BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori 2.1.1. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar 2.1.1.1. Sejarah Singkat Bahasa Indonesia Secara sosiologis bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya. Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialekdialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno (Budhi Setiawan, 2010:1-2). Berawal dari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia mempunyai fungsi majemuk, menjadi bahasa persatuan, bahasa negara, bahasa resmi, bahasa penghubung antarindividu, bahasa pergaulan, dan yang tak kalah penting sebagai bahasa pengantar di semua sekolah di Indonesia. Bahasa Indonesia dilatarbelakangi oleh beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai bahasa daerahnya yang menjadikannya bahasa pertama. Bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Melayu, yaitu salah satu bahasa daerah di bumi Nusantara ini. Bahasa Indonesia digunakan sebagai salah satu alat yang mempersatukan bangsa yang bersuku-suku, untuk mengusir Belanda dan meraih kemerdekaan. Selanjutnya, bahasa ini digunakan dalam berbagai kehidupan secara luas, maka tidak ada yang memprotes ketika bahasa Melayu dinobatkan menjadi bahasa Indonesia (Minto Rahayu, 2007:7). Minto Rahayu (2007:8) menyatakan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia didasarkan atas pertimbangan yang rasional, baik secara politik, ekonomi dan kebahasaan, yaitu:
13
14
1.
Bahasa Melayu telah tersebar luas diseluruh wilayah Indonesia. 2. Bahasa Melayu diterima oleh semua suku di Indonesia, karena telah dikenal dan digunakan sebagai bahasa pergaulan, tidak lagi diresahkan sebagai bahasa asing. 3. Bahasa Melayu bersifat demokratis; maksudnya tidak membeda-bedakan tingkatan dalam pemakaian sehingga meniadakan feodal dan memudahkan orang mempelajarinya. 4. Bahasa Melayu bersifat reseptif; artinya mudah menerima masukan dari bahasa daerah lain dan bahasa asing sehingga mempercepat perkembangan bahasa Indonesia di masa mendatang. Mengutip tulisan Jacques Leclerc dalam sebuah telaah panjang tentang sosiolinguistik dalam Jérôme Samuel (2008:42) menyatakan: “[Setelah Kemerdekaan], bahasa Indonesia dijadikan sebuah bahasa serba guna, artinya sebuah bahasa yang sangat disederhanakan dan mempertahankan hubungan kekerabatan erat dengan bahasa-bahasa lain di Indonesia.Tujuannya adalah membuatnya menjadi bahasa kedua yang mudah dipelajari dan yang sedikit demi sedikit akan menggantikan bahasa-bahasa daerah. Usaha ini tampaknya berhasil karena sekarang ini bahasa Melayu atau bahasa Indonesia menjadi satu-satunya bahasa administrasi pendidikan, pers, periklanan, ilmu pengetahuan, dll” (1992:243). Ditetapkannya bahasa Melayu yang saat itu menjadi lingua franca di seluruh kawasan Indonesia menjadikan bahasa Indonesia memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara/resmi. Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 (Budi Santoso, 2010:8-12) antara lain menegaskan: Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai 1) lambang kebangsaan nasional, 2) lambang identitas nasional, 3) alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan 4) alat perhubungan antarbudaya, antardaerah. Sedangkan dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai 1) bahasa resmi kenegaraan, 2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, 3)
15
bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan, dan 4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Keraf (1997:3-7) dalam Isah Cahyani (2012:47) menuliskan Bahasa (Indonesia), memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan pemakainya, yakni (1) sebagai alat untuk mengekspresikan diri, (2) sebagai alat untuk berkomunikasi, (3) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situai tertentu, dan (4) sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial. Berdasarkan uraian tertulis diatas, dapat diketahui bahwasanya keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang kita gunakan dalam keseharian bukan dengan proses yang sederhana. Perjuangan bangsa Indonesia membebaskan diri dari penjajah pada masa
itu,
menumbuhkan
keberanian
para
penjuang
untuk
mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi alat penghubung pemersatu antarsuku yang ada di Indonesia, yang kemudian persatuan bangsa Indonesia yang beragam suku, menjadi alat untuk mengusir Belanda dan mengantarkan Indonesia meraih kemerdekaan. Bahasa Indonesia merupakan bahasa Melayu yang saat itu telah menjadi bahasa pergaulan dan telah banyak dikenal oleh suku bangsa, serta telah tersebar luas di seluruh Indonesia. Selain itu, dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia, juga dilengkapi dengan adanya pertimbangan bahwa, bahasa Melayu tidak memiliki tingkatan bahasa dalam penggunaannya. Bahasa Melayu juga dapat menerima masukan dari bahasa lain, seperti bahasa daerah lain dan bahasa asing. Sehingga dalam
perkembangannya,
bahasa
Melayu
dapat
mengikuti
perkembangan jaman yang ada, dengan cepat. Perkembangan bahasa Indonesia setelah Indoesia merdeka meraih keberhasilan yang nyata. Terbukti dengan tidak adanya protes bahwa bahasa Indonesia adalah
16
bahasa
Melayu.
disederhanakan
Dalam
untuk
dapat
pemakaiannya dengan
bahasa
mudah
Indonesia
dipelajari
tanpa
melupakan persatuan yang sedari awal menjadi tujuan utama dilahirkannya bahasa Indonesia. Dari pemaparan singkat tentang sejarah bahasa Indonesia, dapat disimpulkan bahwa bahasa Indonesia lahir bukan dengan proses yang mudah. Bahasa Indonesia diikrarkan menjadi bahasa bangsa Indonesia dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1982. Pengikraran Sumpah Pemuda inilah, menjadi pertanda lahirnya bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda diikrarkan bukan tanpa tujuan, semangat ingin merdeka dari penjajah menuntut rasa ingin para pejuang dan bangsa Indonesia untuk memiliki alat pemersatu bangsa Indonesia, yang terdiri dari beragam suku bangsa. Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa pemersatu bangsa dikarenakan bahasa Melayu sudah menjadi bahasa keseharian yang umum digunakan oleh masyarakat Indonesia. Penobatan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia bukanlah sekedar iseng dan kebetulan belaka, ini terbukti dengan diadakannya Seminar Politik Bahasa Nasional di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 yang merumuskan
fungsi
bahasa
Indonesia
dalam
kedudukannya.
Dilahirkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara serta alat pemersatu tidaklah sia-sia. Bahasa Indonesia sampai saat ini menjadi bahasa yang digunakan dalam berbagai kegaitan dan mampu menjadi bahasa kedua bagi masyarakat suku bangsa di Indonesia. Mengingat sejarah bahasa Indonesia yang membantu rakyat Indonesia bersatu maka sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasanya. Penggunaan bahasa Indonesia saat ini merupakan cerminan keberhasilan bahasa Indonesia dalam menjadi bahasa kedua bagi bangsa Indonesia. Dalam
17
penggunaanya, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa resmi dan bahasa nasional bangsa Indonesia. Secara lebih luas, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang multifungsi bagi penggunanya. Dalam pemakaiannya bahasa Indonesia telah digunakan dalam berbagai segi kehidupan
dimasyarakat
Indonesia,
salah
satunya
di
bidang
pendidikan. Demi menjaga keberadaan dan jati diri bahasa Indonesia, bahasa Indonesia diajarkan kepada generasi muda Indonesia dengan dijadikannya bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran di sekolah. 2.1.1.2. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Mata pelajaran merupakan seperangkat kompetensi dasar yang dibutuhkan dan subtansi pelajaran mata pelajaran tertentu per satuan pendidikan dan per kelas selama masa prasekolah. Mata pelajaran memuat sejumlah kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa per kelas dan per satuan pendidikan sesuai dengan tingkatan pencapaian hasil belajarnya. Tolok ukur kompetensi dinyatakan dalam indikator. Mata pelajaran mengutamakan kegiatan instruksional yang berjadwal dan berstruktur (Tatat Hartati, 2013:4). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:925) menuliskan secara singkat arti kata mata pelajaran, yaitu pelajaran yang harus diajarkan (dipelajari) untuk sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Mata pelajaran dalam pendidikan sekolah formal, memuat tentang materi ajar yang harus dipelajari dan dikuasai siswa. Perumusan materi ajar sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditentukan dalam Standat Isi. Dari kompetensi dasar yang dijabarkan dalam materi ajar dimata pelajaran memiliki indikator yang ditetapkan sebagai pengukur keberhasilan siswa dalam memelajari suatu mata pelajaran. Dari kedua pengertian tentang mata pelajaran tertulis diatas dapat ditarik simpulan, mata pelajaran merupakan kumpulan kompetensi yang telah ditentukan dalam setiap kelas, yang harus
18
diajarkan dan dipelajari oleh siswa untuk kemudian dapat dikuasai oleh siswa di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Jika dikaitkan dengan Bahasa Indonesia, maka mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai suatu kumpulan kompetensi dibidang pengetahuan Bahasa Indonesia (berbahasa dan bersastra) yang ditetapkan dalam setiap kelas untuk diajarkan dan dipelajari siswa di sekolah dasar dan lanjutan. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 menetapkan bahasa menjadi salah satu muatan wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta dalam kurikulum pendidikan tinggi. Ketentuan UU No.20 Tahun 2003 Sisdiknas ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 2013 pasal 771 ayat (1), yang menetapkan Struktur Kurikulum SD/MI, SLB atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas muatan: a) pendidikan agama, b) pendidikan kewarganegaraan, c) bahasa, d) matematika, e) ilmu pengetahuan alam, f) ilmu pengetahuan sosial, g) seni dan budaya, h) pendidikan jasmani dan olahraga, i) ketrampilan/kejujuran; dan j) muatan lokal. Mengacu pada ketentuan UU No.20 tahun 2003 Sisdiknas dan PP No. 32 tahun 2013, tidak dapat ditawar lagi, bahasa menjadi cakupan wajib dalam standar kurikulum pendidikan dasar. Jika dipelajari lebih lanjut, wajibnya muatan bahasa dalam standar kurikulum juga dimuat dalam standar kurikulum tingkat menengah, tingkat atas dan perguruan tinggi. Secara sederhana, dapat disimpulkan, mata pelajaran Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang wajib dipelajari siswa. Wajibnya mata pelajaran Bahasa Indonesia ini, menjadi hal yang sangat wajar mengingat fungsi bahasa yang begitu penting bagi kehidupan berbangsa negara Indonesia. Belajar bahasa Indonesia merupakan salah satu sarana yang dapat mengakses berbagai informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Untuk itu, kemahiran berkomunikasi dalam bahasa Indonesia secara lisan dan tertulis harus benar-benar dimiliki dan ditingkatkan dalam
19
pembelajaran. Pembelajaran bahasa Indonesia yang masih awal, siswa harus belajar bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah. Bahasa Indonesia penting dipelajari anak-anak sekolah dasar antara lain: a. sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan, b. sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak, c. sebagai alat untuk mengembangkan ekspresi anak, d. sebagai dasar untuk mempelajari berbagai ilmu dan tingkatan pendidikan selanjutnya (Isah Cahyani, 2013:54). Peranan bahasa Indonesia yang berperan sebagai alat komunikasi yang mampu menjembatani antara satu ide dengan ide lain, membantu pemakainya untuk memasuki dan mencerna informasi lain. Jika dikaitkan dalam pembelajaran di sekolah, maka bahasa Indonesia dapat membantu siswa untuk dengan mudah memasuki, menerima, dan mengolah informasi dari mata pelajaran atau pengetahuan lain. Kemampuan siswa untuk mengakses pengetahuan lain dengan baik, akan membantu mengembangkan kemampuan siswa secara intelegensi. Bahasa Indonesia selain sebagai alat komunikasi, juga
mampu
menjadi
sarana
untuk
siswa
berkarya
atau
mengekspresikan sesuatu yang ada dalam dirinya. Sebagai akibat positif yang dimiliki siswa dari kemampuannya berbahasa Indonesia, akan menghantarkan siswa untuk mampu memasuki dan mengikuti pembelajaran dijenjang selanjutnya. Pada dasarnya pembelajaran bahasa Indonesia adalah tentang belajar komunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Hal ini ungkapkan SekolahDasar.Net (2012:1) yang menyatakan “Mata pelajaran
bahasa
Indonesia
merupakan
mata
pelajaran
yang
membelajarkan siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar. Komunikasi ini dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan”. Standar
kompetensi
mata
pelajaran
Bahasa
Indonesia
bersumber pada hakikat pembelajaran bahasa, yaitu belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi dan belajar sastra adalah belajar
20
menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu dalam pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia mengupayakan peningkatan kemampuan siswa untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis serta menghargai karya cipta bangsa Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia mengupayakan siswa dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, minat, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya bangsa sendiri. Pada sisi lain, sekolah daerah dapat menyusun program pendidikan sesuai dengan keadaan siswa dan sumber belajar yang tersedia (Tatat Hartati, 2013:5-6). Pembelajaran bahasa Indoensia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan kualifikasi
kemampuan
minimal
siswa
yang menggambarkan
penguasaan, pengetahuan, ketrampilan berbahasa, sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi siswa untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional dan global (BSNP, 2006:179). Penetapan
standar
kompetensi
mata
pelajaran
Bahasa
Indonesia oleh BSNP (2006:317) menyertakan harapan, antara lain: 1. peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; 2. guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetesi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; 3. guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;
21
4. orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; 5. sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; 6. daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Berdasarkan penjelasan-penjalasan tentang mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran Bahasa Indonesia bukan hanya sekedar mengajarkan kepada siswa tentang bagaimana berkomunikasi dengan baik dan benar namun juga mencakup pengembangan sikap positif berupa penghargaan terhadap karya orang lain dalam bidang kesastraan. Pengembangan intelegensi siswa yang diimbangi dengan pengembangan sikap positif, akan menjadikan pembelajaran bahasa Indonesia
merupakan
pembelajaran
yang
ikut
menumbuhkan
pendidikan karakter pada siswa. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia mengupayakan pengembangan potensi siswa yang mencakup penguasaan, pengetahuan, ketrampilan berbahasa, sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini akan menjadi dasar dan bekal bagi siswa untuk menyikapi situasi yang terus berubah dan berkembang. Pengembangan potensi siswa dalam standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia disesuaikan dengan kemampuan, minat, dan kebutuhan siswa. Dengan kata lain, sekolah dapat memrogram pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia sesuai dengan kondisi yang dimiliki oleh siswa dan sekolah serta lingkungan setempat. Tatat Hartati (2013:7) menuliskan ruang lingkup standar kompetensi dalam mata pelajaran Bahasa Indoensia SD dan MI terdiri dari aspek: 1. Mendengarkan; seperti mendengarkan berita, petunjuk, pengumuman, perintah, bunyi atau suara, bunyi bahasa, lagu, kaset, pesan, penjelasan, laporan,
22
ceramah, khotbah, pidato, pembicara narasumber, dialog atau percakapan, pengumuman serta perintah yang didengar dengan memberikan respon secara tepat serta mengapresiasi dan berekpresi sastra melalui kegiatan mendengarkan hasil sastra berupa dongeng, cerita anak-anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair lagu, pantun dan menonton drama anak. 2. Berbicara; seperti mengungkapkan gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, dialog, pesan, pengalaman, suatu proses, menceritakan diri sendiri, teman, keluarga, masyarakat, benda, tanaman, binatang, pengalaman, gambar tunggal, gambar seri, kegiatan sehari-hari, peristiwa, tokoh kesukaan/ketidaksukaan, kegemaran, peraturan, tata tertib, petunjuk dan laporan serta mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan melisankan hasil sastra berupa dongeng, cerita anak-anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair lagu, pantun, dan drama anak. 3. Membaca; seperti membaca huruf, suku kata, kalimat, paragraph, berbagai teks bacaan, denah, petunjuk, tata tertib, pengumuman, kamus, enslikopedia serta mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan membaca hasil sastra berupa dongeng, cerita anakanak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair lagu, pantun, dan drama anak. Kompetensi membaca juga diarahkan menumbuhkan budaya membaca. 4. Menulis; seperti menulis karangan naratif dan nonnaratif dengan tulisan rapi dan jelas dengan memperlihatkan tujuan dan ragam pembaca, pemakaian ejaan dan tanda baca, dan kosakata yang tepat dengan menggunakan kalimat tunggal dan kalimat majemuk serta mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan menulis hasil sastra berupa cerita dan puisi. Kompetensi menulis juga diarahkan menumbuhkan kebiasaan menulis. Isah Cahyani (2012:37) menuliskan materi pokok mata pelajaran Bahasa Indoensia antara lain: 1. Ketrampilan mendengarkan Materi pokok ketrampilan menyimak: menyimak berita, menyimak petunjuk, menyimak dialog, menyimak pantun, menyimak drama, menyimak cerita anak, dan menyimak cerita rakyat. 2. Ketrampilan berbicara
23
Materi pokok ketrampilan berbicara: bercerita, berdialog, berpidato, berpuisi, menjelaskan sesuatu, menanggapi (memuji/mengkritik), berpantun, dan wawancara. 3. Ketrampilan membaca Materi pokok ketrampilan membaca: membaca nyaring, membaca intensif, membaca memindai, membaca dongeng, membaca kamus, membaca puisi, dan membaca pantun. 4. Ketrampilan menulis Materi pokok ketrampilan menulis: menulis paragraf, mengarang, menulis cerita, menulis drama, menulis pidato, menulis pantun, menulis pengumuman, menulis laporan, parafrase, meringkas, mengisi formulir, dan menulis surat. Mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki 4 aspek yang harus dimiliki oleh siswa. Seperti yang dinyatakan oleh BSNP (2006:318) yang menetapkan “Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia antara lain 1) mendengarkan, 2) berbicara, 3) membaca, dan 4) menulis”. Keempat aspek yang menjadi cakupan mata pelajaran Bahasa Indonesia ini tidak hanya diajarkan dalam hal berbahasa, namun juga dalam bersastra. Mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kumpulan kompetensi dalam hal berbahasa dan bersastra yang telah ditentukan dalam setiap kelas yang harus diajarkan dan dipelajari oleh siswa sekolah dasar dan sekolah lanjutan dalam setiap satuan pendidikan. Pentingnya mata pelajaran Bahasa Indonesia ditentukan dalam UU No.20 Tahun 2003 Sisdiknas dan dalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 2013 pasal 771 ayat 1. Kedua peraturan ini, mewajibkan pelajaran bahasa untuk dimuat dalam pembelajaran di sekolah dasar dan sekolah lanjutan serta di perguruan tinggi. Mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat membantu siswa untuk mengakses informasi dari mata pelajaran lain dan kemajuan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Mata pelajaran Bahasa Indonesia didasarkan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi siswa serta sikap positif terhadap hasil karya baik dalam berbahasa dan bersastra.
24
Dari uraian-uraian tentang mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat diketahui bahwa, mata pelajaran Bahasa Indonesia berisi kumpulan standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam berbahasa dan bersastra, yang kemudian dikembangkan menjadi materi ajar yang harus diajarkan kepada siswa, dipelajari dan dikuasai oleh siswa. Materi mata pelajaran Bahasa Indonesia secara umum ditujukan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi siswa secara lisan dan tertulis dengan baik dan benar. Dengan kemampuan berbahasa yang baik, siswa dapat mengembangkan diri dalam penerimaannya terhadap pengetahuan dan teknologi. Kompetensi-kompetensi yang diharapkan dapat dikuasai siswa, dapat dilihat keberhasilannya dengan tolok ukur indikator pencapaian kompetensi. Indikator pencapaian kompetensi sendiri diturunkan dari kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Untuk dapat memiliki kemampuan berbahasa yang baik dan benar dibutuhkan penguasaan empat kompetensi dalam berbahasa seperti mendengarkan, berbicara, menulis dan membaca. Empat kompetensi ini pula yang menjadi aspek pengajaran dalam pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia. Melaksanakan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan ketentuan penguasaan empat aspek berbahasa tentu bukan menjadi hal mudah dalam proses pembelajaran. Meski demikian, bukanlah hal mustahil, guru melaksanakan proses pembelajaran Bahasa Indonesia dengan berhasil dan efektif. Keberhasilan guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bergantung pada bagaimana guru mengemas pembelajaran melalui skenario pembelajaran.
2.1.2. Pembelajaran Bahasa Indonesia 2.1.2.1. Pembelajaran Pengertian pembelajaran dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dituliskan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Berkiblat
25
dari pengertian pembelajaran menurut UU No.20 tahun 2003, Ahmad Susanto
(2013:19)
medefinisikan
pengertian
pembelajaran
“Merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan, dan tabiat, serta pembentukan sikap dan keyakinan pada peserta didik”.
Ahmad
Susanto (2013:9) juga mendefinisakn pembelajaran sebagai proses, perbuatan, cara mengajar, atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar. Sependapat
dengan
Ahmad
Susanto,
Isjoni
(2010:11)
mengungkapkan “Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar”. Sedangakn
menurut
Mulyasa
(2010:255)
pembelajaran
pada
hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Pendapat lain diungkapkan oleh Douglas Brown (2007:8) yang menyatakan pembelajaran adalah “Penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu subjek atau sebuah ketrampilan dengan belajar, pengalaman, atau instruksi”. Pada dasarnya pembelajaran adalah proses belajar yang terdiri dari pendidik dan siswa. Pendidik berusaha menjadikan siswa untuk melakukan
kegiatan
belajar.
Pembelajaran
terjadi
secara
berkesinambungan, sehingga pembelajaran dapat dikatakan sebagai proses. Melalui kegiatan pembelajaran, siswa diharapkan dapat memperoleh/menguasai suatu materi ajar atau subjek tertentu yang disajikan dalam pembelajaran. Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya efisiensi dan efektifitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Pihak-pihak yang terlibat dalam pembelajaran adalah pendidik dan peserta didik yang berinteraksi edukatif antara satu dengan lainnya. Isi kegiatan adalah bahan (materi) belajar yang bersumber dan kurikulum suatu program pendidikan. Proses kegiatan adalah langkah-langkah atau
26
tahapan yang dilalui pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran (Isjoni,
2010:11).
Mulyasa
(2010:255)
menuliskan
dalam
pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Berdasarkan beberapa uraian tentang pembelajaran, memberi gambaran tentang adanya suatu hubungan ke berbagai arah. Artinya, interaksi yang terjadi bukan hanya antara guru dan siswa, namun juga antara siswa dengan guru, antara siswa dengan siswa lain, bahkan antara siswa dengan lingkungannya. Peranan guru, tidak hanya sebagai satu-satunya sumber belajar, tapi juga bertanggung jawab atas terjadinya kegiatan belajar yang harus dilakukan siswa sebagai syarat terjadinya pembelajaran. Suatu kegiatan disebut pembelajaran jika ada pengajar/guru dan siswa sebagai subjek belajar. Pembelajaran dapat teradi melalui proses interaksi siswa dengan siswa lain, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan siswa dengan sumber belajar. Untuk dapat terjadi suatu pembelajaran di kelas guru harus mampu membuat siswa mau belajar tentang materi mata pelajaran yang harus dikuasai siswa. Jika dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka guru harus sedapat mungkin membuat siswa mau belajar tentang materi ajar yang termuat sebagai cakupan kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia.
2.1.2.2. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Sistem kurikulum yang digunakan dalam pendidikan saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Seperti diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 38 ayat 2, kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama
27
Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah. Mulyasa (2010:21) menuliskan pengertian KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efesiensi, dan pemerataan pendidikan. KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing-masing. Pelaksanaan kurikulum diatur dalam UU No.20 tahun 2003 BAB IX tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 35 ayat 1, yang menuliskan Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Serta pasal 35 ayat 2 yang menuliskan Standar Nasional Pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Pelaksanaan pembelajaran secara keseluruhan saat ini adalah dengan menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang mana kurikulum yang ada dikembangkan sendiri oleh setiap satuan pendidikan dengan diawasi oleh dinas pendidikan atau kantor departemen agama. Pengembangan kurikulum ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan sumber belajar di masing-masing daerah tingkat satuan pendidikan. Pengembangan kurikulum diacukan pada Standar
Nasional
pembelajaran,
Pendidikan.
diberlakukan
Dalam
adanya
praktik
standar
pelaksanaan
kompetensi
dan
28
kompetensi dasar yang termuat dalam standar isi sebagai acuan pembelajaran. Standar isi ini kemudian dijabarkan dalam silabus dan indikator pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan yang hendak dicapai sekaligus tolok ukur dalam keberhasilan proses pembelajaran. Tercapainya suatu kompetensi/indikator adalah dengan dilakukannya penilaian terkait dengan indikator yang dipelajari. Pelimpahan pembuatan kurikulum pada masing-masing satuan pendidikan akan lebih mengarahkan siswa untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan kebutuhan lingkungan dimana siswa tinggal. Tatat Hartati (2013:7) menuliskan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia secara umum adalah sebagai berikut: 1. Siswa menghargai dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara. 2. Siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk makna, dan fungsi, serta menggunakan dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan. 3. Siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial. 4. Siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis). 5. Siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelekual manusia Indonesia. Sependapat dengan Tatat Hartati, Yeti Mulyati (2013:3) menuliskan pembelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. 2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. 3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.
29
4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. 5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Pada akhir pendidikan di SD/MI, peserta didik telah membaca sekurangkurangnya sembilan buku sastra dan nonsastra.
Pembelajaran bahasa Indonesia ditujukan agar siswa dapat mendalami bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan baik dan benar. Siswa dapat menyadari secara penuh, bahasa Indonesia bukanlah sekedar alat komuniaksi, tetapi bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bangsa Indonesia yang akan membawa siswa pada rasa
penghargaan
dan
menghormati
bahasa
Indonesia.
Rasa
menghargai dan menghormati terhadap bahasa Indonesia akan membawa siswa dalam penggunaan bahasa Indonesia sesuai dengan ketepatan penggunaan, mengembangkan kedisplinan dalam berbahasa, serta mampu menghargai dan memanfaatkan karya sastra sebagai budaya dan daya cipta manusia. Berbagai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang sangat bermanfaat bagi siswa, akan tercapai jika pembelajaran bahasa Indonesia dirasa siswa menyenangkan dan mampu membawa siswa merasa butuh mempelajari bahasa Indonesia. BNSP (2006:317) menyatakan pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik, secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Selain itu, Eprins.uny.ac.id (2013:2) menuliskan arah pembelajaran bahasa Indonesia dalam KTSP lebih menekankan keterlibatan siswa dalam belajar, membuat siswa secara aktif terlibat dalam
proses
pembelajaran.
Suatu
proses
perubahan
bahwa
30
pendidikan kita harus bergeser dari belajar yang berfokus pada penguasaan pengetahuan ke belajar holistic realistic yang lebih bermakna dan menyenangkan. Setiap pendidik selalu mengharapkan agar semua ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat dimengerti dan dipahami
siswa serta
mampu menerapkan
dalam kehidupan
masyarakat. Pembelajaran bahasa Indonesia yang ditujukan agar siswa dapat memiliki kemampuan komunikasi yang baik, secara lisan dan tertulis, menuntut pembelajaran yang tidak sederhana. Penerapan pembelajaran bahasa Indonesia dalam KTSP tidak lagi hanya guru sebagai sumber dan pusat pembelajaran, namun dipusatkan kepada siswa sebagai subjek pembelajaran. Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran,
sehingga
memberi
kesempatan
siswa
untuk
mengembangkan pengalamannya. Pembelajaran bahasa Indonesia disajikan dengan mengkaitkan pembelajaran dengan kehidupan seharisehari siswa. Pembelajaran yang aktif dan efisien dapat diperoleh siswa jika guru
sebagai
fasilitator
pembelajaran
merancang
skenario
pembelajaran dengan matang dan menyenangkan. Seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 2013 pasal 19 ayat 1: Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, meyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Skenario pembelajaran terangkum dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang secara jelas dituntut untuk menyajikan pembelajaran yang menumbuhkan rasa senang, motivasi belajar, keaktifan siswa dan menumbuhkan kreatifitas siswa. Slameto (2012:67) menuliskan RPP adalah rencana atau program yang disusun oleh guru untuk satu atau dua pertemuan, untuk mencapai target satu
31
kompetensi dasar. RPP diturunkan dari silabus yang telah disusun dan bersifat aplikatif di kelas. RPP berisi gambaran tentang kompetensi dasar yang akan dicapai, yang dijabarkan pada indikator, tujuan, meteri, skenario pembelajaran tahap demi tahap serta authentic assesmentnya. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.41 Tahun 2007 tentang Standar Proses menetapkan Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Dijelaskan pula dalam Standar Proses, dalam kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Iif Khoirul Ahmadi, Sofan Amri, Hendro Ari Setyono, dan Tatik Elisah (2011:94) menuliskan tentang komponen RPP antara lain 1) Kompetensi Dasar, 2) Indikator, 3) Pencapaian Kompetensi, 4) Tujuan Pembelajaran, 5) Materi Ajar, 6) Alokasi Waktu, 7) Metode Pembelajaran, 8) Kegiatan Pembelajaran, 9) Penilaian Hasil Belajar, 10) Sumber Belajar. Langkah-langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam proses pembelajaran termuat dalam kegiatan pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran termuat kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Kegiatan inti dalam pembelajaran, terdiri atas tiga tahap pelaksanaan, yaitu eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi atau sering dikenal dengan EEK (Iif Khoirul Ahmadi, Sofan Amri, Hendro Ari Setyono, dan Tatik Elisah, 2011:95). Eksplorasi adalah upaya awal membangun pengetahuan melalui peningkatan pemahaman atas suatu fenomena. Eksplorasi dalam proses pembelajaran adalah kegiatan kompleks, kegiatan yang mengharuskan adanya proses: (1) dialog yang interaktif, (2) adaptif, interaktif dan reflektif, (3) menggambarkan tingkat-tingkat penguasaan pokok bahasan, (4) menggambarkan level kegiatan yang berkaitan dengan meningkatkan ketrampilan
32
menyelesaikan tugas sehingga memperoleh pengalaman yang bermakna. Teori elaborasi mengajukan tujuh komponen strategi utama, 1) urutan ekplorasi, 2) urutan prasyarat belajar, 3) ringkasan, 4) sintesis, 5) analogi, 6) strategi kognitif, 7) kontrol terhadap siswa. Strategi elaborasi berkaitan erat dengan proses elaborasi yang berkelanjutan, melibatkan siswa dalam pengembangan ide atau ketrampilan dalam aplikasi praktis. Untuk meningktkan keyakinan akan kebenaran maka siswa dapat difasilitasi dalam mengembangkan model struktur seperti pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi atau klarifikasi. Sikap keraguan siswa perlu dijawab dengan mengkonfirmasikan terhadap unsur-unsur yang dapat meningkatkan kejelasan atas kebenaran suatu informasi (Slameto, 2012:76-80). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.41 tahun 2007 menuliskan tantang Pelaksanaan Pembelajaran dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Kegiatan Pendahuluan Dalam kegiatan pendahuluan, guru: a. Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; c. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; d. Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus. 2. Kegiatan Inti a. Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi, guru: 1) Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber. 2) Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain; 3) Memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;
33
4) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam kegiatan pembelajaran; dan 5) Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan. b. Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi, guru: 1) Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; 2) Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; 3) Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah dan bertindak tanpa rasa takut; 4) Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; 5) Memfasilitasi perserta didik berkompetinsi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; 6) Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; 7) Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok; 8) Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; 9) Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. c. Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, guru: 1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik; 2) Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber; 3) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang yang telah dilakukan; 4) Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar; 5) Berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
34
6) Membantu menyelesaikan masalah; 7) Memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; 8) Memberi informasi untuk bereksplorasi lebih lanjut; 9) Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif. 3. Kegiatan Penutup Dalam kegiatan penutup, guru: a. Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran; b. Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegaitan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; c. Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran; d. Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; e. Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Sebelum pembelajaran memasuki materi ajar, siswa dipersiapkan untuk belajar. Kegiatan pendahuluan dapat dilakukan dengan berdoa diawal jam pembelajaran, mengajukan pertanyaanpertanyaan ringan yang berhubungan dengan pembelajaran, atau dengan kegiatan apersepsi lain yang mendukung pembelajaran. Agar siswa dalam belajar memiliki arah, maka perlu disampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, serta disampaikan pula materi yang akan dipelajari. Dalam kegaitan inti eksplorasi, siswa diberi fasilitas untuk dapat melakukan pembelajaran dengan cara menemukan sendiri informasi yang dibutuhkan. Guru bertugas memberi rangsangan kepada siswa untuk dapat mencoba mencari informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber dan berbagai kegiatan. Setelah kegiatan eksplorasi, dilanjutkan dengan kegiatan elaborasi. Dalam kegiatan elaborasi siswa diajak untuk berpikir lebih kritis dan berpikir ilmiah tentang informasi yang telah didapat. Hasil eksplorasi akan disajikan kedalam berbagai bentuk laporan/hasil produk dalam
35
kegiatan elaborasi. Selesai dengan kegiatan eksplorasi dan elaborasi, dilanjutkan dengan kegiatan konfirmasi. Dalam kegiatan ini, umpan balik, penguatan dan konfirmasi kegiatan dilakukan oleh guru. Dalam konfirmasi ini, kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan peserta didik dijadikan keutuhan pembelajaran untuk dijadikan suatu pengalaman bagi peserta didik. Dari keseluruhan kegiatan yang telah dilakukan, dibuat simpulan/rangkuman dan refleksi serta penilaian. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menutup kegiatan pembelajaran. Reformasi pendidikan yang saat ini diterapkan dalam pendidikan di Indonesia adalah KTSP. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan)
memberikan
kesempatan
kepada
satuan
pendidikan untuk merancang sendiri kuikulum sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah. Dalam pelaksanaan KTSP ada Standar
Nasional
Pendidikan
yang
mengatur
pelaksanaan
pembelajaran. Standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pembelajaran menjadi faktor penting dalam perumusan kegiatan pembelajaran. Jika dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, maka materi yang menjadi bahasan dalam pembelajaran dijabarkan dari kompetensi dasar yang merupakan penjabaran dari standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia yang telah ditetapkan BSNP. Dengan pembelajaran yang dirancang sendiri sesuai dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan sekolah diharapkan guru dapat merencanakan pembelajaran yang menyenangkan dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang ada. Perwujudan pembelajaran dalam KTSP merupakan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan bagi siswa, yang dapat menjadikan siswa aktif, merasa tertantang, menumbuhkan kreativitas. Untuk mengefektifkan pembelajaran, dalam pelaksanaanya, pembelajaran dilakukan dengan cakupan kegiatan
inti
meliputi:
eksplorasi,
elaborasi
dan
konfirmasi.
Pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, dan menantang, menubuhkan kreatifitas siswa, serta pelibatan peran siswa secara aktif,
36
dapat dirancang dalam proses pembelajaran dengan penggunaan model-model pembelajaran
yang inovatif.
Salah satu
model
pembelajaran yang inovatif adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning), yaitu siswa belajar dengan bekerja sama dengan siswa lain. 2.1.3. Model Pembelajaran Kooperatif Kata pembelajaran kooperatif berasal dari kata cooperatif learning. Kata cooperatif dalam Kamus Inggris-Indonesia (2005:147) berarti bekerja sama. Dapat diartikan cooperatif learning atau pembelajaran kooperatif berarti belajar secara bersama-sama dengan saling bekerja sama antara satu dengan lainnya. Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Di dalam kelas kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 3-4 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, dan satu sama lain saling membantu. Tujuan pembentukan kelompok adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar (Trianto, 2009:56). Sedangkan Johnson dalam Isjoni (2010:15) mengatakan “Cooperanon mean working thogeter to accomplish shared goals. Whitin cooperative activities individuals seek outcomes that are beneficial to all other groups members. Cooperative learning is the instructional use of small group the allows students to work toghether to maximize their own and each other as learning”. Berdasarkan pernyatan Johnson pembelajaran kooperatif mengandung arti bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, siswa mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk
37
memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok itu. Sedangkan Slavin (1995) dalam Isjoni (2010:15) mengemukakan “In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by the teacher”. Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja salam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Slavin (2005:8) menegaskan inti dari pembelajaran kooperatif adalah para siswa duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan guru. Steven G. McCafferty (2006:4) menyatakan “Two crucial concepts in almost everyone's definition of cooperative learning relate to the amount of group support and to the degree to which each individual member of the group needs to learn and to exhibit his or her accomplishments”. Dari pernyataan McCafferty ini, dapat dimaknai bahwa dua konsep penting dalam pembelajaran kooperatif secara umum adalah berhubungan dengan kerja kelompok dan sejauh mana setiap anggota kelompok melakukan pembelajaran dan menunjukkan kemampuan atau prestasinya. Pembelajaran dengan mengelompokkan siswa kedalam kelompok kecil yang beranggotakan 4-6 orang siswa. Adanya pengelompokan secara heterogen memberi kesempatan pada kelompok memiliki perbedaan ide antaranggota kelompok. Perbedaan ide yang menjadi bahan diskusi siswa secara rasional akan memberi siswa wawasan dan memperkaya sumber belajar. Sekalipun tidak ada perbedaan ide, dikelompokkannya siswa dan disajikannya pembelajaran oleh guru, akan merangsang siswa untuk melakukan diskusi dan tukar pendapat. Kegiatan diskusi ini, tentu akan melatih siswa untuk mendengarkan pendapat teman dan mengungkapkan idenya. Kerja sama akan tumbuh dengan sendirinya dengan adanya materi yang harus dicari penyelesaiannya oleh kelompok.
38
Tujuan utama pembelajaran kooperatif adalah untuk memperoleh pengetahuan dari sesama temannya. Pengetahuan tidak lagi diperoleh dari gurunya, dengan belajar kelompok seorang teman haruslah memberikan kesempatan kepada teman yang lain untuk mengemukakan pendapatnya dengan cara menghargai pendapat orang lain, saling mengkoreksi kesalahan, dan saling membetulkan satu sama lain (Isjoni, 2010:26). Sedangkan Trianto (2009:58) menuliskan pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberi kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama siswa yang berbeda latar belakangnya. Dengan bekerja secara kolaboratif untuk mencapai tujuan yang sama, siswa akan mengembangkan ketrampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan sangat bermanfaaat bagi kehidupan di luar sekolah. Dalam pembelajaran kooperatif, tidak hanya mempelajari materi tapi siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilanketerampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Ketrampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan (Isjoni, 2010:46). Ada banyak alasan yang membuat pembelajaran kooperatif memasuki jalur utama praktik pendidikan. Salah satunya adalah penggunaan pembelajaran kooperatif meningkatkan pencapaian prestasi para
siswa
dan
juga
akibat-akibat
positif
lainnya
yang
dapat
mengembangkan hubungan antarkelompok, penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah dalam bidang akademik, dan meningkatkan rasa harga diri. Alasan lain adalah tumbuhnya kesadaran bahwa siswa perlu belajar untuk berfikir, menyelesaikan masalah, dan mengintegrasikan serta mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan mereka, dan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sarana yang sangat baik untuk mencapai hal-hal semacam itu (Robert E. Slavin, 2005:4-5).
39
Keuntungan utama kerja kelompok kecil tampak terletak pada aspek-aspek kolaboratif yang dapat dibantu pengembangannya. Salah satu keuntungannya terletak pada konstribusi yang dapat diberikan bagi pengembangan ketrampilan sosial murid. Bekerja dengan murid-murid lain dapat membantu murid mengembangkan kemampuan empatik mereka dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk melihat sudut pandang orang lain, yang pada gilirannya dapat membantu mereka menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Berusaha menemukan solusi untuk sebuah masalah dalam kelompok juga mengembangkan
ketrampilan-ketrampilan
seperti
kebutuhan
untuk
mengakomodasi pandangan orang lain (Daniel Muijs dan David Reynolds, 2008:82). Sedangkan Trianto (2009:60) secara sederhana menuliskan pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain. Pembelajaran kooperatif menjadikan siswa belajar secara bersama dengan teman-temannya yang memiliki kemampuan dan latar belakang yang berbeda-beda. Tugas yang harus diselesaikan secara berkelompok menjadikan siswa untuk saling membantu menyelesaikan tugas dengan persamaan konsep pada materi yang hendak dimiliki siswa. Adanya persamaan tujuan merangsang siswa menemukan jalan tengah terbaik yang menguntungkan kelompok ditengah perbedaan pandangan. Jalan tengah inilah yang dituntutkan kelompok untuk dapat dikuasai oleh masingmasing anggotanya. Pembelajaran semacam ini secara nyata membantu siswa untuk saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Pencarian solusi dari tugas yang disajikan diharapkan menjadikan pembelajaran menantang
dan
menyenangkan.
Akan
timbul
rasa
kompetisi
antarkelompok, yang memicu siswa untuk menemukan solusi terbaik bagi kelompok dan anggotanya.
40
Good et al. (1992:140) dalam Daniel Muijs dan David Reynolds (2008:91) memberikan usulan struktur pelajaran dalam sebuah model yang mengintegrasikan kerja kolaboratif (pembelajaran kooperatif) dengan pengajaran seluruh kelas, sebagai berikut: Tabel 1.1. Struktur pembelajaran Model Kerja Kolaboratif Perkiraan Waktu
Kegiatan
Locus of Control
Introduksi, eksplorasi, investigasi, atau penguatan konsep-konsep Eksplorasi konsep-konsep dan ketrampilan-ketrampilan baru. Memberikan berbagai situasi 10 menit Guru problematik dan modelling berbagai strategi. Membimbing diskusi yang bermakna. Memberikan tugas. Mengklarifikasikan hasilhasil yang diharapkan. Mengerjakan tugas kelompok 1 Penyelidikan, penguatan, atau perluasan berbagai konsep dengan mengunakan tugas 5-10 menit Kelompok Eksplorasi Investigasi Aplikasi Penguatan Mengakses kemajuan/memproses dan mengklarifikasikan interaksi tanya jawab aktif mendiskusikan situasi masalah 5 menit Guru mendiskusikan strategi/proses/temuan memberikan perkembangan baru memberikan tugas-tugas baru 10-15 Mengerjakan tugas kelompok 2 Kelompok menit 5 menit Guru Mengakses
41
kemajuan/memproses dan mengklarifikasikan 10-15 menit
Mengerjakan tugas kelompok 2
Kelompok
Reviu/rangkuman tugas reviu singkat tentang tujuan reviu tugas 5 menit Guru reviu temuan hubungan dengan studi di masa lalu/masa depan Gambaran kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif dijabarkan dengan kegiatan pengeksplorasian konsep dengan menyajikan situai probelematik untuk dijadikan bahan diskusi bermakna yang diikuti dengan pemberian tugas. Tugas yang telah diberikan kemudian dikerjakan secara kelompok, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan diklarifikasi melalui bimbingan guru. Kelompok atau siswa sebagai perwakilan kelompok akan mempresentasikan hasil diskusinya sebagai solusi yang ditawarkan untuk menjawab permasalahan yang ada. Selanjutnya kegiatan klarifikasi solusi atas permasalahan yang disajikan dilaksanakan oleh guru. Tugas kedua yang juga dikerjakan secara kelompok, diklarifkasi serta mengakses kemajuan, yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan reviu atau rangkuman kerja kelompok. Melalui pembelajaran semacam ini sangat dapat terlihat adanya peran siswa yang aktif, serta meningkatkan penghargaan siswa terhadap kerja sama yang menjadi kunci keberhasilan pembelajaran secara kelompok. Berdasarkan
penjelasan-penjelasan
tentang
pembelajaran
kooperatif dapat disimpulkan, pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang memberi situasi pelaksanaan proses pembelajaran menjadi
aktif
dan
bernuansa
diskusi
serta
kerja
sama.
Untuk
mewujudkannya dalam pembelajaran kooperatif, siswa dibagi dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4-6 orang dengan catatan, siswa dikelompokkan secara heterogen. Guru bertugas menyajikan permasalahan dan membimbing siswa untuk berdiskusi dalam kelompok mencari penyelesaian atau solusi permasalahan. Proses pencarian penyelesaian ini
42
akan memberi berbagai peluang pada siswa untuk berinteraksi dengan teman dan belajar dari berbagai sumber. Kegiatan diskusi menjadikan siswa belajar mendengarkan dan mengungkapan ide dengan arah mencapai tujuan yang sama. Pembelajaran kooperatif bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, ada bermacam-macam tipe dalam model pembelajaran kooperatif. Salah satunya adalah pembelajaran kooperatif tipe think talk write.
2.1.4. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Talk Write (TTW) Dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia think memiliki arti berfikir, talk berarti berbicara, sedangkan write, berarti menulis. Secara sederhana
pengertian
think
talk
write
merupakan
suatu
model
pembelajaran kreatif yang pembelajarannya dilakukan melalui kegiatan berpikir, berbicara dan menulis. Ngalimun (2014:124) menuliskan tentang model pembelajaran think talk write (TTW), pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomuni-kasikan dengan presentasi, diskusi dan kemudian dibuat laporan hasil presentasi. Think talk write merupakan model pembelajaran yang menfasilitasi latihan berbahasa baik secara lisan maupun tulisan (menulis). Think talk write pertama kali diperkenalkan oleh Huiker dan Laughlin (1996:82), model ini didasarkan pada pemahaman bahwa belajar adalah sebuah perilaku sosial. Think talk write mendorong siswa untuk berpikir, berbicara, dan kemudian menuliskan suatu topik tertentu (Miftahul Huda, 2013:218). Pendapat lain diungkapakan oleh Ni Wyn. Juniarsih (2013:3) Think talk write merupakan model pembelajaran kooperatif yang dimulai dari alur berpikir (think) melalui kegiatan membaca, berbicara (talk) melalui kegiatan diskusi, bertukar pendapat dan presentasi dan menulis (write) melalui kegiatan menuliskan hasil diskusinya.
43
Model pembelajaran kooperatif tipe think talk write memberi alur pembelajaran yang menuntut siswa untuk berpikir secara kritis terhadap permasalahan yang dihadapkan, untuk menemukan ide-ide dari materi yang ada. Dalam kegiatan ini, siswa dilatih untuk menemukan pemikirannya dari suatu persoalan yang menjadi materi pembelajaran. Ide siswa kemudian dianalisis oleh siswa secara mendalam untuk kemudian menemukan
solusi
yang
dapat
ditawarkan
dalam
memecahkan
permasalahan yang disajikan oleh guru. Hasil pembicaraan siswa, kemudian dibicarakan secara klasikal melalui presentasi. Materi/hasil diskusi kemudian dicatat oleh masing-masing siswa dalam kelompok. Dalam kegiatan menulis yang dilakukan siswa, menuntut kelompok agar setiap anggotanya memahami dengan benar materi yang sedang mereka bicarakan dan pelajari. Keberhasilan kelompok adalah jika seluruh anggota kelompok dapat menguasai materi yang menjadi bahan pembelajaran. Dewa Ayu (2014:4) menuliskan kelebihan TTW membuat siswa dapat menikmati suasana yang lebih menyenangkan, membuat siswa dalam pembelajaran menjadi lebih aktif dan hasil belajar yang dicapai oleh siswa maksimal. Sedangkan Desy Ambari (2013:3) menuliskan, think talk write dapat melatih siswa untuk menuliskan hasil diskusinya kebentuk tulisan secara sistematis sehingga siswa akan lebih memahami materi dan membantu siswa untuk mengkomunikasikan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Model pembelajaran think talk write dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan bermakna dalam pembelajaran dari hasil penyelidikan, penyimpulan serta meningkatkan minat dan partisipasi serta meningkatkan pemahaman dan daya ingat. Proses pembelajaran dengan model TTW, membantu siswa melatih kemampuannya dalam berpikir, membicarakan pikirannya dengan berdiskusi bersama teman dan menuliskan hasil pemikirannya dalam belajar. Kegiatan yang dilakukan secara berkelompok ini akan membantu siswa melatih toleransi dan empati terhadap teman. Kemampuan sosial siswa pun akan terlatih dengan pembelajaran model TTW. Pembelajaran
44
yang menyenangkan dan menantang siswa, akan memberi semangat belajar kepada siswa. Rasa semangat dalam kegaitan belajar siswa akan memberi pengaruh positif kepada siswa dalam proses belajarnya. Pembelajaran yang mengkondisikan siswa merasa senang dalam belajar akan membantu siswa memahami materi pembelajaran dan memberi dampak kemajuan pada hasil belajar siswa. Ngalimun (2014:124) menuliskan sintak dari pembelajaran think talk write adalah informasi, kelompok (membaca-mencatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan. Miftaul Huda (2013:218) menyatakan “Sebagaimana namanya, TTW memiliki sintak sesuai dengan urutan di dalamnya, yakni think (berpikir), talk (berbicara/berdiskusi), dan write (menulis)”. Dari pernyataan sintak ini dijabarkan oleh Miftaul Huda sebagai berikut: 1. Tahap Think: siswa membaca teks berupa soal (jika memungkinkan dimulai dengan soal yang kontekstual). Pada tahap ini siswa secara individu memikirkan kemungkinan jawaban (strategi penyelesaian), membuat catatan kecil tentang ide-ide yang terdapat pada bacaan, dan hal-hal yang tidak dipahami dengan menggunakan bahasanya sendiri. 2. Tahap Talk: siswa diberi kesempatan untuk membicarakan hasil penyelidikannya pada tahap pertama. Pada tahap ini siswa mereferensikan, menyusun, serta menguji (negosiasi, sharing) ide-ide kedalam diskusi kelompok. 3. Tahap Write: pada tahap ini, siswa menuliskan ide-ide yang diperolehnya pada kegiatan tahap pertama dan kedua. Tulisan ini terdiri atas landasan konsep yang digunakan, keterkaitan dengan materi sebelumnya, strategi penyelesaian, dan solusi yang diperoleh. Tahap-tahap pembelajaran dalam metode TTW menuntut siswa untuk memikirkan penyelesaian suatu permasalahan yang disajikan. Hasil pemikiran siswa ini kemudian dibawa kedalam kelompok untuk didiskusikan bersama mencari alternative solusi. Diskusi kelompok yang dilakukan siswa akan menghasilkan suatu ide baru sebagai hasil solusi atas permasalahan yang disediakan. Solusi jawaban atas permasalahan yang ada, kemudian dilaporkan secara tertulis. Siswa menuliskan hasil
45
diskusinya sebagai tahap write. Tahap penulisan ini memungkinkan terjadinya perbedaan atau perubahan ide dari tahap think, yang sebelumnya telah dilakukan siswa. Dapat dipahami bahwa tahap pembelajaran TTW memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan ketrampilan siswa dalam 4 kompetensi berbahasa. Dalam kegiatan berpikir, siswa terlebih dahulu membaca atau menyimak suatu materi/permasalahan yang disajikan oleh guru. Dalam tahap kegiatan berbicara yang dilakukan dengan berdiskusi, siswa melatih ketrampilan berbicara dengan mengemukakan pendapatnya. Kompetensi menyimak dilatih melalui kegiatan mendengarkan pendapat teman satu kelompoknya. Kompetensi menulis juga dikembangkan dalam kegiatan
pembelajaran
TTW.
Hasil
penyelesaian
masalah
yang
disajikan/materi yang telah dipelajari dituliskan oleh siswa sebagai hasil refleksi belajar dan pemikirannya. Tahap-tahap kegiatan dalam TTW dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut: 1. Siswa membaca teks dan membuat catatan dari hasil bacaan secara individual (think), untuk dibawa ke forum diskusi. 2. Siswa berinteraksi dan berkolaborasi dengan teman satu grup untuk membahas isi catatan (talk). Dalam kegiatan ini, mereka menggunakan bahasa dan kata-kata mereka sendiri untuk menyampaikan ide-ide mereka dalam diskusi. Pemahaman dibangun melalui interaksi dalam diskusi, karena diskusi diharapkan dapat menghasilkan solusi atas soal yang diberikan. 3. Siswa mengkonstruksi sendiri penetahuan yang memuat pemahaman dan komunikasi dalam bentuk tulisan. 4. Kegiatan akhir pembelajaran adalah membuat refleksi dan kesimpulan atas materi yang dipelajari. Sebelum itu, dipilih satu atau beberapa orang siswa sebagai perwakilan kelompok untuk menyajikan jawaban, sedangkan kelompok lain diminta memberikan tanggapan (Miftaul Huda, 2013:220). Pembelajaran think talk write menjadikan siswa membangun sendiri pengetahuan dalam pikirannya. Pembelajaran ini berkaitan dengan kegiatan mencari dan menemukan jawaban dari tugas yang dihadapkan
46
pada kelompok. Materi dengan sendirinya akan dilakukan pengulangan oleh siswa melalui proses pembelajaran think talk write. Pemahaman materi dapat semakin diperdalam dengan adanya kegiatan diskusi dan menuliskan kembali hasil perolehan jawaban. Kegiatan diskusi yang dilakukan kelompok perlu diawasi oleh guru, jika ada siswa yang kurang terlibat, guru dapat merangsang siswa untuk menjadi aktif dalam proses pembelajaran. Melalui pembelajaran kooperatif tipe think talk write, siswa akan lebih mendalami dan memahami materi yang disajikan. Kemampuan siswa yang lemah dalam daya ingatnya, akan terbantu dengan proses pembelajaran think talk write. Hal ini disebabkan adanya pengulangan materi dan pembahasan materi tersebut secara berulang-ulang. Kegiatan pertama dalam pembelajaran ini, siswa membaca terlebih dahulu materi yang disajikan. Siswa dengan sendirinya mencari informasi yang terkandung di dalam bacaan, membangun ide dan gagasan yang siswa temukan secara sendirinya melalui kegiatan membaca. Tahap ini dalam pembelajaran TTW merupakan tahap awal kegiatan pembelajaran, yaitu think. Selanjutnya tahap dimana ide dan informasi yang dimiliki siswa melalui kegiatan membaca, dibicarakan dalam kegiatan diskusi kelompok (talk). Materi yang sudah tersimpan dimemori siswa, kemudian dibicarakan oleh siswa dengan teman-teman satu kelompoknya melalui kegiatan diskusi kelompok. Kegiatan siswa yang membicarakan idenya dan mendengarkan ide teman berkaitan dengan materi yang telah dibaca siswa, menjadikan materi dalam memori siswa diperkuat dan diperdalam. Hasil diskusi kelompok, kemudian dipresentasikan oleh siswa perwakilan kelompok, menuntut siswa untuk mendengarkan kembali materi yang sedang dibahas dalam pembelajaran. Pemahaman siswa akan meteri yang telah didiskusikan akan semakin diperkuat dengan kegiatan ini. Materi yang telah dibahas secara bersama-sama kemudian dituliskan siswa secara individu sebagai tahap write dalam pembelajaran tipe think talk write.
47
Kegiatan menuliskan kembali ini memerkuat ingatan siswa tentang materi yang dipelajarinya. Berdasarkan pendapat-pendapat tentang pembelajaran think talk write, model pembelajaran kooperatif tipe think talk write merupakan model pembelajaran kooperatif yang dilakukan dengan membagi siswa dalam kelompok dengan anggota kelompok 4-6 orang siswa. Sebelum masuk dalam kegiatan kelompok, siswa diberi materi bacaan untuk dibaca siswa secara individu guna menemukan informasi yang terkandung dalam bacaan.
Informasi yang diperoleh siswa kemudian dibicarakan siswa
dalam diskusi kelompok. Untuk menimbulkan suasana diskusi yang aktif, siswa diberi pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan materi bacaan untuk ditemukan solusi jawabannya. Hasil diskusi masing-masing kelompok kemudian dipresentasikan oleh perwakilan kelompok. Solusi dari pertanyaan yang disajikan berkaitan dengan materi pembelajaran, kemudian dituliskan oleh siswa secara individu sebagai proses menuliskan kembali hasil berpikir, diskusi dan presentasi yang telah dilakukan.
2.1.5. Hasil Belajar 2.1.5.1. Belajar Slameto (2010:2) menyatakan “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku
yang
baru
secara
keseluruhan,
sebagai
hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Pendapat lain dituliskan oleh Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2011:5) yang mendefinisikan kata belajar sebagai proses perubahan tingkah laku pada peserta didik akibat adanya interaksi antara individu dan lingkungannya melalui pengalaman dan latihan, perubahan ini terjadi secara menyeluruh, menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan, menurut Ahmad Susanto (2013:4) belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk memeroleh suatu konsep, pemahaman, atau
48
pengetahuan baru sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berpikir, merasa maupun dalam bertindak. Belajar dapat memberikan perubahan tingkah laku yang bersifat tetap pada diri seseorang. Perubahan ini didapat seseorang melalui adanya pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya dan dengan orang lain. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang membutuhkan kesadaran dan sengaja dilakukan dengan tujuan perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik. Tidak semua perubahan tingkah laku adalah proses belajar. Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar menurut Slameto (2010:3-5) antara lain: 1. Perubahan terjadi secara sadar: seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan atau sekurangkurangnya ia merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya, misalnya pengetahuannya bertambah, kecakapan bertambah, kebiasaannya bertambah. 2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional: satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. 3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif: perubahan dalam belajar senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Semakin banyak usaha belajar dilakukan, semakin banyak dan baik perubahan yang diperoleh. Perubahan bersifat aktif artinya bahwa perubahan tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri. 4. Perubahan dalam belajar bukan sifat sementara: tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. 5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah: perubahan tingkah laku terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perubahan berlajar terarah pada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari. 6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku: jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara
49
menyeluruh dalam sikap, ketrampilan, pengetahuan dan sebagainya. Sedangkan Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2011:4), menuliskan variasi perubahan tingkah laku dalam belajar dapat diamati melalui proses tingkah laku atau penampilan anak didik. Ada enam jenis tingkah laku, berturut-turut sebagai berikut: 1. Jawaban yang khusus; suatu kegiatan belajar peserta didik yang ditampilkan melalui proses stimulus(S)– respon(R). S adalah situai yang memberi stimulus, sedangkan R adalah respon atas stimulus tadi; 2. Untaian atau rangkaian; suatu kegiatan belajar yang terjadi berdasarkan rentetan atau rangkaian respon yang dihubungkan-hubungan; 3. Perbedaan yang beragam; proses belajar yang terjadi atas serangkaian respon yang khusus; 4. Penggolongan; jenis belajar yang terjadi atas penggolongan suatu benda, keadaan, atau perbuatan yang sesuai dengan situasi; 5. Menggunakan urutan; suatu kecakapan untuk berbuat atau bertindak sesuai dengan landasan konsepnya; 6. Memecahkan masalah; kemampuan berpikir, menganalisis, dan memecahkan masalah. Perubahan tingkah laku sebagai hasil berlajar tidak didapat dengan sembarangan pengalaman. Perubahan yang menuju pada akibat dari belajar bersifat tetap dan didapat dari pengalaman yang dilakukan secara sadar. Pencapaian perubahan tingkah laku tidak hanya berpusat pada satu kemampuan saja, namun berkembang secara merata antara pemikiran, sikap dan ketrampilan. Belajar pada dasarnya adalah usaha yang dilakukan seseorang secara sadar untuk dapat memperoleh perubahan tingkah laku dan pengetahuan, yang didapat melalui pengalaman seseorang dalam berhubungan dengan sesama dan lingkungannya. Terjadinya proses belajar secara sadar salah satunya adalah pembelajaran di kelas. Guru merancang kegiatan pembelajaran dan siswa sebagai subjek yang belajar untuk mencapai suatu tujuan tertentu berupa perubahan perilaku. Perubahan tingkah laku dalam kegiatan belajar di kelas dapat diukur dengan suatu tindakan
berupa
penilaian.
Hasil
penilaian,
pada
umumnya
50
diwujudkan dalam bentuk angka sebagai penentu tingkat keberhasilan pemerolehan perubahan tingkah laku. Angka sebagai ukuran perwujudan perubahan tingkah laku dalam belajar, ini disebut dengan hasil belajar.
2.1.5.2. Hasil Belajar A.J. Romiszowski (1981:217) dalam Mulyono Abdurrahman (2003:38) menyatakan hasil belajar merupakan “Keluaran (output) dari suatu sistem pemrosesan masukan (input). Masukan dari sistem tersebut berupa bermacam-macam informasi sedangkan keluarannya adalah perbuatan atau kinerja (performance)”. Sedangkan Mulyono Abdurraahman (2003:37) mendefinisikan hasil belajar sebagai kemampuan yang diperoleh anak setelah melakukan kegiatan belajar. Menurut Benjamin S. Bloom ada tiga ranah hasil berlajar, yaitu hasil belajar berupa pengetahuan/kognitif, sikap/afektif, dan ketrampilan/psikomotor (Ngalim Purwanto, 2009:24). Sependapat dengan Bloom, Nana Sudjana (2011:3) menuliskan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotor. Ahmad Susanto (2013:5) juga menuliskan hasil belajar yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut aspek kognitif atau pemahaman konsep, afektif atau sikap siswa, dan psikomotor atau ketrampilan proses sebagai hasil kegiatan belajar. Ika Mustika (2014:11) menuliskan taksonomi tujuan pendidikan menurut Bloom, yang mana Benyamin Bloom mengklasifikasikan kemampuan hasil belajar ke dalam tiga kategori, yaitu: a) Ranah kognitif, meliputi kemampuan menyatakan kembali konsep atau prinsip yang telah dipelajari dan kemampuan intelektual. b) Ranah afektif, berkenaan dengan sikap dan nilai yang terdiri atas aspek penerimaan, tanggapan, penilaian, pengelolaan, dan penghayatan (karakterisasi).
51
c) Ranah psikomotorik, mencakup kemampuan yang berupa ketrampilan fisik (motorik) yang terdiri dari gerakan refleks, ketrampilan gerakan dasar, kemampuan perspektual, ketepatan, ketrampilan kompleks, serta ekspresif dan interperatif. Taksonomi tujuan pendidikan menurut Bloom, digambarkan dalam skema sebagai berikut (Ika Mustika, 2014:1). HASIL BELAJAR
Klasifikasi kemampuan hasil belajar (Benyamin Bloom): Ranah a. KOGNITIF b. PSIKOMOTOR c. AFEKTIF
Kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya Ezoelearn System (2012:1) menuliskan taksonomi Bloom merupakan hasil kelompok penilai di Universitas yang terdiri dari B.S Bloom, Editor M.D Engelhart, E. Frust, W.H. Hill dan D.R. Krathwohl, yang kemudian didukung oleh Ralp W. Tyler. Bloom merumuskan tujuantujuan pendidikan pada 3 tingkatan: 1. Kategori tingkah laku yang masih verbal, 2. Perluasan kategori menjadi sederetan tujuan, 3. Tingkah laku konkrit yang terdiri dari tugas-tugas dalam pertanyaanpertanyaan sebagai ujian dan butir-butir soal. Berdasarkan uraian hasil belajar, hasil belajar pada dasarnya adalah kemampuan sebagai hasil yang diperoleh seseorang setelah melakukan kegiatan belajar. Pengalaman belajar yang memberikan perubahan tingkah laku pada seseorang dapat diukur dan ditentukan sebagai hasil belajar. Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar tidak hanya pada bertambahnya suatu pengetahuan saja, namun juga berpengaruh pada perubahan tingkah laku dalam bidang sikap dan ketrampilan.
52
Pemahaman konsep (ranah kognitif) menurut Bloom (1979:89) dalam Ahmad Susanto (2013:6) merupakan kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari. Pemahaman konsep yakni seberapa besar siswa mampu menerima, menyerap, dan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru kepada siswa, atau sejauh mana siswa dapat memahami serta mengerti apa yang ia baca, yang dilihat, yang dialami, atau yang ia rasakan berupa hasil penelitian atau observasi langsung yang ia lakukan. Ana Ratna (2014:2) menuliskan Taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson, L.W dan Krathwohl, D.R (2001) yaitu mengingat
(C1),
memahami
(C2),
mengaplikasikan
(C3),
menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), mencipta (C6). Imam Gunawan (2014:26-30) menuliskan penjelasan Taksonomi Bloom ranah kognitif sebagai berikut: a. Mengingat/Remember (C1) Mengingat adalah usaha mendapatkan kembali pengetahuan dari memori atau ingatan yang telah lampau, baik yang baru saja didapatkan ataupun yang sudah lama didapatkan. Mengingat meliputi mengenali (recognition) dan memanggil kembali (recalling). Mengingat berkaitan dengan mengetahui pengetahuan masa lampau yang berkaitan dengan halhal konkrit. Sedangkan memanggil kembali adalah proses kognitif yang membutuhkan pengetahuan masa lampau secara cepat dan tepat. b. Memahami/mengerti/understand (C2) Memahami/mengerti berkenaan dengan membangun sebuah pengertian dari berbagai sumber seperti pesan, bacaan, dan komunikasi. Memahami/mengerti berkaitan dengan aktivitas mengklasifikasikan dan membandingkan. Mengklasifikasikan muncul ketika seorang siswa berusaha mengenali pengetahuan yang merupakan anggota dari kategori pengetahuan tertentu. Sedangkan membandingkan merujuk pada identifikasi persamaan dari perbedaan dari dua atau lebih objek, kejadian, ide, permasalahan, atau situasi. Membandingkan berkaitan dengan proses kognitif
53
menemukan satu persatu ciri-ciri dari objek yang dibandingkan. c. Menerapkan/Apply (C3) Menerapkan merupakan proses kognitif memanfaatkan atau mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau menyelesaikan permasalahan. Menerapkan berkaitan dengan dimensi pengetahuan prosedural (procedural knowladge), yang meliputi kegiatan menjalankan prosedur (executing) dan mengimple-mentasikan (implementing). Menjalankan prosedur adalah proses kognitif siswa dalam menyelesaikan masalah dan melaksanakan percobaan di mana siswa sudah mengetahui informasi tersebut dan mampu menetapkan dengan pasti prosedur apa saja yang harus dilakukan. Mengimplementasikan muncul jika siswa memilih dan menggunakan prosedur untuk halhal yang berlum diketahui atau masih asing. Karena siswa masih merasa asing dengan hal ini, maka siswa perlu mengenali dan memahami permasalahan terlebih dahulu kemudian baru menetapkan prosedur yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan mene-rapkan merupakan proses yang kontinu, dimulai dari siswa menyelesaikan suatu permasalahan menggunakan prosedur baku/standar yang sudah diketahui. Kegiatan ini berjalan teratur sehingga siswa benar-benar mampu melaksanakan prosedur ini dengan mudah, kemudian berlanjut pada munculnya permasalahan-permasalahan baru yang asing bagi siswa, sehingga siswa dituntut untuk mengenal dengan baik permasalahan tersebut dan memilih prosedur yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan. d. Menganalisis/Analyzw (C4) Menganalisis adalah memecahkan suatu permasalahan dengan memisahkan tiap-tiap bagian dari permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiaptiap bagian tersebut dan mencari tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat menimbulkan permasalahan. Menganalisis berkaitan dengan proses kognitif memberi atribut (attributeing) dan mengorganisasikan (organizing). Memberi atribut akan muncul ketika siswa menemukan permasalahan dan kemudian melakukan kegiatan membangun ulang hal yang menjadi permasalahan. Mengorganisasikan menunjukkan identifikasi unsur-unsur hasil
54
komunikasi atau situasi dan mencoba mengenali bagaimana unsur-unsur ini dapat menghasilkan hubungan yang baik. Kegiatan meng-organisasi memungkinkan siswa membangun hubungan yang sistematis dan koheren dari potongan-potongan informasi yang diberikan. e. Mengevaluasi/Evaluate (C5) Evaluasi berkaitan dengan proses kognitif memberikan penilaian berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Kriteria yang biasanya digunakan adalah kualitas, efektifitas, efisiensi, dan konsistensi. Evaluasi meliputi mengecek (checking) dan mengkritisi (critiquing). Mengecek menuju pada kegiatan pengujian hal-hal yang tidak konsisten atau kegagalan dari suatu operasi atau produk. Mengkritisi mengarah pada penilaian suatu produk atau operasi berdasarkan pada kriteria dan standar eksternal. Siswa melakukan penilaian dengan melihat sisi negatif dan positif dari suatu hal, kemudian melakukan penilaian menggunakan standar ini. f. Menciptakan/Create (C6) Menciptakan mengarah pada proses kognitif meletakkan unsur-unsur secara bersama-sama untuk membentuk kesataun yang koheren dan mengarahkan siswa untuk menghasilkan suatu produk baru dengan mengorganisasikan beberapa unsur menjadi bentuk atau pola yang berbeda dari sebelumnya. Menciptakan mengarahkan siswa untuk dapat melaksanakan dan menghasilkan karya yang dibuat oleh siswa. Menciptakan meliputi menggeneralisasikan (generating) dan memproduksi (producing). Menggeneralisasikan adalah kegiatan merepretasikan permasalahan dan penemuan alternatif hipotesis yang diperlukan. Hal ini berkaitan dengan dimensi pengetahuan yang lain yaitu pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognisi. Hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman, kebiasaan belajar dan hubungan sosial. Jenis ranah afektif sebagai hasil belajar dari tingkat dasar sampai tingkat komplek meliputi a) Receiving/attending: kepekaan dalam menerima rangsangan (Stimulus) dari luar yang datang dalam bentuk
55
masalah, situasi, gejala, dan lain-lain. b) Responding atau jawaban: reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulus yang datang dari luar. c) valuing (penilaian): berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala dan stimulus. d) organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimiliki. e) karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang memengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya (Nana Sudjana, 2011:30). Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk ketrampilan dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotoris berkenaan dengan ketrampilan atau kemampuan bertindak setelah siswa menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ini sebenarnya tahap lanjutan dari hasil belajar afektif yang baru tampak dalam
kecenderungan-kecenderungan
untuk
berperilaku
(Nana
Sudjana, 2011:31-32). Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar mencakup 3 aspek yang meliputi pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Hasil belajar ranah pengetahuan adalah tentang bagaimana siswa menerima dan memahami suatu konsep. Dengan belajar, siswa akan memeroleh perubahan tingkah laku. Perubahan sebagai hasil belajar adalah perubahan kearah positif. Sikap positif dalam belajar dapat ditunjukkan dengan minat siswa dalam belajar, sikap siswa menanggapi guru dan kemampuan siswa bersosialisasi dengan temannya. Minat belajar sebagi ranah afektif, diwujudkan siswa ke dalam suatu tindakan yang termasuk dalam ranah ketrampilan proses. Dengan adanya keinginan yang lebih dan semangat serta motivasi untuk belajar, siswa akan menunjukkannya dalam wujud perilaku atau tindakan yang mendukung proses pembelajaran. Sebagai contoh kesiapan
siswa
dalam
pembelajaran,
kemampuan
siswa
mengkomuniksikan ide atau dengan mengungkapkan pertanyaan. Kemampuan siswa dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor antara siswa yang satu dengan siswa yang lain memiliki kemampuan
56
yang berbeda. Untuk dapat mengetahui tingkat perubahan perilaku siswa sebagai hasil belajar, maka dapat dilakukan dengan cara penilaian. Proses belajar yang dirancang dengan suatu tujuan, diharapkan dapat menghasilkan suatu perubahan tingkah laku yang dapat diukur sebagai hasil belajar. Nana Sudjana (2011:2) menggambarkan hubungan belajar dengan hasil belajar kedalam suatu diagram sebagai berikut: Tujuan instruksional (a)
(c) Hasil belajar
Pengalaman belajar (b)
Garis (a) menunjukkan hubungan antara tujuan instruksional dengan pengalaman belajar. Tujuan instruksional adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan pada diri siswa. Garis (b) menunjukkan hubungan antara pengalaman belajar dengan hasil belajar, dan garis (c) menunjukkan hubungan tujuan instruksional dengan dengan hasil belajar. Garis (c) merupakan suatu kegiatan penilaian untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan instruksional telah dicapai siswa dalam bentuk hasil belajar. Sedangkan garis (b) merupakan kegiatan penilaian untuk mengetahui keefektifan pengalaman belajar dalam mencapai hasil belajar yang optimal (Nana Sudjana, 2011:2). Kegiatan belajar di kelas dirancang dengan beracukan pada tujuan instruksional, yakni tujuan yang hendak dicapai sebagai hasil akhir kegiatan belajar. Tujuan instruksional merupakan perubahan tingkah laku yang diharapkan dapat dimiliki siswa setelah melakukan kegiatan belajar di kelas. Untuk dapat mengetahui sejauh mana tujuan instruksional telah dicapai, perlu adanya suatu kegiatan guna
57
menyatakan tingkat keberhasilan tujuan intruksional yang ditentukan telah menjadi perilaku tetap bagi siswa. Kegiatan ini disebut dengan penilaian hasil belajar. Dengan penilaian, maka tingkat kesuksesan kegiatan pembelajaran dapat diketahui dan dapat dilakukan perbaikan jika ada kekurangan dalam perolehan hasil belajar seperti yang diinginkan. Kegiatan belajar sebagai pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan sesama dan lingkungan mampu menghasilkan suatu perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku yang dimiliki siswa dalam hal ini disebut dengan hasil belajar, yang merupakan keluaran dari input atau masukan selama proses belajar. Hasil belajar sebagai perubahan tingkah laku melalui proses belajar dapat terjadi pada aspek pengetahuan siswa, sikap siswa serta ketrampilan siswa. Perubahan tingkah laku dalam pengetahuan berkenaan dengan kemampuan berpikir siswa yang terdiri dari enam level/tingkatan. Hasil belajar dalam bidang sikap (afektif) merupakan perubahan tingkah laku siswa yang ditunjukkan dengan kemauan siswa dalam proses belajar. Misalnya sikap disiplin siswa, sikap menghargai guru dan teman, serta kepekaan siswa terhadap pembelajaran yang dilaksanakan. Kamauan siswa ini diwujudnyatakan dalam suatu tindakan. Tindakan inilah yang masuk ke dalam hasil belajar psikomotoris. Hasil belajar psikomotor ditunjukkan dengan ketrampilan siswa dalam pelaksanaan pembelajaran. Sebagai contoh, adanya minat siswa dalam mengikuti pembelajaran, maka siswa sudah mempersiapkan diri untuk belajar sebelum guru mempersiapkan secara klasiskal. Contohnya merespon adanya bel masuk kelas, siswa dengan kemauan belajar yang tinggi, akan segera memasuki kelas dan memersiapkan keperluannya dalam kegiatan pembelajaran selanjutnya. Untuk mengetahui sejauh mana tujuan instruksional dikuasai oleh siswa, dapat dilakuan kegiatan pengukuran hasil belajar. Kegiatan pengukuran ini disebut dengan penilaian hasil belajar/tes hasil belajar.
58
Dari uraian-uraian tentang hasil belajar, hasil belajar dalam kegiatan belajar siswa merupakan keluaran dari berbagai masukan berupa interaksi siswa dengan sesama dan lingkungannya, berupa perubahan tingkah laku ke arah positif. Perubahan tingkah laku melalui kegiatan pembelajaran salah satunya adalah perubahan tingkah laku dalam ranah pengetahuan/kognitif. Perubahan tingkah laku siswa dalam ranah kognitif merujuk pada bertambahnya pengetahuan siswa atau semakin mendalamnya pengetahuan yang dimiliki siswa, sehingga siswa dapat menggunakan pengetahuannya menuju level kognitif yang semakin meningkat. Dalam kegiatan pembelajaran, ranah kognitif yang paling sering digunakan untuk dilakukan pengukuran/penilaian. Penilaian terhadap hasil belajar siswa
dalam
aspek
pengetahuan
ditujukan
untuk
mengukur
kemampuan siswa dan mengetahui tingkat keberhasilan kegiatan pembelajaran yang dilakukan.
2.1.5.3.Tes Hasil Belajar Tindakan yang dilakukan dalam kegiatan penilaian adalah dilakukannya pemberian tes kepada siswa sebagai alat ukur penilaian. Seperti yang dituliskan oleh Nana Sudjana (2011:3) penilaian hasil belajar didefinisikan sebagai proses pemberian nilai terhadap hasilhasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Sedangkan Isah Cahyani (2012:351) mengungkapkan penilaian sebagai “Proses sistematis meliputi pengumpulan informasi (angka, deskripsi verbal), analisis, interpretasi informasi untuk membuat keputusan”. Pendapat lain dituliskan oleh Ign. Masidjo (2004:38), dalam penilaian hasil, seorang guru menggunakan alat pengukur yang disebut tes, sedangkan dalam penilaian proses, ia menggunakan alat pengukur yang disebut alat pengukur nontes, seperti observasi, wawancara, kuesioner, skala nilai, daftar cetak, catatan anekdota, dan sebagainya. Novisita Ratu (2013:32) menyatakan
59
“Untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar siswa atau kemampuan siswa dalam suatu pokok bahasan guru biasanya mengadakan tes hasil belajar. Hasil belajar dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu tes hasil belajar yang diadakan setelah selesai program pengajaran”. Hasil belajar yang diperoleh siswa diukur untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau besarnya kemampuan siswa dalam memperoleh perubahan tingkah laku. Pengukuran hasil belajar ini dilakukan dengan pemberian skor/angka, atau dapat juga berupa katakata yang menunjukkan sejauh mana siswa berhasil mengikuti kegiatan belajar. Pengukuran ini disebut dengan penilaian dengan medianya yang disebut dengan tes. Ign.
Masidjo
(2004:38-39)
menuliskan
tes
banyak
dipergunakan dalam bidang pengukuran prestasi belajar di sekolah, khususnya dipakai untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan instruksional. Tes dapat diartikan sebagai suatu alat pengukur yang berupa serangkaian pertanyaan yang harus dijawab secara sengaja dalam suatu situasi yang distandardisasikan, dan yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan dan hasil belajar individu atau kelompok. Yang dimaksud dengan
suatu situasi yang
distandardisasikan adalah suatu situasi yang telah diatur secara sistematis dan objektif oleh guru sehingga berlaku secara seragam bagi semua siswa. Tes yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar yang dimiliki siswa adalah dengan menggunakan tes hasil belajar. Tes hasil belajar atau achievement test ialah tes yang dipergunakan untuk menilai hasil-hasil pelajaran yang telah diberikan oleh guru kepada murid-muridnya, atau oleh dosen kepada mahasiswanya, dalam jangka waktu tertentu (Ngalim Purwanto, 2010:33). Ign. Masidjo (2004:40) menuliskan tes hasil belajar adalah suatu tes yang mengukur prestasi seseorang dalam suatu bidang
60
sebagai hasil proses belajar yang khas, yang dilakukan secara sengaja dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, sikap dan nilai. Kelebihan tes hasil belajar adalah hasil skor dan nilai yang sungguh-sungguh relevan dan akurat dapat menjadi sarana untuk meningkatkan motivasi belajar siswa sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan kelemahan tes hasil belajar adalah tidak mencapai kecermatan dan akurasi yang sangat tinggi. Yang didapatkan dari tes hasil belajar adalah informasi mengenai jenjang urutan siswa menurut tingkat kemampuannya/kinerjanya/performasinya pada suatu tugas. Selain itu, tes hasil belajar yang dipakai guru biasanya belum dicobakan lebih dahulu pada sekelompok besar siswa, sehingga pada umumnya taraf reliabilitas, taraf validitas, taraf kesukaran dan taraf pembeda item-itemnya belum meyakinkan (Ign. Masidjo, 2004:40). Tes hasil belajar yang sering dilakukan guru adalah tes lisan dan tes tertulis. Tes tertulis dapat dibagi atas tes essay dan tes obektif. Tes essay adalah tes yang berbentuk pertanyaan tulisan yang jawabannya merupakan karangan atau kalimat yang panjang. Panjang pendeknya suatu jawaban relatif tergantung pada kecakapan siswa dalam menjawab soal. Sedangkan yang dimaksud dengan tes objektif ialah tes yang dibuat sedemikian rupa sehingga hasil tes itu dapat dinilai secara objektif, dinilai oleh siapapun akan menghasilkan jawaban yang sama (Ngalim Purwanto, 2010:35). Tes untuk mengukur suatu hasil belajar siswa yang sering digunakan adalah tes objektif dan tes essay. Tes pengukuran hasil belajar ini, menunjukkan angka yang memberi gambaran sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Pada kenyataannya memang jarang guru yang dengan sengaja mengujikan reliabilitas, validitas dan tingkat kesukaran soal pada soal yang akan diberikan siswa. Namun angka yang dihasilkan dirasa cukup untuk menjadi tolok ukur tingkat keberhasilan siswa.
61
Pada dasarnya tes hasil belajar dengan memberikan soal tes dilakukan guru untuk mengetahui atau memberi gambaran tentang bagaimana perubahan tingkah laku yang dimiliki siswa setelah melaksanakan proses pembelajaran. Disisi lain, kegiatan tes hasil belajar juga digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu kegiatan pembelajaran yang telah dirancang oleh guru. Pelaksanaan tes hasil belajar dapat dilakukan dengan memberikan soal tes kepada siswa berupa tes objektif dan soal tes essay. Tes objektif berupa soal dengan pilihan jawaban yang telah disajikan, sedangkan tes essay lebih menuntut siswa untuk merangkai kalimat sebagai jawaban dari soal yang disajikan.
2.2. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Talk Write (TTW) Terhadap Hasil Belajara Siswa Berdasarkan uraian-uraian pada sub bab 2.1. dapat diperkirakan bagaimana keterkaitan model pembelajaran kooperatif tipe think talk write terhadap hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pembentukan kelompok diskusi dalam kegiatan pembelajaran, memberikan pengaruh pada siswa untuk berinteraksi dengan temannya, ini menunjukkan adanya perluasan proses belajar sebagai pengalaman siswa yang tidak hanya berinteraksi dengan guru dan lingkungannya tetapi juga dengan teman sekelasnya. Interaksi yang terbentuk antarteman memberikan peluang pada siswa untuk menumbuhkan rasa empati dan sikap sosial terhadap sesama. Kegiatan pembelajaran dengan model think talk write jika dilaksanakan dengan baik akan mencakup seluruh aspek yang menjadi muatan dalam pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia. Adapun 4 aspek yang menjadi cakupan mata pelajaran Bahasa Indonesia antara lain: mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Keempat aspek yang ini akan dilaksanakan siswa secara bergantian dalam pembelajaran model think talk write.
62
Pembelajaran dengan model think talk write dilaksanakan dengan tahap think, yang mengkondisikan siswa untuk membaca atau menyimak suatu bacaan, kemudian siswa diminta menemukan ide-ide yang muncul dari bacaan yang dibacanya. Tahap ini secara nyata melatih siswa dalam kemampuannya dalam aspek membaca, serta meningkatkan daya pikir siswa secara
kritis
untuk
menemukan
ide/informasi
dari
suatu
materi
bacaan/permasalahan. Informasi yang ditemukan siswa secara pribadi akan dibawa siswa sebagai bekal dalam diskusi kelompok. Tahap talk, mengkondisikan siswa membicarakan idenya kepada teman serta mendengarkan ide teman lain dalam kelompok. Ide-ide yang ada kemudian didiskusikan untuk ditemukan solusi dari permasalahan yang menjadi latar belakang pembicaraan materi oleh siswa. Kegiatan diskusi, melatih siswa untuk berbicara dengan bahasanya sendiri. Kegiatan ini nyata meningkatkan ketrampilan siswa dalam aspek berbicara. Agar dapat terlaksananya kegiatan diskusi perlu adanya kegiatan mendengarkan ide dan pendapat teman diskusi. Ini menunjukkan kegiatan diskusi sekaligus melatih siswa dalam aspek mendengarkan. Jadi ada dua aspek sekaligus yang terlatih dalam kegiatan talk. Tahap write dilakukan siswa, saat menuliskan apa yang ia dapat kedalam catatan kecil atau menuliskan hasil diskusi yang dirasa menjadi solusi dari permasalahan yang disajikan. Menuliskan kembali hasil diskusi/materi yang diperoleh dilakukan siswa secara individu. Siswa menuliskan hasil diskusi dengan bahasanya sendiri sesuai dengan penguasaan materi yang dimilikinya. Aspek menulis siswa dapat dikembangkan dalam kegiatan ini. Kegiatan siswa membaca, menemukan informasi/ide, mendiskusikan ide-ide yang ada, dan menuliskan hasil diskusi menunjukkan adanya proses berpikir siswa secara berulang-ulang tentang materi yang ada. Pembicaraan penyamaan pendapat untuk menemukan solusi menjadikan siswa belajar berpikir secara kritis untuk menemukan jalan keluar. Materi yang dibicarakan secara berulang akan dapat lebih melekat dalam daya ingat
63
siswa. Sehingga pembelajaran dengan model ini, akan meningkatkan daya ingat siswa terhadap materi pelajaran. Pembelajan model think talk write mengajak siswa untuk aktif dalam kegiatan
pembelajaran.
Adanya
kelompok-kelompok
belajar
akan
membangun kompetisi positif antarsiswa, sehingga kegiatan belajar akan menantang dan menyenangkan. Kegiatan pembelajaran yang melatih 4 aspek bahasa sekaligus, memberikan pengulangan materi pada daya ingat siswa, serta kegiatan belajar yang menantang dan menyenangkan tentu akan memberi dampak positif pada penerimaan, penyerapan, dan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Siswa akan lebih ingat dengan materi yang dipelajari dengan adanya keaktifan dan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Materi dalam daya ingat siswa ini tentu memberikan perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik. Oleh karena itu, dapat dipastikankan, hasil belajar siswa akan meningkat dengan kegiatan pembelajaran yang mengoptimalkan model pembelajaran think talk write.
2.3. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Berdasarkan hasil dari kajian pustaka yang dilakukan penulis, penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang menggunakan think talk write sebagai variabel tindakannya. Berikut ini adalah contoh penelitian dengan model kooperatif tipe think talk write yang telah memberi bukti bahwa think talk write dapat meningkatkan variabel tergantung, yakni hasil belajar siswa. Zulkarnaini
(2011:150)
melakukan
penelitian
dengan
judul
penelitian “Model Kooperatif Tipe Think Talk Write (TTW) untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi dan Berpikir Kritis”. Zulkarnaini dalam penelitiannya membuktikan penerapan model kooperatif tipe think talk write memberi dampak positif terhadap ketrampilan menulis karangan deskripsi dan berpikir kritis siswa. Keterlibatan siswa secara aktif dan kreatif semakin lama semakin berdampak baik dalam pembelajaran, sehingga memungkinkan peningkatan
64
ketrampilan menulis karangan deskriptif dan berpikir kritis untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal. Dengan penggunaan model pembelajaran think talk write pula, Sri Qomariyah (2010:9) di Jepara melakukan penelitian kepada siswa kelas IVa SDN 1 Platar. Sri Qomariah melakukan penelitian dengan judul penelitian “Peningkatan Kemampuan Menulis Pantun Melalui Metode TTW (Think, Talk, Write) Siswa Kelas IVA SDN 1 Platar, Tahunan, Jepara”. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah penerapan metode think talk write dalam pembelajaran menulis pantun di kelas IV SDN 1 Platar dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini terlihat dari adanya nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar klasikal dalam setiap siklusnya. Alexander
Ngilamele
(2011:1)
seorang
mahasiswa
jurusan
Kependidikan Sekolah Dasar dan Prasekolah di Universitas Malang melakukan
penelitian
dengan
judul
penelitian
“Penerapan
Model
Pembelajaran Think Talk Write (TTW) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV Pada Mata Pelajaran PKN di SD Sukuharjo 1 Kota Malang” pada tahun 2011. Penelitian dilakukan atas dasar adanya minat belajar yang rendah, siswa pasif dan bosan dalam mata pelajaran PKn, serta kurangnya hasil belajar siswa di SDN Sukoharjo 1 kelas IV. Hasil penelitian dengan penerapan model think talk write menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran think talk write (TTW) dapat diterapkan dengan baik pada mata pelajaran PKn dengan materi pokok “Globalisasi” di kelas IV Sukoharjo 1 kota Malang dengan kategori baik, dengan melihat peningkatan hasil belajar yang diperoleh siswa dari pratindakan, siklus I ke siklus II, yaitu rata-rata kelas sebesar 40,00% meningkat sebanyak 3,83% dan meningkat lagi menjadi 98,07%. Penelitian dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe think talk write, menjadikan siswa dapat mengembangkan kemampuan menulis. Keaktifan siswa dalam pelaksanaan pembelajaran memberi dampak baik yang menyebabkan belajar siswa menjadi optimal. Penelitian
65
lain menunjukkan dengan adanya penggunaan model think talk write hasil belajar siswa menjadi meningkat rata-ratanya secara klasikal. Ketiga penelitian yang telah dilakukan dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe think talk write memberikan bukti bahwa dengan penerapan model think talk write dapat meningkatkan hasil belajar. Untuk memeroleh hasil belajar yang meningkat dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, penggunaan model pembelajaran think talk write dirasa tepat dan dapat digunakan. Pembelajaran Bahasa Indonesia yang dikemas dengan memberi kesempatan siswa menemukan secara sendirinya informasi materi melalui kegiatan membaca akan menjadikan siswa berusaha berpikir untuk menemukan informasi dan menyimpannya dalam ingatan siswa. Informasi yang didapat ini tidak serta merta menjadi informasi mentah yang diperoleh siswa, namun dalam pembelajaran, siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan pemikirannya dengan temannya dalam kelompok diskusi. Hasil diskusi yang diperoleh siswa, kemudian diungkapkan didepan kelas. Hasil diskusi dan temuan solusi informasi yang semakin untuh dimiliki siswa dituliskan kembali oleh siswa untuk meningkatkan daya ingatnya terhadap materi yang disampaikan. Dengan kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia yang penuh dengan kegiatan komunikasi seperti pembelajaran think talk write ini, memberi peluang siswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi.
2.4. Kerangka Berpikir Dalam kegiatan mengajar di SD Kesongo 01, guru hanya mengunakan metode konvensional atau ceramah untuk menyampaikan informasi pengetahuan kepada siswa. Pembelajaran yang dilakukan hanya berpusat pada guru. Siswa kurang terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Interaksi yang terjadi dalam pembelajaran hanyalah interaksi satu arah antara guru dan siswa. Ini mengakibatkan masih ada siswa yang tidak tuntas KKM dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.
66
Sebagai inovasi kegiatan pembelajaran, model pembelajaran think talk write dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu diterapkan agar dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran, merubah kegiatan pembelajaran yang semula satu arah, menjadi multi arah. Think talk write melatih 4 aspek komponen dalam mata pelajaran Bahasa Indoensia secara sekaligus. Think talk write juga memberi kesempatan siswa untuk berinteraksi dengan teman dan guru untuk mengkomunikasikan ide pemikirannya guna menemukan solusi permasalahan. Kegiatan pembelajaran yang monoton dan satu arah dirubah menjadi pembelajaran yang menyenangkan dan multi arah. Pembelajaran yang menjadikan siswa aktif dan kreatif dalam berpikir akan memberi dampak pada meningkatnya hasil belajar siswa. Kerangka berpikir sebagai pedoman pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini, dapat digambarkan dalam bagan agar penelitian dapat lebih terarah dan memiliki gambaran jelas tentang kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Adapun skema kerangka berpikir penelitian tindakan kelas, yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut:
67
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kelas IVa, guru hanya menggunakan metode ceramah
Siswa tidak aktif, hasil belajar siswa rendah, banyak peserta didik yang tidak mencapai nilai KKM yang ditentukan.
Perencanaan tindakan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe think talk write
Pelaksanaan Tindakan pembelajaran TTW: siswa belajar dengan mencari informasi (think), berdiskusi dan presentasi (talk), serta menuliskan kembali materi/hasil diskusi (write)
Pembelajaran menyenangkan, hasil belajar siswa meningkat. Siswa mencapai nilai KKM
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran, siswa belajar berpikir kritis dan mendiskusikan permasalahan serta presentasi, membuat rangkuman
Pada kondisi awal, guru kelas dalam melaksanakan pembelajaran Bahasa Indonesia hanya menggunakan ceramah. Kegiatan pembelajaran berpusat pada guru, menyebabkan siswa tidak terlibat aktif, kegiatan pembelajaran cenderung membosankan. Kondisi siswa yang hanya dicokoli informasi menjadikan pembelajaran menjadi kurang menyenangkan. Hasilnya, nilai siswa masih ada yang tidak mencapai KKM, hasil belajar menjadi rendah.
68
Untuk menyikapi kondisi seperti ini, direncanaakan suatu kegiatan pembelajaran yang lebih inovatif. Pembelajaran yang merubah kondisi siswa menjadi lebih menyenangkan dan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Perencanaan pelaksanaan pembelajaran akan dilakukan dengan menerapkan model pembelajaraan kooperatif tipe think talk write. Pelaksanaan pembelajaran think talk write mengkondisikan siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran. Siswa mencari informasi sendiri dengan membaca atau menyimak suatu bacaan/permasalahan. Informasi yang didapat siswa dibawa siswa kedalam kelompok untuk didiskusikan bersama teman mencari penyelesaian masalahnya. Materi/hasil diskusi kelompok dipresentasikan siswa, dan kemudian ditulis kembali oleh masing-masing siswa setelah diadakan konfirmasi oleh guru. Pembelajaran yang aktif mendukung rasa senang siswa dalam belajar. Siswa dapat lebih memahami materi pembelajaran, karena siswa dengan sendiri mencari informasi dan mengelola informasi dalam pikirannya. Keaktifan siswa dalam belajar dan pemahaman materi dengan caranya sendiri akan berdampak baik pada hasil belajar sisiwa. Hasil belajar siswa akan meningkat dan mencapai nilai KKM.
2.5. Hipotesis Tindakan Penelitian tindakan kelas ini berpedoman pada landasan teori dan kerangka berpikir penelitian. Berdasarkan landasan teori serta kerangka berpikir, dirumuskan suatu hipotesis penelitian tindakan kelas. Rumusan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut: 1.
Pembelajaran
Bahasa
Indonesia
dengan
menggunakan
model
pembelajaran think talk write diduga dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IVa SD Negeri Kesongo 01, semester 2 tahun pelajaran 2013/2014. 2.
Model pembelajaran think talk write dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IVa SD Negeri Kesongo 01, semester 2 tahun pelajaran 2013/2014 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan cara
69
mendiskusikan ide siswa dan menuliskan hasil presentasi diskusi, yang dikemas dalam pembelajaran dengan kegaitan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi (EEK).