BAB II KAJIAN PUSTAKA
Setelah menyampaikan pengantar di Bab I, berikut dalam Bab ini, penulis menyampaikan Kajian Pustaka.
Semua
data
yang
digunakan
untuk
penyusunan Bab ini berasal dari buku-buku hukum.
A. Korporasi 1. Pengertian Korporasi didefinisikan sebagai, bentuk buatan yang dibuat oleh negara. Tidak tampak, badan hukum independen (independen dari pemilik-yang adalah, mereka yang memiliki saham)1. Lebih lanjut2, korporasi dapat dilihat dari artinya sempit dan luas. Korporasi dengan arti
sempit,
yaitu
sebagai
badan
hukum,
Imaniyati, Neni Sri. (2013). Hukum Bisnis: Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu, hal. 190. 2 Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006, hal 43 1
26
korporasi
merupakan
figur
hukum
yang
eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Maksudnya adalah hukum perdatalah yang mengakui keberadaan korporasi dan memberikannya “hidup” agar dapat berwenang dalam melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Suatu korporasi hanya “mati” secara hukum apabila “matinya” korporasi itu diakui oleh hukum. Perseroan Terbatas dapat dikategorikan korporasi3. Perseroan menunjuk kepada modal yang terdiri atas sero atau saham, sedangkan kata
“terbatas”
merujuk
kepada
tanggung
jawab dari para pemegang saham yang tidak lebih dari nominal saham yang dimiliki4. Perseroan
Terbatas
adalah
badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi
dalam
saham
dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
3Ibid.
Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan. 2000. Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas. RajaGrafindo. 4
27
undang-undang
ini
serta
peraturan
pelaksanaannya5. Berbeda dengan definisi yang diberikan oleh UU PT, definisi korporasi dalam Pasal 1 (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001, tidak hanya membatasi yang berbadan hukum saja, melainkan yang tidak berbadan hukum juga. Berikut isi Pasal 1 (1), “kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan
hukum
maupun
bukan
badan hukum”. Dengan batasan seperti terbaca dalam UU Tipikor tersebut, maka baik Korporasi yang berbentuk badan hukum maupun tidak, dapat dikenakan
sebagai
pelaku
tindak
pidana
korupsi. Selain tentunya person, atau orangperorang. 2. Teori Pembentukan Korporasi Korporasi
terjadi
karena
adanya
hubungan antara Prinsipal dan Agen. Prinsipal memberikan untuk
tanggungjawab
mengurus
korporasi,
kepada
agen
dikarenakan
prinsipal terlalu sibuk. Dari hal itu munculah
5
Pasal 1 (1) UU PT.
28
tanggungjawab yang diberikan oleh prisipal kepada agen. 3. Tugas dan Fungsi Organ Korporasi Fiduciary duty melahirkan kewajibankewajiban
bagi
direksi
untuk
melakukan
tugasnya dalam batas kewenangannya yang diberikan,
agar
direksi
dapat
dibebaskan
untuk memikul tangung gugat secara pribadi, keterhubungan
tersebut
melahirkan
salah
satunya ultra vires dan intra vires dengan segala akibat hukumnya. Undang-Undang
Perseroan
Terbatas
mengenal 3 organ, akni Direksi, RUPS, dan Komisari. Di dalam Perseroan Terbatas, Direksi memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam mengurus perseroan, hal itu tertuang dalam Pasal 1 angka 5 dalam UU Perseroan Terbatas, yakni: “Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”.
Direksi
memiliki
wewenang
untuk
mewakili perseroan, baik di dalam maupun
29
diluar
pengadilan,
kecuali
ditentukan
lain
dalam anggaran dasar. Dalam pelaksanaan tugasnya, organ direksi memiliki tugas dan kewenangannya yang diberikan oleh sendiri, atau dikenal sebagai
fiduciary
duty.
Fiduciary
duty
(fiduciary) diartikan sebagai memegang sesuatu dalam
kepercayaan
atau
seseorang
yang
memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang lain6.
B. Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak
Pidana
Korupsi
menurut
Baharuddin Lopa adalah sebagai berikut7. “ Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara Fuady, Munir. 2010. Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 31. 7 http://sitimaryamnia.blogspot.co.id/2012/02/pengertian-tindak-pidanakorupsi.html 6
30
adalah korupsi dibidang materil, sedangkan korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang mempengaruhi kebebasan memilih komersiliasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif dibidang pelaksanaan pemerintah”.
Pengertian
Tindak
Pidana
Korupsi
Menurut UU No.31 Tahun 1999 adalah Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi
yang
dapat
merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan dengan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah. 2. Asas Pidana Menurut merupakan
unsur
Sudarto, utama
kesalahan
disamping
sifat
melawan hukum dari perbuatan, dan harus dipenuhi agar suatu subjek hukum dapat dijatuhi
pidana.
Selanjutnya
Sudarto
31
menerangkan bahwa dipidananya seseorang tidaklah
cukup
melakukan
apabila
perbuatan
orang yang
itu
telah
bertentangan
dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang – undang dan tidak dibenarkan, akan tetapi hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana.
Untuk
pemidanaan
masih
perlu
adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Menurut Simons8 tindak pidana adalah ”Suatu perbuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan kesalahan seseorang yang mampu
bertanggung
kesalahan
diatas
jawab.
menurut
Pengertian
Simons
adalah
kesalahan dalam arti luas, yang meliputi sengaja dan lalai. Ternyata bahwa Simons mencampurbaurkan tindak
pidana
antara
unsur-unsur
(perbuatan,
sifatmelawan
hukumnya pertanggungjawaban
perbuatan), pidana
dan (kesengajaan,
8http://kumpulanskripsihukumlengkap.blogspot.co.id/2010/0
7/umur.html
32
kealpaan
atau
kelalaian
dan
kemampuan
bertanggungjawab).” Asas
kesalahan
adalah
asas
yang
fundamenta; dalam hukum pidana, demikian fundamental sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran dalam hukum pidana9. Kesalahan merupakan dasar untuk pertanggungjawaban
pidana.
Kesalahan
merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan
batin
antara
perbuatannya10.
si
Selanjutnya
pembuat
dan
disebutkan
bahwa Adanya kesalahan pada seseorang, maka orang tersebut dapat dicela. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan dikatakan
merupakan
apa
sebagai
bertanggungjawab,
yang
sering
kemampuan
sedangkan
relasi
batin
antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan
kesengajaan,
kealpaan,
serta
alasan pemaaf. Selanjutnya disebutkan juga bahwa untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, yakni: Muladi dan Priyatno, Dwidja. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana. Halaman 103. 10 Ibid, halaman 75. 9
33
a. Adanya
kemampuan
bertanggungjawab pembuat. b. Hubungan
batin
pembuat
dan
perbuatannya. c. Tidak
adanya
alasan
penghapus
kesalahan. 3. Korupsi dalam Undang-Undang Tipikor Korupsi sendiri seperti terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001, menyebutkan
bahwa
korupsi
mencakup
perbuatan-perbuatan sebagai berikut. a. Melawan
hukum,
orang/badan
lain
memperkaya yang
diri
merugikan
keuangan /perekonomian negara (pasal 2). b. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan
yang
dapat
merugikan keuangan/kedudukan yang dapat
merugikan
keuangan/perekonomian negara (pasal 3). c. Kelompok delik penyuapan (pasal 5,6, dan 11).
34
d. Kelompok
delik
penggelapan
dalam
jabatan (pasal 8, 9, dan 10). e. Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12). f. Delik
yang
berkaitan
dengan
pemborongan (pasal 7). g. Delik gratifikasi (pasal 12B dan 12C). Tindak Pidana Korupsi oleh Korporasi tercatat dalam Pasal 20, UU No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001. Disebutkan dalam ayat 2, bahwa Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan
berdasarkan
oleh
hubungan
orang-orang kerja
baik
maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Fokus kepada Pasal 2 dan Pasal 3 dari UU Tipikor. Berikut isi Pasal 2 (1) dan (2). 1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
35
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Unsur yang ada dalam Pasal 2 tersebut adalah: “setiap orang”, “melawan hukum”, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”, “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Jika memenuhi unsur-unsur tersebut, dapat dipidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dikenai denda minimal 200 juta, dan maksimal 1 milyar
rupiah.
Menurut
penjelasan,
kata
“secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak
diatur
dalam
peraturan
perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa
keadilan
atau
norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan
keuangan
atau
perekonomian
negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya
36
tindak
pidana
dipenuhinya
korupsi
unsur-unsur
cukup
dengan
perbuatan
yang
sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dalam keadaan seperti dimaksud dalam ayat 2, adalah “pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,
atau
pada
waktu
negara
dalam
keadaan krisis ekonomi dan moneter”. Sedangkan isi Pasal 3, yakni: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Unsur yang ada dalam Pasal ini, yaitu: “setiap orang”, orang
“menguntungkan lain
atau
diri suatu
sendiri
atau
korporasi”,
“menyalahgunakan kewenangan”, merugikan
37
keuangan negara atau perekonomian negara”. Berbeda dengan pidana dalam Pasal 2, Pasl 3 hanya memberikan minimal 1 tahun, dan maksimal 2 tahun, sedangkan denda yang dijatuhkan minimal 50 juta, dan maksimal 1 milyar rupiah. 4. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Korporasi Ada
2
(dua)
pandangan
mengenai
pertanggungjawaban pidana, yakni pandangan monistis dan pandangan dualistis. Menurut Simon, suatu perbuatan yang oleh hukum diancam
dengan
hukuman,
bertentangan
dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah
dan
orang
bertanggungjawab Sedangkan
menurut
atas
itu
danggap
kesalahannya11.
pandangan
dualistis,
disebutkan bahwa untuk adanya syarat-syarat penjatuhan
pidana
terhadap
pembuat,
diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana.
11
Ibib, Muladi, 64.
38
Korporasi adalah subjek hukum, sama dengan person (pribadi). Subjek hukum sendiri ada 3 (tiga), yakni: a) Pribadi, setiap orang merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. ; 2) Badan Hukum, dimana Kelsen menerjemahkan badan hukum sebagai paguyuban
dari
sejumlah
manusia,
yang
menerima hak dan kewajiban dari suatu tata hukum;
dan
3)
Negara,
negara
dapat
diposisikan dalam kerangka korelasi hak dan kewajiban dengan subjek hukum tertentu12. Dengan
demikian
korporasi
secara
hukum,
dapat
pertanggungjawabannya.
maka
dimintakan Pihak
manajemen
diberikan tanggungjawab untuk melakukan pengurusan, namun apabila terjadi kesalahan dalam
memanajemen,
maka
direksi
atau
pengelola tidak bisa lepas dari tanggungjawab. Walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yakni:
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban Yang Adil, Jakarta, Grasindo, halaman 149-157. 12
39
1) Dalam perkara yang menurut kodratnya tidak
dapat
misalnya:
dilakukan
bigami,
oleh
korporasi
perkosaan,
sumpah
palsu; 2) Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan
kepada
korporasi,
misalnya
pidana penjara dan pidana mati. Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi disamping manusia sebagai pemangku hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan hukum. Korporasi sebagai subjek tindak pidana, sebenarnya perubahan
merupakan dalam
akibat
perubahan-
masyarakat
dalam
menyalankan aktifitas usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana kegiatan usaha yang masih dijalankan secara perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi
sederhana,
timbul
kebutuhan
untuk
mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam menjalankan usaha. Beberapa hal yang menjadi
faktor
pertimbangan
untuk
40
mengadakan kerja sama, antara terhimpun modal
yang
lebih
banyak
tergabungnya
keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik
dibanding
sesorang
diri
suatu dan
usaha
mungkin
dijalankan pula
atas
pertimbangan dapat membagi resiko kerugian. Pada awalnya, ketentuan dalam KUHP Indonesia masih menganut bahwa delik hanya dapat dilakukan oleh manusia13. Sedangkan pemikiran badan hukum merupakan pengaruh pemikiran fiction theory, Von Savigny. Hal itu dapat terlihat dalam Memorie van Toelicting Pasal 51 Ned. W.v.S (Pasal 59 KUHP), yang berbunyi sebagai berikut14. “Suatu strafbaar feit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana”.
Selanjutnya,
ada
usaha
menjadikan
korporasi sebagai subjek hukum pidana, yakni adanya hak dan kewajiban yang melekat. Latarbelakangnya korporasi
tidak
adalah jarang
melihat
bahwa
memperoleh
Ali, Mahrus. 2016. Hukum Pidana Korupsi. Yogyakarta: UII Press. Halaman 43. 14 Hamzah, Andi. 2012. Pemberantasan Korupsi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Halaman 69. 13
41
keuntungan
dari
pengurusnya15. perkembangan
hasil
Berikut korporasi
kejahatan 3
tahapan
sebagai
subjek
hukum pidana. Pertama, tahap ini dimulai dengan usahausaha agar sifat delik yang dilakukan oleh korporasi dibatasi pada perorangan. Kedua, dalam
tahap
melakukan
ini
korporasi
tindak
telah
pidana,
diakui namun
tanggungjawab pidana beralih kepada yang memerintahkan atau kepada mereka yang secara
jelas
memimpin
dan
melakukan
perbuatan tersebut. Ketiga, dalam tahap ini dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Kriteria perbuatan tindak pidana korupsi oleh korporasi ada dalam Pasal 20 (2) UU Tipikor, berikut bunyinya. Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. 15
Op. Cit, Ali Mahrus.
42
Terlihat dengan jelas dua kriteria, yakni: (1)
dilakukan
berdasarkan
oleh
orang-orang
hubungan
kerja
baik
maupun
berdasarkan hubungan lain; dan (2) bertindak dalam
lingkungan
korporasi
tersebut
baik
sendiri maupun bersama-sama. Mardjono Reksodiputro, seperti dikutip oleh Mahrus Ali16, menyebutkan bahwa ada 3 sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yakni: (a) Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab; (b) Korporasi sebagai pembuat,
maka
pengurus
yang
bertanggungjawab; dan (c) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab. Alasan pembenar bagi sistem ketiga adalah dalam berbagai
delik-delik
ekonomi
dan
fiskal
keuntungan yang didapat oleh korporasi dan kerugian
yang
diderita
masyarakat
sangat
besar, sehingga tidaklah imbang manakala pidana hanya dijatuhkan kepada pengurusnya saja. Selain alasan tersebut, alasan lain adalah bahwa tidak ada jaminan korporasi tidak akan
16
Ibid, halaman 47.
43
mengulangi delik itu lagi. Menurut Mardjono Reksodiputro,
penuntutan
dan
penjatuhan
pidana terhadap korporasi adalah perlu, hal itu dikarenakan kerugian yang diakibatkan oleh macam kejahatan ini sangatlah besar, baik untuk
individu,
masyarakat,
dan
bahkan
untuk negara17. 5. Unsur-unsur
dalam
Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi18. Sutan
Remy
Jahdeini
“Pertanggungjawaban merumuskan
“Ajaran
dalam
Pidana
bukunya, Korporasi”,
Gabungan”,
yang
merupakan gabungan dari berbagai ajaran pertanggungjawaban Menurut dimintakan
Sutan,
pidana korporasi
korporasi. yang
pertanggungjawaban
dapat
pidananya,
jika memenuhi 6 (enam) unsur. Berikut adalah keenam unsur tersebut. a. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang di dalam struktur organisasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi. Yang Reksodiputro, Mardjono. 1994. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, halaman 73. 18 Ibid, Sutan Remy, 117 -124. 17
44
dimaksud directing mind adalah personel yang
mempunyai
menentukan
jabatan
atau
tidak
untuk
melakukan
perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus
mendapat
persetujuan
dari
atasannya. Sutan mendasarkan unsur ini berdasarkan ajaran identifikasi. b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka
maksud
Korporasi
dan
yang
dapat
pertanggungjawaban tindak
pidanan
diperintah
tujuan
korporasi. dimintakan
pidananya
apabila
yang
dilakukan
atau
merupakan
perbuatan
intra
vires, maksudnya sesuai dengan maksud dan tujuan korporasi. Unsur ini merupakan adopsi ajaran intra vires. c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas
perintah
pemberi
perintah
rangka tugasnya dalam korporasi.
dalam Jika
tindak pidana dilakukan bukan berkaitan dengan tugasnya ataupun tugas pemberi perintah, sehingga dia tidak berwenang mengikatkorporasi, maka korporasi tidak dapat
dimintakan
pertanggungjawaban
45
pidana. Unsur ketiga ini, disebut sebagai ajaran keterkaitan fungsi. d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud
memberikan
korporasi.
Korporasi
manfaat dapat
bagi
dimintakan
pertanggungjawaban apabila personel yang melakukan perbuatan itu sejak semula memiliki pidanan
tujuan/maksud itu
agar
memberikan
tindak
manfaat
bagi
korporasi. Unsur ini disebut sebagai ajaran manfaat. e. Pelaku memiliki pemaaf
atau
pemberi
alasan
perintah
pembenar
untuk
tidak
atau
alasan
dibebaskan
dari
pertanggungjawaban pidana. Pembebanan pertanggungjawaban
pidana
korporasi
terjadi karena dilakukan oleh directing mind korporasi atau diperintah olehnya, maka unsur tidak adanya alasan pembenar atau pemaaf pada directing mind korporasi itu harus terpenuhi. Unsur ini adalah unsur ajaran legal entity. f. Bagi
tindak-tindak
pidana
yang
mengharuskan adanya unsur perbuatan
46
dan unsur kesalahan, kedua unsur tersebut tidak harus terdapat pada satu orang saja. Bisa
terjadi
orang
yang
melakukan
perbuatan, hanya menjalankan perintah dari orang yang memiliki unsur kesalahan. Secara
gabungan,
unsur-unsur
maka
yang
terpenuhilah
dibutuhkan
untuk
meminta pertanggungjawaban pidana ke korporasinya.
Unsur
ini
merupakan
penerapan ajaran agregasi. Sutan memberikan catatan bahwa apabila salah satu unsur atau syarat tidak terpenuhi, maka manusia dianggap pelaku yang dapat dituntut
dan
dijatuhi
pidana,
sedangkan
korporasinya bebas.
C. Pertimbangan Hakim Hakim memiliki peran sentral dalam proses penegakan hukum. Faktor penegak hukum dalam konteks
penegakan
hukum
disinggung
oleh
Soerjono Soekamto dalam bukunya. “FaktorFaktor yang mempegaruhi penegakan hukum”19. Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor yang mempegaruhi penegakan hukum, CV rajawali, jakarta, 1983, halaman 13. 19
47
Hakim memiliki tugas memberikan putusan bagi masalah-masalah yang terjadi dalam peradilan, demi memberikan keadilan bagi masyarakat. 1. Pengertian Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan
dimana
mempertimbangkan
majelis
hakim
yang
terungkap
fakta
selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban, eksepsi dari tergugat yang dihungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat
formil
dan
syarat
materil,
yang
mencapai batas minimal pembuktian20. 2. Teori Pertimbangan Hakim Dasar seorang hakim dalam menetapkan putusan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan demikian,
Yang dalam
pertama-tama
Maha
Esa”.
menetapkan
seorang
hakim
Dengan putusannya, bermunajat
kepada Allah SWT. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan dan ia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Ada 3 (tiga) aspek pertimbangan hakim dalam memberikan putusan diperadilan, yakni: http://www.damang.web.id/2011/12/defenisi-pertimbanganhukum_17.html 20
48
Aspek Yuridis, Aspek Sosiologis, dan Aspek Filosofis. Pertama,
Aspek
Yuridis.
Aspek
ini
merupakan aspek paling utama dan pertama yang
bertolak
ukur
kepada
peraturan
perundangan yang berlaku. Hakim sebagai aplikator memahami
peraturan perturan
perundangan perundangan
wajib tersebut
dengan cara mencari peraturan perundangan yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani. menurut
Selain Rusli
peraturan
perundangan,
Muhammad,
pertimbangan
yuridis hakim dalam memberikan putusan juga menyangkut: a) dakwaan jaksa penuntut umum, b) keterangan terdakwa, c) keterangan saksi, dan d) bukti-bukti. Dakwaan adalah dasar hukum acara pidana, karena berdasar itulah di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Hakim hanya mempetimbangkan dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang.
49
Menurut Pasal 184 butir e KUHAP, keterangan
terdakwa
dikategorikan
sebagai
alat bukti. Keterangan terdakwa merupakan apa yang disampaikan oleh terdakwa dalam sidang, mengenai perbuatan yang dilakukan atau yang diketahui, ataupun dialami sendiri. Keterangan
terdakwa
sekaligus
juga
merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum. Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti. Dengan catatan bahwa keterangan yang disampaikan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang didengar, dilihat sendiri, alami sendiri, dan harus disampaikan di
dalam
mengangkat menjadi
sidang sumpah.
pertimbangan
pengadilan Keterangan utama
dan
dengan saksi selalu
dipertimbangkan oleh hakim dalam mengambil putusan. Barang bukti disini adalah benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan persidangan, yakni meliputi:
50
1) Benda
atau
terdakwa
tagihan
seluruhnya
tersangka atau
atau
sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana; 2) Benda
yang
dipergunakan
secara
langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan; 3) Benda
yang
digunakan
menghalang-halangi
untuk
penyidikan
tindak
pidana; 4) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung
dengan
tindak
pidana
yang
dilakukan. Barang-barang bukti yang dimaksud di atas
tidak
termasuk
alat
bukti.
Undang-
Undang menetapkan 5 (lima) macam, yakni keterangan
saksi,
keterangan
ahli,
surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa. Kedua,
Aspek
Filosofis.
Aspek
ini
berintikan kepada kebenaran dan keadilan. Pertimbangan tidak hanya didasarkan kepada teks peraturan-perundangan, namun mampu
51
menangkap semangat atau roh dari latar belakang lahirnya peraturan itu sendiri21. Sedangkan Aspek Ketiga, yaitu Aspek Sosiologis merujuk kepada nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat. Dengan kata lain, pertimbangan yang tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat22. Baik
Aspek
Sosiologis,
Filosofis
penerapannya
dan
Aspek
memerlukan
pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu memahami nilainilai
yang
ada
dalam
masyarakat
yang
terabaikan. Penerapannya sulit, karena selain tidak mengikuti asas legalitas dan tidak terkait dengan sistem. Menggunakan ketiga aspek tersebut
dalam
pertimbangan
hakim,
diharapkan mampu memenuhi keadilan dan dapat diterima masyarakat. Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh
hakim
dalam
mempertimbangkan
www.ptasemarang.go.id/kepegawaian/TEKNIK%2520PEMBUATAN%252 0PUTUSAN.pdf+&cd=20&hl=en&ct=clnk&client=firefox-b 22 www.ptasemarang.go.id/kepegawaian/TEKNIK%2520PEMBUATAN%2520PUTUSAN.pdf +&cd=20&hl=en&ct=clnk&client=firefox-b 21
52
penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut. a.
b.
c.
d.
Teori keseimbangan Yang dimaksud dengan keseimbangan disin adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban. Teori pendekatan seni dan intuisi Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim. Teori pendekatan keilmuan Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya. Teori Pendekatan Pengalaman Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara
53
e.
pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat. Teori Ratio Decidendi Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah
mempertimbangkan
segala
aspek
tujuan, yaitu sebagai berikut: a. Sebagai
upaya
masyarakat kejahatan
untuk
dari yang
melindungi
ancaman dilakukan
suatu oleh
pelakunya; b. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari; c. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana
yang
dilakukan
oleh
pelakunya;
54
d. Mempersiapkan
mental
masyarakat
dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku
kejahatan
tersebut,
sehingga
pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat
diterima
dalam
pergaulan
masyarakat.
55