BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Perilaku Prososial
2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Baron dan Byrne (2005) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan hal tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong. Menurut Batson (dalam Taylor et.al., 2009), perilaku prososial mencakup kategori yang lebih luas yang merupakan tindakan membantu orang lain, terlepas dari motif penolong. Sedangkan menurut Mussen (dalam Suroso, 2008), perilaku prososial merupakan perilaku yang menguntungkan orang lain, serta perilaku yang mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain. Selanjutnya menurut Penner et.al. (dalam Aronson et.al, 2010), perilaku prososial merupakan setiap tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan orang lain. Berdasarkan pengertian dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah tindakan menolong orang lain guna memperbaiki situasi penerima bantuan tanpa melihat apa yang mendasari penolong untuk melakukan tindakan menolong.
9
2.1.2 Tipe-tipe Perilaku Prososial Gambar 2.1 Tipe-tipe Perilaku Prososial
Sumber: Kenrick, D., Neuberg, S., Cialdini, R (1999). Social Psychology: Unraveling the Mystery. Massachusetts: A Viacom Comppany
Dalam perilaku prososial, menurut Bar-Tal et al., terdapat tipe-tipe yang lebih terbatas, yaitu belas kasih dan altruisme murni. Belas kasih (benevolence), mengacu pada tindakan yang dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain tetapi tidak memberikan imbalan eksternal atau pengakuan untuk penolong, namun hanya memberikan imbalan internal untuk penolong seperti rasa senang
10
karena sudah dapat menolong (dalam Kenrick et. al., 1999). Sedangkan altruisme murni (pure altruism) menurut Batson & Shaw mengacu pada memberikan manfaat kepada orang lain dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Dalam kategori perilaku membantu ini, bantuan terjadi tanpa mempertimbangkan imbalan eksternal atau internal untuk penolong. Mungkin akan ada imbalan, akan tetapi imbalan tersebut tidak menjadi alasan untuk membantu (dalam Kenrick et. al., 1999). 2.1.3 Aspek-aspek Perilaku Prososial Mussen (dalam Suroso, 2008) mengungkapkan bahwa aspek-aspek perilaku prososial meliputi: a.
Menolong (Helping) Menolong dapat dipahami sebagai bentuk-bentuk tindakan yang memiliki
konsekuensi yang memberikan manfaat terhadap orang lain. Menolong orang lain dapat dengan cara meringankan beban fisik atau psikologis orang tersebut. b.
Simpati (Sympathy) Bersimpati yaitu perasaan yang tidak hanya merasakan penderitaan orang
lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan orang lain. Sehingga perilaku prososial dalam bentuk simpati lebih mengacu pada memberikan dukungan emosional seperti menghibur dan mendengarkan. c.
Kerjasama (Cooperation) Perilaku
dimana
kelompok
bekerja
secara
bersama-sama
untuk
mendapatkan tujuan yang sama. perilaku prososial ini menguntungkan kedua
11
belah pihak. Perilaku ini menjelaskan bahwa perilaku bekerjasama tidak hanya menguntungkan diri sendiri, akan tetapi berdasarkan kesepakatan untuk baik mencapai keuntungan bersama ataupun bukan untuk keuntungan bersama. d.
Menyumbang (Donating) Perilaku memberikan hadiah atau sumbangan kepada orang lain. Pada
perilaku prososial, menyumbang dapat dilakukan dengan memberikan uang pada pengemis, mendonorkan darah dan menyumbang untuk tempat-tempat ibadah. e.
Memperhatikan Kesejahteraan Orang Lain (Altruisme) Peduli terhadap permasalahan orang lain serta mengambil bagian untuk
menolong orang lain yang dilakukan tanpa pamrih. 2.1.4 Tujuan Perilaku Prososial a.
Mencapai Keuntungan Genetik dan Material Manusia akan terus mempertahankan genetik mereka untuk terus dapat
diteruskan di generasi yang akan datang. Satu pemisah yang mendalam untuk memahami dan memprediksi pada saat membantu menunjukkan bahwa orangorang mungkin menerima resiko pribadi serta kehilangan jika kemungkinan gen mereka akan bertahan hidup. Akibatnya, bantuan paling sering diberikan kepada kerabat (Kenrick et. al., 1999). Sedangkan dalam konsep bantuan timbal balik (reciprocal aid), sebagaimana yang diuraikan oleh Trivers (dalam Kenrick et. al., 1999), membantu seringkali saling kooperatif sehingga manfaat dari penolong dalam memberikan bantuan akan kembali. Kita belajar bahwa seluruh masyarakat memiliki norma timbal balik yang mewajibkan manusia untuk mengembalikan manfaat yang telah didapat.
12
b.
Mencapai Status Sosial dan Penerimaan Karena perilaku menolong akan tampak positif di seluruh budaya manusia
(Schroeder et. al., dalam Kenrick et. al., 1999), mereka yang menolong akan meningkatkan citra mereka di mata orang lain. Penghargaan sosial terbentuk dengan meningkatnya perasaan senang dan penerimaan. Selain itu, perilaku prososial juga dapat meningkatkan kekuatan penolong dalam berkontribusi memberikan bantuan yang lebih besar yang dipandang sebagai pemimpin yang sukses (Galaskiewicz, dalam Kenrick et. al., 1999). c.
Mengelola Citra Diri Karena perilaku prososial dapat memengaruhi bagaimana kita melihat diri
kita, kita dapat menggunakan untuk mengelola citra diri (konsep diri) dalam dua cara utama: kita dapat menggunakannya baik untuk meningkatkan dan untuk menverifikasi definisi-diri (self-definitions) kita (Swan, dalam Kenrick et. al., 1999). Misalnya, jika kita merasa membutuhkan dorongan ego, kita dapat memutuskan seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik dan kita dapat meningkatkan citra diri kita. Atau, jika kita merasa sudah memiliki komponen altruistik, kita dapat membantu menolong orang yang membutuhkan untuk mengkonfirmasikan pandangan kita; disini, tujuan tersebut bukan untuk meningkatkan konsep diri, tetapi untuk hanya untuk menverifikasikan (Penner, dalam Kenrick et. al., 1999). d.
Mengelola Suasana Hati dan Emosi Bantuan dapat bermanfaat tidak hanya untuk orang yang menerimanya.
Sebagaimana yang telah disebutkan, para penolong berguna untuk mencapai
13
keuntungan genetik dan material, mendapatkan penerimaan sosial, dan untuk mendukung citra diri mereka. Selain itu, ada cara lain, bahkan lebih langsung bahwa bantuan dapat menguntungkan penolong—dengan menghapus keadaan tidak menyenangkan dari melihat penderitaan korban. Dalam situasi tidak darurat, di mana rangsangan tidak hadir, individu masih dapat menolong untuk mengelola perasaan yang kurang kuat: suasana hati (mood) mereka. Gagasan menolong ini merupakan taktik yang biasa manusia gunakan untuk memengaruhi suasana hati mereka yang disebut mood management hypothesis, (Cialdini et. al., dalam Kenrick et. al., 1999), yang mana manusia menolong untuk mengelola satu perasaan, yaitu kesedihan sementara. Manusia biasanya menolong untuk meringankan kesedihan karena membantu dapat diperkuat (reinforcing) dan meningkatkan suasana hati mereka. Satu alasan bahwa aktivitas prososial dapat diperkuat adalah hal tersebut sering dikaitkan dengan imbalan di masa lalu. Berdasarkan proses pengkondisian (conditioning), hal ini berulang kali dipasangkan dengan aktivitas prososial dan imbalan sehingga tampak bekerja bagi manusia untuk menolong sebagai pengalaman yang menyenangkan dan bermanfaat bagi diri sendiri. 2.1.5 Perspektif Teoritis Perilaku Prososial Beberapa perspektif mencoba menjelaskan terjadinya perilaku prososial. Berikut perspektif-perspektif teoritis yang terkait:
14
1.
Perspektif Evolusi Menurut teori ini, inti dari kehidupan adalah kelangsungan gen. Gen dalam
diri manusia telah mendorong manusia untuk memaksimalkan kesempatan berlangsungnya suatu gen agar tetap lestari. a.
Perlindungan Kerabat (Kin Protection) Kasih sayang orang tua kepada anak tidak akan pernah putus. Orang tua
akan selalu siap untuk memberikan bantuannya kepada anak, walau harus mengorbankan kepentingan dirinya demi anak-anaknya. Menurut teori evolusi, tindakan orang tua ini adalah demi kelangsungan gen-gen orang tua dalam diri anak. Orang tua yang mengutamakan kesejahteraan anak dibandingkan dirinya sendiri, gennya akan mempunyai peluang lebih besar untuk bertahan dan lestari dibandingkan orang tua yang mengabaikan anaknya (Myers, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Hal ini berlaku juga untuk kerabat yang lebih jauh di mana kedekatan gengen secara biologis membuat manusia terprogram secara alamiah untuk menolong orang yang masih kerabatnya. b.
Timbal-balik Biologis (Biological Reciprocity) Dalam teori evolusi terdapat prinsip timbal-balik, yaitu menolong untuk
memperoleh pertolongan kembali (Sarwono, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Seseorang menolong karena ia mengantisipasi kelak orang yang ditolong akan menolongnya kembali sebagai balasan, dan bila tidak menolong maka kelak ia pun tidak akan mendapat pertolongan.
15
2.
Perspektif Belajar Dalam teori belajar, terdapat dua teori yang menjelaskan tingkah laku
menolong, yaitu teori belajar sosial (social learning theory) dan teori pertukaran sosial (social exchange theory). a.
Belajar Sosial (Social Learning Theory) Dalam teori belajar sosial, tingkah laku manusia dijelaskan sebagai hasil
proses belajar terhadap lingkungan. Berkaitan dengan tingkah laku menolong, seseorang menolong karena ada proses belajar melalui observasi terhadap model prososial. Selain peranan model prososial di dunia nyata, model-model prososial di media juga cukup efektif dalam membentuk norma sosial yang membentuk tingkah laku menolong. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa anakanak cenderung merespon secara prososial setelah melihat model di media melakukan tingkah laku menolong. Jika, model prososial mendukung terjadinya tingkah laku menolong, maka sebaliknya model antisosial dapat menghambat tingkah laku menolong (Baron et.al., dalam Sarwono & Meinarno, 2009). b.
Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) Menurut teori pertukaran sosial, interaksi sosial bergantung pada untung
dan rugi yang terjadi. Sesuai dengan namanya, teori ini melihat tingkah laku sosial sebagai hubungan pertukaran dengan memberi dan menerima (take and give relationship). Apa yang dipertukarkan dapat berupa materi (misalnya uang atau perhiasan) atau nonmateri (misalnya penghargaan, penerimaan, prestise) (Deaux et. al., dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Untuk menjelaskan tingkah laku menolong, teori ini mengatakan bahwa interaksi manusia mengikuti prinsip
16
ekonomi, yaitu memaksimalkan ganjaran (untung) dan meminimalkan biaya (rugi) atau disebut strategi minimax. Tingkah laku menolong juga bisa semata-mata hanya untuk menutupi kepentingan pribadi seseorang. Misalnya mendonor darah untuk mendapatkan pujian, bukan niat untuk menolong orang yang membutuhkan. Dengan demikian, keuntungan dari tingkah laku menolong dapat bersifat menolong untuk mendapatkan imbalan dari lingkungan (external self-reward) atau menolong untuk mendapatkan kepuasan batin (internal self-reward) (Myers, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). 3.
Perspektif Norma Sosial Norma merupakan harapan-harapan masyarakat berkaitan dengan tingkah
laku yang seharusnya dilakukan seseorang (Myers, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Ada dua bentuk norma sosial yang memotivasi seseorang untuk melakukan tingkah laku menolong, yaitu: a.
Norma Timbal-balik (The Reciprocity Norm) Gouldner (dalam Sarwono & Meinarno, 2009), mengemukakan bahwa
salah satu norma yang bersifat universal adalah norma timbal-balik, yaitu seseorang harus menolong orang yang pernah menolongnya. Hal ini menyiratkan adanya prinsip balas budi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, sesorang harus menolong orang lain karena kelak di masa mendatang, ia akan ditolong oleh orang lain atau ia pernah ditolong orang pada masa sebelumnya. b.
Norma Tanggung Jawab Sosial (The Social-Responsibility Norm) Bila norma timbal-balik mengharuskan seseorang berbuat seimbang antara
memberi dan menerima di dalam sebuah hubungan sosial, maka dalam norma
17
tanggung-jawab sosial, orang harus memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan tanpa mengharapkan balasan di masa datang (Schwartz, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). 4.
Perspektif Pengambilan Keputusan Menurut teori pengambilan keputusan, tindakan menolong muncul saat
individu memutuskan untuk memberi bantuan dan kemudian mengambil tindakan (Latanȇ & Darley, dalam Taylor et.al., 2009). Berikut adalah langkah-langkah pengambilan keputusan dalam memberikan bantuan: Gambar 2.2 Teori Pengambilan Keputusan
Sumber: Taylor, S., Peplau, L., Sears, D. (2009). Psikologi Sosial. Edisi Kedua Belas. (Tri Wibowo, Trans.). Jakarta: Kencana
2.1.6 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Prososial Dalam perilaku prososial, terdapat faktor-faktor yang memengaruhi perilaku tersebut, yaitu:
18
1.
Pengaruh Faktor Situasional
a.
Bystander Bystander atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian
mempunyai peran sangat besar dalam memengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat. Dalam bystander terdapat efek bystander, yaitu semakin banyak jumlah bystander, semakin berkurang bantuan yang diberikan. Efek bystander terjadi karena 1) pengaruh sosial (social influence), yaitu pengaruh dari orang lain yang dijadikan sebagai patokan dalam mengintepretasikan situasi dan mengambil keputusan untuk menolong, seseorang akan menolong jika orang lain juga menolong; 2) hambatan penonton (audience inhibition), yaitu merasa dirinya dinilai oleh orang lain (evaluation apprehension) dan resiko membuat malu diri sendiri karena tindakannya menolong yang kurang tepat akan menghambat orang untuk menolong; 3) penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) membuat tanggung jawab untuk menolong menjadi terbagi karena hadirnya orang lain. b.
Daya Tarik Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya
tarik) akan memengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan. Apa pun faktor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons prososial apabila individu tersebut membutuhkan pertolongan. Pada umumnya orang akan menolong anggota kelompoknya terlebih dahulu (in-group), baru kemudian menolong orang lain (out-group) karena sebagai suatu kelompok tentunya ada beberapa kesamaan
19
dalam diri mereka yang mengikat mereka dalam suatu kelompok (Clark et.al., dalam Baron & Byrne, 2005). c.
Atribusi terhadap Korban Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain
bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di luar kendali korban (Weiner, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Oleh karena itu, seseorang akan lebih bersedia memberikan sumbangan kepada pengemis yang cacat dan tua dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda. Dengan demikian, pertolongan tidak akan diberikan bila bystander mengasumsikan kejadian yang kurang menguntungkan pada korban adalah akibat kesalahan korban sendiri (atribusi internal). d.
Ada Model Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong
seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Rushton dan Campbell (dalam Sarwono & Meinarno, 2009) menemukan bahwa orang-orang biasanya tidak bersedia mendonorkan darahnya kecuali panitia meminta mereka mendonorkan darah setelah mereka melihat ada orang lain (asisten peneliti) yang mendonorkan darahnya. Disamping model prososial dalam dunia nyata, model-model yang menolong dalam media juga berkontribusi pada pembentukan norma sosial yang mendukung tingkah laku prososial. Contohnya, respons prososial dari anak-anak usia enam tahun sebagian merupakan fungsi dari apa yang mereka lihat di televisi (Sprafkin et.al., dalam Baron & Byrne, 2005).
20
e.
Desakan Waktu Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan
orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukan (Sarwono, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). f.
Sifat Kebutuhan Korban Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban
benar-benar membutuhkan pertolongan (charity of need), korban memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimate of need), dan bukanlah tanggung jawab korban sehingga memerlukan bantuan dari orang lain (atribusi eksternal) (Deux et. al., dalam Sarwono & Meinarno, 2009). 2.
Pengaruh Faktor dari Dalam diri
a.
Suasana Hati (Mood) Emosi seseorang dapat memengaruhi kecenderungan untuk menolong
(Baron et.al., dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah laku menolong. Namun, jika situasinya tidak jelas (ambigu), maka orang yang sedang bahagia cenderung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada keadaan darurat sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang sedang sedih mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil. Namun, jika menolong dapat membuat suasana hati lebih baik, maka dia akan memberikan pertolongan.
21
b.
Sifat Beberapa penelitian membuktikan terdapat hubungan antara karakteristik
seseorang dengan kecenderungannya untuk menolong. Orang yang mempunyai sifat pemaaf (forgiveness), ia akan mempunyai kecenderungan mudah menolong (Karremans et.al., dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Orang yang mempunyai pemantauan diri (self monitoring) yang tinggi juga cenderung lebih penolong, karena dengan menjadi penolong, ia akan memperoleh penghargaan sosial yang lebih tinggi (White & Gerstein, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Beberapa karakteristik lainnya yang mendukung tingkah laku menolong adalah kebutuhan akan pujian ataupun tanda-tanda penghargaan lainnya sangat tinggi, jika situasi menolong memberikan peluang untuk mendapatkan penghargaan bagi dirinya, maka ia akan meningkatkan tingkah laku menolongnya (Deutsch & Lamberti, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). c.
Jenis Kelamin Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat
bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan, misalnya menolong seseorang dalam kebakaran. Hal ini tampaknya terkait dengan peran tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih mempunyai keterampilan untuk melindungi diri. Sementara perempuan, lebih tampil menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh (Deaux et. al., dalam Sarwono & Meinarno, 2009).
22
d.
Tempat Tinggal Orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih penolong daripada
orang yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dapat dijelaskan melalui urbanoverload hypothesis, yaitu orang-orang yang tinggal diperkotaan terlalu banyak mendapat stimulasi dari lingkungan. Oleh karenanya, ia harus selektif dalam menerima paparan informasi yang sangat banyak agar bisa tetap menjalankan peran-perannya dengan baik. itulah sebabnya, di perkotaan, orang-orang yang sibuk sering tidak peduli dengan kesulitan orang lain karena ia sudah overload dengan beban tugasnya sehari-hari (Deaux et. al., dalam Sarwono & Meinarno, 2009).
2.2
Pola Asuh
2.2.1 Pengertian Pola Asuh Menurut Santrock (2012), pola asuh merupakan cara orang tua terhadap anak-anak mereka yang menghadapi masa remaja untuk tumbuh menjadi individu yang matang secara sosial. Sedangkan menurut Grusec (dalam Rathus, 2008), pola asuh merupakan pandangan tradisional di mana anak akan memperoleh nilai-nilai dan standar perilaku. Baumrid (dalam Bee & Boyd, 2007) menyatakan bahwa para orang tua tidak boleh menghukum dan mengucilkan anak, tetapi sebagai gantinya orang tua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak dan mencurahkan kasih sayang kepada mereka. Selanjutnya, pola asuh menurut Gunarsa (2000) merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan
23
kebutuhan fisik dan psikologis tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh merupakan cara orang tua dalam mendidik anak dengan bertujuan agar anak mendapatkan pengetahuan mengenai norma dan nilai yang berlaku di masyarakat sehingga anak mampu tumbuh menjadi individu yang matang secara sosial. 2.2.2 Tipe-tipe Pola Asuh Menurut Baumrid (dalam Santrock, 2002), terdapat tiga macam pola asuh, yaitu pola asuh otoritarian (authoritarian parenting), pola asuh otoritatif (authoritative parenting), dan pola asuh permisif (permissive parenting). Pola asuh otoritarian (authoritarian parenting) adalah pola asuh yang mana orang tua membatasi, menghukum dan mendesak remaja untuk mengikuti arahan-arahan dan menghormati usaha dan kerja keras. Orang tua yang otoritarian memberikan batasan dan kontrol yang tegas pada remaja serta lebih mengambil jarak dan kurang hangat dibandingkan dengan orang tua lain. Sedangkan pola asuh otoritatif (authoritative parenting) merupakan pola asuh yang mana orang tua menghargai individualitas remaja tetapi juga menekankan batasan-batasan sosial. Orang tua mendorong remaja untuk menjadi mandiri tetapi masih memberikan batasan dan kontrol pada aktivitas-aktivitas mereka. Terakhir, pola asuh permisif (permissive parenting) merupakan pola asuh yang mana orang tua memberikan kebebasan pada anak dalam mengambil keputusan tanpa adanya kontrol dan perhatian orang tua, atau cenderung sangat pasif ketika menanggapi
24
ketidakpatuhan. Orang tua permisif tidak begitu menuntut, juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya, karena yakin bahwa anak-anak seharusnya berkembang sesuai dengan kecenderungan alamiahnya. 2.2.3 Dampak Pola Asuh terhadap Anak Dampak pola asuh terhadap anak, seperti yang dikemukakan oleh Baumrid (dalam Santrock, 2002), adalah: a.
Pola Asuh Otoritarian (Authoritarian Parenting) Pola asuh otoritarian berhubungan dengan perilaku remaja yang tidak
kompeten secara sosial. Remaja dengan pola asuh otoritarian sering merasa cemas mengenai perbandingan sosial, gagal untuk memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang buruk. b.
Pola Asuh Otoritatif (Authoritative Parenting) Pola asuh otoritatif berhubungan dengan perilaku remaja yang kompeten
secara sosial. Remaja dengan pola asuh otoritatif akan mandiri dan bertanggung jawab secara sosial. c.
Pola Asuh Permisif (Permissive Parenting) Pola asuh permisif berhubungan dengan perilaku remaja yang impulsif,
agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang matang secara sosial dan kurang percaya diri. 2.2.4 Aspek-aspek Pola Asuh Terdapat empat aspek dalam pola asuh menurut Baumrid (dalam Bee & Boyd, 2007), yaitu:
25
a.
Kehangatan atau Pengasuhan (Warmth or Nurturance) Ungkapan orang tua dalam mengasuh anak dengan menunjukkan kasih
sayang, kehangatan, perhatian serta memberikan dorongan pada anak. b.
Tingkat Harapan (Level of Expectations) Baumrid juga menyebutnya sebagai tuntutan kedewasaan, merupakan
sikap orang tua dalam memberikan tuntutan dan dorongan kepada anak untuk mandiri, memiliki tantangan emosional dan tanggung jawab pada tindakan. Kedewasaan pada anak merupakan sikap untuk menghadapi lingkungan sekitar. c.
Kontrol (Control) Merupakan wujud sikap orang tua dalam menghadapi tingkah laku anak
yang terkadang dianggap tidak sesuai dengan tuntutan orang tua. d.
Komunikasi antara Orang tua dan Anak (Communication between Parent and Child) Merupakan usaha orang tua dalam menciptakan komunikasi yang baik
dengan anak melalui hubungan timbal balik antara kedua belah pihak.
2.3
Kecerdasan Emosi
2.3.1 Pengertian Kecerdasan Emosi Menurut Salovey & Meyer (dalam Martin, 2003), kecerdasan emosi (emotional intelligence) sebagai kemampuan untuk memahami perasaan diri sendiri untuk berempati terhadap perasaan orang lain dan untuk mengatur emosi yang secara bersama berperan dalam peningkatan taraf hidup seseorang.
26
Menurut Ciarrochi et.al. (2006), kecerdasan emosi adalah adalah kompetensi untuk mengidentifikasi, memantau dan mengungkapkan emosi; untuk melabel, membedakan, dan memahami sifat kompleks, anteseden, dan konsekuensi dari emosi; untuk mengasimilasi emosi dalam pikiran dan secara strategis menggunakan emosi untuk mencapai tujuan adaptif seseorang; dan untuk secara efektif mengatur positif dan negatif emosi, baik dalam diri dan orang lain. Goleman (2000)
menambahkan bahwa kecerdasan emosi adalah
kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Berdasarkan berbagai pendapat dari para tokoh, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah tipe kecerdasan pada diri manusia yang mampu mengenali, memahami, dan mengatur emosi terhadap diri sendiri maupun orang lain sehingga mampu berperilaku secara efektif. 2.3.2 Aspek-aspek Kecerdasan Emosi Aspek-aspek kecerdasan emosi menurut Goleman (2000) adalah: a.
Mengenali Emosi Diri Kesadaran diri, mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi,
merupakan dasar kecerdasan emosi. kemampuan memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam
27
kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah probadi, mulai dari masalah siapa yang akan dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan diambil. b.
Mengelola Emosi Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat adalah
kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Pengendalian emosi dilakukan bukan dengan menekan emosi melainkan mampu menyalurkan emosi dan suasana hati melalui kegiatan positif. Orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan. c.
Memotivasi Diri Sendiri Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional—menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati—adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Banyak orang mencapai prestasi tinggi karena mempunyai tingkat ketahanan dan ketekunan yang bergantung pada sifat emosional antusiasme serta kegigihan menghadapi tantangan. Orang dapat menjadi tahan dan tekun dalam mengerjakan sesuatu kalau ia dapat menunda kepuasan sementara. Kecerdasan emosional mempunyai kemampuan
28
yang
mendalam untuk memengaruhi
semua kemampuan lain baik memperlancar
maupun menghambat kemampuan-kemampuan itu. d.
Mengenali Emosi Orang Lain Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional,
merupakan keterampilan dasar dalam bergaul. Empati juga merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka seseorang terhadap emosi sendiri, semakin terampil ia membaca perasaan. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. e.
Membina Hubungan Seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan keterampilan-
keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Orangorang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain; mereka adalah bintangbintang pergaulan. 2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi Goleman (2000)
menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi sesorang, yaitu: a.
Lingkungan Keluarga Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari
emosi. peran orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah subyek pertama
29
yang perilakunya diidentifkasi, diinternalisasi yang apda akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak. kecerdasan emosi ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi dengan contoh-contoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari, sebagai contoh: melatih kebiasaan hidup disiplin dan bertanggungjawab, kemampuan berempati, kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan anak lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam menghadapi permasalahan, sehingga dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak emmiliki banyak masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif. b.
Lingkungan Non Keluarga Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk.
Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak seperti bermain peran. Anak berperan sebagai individu di luar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga anak akan mulai belajar mengerti keadaan orang lain. 2.3.4 Ciri-ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah Goleman (2000) mengungkapkan ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan rendah jika dibandingkan dengan kecerdasan IQ yang tinggi dan rendah, yaitu: a.
IQ Tinggi (Mengesampingkan Kecerdasan Emosi atau Kecerdasan Emosi Rendah) Individu dengan IQ tinggi namun mengesampingkan kecerdasan
emosional memiliki karakteristik tekun, tidak dirisaukan oleh urusan-urusan
30
tentang dirinya sendiri, penuh ambisi, produktif, lancar mengungkapkan gagasan, memiliki kemampuan serta minat intelektual yang luas. Akan tetapi, cenderung mudah cemas, gelisah, merasa bersalah, kurang ekspresif, dan secara emosional membosankan serta dingin. b.
Kecerdasan Emosi Tinggi Individu dengan kecerdasan emosi tinggi, secara sosial mantap; ramah;
mudah bergaul; tidak mudah takut atau gelisah; simpatik dan hangat dalam berhubungan dengan orang lain; merasa nyaman dengan diri sendiri, orang lain, dan dunia pergaulannya. Tentu saja gambaran ini merupakan gambaran ekstrem yang mana kita semua memiliki campuran kecerdasan IQ dan kecerdasan emosi dengan kadar yang berbeda-beda. Tetapi, gambaran ini menyajikan suatu pandangan instruktif tentang apa yang ditambahkan secara terpisah oleh masing-masing dimensi ini terhadap ciri seseorang. Sejauh seseorang sekaligus mempunyai kecerdasan kognitif maupun emosional, gambaran-gambaran ini berbaur. Namun, di antara keduanya, kecerdasan emosi menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
2.4
Remaja Akhir
2.4.1 Pengertian Remaja Akhir Menurut Santrock (2002), remaja akhir merupakan subtahap dalam remaja yang ditujukan untuk individu yang berusia 15-19 tahun. Umumnya sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah atas atau mahasiswa pada awal
31
perkuliahan serta pada sub tahap ini muncul minat yang lebih nyata untuk karir dan eksplorasi identitas. Sarwono (2011) menambahkan bahwa remaja akhir adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalamanpengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. Dan terakhir, tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum. Berdasarkan pendapat kedua ahli, dapat disimpulkan bahwa remaja akhir merupakan salah satu tahap dalam fase remaja yang memiliki tugas-tugas perkembangan lebih nyata untuk mengenal diri sendiri serta mengenal lebih orang lain. 2.4.2 Perkembangan Remaja Akhir Yusuf (2005) menyebutkan perkembangan-perkembangan berbagai aspek yang terjadi pada remaja akhir, yaitu: a.
Perkembangan Fisik dan Psikomotorik Laju perkembangan menurun, proporsi ukuran tinggi dan berat badan
tampak seimbang, organ reproduksi siap difungsikan, lebih selektif dalam memilih aktivitas.
32
b.
Perkembangan Bahasa dan Kognitif Lebih memantapkan diri pada bahasa asing yang dipilihnya, lebih bersifat
rasionalisme
idealis,
logika
formal
disertai
generalisasi
konklusif
dan
komprehensif, dan kecenderungan bakat tertentu mencapai titik puncak. c.
Perkembangan Sosial, Emosional, Moralitas dan Religiusitas Bergaul dengan jumlah teman terbatas dan selektif; mulai fleksibel
terhadap teman sebaya; reaksi-reaksi dan ekspresi emosi tampak lebih stabil, terkendali, dan mampu menguasai diri; identifikasi diri pada tokoh moralitas idola sebagai hasil pertimbangan kemandirian nilai; penghayatan yang tinggi tentang kehidupan religius.
2.5
Kerangka Pemikiran Dari variabel-variabel yang telah dijelaskan, peneliti mengasumsikan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola asuh dan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial. Selain itu peneliti mengasumsikan adanya hubungan disetiap dua variabel, sehingga tersusunlah kerangka pemikiran seperti berikut: Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
Pola Asuh H3 H2
Perilaku Prososial
H1 H4
Kecerdasan Emosi
33
2.6
Hipotesis Penelitian
2.6.1 Hipotesis Mayor Hipotesis mayor (H1) dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh dan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada remaja akhir. 2.6.2 Hipotesis Minor Hipotesis minor dalam penelitian ini adalah: H2 : Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan kecerdasan emosi pada remaja akhir. H3 : Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan perilaku prososial pada remaja akhir. H4 : Ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada remaja akhir.
34