BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) 2.1.1 Hakikat IPS Di dunia pendidikan kita, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dikenal dengan istilah “social studies”. Menurut National Concil For the Social Studies (NCSS) dalam National Caoncil For the Social Studies (NCSSI) (Martorella,
1994:
6),
mendefinisikan
Ilmu
Pengetahuan Sosial sebagai, “Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to
promote
civic
competence”.
Pendidikan
terintegrasi
dari
pembelajaran
ilmu
humaniora,
untuk
warga
negaranya.
mengembangkan Dalam
program
sosial
sosial
dan
kemampuan sekolah
IPS
memberikan koordianasi belajar sistematis dengan menggunakan antropologi, hukum,
beberapa
arkeologi,
filsafat,
ilmu
seperti
ekonomi,
geografi,
sejarah,
politik,
psikologi,
agama,
ilmu
disiplin
sosiologi, maupun isi yang tepat dari humaniora matematik dan ilmu alam. Tujuan utama dari IPS adalah
membantu
kemampuan
untuk
pemuda
mengembangkan
menyampaikan
pendapat
dan
mengambil keputusan yang berdasarkan informasi dan penalaran untuk kebaikan masyarakat sebagai warga
dari
masyarakat
demokratis
yang
secara
11
kultural berbeda di dalam dunia yang saling bekerja sama. Ilmu pengetahuan sosial haruslah bersifat nyata didalamnya
dirumuskan
suatu
kajian
perilaku
manusia berkaitan dengan berbagai latar belakang yang melingkupinya secara obyektif, rasional, realistik. Menurut Ellis, (1997:1) “social studies is the study of human beings. The purpose of social studies in the school curriculum is to introduce children to the world of people. Student enter school with random knowledge and ideas about people”, ilmu pegetahuan sosial berkaitan dengan manusia yang menempatinya dan interaksi mereka antara yang satu dengan yang lain dan lingkungan mereka berada dan tempat. Dengan demikian IPS dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu yang
mempelajari
manusia
sebagai
anggota
masyarakat (Nursid Sumaatmadja, 1980:7). Craib (M. Zaini Hasan & Salladin. 1996: 10) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu sosial adalah
pengetahuan
yang
terorganisir
mengenai
manusia dan masyarakat sekelilingnya. Duffy (M. Zaini Hasan & Salladin. 1996:10) lebih jauh menguraikan ciri-ciri ilmu sosial, antara lain: 1. Ilmu
sosial
merupakan
pengetahuan
yang
terorganisir yang mengkaji hubungan-hubungan antar manusia. 2. Pengetahuan di atas yang dimaksud adalah pengetahuan valid dan dapat diteliti, dalam arti
12
terbuka untuk dikaji ulang dengan metoda yang sama. 3. Teori serta konsep pengetahuan ini diperoleh dari kajian ilmiah, melalui tahapan-tahapan masalah/pertanyaan,
hipotesis,
pengumpulan
data, dan menganalisis data setelah diukur tingkat validitas maupun reliabilitasnya. 4. Muara dan kegiatan penelitian di atas dapat digunakan
secara
generalisasi
mendapatkan
teori, konsep, hukum maupun dalil dalam pengetahuan sosial. Dengan rumusan pendapat di atas secara umum dapat
disimpulkan
bahwa
studi
sosial
pada
hakekatnya ialah kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem hidup bermasyarakat. Kajian ini dilakukan dalam bentuk pengajaran di sekolah untuk menyiapkan anak didik menjadi warga Negara yang baik, berdasarkan nilai dan kaidah kemasyarakatan yang berlaku (Buchari, Alma. 2003 148-149).
2.1.2 Tujuan IPS Menurut NCSS (2008: 2) tujuan dari social studies, adalah “….to help young people make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a
culturally
diverse,
democratic
society
in
an
interdependent world”. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa tujuan pokok dari pembelajaran IPS adalah
membentuk
siswa
mengembangkan 13
kemampuan membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang rasional sebagai warga Negara secara kultural beragam, dan masyarakat demokratis di dunia yang saling ketergantungan. Menurut Etin Solihatin (2008: 15) tujuan IPS adalah
untuk
kemampuan
mendidik dasar
dan
kepada
memberi siswa
bekal untuk
megembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya, serta berbagai bekal bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Sedangkan menurut Buchari Alma (2003: 149) memfokuskan tujuan IPS pada penyediaan pengalaman belajar siswa. Pendapat lain menyebutkan tujuan utama IPS adalah membantu para siswa selaku warga Negara mengembangkan kemampuan critical thingking agar mampu mengambil keputusan secara rasioanal dengan dasar informasi yang mencukupi, dan diformulasikan pada permasalahan sosial yang hasilnya tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi dan keluarga tetapi juga berguna bagi masyarakat dan bangsanya sebagai bentuk tanggungjawab seseorang warga dalam masyarakat plural dan demokratis. Menurut Saxe, (1993: 155) dijelaskan bahwa ilmu sosial merupakan “the original formulators of social studies hed in mind the when the emphasis area was intervented in the first two decades of the twentieth century”. Critical thinking ini juga diperlukan bagi para siswa agar mampu menjadi pemikir yang bebas, kreatif, bertanggung jawab, dan dapat memberikan 14
kritik bagi keadaan masyarakat ketika mengambil suatu kebijakan. Dengan demikian tujuan pendidikan IPS pada hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu megembangkan potensi peserta
didik
agar menjadi manusia yang beriman,bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Serta dapat
dimanfaatkan
sebagai
pengembangan
pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.3 Pembelajaran IPS Menurut Barth, (1990: 28) “Social studies is the interdisciplinary
integration
of
social
science
and
humanities concepts for the purpose of practicing citizenship skills on critical social issues”. Pendidikan sosial
merupakan
pengintegrasian
secara
interdisipliner dari konsep-konsep ilmu sosial dan umat
manusia
untuk
tujuan
mempraktekkan
ketrampilan-ketrampilan kewarganegaraan dan isu-isu sosial kritis lainnya. Untuk mewujudkan konsep IPS sebagaimana tersebut di atas maka setiap guru yang mengajar IPS harus menerapkan prinsip sebagai berikut: 1. Keperluan, artinya konsep tersebut diperlukan oleh siswa untuk memahami dunia sekitarnya.
15
2. Ketepatan, Rumusannya harus tepat, sehingga tidak memberi peluang bagi penafsiran yang salah (salah konsep). 3. Mudah dipelajari, artinya harus dapat disajikan dengan mudah, fakta dan contohnya harus terdapat dilingkungan hidup siswa. 4. Kegunaan, konsep tersebut haru benar-benar berguna bagi kehidupan dalam masyarakat. (Buchari Alma, 2003: 155) Menurut para ahli ada beberapa cara untuk mempelajari konsep, khususnya konsep IPS yaitu, dengan menggunakan strategi pembelajaran terpadu, yaitu dengan memadukan berbagai disiplin ilmu mulai dari geografi, ekonomi, antropologi, politik, psikologi sosial, dan sejarah, kedalam suatu tubuh yang dinamakan IPS.
2.1.4 Ruang Lingkup IPS Menurut Depdiknas (2006: 575) ruang lingkup mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 1) Manusia, tempat dan lingkungan.2) Waktu, keberlanjutan, dan perubahan. 3) Sistem sosial dan budaya, serta 4) Perilaku, ekonomi, dan kesejahteraan. Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan kajian ilmu yang
potensial
bagi
pengembangan
tugas-tugas
pembelajaran yang kaya nilai. Karakteristik ilmu yang erat
kaitannya
dengan
kehidupan
manusia
dan
banyak membahas tentang bagaimana manusia dapat menjalin 16
hubungan
harmonis
dengan
sesama,
lingkungan dan Tuhan, membuat kajian ini sangat kaya dengan sikap, nilai, moral, etika, dan perilaku. Penyadaran nilai melalui IPS sering dihadapkan pada persoalan
dinamika
dan
probabilitas
nilai
yang
berubah-ubah, oleh karena itu mata pelajaran IPS dirancang
untuk
pemahaman
mengembangkan
dan
kemampuan
pengetahuan,
analisis
terhadap
kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis (Depdiknas. 2006: 575) Ilmu mengkaji
sosial
merupakan
perilaku
disiplin
manusia
ilmu
dalam
yang
beragam
bentuknya. Disiplin ilmu ini meliputi sejumlah cabang disiplin ilmu seperti: psikologi, geografi, ekonomi, politik sosiologi dan antropologi. Sedangkan ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu yang mengambil keunggulan (per excellence) merupakan
bagian
yang
dari enam ilmu sosial tidak
terpisahkan
dari
kerajinan ilmu sosial itu sendiri.
2.2 Pendidikan Nilai Moralitas Peran pendidikan sebagai sumber nilai perlu diperhatikan
oleh
berbagai
kalangan.
Karena
pentingnya nilai dalam bermasyarakat dan berbangsa, harus
diwujudkan
pembelajaran
agar
mengembangkan
suasana
belajar
dan
peserta
didik
secara
potensi
dirinya
untuk
proses aktif
memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian
kecerdasan,
akhlak
mulia,
serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, 17
bangsa
dan
negara
pendidikan
nilai
Indonesia
yang
bagi
dalam
mencerminkan
masyarakat
urgensi
dan
bangsa
mentransformasikan
dan
menanamkan nilai-nilai tersebut. Pendidikan berperan penting dalam penanaman nilai-nilai moral sebagai fondasi untuk kegiatan kemasyarakatan seperti dialog budaya dan agama dari berbagai. Kelompok. Peran dunia pendidikan dalam proses penanaman nilai bukan
sekedar
kerangka
teoritis
tetapi
lebih
diharapkan sebagai aktivitas praktis yang nyata. Hal ini dipandang sebagai filosofi pendidikan nilai dalam penyelenggaran pendidikan formal. Konsep pendidikan nilai tersebut teritegrasi ke dalam beberapa hal yang sebagaimana
yang
dikatakan
oleh
beberapa
ahli
berikut.
2.2.1 Batasan Nilai Moralitas Menurut
I
Wayan
Koyan
(2000:
12)
nilai
mempunyai sebuah elemen konsepsi yang berharga, dimana didalamnya dibedakan menjadi nilai-nilai ideal dan nilai-nilai aktual, yang dimaksudkan nilai ideal adalah nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan
nilai-nilai
aktual
adalah
nilai
yang
diekspresikan dalam perilaku sehari-hari. Di samping itu I Wayan Koyan juga membedakan nilai menjadi: 1) nilai logika, yaitu nilai yang berkenaan dengan “bernar atau
salah”,
2)
nilai
estetika,
yaitu
nilai
yang
berkenaan dengan “indah atau buruk” , 3) nilai etika, yaitu nilai yang berkanaan dengan ilmiah “adil atau 18
tidak adil”, 4) nilai agama atau nilai religius, yaitu nilai yang berkenaan dengan “sah dan absah”. Batasan lainnya nilai juga dianggap sebagai konsepsi, keyakin atau standar tingkah laku yang berfungsi untuk mempertimbangkan semua tindakan. Menurut pandangan ini, nilai berarti value yang merupakan pedoman bagi seseorang untuk bertindak atau melakukan sesuatu perbuatan. Di mana nilai secara normatif dapat mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan yang alternatf (Rohmad Mulyana, 2004: 9). Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh A Club of Rome (Rohmad Mulyana, 2004: 8), nilai diuraikan
dalam
dua
gagasan
yang
saling
berseberangan. Di satu sisi, nilai dibiasakan sebagai nilai ekonomi yang disandarkan pada nilai produk, kesejahteraan dan harga, dengan penghargaan yang demikian tinggi pada hal yang bersifat material. Sementara di lain hal, nilai diwakili untuk mewakili gagasan atau makna yang abstrak dan tak terukur dengan jelas. Nilai yang abstrak dan sulit diukur itu antara lain keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian dan perasamaan. Dikemukakan pula, sistim nilai merupakan kelompok nilai yang berkaitan satu dengan yang lainnya dalam sebuah sistem yang saling menguatkan dan tidak terpisahkan. Nilainilai itu bersumber dari agama maupun dari tradisi humanisitik. Karena itu perlu dibedakan 19
secara tegas antara nilai sebagai kata benda abstrak dengan cara perolehan nilai. Nilai ada dua jenis: nilai moral dan tidak moral. Nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kejujuran untuk menepati janji. Kami harus meras kewajiban untuk menepati suatu janji, membayar hutang menjaga anak-anak dan adil dalam perjanjian dengan orang lain. Nilai moral mengajarkan kita kepada tentang apa yang harus kita lakukan. Kita harus patuh dengan hal tersebut walau kita tidak merasa. Menurut Gordon (Rohmad Mulyana, 2004: 9) nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Definisi ini memiliki tekanan utama pada norma sebagai faktor eksternal yang
mempengaruhi
memandang terpenting
norma dari
perilaku sebagai
kehidupan
manusia. salah
sosial,
Gordon
satu
bagian
sebab
dengan
penegakan norma seseorang justru dapat merasa tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat yang akan merugikan dirinya. Oleh sebab itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai (value judgement) adalah perlibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat. Menurut Rohmad Mulyana (2003: 35-36), nilai agama merupakan nilai yang dimiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Nilai ini bersumber dari kebebasan tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Cakupan nilainya pun 20
lebih luas. Struktul mental manusia dan kebenaran yang merupakan dua sisi unggul dalam nilai agama. Karena
itu,
nilai
tertinggi
yang
dicapai
adalah
kesatuan (unity). Kesatuan berarti adanya keselarasan semua unsur kehidupan antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan tindakan, atau antara itikad dengan perbuatan dalam kesatuan filsafat
hidup,
diantara
kelompok
manusia
yang
memiliki orientasi kuat terhadap nilai seperti para nabi, imam, atau orang-orang yang shaleh. Nilai yang terdapat pada nilai sosial adalah kasih sayang antar manusia yang satu dengan yang lain. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang kehidupan yang idividualistik dengan alturistik. Sikap untuk tidak berpraduga jelek terhadap orang lain, sosiabilitas, keramahan, dan perasaan simpati dan empati
merupakan
perilaku
yang
menjadi
kunci
keberhasilan dalam meraih nilai sosial. Dalam psikologi sosial, nilai sosial yang paling ideal
dapat
dicapai
dalam
konteks
hubungan
interpersonal, yakni ketika seseorang dengan yang lainnya saling memahami. Sebaliknya, jika manusia tidak memiliki perasaan kasih sayang dan pemahaman terhadap semuanya, maka secara mental ia hidup tidak sehat. Nilai sosial banyak dijadikan pegangan hidup bagi orang yang senang bergaul, suka berderma, dan cinta sesama manusia atau yang dikenal ssebagai sosok filantropik, yaitu sosok orang yang suka berbuat kebajikan kepada sesamanya. Kebiasaan berderma, 21
menolong orang lain, dan bersikap kasih sayang terhadap
sesama
merupakan
hal
yang
tidak
tepisahkan dari kehidupan (Rohmad Mulyana, 2003: 34-35).
2.2.2 Konsep Moralitas Kata moral menurut Bettens (1997: 5) berasal dari bahsa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, secara etimologi kata “etika” sama dengan etimilogi kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti
adat
kebiasaan.
Hanya
bahasa
asalnya
berbeda: yang pertama berasal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin. Sedangkan Lubis, Mawardi (2008: 10) mejelaskan, bahwa: Moral
berasal
berhubungan
dari dengan
kata
mores
kebiasaan
(Latin), (adat)
yang
sesuatu
kelompok manusia. Mores mengandung kaidahkaidah
yang
masyarakat
sudah sebagai
diterima pedoman
oleh
kelompok
tingkah
laku
anggotanya dan harus dipatuhi (Schuman, 1993). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), kata moral diartikan sebagai ajaran baik buruk yang diterima
umum
mengenai
perbuatan,
sikap,
kewajiban dan sebagainya. Akhlak, budi pekerti, susila juga diartikan sebagai kondisi mental yang membuat orang tetap berani, semangat, bergairah, berdisiplin dari isi hati, atau keadaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan dan ajaran yang dapat diukurdari suatu cerita. Dalam kamus al-Munawwir
22
Arab-Indonesia, kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab klaihiq (jamak: Akhlak), artinya tabiat, budi perketi.
Menurut pakar Perkembangan Moral secara Kognitif (Cognitive Moral Development), Kohlberg, (I Wayang Koyan, 2000: 11) pendidikan moral adalah pendidikan mengenai prinsip-prinsip umum tentang moralitas dengan menggunakan metode pertimbangan moral
atau
moral
atau
cara-cara
memberi
pertimbangan moral. Prinsip-prinsip moralitas adalah prinsip mengenai pilihan. Tujuan utama pendidikan moral adalah kegiatan untuk membantu peserta didik menuju ke arah yang sesuai dengan kesiapan mereka, dan
tidak
memaksakan
pola-pola
eksternal
terhadapnya. Dalam pendidikan moral senantiasa melibatkan stimulasi perkembangan melalui tahaptahap, dan tidak sekedar mengerjakan kebenarankebenaran yang sudah baku. Dalam hubungan ini, peranan guru adalah memperkenalkan kepada anak dengan masalah-masalah konflik moral yang realistik. Untuk meningkatkan keberhasilan pendidikan moral, maka pendidikan tersebut harus dilakukan dalam lingkungan sekolah yang pantas dan adil. Selanjutnya dijelaskan, bahwa pendidikan mengenai nilai-nilai moral memerlukan rekayasa dan upaya pendidikan yang khusus, yakni proses pelakonan nilai-nilai moral. Dengan demikian, maka nilai-nilai moral dan normanorma normatif yang semula bersifat keharusan akan
23
berubah menjadi kelayakan dan mempribadi menjadi keyakinan. Keyakinan
terhadap
nilai-nilai
moral
akan
tampak pada perilaku individu. Dalam kaitan ini, Bentham (Henry Hazliit, 2003: 109) menjelaskan bahwa moralitas merupakan seni memaksimumkan kebahagiaan: ia yang memberi kode hukum yang dengan
kode
membuahkan
itu
perilaku
hasil,
yang
seluruh
dilakukan
eksistensi
akan
manusia
diperhitungkan dengan jumlah berkat yang terbesar. Dari konsep tersebut seseorang dapat dikatakan secara terdidik moral, dapat dilihat dari perilakunya yang
tampak
sasaran moralitas
dan
yang
juga
ingin
akan
pada
dicapai.
melibatkan
alasan-alasan
dan
Dengan
demikian,
pengujian
terhadap
berbagai sikap, perasaan, dan disposisi-disposisi yang dimiliki. Menurut Mead (I Wayan Koyan, 2000: 20-21), bahwa perkembangan moral anak adalah merupakan konstruksi sosial, yang menekankan pada proses sosialisasi dengan sistem nilai-nilai yang dianut oleh orang tua, dengan penekanan pada konstruksi kognitif dana
konsep
moral
anak
tentang
keadilan
dan
kewajiban (justice and obligate). Melalui proses sosial seperti
yang
membimbing
dikemukakan individu
untuk
oleh
Mead,
mengenal
akan
nilai-nilai
moral dan nilai-nilai budaya. Teori ini bertolak dari teori Jean Piaget tentang perkembangan nilai moral anak, yaitu melalui dukungan interpersonal antara 24
anak dengan orang tua dan dengan teman sejawat. Hal ini mendasari pengetahuan dan moralitas anak dalam melaksanakan interaksi sosial, dan memiliki implikasi pada terjadinya hubungan antara individu dengan masyarakat atau kebudayaan. Dalam pembentukan norma-norma
moral
seseorang
melihat
saling
ketergantungan dengan teman-temannya. Dalam kajian teori konstruksi sosial ini, ada dua teori yang membahas proses perkembangan moral anak.
Teori
pertama
menekankan
pada
proses
sosialisasi antara anak dengan sistem nilai-nilai pada orang dewasa, yang selanjutnya berkembang menjadi teori konstruksi sosial untuk pekembangan moral anak. Dalam kaitan ini, terjadi keseimbangan antara aktivitas
konstruktif
sumbangannya
anak-anak
kepada
itu
sendiri
lingkungan
dan
sosialnya.
Perspektif atau orientasi tersebut menjadikan konsepsi tentang perubahan perkembangan moral anak secara nyata dan berlaku secara universal. Pengembangan Pendidikan nilai moral yang terintegrasi dengan IPS memiliki arti penting bagi peningkatan
kualitas
pendidikan.
Menurut
Asri
Budiningsih (2004: 26) tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral yang harus dikembangkan oleh para guru. Secara operasional, pengembangan nilai moral dalam IPS selalu melibatkan tiga tahapan yang
berbeda.
pengenalan
Tahap
fakta-fakta
pertama
berkisar
lingkungan,
tahap
pada kedua
merupakan tahap pembentukan konsep-konsep, dan 25
tahapan ketiga adalah tahapan pertimbangan tentang nilai yang terintegrasi. Atas dasar tahapan ini, maka tidak cukup bagi peserta didik untuk belajar IPS dengan hanya berkisar pada konsep yang verbalistik; atau hanya mengenal sejumlah fenomena, melainkan diperlukan ketajaman analisis terhadap nilai etika dan sikap anak dalam menerima berbagai isu sosial yang muncul dewasa ini. Nilai moral yang terintegrasi dalam pelajaran IPS dapat
berupa
intrinsik
seperti
obyektivitas,
rasionalitas, dan kejujuran ilmiah, atau dapat pula nilai dasar moral seperti kepedulian terhadap orang lain, empati, dan kebaikan sosial lainnya. Semua nilai itu penting dalam merancang prioritas penelaahan IPS dalam kehidupan. Untuk itu, nilai-nilai dasar moral yang muncul secara humanistik harus terintegrasi dalam keseluruhan kurikulum IPS, terutama ketika para pendidik berkepentingan untuk menjelaskan nilai-nilai
intrinsik.
Nilai
dasar
moral,
kebaikan,
kepedulian, dan keindahan yang terdapat dalam ajaran
agama.
Pada
sebagian
negara
yang
mengembangkan sistem pendidikan sekuler, dimana urusan keagamaan terpisah dari urusan pemerintah, nilai-nilai serupa juga dikembangkan, tetapi dasar rujukannya hanya sampai pada pertimbangan nilai kebenaran dan keutamaan humanistik. Imam Al Ghazali (Kosasih, A. Djahiri, 1996:22) menyatakan bahwa keberadaan nilai moral ini dalam “lubuk hati” (Al-Qolbu) serta menyatu/bersatu raga 26
didalammnya dan hati nurani (the conscience of man) di mana dia merupakan sesuatu yang berharga yang dianggap bernilai, adil, baik benar dan indah serta menjadi pedoman dan pegangan diri. Hal ini senada dengan dasar pemikiran yang melandasi pentingnya pendidikan IPS bagi penyadaran nilai dan etika. Menurut I Wayan Koyan (2000: 14), nilai-nilai yang berhubungan
dengan
“baik
atau
buruk”
adalah
merupakan obyek etika. Kegiatan proses pembelajaran di sekolah akan berlangsung dengan baik jika semua komponen yang terkait dengan pendidikan di lingkungan sekolah mengikuti
aturan-aturan
sesuai
dengan
tujuan
pendidikan. Adapun komponen-komponen yang terkait dalam proses pembelajaran tersebut secara umum meliputi, komponen guru, siswa/anak didik, kepala sekolah, tenaga administrasi atau karyawan, dan serana-sarana pendukung, serta keadaan lingkungan sekolah. Makna utama dari proses pembelajaran pada hakekatnya
adalah
terjadinya
proses
perubahan
tingkah laku siswa, yang bersifat langsung maupun yang
baru
dapat
dilihat
dalam
jangka
panjang.
Perubahan siswa yang langsung dicapai pada proses pembelajaran antara lain seperti, pengetahuan, sikap dan nilai, serta keterampilan. Sedangkan perubahan siswa dalam jangka panjang misalnya antara lain di lihat
indikatornya
seperti,
kepribadian,
dan
keterampilan profesional atau jabatan.
27
Pendidikan nilai moral dalam kaitannya dengan proses pembelajaran tersebut, tentu saja mempunyai arti
yang
sangat
penting
khususnya
di
dalam
pembinaan perilaku siswa yaitu agar peserta didik atau siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar mendapatkan hasil sebagai manusia yang berkualitas dan berperilaku positif atau berniali baik. Di dalam proses pendidikan nilai, peranan guru, dan keadaan sekolah serta masyarakat akan mempengaruhi tingkah laku guru dan siswa di dalam pencapaian tujuan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu ditinjau dari misi pendidikan nilai moral siswa agar mencapai hasil yang baik, maka unsur kepribadian yang dimiliki oleh guru
dan
komponen
yang
terkait
lainnya
perlu
mendapatkan perhatian yang utama. Dalam hal ini sekolah
perlu
memperhatikan
aspek-aspek
penanaman nilai-nilai moralitas di dalam proses belajar siswa, baik melalui kegiatan kurikuler dengan cara memasukkan nilai-nilai moral dalam setiap mata pelajaran, maupun melalui kegiatan ekstra-kurikuler seperti ceramah agama, diskusi, dan sejenisnya yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai siswa di sekolah.
2.2.3 Tahap Perkembangan Moral Menurut Piaget (I Wayan Koyan, 2009: 25), tahapan bagian, tahapan 28
perkembangan yaitu:
tahap
aoutonomous
moral
dibagi
heterenomous morality.
dalam
dua
morality
dan
Pada
tahapan
heterenomous morality, anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orangorang
yang
berkompeten
dan
aturan-aturan
itu
dipandang tidak bisa diubah. Oleh karena itu, pada setiap tahap ini disebut juga masa realisme moral. Sedangkan
pada
tahap
otonomi
anak
sudah
menyadari bahwa aturan-aturan itu dibuat oleh orang dan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada atas dasar kesepakatan bersama dalam kelompok. Pembagian
tahap
perkembangan
moral
itu
bersumber pada sikap yang dinyatakan oleh anakanak yang berbeda usia terhadap sumber aturan, kebenaran, perubahan aturan-aturan dalam pemainan kelereng. Di samping itu, juga dari anggapan anakanak
terhadap
cerita-cerita
yang
telah
diketahui
dengan baik, dan anak-anak diminta untuk menilai, siapa yang lebih nakal. Misalnya, seorang anak lakilaki yang secara kebetulan memecahkan beberapa cangkir, dan seorang laki-laki yang memecahkan satu cangkir. Pertama tahap heterenomous morality. Pada tahap hateronomi atau realisme moral, anak-anak merasa wajib mengikuti aturan-aturan, karena aturan itu adalah suci seperti undang-undang dewa, dan tak dapat
diubah.
Mereka
cenderung
memandang
peraturan-peraturan itu secara total adalah benar atau
salah,
dan
mengira
bahwa
setiap
orang
memandang aturan-aturan itu dengan cara yang 29
sama. Mereka memutuskan kesalahan atau kebenaran suatu tindakan atas dasar besar-kecilnya akibatakibat yang ditimbulkannya, dan apakah tindakantindakan itu akan dihukum atau tidak. Mereka percaya bahwa keadilan akan lekas datang, seperti misalnya pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang
diikuti
oleh
kecelakaan
fisik
atau
ketidak
beruntungan yang dikehendaki oleh Tuhan atau oleh suatu objek yang tidak berjiwa. Kedua tahap, aoutonomous morality. Bagi anak berada
pada
tingkat
yang
lebih
maju,
disebut
moralitas otonom atau moralitas bekerjasama, di mana aturan-aturan dipandang sebagai persetujuan bersama,
tepelihara
dengan
mantap
melalui
peersetujuan sosial secara timbal balik, serta dapat diubah atau dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan bersama. Mereka mengakui bahwa dalam hal ini kemungkinan ada perbedaan pandangan. Keputusan anak mengenai “benar dan salah”, ditekankan pada akibat-akibat
yang
ditimbulkan.
Mereka
percaya
bahwa hukuman hendaknya berlaku secara timbal balik, dan dikaitkan dengan suatu tindakan tertentu. Misalnya, dengan pembayaran kembali atas tindakan yang dilakukan. Tugas dan kewajiban tidak selamanya dipandang sebagai keputusan terhadap penguasa, tetapi dilihat dari kesesuaian dengan harapan-harapan teman sejawat, dan mempertimbangkan kesejahteraan orang-orang lain, serta menyatakan rasa terima kasih atas 30
dukungan-dukungannya
di
masa
lalu,
dan
menempatkan
diri
di
antara
orang-orang
lain.
Selanjutnya, apa yang dapat dilakukan oleh orang tua atau pendidik untuk memberi kemungkinan bagi perkembangan moral dari heterenomi ke otonomi dalam peraturan-peraturan moral? Heteronomi dan menjadi
berkurang
ketika
pengalaman-pengalaman memiliki
rasa
saling
anak
dalam
mendapat
lingkungan
yang
hormat-menghormati.
Rasa
hormat timbal balik ini, sukar diciptakan dalam keluarga, karena adanya hubungan-hubungan yang bersifat positif dan negatif. Dalam hal ini harus ditekankan bahwa keluarga adalah merupakan suatu kelompok
kooperatif,
yang
secara
timbal
balik
menetapkan peraturan-peraturan demi keteraturan di dalam
keluarga,
yang
secara
timbal
balik
berkepentingan, dan terkena sanksi apabila perturan itu
dilanggar.
kesalahan, bersama
Apabila
hendaknya anak
dan
ada orang
pelanggaran tua
duduk
membicarakan
atau tenang
akibat-akibat
tindakannya, dan hal ini akan memancing timbulnya empati. Hal ini sangat esensial bagi perkembangannya rasa hormat yang bersifat timbal balik, dan esensial bagi perkembangan ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dalam perkembangan moral anak. Dalam
perkembangan
moral
anak,
perlu
diusahakan penghentian sifat egosentris dan realisme, dan kemudian mengembangkan konsep diri mereka. Perubahan tersebut terjadi melalui proses interaksi anak dengan teman sejawat, yang dapat terjadi dengan 31
dua cara, yaitu: (1) Dalam perkembangan ke arah yang lebih tua, anak itu memiliki kesamaan pandangan yang relatif sama dengan orang-orang dewasa. Anakanak yang lebih tua akan mengurangi rasa hormatnya, kepada mereka yang lebih muda, dan berlangsung sepihak saja, dan memberikan anak itu keyakinan untuk berpartisipasi dengan teman-teman sejawat dalam hal pengambilan keputusan-keputusan tentang perubahan dan aplikasi aturan-aturan atas dasar kemauan timbal balik. Cara berinteraksi seperti itu akan memberikan konsepsi permulaan kepada anak, bahwa aturanaturan lama tidak bisa dipertahankan. Aturan-aturan lama yang dipandang pada masa lalu sebagai aturan yang tidak terbatas, dan bersumber dari Tuhan atau orang dewasa, tetapi sekarang aturan-aturan itu adalah hasil dari kerjasama dan atas persetujuan bersama, dan bisa diubah atas dasar persetujuan bersama. (2) Berinteraksi dengan teman-teman sejawat sering memerlukan pengambilan peran yang saling bergantian dan timbal baik di antara mereka, dan hal ini akan membangkitkan kesadaran bahwa seseorang dikoordinasikan oleh orang-orang lain dan bereaksi terhadap situasi-situasi yang sama dengan cara yang sama. Demikian juga akibat-akibat dari tindakan seseorang pada, teman sejawat dan tindakan mereka pada, dirinya, adalah sama. Anak itu akan menjadi peka terhadap keadaan-keadaaan internal, serta dapat memperhatikan 32
dukungan
atau
pertimbangan-
pertimbangan orang lain. Kesalahan, hendaknya orang tua duduk tenang bersama anak dan membicarakan akibat-akibat
tindakannya,
dan
hal
ini
akan
memancing timbulnya empati. Hal ini sangat esensial bagi perkembangannya rasa hormat yang bersifat timbal balik, dan esensial bagi perkembangan ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dalam perkembangan moral. Dalam kepada
hubungan
peraturan,
diperhatikan,
rasa
ada
yaitu:
(1)
hormat
beberapa Anak
anak-anak hal
perlu
mengembangkan
pengertian mengenai tujuan dan asa-usul peraturan itu melalui aktivitas kerjasama. Pada saat anak mulai turut serta dengan teman-temannya dalam permainan yang
bersifat
kooperatif,
ia
mulai
mengalami
hubungan-hubungan yang mengandung rasa saling menghormati,
ia
melihat
bahwa
teman-teman
sepermainannya itu sama seperti dirinya sendiri, dan ia mengalami bahwa anak lain menaruh hormat kepada dirinya. Sebelumnya, ia hanya mengenal rasa hormat yang unilateral, yaitu rasa hormat yang harus diberikan kepada otoritas orang dewasa. Karena orang itu lebih besar dan lebih kuat, maka anak tidak mengalami
adanya
unsur
timbal
balik
dalam
mengontrol,
dia
dapat
hubungan itu. Orang
dewasa
mengizinkan atau melarangnya, menghukum atau memberi ganjaran. Anak tidak mempunyai persamaan rasa dengan orang dewasa. Justru hubungan rasa 33
hormat unilateral atau pembatasan dari orang dewasa inilah
yang
mengabadikan
tahap
heteronomi.
Peraturan dianggap berasal dari orang-orang dewasa dan dipaksakan oleh mereka, dan hubungan antara anak dengan orang dewasa adalah hubungan rasa hormat, maka dari itu ia patuh. Dalam hubungan dengan teman-teman sejawat, unsur rasa hormat unilateral sudah tidak ada, dan anak-anak berkumpul sebagai sesama. Hal
ini
memberi
permainan
kooperatif,
peraturan
berdasarkan
suasana dan
sosial
untuk
kesepakatan,
untuk
membentuk dan
untuk
mengembangkan otonomi. (2)
Anak pada usia tujuh
atau
menganggap
delapan
tahun
sudah
sepantasnyalah taat dengan pasrah kepada semua peraturan yang mengatur hidup mereka. (3) Anak heteronom, sementara masih menaruh hormat kepada peraturan, belum mempunyai pengertian dan motivasi yang
memadai
untuk
bersikap
konsisten
dalam
melaksanakan peraturan. (4) Hanya pada waktu anak sudah pada tahap otonomi dalam peraturan tertentu, maka
pengertian
dan
hormat
pada
peraturan
mendekati pelaksanaan peraturan. Adapun
tahap-tahap
perkembangan
moral
menurut Lawrence Kohlberg (Mawardi Lubis, 2008: 13-15). Di mana dia membagi tahapan tersebut atas tiga kelompok yaitu Preconventional Level, Conventional Level, Post-conventional Level.
34
Tingkat pertama, prakonvesional level. Anak pada tingkat perkembangan moral ini mulai tanggap terhadap
aturan-aturan
ungkapan-ungkapan
budaya
budaya
dan
mengenai
terhadap baik
dan
buruk, benar dan salah. Namun, hal ini masih ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan. Pada tingkatan ini terdapat dua tahap, yaitu (1) orientasi hukuman dan kepatuhan dan (2) orientasi relativitas instrumental. Tingkat kedua, konvensional level. Pada tingkat ini
anak
hanya
menuruti
harapan
keluarganya,
kelompok atau bangsa dan dipandang sebagai hal yang
bernilai
mengindahkan
dari
dalam
akibat
dirinya
yang
sendiri,
segera
dan
tanpa nyata.
Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya
dan
secara
aktif
mempertahankan,
mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasi diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat. Tingkat kedua ini mempunyai dua tahap sebagai kelanjutan tahap awal, yaitu, (3) orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi, dan (4) orientasi hukum dan ketertiban. Pada tahap orientasi kesepakatan ini, anak memahami bahwa perilaku yang baik adalah menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Selanjutnya pada orientasi hukum dan ketertiban, anak memandang bahwa perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan 35
kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dari dalam dirinya. Tingkat ketiga, pascakonvensional. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral, yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Tingkat ketiga ini memiliki dua tahap, yaitu (5) orientasi kontrak sosial legalitas dan (6) orientasi prinsip etika universal. Pada tahap orientasi kontrak sosial
legalitas,
dirumuskan
perbuatan
dalam
yang
kerangka
baik
hak
cenderung
dan
ukuran
individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Selain itu terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, dan terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan.
2.2.3 Pendekatan Pendidikan Nilai Moral Ada beberapa pendekatan dalam pendidikan moral yang telah dikemukakan oleh para ahli yang memiliki perhatian terhadap pendidikan nilai. Pada umumnya dalam teori perkembangan nilai terdapat bahwa individu 36
dalam dapat
proses
perkembangan
memahami,
seseorang,
menghayati
dan
mengamalkan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Di samping itu juga dapat pula melalui peningkatan kesadaran akan nilai pribadi individu sendiri yang akhirnya kesadaran moral akan muncul pada dirinya. Asumsi yang mendasar pendekatan ini adalah bahwa dalam diri setiap individu terdapat perkembangan kesadaran nilai-nilai yang dapat dibantu melalui penyajian konflik-konflik nilai dialog. Nilai individu harus lebih dikendalikan oleh prinsip etis universal bukan oleh nilai-nilai masyarakat atau nilai individu itu sendiri. Dari beberapa klasifikasi nilai menurut para ahli di
atas,
dapat
disimpulkan
beberapa
pendekatan
pendidikan
nilai
yaitu
tradisional,
pedekatan
kebebasan,
macam
pendekatan pendekatan
memberi contoh dan pendekatan klasifikasi nilai. Pertama pendekatan tradisional ialah pendekatan penanaman dan pembentukan nilai-nilai dengan jalan memberikan nasehat atau indoktrinasi. Tekanan dari pendekatan ini lebih bersifat kognitif, sedangkan segi efektifnya
kurang
dikembangkan.
Dalam
hal
ini,
pendidik telah meyakini adanya nilai-nilai baik/luhur yang dianutnya dan karena itu menghendaki agar anak
didiknya
juga
memiliki
nilai-nilai
tersebut.
Langkah yang ditempuh pendidik dalam pendekatan ini adalah memberitahukan secara langsung nilai-nilai mana yang baik dan yang kurang baik. Kelemahan pendekatan ini ialah anak sekedar tahu hafal jenisjenis nilai tertentu yang baik dan kurang baik, tetapi 37
belum bentuk melaksanakannya. Kedua, pendekatan bebas yaitu proses pembentukan nilai-nilai dengan jalan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak untuk memilih dan menetukan sendiri nilai-nilai yang akan diambilnya. Hal ini ditempuh karena adanya suatu anggapan bahwa belum tentu nilai yang dianggap baik bagi seseorang, baik pula bagi orang lain. Dengan demikian anak didik dibiarkan memilih nilai yang sesuai untuk dianut dan diyakini oleh dirinya sendiri, tanpa adanya intervensi atau campur tangan pendidik. Kelemahan pendekatan ini adalah anak menjadi bingung, sehingga sukar menentukan mana nilai yang baik dan yang tidak baik. Ketiga, pendekatan memberi contoh, ialah pendekatan dimana pendidik yang telah meyakini benar nilai-nilai yang dianutnya akan bertingkah laku sesuai dengan nilainilai tersebut. Ada dua teknik dalam pendekatan ini, yaitu: (1) memberi contoh dalam tingkah laku yang sesuai dengan
nilai-nilai
mengajarkan
yang
nilai-nilai,
dianutnya, sehingga
dan
anak
(2) dapat
membedakan nilai-nilai yang harus dianut maupun yang dilarang. Keempat, pendekatan klarifikasi nilai, ialah suatu pendekatan yang merupakan salah satu usaha untuk membantu anak dalam menentukan nilai-nilai yang dipilihnya, juga merupakan pelengkap dari pendekatan memberi contoh. Dengan pendekatan ini
pendidik
menyadari, 38
diharapkan selanjutnya
dapat dapat
membantu digunakan
siswa untuk
menentukan nilai yang dipilihnya. Pendekatan ini bukan nilai-nilai mana yang dianggap baik, melainkan dititik beratkan pada proses pengambilan nilai.
2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian
yang
mengungkapkan
secara
spesifik tentang implementasi pendidikan nilai siswa dan mempunyai keterkaitan dengan pendidikan nilai, serta penanaman nilai moral, diantaranya adalah sebagai berikut: Penelitian Darmiyati Zuchdi, dkk (2006) yang berjudul “Pengembangan Model Pendidikan Karakter Komprehensif
di
Sekolah
Pembelajaran
Bahasa
Dasar
Terpadu
Indonesia,
IPA
dengan
Dan
IPS
Yogyakarta”. (Proyek Penelitian). Menyimpulkan bahwa konteks
institusional
sekolah
wilayah
Yogyakarta
masih belum secara optimal mendukung pelaksanaan pendidikan karakter karena masih ada sekolah yang suasananya kurang tertib, tidak ada kebebasan, menakutkan,
kompetitif
(tidak
kooperatif),
individualistic, saling iri, tertutup, berorientasi pada prestise bukan prestasi, membuat warga sekolah tidak betah
berada
membosankan, kepemimpinan
di
sekolah,
mekanistik otoriter,
dan
kurang
(kurang
mandiri,
manusiawi),
menyebabkan
warga
sekolah ingin pindah. Bedasarkan hasil penelitian tersebut, juga dikatakan bahwa pola pendidikan karakter
yang
diharapkan
berhasil
adalah
yang
diintegrasikan dalam kegiatan intrakulilkuler dan 39
ekstrakurikuler, menggunakan startegi komprehensif, dan melalui pembiasaan. Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan salah satu referensi tentang kondisi yang ada di beberapa sekolah di Yogyakarta, kota yang sama dimana lokasi penelitian dalam penelitian ini dilakukan. Salah satu pola pendidikan karakter yang diharapkan berhasil adalah yang diintegrasikan dalam kegiatan intrakulikuler. Hal terebut juga berkaitan dengan pola pendidikan nilai yang digunakan dalam penelitian ini, yakni dengan cara mengintegrasikan pendidikan nilai kejujuran, kesabaran, dan ketaatan beribadah dalam proses pembelajaran IPS. Penelitian
Herprawati
(1996)
yang
berjudul
Penanaman Nilai Moral pada PBM di Sekolah Dasar Pakem IV Sleman Yogyakarta (Tesis), berkesimpulan bahwa guru yang diterima oleh anak selama proses belajar mengajar terutama dikarenakan sikap dan perilaku guru yang simpati dan penuh wibawa, sedang yang tidak diterima karena dalam dalam menajalan komunikasi
dan
memperlakukan
anak
tidak
manusiawi. Semua yang menyampaikan pelajaran kepada anak kelas V di sekolah ini berpandangan bahwa, semua anak didik selain harus berprestasi juga harus berperilaku dengan baik. Penelitian yang dilakukan Siti Johariyah (2002) berjudul Nilai Moral dalam Interaksi Belajar Mengajar Sejarah Kebudayaan Islam di MTsN 1 Yogyakarta (Tesis), bekesimpulan bahwa hasil pengajaran SKI yang dirasakan para siswa berkaitan dengan nilai-nilai 40
moral yang sengaja ditanamkan oleh guru adalah kejujuran,
kedermawaan,
keberanian,
dan
kasih
sayang. Hasil pengajaran yang dirasakan oleh para siswa tersebut didukung oleh taraf kemampuan, semangat, dan motivasi yang dimiliki para siswa, disamping keluarga seperti, ibu, bapak, kakek atau nenek. Lebih lanjut disebutkan bahwa implikasi dari kesimpulan hasil penelitian ini menunjukan suatu keadaan
bahwa
guru
SKI
telah
merencanakan
penanaman nilai-nilai norma dalam sutuan pelajaran yang dibuatnya. Guru menyadari tugasnya selain menyampaikan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan SKI, juga menanamkan nilai-nilai moral yang tekandung
di
dalamnya.
Meskipun
demikian
realisasinya dalam proses belajar mengajar, ternyata guru tidak selalu memunculkan aktivitas penanaman nilai-nilai
moral
dimunculkan
tersebut.
oleh
guru
Nilai-nilai terbatas
moral
pada
yang
sifat-sifat
dominan yang dimiliki oleh Khalifah Abu Bakar Siddik, Umar bin Khottob, Utsman bin Affan maupun Ali bin Abu
Thalib,
seperti
kejujuran,
kedermawaan,
keberanian, dan kasih sayang. Penelitian Tutuk Ningsih (2003) yang berjudul Pola Pembinaan Moral Siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Paiton
Probolinggo
Jawa
Timur
(Tesis),
bekesimpulan bahwa, pola pembinaan moral siswa yang dilakukan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Paiton,
sangat
mendukung
keberhasilan
tujuan
pendidikan dalam proses pemeblajaran di sekolah. 41
Pola pembinaan moral siswa melibatkan berbagai komponen yang terkait dalam proses pembelajaran tersebut secara umum yang meliputi, komponen guru, siswa, kepala sekolah, tenaga administrasi karyawan dan
komponen,
keadaan
sarana-sarana
lingkungan
sekolah.
pendukung
serta
Pembinaan
moral
mempunyai arti yang sangat penting khususnya dalam pembinaan sumber
perilaku
daya
siswa
manusia
untuk
yang
menghasilkan
berkualitas
dan
berperilaku positif atau bermoral baik. Dilihat dari latar belakang permasalahan dan tujuan penelitian yang dikaji dalam penelitian di atas, dapat
disimpulkan
tersebut
jelas
bahwa
berbeda,
penelitian-penelitian
meskipun
paradigmanya
mempunyai kesamaan, yaitu dengan menggunakan paradigma dalam
penelitian
kaitannya
kualitatif.
dengan
Namun
penelitian
demikian
yang
sedang
dilakukan, sehingga dapat memberikan pandangan tentang
suatu
kajian
pendidikan
nilai
secara
mendalam dari beberapa aspek atau fokus penelitian. Persoalannya sekarang, adalah pendidikan nilai yang
bagaimana
yang
diterapkan
di
Sekolah
Dasar/Madrasah dan apakah pola yang diterapkan tersebut telah memberikan kontribusi optimal dalam kaitannya dengan pendidikan nilai siswa, atau dengan kata lain apakah perilaku siswa tersebut sudah menunjukan kualitas yang baik. Tolok ukur baiktidaknya perilaku siswa yang dimaksud dalam hal ini adalah nilai moral sesuai dengan akhlak agama islam, 42
jadi bukan nilai-nilai yang berlaku sesuai dengan etika masyarakat dikebanyakan. Sementara etika lebih merupakan kesempatan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Bila suatu masyarakat bercorak religius, maka etika yang dikembangkan pada masyarakat tentu akan bercorak
religius
masyarakat
pula,
bercorak
akan
tetapi
sekuler,
bila etika
suatu yang
dikembangkannya tentu merupakan konkritisasi dari jiwa sekuler. Dengan demikian, etika dapat disamakan dengan akhlak manakala sumber atapun produk budaya sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak. Akan tetapi moral dan etika bisa juga bertentangan dengan akhlak manakala produk budaya itu menyimpang dari fitrah agama yang suci.
2.4 Kerangka Pikir Penanaman
nilai-nilai
moral
melalui
pembelajaran IPS terpadu dimaksudkan agar supaya siswa menjadi manusia berkualitas dan unggul, baik bidang
akademik
maupun
unggul
dalam
bidang
moralitasnya. Untuk menjadikan siswa yang memiliki kualitas tersebut diperlukan suatu proses dan sistem pendidikan nilai yang tepat, sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungannya. Pendidikan nilai dapat dilakukan melalui kegiatan intrkurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler.
Melalui
kegiatan
intrakurikuler
berarti kegiatan pendidikan nilai dilakukan dengan cara mengintegrasikan materi nilai-nilai moral ke 43
dalam
proses
pembelajaran
pada
semua
mata
pelajaran, sedangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan nilai moral kedalam semua kegiatan ekstrakurikuler. Pengintegrasian pembelajaran
IPS
nilai
moral
merupakan
ke
dalam
keharusan
karena
definisi IPS menyebutkan bahwa IPS merupakan studi terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu, agama, politik dan juga nilai moral. Tujuan umum IPS adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap atau mental positif terhadap perbaikan segala
ketimpangan
yang
terjadi,
dan
terampil
mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Pengintegrasian dengan
cara
tersebut
mengembangkan
dapat
dilakukan
masalah-masalah
amoral yang terjadi di masyarakat kemudian siswa diminta
menuliskan
atau
menarasikan
secara
kelompok atau klasikal yang dipandu oleh guru. Masalah-masalah
amoral
dapat
dirumuskan
oleh
siswa atau guru. Dengan cara ini diharapkan siswa menjadi
lebih
sadar
terhadap
tindakan-tindakan
amoral yang harus dihindari. Implementasi penanaman nilai moral dalam proses belajar mengajar di kelas terintegrasi dalam beberapa mata pelajaran. Nilai moral yang ingin diimplementasikan 44
adalah
nilai
keagamaan
yang
meliputi ubudiyah dan muamallah serta nilai sosial (kemasyarakatan).
Implementasi
tersebut
sangat
ditentukan oleh peran guru yang dapat dilihat dari pengatahuan, pengalaman, kepribadian, motivasi dan penampilan mengajar. Pendekatan implementasi
yang
digunakan
penanaman
nilai
dalam
moral
adalah
pendekatan kualitatif dengan materi tentang pola pendidikan
nilai
yang
digunakan
adalah
nilai
keagamaan dan nilai sosial dalam pembelajaran IPS. Implementasi pendidikan nilai moral melalui kegiatan ekstra kurikuler dalam IPS dapat dilakukan di luar kelas
melalui
kegiatan-kegiatan,
seperti
ceramah
agama, diskusi, bakti sosial dan kegiatan latihan pramuka,
PMR
implementasi
serta
kesenian.
pendidikan
nilai
Di
samping
melalui
itu
kegiatan
ekstrakurikuler dapat dilihat dari pelaksanaan ibadah dan amaliah siswa di sekolah atau di rumah. Pada akhirnya melalui proses implementasi pendidikan nilai dengan
peran
lingkungan
kepala
sekolah
pendukung
dan
guru
diharapkan
serta dapat
mewujudkan perilaku siswa yang baik sehingga hasil belajar berupa pendidikan nilai keagamaan dan sosial diwujudkan. Di samping itu juga dapat dilihat dari perubahan perilaku siswa, seperti cita-citanya, sikap dan pola pikirannya. Sedangkan hasil belajar siswa secara akademik dapat dilihat dari nilai raport. Dari segi
moralitas
hasil
belajar
siswa
dilihat
dari
45
kepribadian dan perilaku sesuai dengan ajaran moral agama (Islam).
2.5 Hipotesis Tindakan 1. Melalui pembelajaran IPS nilai moralitas siswa kelas V tahun 2010/2011 di SD Negeri Sidomukti 03 Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang dapat meningkat. 2. Melalui aktivitas individual, kelompok dan klasikal setelah pembelajaran IPS nilai moralitas siswa kelas V tahun 2010/2011 SD Sidomukti 03 Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang dapat meningkat
46