mm 2. Makroplankton: organisme planktonik yang berukuran antara 0.2 mm-2.0 mm 3. Mikroplankton: organisme planktonik yang berukuran antara 20 µm-0.2 mm
4. Nanoplankton: organisme planktonik yang besarnya 2 µm-20 m 5. Ultraplankton: organisme planktonik yang besarnya kurang dari 2 µm. Dari kelima golongan plankton diatas, hanya megaplankton, makroplankton, dan mikroplankton yang dapat ditangkap oleh jaring-jaring plankton baku. Nanoplankton dan ultraplankton hanya dapat diperoleh dengan menyaring air laut melalui alat penyaring dengan pori-pori yang sangat kecil (Nybakken 1992). Fitoplankton menempati posisi sebagai produsen tingkat pertama atau dasar mata rantai makanan di perairan. Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat menggambarkan kondisi ekologis suatu perairan dan merupakan salah satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan (Odum 1998). Jenis fitoplankton yang sering dijumpai dalam laut biasanya berukuran besar dan didominasi oleh dua kelompok yaitu Diatom dan Dinoflagellata (Wulandari 2011). Berikut ini merupakan beberapa kelas fitoplankton yang umum dijumpai di laut:
A. Kelas Bacillariophycae Fitoplankton dari kelas Bacillariophycae juga dikenal dengan nama Diatom terdapat di semua bagian lautan, tetapi melimpah di bagian permukaan dan lintang tinggi. Pada umumnya Diatom bersel tunggal, namun ada beberapa yang hidup berkoloni. Diatom yang berukuran 5 µm-2 mm ini memiliki karakteristik utama yaitu dinding sel yang mengandung silikat (Wulandari 2011). Diatom memiliki kemampuan regenarasi dan reproduksi yang lebih besar, seperti pada Nitzchia sp. yang mampu tumbuh cukup cepat dan Chaetoceros sp. dapat dengan baik beradaptasi dengan kondisi lingkungannya (Hakim 2008).
B. Kelas Dinophycae Dinophycae dikenal juga dengan Dinoflagellata. Nybakken (1992) menyebutkan bahwa Dinoflagellata memiliki sepasang flagella sebagai ciri khas yang digunakan untuk bergerak dalam air. Tubuhnya berukuran 5µm-200µm dan
tersusun dari lempeng-lempeng selulosa yaitu karbohidrat. Pada umumnya Dinoflagellata berukuran kecil dan hidup tunggal. Dinoflagellata mampu mengeluarkan zat racun dari tubuhnya yang dalam keadaan melimpah (2-8 juta sel/liter) dapat mengakibatkan pasang merah penyebab kematian ikan dan avertebrata dalam jumlah yang besar di lokasi berlangsungnya peristiwa pasang merah. Genera Dinoflagellata yang umumnya sering dijumpai di perairan adalah Ceratium, Peridinium, dan Dinophysis (Wulandari 2011).
Anggota fitoplankton lainnya yang merupakan minoritas adalah alga hijaubiru atau Cyanophyceae. Cyanophyceae hanya dapat ditemukan di laut tropik dan tidak memiliki inti sel formal juga tidak terdapat pigmen fotosintetik dalam kloroplas. Kelas lainnya yang terdapat di semua samudra namun jarang ditemukan adalah fitoplankton dari kelas Crhysophyta. Crhysophyta merupakan organisme monoselular dengan suatu kerangka yang terbuat dari silikon dioksida (Nybakken 1992). Berbeda dengan fitoplankton, zooplankton adalah anggota plankton yang bersifat hewani. Wibisono (2005) menyatakan bahwa zooplankton di alam cukup banyak jenisnya, baik yang bersifat holoplankton yang seluruh daur hidupnya bersifat planktonik dan meroplankton yang sebagian siklus hidupnya termasuk golongan plankton namun bentuk dewasanya bukan sebagai plankton. Larva-larva ikan, larva Crustacea dan larva Moluska termasuk golongan meroplankton. Zooplankton dapat dijumpai mulai dari perairan panai, perairan estuaria di depan muara sampai ke perairan di tengah samudra, dari perairan tropis hingga ke perairan kutub. Zooplankton ada yang hidup di permukaan dan ada pula yang hidup di perairan dalam. Ada pula yang dapat melakukan migrasi harian dari lapisan dalam ke permukaan. Hampir semua hewan yang mampu berenang bebas atau yang hidup di dasar laut menjalani awal kehidupannya sebagai zooplankton yakni ketika masih berupa telur dan larva. Baru dikemudian hari, menjelang dewasa, sifat hidupnya yang semula sebagai plankton berubah menjadi nekton atau bentos. Zooplankton bersifat
heterotrofik yaitu tidak dapat memproduksi sendiri bahan organik. Oleh karena itu, untuk kelangsungan hidupnya ia sangat bergantung pada bahan organik dari fitoplankton yang menjadi bahan makanannya (Nontji 2008). Talt (1981) dalam Rahmawati (2002) menyatakan bahwa bahwa populasi yang tinggi dari zooplankton hanya akan dapat dicapai apabila jumlah fitoplankton mencukupi, mengingat fitoplankton yang memiliki peranan penting dalam proses pemanfaatan dan pemindahan energi. Dari sudut ekologi, hanya ada satu golongan zooplankton yang perannya sangat penting bagi ekosistem bahari yaitu Copepoda. Copepoda adalah Crustaceae holoplanktonik yang mendominansi zooplankton di semua laut dan samudra dan merupakan herbivora primer dalam laut. Dengan demikian, Copepoda berperan sebagai mata rantai yang sangat penting antara produksi primer fitoplankton dengan karnivora besar dan kecil (Nybakken 1992).
2.3 Distribusi dan Struktur Komunitas Plankton Plankton memiliki kemampuan gerak yang lemah sehingga distribusinya sangat bergantung pada pergerakkan massa air. Ketersediaan cahaya yang sampai ke perairan, suhu, dan zat hara juga mempengaruhi distribusi plankton. Plankton merupakan bagian dari organisme yang memiliki distribusi tidak merata karena sering ditemukannya plankton yang berlimpah pada satu titik hamparan, sedangkan pada titik lain individu plankton sangat sedikit (Haumahu 2005). Menurut Dahuri (2003) Dibandingkan dengan ekosistem pesisir, perairan laut terbuka umumnya memiliki produktivitas biologis yang lebih tersebar dan keragaman spesies yang jauh lebih rendah. Struktur komunitas merupakan susunan individu dari beberapa spesies yang terorganisir membentuk komunitas. Struktur komunitas memiliki lima karakteristik yaitu keanekaragaman jenis, bentuk pertumbuhan, dominansi, kelimpahan relatif, dan struktur tropik (Suherman 2005).
Suatu populasi maupun komunitas dari waktu ke waktu dan antar habitat satu dengan yang lainnya memiliki struktur komunitas yang spesifik sesuai dengan faktor lingkungan yang memengaruhinya. Perbedaan tersebut dicirikan oleh komposisi spesies dan kelimpahan individu dalam penyusun populasi bersangkutan. Keanekaragaman menunjukkan suatu ekosistem yang seimbang dan memberikan peranan yang besar untuk menjaga keseimbangan terhadap kejadian yang merusak ekosistem. Hilangnya jenis-jenis yang dominan akan menimbulkan perubahanperubahan penting tidak hanya pada komunitas biotiknya namun juga pada lingkungan fisiknya, dalam hal ini jenis-jenis yang dominan merupakan jenis yang mengendalikan komunitas (Rahmawati 2002).
2.4 Ekologi Plankton Kelimpahan dan keberadaan jenis plankton di laut dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor fisika kimia seperti di bawah ini : A. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang penting bagi aktivitas metabolisme organisme. Semua organisme laut selain burung dan mamalia laut bersifat poikilotermik yang berarti suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu massa air disekitarnya. Suhu laut bervariasi sesuai dengan kedalaman. Suhu air permukaan di wilayah tropik berkisar 200C-300C (Nybakken 1992). Pengaruh langsung suhu terhadap kehidupan di laut adalah terhadap laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan. Algae dari divisi Clorophyta dapat mentolerir suhu antara 30-32 0C dan Diatom dapat mentolerir suhu dari 200C-300C sedangkan Cyanophyta dapat mentolerir suhu lebih tinggi dari Clorophyta dan Diatom (Nurafni 2002).
B. Salinitas Salinitas adalah jumlah bobot semua garam (gram) yang terlarut dalam satuan per mil (‰). Salinitas merupakan indeks jumlah total jumlah total zat
terlarut dalam 1000 gram air (Noferya 2008). Rahmawati (2002) juga menyatakan bahwa salinitas di perairan penting untuk mempertahankan tekanan osmotik protoplasma dengan perairan, karena itu salinitas dapat memengaruhi kelimpahan dan distribusi plankton. Semakin tinggi salinitas maka semakin tinggi juga tekanan osmotik tubuh plankton terhadap perairan dan semakin besar pula energi yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri. Nybakken (1992) menyebutkan bahwa salinitas di daerah tropik lebih tinggi karena evaporasi lebih tinggi. Salinitas di lautan terbuka yang jauh dari pantai berkisar 34-37 ‰. Plankton eurihalin mampu menolerir kisaran salinitas yang luas dan plankton stenohalin hanya dapat menolerir kisaran salinitas yang sempit (Odum 1998).
C. Nitrogen Senyawa-senyawa nitrogen utama dalam air laut terdapat sebagai ion nitrat (NO3- ), amonia (NH3), Ion nitrit (NO2-), nitrogen oksida, dan nitrogen dalam bentuk molecular (gas) bebas. Senyawa nitrogen organik terlarut merupakan hasil dari metabolisme organisme bahari dan hasil pembusukkan. Nitrat yang terbentuk akan dimanfaatkan oleh tumbuhan. Tumbuhan dan hewan yang mati akan terurai menjadi asam amino dan sisa bahan organik. Nitrat yang terlarut di laut juga merupakan suplai dari daratan melalui sungai (Wati 2004). Nitrat merupakan salah satu nutrient di laut yang digunakan sebagai penyusun jaringan lunak plankton dan pembentukkan protoplasma (Hani 2006). Distribusi horizontal nitrat menunjukkan nilai yang semakin tinggi ke arah pantai. Pada laut tebuka, distribusi nitrat hampir seragam baik vertikal maupun horizontal. Amonia di perairan merupakan hasil pecahan nitrogen organik dan organik yang berasal dari tanah dan air. Kadar amonia yang tinggi merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri,
dan
limpasan
pupuk
pertanian
(Nurafni
2002).
Fitoplankton
memanfaatkan amonia untuk sintesis asam amino secara langsung, tidak seperti nitrat dan nitrit yang perlu direduksi terlebih dahulu. Konsentrasi nitrit di perairan biasanya berjumlah sedikit, karena nitrit tidak stabil
dan
langsung
di
asimilasi
oleh
tumbuhan.
Keberadaan
nitrit
menggambarkan berlangsungnya proses biologis dan perombakkan bahan organik dengan kadar oksiden terlarut yang sangat rendah (Hani 2006). Siklus nitrogen melibatkan pengikatan nitrogen dari udara yang umumnya dilakukan oleh organisme bakteri alga biru seperti Trichodesmium sp. Regenerasi nitrogen di suatu kolom air merupakan hasil dari aktivitas bakteri dan ekskresi dari hewan yang hidup di laut, khususnya hasil pembuangan amonia oleh zooplankton. Nitrogen baru (new nitrogen) merupakan nitrogen yang berasal dari luar siklus nitrogen. Pada dasarnya new nitrogen adalah senyawa nitrat yang masuk kedalam lapisan eufotik melalui proses eufotik melalui proses pengangkatan massa air dari lapisan bawah atau masuk melalui bawaan air hujan dan sungai (run off) serta sebagian kecil yang masuk melalui proses fiksasi bakteri. Sumber-sumber nitrogen yang menjadi komponen pembentuk new nitrogen sangat penting karena secara kuantitatif berbanding lurus dengan produktifitas suatu perairan (Wiadnyana dan Wagey 2004).
D. Fosfor Selain nitrogen, fosfor dalam bentuk fosat (PO 4) juga berperan penting bagi pertumbuhan plankton (Nybakken 1992). Perairan tropis memiliki kandungan fosfat yang rendah, Kandungan fosfor dalam perairan dapat mengubah jenis dan populasi plankton. Menurut Wiadnyana dan Wagey (2004) fungsi utama fosfor untuk fitoplankton adalah sebagai pembentuk energi dalam menjalankan aktivitas metabolism. Energi yang terbentuk dalam bentuk ATP akan diubah menjadi ADP dengan bantuan enzim phospatase. Fungsi lain dari fosfor di dalam sel adalah sebagai komponen pembentuk struktur sel yakni bagian dari RNA yang
merupakan rantai asam amino yang sangat penting dalam proses pembentukan sel baru. Perairan dengan kandungan fosfat yang rendah biasanya didominasi oleh Diatom. Penambahan kandungan fosfor dapat merangsang pertumbuhan ganggang hijau. Konsentrasi fosfat di perairan dipengaruhi oleh faktor lintang, musim, dan aktivitas plankton (Raymont 1963; Sidjabat 1976 dalam Siregar 2006). Banyak fosfat yang lepas berupa endapan pada laut dangkal dan deposit pada laut dalam (Nurafni 2002). Menurut Odum (1998) sumber utama fosfat di laut berasal dari sungai, penguraian sisa organisme, dan pengadukan dasar laut.
E. Silikat Selain nitrogen dan fosfor, keberadaan silikat dalam suatu perairan laut erat kaitannya dengan kehadiran fitoplankton. Silikon terlarut merupakan nutrient yang penting bagi produktivitas primer. Silikon juga merupakan nutrient yang berperan sebagai regulator bagi kompetisi fitoplankton, dimana Diatom selalu mendominasi populasi fitoplankton pada konsentrasi silikat yang tinngi. Diatom membutuhkan silikat untuk membuat cangkang tubuhnya (Hani 2006; Risamasu dan Prayitno 2011). Menurut Sverdup et al (1960) dalam Riksawati (2008) silikat di permukaan laut berasal dari aliran sungai dan kandungan silikat rendah ditemukan di lapisan permukaan. Silikon dioksida diketahui merupakan bagian penting dalam pembentukan silikoflagelata seperti Diatom dan beberapa Radiolaria. Zat anorganik dalam Diatom mengandung lebih dari 60% silikon dioksida. Perumbuhan Diatom yang cepat dapat menurunkan kadar silikat yang terlarut dalam air laut. Pada perairan pantai umumnya kadar silikat tinggi akibat pengaruh dari daratan. Di laut lepas kadarnya semakin besar dengan bertambahnya kedalaman (Riley 1967 dalam Hakim 2008). Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Risamasu dan Prayitno (2011) di Perairan Kepulauan Matasiri, Kalimantan Selatan yang menunjukkan
bahwa konsentrasi silikat tertinggi berada di lapisan dekat dasar perairan daripada di lapisan permukaan. Distribusi silikon dioksida di perairan pesisir umumnya lebih tinggi daripada di laut terbuka karena limpasan air sungai. Konsentrasi silikat terlarut di lapisan permukaan perairan laut umumnya lebih rendah jika dibandingkan dengan di dasar perairan kecuali di daerah yang mengalami upwelling. Rendahnya konsentrasi silikat di lapisan permukaan disebabkan lebih banyaknya organisme-organisme yang memanfaatkan silikat di lapisan ini, seperti Diatom yang membutuhkan silikat untuk membentuk dinding selnya. Simanjuntak (2003) juga telah melakukan penelitian mengenai kadar silikat di Perairan Kalimantan Timur yang menyatakan bahwa tingginya kadar silikat pada kedalaman yang semakin dekat dengan dasar perairan berkaitan dengan kadar silikat yang lebih berat daripada massa air, sehingga akan tenggelam kearah dasar perairan. Pergerakan massa air Arus Lintas Indonesia (Arlindo) juga memengaruhi kadar silikat pada perairan Kalimantan Timur. Massa air Arlindo yang bergerak kearah pantai akan mengencerkan kadar silikat, kemudian dengan adanya pergerakan massa air dari pantai ke lepas pantai akan membawa kembali kadar silikat tersebut ke perairan lepas pantai dan tenggelam ke dasar perairan. Kemungkinan kadar silikat di Perairan Kalimantan Timur ini bertambah tinggi pada musim hujan karena proses erosi yang terjadi akan membawa sedimen ke perairan tersebut.
2.5 Klorofil a Klorofil merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Tumbuhan yang berklorofil di laut dapat berupa rumput laut, lamun, fitoplankton atau mikroflora bentik. Terdapat tiga jenis klorofil yaitu klorofil-a, b, dan c. Ketiga jenis klorofil ini sangat penting dalam proses fotosintesis tumbuhan yaitu suatu proses yang merupakan dasar dari
pembentukkan zat-zat organik di alam. Kandungan klorofil yang paling dominan dimiliki oleh fitoplankton adalah klorofil a. Oleh karena itulah klorofil a dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesuburan perairan (Rasyid 2009). Menurut Aryawati dan Thoha (2011) sebaran konsentrasi fitoplankton tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai sedangkan konsentrasi fitoplankton cenderung rendah di daerah lepas pantai. Pada beberapa tempat masih ditemukan konsentrasi fitoplankton yang cukup tinngi meskipun jauh dari daratan. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling. Fitoplankton mampu berfotosintesis karena memiliki pigmen klorofil sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu parameter yang menentukan produktivitas primer di laut. Menurut Asriyana dan Yuliana (2012) produktivitas primer adalah derajat penyimpanan energi matahari dalam bentuk bahan organik dari hasil fotosintesis produsen primer. Melalui produktivitas primer, energi akan mengalir dalam ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis. Cahaya matahari, suhu, dan peningkatan suplai zat hara khususnya nitrogen dan ortofosfat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas primer.