BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Belajar Matematika di Sekolah Menengah Atas Menurut teori metakognisi, siswa itu sendiri yang belajar untuk memiliki kemampuan tertentu, seperti mengatur dan mengontrol apa yang dipelajarinya (Uno, 2008, h. 134). Secara rinci Woolfolk (Uno, 2008, h. 134) menyatakan bahwa kemampuan tertentu tersebut meliputi empat jenis kemampuan, yaitu kemampuan
pemecahan
masalah,
kemampuan
pengambilan
keputusan,
kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan berpikir kreatif. Apabila keempat kemampuan tersebut dapat dikembangkan pada siswa di sekolah menengah atas (SMA) khususnya melalui proses pembelajaran, dapat diperkirakan bahwa kualitas hasil belajar siswa paling tidak memenuhi tuntutan perguruan tinggi dan masyarakat bangsa ini. Jika ini terwujud maka siswa yang dilahirkan dari SMA akan menjadi keluaran pendidikan yang memiliki sikap kemandirian dalam berpikir, berani mengambil keputusan, serta memiliki kreativitas yang tinggi. Selama ini kita masih menyaksikan keluaran pendidikan yang ternyata belum memadai dalam hal keempat kemampuan itu. Hal ini mungkin disebabkan siswa yang dididik sampai saat ini berada pada paradigma lama, yaitu paradigma yang monoton. Ciri paradigma ini mempunyai ciri penggunaan strategi pembelajaran yang seragam, sumber belajar hanya mengandalkan dari buku paket yang seragam. Padahal bentuk penyeragaman ini ternyata hanya mampu menghasilkan lulusan SMA yang sangat menghargai
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
31
kesamaan sehingga tidak menerima ada perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan atau kesesatan yang harus diberikan hukuman. Hal ini tentunya akan menghambat untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Namun beruntung pemerintah telah menyadari kekurangan-kekurangan tentang pembelajaran matematika di sekolah dan segera menindaklanjutinya. Penyempurnaan, pengembangan, dan inovasi pembelajaran matematika melalui revisi kurikulum untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika di Indonesia. Melalui Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Matematika menyatakan bahwa pelajaran matematika SMA bertujuan agar para siswa SMA (Depdiknas, 2006): 1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; 2. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4. mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Pada jenjang sekolah dasar dan menengah, pelajaran matematika memiliki tujuan yang serupa dengan lima poin yang disebutkan di atas (lihat Permendiknas Nomor 22 tentang Standar Isi). Namun yang membedakan matematika di tingkat SD, SMP, dan SMA paling tidak ada empat hal, yaitu: 1) penyajian; 2) pola pikir; 3) keterbatasan semesta; dan 4) tingkat keabstrakan (Sumardyono, 2004).
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
32
Penyajian materi pelajaran matematika disesuaikan dengan perkembangan berpikir siswa. Untuk di SMA, pendekatan secara induktif atau konkrit sudah harus dikurangi, kecuali pada topik-topik yang memerlukan bantuan secara induktif atau konkrit (Ruseffendi, 1988). Sedangkan di SMP pendekatan secara induktif dan konkrit mempunyai porsi yang lebih banyak, terlebih lagi di SD (Ruseffendi, 1988). Pembelajaran matematika di sekolah dapat menggunakan pola pikir induktif atau deduktif. Namun demikian secara umum untuk di SD lebih mendahulukan pendekatan induktif karena siswa lebih memungkinkan menangkap pengertian yang dimaksud. Sedangkan untuk di SMP dan SMA pola pikir deduktif sudah semakin ditekankan atau diperbanyak porsinya. Semakin tinggi perkembangan berpikir dari siswa maka materi pelajaran matematikanya pun semakin luas semesta kajiannya. Sebagai contoh, materi tentang operasi pada bilangan untuk di SD hanya sebatas pada bilangan bulat dengan operator jumlah, kurang, kali, dan bagi. Sedangkan materi tentang operasi pada bilangan real dengan operator pangkat diberikan di SMP. Sementara itu, untuk ditingkat SMA mulai dikenalkan dengan operasi pada bilangan imajiner dan kompleks. Selanjutnya, mengenai tingkat keabstrakan suatu materi, makin tinggi perkembangan berpikir siswa maka keabstrakannya pun semakin ditekankan. Sebagai contoh, untuk tingkat SD mengenai bangun geometri, penggunaan alat peraga masih diperlukan, tetapi untuk tingkat SMA mungkin tidak diperlukan lagi.
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
33
Namun demikian, terlepas dari empat hal perbedaan matematika di SD, SMP, dan SMA, apabila siswa berhasil mencapai tujuan pelajaran matematika yang disebutkan di atas maka kualitas hasil belajar siswa paling tidak memenuhi tuntutan masyarakat bangsa ini (Depdiknas, 2006). Selain itu, lima poin pencapaian dari tujuan diberikannya pelajaran matematika di sekolah tersebut harus menjadi perhatian utama, terlebih untuk di SMA. Mengapa pencapaian tujuan pelajaran matematika di SMA menjadi sangat utama dibandingkan dengan di tingkat yang lain? Karena sebagaimana dinyatakan oleh Woolfolk, hasil pencapaian tujuan pelajaran matematika diberikan di SMA tersebut merupakan tuntutan dari perguruan tinggi jika siswa tersebut melanjutkan studi. Sejalan dengan Woolfolf, menurut CTSD (Center for Teaching Staff Development) (2009) lima poin tujuan pelajaran yang ada pada Permendiknas Nomor 22 tentang Standar Isi merupakan kompetensi yang harus sudah dimiliki dengan baik oleh setiap mahasiswa. Berpijak pada kerangka berpikir di atas, sudah saatnya pelaku pendidikan untuk mengkaji ulang, melakukan reformasi, melakukan redefinisi, dan reorientasi terhadap landasan teoritis dan konseptual belajar dan pembelajaran yang mampu menumbuhkembangkan
siswa,
menghargai
keragaman
dengan
jalan
mengembangkan pola pikir siswa. Salah satunya dalam memecahkan masalah yang penerapannya dapat dilakukan pada pembelajaran matematika di SMA. Pertanyaan yang muncul saat ini, adalah bagaimana matematika diajarkan di SMA? Apabila mengacu pada kurikulum matematika SMA di Indonesia dan Amerika, ada lima hal pokok yang menjadi bidang kajian utama. Kelima pokok itu, adalah aritmetika, aljabar, geometri, trigonometri, serta analisis data dan probabilitas dengan kelimanya saling berkaitan. Belajar matematika dalam konsep
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
34
ini tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi memerlukan pemikiran yang holistik dari berbagai unit yang ada dalam matematika. Mengingat matematika memiliki beberapa unit yang saling berkaitan, maka yang penting dalam belajar matematika adalah kemampuan penalaran seseorang dalam
memecahkan
suatu
masalah
matematika
dan
kemampuan
mengkomunikasikannya. Untuk itu, kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah merupakan syarat perlu dalam mempelajari matematika. Dengan demikian, belajar matematika sebaiknya dilakukan secara keseluruhan, yaitu dengan tidak memisahkan antara cara mempelajari materi dan kegiatan memecahkan masalah dalam matematika. Di
samping
kemampuan-kemampuan
aspek
kognitif
yang
perlu
mendapatkan perhatian yang sangat khusus dalam pembelajaran matematika di SMA, begitu juga dengan aspek non-kognitif, salah satunya yaitu, kecerdasan emosional (emotional intelligence). Hal ini mengingat tindakan anarkis atau tindakan kekerasan, perkelahian dan kejahatan lainnya yang tidak jarang dilakukan oleh siswa SMA. Tindakan semacam itu menurut Goleman (1996) adalah perilaku orang yang memiliki kecerdasan emosinal yang rendah. Semenatara itu, sudah saatnya pembelajaran matematika di sekolah khususnya di SMA memperhatikan juga dalam peningkatan kecerdasan emosional siswa. Karena siswa SMA adalah manusia yang beranjak pada usia dewasa sehingga jika tindakan-tindakan yang menggambarkan kecerdasan emosional rendah ini dibiarkan maka akan diikuti oleh siswa-siswa SD dan SMP dan bahkan terbawa ke perguruan tinggi. Dengan demikian, pembelajaran matematika juga diharapkan dapat memberi kontribusi besar terhadap pemberdayaan semua warga negara
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
35
menjadi manusia yang beriman, berilmu pengetahuan, dan berketerampilan untuk hidup. Harapan ini akan dicapai manakala potensinya difungsikan secara optimal dengan dibarengi perbaikan-perbaikan dari aspek non-kognitif, seperti kecerdasan emosional. Dapat disimpulkan, selama matematika diajarkan di sekolah khususnya di SMA dengan menekankan pada yang sifatnya hafalan, prosedural, dan terpisahpisah maka kemungkinan siswa untuk memiliki kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah, peluangnya kecil. Selain itu, pembelajaran semacam
tersebut
kecil
kemungkinannya
untuk
dapat
menyentuh dan
memperbaiki kecerdasan emosional siswa. Untuk itu, usaha menemukan cara yang dianggap terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di SMA perlu segera dilakukan. Dalam hal ini, guru diharapkan mampu menggunakan model pembelajaran yang berkaitan dengan penggunaan nalar dalam memecahkan suatu masalah matematis dan mengkomunikasikannya dengan baik serta berdampak pada perbaikan dan terpeliharanya kecerdasan emosional siswa yang baik.
B. Paradigma Baru Pengajaran Matematika Secara tradisional guru mengajarkan matematika, siswa mempraktekkan untuk sementara waktu, kemudian mereka diharapkan dapat menggunakan keterampilan atau ide-ide yang baru untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Pembelajaran matematika semacam ini secara kuat berakar pada kebiasaan yang ada di kelas-kelas sekolah, serta menurut beberapa hasil penelitian pembelajaran matematika semacam ini jarang memberikan hasil yang baik.
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
36
Pertama, pembelajaran matematika tersebut menganggap semua anak pada saat itu memiliki ide-ide yang diperlukan untuk memahami penjelasan yang diberikan oleh guru. Ini berarti bahwa hanya ada satu cara bagi setiap siswa untuk “memperoleh ide”, yaitu cara yang dimiliki guru. Padahal hal ini tidak realistis jika memperhatikan keberagaman siswa. Meskipun pembelajaran matematika tersebut yang menunjukkan dan memberitahu ide atau konsep secara langsung kadang-kadang berhasil bagi beberapa siswa, tetapi hal ini membuat sebagian besar siswa percaya bahwa matematika itu misterius dan di luar pemahaman (Walle, 2007). Kesulitan kedua dalam pembelajaran matematika “ajarkan kemudian selesaikan” adalah bahwa proses pemecahan masalah dipisahkan dari proses belajar. Siswa yang mengharapkan gurunya memberitahu aturan, tidak suka menyelesaikan soal yang aturannya belum diberikan (Sobel dan Maletsky, 2003, h. 5). Dengan memisahkan pengajaran dan proses pemecahan masalah maka belajar matematika tampaknya terpisahkan dari penyelesaian masalah dalam matematika itu sendiri. Pembelajaran yang efektif akan berpeluang besar terjadi apabila dimulai dari mempertimbangkan kondisi siswa, bukan kondisi guru. Dalam hal ini, mengajar harus dimulai
dengan ide-ide yang telah dimiliki oleh siswa,
selanjutnya ide-ide ini akan digunakan untuk membuat ide baru. Agar siswa terlibat dalam pembuatan ide-ide baru diperlukan tugas atau kegiatan yang didasarkan pada masalah yang mengandung konsep matematis serta memerlukan pemikiran yang eksploratif. Sesungguhnya siswa banyak belajar matematika adalah hasil dari proses pemecahan masalah, artinya bahwa ide-ide matematika
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
37
merupakan hasil dari pengalaman memecahkan masalah dan bukan bagian yang harus diajarkan sebelum penyelesaian soal atau memecahkan masalah (Walle, 2007, h. 39). Dengan demikian, proses pemecahan masalah berpadu dengan proses belajar, yaitu siswa belajar matematika dengan mengerjakan masalah matematis.
C. Pandangan Konstruktivisme tentang Pembelajaran Para pendidik matematika sepakat bahwa siswa harus memahami matematika.
Teori
yang
paling
luas
diterima,
dikenal
dengan
teori
konstruktivisme, menyarankan bahwa siswa harus aktif dalam mengembangkan pemahamannya. Teori konstruktivisme memberi wawasan tentang cara yang digunakan siswa untuk belajar matematika dan membimbing guru untuk menggunakan strategi pembelajaran yang dimulai dengan memperhatikan kondisi siswa dan bukannya memperhatikan kondisi guru. Teori konstruktivisme berakar kuat dari psikologi kognitif dan teori-teori dari Piaget yang berkembang sekitar tahun 1960. Konstruktivisme
menolak
bahwa siswa adalah lembaran putih yang kosong. Siswa tidak menyerap ide-ide yang diberikan oleh gurunya, tetapi mereka adalah kreator pengetahuannya. Jadi, prinsip dasar dari konstruktivisme adalah siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Untuk mengkonstruksi atau membangun sesuatu dalam dunia nyata diperlukan alat-alat, bahan, dan usaha. Begitu pula dengan cara mengkonstruksi suatu ide. Alat-alat yang diperlukan untuk membangun pemahaman adalah ide-ide yang telah ada atau pengetahuan yang telah dimiliki. Material yang digunakan
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
38
adalah sesuatu yang pernah dilihat, didengar, atau disentuh disekitarnya. Kadangkadang sebagian material adalah pemikiran atau ide itu sendiri. Usaha yang harus dilakukan adalah berpikir secara aktif. Jika otak tidak aktif berpikir maka tidak ada sesuatu yang terjadi. Dengan demikian, untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan memiliki syarat perlu, yaitu peran yang jauh lebih aktif bagi siswa dalam pembelajaran.
Gambar 2.1. Metafora Pengkonstruksian Ide (Adopsi dari Walle, 2007) Gambar 2.1. adalah metafora untuk pengekonstruksian ide. Pikirkan gambar sebagai bagian kecil dari kognitif kita. Titik-titik hijau menyatakan ide-ide yang telah ada. Garis-garis penghubung ide-ide mewakili hubungan logis kita yang berkembang di antara ide-ide tersebut. Titik kuning adalah ide yang muncul, yakni ide
yang kita
konstruksi.
Titik-titik
(ide-ide)
yang
digunakan
dalam
pengkonstruksian perlu dikaitkan dengan ide-ide baru, karena ide-ide baru tersebutlah yang memberi arti terhadap ide-ide yang telah ada. Jika sebuah ide penting yang relevan dan akan memperbaiki arti ide baru tidak ada di dalam pikiran atau tidak dilibatkan, maka hubungan penting terhadap ide baru tidak akan muncul. Jelas bahwa dari masing-masing siswa banyaknya hubungan antara ide baru dan ide-ide yang telah ada, sangat bervariasi. Siswa yang satu dan siswa yang IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
39
lainnya akan menggunakan ide yang berbeda untuk memberi arti terhadap ide baru yang sama. Jadi, pengkonstruksian sebuah ide hampir pasti akan berbeda bagi setiap siswa, meskipun dalam suasana atau kelas yang sama. Menurut pandangan konstruktivisme bahwa mengkonstruksi pengetahuan adalah suatu usaha yang sangat aktif oleh siswa (Santrock, 2007, h. 9). Untuk mengkonstruksi atau memahami ide baru diperlukan pemikiran yang aktif tentang ide tersebut. Ini artinya, bahwa ide-ide matematika tidak dapat dituangkan kepada siswa yang tidak aktif. Di dalam kelas, guru memotivasi siswa untuk melakukan aktivitas mengkritisi ide baru, mencari koneksi antar ide, dan menganalisis idenya sendiri maupun ide temannya adalah hal yang penting untuk dilakukan. Karena dengan aktivitas ini, siswa memiliki kesempatan untuk memberi makna terhadap ide baru melalui proses mengubah ide-ide yang telah ada. (Walle, 2007, h. 23 – 24). Selain sebagai alat untuk mengkonstruksi pengetahuan, jaringan yang terintegrasi, atau skema kognitif, juga merupakan hasil dari mengkonstruksi pengetahuan. Oleh karena itu, jika proses pembelajaran dengan pemikiran yang aktif maka secara kontinyu jaringan tersusun, bertambah, termodifikasi, atau berubah, sedemikian hingga ide menjadi lebih sesuai dengan pengetahuan yang sudah ada (Walle, 2007, h. 24). Pada dasarnya teori konstruktivisme lebih banyak merujuk pada dua proses yang saling melengkapi, yaitu asimilasi dan akomodasi dari Piaget. Asimilasi adalah proses yang melibatkan penggunaan skema yang ada untuk memberi arti terhadap pengalaman, sedangkan akomodasi adalah proses memodifikasi suatu rancangan yang telah ada dalam memandang sesuatu atau ide yang berlawanan atau tidak sesuai dengan skema yang ada sedemikian hingga membentuk suatu
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
40
rancangan baru (Santrock, 2007, h. 46 – 47; Ormrod, 2008, h. 41). Melalui berpikir seperti yang telah diungkapkan di atas, orang dapat memodifikasi skema yang ada untuk mengakomodasi ide-ide tersebut (Walle, 2007, h. 24). Tetapi, yang paling penting menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif dipegang kendalinya oleh orang itu sendiri. Namun demikian, Piaget bukan satu-satunya konstruktivis. Tokoh lainnya yang banyak dijadikan rujukan dalam menyusun prinsip-prinsip pembelajaran berbasis konstruktivisme yang dianggap efektif adalah Lev Vygotsky. Piaget telah memberikan pengetahuan dalam hal kegiatan kognitif siswa dan memahami cara seorang siswa menggunakan ide-ide untuk mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman baru. Vygotsky memfokuskan pada interaksi sosial sebagai komponen penting dalam pengembangan pengetahuan. Vygotsky meyakini bahwa kemampuan kognitif siswa terjadi pada saat adanya relasi dalam lingkungan sosialnya, kemudian dari lingkungan ini siswa memperoleh ide-ide. Transfer ide dalam lingkungan sosial ini dinamakan interaksi (Walle, 2007, h. 31). Sementara itu, interaksi ini hanya terjadi di dalam Zone of Proximal Development (ZPD) setiap siswa (Walle, 2007, h. 31; Santrock, 2007, h. 62; Ormrod, 2008, h. 58). Vygotsky (1978, h. 86) mendefinisikan, ”ZPD is the distance between the actual developmental level as determined by independent problem solving and the level of potential development as determined through problem solving under adult guidance or collaboration with more capable peers”. Vygotsky memandang ide-ide yang berada di kelas, di dalam buku-buku, dari guru atau sumber lain, berbeda dengan ide-ide yang dikonstruksi oleh siswa. Ide-ide yang diformulasikan dengan baik yang datang dari luar siswa dinamakan konsep ilmiah, sedangkan ide-ide yang dikembangkan oleh siswa dinamakan konsep spontan (Walle, 2007, h. 30). IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
41
Konsep Ilmiah (dari luar)
Zone of Proximal Development
Konsep Spontan (dari luar)
Gambar 2.2. Zone of Proximal Development (Adopsi dari Walle, 2007) Vygotsky menjelaskan bahwa kedua konsep ini sebagai dua hal yang berlawanan arah proses kerjanya, seperti diilustrasikan pada Gambar 2.2. Konsep ilmiah, kerja ke bawah dan dari sumber luar masuk ke dalam logika siswa. Konsep spontan muncul sebagai hasil dari kegiatan berpikir yang dilakukan siswa. Pada ZPD siswa dapat bekerja secara bermakna dengan konsep ilmiah dari luar, termasuk dari diskusi di dalam kelas. Dalam pembelajaran di kelas, kegiatan belajar siswa ditingkatkan melalui proses berpikir yang dibarengi dengan interaksi sosial. Pada saat yang sama manfaat dari interaksi bagi masing-masing siswa adalah adanya perluasan yang diakibatkan oleh ide-ide yang dibawa para siswa ke dalam diskusi. Ketika diskusi di dalam kelas berada dalam ZPD siswa, maka pembelajaran sosial siswa terjadi. Diskusi kelas yang didasarkan pada ide anak sendiri dan penyelesaian terhadap masalah merupakan
yang
bersifat
mendasar untuk belajar siswa
(Walle, 2007, h. 31). Goss (Walle, 2007, h. 31) menyatakan bahwa interpretasi awal dari ZPD Vygotsky membawa kepada pengertian tentang tahapan mengenai cara guru dan tutor dalam membantu siswa saat memecahkan masalah. Konsep tahapan ini IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
42
sepertinya cenderung menyarankan pendekatan transfer pengetahuan untuk belajar matematika dari pemahaman Vygotsky tentang interaksi. Oleh karena itu, sebagai guru, dalam pembelajaran sebaiknya memberikan porsi yang cukup untuk tugastugas yang hanya dapat diselesaikan siswa melalui bantuan guru atau kolaborasi dengan siswa lainnya yang lebih terampil sedemikian hingga terjadi interaksi. Berdasarkan pandangan ahli konstruktivisme seperti Piaget dan Vygotsky tentang pembelajaran, dapat diperoleh hal-hal berikut ini. 1. Siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan dan pemahaman mereka, atau dengan kata lain guru tidak dapat mengirimkan ide kepada siswa yang pasif. 2. Pengetahuan dan pemahaman adalah unik bagi setiap siswa. 3. Kegiatan berpikir semenjak awal pembelajaran adalah unsur yang paling penting untuk belajar secara efektif. 4. Lingkungan sosial budaya dari sebuah komunitas belajar matematika berinteraksi dengan ide matematika awal siswa dan sekaligus meningkatkan perkembangan ide matematika tersebut. 5. Model-model untuk ide-ide matematika membantu siswa mengungkap dan mendiskusikan ide-ide matematika. 6. Pengajaran yang efektif merupakan kegiatan yang terpusat pada siswa. Dengan demikian, dalam upaya mencapai keberhasilan siswa belajar matematika, sudah seharusnya enam hal yang disebutkan di atas untuk dipertimbangkan atau bahkan dijadikan rambu-rambu dalam menyusun rencana pembelajaran matematika yang digunakan pada kelas eksperimen dalam penelitian ini.
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
43
D. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Menurut Hayet dan Mayer (Matlin, 1994, h. 331) dan Robertson (2001, h. 2) kita menghadapi masalah ketika ada suatu kesenjangan antara tempat kita sekarang berada dan tujuan yang kita inginkan, tetapi kita tidak tahu cara menjembatani kesenjangan itu. Sementara itu, Biryukov (2004, h. 5) mengatakan bahwa masalah adalah suatu situasi yang menghadapkan seseorang dengan kebutuhan pembuatan keputusan mengenai pemilihan strategi, yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, dengan mengabaikan sumber masalah, seperti masalah kehidupan atau masalah-masalah ilmiah. Senada dengan hal itu, Posamentier dan Stepelmen (2002, h. 96) menyatakan bahwa masalah adalah suatu situasi dengan ada sesuatu yang kita tuju atau inginkan, tetapi kita tidak tahu cara mendapatkannya atau mencapainya supaya sampai pada tujuan atau keinginan tersebut. Untuk dapat mengidentifikasi sesuatu itu suatu masalah, Ruseffendi (1988, h. 336) menyatakan bahwa sesuatu itu merupakan masalah bagi seseorang bila sesuatu itu baru, sesuai dengan kondisi yang memecahkan masalah (tahap perkembangan mentalnya) dan memiliki pengetahuan prasyarat. Dalam konteks matematika, secara khusus Ruseffendi (1988, h. 335) menegaskan bahwa masalah dalam matematika adalah sesuatu persoalan yang ia sendiri mampu menyelesaikannya tanpa menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Dengan demikian, diperoleh gambaran bahwa apabila kita berada pada suatu kondisi yang tidak ideal dan kita ingin menuju kondisi ideal itu, tetapi untuk mencapai tujuan tersebut tidak mudah, memerlukan pemikiran untuk sampai pada solusinya, maka pada saat itulah kita sedang menghadapi masalah. Melalui proses berpikir, seseorang dapat menemukan strategi penyelesaian masalah yang dihadapinya secara teratur. Artinya, rangkaian dari langkah-langkah yang IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
44
dilakukan mengarah pada tujuan dan keinginan yang hendak dicapai atau diharapkan. Berkenaan dengan jenis-jenis masalah, Hudoyo (2002, h. 428), membagi masalah dalam matematika ke dalam enam jenis, yaitu: rutin, non-rutin, rutinterapan, rutin non-terapan, non-rutin terapan, dan non-rutin non-terapan. Masingmasing jenis masalah tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1. Masalah rutin adalah masalah yang prosedur penyelesaiannya sekedar mengulang, misalnya secara algoritmik. 2. Masalah non-rutin adalah masalah yang prosedur penyelesaiannya memerlukan perencanaan penyelesaian, tidak sekedar menggunakan rumus, teorema atau dalil. 3. Masalah rutin terapan adalah masalah rutin yang dikaitkan dengan dunia nyata atau kehidupan sehari-hari, yang prosedur penyelesaiannya standar sebagaimana yang sudah diajarkan. 4. Masalah rutin
non-terapan adalah masalah
rutin
yang lebih
ke
matematikanya daripada dikaitkan dengan dunia nyata atau kehidupan sehari-hari. 5. Masalah non-rutin terapan adalah masalah yang penyelesaiannya menuntut perencanaan dengan mengaitkan dunia nyata atau kehidupan sehari-hari. 6. Masalah non-rutin non-terapan adalah masalah yang berkaitan murni tentang hubungan matematik. Sementara itu Matlin (1994, h. 360 – 361) membedakan masalah berdasarkan strukturnya. Masalah yang terdefinisi dengan baik (well-defined problem) dan masalah yang tidak terdefinisi dengan baik (ill-defined problem). Dengan perincian bahwa masalah yang terdefinisi dengan baik adalah situasi masalah yang pernyataan IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
45
asli atau asal, tujuan dan aturan-aturannya terspesifikasi. Sebaliknya, masalah yang tidak terdefinisi dengan baik adalah masalah yang pernyataan asal, tujuan dan aturan-aturannya tidak jelas sehingga tidak memiliki cara sistematik untuk menemukan solusi. Selain itu, dikenal pula adanya masalah dengan penyelesaian tunggal, yang dalam penyelesaiannya memerlukan pola berpikir konvergen. Sedangkan masalah dengan penyelesaian tidak tunggal memerlukan pola berpikir divergen. Membiasakan siswa berpikir divergen besar manfaatnya, salah satunya untuk melatih kreativitas siswa sebagai bekal di masa depan. Dalam kaitan ini, masalah yang diajukan dalam pembelajaran yang menggunakan PBM bukan masalah yang menjadikan siswa menerapkan secara langsung konsep matematika. Masalah dalam PBM diidentifikasikan sebagai suatu situasi yang tidak terstruktur dengan baik, dapat diselesaikan tanpa menggunakan prosedur atau algoritma rutin. Kemudian masalah itu disesuaikan dengan tahap perkembangan mental siswa serta pengetahuan prasyarat mengenai situasi tersebut. Selain itu, siswa memiliki keinginan untuk menyelesaikannya. Stanick dan Kilpatrick (Schoenfeld, 1992, h. 2) mengatakan bahwa masalah telah menempati tempat yang sentral dalam kurikulum matematika sekolah sejak dahulu kala tetapi pemecahan masalah tidak demikian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hanya orang-orang yang belajar matematika beberapa dekade terakhir inilah yang memperoleh ide bahwa kemampuan mengembangkan pemecahan masalah layak mendapatkan perhatian khusus. Menurut Santrock (2007, h. 368) pemecahan masalah adalah suatu proses mencari cara yang tepat untuk mencapai tujuan. Pernyataan senada dari Solso, Maclin, dan Maclin (2008, h. 434) bahwa pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi untuk IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
46
masalah yang spesifik. Namun demikian dalam konteks pembelajaran matematika di sekolah, menurut NCTM (2000, h. 334) ada empat indikator dari pemecahan masalah matematis, yaitu: (1) siswa membangun pengetahuan matematis baru melalui pemecahan masalah; (2) siswa menyelesaikan masalah yang muncul dalam matematika dan dalam bidang lain; (3) siswa menerapkan dan menyesuaikan berbagai macam strategi yang cocok untuk memecahkan masalah; dan (4) siswa mengamati dan mengembangkan proses pemecahan masalah matematis. Lebih lanjut, NCTM (2000) menyatakan bahwa pemecahan masalah melibatkan konteks yang bervariasi yang berasal dari hubungan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang memuat konsep matematika. Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah adalah komponen penting untuk belajar matematika di masa sekarang dan mendatang. Dengan kemampuan pemecahan masalah, siswa akan membangun dan sekaligus memiliki kemampuan dasar yang lebih bermakna dari sekadar kemampuan berpikir, terlebih dengan mengaitkannya pada bidang lain. Kemudian, siswa dapat membuat strategistrategi penyelesaian untuk masalah-masalah lain, yang dipandang lebih efektif. Melalui pemecahan masalah siswa didorong supaya berpikir bahwa sesuatu itu multidimensi sehingga mereka dapat melihat banyak kemungkinan penyelesaian untuk suatu masalah dengan ketajaman pengamatan, analisis yang lebih baik, serta pengembangan proses pemecahan masalah itu sendiri. Sementara itu, salah satu cara untuk mempersiapkan siswa menjadi pemecah masalah yang efektif adalah dengan memberi mereka banyak pengalaman yang mencakup berbagai langkah, teknik atau strategi pemecahan masalah (Altun, 2005, h. 2). Sedangkan, menurut Polya (1978) untuk dapat memecahkan masalah matematika yaitu dengan menggunakan penalaran matematis berdasarkan konsep IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
47
matematika yang telah dikuasai sebelumnya. Lebih jauh, Polya (1978) mengajukan 4 langkah dalam pemecahan masalah, yaitu sebagai berikut. 1. Memahami masalah (getting to know the problem). 2. Merencanakan format penyelesaian (forming a solution plan). 3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana (carrying out the solution plan). 4. Melakukan pengecekan kembali (looking back). Pada penelitian ini, pemecahan masalah dianggap merupakan standar kemampuan yang harus dimiliki para siswa setelah menyelesaikan suatu proses pembelajaran.
Kemampuan
pemecahan
masalah
matematis
merupakan
kemampuan yang menjadi target pembelajaran matematika dan terukur. Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah, diperlukan alat ukur yang berbeda dengan alat ukur untuk mengukur kemampuan kognitif yang rendah. Dalam penelitian ini, untuk menyusun tes kemampuan pemecahan masalah matematis meggunakan standar yang dinyatakan oleh NCTM dalam dokumen yang berjudul Principles and Standards for School Mathematics tahun 2000. Hal ini, karena indikator-indikator yang disebutkan NCTM tersebut ada kesesuaian dengan tujuan pelajaran matematika di sekolah yang ada pada KTSP. Namun demikian, dalam pemberian skor tes kemampuan pemecahan masalah berfokus kepada proses, selain hasil yang didapat oleh siswa, atau dengan kata lain langkah-langkah pengerjaan siswa dalam menyelesaikan soal-soal harus dihargai seadil-adilnya berdasarkan penilaian yang objektif. Berkaitan dengan cara pemberian skor bagi tiap langkah pemecahan masalah, Sumarmo (1994, h. 25-26) mengemukakan seperti tercantum pada Tabel 2.1. berikut. IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
48
Tabel 2.1. Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Skor 0
1
2
3
4
Memahami Masalah Salah menginterprestasi atau salah sama sekali Salah menginterprestasi sebagian soal, mengabaikan kondisi soal
Membuat Rencana Melakukan Memeriksa Pemecahan Perhitungan kembali hasil Tidak ada rencana, Tidak melakukan Tidak ada membuat rencana perhitungan pemeriksaan atau yang tidak relevan tidak ada keterampilan lain Membuat rencana Melaksanakan Ada pemeriksaan pemecahan yang prosedur yang benar tetapi tidak tuntas tidak dapat dan mungkin dilaksanakan menghasilkan jawaban benar tetapi salah perhitungan Memahami Membuat rencana Melakukan proses Pemeriksaan masalah soal yang benar tetapi yang benar dan dilaksanakan selengkapnya salah dalam hasil / mendapatkan hasil untuk melihat tidak ada hasil yang benar kebenaran proses Membuat rencana yang benar, tetapi belum lengkap Membuat rencana sesuai dengan prosedur dan mengarah pada solusi yang benar Skor Maksimal 2 Skor Maksimal 4 Skor Maksimal 2 Skor Maksimal 2
Sumber : Sumarmo (1994) Pedoman penskoran yang dinyatakan Sumarmo (1994) di atas akan digunakan sepenuhnya dalam penelitian ini.
E. Kemampuan Penalaran Matematis Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (Depdiknas, 2006) menyatakan bahwa tujuan nomor dua dari mata pelajaran matematika SMA adalah agar para siswa SMA mampu atau kompeten dalam: “menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika”. Kompetensi ini oleh para guru bidang studi matematika yang kemudian disebut kemampuan penalaran matematis. IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
49
Sebelum mengupas mengenai penalaran matematis dari beberapa pakar bidang pendidikan matematika, perhatikan ilustrasi yang menggambarkan proses penalaran matematis berikut ini. Ibrahim adalah seorang siswa kelas XI SMA. Kepadanya dihadapkan sebuah segitiga ABC seperti tampak pada gambar di bawah ini. C α b
A
D
Kemudian segitiga
a
Ibrahim diminta
B untuk menemukan
luas
daerah
ABC melalui kegiatan yang sudah ditentukan, dengan
tujuan ditemukannya hubungan
bahwa sin (α + ) = sin α cos +
cos α sin . Perhatikan kegiatan dan proses berpikir yang harus dilakukan Ibrahim untuk menyelesaikan masalah tersebut. Langkah pertama, Ibrahim diminta untuk menyatakan panjang CD dalam a dan serta panjang AD dalam b dan α. Lalu diperoleh bahwa panjang CD = a cos dan panjang AD = b sin α. Langkah berikutnya Ibrahim diminta untuk menyatakan panjang CD dalam b dan α, dan panjang BD dalam a dan , sehingga diperoleh panjang CD = b cos α dan panjang BD = a sin . Langkah berikutnya Ibrahim diminta untuk menyatakan luas daerah segitiga ADC dan segitiga BDC masing-masing dalam a, b, α, dan . Pada langkah ini Ibrahim harus dapat melakukan proses berpikir bahwa luas daerah segitiga ADC =
BDC =
1 × panjang AD × panjang CD dan luas daerah segitiga 2
1 × panjang BD × panjang CD. Kemudian, karena panjang AD dan 2
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
50
panjang CD sudah dinyatakan berturut-turut dalam b dan α serta a dan maka luas daerah segitiga ADC =
1 (ab sin α cos ). Selain itu, karena panjang BD dan 2
panjang CD juga sudah dinyatakan berturut-turut dalam a dan serta b dan α maka luas daerah segitiga BDC =
1 (ab cos α sin ). Pada langkah berikutnya 2
Ibrahim mendapatkan kesimpulan bahwa luas daerah segitiga ABC = luas daerah segitiga ADC + luas daerah segitiga BDC =
1 1 (ab sin α cos )+ (ab cos α sin ). 2 2
Namun demikian, kemudian pada Ibrahim siswa kelas XI SMA tersebut dihadapkan segitiga yang tampak pada gambar berikut. C α+ b A
a B
Kemudian Ibrahim diminta untuk menemukan luas daerah segitiga ABC dengan menggunakan rumus umum luas daerah segitiga. Dalam hal ini Ibrahim menggunakan pengetahuan sebelumnya bahwa ternyata bahwa luas daerah segitiga ABC =
1 ab sin (α + ). 2
Dari dua gambar segitiga yang disajikan di atas yang sebenarnya sama, serta dalam konteks kegiatan mencari luas daerahnya dari dua pendekatan yang berbeda. Kemudian, Ibrahim akhirnya dapat menyimpulkan bahwa sin (α + ) = sin α cos + cos α sin . Proses memecahkan masalah seperti yang dilakukan oleh Ibrahim siswa kelas XI SMA yang diceritakan di atas, jelaslah bahwa dalam proses memecahkan masalah telah terjadi proses penarikan kesimpulan dari beberapa fakta yang ada.
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
51
Proses penarikan kesimpulan inilah yang dikenal dengan istilah penalaran (reasoning), sesuai dengan yang dikemukakan Copi (1978, h. 5) bahwa ”Reasoning is a special kind of thinking in which inference takes place, in which conclusions are drawn from premises”. Artinya, penalaran adalah suatu proses berpikir khusus dengan terjadinya penarikan kesimpulan, kesimpulan tersebut diambil berdasar pada premis/pernyataan yang ada. Dengan kata lain, penalaran adalah proses yang berusaha memperlihatkan hubungan fakta-fakta yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan atau pernyataan yang baru berdasarkan sifat-sifat atau hukum-hukum tertentu yang diakui kebenarannya. Secara garis besar terdapat dua jenis penalaran, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif adalah suatu proses kegiatan, atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum (general) berdasar pada beberapa pernyataan khusus yang diakui benar. Artinya dari pernyataan-pernyataan khusus diturunkan suatu kesimpulan. Penalaran induktif melibatkan keteraturan, misalnya kesamaan dari contoh-contoh yang berbeda atau kesamaan pola atau gambar. Berikut ini diberikan suatu ilustrasi penalaran induktif. 1+2+3=6 2+3+4=9
dan dan
3×2=6 3×3=9
3 + 4 + 5 = 12 4 + 5 + 6 = 15
dan dan
3 × 4 = 12 3 × 5 = 15
Beberapa contoh-contoh tersebut beserta contoh lainnya jika diteruskan dikenal dengan istilah kasus-kasus khusus atau pernyataan-pernyataan khusus. Berdasar pada kasus-kasus khusus tersebut maka ditarik kesimpulan dengan menyatakan secara umum (general) bahwa jumlah setiap tiga bilangan asli yang
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
52
berturutan selalu dapat dinyatakan sebagai tiga kali bilangan yang di tengah. Kata ’setiap’ pada pernyataan terakhir inilah yang disebut generalisasi dari kasus-kasus khusus atau pernyataan-pernyataan khusus. Proses penarikan kesimpulan atau membuat pernyataan umum (bentuk umum) dari kasus-kasus khusus inilah yang dikenal dengan penalaran induktif. Dalam penalaran induktif, meskipun pernyataan-pernyataan khusus yang dijadikan sandaran untuk menarik kesimpulan adalah benar, namun dalam matematika kesimpulan yang diperolehnya belum tentu benar. Karena dengan sepuluh, seratus, seribu, bahkan sejuta atau lebih contoh, masih tetap belum bisa meyakinkan atau belum cukup untuk menggeneralisasikan atau menyatakan bahwa jumlah setiap tiga bilangan asli yang berturutan selalu dapat dinyatakan sebagai tiga kali bilangan yang di tengah. Dengan demikian, penalaran induktif saja belum cukup. Dengan kata lain, matematika membutuhkan penalaran deduktif. Penalaran deduktif, merupakan kebalikan dari penalaran induktif. Pada penalaran deduktif, terjadi proses kegiatan, atau aktivitas berpikir dalam penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat umum (general) ke pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus. Berikut ini diberikan suatu ilustrasi penalaran deduktif. Diketahui ada pernyataan benar bahwa sinus dari jumlah besar dua sudut sama dengan hasil kali sinus dari besar sudut pertama dan kosinus dari besar sudut kedua ditambah hasil kali kosinus dari besar sudut pertama dan sinus dari besar sudut kedua. Dari pernyataan di atas sehingga diperoleh kesimpulan atau dibuat pernyataan lain bahwa sin 75o = sin (30 + 45)o = sin 30o cos 45o + cos 30o sin 45o. Penalaran deduktif menjamin kesimpulan yang benar jika pernyataan umum yang IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
53
dijadikan pijakan adalah benar. Jadi, penalaran merupakan suatu kegiatan, proses, aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Dalam pembelajaran matematika tentunya para siswa harus dibimbing untuk memiliki kemampuan penalaran induktif maupun penalaran deduktif. Hal ini sesuai dengan kesimpulan Kennedy (Hudoyo, 1990) dari hasil penelitiannya tentang penalaran di Amerika Serikat serta pernyataan Ansjar dan Sembiring (2000) sebagai pakar matematika Indonesia adalah bahwa kemampuan penalaran sangat diperlukan siswa untuk menyelesaikan suatu masalah matematika. Kemudian, para siswa harus diyakinkan bahwa penalaran deduktif merupakan cara terbaik yang harus digunakan untuk membuktikan teorema-teorema dalam matematika. Namun demikian, penalaran induktif juga sangat penting sebagai kegiatan awal menuju penalaran deduktif. Penarikan kesimpulan dengan penalaran induktif akan menjadi sangat penting. Karena ilmu pengetahuan tidak akan pernah berkembang tanpa adanya penarikan kesimpulan ataupun pembuatan pernyataan baru yang bersifat umum yang berasal dari kasus-kasus khusus (Djauhari, 2007). Hal inilah yang telah menjadi suatu kelebihan dari penalaran induktif dibandingkan dengan penalaran deduktif (deduksi). Demikian juga sebaliknya, kelebihan penalaran deduktif adalah adanya kesimpulan yang tidak akan bernilai salah jika pernyataanpernyataan awal yang dijadikan pijakan bernilai benar. Berkaitan dengan penalaran ini, Garden, Lie, Robitaille, Angell, Martin, Mullis, Foy, dan Arora (2006) mengungkapkan bahwa penalaran adalah salah satu domain kognitif matematika tingkat tinggi yang akan dijadikan acuan dalam pengembangan soal-soal untuk studi TIMSS 2008. Menurut Garden, dkk (2006, h. IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
54
19) reasoning, goes beyond the solution of routine problems to encompass the ability to use analytical skills, generalize, and apply mathematics to unfamiliar or complex contexts. Selanjutnya Garden, dkk (2006, h. 23) mengungkapkan bahwa penalaran matematika meliputi kemampuan menganalisis, mengeneralisasi, mensintesis/mengintegrasikan, memberikan alasan yang tepat, dan memecahkan masalah tidak rutin. Secara rinci, Garden, dkk (2006, h. 23) menuliskan dalam bentuk tabel berikut. Tabel 2.2. Komponen-komponen Penalaran Matematis Components of Reasoning Description Analyze Investigate given information, and select the mathematical fact necessary to solve a particular problem. Determine and describe or use relationships between variables or objects in mathematical situations. Make valid inferences from given information. Generalize Extend the domain to which the result of mathematical thinking and problem solving is applicable by restating results in more general and more widely applicable terms. Synthesize/Integrate Combine (various) mathematical procedures to establish result, and combine result to produce a further result. Make connections between different elements of knowledge and retalted representations, and make lingkes between related mathematical ideas. Justify Provide a justification for the truth or falsity of a statement by reference to mathematical result or properties. Solve Non-routine Problems Solve problems set in mathematical or real-life contexts where students are unlikely to have encountered similar items, and apply mathematical procedures in unfamiliar or complex contexts. Sumber: Garden, dkk (2006, h. 23)
Sementara itu, menurut Sumarmo (2007, h. 172) beberapa kegiatan yang tergolong dalam penalaran matematis di antaranya: (1) menarik kesimpulan logis;
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
55
(2) memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan; (3) memperkirakan jawaban dan proses solusi; (4) menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi dan generalisasi; (5) menyusun dan menguji konjektur; (6) merumuskan lawan contoh (counter example); (7) mengikuti aturan inferensi dan memeriksa validitas argumen; (8) menyusun argumen yang valid; dan (9) menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan menggunakan induksi matematika. Bagi siswa SMA kemampuan penalaran matematis yang baik tentu akan menjadi sangat penting untuk dimilikinya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa siswa SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi harus memiliki kemampuan penalaran matematis yang baik, jika tidak, maka mereka akan terus-menerus kesulitan dalam memahami disiplin ilmu lainnya. Sementara itu, untuk mengukur kemampuan penalaran matematis, diperlukan alat ukur yang berbeda dengan alat ukur untuk mengukur kemampuan kognitif yang rendah. Setelah menelaah beberapa pendapat dari para ahli maupun dokumen TIMSS, NCTM, dan KTSP yang diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa adalah kemampuan siswa dalam: (1) menarik suatu kesimpulan; (2) membuat suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar, dan (3) membuat dan menyelidiki konjektur. Kesimpulan mengenai kemampuan penalaran matematis
ini selanjutnya
akan digunakan sepenuhnya dalam
penelitian ini. Namun demikian, dalam pemberian skor tes kemampuan penalaran matematis berfokus kepada proses, selain hasil yang didapat oleh siswa, atau
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
56
dengan kata lain langkah-langkah pengerjaan siswa dalam menyelesaikan soalsoal harus dihargai seadil-adilnya berdasarkan penilaian yang objektif. Mengenai cara pemberian skor hasil tes kemampuan penalaran matematis dalam penelitian yang akan dilakukan, yaitu memodifikasi pedoman penskoran yang dikembangkan oleh Yumus melalui studinya tentang Levels of Reasoning in Mathematical Concepts among Preservice Mathematics Teachers tahun 2001. Adapun penskoran yang dinyatakan oleh Yumus (Castro, 2004) sebagai berikut. Tabel 2.3. Pedoman Penskoran Kemampuan Penalaran Skor 0 1 2
3
4
Deskripsi Salah sama sekali/tidak ada jawaban sama sekali. Memberikan hasil akhir, tetapi tidak memberikan alasan/penjelasan sama sekali. Memberikan ilustrasi melalui model/mengetahui fakta/mengetahui sifat serta hubungan-hubungan dari fakta-fakta yang ada, tetapi tidak dapat memberikan/menghasilkan argumen. Memberikan ilustrasi melalui model/mengetahui fakta/mengetahui sifat serta hubungan-hubungan dari fakta-fakta yang ada, dan dapat memberikan/menghasilkan argumen tetapi lemah argumennya. Memberikan ilustrasi melalui model/mengetahui fakta/mengetahui sifat serta hubungan-hubungan dari fakta-fakta yang ada, dan memberikan argumen yang kuat untuk menarik suatu kesimpulan.
F. Kemampuan Komunikasi Matematis Setiap orang yang berkepentingan dengan matematika akan memerlukan komunikasi dalam perbendaharaan informasi yang lebih banyak. Komunikasi adalah bagian yang esensial dari matematika dan pembelajaran matematika. Proses komunikasi yang baik akan membangun makna dan membantu memperbaiki gagasan yang lebih baik.
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
57
Dalam belajar matematika, komunikasi merefleksikan pemahaman terhadap materi ajar. Ketika para siswa dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, kemudian mereka diminta untuk memikirkan ide-ide mereka dan memberikan argumentasi dari idenya tersebut secara lisan ataupun tulisan. Pada saat itulah para siswa belajar untuk menjelaskan dan meyakinkan orang lain, mendengarkan gagasan atau penjelasan orang lain. Melalui kegiatan itulah siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan pengalaman dan membangun pengetahuan. Kemampuan mengomunikasikan ide, pikiran, ataupun pendapat, baik secara tertulis maupun lisan sangatlah penting. Seseorang tidak akan pernah menyandang gelar akademik apapun sebelum ia mampu mengomunikasikan ide atau gagasannya secara runtut dan sistematis secara lisan maupun tulisan. Secara umum, sejalan dengan semakin kuatnya tuntutan keterbukaan dan akuntabilitas dari setiap lembaga, kemampuan mengomunikasikan ide dan pendapat akan semakin dibutuhkan. Karena apabila kemampuan komunikasi rendah maka kemungkinan besar akan mengakibatkan kesalahpahaman bagi orang, dan akhirnya menimbulkan konflik. Itulah sebabnya, Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi menyatakan bahwa tujuan nomor empat pelajaran matematika SMA yang berkait dengan komunikasi dalam pembelajaran matematika adalah agar para siswa SMA dapat mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah (Depdiknas, 2006). Walle seorang pakar pendidikan matematika dari Virginia Commonwealth University
(2007)
mempertegas bahwa belajar berkomunikasi dalam matematika membantu
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
58
perkembangan ide atau gagasan siswa di dalam kelas karena siswa belajar dalam suasana aktif. Sebelum mengupas lebih jauh mengenai kemampuan komunikasi matematis yang diungkapkan oleh para pakar dibidangnya, perhatikan masalah dan penyelesaiannya yang mengilustrasikan komunikasi matematis. Masalahnya disajikan sebagai berikut. Buatlah
tabel
untuk
fungsi-fungsi:
x → x2 dan x → x + 1 dari
himpunan Q = {-4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4} ke himpunan bilangan bulat. Kemudian, pada koordinat Cartesius, gambarlah grafik dari kedua fungsi tersebut jika x merupakan anggota himpunan bilangan real. Lalu, tunjukan persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat dari kedua fungsi tersebut, dan berikan alasan.
Penyelesaian dari masalah di atas ditulis secara lengkap, runtut, dan jelas langkah demi langkah sebagai berikut. Perhatikanlah bahwa pada soal di atas ada tiga permintaan yang saling berkaitan. Pertama, misalkan B adalah himpunan bilangan bulat dan fungsi dari himpunan Q ke himpunan B memetakan x ke x2 diberi nama fungsi f maka ditulis secara singkat fungsi f: Q → B ditentukan oleh f: x → x2. Sehingga diperoleh rumus fungsi f adalah f(x) = x2. Dengan demikian tabel untuk fungsi f tampak sebagai berikut: x
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
f(x)
16
9
4
1
0
1
4
9
16
Misalkan B adalah himpunan bilangan bulat dan fungsi dari himpunan Q ke himpunan B memetakan x ke x + 1 diberi nama fungsi g maka ditulis secara singkat fungsi g: Q → B ditentukan oleh g: x → x + 1. Sehingga diperoleh rumus fungsi g adalah g(x) = x + 1. Dengan demikian tabel untuk fungsi g tampak sebagai berikut:
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
59
x x+1
-4 -3
-3 -2
-2 -1
-1 0
0 1
1 2
2 3
3 4
4 5
Kedua, dengan menggunakan tabel pada a. untuk fungsi f: Q → B ditentukan oleh f: x → x2 dapat digambar sebagai berikut:
Namun, apabila fungsi f tersebut pada himpunan bilangan real, sehingga fungsi f: → ditentukan f: x → x2 dapat digambar dengan menggambar kurva mulus yang melalui titik-titik yang ada pada gambar di atas. Dengan demikian, gambar dari fungsi f: → ditentukan f: x → x2 sebagai berikut:
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
60
Dengan menggunakan tabel pada a. untuk fungsi g: Q → B ditentukan oleh g: x → x + 1 dapat digambar sebagai berikut:
Y
5
4
3 2
1 -5 -4 -3 -2 -1 0 -1
1
2
3
4
5
X
-2
-3
-4
Namun, apabila fungsi g tersebut pada himpunan bilangan real, sehingga fungsi g: → ditentukan g: x → x + 1 dapat digambar dengan menggambar kurva mulus yang melalui titik-titik yang ada pada gambar di atas. Dengan demikian, gambar dari fungsi g: → ditentukan g: x→x + 1 sebagai berikut: Y 5
g(x) = x + 1
4 3 2 1 -5 -4 -3 -2 -1
0
1
2
3
4
5
-1 -2 -3 -4
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
X
61
Persamaannya kedua fungsi tersebut antara lain, yaitu: 1) mempunyai daerah asal yang sama yang dalam hal ini daerah asal tersebut adalah semua bilangan real; 2) grafik fungsi dari kedua fungsi tersebut dengan daerah asalnya merupakan semua bilangan real merupakan suatu kurva mulus. Sedangkan perbedaannya, fungsi yang pertama merupakan fungsi linier dan fungsi kedua merupakan fungsi kuadrat, karena pada fungsi pertama peubah x berpangkat tertinggi yaitu pangkat satu, sementara itu pada fungsi kedua peubah x berpangkat tertinggi pangkat dua. Selain itu perbedaannya, pada fungsi pertama grafik fungsinya merupakan garis lengkung (parabola), sedangkan pada fungsi kedua grafik fungsinya merupakan garis lurus.
Contoh di atas, menunjukkan cara penulisan penyelesaian dari masalah matematis yang berusaha untuk mengomunikasikan gagasan tentang proses penyelesaian masalah tersebut. Pengkomunikasian penyelesaian masalah tersebut di antaranya telah berusaha: (1) mengorganisasi dan menuliskan secara runtut pada proses penyelesaian di atas; (2) menggunakan simbol-simbol geometri dan aljabar serta tabel secara tepat, menggunakan grafik Kartesius beserta unsur-unsurnya secara rinci pada penyelesaian soal di atas; dan (3) mengomunikasikan gagasannya secara logis, rinci, dan jelas. Pada saat tulisan dari penyelesaian masalah tersebut di atas dibaca oleh pembaca maka pembaca akan berusaha untuk menangkap ide/gagasan, dan proses penulisan dengan cermat, analitis, kritis, dan evaluatif. Dengan demikian, dalam kemampuan komunikasi paling tidak ada dua hal yang perlu dimiliki, yaitu: (1) kemampuan menyampaikan gagasan, baik secara tertulis maupun lisan, dengan maksud untuk meyakinkan dan memfasilitasi ide dan prose pemikiran seseorang agar ide dan gagasannya tersebut dapat diterima para pembaca dengan mudah; serta (2) memahami dan menerima gagasan serta ide orang lain secara cermat, analitis, kritis, dan evaluatif untuk mempertajam pemahaman.
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
62
Namun demikian dalam konteks pembelajaran matematika di sekolah, menurut NCTM (2000, h. 348) ada komunikasi matematis, gagasan,
atau
empat
indikator
dari kemampuan
yaitu: (1) mengorganisasikan dan menggabungkan ide,
pemikiran
matematis
secara
tertulis
atau
lisan;
(2)
mengkomunikasikan ide, gagasan, atau pemikiran secara logis dan jelas kepada teman, guru, dan orang lain; (3) menganalisa dan menilai pemikiran dan strategi matematis orang lain; dan (4) menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide, gagasan, atau pemikiran matematika dengan tepat. Sementara itu, menurut Sumarmo (2007, h. 172) beberapa kegiatan yang tergolong dalam komunikasi matematis di antaranya: (1) menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, atau
model
matematika;
simbol
idea,
(2) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika
secara lisan atau tulisan; (3) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (4) membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika; (5) memperkirakan konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi, dan generalisasi; dan (6) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika dengan bahasa sendiri. Dalam penelitian ini, untuk menyusun tes kemampuan komunikasi matematis meggunakan standar yang dinyatakan oleh NCTM dalam dokumen yang berjudul Principles and Standards for School Mathematics tahun 2000. Hal ini, karena indikator-indikator yang dinyatakan NCTM ada kesesuaian dengan tujuan pelajaran matematika di sekolah yang ada pada KTSP dan dapat mewakili pendapat yang lain mengenai kemampuan komunikasi matematis. Sementara itu untuk menganalisis jawaban siswa, dalam penelitian ini digunakan sebuah panduan yang disebut Holistic Scoring Rubrics yaitu suatu prosedur yang IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
63
digunakan untuk memberikan skor atas respon atau jawaban yang diberikan siswa dari open-ended taks. Panduan pemberian skor menggunakan Holistic Scoring Rubrics menurut Cai, Lane, dan Jakabcsin, (1996, h.141) adalah seperti pada tabel berikut.
Skor
4
3
2
1
0
Tabel 2.4. Holistic Scoring Rubrics Deskripsi Memberikan jawaban lengkap dengan jelas, penjelasan tidak bermakna ganda; Dapat memasukkan sebuah diagram yang sesuai dan lengkap; Mengkomunikasikan secara efektif kepada audien; Memberikan argumen yang kuat yang disusun secara logis dan lengkap; Dapat memasukkan contoh dan contoh penyangkal. Memberikan jawaban hampir lengkap dengan penjelasan atau uraian jelas dan masuk akal; Dapat memasukkan diagram yang hampir sesuai dan lengkap; Dapat mengkomunikasikan secara umum dengan efektif kepada audien; Memberikan argumen pendukung yang disusun secara logis tetapi mengandung beberapa kesalahan kecil (minor gaps). Membuat kemajuan berarti, tetapi terdapat penjelasan atau uraian yang umbigius atau kurang jelas; Komunikasi (jawaban) mengandung sesuatu yang samar-samar atau sesuatu yang sulit untuk diinterpretasikan, atau argumen tidak lengkap atau mungkin didasarkan pada sebuah premis yang tidak disusun secara logis. Mempunyai beberapa unsure yang benar tetapi tidak lengkap atau menghilangkan bagian penting dari problem; Memuat diagram yang tidak sesuai dengan situasi soal, atau diagram tidak jelas dan sulit untuk diinterpretasikan; Penjelasan atau uraian hilang atau sulit untuk mengikutinya (alurnya tidak benar). Komunikasi tidak efektif; Dapat membuat diagram secara lengkap tetapi tidak merepresentasikan situasi soal; Kata-kata tidak merefleksikan soal.
G. Kecerdasan Emosional Secara umum bahwa proses pembelajaran di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Tidak sedikit orang yang berpendapat, untuk memperkirakan berhasil atau gagal dalam belajar di sekolah menengah atau di IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
64
perguruan tinggi bagi seseorang, menggunakan Intelligence Quotient (IQ) sebagai peramalnya. Alasannya, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Kenyataannya, dalam proses pembelajaran di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (1996, h. 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, di antaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Intellegence (EI). Secara umum kecerdasan emosional mempunyai peran besar dalam proses pembelajaran bagi siswa (Jensen, 2008, h. 308 – 309). Demikian juga dalam pencapaian kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa, kecerdasan emosional memiliki peran yang tidak sedikit. Hakikatnya, kecerdasan emosional menjadi pendukung dalam mencapai keberhasilan belajar. Kesadaran pentingnya kecerdasan emosional dalam pembelajaran bermula sejak awal abad ke-20. Carl Rogers, 1951; Abraham Maslow, Eysenck, dan Jung, 1923; Perkin, 1974; Atkinson 1979; McGaugh, 1998; MacLean, 1990; dan Goleman, 1996 (Suharnan, 2005; Jensen, 2008) adalah pakar-pakar dalam bidang psikologi pendidikan yang banyak menyumbang dalam perkembangan kecerdasan IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
65
emosional. Mereka menuliskan peran penting dari emosi dalam pembelajaran dengan menggunakan istilah dan pendekatan yang berlainan. Penelitian demi penelitian pun telah dilakukan sehingga beberapa peneliti semakin meyakini tentang peranannya dalam pembelajaran. Dengan demikian, kecerdasan emosional dalam pembelajaran bukan perkara yang baru dalam konteks pembelajaran serta diyakini berdampak besar pada hasil pembelajaran (Yusof, 2004, h. 218). 1.
Sejarah dan Pengertian Kecerdasan Emosional Pandangan tradisional di tahun 1940-an sampai 1950-an mengatakan bahwa
emosi adalah respon yang tidak teratur atau sebuah gangguan akut, serta dianggap bertentangan dengan akal (Salovey, 2005). Namun, di akhir tahun 1950-an pandangan tradisional mengenai emosi selanjutnya ditentang oleh Robert Leeper yang menyatakan bahwa justru dengan adanya emosi seseorang menjadi berenergi dan bertahan hidup (Salovey, 2005). Sementara itu, pandangan terhadap emosi saat ini sudah berubah menjadi positif. Kata emosi sendiri sebenarnya berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Goleman (1996, h. 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Goleman (1996, h. 411 – 412) mengemukakan beberapa macam emosi, yaitu: IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
66
a. amarah
: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. kesedihan
: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa;
c. rasa takut
: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri;
d. kenikmatan
: bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga;
e. cinta
: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih;
f. terkejut
: terkesiap, terkejut;
g. jengkel
: hina, jijik, muak, mual, tidak suka;
h. malu
: malu hati, kesal.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi, berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam The Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 1996, h. xvi). Menurut Mayer (Goleman, 1996, h. 65) orang cenderung menganut gayagaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu: sadar diri, IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
67
tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional yang baik agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan, pikiran, atau keadaan mental yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Sementara itu, istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Yale University dan John D. Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional
yang tampaknya penting bagi
keberhasilan (Santrock, 2007, h. 146). Kemudian, emotional intelligence (selanjutnya disingkat EI) ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman melalui bukunya yang best seller berjudul Emotional Intelligence. Sebenarnya, kecerdasan emosional ini bukan konsep baru dalam dunia psikologi. Lama sebelum Salovey, Mayer, dan Goleman, ada sejumlah nama seperti: (1) E. L. Thorndike di tahun 1920 yang mengungkap tentang social intelligence; (2) L. L. Thurston di tahun 1928 menelaah tentang multiple intelligences khususnya mengenai the nature of intelligence; (3) Robert Leeper di tahun 1948 yang menelaah tentang emosi sebagai sumber informasi; (4) Reuven Bar-On di tahun 1983 menulis disertasinya mengenai emotional intelligence; dan (5) Howard Gardner di tahun 1984 mempublikasikan hasil studinya tentang multiple intelligences. IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
68
Uniknya, kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak dan remaja sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional (Goleman, 1996). Kecerdasan emosional bukanlah lawan kecerdasan intelektual atau kemampuan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun praktis. Selain itu, kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 2003, h. 10). Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh BarOn pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Goleman, 1996, h. 180). Sementara itu, Salovey dan Mayer di tahun 1990 (Salovey, 2005, h. 3) menyatakan Maybe the idea of emotional intelligence is not a paradox, but rather, a sensible idea. In an early paper we published, we defined it as the ability to monitor your own and other people's feelings, to discriminate among them that is to tell the difference among them, and to use this information to guide thinking, and guide behavior. Gardner (Goleman, 1996, h. 50 – 53, Santrock, 2007, h. 146) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi, yang oleh Goleman disebut kecerdasan emosional. IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
sebagai
69
Menurut Gardner (Goleman, 1996, h. 50 – 53; Santrock, 2007, 146 – 147), kecerdasan pribadi terdiri dari: (1) kecerdasan antar pribadi (interpersonal) yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan, dan (2) kecerdasan intra pribadi (intrapersonal) adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri, kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif. Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 1996, h. 53). Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 1996, h.57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Menurut Goleman (1996, h. 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional
life
with
intelligence);
menjaga
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
keselarasan
emosi
dan
70
pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. 2.
Dimensi Kecerdasan Emosional Goleman mengutip Salovey (1996, h. 58 – 59) menempatkan kecerdasan
pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu: a.
Mengenali Emosi Diri Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2000, h. 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. b.
Mengelola Emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
71
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan diri (Goleman, 1996, h. 77 – 78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. c.
Memotivasi Diri Sendiri Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang
berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. d.
Mengenali Emosi Orang Lain Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.
Menurut Goleman (1996, h. 57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non-verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beragul, dan lebih peka (Goleman, 1996, h. 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
72
merasa frustasi (Goleman, 1996, h. 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan membaca perasaan orang lain. e.
Membina Hubungan Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 1996, h. 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu yang kurang bisa membina hubungan dengan orang lain, sulit untuk mendapatkan yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2000, h. 59). Ramah tamah, baik hati, hormat, dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif untuk mengidentifikasi siswa yang mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya. Dimensi-dimensi yang disebutkan oleh Goleman memiliki kesesuaian dengan dimensi-dimensi yang disebutkan Salovey maupun Gardner. Dengan demikian, memilih salah satunya dipandang dapat mewakili yang lainnya. Oleh sebab itu, berdasarkan kemudahan memperoleh atau mengembangkan alat
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
73
ukur/instrumen tentang EI maka untuk variabel EI dalam penelitian ini dipilih dimensi-dimensi EI dari Goleman.
H. Pembelajaran Berbasis-Masalah 1.
Pengertian Selama hampir dua dekade sejak penerbitan dokumen asli Standar NCTM
pada tahun 1989, bukti-bukti yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan sarana yang diduga kuat dan efektif untuk belajar terus menumpuk. NCTM (Walle, 2007, h. 38) menyebutkan bahwa pemecahan masalah bukan hanya sebagai tujuan dari belajar matematika, tetapi juga merupakan alat utama untuk belajar matematika. Lebih jauh NCTM (Walle, 2007, h. 38) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran matematika, sehingga seharusnya tidak dijadikan sebagai bagian yang terpisah dari program pembelajaran matematika. Artinya, proses memecahan masalah dalam matematika harus mencakup kelima wilayah materi yang digambarkan di dalam Standar NCTM dan masalah tersebut sebaiknya mengintegrasikan beberapa topik dan mencakup materi-materi yang esensial. Berdasarkan pernyataan NCTM di atas, maka sebaiknya siswa memecahkan masalah bukan untuk menerapkan matematika, tetapi untuk belajar matematika yang baru. Saat siswa melibatkan diri dalam tugas-tugas berbasis-masalah yang dipilih dengan baik dan memfokuskan pada metode-metode penyelesaiannya, maka akan memberikan hasil berupa pemahaman baru tentang matematika yang disisipkan di dalam masalah tersebut. Ketika siswa sedang aktif mencari hubungan, menganalisis pola, menemukan berbagai metode yang sesuai atau tidak sesuai, menguji hasil, atau menilai dan mengkritisi pemikiran temannya, maka IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
74
mereka secara optimal sedang melibatkan diri dalam berpikir reflektif tentang ideide yang terkait. Sampai sejauh ini banyak strategi cenderung mengarah pada bentuk pembelajaran
aktif,
pembelajaran
kooperatif,
pembelajaran
kolaboratif,
pembelajaran berbasis proyek dan banyak lagi yang lainnya. Pembelajaran berbasis-masalah (PBM) adalah salah satu cara pembelajaran yang lebih menonjol dibanding yang lain, sejak lahir pada tahun 1960-an di Fakultas Kedokteran Universitas McMaster Kanada (Neo dan Chyn, 2002, h. 9). Sampai saat ini PBM telah melebarkan sayapnya, khususnya dalam dunia keperawatan, konstruksi, teknik, bisnis, dan pendidikan. Pembelajaran berbasis-masalah (Problem-Based Learning) adalah suatu pembelajaran yang di awali dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah (Savery dan Duffy, 1995, h. 8; Tan, 2004, h. 7; Weissinger, 2004, h. 46). PBM lebih menekankan pada pemecahan masalah autentik seperti masalah yang tejadi dalam kehidupan sehari-hari (Santrock, 2007, h. 374). Dalam konteks pembelajaran matematika Shcoenfeld dan Boaler (Roh, 2003, h. 1) menyatakan bahwa PBM adalah suatu strategi pembelajaran matematika di dalam kelas dengan aktivitas memecahkan masalah serta memberikan peluang lebih banyak pada siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan berkomunikasi matematis dengan teman sebayanya. Dengan berbekal pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya, dalam PBM siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah yang sengaja diberikan oleh guru. Arends (Trianto, 2007, h. 68 – 69) menyebutkan karakteristik dari PBM yaitu: 1.
pengajuan masalah;
2.
berfokus pada keterkaitan antar disiplin;
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
75
3.
penyelidikan autentik;
4.
menghasilkan produk dan memamerkannya; dan
5.
kolaborasi. Sementara itu, Erickson (Dewanto, 2007, h. 27) menyatakan bahwa dalam
PBM: (1)
siswa diharapkan dapat merumuskan
masalah dari suatu situasi
matematis, yang memuat suatu prosedur yang tidak rutin atau yang tidak terstruktur dengan baik; (2) kemudian, siswa dapat menggali informasi terkait dengan masalah, membuat konjektur, dan menggeneralisasi tentang konsep dan prosedur matematika; (3) siswa diharapkan dapat membuat koneksi antar ide-ide matematis melalui penyelesaian masalah yang baru; (4) dalam merencanakan pembelajaran, pemilihan masalah yang membuat siswa berpikir adalah suatu strategi yang baik; (5) tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus memperlihatkan suatu situasi yang prosedur atau algoritmanya belum diketahui mereka dalam menentukan solusi; dan (6) masalah dalam tugas harus merupakan suatu aktivitas yang memfokuskan perhatian siswa pada suatu konsep matematika, generalisasi, prosedur atau cara berpikir tertentu, yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Melalui PBM siswa diharapkan akan berfokus pada kegiatan memecahkan masalah. Kegiatan memecahkan masalah yang disisipi konsep matematika tersebut memberikan kesempatan yang luas kepada para siswa untuk dapat saling bertukar ide atau pendapat, sehingga memperoleh pemahaman baru tentang matematika. Kemudian, kegiatan memecahkan masalah tersebut memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk dapat mencari hubungan, menganalisis pola, menemukan metode yang sesuai atau tidak sesuai, menguji hasil, menilai dan mengkritisi pemikiran temannya, sehingga pelibatan diri dalam proses pembelajaran matematika dapat dicapai dengan optimal. IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
76
Dengan demikian, sangat jelas bahwa melalui PBM siswa dikondisikan atau memiliki peluang besar beraktivitas untuk: (1) membangun pengetahuan matematis baru; (2) mencari, menemukan, dan mengaplikasikan dalam kaitannya dengan materi lain di dalam matematika maupun dalam bidang lain; (3) mencari dan menemukan berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi serta menentukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah;
(4)
mengamati, mengkritisi, dan mengembangkan proses penyelesaian masalah; (5) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (6) menunjukkan kemampuan dalam membuat, menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah; dan (7) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Apabila siswa melakukan aktivitas-aktivitas tersebut maka diduga mereka akan memiliki kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis yang baik. 2.
Masalah Matematis dalam Pembelajaran Berbasis-Masalah Dalam melaksanakan PBM, guru harus dapat mengelola kelas serta
mengembangkan berbagai permasalahan-permasalahan yang mengarah pada suatu konsep matematika yang akan disampaikan. Permasalahan itu bisa datang dari siswa secara individual atau klasikal, namun demikian belum tentu siswa dapat mengajukan masalah yang baik apalagi yang sesuai dengan topik yang akan dibahas. Jadi, di sini guru harus menyiapkan sejumlah permasalahan yang baik. Berikut ini ciri-ciri masalah yang baik yang digunakan dalam PBM berdasarkan pendapat Hiebert (Walle, 2007, h. 38 – 39). 1.
Masalah harus disesuaikan dengan kondisi siswa.
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
77
Rancangan atau pemilihan masalah harus didasarkan pada pemahaman terakhir yang dimiliki siswa. Siswa harus memiliki ide-ide agar bisa terlibat dan memecahkan masalah sebagai sesuatu yang menantang dan menarik. 2. Masalah harus dikaitkan dengan matematika yang akan dipelajari siswa. Dalam memecahkan masalah atau melaksanakan kegiatan, siswa harus diarahkan untuk memahami matematika yang terkait, sehingga mereka terlibat dalam mengembangkan pemahaman terhadap ide-ide matematika. 3. Jawaban dan metode pemecahan masalah memerlukan justification dan penjelasan. Siswa harus memahami bahwa tanggung jawab untuk menentukan apakah jawabannya benar dan mengapa benar adalah pada diri mereka. Pembenaran harus merupakan bagian utuh dari pemecahan mereka. Dari sejumlah ciri-ciri masalah yang baik yang digunakan dalam PBM menunjukkan bahwa masalah tersebut dikembangkan agar siswa dapat terlibat berpikir serta mengembangkan matematika yang perlu mereka pelajari dan miliki. 3.
Fase-fase dalam Pembelajaran Berbasis-Masalah Tidak sedikit guru-guru di sekolah menggunakan sebagian kecil waktunya
untuk menjelaskan atau meninjau ulang ide-ide dan kemudian melanjutkan ke tahap bekerja, yaitu siswa mengerjakan latihan soal. Pembelajaran yang diatur dengan pola ini membuat siswa memfokuskan diri pada cara-cara atau prosedurprosedur rutin untuk menyelesaikan latihan soal. Guru berkeliling menemui setiap siswa untuk menjelaskan kembali yang diperlukan. Hal ini sangat berbeda dengan pembelajaran yang berdasarkan pada sebuah masalah sebagai ciri dari PBM dan terpusat pada siswa.
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
78
Menurut Tsuruda (Walle, 2007, h. 42 – 48) bahwa ada tiga fase dalam PBM, yaitu sebagai berikut. 1.
Fase sebelum pembelajaran Ada tiga agenda yang terkait dengan fase sebelum pembelajaran, yaitu: (1) memastikan bahwa para siswa memahami masalah sehingga guru tidak perlu menjelaskan lagi ke setiap siswa; (2) menjelaskan hal-hal yang diharapkan dari siswa sebelum mereka menyelesaikan masalah; dan (3) menyiapkan mental siswa untuk menyelesaikan masalah dan memancing pengetahuan yang telah siswa miliki, sehingga pengetahuan tersebut berguna dalam memecahakan masalah.
2.
Fase selama pembelajaran Meskipun pada fase ini siswa bekerja sendiri atau dengan kelompoknya, terdapat agenda yang dapat dilakukan guru, yaitu: (1) memberikan kesempatan pada siswa untuk bekerja tanpa petunjuk dari guru atau dengan kata lain guru menghindari bantuan di awal kerja siswa; (2) menggunakan waktu ini untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan ide atau gagasan yang dimiliki siswa untuk memecahkan masalah; (3) memberikan bantuan pada saat-saat tertentu yang sesuai, tetapi hanya berdasarkan pada ide siswa dan cara siswa berpikir, namun dengan tidak memberitahukan metode pemecahannya; dan (4) memberikan kegiatan yang bermanfaat atau soal pengayaan bagi siswa yang dapat memecahkan masalah lebih awal.
3.
Fase sesudah pembelajaran Dalam fase sesudah pembelajaran, siswa bekerja sebagai komunitas belajar, berdiskusi, menguji, dan menghadapi berbagai macam penyelesaian yang diperoleh siswa lainnya. Di sinilah kebanyakan siswa mengungkapkan dan
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
79
memikirkan secara individual dan secara bersama-sama mengenai ide-ide yang telah mereka hasilkan. Kesalahan yang mudah terjadi adalah gagalnya merencanakan waktu yang cukup untuk diskusi atau menggunakan fase selama pembelajaran yang terlalu panjang. Agenda untuk fase setelah pembelajaran ini dapat dengan mudah untuk dikatakan tetapi sulit untuk dicapai. Agenda tersebut, yaitu: (1) melibatkan siswa dalam diskusi yang produktif dan mengusahakan mereka bekerja sama sebagai sebuah komunitas belajar; (2) menggunakan kesempatan ini untuk mengetahui cara siswa berpikir dan cara mereka mendekati permasalahan; dan (3) membuat ringkasan ide-ide pokok dan mengidentifikasi masalah-masalah untuk kegiatan selanjutnya.
I.
Aspek Kecerdasan Emosional pada Pembelajaran Berbasis-Masalah Pembelajaran yang holistik, yaitu pembelajaran yang tidak hanya
memperhatikan aspek kognitif, namun juga memperhatikan aspek lainnya seperti kecerdasan emosional. Berkaitan dengan hal ini, dalam usaha pencapaian harapanharapan mengenai hasil pembelajaran matematika dengan menggunakan PBM pun, aspek kecerdasan emosional perlu diperhatikan. Hal ini, karena aspek kecerdasan emosional dipandang sebagai aspek yang dapat dijadikan dasar untuk mengikuti proses pembelajaran berbasis-masalah berjalan secara baik. Pada PBM siswa diberikan peluang lebih banyak untuk berpikir kritis, kreatif, dan berkomunikasi matematis dengan teman sebayanya. Dengan bekal pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya, siswa di dalam PBM dituntut untuk menyelesaikan masalah yang sengaja diberikan oleh guru.
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
80
Namun demikian, kegiatan memecahkan masalah tersebut tidak mudah begitu saja berjalan secara lancar, jika guru maupun siswa tidak memperhatikan dan
mempertimbangkan
aspek
kecerdasan
emosional.
Guru
yang
mengesampingkan aspek kecerdasan emosional, seperti: mudah melontarkan kalimat yang menyinggung siswa; terlalu menekan siswa; menunjukkan sikap yang kesal; dan tidak peduli terhadap kesulitan siswa; akan menghambat siswa menjadi pemecah masalah yang handal (Shapiro, 2003, h. 143). Menurut Shapiro (2003, h. 148 – 149) perilaku guru yang mengesampingkan aspek kecerdasan emosional itu dapat membuat suasana yang tidak mendukung kegiatan memecahkan masalah dan tidak membantu perkembangan kecerdasan emosional siswa. Dengan demikian kecerdasan emosional perlu diperhatikan baik pada diri guru maupun siswa. Setiap guru yang menggunakan PBM sepantasnya menyadari bahwa pada setiap fase pembelajaran perlu memperhatikan aspek kecerdasan emosional dalam setiap kegiatannya. Pada saat memberikan masalah matematis di fase pertama pembelajaran, guru harus selalu yakin bahwa setiap siswa memahami masalah sebelum menyelesaikannya. Yang harus disadari oleh guru bahwa pandangan siswa terhadap masalah mungkin berbeda dengan pandangan guru. Menyelami emosi siswa dalam memahami masalah yang diberikan merupakan hal perlu dilakukan guru, sehingga dapat mengarahkan atau menyadarkan siswa untuk mengenali emosinya dalam mengahadapi masalah tersebut. Kemampuan siswa untuk mengenali emosinya merupakan hal yang penting, karena dengan itu siswa dapat mengendalikan emosinya secara baik sehingga dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik (Sunandar, 2008, h. 718; Shapiro, 2003, h. 167). Dalam kaiatan ini, siswa akan dapat berkonsentrasi dalam berpikir dengan lebih baik untuk memahami IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
81
masalah yang diberikan, sehingga dapat menyatakan kembali masalah dengan bahasanya sendiri tanpa merasa terpaksa (Goleman, 1996, h. 271). Selanjutnya, guru yang menggunakan PBM sepantasnya memandu para siswa untuk dapat merencanakan kegiatan yang harus mereka lakukan serta mempersiapkan untuk diskusi pada fase pembelajaran ketiga. Guru memandu siswa untuk menuliskan penjelasan secukupnya dari jawaban yang mereka ajukan sehingga mereka siap untuk berdiskusi pada saatnya nanti. Namun, tidak menuntup kemungkinan ketika siswa sudah memahami masalah yang diberikan, kemudian mereka tidak segera merencanakan dan mempersiapkan untuk kegiatan selanjutnya. Memotivasi siswa untuk memunculkan motivasi dalam dirinya menjadi bagian yang penting pada saat siswa bekerja. Karena, motivasi diri yang dimiliki oleh para siswa mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan stabilitas emosi yang dimiliki oleh siswa tersebut (Sunandar, 2008, h. 718, Martin, 2005, h. 55; ). Dalam kaitan ini, memberikan arahan sebagai kegiatan memotivasi siswa, yaitu arahan agar siswa dapat memandang penjelasan yang cukup merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari setiap penyelesaian, merupakan hal yang penting. Dengan demikian siswa dapat membuat rencana kegiatan selanjutnya serta persiapan untuk diskusi pada fase pembelajaran ketiga secara optimal. PBM merupakan suatu pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah. Dalam hal ini, sangat mungkin ada siswa yang tidak siap menghadapi masalah yang diberikan guru, sehingga tidak heran apabila kemudian siswa tersebut menjadi cemas, bersikap terlalu tegang untuk konsentrasi, tidak tenang, dan sebagainya (Goleman, 1996, h. 329 – 330). Pengelolaan emosi menjadi bagian yang penting pada bagian ini, karena dengan IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
82
emosi yang terkelola secara baik, siswa tidak akan mengalami banyak masalah dalam berinteraksi dengan masalah yang dihadapinya (Sunandar, 2008, h. 718; Willis, 2010, h. 83). Dalam kaiatan ini, guru memberikan stimulus untuk memanggil kembali pengetahuan awal siswa berkaitan dengan masalah yang dihadapinya sehingga meraka merasa punya bekal untuk meyelesaikan masalah tersebut dan secara simultan emosi siswa pun terkelola dengan baik. Jadi, dalam hal ini guru bertindaklah seperti sistem pendukung, yaitu menyediakan bantuan seperlunya sehingga emosi siswa selalu stabil (Shapiro, 2003, h. 172). Pada fase kedua ini, apabila para siswa sudah siap untuk melakukan kegiatan memecahkan masalah maka tetaplah memotivasi mereka untuk memulai kegiatannya. Sebaiknya guru dalam hal ini dapat mengkondisikan agar siswa bekerja dengan pengetahuan awal dan keyakinan mereka sendiri. Dengan kata lain hindari campur tangan guru yang terlalu banyak. Penilaian guru yang terlalu rendah terhadap kemampuan siswa dalam memecahkan masalah yang mengakibatkan mereka menjadi kurang percaya diri dalam memecahkan masalah (Shapiro, 2003). Guru harus dapat menahan diri untuk memberikan bantuan, sehingga mereka tetap berjuang menyelesaikan masalah yang diberikan. Ungkapan guru berkenaan dengan membolehkannya siswa untuk melakukan kesalahan, sangat penting. Karena hal ini akan membuat mereka terlepas dari cemas yang berlebihan (Shapiro, 2003, h. 166 – 169). Sementara itu, di sisi lain Boaler & Humphies (Walle, 2007, h. 46) menyatakan bahwa kesalahan yang dibuat oleh siswa akan menguntungkan dan memperkaya dalam diskusi. Dengan kata lain, guru harus menerima siswa secara positif ketika ada siswa yang merespon masalah yang diberikan guru jauh dari yang seharusnya. Dan sebaiknya IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
83
berawal dari respon siswa itulah, guru bisa mengarahkannya pada pengetahuan yang diharapkan dapat dibentuk siswa. Dalam fase kedua pada PBM, guru dituntut juga memiliki kecerdasan emosional yang memadai. Biasanya guru berkeliling memantau siswa yang sedang bekerja, kemudian sesekali guru menghampiri siswa. Di sini satu kesempatan guru untuk mendengarkan mereka dengan memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku siswa, dapat menempatkan diri dalam situasi siswa, serta melihat sesuatu dan sudut pandang mereka (empathy). Selain itu, guru berusaha menciptakan keterbukaan (openness) dan kehangatan (warmness). Dalam suasana seperti ini, siswa akan merasa aman untuk mengingat dan menggunakan pelajaran/pengetahuan
sebelumnya,
serta
dapat
mengembangkan
dan
mengemukakan pemikiran atau ide-idenya (De Porter, 2000). Diskusi di antara siswa merupakan kegiatan yang ada pada fase kedua dalam PBM. Pada kegiatan ini bagi siswa maupun guru memerlukan kemampuan mengenali emosi siswa lain dan kemampuan membina hubungan dengan baik dan efektif dengan siswa lain. Menurut Sunandar (2008, h. 718) hubungan baik sesama teman dengan bisa memahami kondisi dan keberadaan teman secara apa adanya menjadikan modal yang besar untuk berkolaborasi dalam penyelesaian masalah matematis yang diberikan guru. Lebih lanjut Sunandar (2008, h. 718) menyatakan bahwa membina hubungan baik dan efektif dengan siapapun serta mengenali emosinya merupakan salah satu pintu kesuksesan belajar, karena kesulitan apapun yang dialami oleh seorang siswa bila hubungannya baik dengan semua orang, akan mudah mendapatkan jalan penyelesaian. Dalam hal ini guru memfasilitasi jalannya diskusi secara hati-hati sehingga tidak ada siswa yang IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
84
merasa tertekan, dianggap bodoh, dan hal lain yang membuat siswa menjadi tidak empati pada siswa lain serta memperburuk hubungan antar siswa. Pada akhir fase pembelajaran dalam PBM, siswa bekerja dalam komunitas belajar. Pada fase inilah banyak hal yang dapat dipelajari siswa maupun guru. Para siswa dapat bertukar ide atau pendapat dengan siswa lainnya dalam proses menyelesaikan masalah, sehingga memperoleh pemahaman baru tentang matematika yang disisipkan pada masalah tersebut. Selain itu, para siswa mencari hubungan, menganalisis pola, menemukan metode mana yang sesuai atau tidak sesuai, menguji hasil, menilai, mengkritisi pemikiran temannya, dan mengkreasi solusi dari masalah. Melalui aktivitas ini secara optimal mereka melibatkan diri dalam proses pembelajaran matematika. Perasaan nyaman untuk mengambil resiko, mengungkapkan ide, pendapat, dan alasan matematis, merupakan hal yang utama dalam fase ini. Namun demikian, dengan proses yang terus menerus seperti ini, kecerdasan emosional dari guru dan siswa dituntut terlibat secara intensif. Karena, tanpa keterlibatan kecerdasan emosional guru maupun siswa, kegiatan atau situasi itu tidak secara lancar terbentuk bahkan mungkin akan menimbukan stres di dalam kelas. Sementara itu menurut Kato dan McEwen (Willis, 2010, h. 83) apabila stres terjadi di dalam kelas secara berlebihan akan menyebabkan gangguan pada memori jangka pendek dan jangka panjang serta menurunnya kualitas kinerja siswa. Lebih jauh, pada fase akhir dalam PBM, guru mengkondisikan suasana siswa tidak merasa terlalu dinilai oleh orang lain. Memberi penilaian terhadap siswa dengan berlebihan dapat dirasakan sebagai ancaman sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan diri (Ali dan Asrori, 2008, h. 56). Walaupun
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
85
kenyataannya, pemberian penilaian tidak dapat dihindarkan dalam situasi sekolah, tetapi paling tidak harus diupayakan agar penilaian tidak mencemaskan siswa, melainkan menjadi sarana yang dapat mengembangkan sikap kompetitif secara sehat. Dengan demikian, pada saat siswa mengungkapkan dan memikirkan secara individual dan secara bersama-sama ide-ide yang telah mereka kerjakan, guru harus berhati-hati dalam merespon (menilai) ide atau solusi yang disampaikan siswa. Di akhir diskusi pada fase akhir PBM, dalam membuat ringkasan guru sebaiknya menggunakan istilah-istilah yang digunakan siswa kemudian secara hati-hati perkenalkan istilah-istilah formal. Selain itu, hindari paksaan pada siswa untuk menggunakan suatu ide atau cara penyelesaian guna meyelesaikan permasalahan serupa di masa yang akan datang. Hal ini akan membuat siswa lebih nyaman dalam mengungkapkan ide atau cara penyelesaian di masa yang akan datang, sehingga keyakinan diri, keinginan melibatkan diri pada kegiatan berikutnya, keinginan untuk berhasil, akan bertambah baik (Goleman, 1996, h. 274). Menurut Goleman, 1996; Sunandar, 2008, dan Shapiro, 2003) apabila unsur-unsur yang berkaitan dengan kecerdasan emosional ini dilibatkan dengan baik selama proses pembelajaran maka membantu siswa dalam mempersiapkan menghadapi masalah belajar serta meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan demikian, keterlibatan kecerdasan emosional pada PBM diduga akan memacu sikap terbuka siswa dalam bertukar pikiran dan meningkatkan minat terhadap tantangan dari suatu masalah serta diduga siswa tidak mudah putus asa dalam proses memecahakan masalah. Selain itu, pertimbangan-pertimbangan berkaitan
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
86
dengan kecerdasan emosional yang diperhatikan dan diberi penekanan yang cukup pada proses pembelajaran, sesunggunya telah membina kecerdasan emosional atau bahkan mengembangkan kecerdasan emosional dari siswa itu sendiri (De Porter, 2000; Wilkinson, 2002; Shapiro, 2003; Goleman, 1996; Ali dan Asrori, 2008; Jensen, 2008). Pada akhir bagian ini, yang perlu diperhatikan dan tidak terbantahkan bahwa guru merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap proses dan hasil pembelajaran siswa di kelas. Demikian juga pada pembelajaran matematika yang menggunakan PBM, guru dituntut memiliki kemampuan-kemampuan yang akomodatif. Hal ini untuk mendukung atau memandu kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa mulai dari
fase pertama
pembelajaran hingga fase akhir
pembelajaran. Keperluan untuk memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dari seorang guru menjadi hal yang utama. Hal ini berdasarkan pada penelitian-penelitian para ahli kecerdasan emosional, yang menyatakan bahwa untuk mengembangkan atau melibatkan kecerdasan emosional dalam pola asuh anak harus diawali dari keteladan kecerdasan emosional yang baik dari orang tuanya (Syah, 1999, h. 138; Shapiro, 2003, h. 208, Darwis, 2006, h. 13).
J. Kecerdasan Emosional dan Kemampuan Berpikir Matematis Pandangan lama tentang otak adalah pikiran, tubuh, dan perasaan merupakan entitas-entitas yang terpisah, tetapi ternyata sebenarnya tak ada pemisahan antara fungsi-fungsi ini. Emosi membantu untuk memfokuskan pikiran. Jadi, antara emosi dan pikiran bukan dua hal yang saling bertentangan
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
87
melainkan keduanya saling mengisi dalam pengambilan suatu keputusan untuk merespon sesuatu (Martin, 2003; Jensen, 2008; LeDoux, 2010). Kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang sangat diperlukan untuk berprestasi dalam belajar, termasuk belajar matematika. Sementara itu, kemampuan berpikir matematis adalah kemampuan yang diperlukan dalam melaksanakan kegiatan proses matematis. Sebenarnya, keduanya dapat dipandang sebagai hasil belajar. Kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain (Goleman, 1996). Sementara itu, kemampuan berpikir matematis dapat diartikan sebagai kemampuan dalam melaksanakan kegiatan pada otak berkaitan dengan proses dan tugas matematis yang tidak bisa diamati prosesnya namun bisa dianalisis hasil kegiatannya (Sumarmo, 2007). Antara kecerdasan emosional dan kemampuan berpikir matematis, seharusnya menjadi dua hal yang tidak boleh dipisahkan dalam konteks belajar matematika. Pembelajaran yang menyeluruh, seharusnya menghargai atau melibatkan aspek
kecerdasan emosional dan kemampuan berpikir siswa (Jensen, 2008).
Kerja sama yang harmonis di antara kecerdasan emosional dan kemampuan berpikir matematis merupakan hal yang dianggap perlu dalam segala hal, termasuk belajar matematika. Dalam kajian ilmu biopsikologi Neokorteks (salah satu lapisan otak) dapat berpikir dengan cemerlang, bilamana ditunjang oleh suasana emosional yang menyenangkan, dan sebaliknya (Martin, 2005 Jensen, 2008, Willis, 2010). Jadi, sangat rasional untuk mengoptimalkan kecerdasan
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
88
emosional dan kemampuan berpikir matematis, pada saat pembelajaran matematika di kelas dibuat suasana aman sehingga muncul minat, motivasi, gairah, dan rasa senang, dan pada akhirnya otak neokorteks dapat melakukan fungsinya untuk berpikir dan belajar dengan baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kato dan Mc Ewen (Willis, 2010, h. 83) bahwa apabila siswa di dalam kelas merasa stres, tidak aman, ketakutan, atau gelisah maka dapat mengganggu pada memori jangka pendek atau jangka panjang, motivasi, dan penyelesaian masalah tingkat tinggi. Sebagai ilustrasi dalam pembelajaran matematika di sekolah, misalnya para siswa diberi tugas berupa pemehan masalah oleh guru sebagai berikut. Perhatikan gambar di bawah ini. Gambar di bawah adalah ram yang terbuat dari kawat. Seekor semut akan berjalan dari A ke B. Berapa banyak lintasan terpendek dari A ke B yang dapat dilalui semut? Berikan penjelasan secukupnya.
Tentu saja konsep yang berkaitan dengan masalah tersebut, yaitu konsep kombinasi yang telah diberikan. Pada saat siswa asyik menyelesaikan masalah ini tiba-tiba ada seorang siswa yang bertanya, kemudian direspon oleh gurunya dengan tidak menyenangkan serta terdengar dan terlihat oleh siswa lainnya. Dalam kondisi ini seluruh individu merasa ketakutan dan merasa tidak aman sebagai ekspresi dari terancamnya bagian otak mereka. Secara otomatis bagian otak tersebut memberi sinyal kepada kedua lapisan otak yang lain untuk siap IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
89
siaga. Pada otak mamalia (lymbic system) terjadi rasa takut tidak bergairah untuk belajar, tidak berminat, dan tidak termotivasi untuk terus duduk di tempat. Dalam waktu yang sama otak neokorteks tidak dapat berfungsi untuk berpikir dengan baik, sehingga tugas berupa pemecahan masalah tersebut tidak mungkin dapat diselesaikan pada saat itu dengan baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kato dan Mc Ewen (Willis, 2010, h. 83) bahwa apabila seseorang pada saat merasa tidak aman maka akan melepaskan zat kimia Trimethylin ke dalam otak yang akan mengganggu perkembangan sel otak atau kerja otak. Dengan demikian, agar para siswa dapat belajar dan berpikir, mestinya bagian otak penerima respon tersebut harus dikondisikan aman. Dalam kondisi aman, otak itu akan merespons secara positif sehingga individu mengepresikan emosi yang bergairah, senang, berminat, termotivasi. Selanjutnya aspek emosional tersebut akan memicu lapisan otak neokorteks untuk berpikir jernih, bernalar dengan baik, dapat memecahkan masalah, menemukan ide-ide baru, serta dapat mengkomunikasikannya dengan baik. Ikatan dan kerja sama antara emosional dan pikiran ini menimbulkan adanya saling mengisi antara keduanya. Hal ini memberi kekuatan yang luar biasa pada wilayah emosi dalam mempengaruhi berfungsinya pusat-pusat berpikir matematis.
K. Retensi dalam Konteks Pembelajaran 1.
Pengertian Retensi Kata retensi merupakan terjemahan dari kata retention dalam Bahasa
Inggris. Beberapa sumber memberikan pengertian yang berbeda tentang istilah retensi. Pada Merriam-Webster’s Advanced Learner’s Dictionary (2008, h. 1390) ditulis bahwa “retention is the ability to keep something”. Kemudian, pada Oxford IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
90
Learner’s Pocket Dictonary (1991) ditulis bahwa “retention is act of retaining”. Semetara itu, pada Dictionary of Psychology yang diterjemahkan oleh Kartini Kartono ditulis bahwa “retensi adalah ketegaran atau terus-menerus melekatnya satu perbuatan yang telah dipelajari” Meskipun pada beberapa sumber yang disebutkan di atas memberikan pengertian yang berbeda-beda, namun demikian cenderung memiliki satu kata kunci yang sama yaitu mempertahankan. Artinya poin utama dari pengertian kata retensi ada pada kata mempertahankan. Secara umum, yang dipertahankan tersebut dapat berupa perilaku, kemampuan, pengetahuan, dan lain-lain. Berkaitan dengan penelitian ini, kata retensi diartikan dalam konteks pembelajaran yang lebih cenderung merujuk pada arti dalam bidang psikologi. Berdasarkan beberapa pengertian retensi yang sudah dikemukakan di atas kata retensi dalam penelitian ini merujuk pada kemampuan mempertahankan pengetahuan dan kemampuan yang telah dimilikinya. 2.
Retensi Hasil Belajar Beberapa penelitian telah dilakukan oleh ahli psikologi dan pendidikan
tentang retensi di antaranya membuktikan bahwa siswa menyimpan banyak ingatan terhadap sesuatu yang telah dipelajari di sekolah. Retensi dan lupa merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Retensi merujuk pada porsi bertahannya pengetahuan atau kemampuan yang telah dipelajari dan di simpan dalam memori, sedangkan lupa merujuk pada porsi pengetahuan atau kemampuan yang hilang dalam memori. Ilmuwan yang pertamakali meneliti berkaitan dengan retensi adalah Herman Ebbinghaus pada tahun 1885 (Solso, dkk, 2008, h.216). Salah satu hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Ebinghaus adalah kurva retensi (kurva kelupaan IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
91
Ebbinghaus) mengenai hafalan suku-suku kata, menunjukkan bahwa retensi dapat berkurang dengan cepat setelah interval waktu tertentu. Studi tentang retensi dalam perkembangannya tidak hanya mengenai hafalan suku-suku kata tetapi juga berkaitan dengan retensi pengetahuan atau konsep-konsep yang sudah dipelajari seperti yang di temukan dalam artikel yang ditulis Conway, Cohen, dan Stanhope di tahun 1991. Para peneliti memberikan tes retensi materi yang telah dipelajari pada mata kuliah psikologi kognitif pada waktu lampau (12 tahun yang lalu). Artikel yang di tulis Conway, Cohen, dan Stanhope tersebut sebenarnya bukan laporan hasil penelitian yang pertama tentang perkembangan penelitian retensi. Akan tetapi di tahun 1975 Craik dan Tuvling melaporkan tentang retensi dari informasi yang lebih umum, seperti informasi dari peristiwa-peristiwa bermakna dan pemahaman konsep-konsep ilmiah secara mendalam (Karpicke dan Roediger, 2007; Solso, dkk, 2008). Menurut Winkel (1996) informasi dapat ditahan lebih lama melalui proses penyimpanan. Tentu saja yang dimaksud dengan proses penyimpanan ini berkaitan dengan cara informasi ini dapat diterima dan dikonstruksikan dan akhirnya disimpan dalam memori siswa. Sementara itu, Ormrod (2008) menyatakan informasi dapat bertahan lama dalam memori jika informasi itu diterima secara bermakna. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila banyak ilmuwan di bidang pendidikan menyatakan bahwa proses pembelajaran memegang peranan penting terhadap retensi hasil belajar. Selanjutnya, menurut Winkel (1996), Ormrod (2008), Solso (2008) gejala lupa mudah terjadi pada pengetahuan kognitif bila individu tidak berhasil mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
atau
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
tidak berhasil
mengaitkan
92
pengetahuan atau konsep yang dipelajarinya dengan pengetahuan atau konsep yang telah dimilikinya. Selain itu menurut Winkel (1996) lupa akan terjadi apabila materi yang dipelajari tidak menarik, tidak diperlukan individu sehingga tidak dihiraukan. Sementara itu menurut para psikolog (Ormrod, 2008) ada empat kemungkinan alasan orang secara aktual lupa pada hal-hal yang sebelumnya telah mereka simpan dalam memori jangka panjang, yaitu: kegagalan untuk memanggil kembali (failure to retrieve), kesalahan rekonstruksi (reconstruction error), interferensi (interference), dan kerusakan (decay). Lebih jauh, Ormrod (2008) memberikan penjelasan bahwa: (1) failure to retrieve adalah kegagalan untuk menemukan informasi yang ada dalam memori; (2) reconstruction error adalah kontruksi memori yang logis, namun tidak tepat dengan mengombinasikan informasi yang dipanggil dari memori jangka panjang dengan pengetahuan dan keyakinan umum seseorang tentang lingkungan sekitarnya; (3) interference adalah fenomena yang menunjukkan sesuatu yang disimpan dalam memori jangka panjang menghambat kemampuan seseorang untuk mengingat sesuatu yang lain dengan benar, dengan kata lain merupakan kegagalan dalam menggali informasi karena terhalang informasi lain; dan (4) decay adalah pelemahan secara bertahap informasi yang disimpan dalam memori jangka panjang, terutama jika informasi tersebut jarang digunakan. Berkaitan dengan pembelajaran matematika yang dilakukan di kelas diharapkan, tentu saja berharap memiliki hasil belajar yang baik atau mencapai standar yang telah ditentukan. Harapan yang lebih jauh dari pembelajaran matematika di kelas bukan hanya memberikan hasil belajar siswa yang baik sesaat setelah dilakukan proses pembelajaran. Namun, hasil belajar siswa tersebut
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
93
diharapkan bertahan lama sampai waktu yang tidak terbatas sedemikian hingga hasil belajar tersebut dapat dipanggil kapan saja pada saat dibutuhkan. Dengan kata lain, proses pembelajaran matematika di kelas diharapkan memiliki retensi hasil belajar yang baik. Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa studi tentang retensi dalam perkembangannya tidak hanya retensi yang sifatnya hanya mengingat saja, namun lebih luas lagi seperti, retensi hasil belajar, retensi pemahaman konsep dan retensi informasi yang sifatnya kompleks. Sementara itu, pada penelitian ini hasil belajar pada aspek koginitif yaitu kemampuan komunikasi matematis, penalaran, dan pemecahan masalah matematis. Artinya, berkaitan dengan penelitian ini retensi yang menjadi fokus kajian adalah retensi kemampuan komunikasi matematis, penalaran, dan pemecahan masalah matematis. Mengingat kemampuan komunikasi matematis, penalaran, dan pemecahan masalah matematis merupakan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi, maka tentu saja untuk menghasilkan retensi dari kemampuan-kemampuan tersebut tidak dapat mengandalkan pembelajaran yang bersifat menghafal
atau
pengulangan (rehearsal). Pembelajaran yang bersifat rehearsal tidak efektif untuk menghasilkan retensi yang baik. Dengan demikian, dalam pembelajaran dipandang perlu untuk memperhatikan cara siswa memperoleh pengetahuan matematis sedemikian hingga cara memperoleh pengetahuan tersebut menjadi bermakna dan memiliki retensi hasil belajar yang lebih baik (Winkel, 1996; Ormrod, 2008, Solso, 2008; Chan, 2009). Hal ini artinya, perlu diupayakan pembelajaran matematika yang bermakna bagi siswa atau pembelajaran matematika yang banyak melibatkan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan yang akan diperolehnya dan mengaitkan dengan pengetahuan awalnya. IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
94
L. Penelitian yang Relevan Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis dalam pembelajaran topik-topik matematika sekolah ataupun universitas, dapat kita temukan. Di antara penelitian tersebut yang di lakukan di luar Indonesia, dilakukan oleh Latterell (2003),
Biryukov (2004), dan Altun
(2005). Penelitian yang dilakukan Latterell (2003) mengambil subjek penelitian yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu 230 siswa kelas CPMP (Core Plus Mathematics Project Curriculum) dan 320 siswa kelas tradisonal. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah yang diukur pada tes-tes standar tidak memperlihatkan perbedaan-perbedaan antara sekolah CPMP dan sekolah tradisional, namun terdapat perbedaan antara siswa CPMP dan siswa tradisional dalam asesmen kinerja yang diamati. Sebagai contoh, siswa-siswa CPMP tampaknya lebih terlibat dalam proses pemecahan masalah apabila dibandingkan dengan kelas tradisional. Siswa-siswa CPMP lebih aktif di dalam proses melakukan pencarian solusi alternatif apabila dibandingkan dengan kelas tradisional. Selain itu, siswa-siswa CPMP lebih banyak melakukan bekerjasama sebagai kelompok dan mereka memperlihatkan lebih banyak langkah pada kerja tertulisnya apabila dibandingkan dengan kelas tradisional. Berkaitan dengan penelitian Latterell (2003) ini, salah satu alasan yang diduga sebagai penyebab kelas CPMP relatif lebih baik dalam asesmen kinerja yang diamati, yaitu pada pelaksanaan proses pembelajarannya yang berbeda di antara kedua kelas tersebut. Berikut proses pembelajaran yang dilakukan untuk masing-masing kelas secara umum. IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
95
Pembelajaran pada kelas CPMP 1. Mengadakan: menetapkan konteks suatu masalah yang akan didiskusikan di kelas. 2. Menyelidiki: aktivitas kelompok atau aktivitas pasangan siswa dalam permasalahan dan pertanyaan. 3. Memberi
dan
meringkas:
membawa
kelas
bersama-sama
untuk
mendiskusikan konsep dan metode. 4. Menerapkan: siswa secara individu praktek apa yang sudah dipelajari. Pembelajaran pada kelas tradisional 1. Guru bertindak sebagai penceramah tentang suatu informasi. 2. Siswa tidak disibukkan dengan mengerjakan penemuan. 3. Siswa bekerja secara individu. Sementara itu, Biryukov (2004) telah mengadakan penelitian tentang aspek metakognisi pada pemecahan masalah matematis dalam materi kombinatorik dimana yang mendasari penelitiannya adalah untuk membangun rekomendasi bagi pembelajaran matematika di dalam kelas. Tiga tujuan utama penelitian tersebut, adalah yang pertama, untuk mengobservasi perilaku metakognisi selama memecahkan masalah matematis. Kedua, untuk menilai pentingnya metakognisi dalam pemecahan masalah matematis dan ketiga untuk menganalisa strategi yang dipilih dalam memecahkan masalah kombinatorik pada matematika, keberhasilan, kesulitan dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Hasil dari analisis dan membandingkan laporan diri tentang cara penyelesaian mereka memecahkan soal kombinasi, memperlihatkan bahwa pembangkitan pengalaman metakognisi adalah
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
96
penting. Pada saat seseorang memiliki pengalaman metakognisi dan mengetahui cara menerapkan pengalaman tersebut, maka akan memiliki peluang lebih tinggi untuk dapat menyelesaikan masalah. Penelitian Noer (2007) mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar dengan pendekatan open-ended lebih baik daripada siswa yang belajar secara konvensional. Kelemahan yang paling banyak ditemui pada siswa dalam pemecahan masalah matematis adalah dari keempat aspek yang diamati (merumuskan masalah, merencanakan strategi penyelesaian, menerapkan strategi penyelesaian dan menguji kebenaran jawaban) adalah pada aspek merumuskan masalah dan menguji kebenaran jawaban. Sedangkan dalam aspek merencanakan strategi penyelesaian dan menerapkannya secara umum sudah baik. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan Altun (2005) mengambil subjek penelitian 17 mahasiswa ilmu fisika dan 14 mahasiswa ilmu kimia yang memilih kursus “Strategi Pemecahan Masalah” dengan menggunakan waktu 10 minggu. Pada permulaan studi, untuk menentukan tingkat keberhasilan mahasiswa itu pada pemecahan masalah, para mahasiswa diberi pretes terdiri dari 10 permasalahan non-rutin dan 3 pertanyaan terbuka yang meminta untuk menentukan pendapat mereka tentang pemecahan masalah sebelum pembelajaran dilaksanakan. Pada akhir
pembelajaran,
diadakan
postes
pemecahan
masalah
yang
mana
pertanyaannya berbeda namun materi dan tingkat kesulitannya sama dengan soal pretesnya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan dari pretes ke postes secara signifikan, serta dapat menciptakan sikap positif terhadap
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
97
matematika. Dalam penelitian ini para mahasiswa mempelajari strategi pemecahan masalah matematis melalui masalah-masalah yang diberikan, untuk setiap masalah dipelajari strategi penyelesaiannya yang disesuaikan dengan masalahnya. Namun demikian, penelitian Altun ini tidak memiliki kelas kontrol, sehingga tidak ada pembanding. Studinya mengenai pemecahan masalah siswa SLTP dan SLTA serta guruguru matematika dilakukan oleh Sumarmo dan dilaporkan pada tahun 1993, 1994, dan 1999. Dalam hal ini Sumarmo (1993) menemukan bahwa dalam tingkat berpikir formal siswa SMU belum berkembang secara optimal dan kemampuan pemecahan masalahnya masih rendah (1993). Keterampilan matematika yang dipandang sukar oleh siswa adalah pembuktian secara langsung, tidak langsung, dan induksi lengkap, penyelesaian yang menggunakan penalaran, perhitungan dalam geometri, membentuk model matematika, mencari hubungan antar data. Pengajaran pemecahan masalah matematis lebih berhasil pada kelompok siswa pandai (1994). Untuk itu, sebaiknya pembelajaran dilakukan dengan menarik dan mendukung pengembangan keterampilan tingkat tinggi pada siswa SMU. Dalam hal ini Sumarmo (1999) juga merekomendasikan agar guru melaksanakan pembelajaran secara kelompok dan menggali keterampilan tingkat tinggi siswa melalui teknik scaffolding atau probing, dan menggunakan model-model pembelajaran matematika lainnya. Guru jangan semata-mata melakukan pembelajaran klasikal. Hasil penelitian Hasbullah (2000) pada MAN 2 Kota Medan menemukan bahwa adanya perbedaan hasil belajar yang berarti antara siswa yang memperoleh
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
98
pembelajaran matematika dengan menggunakan model pemecahan masalah dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa, kecuali pada aspek perhitungan yang tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Kemudian Soekisno (2002) meneliti kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan strategi heuristik, dan menyimpulkan antara lain bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelompok eksperimen lebih baik apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sementara itu Suwangsih (2004) melaporkan lebih lengkap bahwa pembelajaran pemecahan masalah matematis dengan menggunakan model Group Investigation Technique dapat meningkatkan prestasi belajar siswa,
khususnya dalam hal kerjasama,
tolong menolong antar teman, kekompakan anggota dalam melaksanakan tugas, dan kemampuan melaporkan hasil pekerjaan kelompoknya. Hafriani (2004) mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa masih rendah, terutama pada saat mereka melakukan pemecahan masalah matematis secara individual dan bekerja berpasangan pada setiap tahap. Namun pada saat diskusi kelompok sudah ada peningkatan dalam menggunakan tahapan Polya. Mahasiswa memberi respon yang positif terhadap kegiatan pembelajaran pemecahan masalah matematis dengan menggunakan pembelajaran yang berpusat pada masalah (PCL). Hampir seluruh mahasiswa menyenangi pembelajaran ini, dan merasa terbantu dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Noer (2007) mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar dengan pendekatan open-ended lebih baik daripada
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
99
siswa yang belajar secara konvensional. Kelemahan yang paling banyak ditemui pada siswa dalam pemecahan masalah matematis adalah dari keempat aspek yang diamati (merumuskan masalah, merencanakan strategi penyelesaian, menerapkan strategi penyelesaian dan
menguji kebenaran jawaban) adalah pada aspek
merumuskan masalah dan menguji kebenaran jawaban. Sedangkan dalam aspek merencanakan strategi penyelesaian dan menerapkannya secara umum sudah baik. Atun (2006) menunjukkan hasil penelitiannya bahwa peningkatan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif Tipe STAD lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Atun (2006) juga mengemukakan bahwa pada proses pembelajaran, setelah permasalahan yang diberikan pada siswa didiskusikan dengan teman sekelompok, maka memungkinkan didapat jawaban benar dengan berbagai cara/langkah penyelesaian yang bervariasi. Lebih jauh Atun (2006) mengemukakan bahwa sesulit apapun suatu permasalahan yang diberikan pada siswa, mereka akan merasa ringan karena adanya diskusi kelompok dan siswa akan lebih terlatih
dalam
menyelesaikan setiap
permasalahan. Dengan demikian, pembelajaran secara kooperatif yang dilakukan pada penelitian Atun (2006) ini telah memberi kesempatan kepada siswa untuk diskusi setiap ada permasalahan (soal) sampai ditemukan solusinya, bahkan solusi yang bervariasi. Kemudian, pembelajaran secara kooperatif dilakukan pada penelitian Atun, telah memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling bertanya, saling mendengarkan, dan setiap siswa mempunyai peluang untuk bisa menjadi tutor
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
100
teman sebaya. Hal ini yang diduga menjadi penyebab meningkatnya kemampuan komunikasi matematik siswa, baik secara lisan ataupun secara tulisan. Hasil penelitian Herwati (2007) menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pendekatan matematika realistik dalam kelompok kecil lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan cara konvensional. Mengenai lebih baiknya peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis pada kelas eksperimen dibanding kelas
kontrol, penyebabnya serupa dengan yang beberapa hasil
penelitian yang telah diungkap di atas. Selanjutnya, Herwati (2007) menunjukkan bahwa kemampuan penalaran generalisasi matematis siswa yang belajar dengan pendekatan matematika realistik dalam kelompok kecil peningkatannya tidak signifikan. Hal ini mengisyaratkan pada penelitian ini, untuk lebih memperhatikan lagi yang berkaitan dengan penalaran generalisasi. Namun demikian, dari beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia berkaitan dengan kemampuan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah matematis menunjukkan hasil belajar dari kedua kelompok baik eksperimen maupun kontrol belum dapat dikatakan tuntas atau kurang optimal bahkan masih kurang sekali (Herwati, 2007; Putri, 2006; Suhenri; 2006; Atun; 2006). Hasil temuan ini sesuai dengan beberapa penelitian yang dilansir oleh Delisle yang menunjukkan bahwa dari beberapa hasil pembelajaran sebagian kecil saja yang mencapai tingkatan yang diharapkan dan menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi (Ratnaningsih, 2003).
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
101
Beberapa peneliti memberikan alasan bahwa tidak tercapainya hasil yang diharapkan tersebut disebabkan kurang terbiasanya siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang bersifat tidak rutin dan belum terbiasa dengan pembelajaran yang digunakan pada kelas eksperimen. Secara tersirat para peneliti tersebut dalam kaitan ini memberikan arahan pada suatu dugaan. Dugaan itu adalah seandainya penggunaan pembelajaran yang digunakan pada kelas eksperimen dilakukan dalam waktu yang relatif lebih lama maka harapan menguasai kemampuankemampuan matematis tingkat tinggi akan tercapai. Untuk itu, kaitan dengan capaian yang sesuai harapan yang dikaitkan dengan lamanya perlakuaan pada penelitian ini menjadi perhatiaan. Sementara itu, berdasarkan riviu terhadap hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, Goleman (1996) menyatakan bahwa kecerdasan emosional menyumbangkan lebih besar pada kesuksesan dalam kehidupan termasuk hasil belajar dari pada kecerdasan intelektual/rasional. Hasil studi yang dilakukan Kelly dan Caplan di tahun 1993 (Coper dan Sawaf, 2001) terhadap mereka yang berprestasi gemilang di dekat Princeton University, mengungkapkan bahwa perbedaan kinerja kelompok-kelompok yang dites bukan disebabkan karena IQ, melainkan karena EI dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek EI yang diperhatikan dalam studi ini yaitu memotivasi diri, mengambil inisiatif, bertanggung jawab, kekerabatan, dan saling percaya, kepedulian, keuletan, dan ketangguhan. Goleman (Martin, 2003) mengutip sebuah penelitian terbaru di bidang neuroscience, Studi ini menunjukkan bukti bahwa bagian otak primitif yang
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
102
mengontrol aktivitas insting, termasuk emosi, sangat mempengaruhi kerja bagian otak yang mengatur aktivitas berpikir. Akhirnya Goleman menyimpulkan bahwa segala respon sebenarnya berhubungan dengan emosi terlebih dahulu, dan bahkan untuk berhasil memecahkan masalah matematika sekalipun sebenarnya harus menghubungi emosi terlebih dahulu (Martin, 2003). Penelitian yang dikutip Goleman tersebut membawa Martin di tahun 1996 1997 melakukan penelitian di Indonesia. Martin melakukan penelitian pada siswa SLTP yang ber-IQ tinggi, yaitu di atas 120. Namun ternyata sebagian besar gagal di dalam mata pelajaran matematika di sekolah. Martin (2003) menyimpulkan dari hasil penelitian intensifnya tersebut bahwa penyebab kegagalan itu bukan pada IQ mereka tetapi pada pengendalian emosionalnya. Lebih jauh, Martin (2003) mengungkapkan bahwa para siswa yang mengalami kegagalan tersebut merasa cemas kalau mereka tidak akan paham dan membuat kesalahan. Selan itu juga disebabkan tidak senang pada guru matematikanya serta disebabkan oleh faktor emosional lainnya. Sementara itu, untuk menciptakan proses pembelajaran matematika dengan penggunaan potensi siswa secara optimal, Sunandar (2008, h. 704) menyatakan bahwa kecerdasan emosional yang dimiliki siswa perlu menjadi perhatian. Hal ini berdasar pada hasil penelitian Sunandar di tahun 2005 dan Darwis di tahun 2006 bahwa secara umum siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi lebih baik hasil belajar matematikanya jika dibandingkan dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah (Sunandar, 2008, h. 717; Darwis, 2007, h. 200-207). Namun demikian, penelitian Sunandar dan Darwis tidak mengungkapkan
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
103
mengenai
perkembangan
kecerdasan
emosional
tersebut
selama
proses
pembelajaran. Selain itu juga, penelitian Sunandar dan Darwis tidak mengungkap mengenai keterkaitan kecerdasan emosional dan kemampuan-kemampuan berpikir tingkat matematis tinggi selama proses pembelajaran. Untuk itu, penelitian ini mencoba untuk mengungkap hal-hal yang mungkin dapat melengkapi temuan-temuan penelitian sebelumnya. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan retensi dalam konteks pembelajaran, dapat kita temukan. Di antara penelitian tersebut yang di lakukan di luar Indonesia, dilakukan oleh Craik dan Lockhart (Solso, 2008), dan Conway, Cohen, dan Stanhope (1991). Hasil studi yang dilakukan Craik dan Lockhart di tahun 1972 (Solso, 2008) dalam level pemrosesan informasi memberikan gagasan umum bahwa informasi yang diterima melalui proses yang mendalam akan memberikan retensi yang lebih baik dibanding informasi yang diterima melalui proses yang dangkal. Gagasan hasil studi Craik dan Lockhart ini memberikan isyarat bahwa pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini harus diupayakan melalui suatu proses yang mendalam pada saat siswa menerima pengetahuan matematika. Demikian juga, penelitian ini mencoba untuk mengungkap mengenai pemrosesan informasi secara umum yang diungkap oleh Craik dan Lockhart berlaku atau tidak pada pemrosesan pengetahuan matematika. Adapun dalam studi Conway, dkk (1991) menguji sampel yang merupakan mantan mahasiswa yang mengikuti mata kuliah psikologi kognitif sejak 12 tahun yang telah lalu. Tes yang digunakan untuk mengukur retensi materi yang telah
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
104
dipelajari, yaitu berkaitan dengan mengingat nama-nama konsep, mengingat konsep, dan rekognisi konsep. Tes retensi diberikan pada sampel pada interval waktu 3, 15, 27, 39, 41, 53, 65, 77, 89, 101, 113, dan 125 bulan setelah selesai mempelajari materi mata kuliah psikologi kognitif. Hasil penelitian Conway, dkk menunjukkan
bahwa
retensi
nama-nama
konsep
menurun
lebih
cepat
dibandingkan dengan retensi mengingat konsep, dan rekognisi konsep. Namun demikian, penelitian Conway, dkk tidak mengungkapkan retensi keterampilanketerampilan yang diperoleh setelah mempelajari materi psikologi kognitif. Untuk itu, penelitian ini mencoba untuk mengungkap retensi dari keterampilanketerampilan atau kemampuan-kemampuan yang berkaitan dengan materi yang telah dipelajari.
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
105
IBRAHIM, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu