BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (PERKENI, 2015). 2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus Menurut International Diabetes Federation (2013), sekitar 382 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes dengan kecenderungan yang makin meningkat tiap tahunnya, dan diperkirakan dalam 20 tahun mendatang jumlah penderitanya mencapai 592 juta orang. Sedangkan di Indonesia pada tahun 2003 diperkirakan terdapat 13,7 juta penderita diabetes dengan perkiraan akan meningkat sebanyak 20,1 juta orang pada tahun 2030 (PERKENI, 2015). 2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus Diabetes melitus dapat diklasifikasi menjadi 4 tipe, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain, dan DM gestasional (PERKENI, 2015). Diabetes tipe 1 disebabkan oleh penghancuran sel β pankreas karena proses autoimun ataupun idiopatik, yang akhirnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Diabetes tipe 2 diakibatkan oleh resistensi terhadap insulin disertai defisiensi insulin. Diabetes tipe lain disebabkan oleh cacat genetik sel β pankreas ataupun kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (misalnya fibrosis kistik), endokrinopati, infeksi,
5
6
imunologi, dan tipe yang diinduksi oleh obat maupun zat kimia (Smith dan Singleton, 2012; PERKENI, 2015). 2.1.4 Diagnosis Diabetes Melitus Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan bila terdapat keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia, polifagia, serta penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, dapat disertai dengan keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (PERKENI, 2015). Diagnosis DM secara sederhana ditentukan oleh pemeriksaan glukosa darah puasa dan uji toleransi glukosa oral, meskipun kriteria terbaru juga menggunakan pengukuran hemoglobin A1c (HbA1c) (Smith dan Singleton, 2012). Kriteria diagnosis DM yaitu (PERKENI, 2015): 1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau 2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dL 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan beban 75 gram, atau 3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL dengan keluhan klasik, atau 4. Pemeriksaan HbA1c >6,5 mg/dL dengan menggunakan metode HighPerformance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standar NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c.
7
2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tujuan penatalaksanaan DM secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang, dapat dibagi 2 yaitu jangka pendek dan jangka panjang. 1.
Tujuan
jangka
pendek:
menghilangkan
keluhan
dan
tanda
DM,
mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. 2.
Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan tersebut di atas memiliki tujuan akhir pengelolaan berupa turunnya morbiditas dan mortalitas DM (PERKENI, 2015). Berdasarkan PERKENI (2015), terdapat 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, serta intervensi farmakologis yang semuanya dilakukan bersamaan untuk mencapai tujuan penatalaksanaan yang sudah dijabarkan di atas. 2.1.6 Penyulit Diabetes Melitus Penyulit DM dapat dibagi menjadi 2, yaitu penyulit akut (hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan status hiperglikemi hiperosmolar) dan penyulit menahun (makroangiopati, mikroangiopati, neuropati, dislipidemia, hipertensi, obesitas, dan gangguan koagulasi) (PERKENI, 2015). Untuk mencegah terjadinya penyulit kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik. Diabetes terkendali baik bila kadar glukosa darah, lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan demikian pula status gizi dan tekanan darah (Cheung dkk., 2009).
8
2.2 Nyeri Neuropati Diabetik Neuropati diabetik (ND) merupakan gangguan saraf berkaitan dengan diabetes, disebabkan oleh kerusakan serabut saraf di seluruh tubuh (Yagihasi dkk., 2011). Diabetes merupakan penyebab neuropati perifer tersering dengan sekitar 50% penderita menderita neuropati, dan 20% mengalami nyeri hebat, dikenal sebagai NND, yang seringkali tidak dilaporkan (12.5%) dan lebih sering lagi tidak diobati (39%) (Smith dan Singleton, 2012; Javed dkk., 2015). Prevalensi populasi dengan NND diperkirakan sekitar 0.8% dengan insiden berkisar dari 15.3 sampai 72.3 per 100.000 orang per tahun (Dieleman dkk., 2008; Hall dkk., 2008; Hecke dkk., 2014). Polineuropati distal simetris (PDS) merupakan bentuk klinis ND tersering yang mengenai 90% penderita (Tesfaye dkk., 2013). Secara umum, PDS mengenai ujung-ujung jari kaki tetapi akan berkembang perlahan ke arah proksimal sampai ke tungkai dengan distribusi seperti stocking (Aslam dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015). Ulkus pedis dan NND merupakan konsekuensi klinis utama PDS yang dikaitkan dengan morbiditas serta mortalitas yang lebih tinggi (Schreiber dkk., 2015). Definisi NND berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP) adalah suatu nyeri yang timbul sebagai akibat langsung dari abnormalitas sistem somatosensorik pada penderita diabetes (Treede dkk., 2008). Nyeri neuropati diabetik merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang sulit ditangani, ditandai dengan rasa kesemutan, terbakar, tertusuk, tertembak, tersayat, atau bahkan rasa tersetrum (Tesfaye dkk., 2013; Aslam dkk., 2014). Nyeri yang terjadi
9
bersifat konstan, disertai alodinia kutaneus, berintensitas sedang sampai berat, sering memburuk saat malam hari dan menganggu tidur, menyebabkan depresi sehingga menurunkan kualitas hidup penderita (Schreiber dkk., 2015). 2.2.1 Patofisiologi Nyeri Neuropati Diabetik Penyebab nyeri pada ND masih belum sepenuhnya dimengerti (Aslam dkk., 2014). Para ahli sudah berusaha mengidentifikasi kemungkinan abnormalitas struktural dan fungsional ataupun mekanisme terkait diabetes yang dapat membuat pasien cenderung mengalami NND (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Mekanisme nyeri pada ND sangat kompleks. Walaupun terdapat kemajuan besar dalam memahami mekanisme patofisiologi timbulnya komplikasi diabetes, tetapi sampai saat ini belum terdapat hipotesis yang dapat menjelaskan kenapa ada penderita yang mengalami NND dan ada yang tidak (Schreiber dkk., 2015). Meski gangguan fungsi serabut saraf kecil dianggap sebagai prasyarat bagi terbentuknya NND, bukti ilmiah yang tersedia tidak mendukung adanya hubungan antara nyeri dan neuropati murni pada serabut kecil (Spallone dan Greco, 2013). Kelainan pada sistem saraf pusat ataupun tepi dapat berhubungan dengan hiperglikemia, yang merupakan kunci abnormalitas metabolik dari diabetes (Aslam dkk., 2014). Beberapa teori diusulkan untuk menjelaskan nyeri terkait ND, seperti perubahan pembuluh darah yang menyuplai saraf perifer, gangguan metabolik dan autoimun disertai aktivasi sel glia, perubahan ekspresi saluran natrium dan kalsium, tingkat sitokin proinflamasi dan tumor necrosis factor-α (TNF-α), serta teori yang lebih baru yaitu mekanisme nyeri sentral, seperti peningkatan vaskularisasi talamus dan ketidakseimbangan jalur inhibisi desenden
10
(Purwata, 2011; Calvo dkk., 2012; Tesfaye dkk., 2013). Meskipun demikian, bukti-bukti yang sudah ada belum mampu memberikan kesimpulan pasti tentang mengenai inflamasi pada NND (Spallone dan Greco, 2013). Hiperglikemia diperkirakan memiliki efek hiperalgesik langsung yang independen terhadap kerusakan struktural saraf (Haanpää dan Hietaharju, 2015), namun bukan berarti faktor selain hiperglikemia tidak berperan dalam patofisiologi NND (Schreiber dkk., 2015). 2.2.1.1 Impuls listrik ektopik Diabetes akan menyebabkan disfungsi atau lesi pada serabut saraf tepi dan menyebabkan terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas membran (Purwata, 2011). Sprouting adalah pertumbuhan cabang akson yang baru, berasal dari akson induk yang masih berhubungan dengan badan sel dan merupakan hubungan antara serabut saraf yang rusak dengan yang normal, serta merupakan tanda kerusakan akson (Mutiawati, 2015). Kerusakan saraf akibat hiperglikemia kronis dapat menyebabkan sprouting yang tidak terhubung dengan organ target, dan akhirnya membentuk benjolan pada ujung tunas yang disebut neuroma. Tumbuhnya saraf baru ke segala arah menyebabkan kerusakan kolateral pada saraf yang sehat dan memperluas wilayah yang tersensitisasi (Aslam dkk., 2014). Pada neuroma akan terjadi akumulasi saluran natrium yang menyebabkan peningkatan eksitabilitas ataupun hipersensitivitas, serta berperan sebagai generator ektopik yang menghasilkan impuls ektopik dan akhirnya mempengaruhi saraf aferen sekitarnya serta badan sel ganglion radiks dorsalis (GRD) (Meliala, 2008; Aslam dkk., 2014). Hal ini menyebabkan respon hipereksitasi abnormal, spontan, dan
11
berlebihan, bersamaan dengan adanya peningkatan sensitivitas terhadap stimulus yang diberikan, dikenal sebagai sensitisasi perifer. Impuls listrik dari akson berserabut kecil pada kornu dorsalis medulla spinalis akan meningkat, mengubah "gerbang" serta menyebabkan pelepasan substansi P dan glutamat, mengakibatkan penghantaran impuls ke traktus asenden, yang dipersepsi sebagai nyeri (Aslam dkk., 2014).
Gambar 2.2 Impuls Ektopik oleh Neuroma (Stahl, 2008) 2.2.1.2 Perubahan mikrovaskular Perubahan mikrovaskular pada NND sering dikaitkan dengan kerusakan mikrovaskular. Pada studi klinis dan praklinis, didapatkan penurunan perfusi perifer, tidak hanya di jaringan saraf, namun juga di kulit, sehingga menjadi bukti
12
fisiologis penting dari perubahan mikrovaskular (Doupis dkk., 2009). Penebalan dinding dan hialinisasi dari lamina basalis pembuluh darah serta penyempitan lumen yang menyuplai saraf perifer yang terjadi bersamaan mengakibatkan iskemia pada saraf (Pavy-Le Traon dkk., 2010). Perubahan ini disebabkan oleh keluarnya protein plasma dari membran kapiler menuju endoneurium yang menyebabkan pembengkakan, ditambah tekanan interstisial dalam saraf, tekanan kapiler yang lebih tinggi, deposisi fibrin dan pembentukan trombus (Schreiber dkk., 2015). Hiperglikemia dapat menimbulkan hipoksia saraf, terutama saraf sensorik, dan mengubah stabilitas listrik. Iskemia saraf dapat menyebabkan hilangnya saraf secara progresif pada segmen proksimal dan distal, sehingga kepadatan serabut saraf intraepidermal berkurang, mengakibatkan degenerasi dan regenerasi aksonal (Jelicic dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015). Modifikasi struktural lain yang berhubungan
dengan
hiperglikemia
adalah
perubahan
selubung
mielin.
Demielinisasi yang terjadi dikaitkan dengan perubahan kapasitas sel Schwann untuk mendukung selubung mielin yang normal. Hal penting lain adalah terjadi perubahan fungsi endotel pada pasien NND. Seperti halnya ND, pada patofisiologi NND juga terlibat mekanisme yang serupa yaitu dengan berkurangnya vasodilatasi yang diinduksi asetilkolin serta terganggunya vasokonstriksi yang dimediasi oleh sistem saraf simpatis (Quattrini, 2007).
13
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu kemungkinan penyebab perubahan mikrovaskular adalah suatu stres oksidatif, oleh karena pengobatan dengan agen antioksidan dapat mempertahankan perfusi normal, dan memulihkan transmisi sensorik dalam model diabetes tipe 1 (Inkster dkk., 2007). 2.2.1.3 Aktivasi mikroglia Sel glia diketahui memiliki peran penting dalam patogenesis dari banyak penyakit sistem saraf, termasuk pada kondisi nyeri kronik. Sel glia meliputi makroglia (seperti astrosit, sel radial, dan oligodendrosit) serta sel mikroglia, yang bertanggung jawab untuk mempertahankan homeostasis, membentuk mielin, menyokong serta memberi perlindungan terhadap neuron pada sistem saraf pusat ataupun tepi (Mika dkk., 2013). Selama 10 tahun terakhir, para peneliti telah mengakui bahwa hubungan antara mikroglia, serta neuron berperan penting dalam berkembangnya nyeri neuropatik (Calvo dkk., 2012). Normalnya, sel mikroglia menyusun kurang dari 20% sel glia medulla spinalis, namun saat terjadi cedera pada saraf di tingkat GRD dan medulla spinalis, maka sel mikroglia akan mengalami proliferasi hebat pada tingkat spinal (Kettenmann dan Verkhratsky, 2008). Aktivasi mikroglia terjadi sesaat setelah cedera saraf tepi, berlangsung kurang dari 3 bulan, serta bertanggung jawab terhadap produksi beberapa mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan subtans sitotoksik seperti oksida nitrit dan radikal bebas yang mendorong lingkungan
pro
inflamasi
(Schreiber
dkk.,
2015).
Beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa mikroglia di medulla spinalis menjadi aktif dalam kondisi
14
hiperglikemia, dari 4 minggu sampai 8 bulan. Aktivasi mikroglia ini dikaitkan dengan peningkatan pelepasan sitokin proinflamasi, perubahan sensorik dan regulasi naik saluran natrium Nav1.3 pada GRD sehingga menimbulkan dan mempertahankan nyeri neuropatik (Cheng dkk., 2014; Haanpää dan Hietaharju, 2015). Sebaliknya, diabetes dihubungkan dengan berkurangnya sifat imunoreaktif protein asam glia di medulla spinalis yang dapat mempengaruhi dukungan fungsional dan peran dari sel astrosit pada jaringan saraf, seperti pembersihan neurotransmiter di dalam celah sinaps (Schreiber dkk., 2015). 2.2.1.4 Hiperaktivitas jalur poliol Kelainan metabolik merupakan penyebab primer ND. Menurut Schreiber dkk. (2015), hiperglikemia yang ditimbulkan melalui penurunan sekresi insulin ataupun resistensi insulin, bertanggung jawab untuk meningkatnya aktivitas jalur poliol. Enzim awal untuk jalur ini, aldose reduktase mengkatalisasi pembentukan sorbitol dari glukosa, kemudian sorbitol dioksidasi menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase (Oates, 2002). Selama kondisi hiperglikemia, afinitas aldose reduktase untuk glukosa menjadi lebih tinggi, membuat suatu keadaan stres osmotik intraselular akibat penumpukan sorbitol yang tidak dapat melewati membran sel. Menariknya, kerusakan saraf yang mengikuti kondisi diabetes nampaknya tidak disebabkan oleh stres osmotik ini karena terdapat laporan mengenai konsentrasi sorbitol yang tidak bermakna pada saraf pasien diabetes (Schreiber dkk., 2015). Selain meningkatkan produksi sorbitol, aktivasi jalur poliol
dapat
menyebabkan kerusakan sel Schwann, dan defisiensi mio-inositol dalam saraf
15
(Oates, 2002; Zychowska dkk., 2013). Menurunnya konsentrasi mio-inositol menyebabkan disfungsi enzim ATP-ase Na+/ K+ renal yang diperlukan untuk depolarisasi saraf (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Semua perubahan tersebut di atas dapat menyebabkan perubahan struktural dalam saraf, seperti degenerasi Wallerian dan demielinasi segmental, mengakibatkan kerusakan saraf dan hilangnya serabut saraf (Zychowska dkk., 2013). Hipotesis yang diterima saat ini menyatakan bahwa hiperaktivitas jalur poliol merupakan suatu kelainan primer dengan meningkatnya perubahan kofaktor seperti nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hydrogen (NADPH) dan nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+), yang menyebabkan berkurangnya reduksi dan regenerasi glutation, begitu pula peningkatan produksi advanced glycation end products (AGEs) dan aktivasi diasilgliserol (DAG) serta protein kinase C (PKC) (Schreiber dkk., 2015). Deplesi glutation kemungkinan menjadi penyebab primer stres oksidatif dan berhubungan dengan akumulasi toksik (Oates, 2002). 2.2.1.5 Stres oksidatif Hiperglikemia dapat menginduksi peningkatan produksi radikal bebas di mitokondria (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Bersamaan dengan melemahnya pertahanan antioksidan, radikal bebas mengaktifkan jalur ataupun enzim perusak tambahan seperti jalur poliol, enzim poly(ADP-ribose) polymerase (PARP), dan glikasi non-enzimatik dari protein, menyebabkan peningkatan pembentukan AGEs yang terlibat dalam pembentukan radikal bebas (Zychowska dkk., 2013; Haanpää dan Hietaharju, 2015).
16
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, aktivasi jalur poliol merupakan penyebab primer stres oksidatif terkait diabetes. Stres oksidatif dapat memulai autooksidasi glukosa dan metabolitnya, meningkatkan pembentukan AGEs intraselular,
meningkatkan
ekspresi
reseptor
AGEs
dan
ligan
yang
mengaktifkannya, mengubah fungsi mitokondrial, aktivasi isoform PKC dan overaktivitas jalur heksosamin (Giacco dan Brownlee, 2010). Penelitian sebelumnya mendapatkan stres oksidatif disebabkan oleh pembentukan radikal bebas yang meningkat akibat metabolisme glukosa itu sendiri dan/atau defisit pada pertahanan antioksidan serta mungkin berperan penting pada mekanisme patogenik ND (Schreiber dkk., 2015). 2.2.1.6 Metilglioksal dan nyeri Metilglioksal (MG) merupakan produk sampingan intraselular reaktif dari beberapa jalur metabolik, dengan sumber terpenting adalah glikolisis dan hiperglikemia, mampu mengaktifkan saraf tepi dan memodifikasi saluran natrium yang spesifik terhadap nosiseptor, yaitu Nav1.8 (Bierhaus dkk., 2012; Tesfaye dkk., 2013; Aslam dkk., 2014). Konsentrasi MG dalam plasma meningkat secara bermakna pada pasien NND dibandingkan kontrol orang sehat ataupun pasien diabetes tanpa nyeri (Bierhaus dkk., 2012). Sedangkan penelitian pada hewan menunjukkan bahwa MG dapat memperlambat konduksi saraf dan menyebabkan hiperalgesia termal dan mekanik. Hasil ini menunjukkan bahwa modifikasi MG pada Nav1.8 berperan dalam hiperalgesia terkait NND yang dihubungkan dengan peningkatan eksitabilitas listrik dan memfasilitasi firing neuron nosiseptif. (Bierhaus dkk., 2012; Spallone dan Greco, 2013; Tesfaye dkk., 2013).
17
2.2.1.7 Sensitisasi sentral Nyeri neuropati diabetik merupakan konsekuensi perubahan sistem saraf pusat dan tepi. Selama terjadi NND, serabut aferen primer mengalami sensitisasi, menyebabkan hiperaktivitas kornu dorsalis dan perubahan neuroplastik pada neuron sensorik sentral (Schreiber dkk., 2015). Sensitisasi perifer dan impuls berlebih yang berkelanjutan di kornu dorsalis menyebabkan peningkatan respon terhadap rangsangan noksius maupun non noksius. Kejadian alodinia yang sering dialami pasien NND mendukung teori bahwa proses nyeri pada sistem saraf pusat mengalami perubahan, yang kemungkinan disebabkan oleh plastisitas struktural tunas serabut A-beta, yang mengarah ke pembentukan serabut kembali dari lamina kornu dorsalis dalam sistem saraf pusat (Aslam dkk., 2014). Faktor yang dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron spinal pada ND adalah peningkatan glutamat yang lepas dari aferen primer medulla spinalis (Wang dkk., 2007). Lebih jauh lagi, ekspresi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) spinal akan bertambah dalam kondisi ini, menyebabkan pelepasan glutamat dan eksitasi pascasinaps yang lebih sering dan meningkat (Wang dkk., 2007; Bai dkk., 2014). Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan ekspresi NMDA dan pelepasan glutamat dapat berkontribusi terhadap hiperaktivitas medulla spinalis. Di sisi lain, reseptor GABA-B mengalami regulasi turun di medulla spinalis pada pasien ND (Bai dkk., 2014). Aktivasi reseptor GABA-B menyebabkan inhibisi aktivitas reseptor NMDA melalui inhibisi langsung saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan serta pembukaan saluran kalium, serta meregulasi turun
18
reseptor NMDA di tingkat spinal pada tikus diabetes (Bai dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015). 2.2.1.8 Modulasi simpatis nyeri Serabut nosiseptif A-delta dan C normalnya tidak langsung terhubung ke sistem saraf simpatis. Teori yang sudah diterima secara luas yaitu sistem saraf simpatis tidak mengaktifkan sistem saraf sensorik dalam kondisi normal (Aslam dkk. 2014). Neuropati menyebabkan hipersensitivitas pada saraf sebagai akibat transmisi abnormal yang dimediasi oleh epinefrin dari satu akson yang lain, disebut dengan transmisi epaptik (Aslam dkk., 2014). Saraf yang rusak di perifer juga menyebabkan pembentukan keranjang, disebut sprout simpatik di GRD, yang menghasilkan pelepasan noradrenalin, dan pada akhirnya menyebabkan hubungan saraf simpatik-sensorik (Kanno dkk., 2010). Hal ini menyebabkan peningkatan ektopik dan firing spontan, disebut sebagai nyeri yang dipertahankan secara simpatik (symphatetically maintained pain) (Aslam dkk., 2014). 2.2.2 Diagnosis Nyeri Neuropati Diabetik Diagnosis NND merupakan diagnosis klinis yang berdasarkan deskripsi nyeri oleh pasien dengan penyebab nyeri neuropatik lainnya harus disingkirkan (Tesfaye dkk., 2010). Gejalanya dirasakan pada bagian tubuh distal, simetris, sering dihubungkan dengan perburukan nokturnal, dan seringkali dideskripsikan seperti tertusuk-tusuk, sakit di bagian dalam, tajam, seperti tersetrum, dan terbakar, serta sering ditemukan hiperalgesia dan alodinia pada pemeriksaan (Tesfaye dkk., 2013; Aslam dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015). Sejumlah skala
19
penilaian numerik sederhana dapat digunakan untuk menilai frekuensi dan derajat nyeri. Derajat nyeri dapat dinilai dengan skala analog visual (VAS) ataupun skala penilaian nyeri numerik (NPRS) yang sudah banyak digunakan pada penelitianpenelitian mengenai nyeri. Sedangkan untuk menilai nyeri neuropatik, terdapat beberapa alat penapis yang dapat digunakan dengan mayoritas penelitian menggunakan Douleur Neuropathique en 4 Questions (DN4), Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS), dan Pain Disability Quetionnaire (PD-Q). Setiap alat penapis memiliki kelebihan dan kekurangannya sendirisendiri. Berdasarkan suatu ulasan oleh CDTH (2015) dari 14 penelitian mengenai akurasi diagnostik alat penapis, DN4 merupakan alat penapis yang paling baik dengan sensitivitas 76 sampai 100% dan spesifisitas 45 sampai 92% pada semua pasien dewasa dengan nyeri, lebih unggul dari LANSS, PD-Q, dan Neuropathic Pain Quetionnaire dalam mendeteksi suatu nyeri neuropatik. Kuesioner DN4 pertama kali dikembangkan oleh kelompok nyeri neuropatik Perancis pada tahun 2005 untuk membedakan nyeri neuropatik dan nonneuropatik, berisi 10 komponen gabungan antara wawancara dan pemeriksaan fisik (Bouhassira dkk., 2005). Uji validasi DN4 sebagai alat penapis untuk NND oleh Spallone dkk. (2012) menunjukkan bahwa DN4 memiliki akurasi diagnostik yang tinggi dengan sensitivitas 80%, spesifisitas 92%, nilai prediktif positif 82%, dan nilai prediktif negatif sebesar 91%. Uji reliabilitas DN4 dalam Bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Lestari dkk. (2013) dengan nilai kesepakatan antar pemeriksa sangat baik (κ=0,86).
20
2.2.3 Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetik Penatalaksanaan NND didasarkan pada tiga pendekatan utama: kontrol glikemik intensif dan manajemen faktor risiko, pengobatan berdasarkan mekanisme patogenesis, dan terapi nyeri (Javed dkk., 2015). Memaksimalkan kontrol glukosa adalah tujuan utama pada pasien yang sudah menderita NND dan pada mereka yang memiliki risiko terkena NND (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Meskipun bukti uji coba terkontrol masih kurang, beberapa penelitian observasional menunjukkan bahwa gejala neuropati membaik tidak hanya dengan kontrol glukosa optimal, tetapi juga dengan menghindari fluktuasi glukosa darah yang ekstrim (American Diabetes Association, 2012). Selain kontrol glukosa darah yang ketat, modifikasi gaya hidup dan penanganan faktor risiko kardiovaskular adalah cara penting untuk mencegah perkembangan NND (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Pengobatan berdasarkan patogenesis yang diusulkan meliputi asam α-lipoic (mencegah pembentukan spesies oksigen reaktif), benfotiamin (mencegah kerusakan vaskular pada diabetes) dan penghambat aldose reduktase (mengurangi fluks melalui jalur poliol) (Tesfaye dkk., 2013; Javed dkk., 2015; Schreiber dkk., 2015). Obat-obat tersebut masih dalam penelitian dan belum dijadikan sebagai acuan terapi dalam pedoman klinis untuk penanganan NND. Pengobatan simtomatik NND tetap menjadi tantangan utama bagi para dokter karena patofisiologi yang masih belum dimengerti sepenuhnya serta perbaikan gejala nyeri belum memuaskan (Haanpää dan Hietaharju, 2015; Schreiber dkk., 2015). Secara umum pada uji klinis, penanganan NND dikatakan berhasil apabila
21
pasien mengalami perbaikan nyeri sebesar 50% (Schreiber dkk., 2015). Berbagai jenis obat, baik yang digunakan secara tunggal ataupun kombinasi menunjukkan perbaikan terhadap NND secara bermakna pada banyak uji klinis acak terkontrol, namun perbaikan nyeri tetap tidak memuaskan bagi sebagian besar pasien. Sejumlah pedoman klinis telah berkembang untuk menentukan perawatan yang paling efektif pada pasien NND. Keamanan dan efikasi obat NND biasanya dibandingkan melalui NNT (number needed to treat, jumlah yang dibutuhkan untuk mengobati) dan NNH (number needed to harm, jumlah yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek buruk) untuk mencapai perbaikan nyeri. Pemilihan agen lini pertama dan kedua berbeda antar pedoman karena perbedaan metodologi intrinsik dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan efikasi (Javed dkk., 2015). Sebagian besar pedoman menyarankan penggunaan agen TCA, SNRI, ataupun analog GABA (gabapentin atau pregabalin) sebagai agen lini pertama diikuti oleh opioid dan obat topikal. Sebuah tinjauan sistematis dan meta-analisis yang dihasilkan oleh Special Interest Group on Neuropathic Pain (NeuPSIG) IASP menyimpulkan bukti terkini mengenai farmakoterapi dan rekomendasi pengobatan obat lini pertama, kedua, dan ketiga untuk penanganan NND. Number needed to treat TCA adalah 3,6 (95% interval kepercayaan [IK] 3,0-4,4), SNRI 6,4 (5,2-8,4); pregabalin 7,7 (6,5-9,4), dan gabapentin 7.2 (5,9-9,21) (Finnerup dkk., 2015). Lidokain tempel dan tramadol direkomendasikan sebagai lini kedua, sedangkan opioid kuat seperti oksikodon dan morfin direkomendasikan sebagai lini ketiga. Rekomendasi untuk tapentadol,
antiepilepsi,
krim
kapsaisin,
klonidin
topikal,
antidepresan
22
penghambat reuptake serotonin seletif (SSRI, selective serotonin reuptake inhibitor), antagonis NMDA, dan terapi kombinasi belum dapat disimpulkan, terutama karena hasil temuan yang berbeda-beda (Finnerup dkk., 2015). Tabel 2.2 menunjukkan perbandingan rekomendasi pedoman klinis obat-obat yang digunakan mengatasi NND. Walaupun demikian, tidak semua agen yang telah disebutkan di atas mampu menghilangkan gejala NND seperti penelitian dasarnya (Zhang dkk., 2013). Tabel 2.2 Perbandingan rekomendasi pedoman klinis obat NND (Javed dkk., 2015)
Selain farmakoterapi, pilihan pengobatan nonfarmakologi juga harus dipertimbangkan untuk mengatasi NND. Terapi kognitif-perilaku (CBT, cognitive behavioral therapy) mengurangi keparahan nyeri dan gangguan pada pasien dengan NND, menunjukkan bahwa CBT dapat membantu mereka memperoleh keterampilan untuk menjadi lebih aktif dan mengurangi nyeri (Otis dkk., 2013).
23
2.3 Metilkobalamin Vitamin B12 merupakan vitamin yang terlibat dalam beberapa metabolisme seperti sintesis dan regulasi DNA, sintesis asam lemak, dan produksi energi (Zhang dkk., 2013). Vitamin B12 memiliki beberapa analog, tergantung gugus yang terikat dengan molekul utamanya, meliputi sianokobalamin (Snkbl), metilkobalamin (Mekbl), hidroksokobalamin (Hkbl), dan adenosilkobalamin (Adokbl)
(McDowell,
2008;
Mutiawati,
2012;
Zhang
dkk.,
2013).
Sianokobalamin dan hidroksokobalamin merupakan bentuk inaktif sehingga tidak dapat digunakan secara langsung dalam tubuh manusia dan harus diubah menjadi bentuk aktif seperti Mekbl atau Adokbl (Zhang dkk., 2013).
Gambar 2.3a Struktur Kimia Metilkobalamin (Zhang dkk., 2013) Metilkobalamin merupakan bentuk aktif dari vitamin B12 yang sering digunakan sebagai nutrisi olahraga, mengatasi anemia pada orang lanjut usia, serta dapat digunakan sebagai terapi neuropati (Mutiawati, 2012; Zhang dkk., 2013). Metilkobalamin berbeda dari vitamin B12 karena gugus sianida digantikan oleh
24
kelompok metil (McDowell, 2008). Dibandingkan dengan analog lainnya, Mekbl adalah bentuk paling efektif yang diserap oleh organel subselular neuron, sehingga dapat menyediakan pengobatan yang lebih baik untuk gangguan saraf melalui efek sistemik ataupun lokal (Zhang dkk., 2013). Sebagai agen tambahan, Mekbl telah digunakan untuk menangani banyak penyakit seperti defisiensi B12 dan penyakit Alzheimer (McCaddon dan Hudson, 2010). Metilkobalamin juga memiliki proteksi neuronal antara lain mendorong terjadinya regenerasi dan pemeliharaan fungsi saraf yang cedera sehingga dapat mengurangi impuls ektopik (Zhang dan Ning, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Mekbl dapat memperbaiki keluhan neuropati perifer, mengurangi nyeri neuropati pada penderita DM, meningkatkan konduksi saraf tanpa disertai adanya efek samping yang berarti pada penderita (Hai-yan dkk., 2005; Thanon dkk., 2005; Dongre dan Swami, 2013; Mutiawati dkk., 2015). 2.3.1 Farmakokinetik Metilkobalamin Absorpsi Mekbl secara oral dibatasi oleh jumlah tempat pengikat faktor intrinsik-vitamin B12 pada mukosa ileum, sehingga tidak lebih dari 1500 mcg dosis oral tunggal yang dapat diabsorbsi, dengan puncak konsentrasi total vitamin B12 serum dicapai dalam 3 jam dan waktu paruh 12,5 jam (McDowell, 2008; Mutiawati, 2012). Pemberian Mekbl secara intramuskular (IM) dan intravena (IV) dengan dosis 500 mcg akan mencapai konsentrasi puncak 0,9 jam setelah pemberian secara IM dan 3 menit pada IV, dengan kenaikan puncak total konsentrasi vitamin B12 serum adalah 22,4 ng/mL (IM) dan 85,0 ng/mL (IV) (Eisai Co., Ltd., 2005).
25
Pada orang normal, sebagian besar (90%) vitamin B12 disimpan pada hepar dengan jumlah rata-rata 1,5 mg, sedangkan pada ginjal, jantung, lien, dan otak masing-masing mengandung sekitar 20-30 mcg (McDowell, 2008; Kaushansky dan Kipps, 2011). Penyimpanan vitamin B12 di dalam tubuh dapat melebihi seribu kali lipat dari kebutuhan harian (McDowell, 2008). Ekskresi vitamin B12 yang berkisar antara 2 sampai 5 mcg per hari sebagian besar melalui empedu dan feses, dan sedikit melalui urin (McDowell, 2008; Kaushansky dan Kipps, 2011). 2.3.2 Farmakodinamik Metilkobalamin Vitamin B12 berperan penting pada berbagai organ dan sistem tubuh, termasuk sistem saraf perifer dan sentral, yaitu dalam sintesis deoxyribonucleic acid (asam deoksiribonukleat, DNA) serta efek imunomodulator dan neurotropik berupa regenerasi saraf (Meliala dan Barus, 2008; Mutiawati, 2012). Dibandingkan dengan semua bentuk kobalamin lainnya, Mekbl merupakan yang terbaik (Meliala dan Barus, 2008; Zhang dkk., 2013) oleh karena diserap lebih baik oleh organel sel saraf, terlibat dalam sintesis timidin dari deoksiuridin, mendorong penggunaan asam folat yang tersimpan, serta mendorong terjadinya sintesis asam nukleat dan protein (Eisai Co. Ltd., 2014). Penelitian menunjukkan bahwa Mekbl mempunyai kemampuan unik untuk memicu regenerasi saraf tanpa efek samping yang membahayakan (Meliala dan Barus, 2008; Mutiawati dkk., 2015). Hal ini karena Mekbl memfasilitasi zat kimiawi pada saraf dan otak, juga berkaitan dengan sintesis DNA dan fosfolipid, terutama lesitin, yang pada
26
akhirnya mengaktifkan transpor aksonal dalam saraf serta mempercepat regenerasi selubung mielin (Meliala dan Barus, 2008; Mizukami dkk., 2011).
Timin, protein DNA
Homosistein
Metionin Metilkobalamin
5-metil tetrahidrofolat
Tetrahidrofolat
S-adenosilhomosistein
S-adenosil metionin
Lesitin
Kepalin
Gambar 2.3b Reaksi Metilasi, Pembentukan Timin dan Lesitin (Meliala dan Barus, 2008 dengan beberapa penyesuaian)
Sebagai koenzim dari metionin sintase, Mekbl diperlukan untuk pembentukan metionin dari homosistein dalam siklus metilasi yang meliputi metilasi DNA atau protein (Toohey, 2006; Mutiawati, 2012). Pada kondisi keseimbangan negatif metionin, homosistein diubah menjadi metionin dengan menerima gugus metil dari 5-metiltetrahidrofolat melalui kerja dari metionin sintase, menghasilkan timin, asam nukleat untuk sintesis protein yang dibutuhkan dalam pembentukan protein struktural neuron pada proses regenerasi saraf (Gambar 2.3b) (Zhang dan Ning, 2008).
27
2.3.3 Dosis Metilkobalamin Dosis Mekbl untuk orang dewasa adalah 500 mcg setiap hari secara IM atau 3 kali seminggu secara IV dan 1500 mcg secara oral terbagi dalam 3 dosis, dapat disesuaikan tergantung pada usia dan gejala pasien (Eisai Co., Ltd., 2005; Andradi dkk., 2011). 2.3.4 Efek Samping Metilkobalamin Metilkobalamin ditoleransi oleh tubuh dengan baik, dengan kejadian efek samping yang pernah dilaporkan pada sekitar 0,45% pasien yang mendapatkan injeksi Mekbl (Eisai Co. Ltd., 2005). Efek samping termasuk nyeri kepala dan sensasi rasa panas (kurang dari 1%), gejala saluran cerna seperti anoreksia, mual atau muntah, dan diare (kurang dari 1%), serta reaksi anafilaksis dan ruam hipersensitivitas (kurang dari 0,1%) (Meliala dan Barus, 2008).
2.4 Metilkobalamin sebagai Analgesik Ajuvan pada Nyeri Neuropati Diabetik Analgesik ajuvan atau ko-analgesik merupakan obat dengan karakteristik farmakologi yang fungsi utamanya bukan sebagai analgesik tetapi pada praktek klinis ditemukan memiliki efek analgesik baik independen ataupun sebagai tambahan terhadap analgesik lainnya (Khan dkk., 2011). Selama bertahun-tahun, kelompok vitamin B12 telah digunakan dan dikategorikan sebagai obat analgesik pada beberapa negara. Penelitian-penelitian mengenai terapi Mekbl menunjukkan efek menguntungkan pada penderita NND berupa perbaikan gejala klinis seperti parestesia, nyeri terbakar, dan nyeri spontan secara bermakna (Sun dkk., 2005;
28
Zhang dkk., 2013). Suatu metaanalisis oleh Sun dkk. (2005) melaporkan bahwa pemberian Mekbl pada kasus ND memberikan efek yang menguntungkan berupa penurunan intensitas nyeri, perbaikan gejala otonom, serta perbaikan kecepatan hantar saraf pada pemeriksaan elektrofisiologi. Beberapa kemungkinan mekanisme analgesik Mekbl telah diperkirakan oleh para ahli, seperti meningkatkan kecepatan konduksi saraf, mendorong regenerasi saraf yang cedera, dan menghambat cetusan ektopik spontan (Andradi dkk., 2011; Zhang dkk., 2013). Selain itu, Mekbl juga diketahui dapat meningkatkan availabilitas dan efektivitas noradrenalin dan 5-hidroksitriptamin pada sistem inhibisi nosiseptif desenden (Zhang dkk., 2013). Walaupun demikian, mekanisme pasti efek analgesik preparat tersebut masih tetap sulit dipahami sepenuhnya sampai saat ini. Terdapat bukti penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian Mekbl dosis tinggi meningkatkan konduksi saraf pada pasien dengan ND. Bukti morfologi dan histologi mengkonfirmasi bahwa pemberian Mekbl jangka panjang mendorong terjadinya sintesis dan regenerasi mielin (Okada dkk., 2010). Perbaikan morfologi dan histologi mielin dapat meningkatkan kecepatan konduksi saraf dan fungsi neuronal pada neuropati perifer. Metilkobalamin juga berperan dalam regenerasi saraf yang cedera, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai peran Mekbl dalam sintesis DNA, lesitin, dan timin. Metilkobalamin dapat mempercepat regenerasi saraf, terutama selubung mielin, sehingga tidak menyebabkan terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas pada saraf sebagai sumber nyeri neuropatik (Meliala dan Barus,
29
2008; Zhang dan Ning, 2008; Andradi dkk., 2011; Mizukami dkk., 2011). Penelitian oleh Mutiawati dkk. (2015) juga menunjukkan bahwa terapi Mekbl berhasil menurunkan sprouting, menunjukkan bahwa terdapat proses regenerasi sel saraf pada tikus coba yang diberikan Mekbl. Pada
penderita
DM,
terbentuk
neuroma
yang
merupakan
tempat
berakumulasinya saluran natrium dan saluran ion lainnya sebagai pemicu cetusan ektopik (Meliala dan Barus, 2008). Suatu cetusan ektopik spontan dapat memulai nyeri spontan, hiperalgesia, ataupun alodinia yang kerap dialami penderita NND. Metilkobalamin dapat memberikan efek proteksi terhadap neuron dan dapat mengurangi impuls ektopik (Zhang dan Ning, 2008). Menurut Zhang dkk. (2013), pemberian Mekbl pada hewan coba secara bermakna menghambat cetusan ektopik spontan pada GRD sehingga disimpulkan bahwa Mekbl memiliki efek anti alodinia dengan menghambat sinyal nyeri perifer. Begitupula menurut Andradi dkk. (2011) dalam konsensus nasional diagnostik dan penatalaksanaan nyeri neuropatik, Mekbl termasuk ke dalam terapi analgesik nyeri neuropatik sebagai obat anti ektopik karena memiliki efek mencegah cetusan ektopik serta mengurangi durasi nyeri pada nyeri neuropatik.