BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Nilem Ikan nilem (Osteochilus hasselti) merupakan salah satu komoditas budidaya yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Hal tersebut dikarenakan ikan nilem (Gambar 1) merupakan salah satu ikan yang digemari oleh masyarakat baik untuk dibudidayakan maupun untuk dijadikan sebagai produk olahan bahan pangan. Produk olahan ikan nilem yang digemari masyarakat antara lain pindang, dendeng dan baby fish (Rahardjo dan Marliani 2007 dalam Mulyasari 2010). Proses budidaya ikan nilem dapat berupa pembenihan, pendederan dan pembesaran ataupun gabungan dari ketiga proses tersebut. Ikan nilem dapat dibudidayakan sebagai komoditi utama ataupun digunakan sebagi komoditi tambahan dalam suatu proses budidaya. Alasan utama ikan nilem dijadikan sebagai komoditi utama dalam suatu proses budidaya yaitu karena ikan nilem mudah dibudidayakan, memiliki sintasan dan reproduksi yang tinggi serta tahan terhadap penyakit. Sedangkan alasan ikan nilem digunakan sebagai komoditi tambahan dalam suatu proses budidaya yaitu ikan nilem dapat digunakan sebagai biocleaning agent karena sifatnya yang suka memakan detritus dan perifiton. Keberadaan ikan nilem pada kolom air antara jaring terluar dan jaring dalam mampu menekan populasi perifiton dan memanfaatkan ekses pakan ikan mas yang dipelihara pada jaring (Kusdiarti 2011).
Gambar 1. Ikan nilem (Osteochilus hasselti)
6
7 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nilem Ikan nilem merupakan salah satu ikan air tawar yang termasuk dalam family Cyprinidae. Klasifikasi ikan nilem menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Pisces
Ordo
: Ostariophysi
Sub-ordo
: Cyprinoidea
Family
: Cyprinidae
Sub-family
: Cyprininae
Genus
: Osteochillus
Species
: Osteochillus hasselti
Ikan nilem mempunyai bentuk tubuh hampir sama dengan ikan mas, namun ikan nilem mempunyai kepala yang relative lebih kecil. Ikan nilem mempunyai dua pasang sungut peraba pada sudut – sudut mulutnya (Susanto 2006), bentuk tubuh yang memanjang dan pipih ke samping (compress), panjang baku 2,5 – 3,0 kali tinggi badan, mulut dapat disembulkan dengan bibir berkerut dan permukaan punggung terletak di permukaan sirip dada (Hardjamulia 1979 dalam Wijayanti 2002). Ikan nilem digolongkan menjadi dua menurut warna sisiknya, yaitu ikan nilem yang berwarna cokelat kehitaman atau cokelat hijau pada punggungnya dan terang dibagian perut dan ikan nilem yang berwarna merah pada bagian punggungnya dengan bagian perut agak terang (Hardjamulia 1978 dalam Wijayanti 2002). Ciri-ciri lain dari ikan nilem yaitu sirip punggung memiliki 3 jari – jari keras dan 12 – 18 jari – jari lemah. Sirip ekor berbentuk cagak dan simetris, sirip dubur terdiri dari 3 jari – jari keras dan 5 jari – jari lunak. Sirip perut terdiri dari oleh 1 jari – jari keras dan 13 – 15 jari – jari lemah. Jumlah sisik gurat sisi ada 33 – 36 keping serta dapat mempunyai panjang tubuh mencapai 32 cm di alam bebas
8 (Susanto 2006). Menurut Kottelat (1993) dalam Mulyasari (2010) ikan nilem mempunyai bintik bulat besar pada batang ekor, batang ekor dikelilingi 16 sisik dan bagian depan sirip punggung dikelilingi 26 sisik.
2.1.2 Distribusi Ikan Nilem Distribusi atau daerah persebaran ikan nilem diantaranya yaitu di Indonesia (pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi), Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Kamboja (Djajadireja et al. 1977 dalam Wicaksono 2005). Ikan nilem (Osteochilus hasselti) di Indonesia dikenal dengan berbagai nama diantaranya yaitu nilem, milem, lehat, monto, palong, palouw, pawas, assang dan penopa (Susanto 2006). Ikan nilem merupakan ikan endemik Indonesia yang biasa hidup pada sungai-sungai, danau dan rawa-rawa yang terdapat di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Ikan tersebut kemudian dibudidayakan di kolam-kolam untuk tujuan komersial sejalan dengan perkembangan jaman. Keberadaan ikan nilem di Indonesia kurang begitu dikenal masyarakat kecuali di Jawa Barat. Hampir 80 % produksi nasional ikan nilem berasal dari Jawa Barat (Cholik et al. 2005 dalam Mulyasari 2010).
2.1.3 Kualitas Air Habitat Ikan Nilem Ikan nilem hidup di lingkungan air tawar dengan kisaran pH antara 6,0-7,0 dan kandungan oksigen terlarut yang cukup (Cholik et al. 2005 dalam Mulyasari 2010). Ikan nilem akan melakukan pemijahan pada kondisi oksigen berkisar antara 5 – 6 ppm, karbondioksida bebas yang optimum untuk kelangsungan hidup ikan yaitu ≤ 1 ppm (Willoughby 1999). Suhu yang optimum untuk kelangsungan hidup ikan nilem berkisar antara 18 – 28 0C dan ketinggian sampai 800 m di atas permukaan laut dengan ketinggian optimal antara 400 – 700 m (Hardjamulia 1978 dalam Wicaksono 2005). Sedangkan menurut PBIAT Muntilan (2007) untuk kandungan ammonia yang disarankan adalah lebih rendah dari 0,5 ppm.
9 2.1.4 Kebiasaan Makan Ikan Nilem Ikan nilem dikelompokkan sebagai omnivora (pemakan segala). Pakannya terdiri dari detritus, jasad-jasad penempel, perifiton dan epifiton sehingga ikan ini lebih sering hidup di dasar perairan (Khairuman dan Amri 2008 dalam Pratiwi et al. 2011). Selain itu ikan nilem termasuk pemakan plankton dan tumbuhan air (Huet 1970 dalam Wicaksono 2005). Pada stadia larva dan benih, ikan nilem memakan fitoplankton dan zooplankton atau jenis alga ber-sel satu seperti diatom dan ganggang yang termasuk ke dalam kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae (Syandri, 2004; Cholik et al. 2005 dalam Mulyasari 2010).
2.1.5 Reproduksi dan Fekunditas Ikan Nilem Reproduksi adalah kemampuan indivudu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenis atau kelompoknya (Fujaya 2004 dalam Listiyono 2011). Sedangkan fekunditas ikan adalah jumlah telur yang terlepas pada ovarium sebelum berlangsungnya pemijahan. Pada umumnya fekunditas berhubungan erat dengan berat badan, panjang badan, umur ukuran butir telur dan cara penjagaan (parental care). Ikan yang mempunyai kebiasaan tidak menjaga telur – telurnya setelah memijah, umumnya mempunyai fekunditas yang tinggi. Selain itu fekunditas yang tinggi juga dimiliki oleh ikan – ikan yang mempunyai ukuran telur yang kecil. Fekunditas ikan dapat dihitung dengan berbagai cara, yaitu metode jumlah, metode volumetrik, metode grafimetrik atau metode berat dan metode van bayer (Sutisna et al. 1995). Ikan nilem memiliki potensi reproduksi dan fekunditas yang cukup tinggi. Sepasang nilem berukuran 100 – 150 g dapat menghasilkan telur sebanyak 15.000 – 30.000 ekor (Susanto 2006). Telur ikan nilem banyak mengandung kuning telur yang mengumpul pada suatu kutub, tipe telur yang demikian dinamakan Telolechital (Semantadinata 1981 dalam Listiyono 2011). Warna telur ikan nilem transparan dan bersifat demersal atau terbenam di dasar perairan. Telur ikan nilem mempunyai diameter berkisar antara 0,8 mm – 1,2 mm (Triyani 2002).
10 Pemijahan ikan nilem secara alami di mulai pada awal musim penghujan. Ikan nilem bersifat ovipar dan melakukan pembuahan di luar tubuhnya. Induk jantan ikan nilem mulai memijah pada umur sekitar satu tahun dengan panjang sekitar 20 cm dan berat antara 80–100 g. Sedangkan untuk induk betina mulai memijah pada umur 1 tahun dengan berat di atas 120 g (Cholik et al. 2005 dalam Mulyasari 2010). Ikan nilem termasuk ikan yang produktif karena dapat dipijahkan tiga sampai empat kali dalam setahun. Induk yang akan dipijahkan, diberok atau dipuasakan terlebih dahulu selama tiga sampai tujuh hari untuk membuang kotoran dalam perutnya. Pemberokan dilakukan pada kolam yang terpisah antara induk jantan dan betina agar tidak terjadi pemijahan yang tidak diharapkan atau pemijahan yang tidak terkontrol (Susanto 2006). Menurut Cassie dan Effendie (1979) dalam Listiyono (2011) berat rata – rata dan panjang total untuk ikan nilem diantaranya: 1. Berat rata – rata induk betina 200,7 g, panjang total rata – rata induk betina 28,7 cm, dan 2. Berat rata – rata induk jantan 187,3 g, panjang total rata – rata induk jantan 28,2 cm. Keberhasilan pemijahan sangat ditentukan pada faktor induk dan pengaturan lingkungan pemijahan (Susanto 2006). Oleh karena itu, diperlukan pemilihan induk yang memenuhi persyaratan induk yang baik untuk proses pemijahan. Berikut ini merupakan ciri-ciri induk ikan nilem yang berkualitas menurut Susanto (2006): Tabel 1. Ciri induk ikan nilem yang berkualitas Betina
Jantan
1. Umur mencapai 1 – 1,5tahun. 2. Berat badan sekitar 100 g.
1. Perutnya mengembang dan terasa empuk ketika diraba
3. Bila diurut pelan – pelan kearah
2. Berumur 8 bulan.
lubang genitalnya, induk betina
3. Berat badan sekitar 100 g.
akan
4. Bila dipijat perut kearah genitalnya,
mengeluarkan
cairan
berwarna kekuning – kuningan.
induk betina akan mengeluarkan cairan seperti susu..
11 2.2 Testis Sapi Testis sapi merupakan salah satu organ reproduksi pada sapi jantan. Testis sapi jarang dimanfaatkan untuk dikonsumsi sehingga dapat digolongkan sebagai produk sampingan bahkan merupakan limbah dari sebagian besar proses pengolahan sapi. Testis sapi segar (Gambar 2) mengandung hormon testosteron alami berkisar 2.300-27.700 pg/g testis dan protein 63,49% (Iskandariah 1996 dalam Muslim 2010).
Gambar 2. Testis Sapi Segar
Menurut Murni dan Jenny (2001) dalam Muslim (2010), kandungan hormon testosteron dari testis sapi yang dijadikan tepung (Tepung Testis Sapi/TTS) berkisar antara 142,8-1204 ng/g. Sedangkan berdasarkan analisis kandungan hormon testosteron pada Tepung Testis Sapi (Gambar 3) dengan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) menunjukkan bahwa kandungan testosteron yang terdapat dalam TTS yaitu sebesar 10,01 µg /g TTS (Muslim 2010).
Gambar 3. Tepung Testis Sapi
12 Kandungan hormon testosteron yang terdapat pada Testis Sapi dapat digunakan sebagai bahan pada manipulasi hormonal untuk mempercepat proses perkembangan gonad dan memperbanyak fekunditas. Selain itu, penggunaan testis sapi juga dapat mengurangi biaya produksi pemeliharaan ikan jika dibandingkan dengan penggunaan hormon testosteron sintetis (17α-metiltestosteron) yang beredar dipasaran.
2.3 Kinerja Reproduksi Kinerja reproduksi merupakan suatu proses yang berkelanjutan pada ikan akibat adanya rangsangan dari luar ataupun dari dalam tubuh ikan itu sendiri. Rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan hormonal ataupun rangsangan lingkungan. Rangsangan hormonal yang terjadi pada induk ikan betina berbeda dengan induk jantan. Pada induk betina, rangsangan hormonal ditujukan untuk pembentukan telur dan pematangannya, sedangkan pada ikan jantan rangsangan tersebut untuk pembentukan sperma (Permana 2009). Perkembangan gonad pada ikan membutuhkan hormon gonadotropin (GtH). Hormon gonadotropin merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar pituitari. Hormon gonadotropin tersebut kemudian dibawa oleh darah ke dalam sel teka yang berada pada gonad untuk menstimulasi terbentuknya testosteron. Testosteron yang terbentuk kemudian akan masuk ke dalam sel granulosa untuk diubah oleh enzim aromatase menjadi hormon estradiol 17β. Hormon estradiol 17β kemudian dialirkan oleh darah kedalam hati untuk mensintesis vitelogenin. Vitelogenin yang dihasilkan kemudian dialirkan kembali oleh darah kedalam gonad untuk diserap oleh oosit sehingga penyerapan vitelogenin ini disertai dengan perkembangan diameter telur (Sumantri 2006). Proses pembentukan vitelogenin tersebut akan terus berlangsung di dalam tubuh ikan. Proses pembentukan vitelogenin dinamakan vitolegenesis (Nagahama 1987; Yaron 1995; Cerda et al. 1996 dalam Pamungkas 2006). Penyerapan vitelogenin akan terhenti pada waktu oosit mencapai ukuran maksimal atau telur mencapai kematangan. Selanjutnya telur memasuki masa dorman menunggu sinyal lingkungan untuk ovulasi dan pemijahan (Sarwoto 2001).
13 Menurut Nagahama et al. (1995) dalam Permana (2009), proses pematangan oosit terjadi karena rangsangan Leutinizing Hormon (LH) pada folikel gonad. Rangsangan tersebut menyebabkan gonad menghasilkan hormon steroid yaitu 17α-hidroksi progesteron (terbentuk pada sel teka) dan 17α,20βdihidroksi-4-pregnen-3-one (terbentuk pada sel granulosa). Hormon 17α,20βdihidroksi-4-pregnen-3-one inilah yang mempunyai peranan sebagai mediator kematangan oosit lebih lanjut. Menurunnya produksi estradiol 17β dan aktivitas aromatase, ternyata diikuti oleh peningkatan testosteron dan 17α,20β-dihidroksi4-pregnen-3-one (17α,20β-DP) sehingga oosit mengalami GVBD (germinal vesicle break down) dan berakhir pada ovulasi. Ovulasi merupakan proses keluarnya sel telur (yang telah mengakhiri pembelahan miosis kedua) dari folikel ke dalam lumen ovarium atau rongga perut (Nagahama 1987 dalam Permana 2009). Menurut Basuki (2007) dalam Permana (2009), mekanisme hormonal untuk vitelogenesis, pematangan serta ovulasi oosit melibatkan GnRH, gonadotropin, estradiol 17β, testosteron, 17α-20β dihidroksi progesteron dan aromatase.
2.4 Tingkat Kematangan Gonad pada Ikan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan pada umumnya adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu berpijah (Effendie 1997). Selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad (Effendie 1979). Pada ikan betina peningkatan perkembangan gonad tersebut kemudian akan diikuti dengan adanya perkembangan telur. Semakin bertambahnya TKG maka telur yang ada dalam gonad akan semakin besar. Saat ini telah diketahui dua macam cara dalam penentuan TKG pada ikan, yaitu penentuan secara mikroskopik dan penentuan berdasarkan tanda – tanda umum serta ukuran gonad. Penentuan sifat kematangan gonad secara mikroskopik dilakukan dengan cara mengamati perkembangan telur maupun sperma yang ada pada ikan dengan menggunakan mikroskop. Sedangkan penentuan TKG berdasarkan tanda-tanda umum dilakukan dengan mengamati menggunakan mata bagaimana ciri – ciri fisik dari gonad ikan (Effendie 1997).
14 Tabel berikut ini merupakan Tingkat Kematangan Gonad ikan semah (Tor dourenensis) betina yang merupakan salah satu ikan dari kelas Cyprinidae yang diketahui berdasarkan tanda – tanda umum pada perkembangan gonad menurut Hardjamulia et al. (1995): Tabel 2. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Semah (Semah Carp) Betina. Tingkat Kematangan
Karakteristik
Gonad (TKG) Ovari kecil memanjang berbentuk torpedo, butir – butir telur belum Nampak. Indeks Gonad Somatik (IGS) sekitar 0,57 – 0,7. Hanya terdapat oosit stadium I, yang secara acak berderet I
berada di tepi dinding lamela. Di dalam lamela terdapat sebuah septa sebagai penunjang. Septa seperti halnya dinding ovari, terdiri dari jaringan pengikat dengan fibroblast, serat kolagen dan otot halus. Pembuluh darah biasanya terdapat di dalam stroma lamela. Ovari pada tingkat ini memiliki IGS sekitar 1,6 – 2,1. Pada
II
ovari nampak butir – butir telur. Secara mikroskopis pada ovari tingkat ini terdapat oosit tertua pada stadium II dan oosit stadium I dengan persentase yang paling tinggi. Ovari memiliki nilai IGS 3,1 – 4,7. Secara visual pada ovari terdapat butir – butir telur yang lebih besar dan bervariaasi
III
ukurannya. Ovari mengisi sekitar 70 % rongga perut. Pengamatan histologis ovari pada tingkat ini terdapat oosit tertua pada stadium III, disamping oosit stadium I dengan frekuensi yang tinggi (60 %) dan oosit stadium II (26 %). Ovari tingkat IV memiliki Nilai GSI 5,99 – 6,51. Ikan pada
IV
tingkat ini sudah siap memijah, yang dicirikan oleh perut yang membengkak terutama di daerah atas urogenital. Lubang urogenital berwarna putih. Ovari mengisi seluruh rongga perut.
15 Butir – butir telur yang berukuran relatif besar, terdiri dari empat tingkat ukuran jelas terlihat dengan mata telanjang. Keempat ukuran telur dalam ovarium, sebelum proses histology, berukuran sekitar 2,9; 2,0; 1,5 dan 1,0 mm (Hardjamulia dkk 1995). Pada pengamatan histologi, ovari pada tingkat ini mempunyai oosit stadium tertua (stadium IV) yang dapat dilihat dari inti sel yang sudah migrasi ke tepi. Hal ini menunjukkan bahwa ikan sudah siap memijah. Hal yang menarik adalah oosit stadium IV mempunyai tiga kelompok ukuran dengan variasi ukuran telur sekitar 1.500 – 2.200 µm dengan jumlah frekwensi 12 %. Di samping oosit stadium IV terdapat pula oosit stadium I, II dan III. Variasi ukuran oosit yang tidak besar perbedaannya tersebut menunjukkan bahwa pemijahan jenis ikan ini dapat diduga berlangsung beberapa kali dalam setahunnya. Pemijahan dimulai dari proses ovulasi oosit stadium IV dengan ukuran terbesar dan dalam waktu yang tidak lama diikuti oleh oosit yang lebih kecil pada stadium yang sama. Selama oosit stadium IV belum selesai berpijah, oosit stadium III tetap mempertahankan dirinya pada stadium tersebut. Setelah oosit stadium IV selesai dikeluarkan pada waktu pemijahan, oosit stadium III berkembang menjadi stadium IV. Pada ovari tingkat IV ini nampak adanya oosit atresia, dengan frekuensi 0,8 % yang diduga berasal dari oosit stadium III yang gagal menjadi oosit stadium IV. Salah satu factor penyebab terbentuknya oosit atresia adalah karena tekanan lingkungan antara lain adanya perubahan kualitas air, serta kualitas dan jumlah makanan. V
Ovari tingkat ini terdapat pada ikan yang sudah memijah. Pada umumnya, pada ovari ikan yang berada pada tingkat ini
16 terdapat sisa – sisa folikel yang bentuknya tidak teratur yang tersebar di dalam stroma lamela.
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa perkembangan TKG sejalan dengan adapnya perkembangan oosit. Tabel berikut ini merupakan tingkat perkembangan oosit ikan semah (Tor dourenensis) betina yang merupakan salah satu ikan dari kelas Cyprinidae menurut Hardjamulia et al. (1995): Tabel 3. Tingkat Perkembangan Oosit Ikan Semah (Semah Carp) Betina . Tingkat Perkembangan
Karakteristik
Oosit Oosit stadium I. Oosit primer berukuran sekitar 30 – 120 µm. I
Inti berbentuk bundar atau sedikit oval berukuran 15 – 40 µm
(Growth
dengan kromatin yang nampak dengan jelas serta adanya
phase :
beberapa nucleoli berukuran 3,8 – 5,0 µm yang berada pada
Chromatin +
perifer inti. Lapisan sitoplasma terisi oleh substansi yang halus,
perinucleus)
tanpa terihat adanya vesikula atau granula kuning telur. Oosit tersusun berderet di daerah pinggir dekat membrane lamela. Oosit stadium II. Oosit berukuran 500 – 550 µm dan inti berukuran 150 – 160 µm. pada perifer sitoplasma (dekat membrane sel) sudah mulai nampak lapisan vesikula kuning
II
telur, yang pada akhir stadium ini vesikula kuning telur
(Yolk vesicles)
menutup sebagian besar sitoplasma sampai ke daerah inti. Vesikula kuning telur berukuran 8 – 23 µm. Membran oosit merupakan lapisan tipis dengan ketebalan sekitar 6 – 8 µm. Pada stadium ini tidak terdapat granula kuning telur.
III (Yolk Vesicles and granules)
Oosit stadium III. Oosit berukuran 900 – 1.50 µm, dengan inti sekitar 170 – 180 µm. proses vitelogenesis sudah terjadi yang ditunjukkan dengan adanya granula kuning telur, dimulai di daerah inti kemudian menyebar ke tengah dan ke tepi
17 sitoplasma. Pada akhir stadium ini, hampir seluruh sitplasma kecuali di daerah tepi dekat oolema terisi granula kuning telur. Inti sel masih belum migrasi, berada di tengah sel. Oosit stadium IV. Oosit berukuran antara 1.500 – 2.200 µm. Terdapat dua tipe oosit yang tergolong stadium IV, yaitu oosit berukuran sekitar 1.500 – 1.600 µm dan oosit berukuran 2.200 µm. Hal yang menarik dari kedua tipe oosit tersebut adalah inti sudah migrasi dan berada pada pertengahan sel, yaitu antara IV
titik dengan tengah oosit dan oolema mendekati lubang
(Yolk granules mikropil agar mudah terjadi proses pembuahan. Oosit tipe and cortical
pertama mempunyai lapisan vesikula kuning telur yang lebih
alveoli)
tebal dari pada tipe kedua yang merupakan korteks alveoli. Granula kuning telur hampir menutupi seluruh sitoplasma, kecuali di bagian tepi dekat oolema masih terdapat vesikula kuning telur atau alveoli korteks. Alveoli ini berperan pada proses pembuahan dengan mengeluarkan substansi ke ruang perivitelin. Oosit stadium V. Stadium oosit atresia (corpora atresia praovulasi)
ditemukan
dalam
ovarium
pada
tingkat
perkembangan IV (oosit yang tertua pada stadium IV). Oosit atresia berukuran 800 – 850 µm. Nampaknya atresia terjadi pada oosit yang mengalami perkembangan dari stadium III ke V
stadium IV. Stadium oosit atresia pada ikan semah yang
(Atretic
berasal dari perairan umum ini sama dengan yang diamati pada
oocytes)
ikan mas yang dibudidayakan. Stadium oosit artesis pada ikan semah hanya ditemukan pada stadium α (kasifikasi Khoo 1975) dengan ciri khas adanya oolema yang berkelok – kelok tidak teratur dan menebal. Pada ikan mas oolema yang berkelok – kelok ini disebabkan oleh pengerutan oosit yang mengalami dehidrasi. Pada tahapan artesis ini sel granulosa
18 yang tadinya merupakan sinsitium (protoplasma berinti banyak) berubah menjadi sel tunggal. Sel granulosa tersebut menghasilkan ”disintegrating ferment”
yang melarutkan
oolema dan granul kuning telur menjadi partikel yang lebih kecil dan dapat diabsorpsi dan fagositosis. Jumlah oosit artesis pada ikan semah relative kecil (± 0,8 %) dibandingkan pada ikan mas yang besarnya antara 0,97 – 5,76 %.
2.5 Indeks Kematangan Gonad Indeks kematangan gonad (IKG) atau Indeks Somatik Gonad (ISG) di hitung untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif. Indeks yang biasa juga dinamakan sebagai “Maturity” atau “Gonado Somatic Index (GSI)” tersebut adalah suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk berat gonad dikalikan dengan 100 % (Effendie 1979). Nilai indeks tersebut akan sejalan dengan perkembangan gonad, indeks itu akan semakin bertambah besar dan nilai tersebut akan mencapai batas kisar maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Hal tersebut terjadi karena didalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar hasil metabolism tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad semakin bertambah berat dibarengi dengan semakin bertambah besar ukurannya termasuk diameter telurnya. Berat gonad akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah, kemudian berat gonad akan menurun dengan cepat selama pemijahan sedang berlangsung sampai selesai. Ikan yang memiliki IKG mulai dari 19% ke atas sudah sanggup mengeluarkan telurnya dan dianggap matang. Indeks tersebut akan menurun menjadi 3 – 4 % sesudah ikan tersebut memijah (Effendie 1979).
2.6 Kematangan Telur Ikan Proses kematangan telur atau oocyte maturation (OM) ditentukan berdasarkan kriteria pergeseran posisi inti telur menuju kutub animal (germinal
19 vesicle migration) dan peluruhan atau penghancuran membran telur. Berdasarkan pergeseran posisi inti tersebut terdapat empat kriteria posisi inti telur sebelum telur tersebut dapat diovulasikan yaitu central germinal vesicle (cGV) atau tahap inti ditengah, migrating germinal vesicle (mGV) atau tahap inti yang bermigrasi dari tengah menuju tepi, peripheral germinal vesicle (pGV) atau tahap inti di tepi dan germinal vesicle breakdown (GVBD) atau tahap inti yang telah melebur (Gambar 4) (Yaron dan Levavi 2011). Berdasarkan posisi inti tersebut tingkat kematangan telur (TKT) atau oocyte maturation (OM) dibagi menjadi dua tahap yaitu fase vitelogenik yang ditandai dengan posisi inti telur yang berada ditengah (cGV) dan fase pematangan telur (final oocyte maturation). Fase pematangan telur dibagi kembali menjadi dua yaitu fase awal matang yang ditandai dengan adanya pergerakan atau migrasi posisi inti telur (mGV dan pGV) dan fase akhir kematangan telur yang ditandai dengan adanya peluruhan membran inti telur atau germinal vesicle breakdown (GVBD) (Mylonas et al. 2010)
Gambar 4. Gambaran Hubungan Kelenjar Pituitari – Gonad pada Ikan Betina selama (a) Proses Vitelogenesis dan (b) Proses Pematangan Telur dan Ovulasi (Yaron dan Levavi 2011) Fase vitelogenik diawali dengan adanya penyerapan prekursor kuning telur (vitelogenin/vtg) oleh oosit. Vitelogenin merupakan hasil sintesa hati pada proses vitelogenesis. Vitelogenin yang telah disintesa oleh hati kemudian dialirkan oleh darah menuju ovarium. Vitelogenin tersebut selanjutnya diseleksi dan dipisahkan
20 oleh folikel ovarium yang telah berkembang melalui reseptor spesifik (VtgRs) kemudian dilapisi oleh vesikel dan bergerak ke oolema perifer (Hiramatsu et al . 2006 dalam Mylonas et al. 2010). Vesikel tersebut bergabung dengan lisosom sehingga membentuk badan multivesikular (Multivesicular Body/MVB ) yang akan berkembang (bertambah besar) dan secara bertahap berubah menjadi butiran kuning telur kecil (yolk granules) dan kemudian menjadi ke butiran kuning telur besar (yolk globules) (Le Menn et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010). Badan multivesikuar tersebut juga mengandung enzim lisosom berupa cathepsin D yang berfungsi memecah vitelogenin menjadi polipeptida kuning telur. (Cerda et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010). Hasil akhir dari pemecahan vitelogenin secara enzimatik tersebut terdiri dari lipovitellin (Lv), phosvitin (Pv) dan komponen β (β -c). Lipovitelin adalah protein kuning telur banyak mengandung lipid dan terdiri dari dua polipeptida yaitu rantai panjang lipovitellin (lipovitellin heavy chain/LvH) dan rantai pendek lipovitellin (lipovitellin light chain/LvL). Phosvitin adalah protein kuning telur yang lebih kecil dimana lebih dari setengah residu asam amino yang terkandung di dalamnya banyak mengandung fosfor sehingga vitelogenin mempunyai sifat mengikat kalsium. Komponen β adalah protein kuning telur ketiga yang biasanya tidak mengandung lipid atau fosfor (Hiramatsu et al. 2006 dalam Mylonas et al. 2010). Lipovitellin berfungsi sebagai sumber nutrisi asam amino dan lipid untuk perkembangan embrio, phosvitin berfungsi sebagai sumber mineral yang diperlukan untuk perkembangan rangka dan system metabolik, sedangkan fungsi dari komponen β baik secara fisiologis atau nutrisi sampai sejauh ini belum ditemukan (Hiramatsu et al. 2006 dalam Mylonas et al. 2010). Akhir dari fase vitelogenik adalah ketika akumulasi protein kuning telur telah mencapai batas maksimum serta mRNA untuk perkembangan embrio telah selesai dibentuk di dalam oosit. Proses setelah fase vitelogink adalah terjadinya fase pematangan telur (oocyte maturation/OM) yang distumulasi oleh hormon (Kinsey et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010). Pada fase pematangan telur terjadi perubahan morfologi secara drastis pada oosit yang disertai dengan perkembangan meiosis. Perubahan yang paling mencolok adalah peleburan lipid
21 droplet dan globul kuning telur yang menyebabkan perubahan pada sitoplasma dari oosit tersebut sehingga inti telur (germinal vesicle/GV) mengalami migrasi dari tengah menuju tepi oosit dan kemudian membran inti mengalami peleburan (germinal vesicle breakdown/GVBD ). Perubahan lain yang terjadi adalah adanya peningkatan volume telur yang disebabkan oleh adanya aktivitas penyerapan air (Cerda et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010).