BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakikat Pemahaman Konsep Bilangan Romawi Matematika a. Hakikat Pemahaman Konsep Bilangan Romawi 1) Pengertian Pemahaman Siswa harus mempunyai kemampuan untuk memahami materi yang sudah dipelajari. Hal itu bertujuan agar siswa dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan materi yang sudah dipelajari. Berkaitan dengan pemahaman Winkel (2004: 274) menyatakan bahwa, siswa dapat dikatakan memahami apabila dapat menangkap makna dan arti dari materi yang sudah dipelajari. Poerwati (2009: 1-23) memperkuat pendapat Winkel yang mengemukakan pemahaman sebagai kemampuan yang menuntut siswa memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan, dan dapat memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkanya dengan hal-hal lain. Siswa dikatakan paham apabila siswa dapat mengerti sesuatu yang sudah dipelajari. Hal itu berkaitan dengan simpulan dari Fathurrohman dan Wuryandani (2012: 101) mendefinisikan bahwa, “Pemahaman merupakan kemampuan peserta didik untuk mengerti atau memahami sesuatu yang sudah diketahui atau diingat”. Dalam taksonomi Bloom
(Slavin,
2009:
281)
menjelaskan
tujuan
pemahaman
mengharuskan siswa untuk memperlihatkan kemampuan mengerti tentang
informasi
dan
kemampuan
menggunakannya.
Mengenai
kemampuan memahami Daryanto (2005: 106) mengemukakan bahwa: Kemampuan memahami umumnya mendapatkan penekanan dalam proses belajar-mengajar. Pada saat pembelajaran siswa dituntut untuk memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan, dan dapat memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkannya dengan hal-hal lain. . 8
9 Arikunto operasional
(1995:
yang
(comprehension).
136)
dapat Kata-kata
menjelaskan
digunakan operasional
mengenai
pada
ranah
yang
dapat
kata-kata pemahaman digunakan
diantaranya: mempertahankan, membedakan, menduga, menerangkan, memperluas, menyimpulkan, memberikan contoh, menuliskan kembali, dan memperkirakan. Berdasarkan penjelasan dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman adalah kemampuan siswa untuk menangkap, mengerti, memahami, dan menjelaskan sesuatu yang sudah dipelajari. Siswa dikatakan memahami sesuatu apabila siswa dapat memecahkan masalah dan mengkomunikasikan kembali apa yang sudah dipelajari dengan menggunakan kata-katannya sendiri. 2) Pengertian Konsep Tujuan terpenting dalam pengajaran adalah membantu siswa memahami konsep-konsep utama dalam subjek dari pada hanya menghafal. Menurut Rumiati (2007: 1-28), “Konsep adalah suatu pernyataan
yang
masih
bersifat
abstrak/pemikiran
untuk
mengelompokkan ide-ide atau peristiwa yang masih dalam angan-angan seseorang”. Sagala (2009: 71) mendefinisikan konsep sebagai buah pemikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga melahirkan produk pengetahuan melalui prinsip, hukum, atau teori. Sedangkan Rosser (Sagala, 2006: 73) menyatakan bahwa konsep merupakan suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Pembelajaran yang baik seyogyanya dapat membantu siswa untuk mengingat materi pelajaran yang disampaiakan oleh guru. Untuk itu siswa perlu belajar dengan benar mengenai suatu konsep. Hal itu sejalan dengan pendapat Racine (Santrock, 2014: 3) menyatakan bahwa “Konsep dapat membantu proses mengingat, sehingga lebih efisien”. Dengan
10 demikian, konsep membantu siswa untuk menyederhanakan dan meringkas informasi, meningkatkan efisiensi memori, membantu siswa berkomunikasi serta penggunaan waktu. Berdasarkan pendapat para ahli di atas,
maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa konsep adalah suatu hasil dari sebuah pemikiran yang berupa ide untuk meramalkan sesuatu
yang diperoleh dari fakta,
peristiwa, dan pengalaman yang berfungsi untuk memudahkan siswa dalam mengingat. 3) Pengertian Pemahaman Konsep Siswa dituntut untuk memahami konsep pelajaran yang sudah dipelajari. Hal itu bertujuan agar siswa dapat memecahkan masalah dan hasil pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal. Berkaitan dengan pemahaman konsep, Karso (2011: 1.53) menjelaskan bahwa, proses pembelajaran memberi penekanan supaya para siswa menguasai ciri-ciri, sifat-sifat, dan penerapan dari konsep yang telah dipelajarinya pada tahap penanaman konsep. Oleh karena itu, dalam menyusun rencana kegiatan belajar mengajar pemahaman konsep ini harus mengungkapkan penggunaan atau penguasaan konsep-konsep yang telah dipelajari. Sedangkan Heruman (2007: 3 ) berpendapat bahwa pemahaman konsep yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Selain itu, pemahaman konsep dapat dibedakan
menjadi dua pengertian.
Pertama merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan. Kedua, pembelajaran penanaman konsep dilakukan pada pertemuan yang berbeda, tetapi masih lanjutan dari penanaman konsep. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemahaman konsep adalah kemampuan siswa untuk memahami materi yang sudah diajarkan oleh guru dan kemampuan memecahkan masalah yang berhubungan dengan materi yang sudah dipelajari guna untuk mengembangkan pola pikir.
11 4) Materi Pelajaran Matematika Bilangan Romawi Materi pelajaran matematika di sekolah dasar terdapat berbagai macam bilangan diantaranya adalah bilangan asli, bilangan cacah, bilangan bulat, bilangan pecahan, dan bilangan Romawi. Bilangan Romawi merupakan salah satu materi yang ada pada mata pelajaran matematika kelas IV semester II dengan Standar Kompetensi (SK) menggunakan lambang bilangan Romawi. Kompetensi Dasar (KD) yang harus dikuasai oleh siswa adalah mengenal lambang bilangan Romawi dan menyatakan bilangan asli sebagai bilangan Romawi dan sebaliknya. Menurut Kamsiyati (2012: 43) bilangan adalah suatu ide abstrak yang memberi keterangan mengenai banyaknya anggota suatu himpunan. Kamsiyati (2012: 44-45) menjelaskan bahwa, untuk dapat membedakan bilangan yang satu dengan yang lainnya maka bilanganbilangan itu diberi nama dan lambang. Lambang-lambang untuk bilangan disebut lambang bilangan atau numeral. Sedangkan menurut Karso, dkk, (2011: 4.26) lambang bilangan adalah simbol atau gambar yang melambangkan suatu bilangan. Lambang bilangan itu disebut juga angka. Jadi dapat disimpulkan bahwa bilangan Romawi adalah suatu bilangan yang menggunakan sistem numerasi atau sistem Romawi dalam penulisan lambang bilangannya. Angka dasar pada sistem Romawi ini ada 7 buah (Kamsiyati, 2012: 63) yaitu: a) Angka dasar utama 1 = I 10 = X 100 = C 1000 = M b) Angka dasar tambahan 5 = V 50 = L 500 = D Angka-angka dasar di atas, menunjukkan bahwa sistem numerasi Romawi menggunakan basis 10 dengan angka I, X, C, M. Angka –angka dasar yang lain yaitu V, L, D sebagai dasar tambahan yang berfungsi
12 untuk menyingkat angka dasar utama yang ditulis berulang (Kamsiyati, 2012: 64) Sistem numerasi Romawi ini tidak menggunakan sistem posisi, tetapi menggunakan sistem aditif. Cara penulisannya mendatar dari kiri ke kanan. Angka yang nilainya lebih besar ditulis paling kiri ke kanan berturut-turut pada angka yang nilaiya lebih kecil. Berikut adalah aturan dalam penulisan bilangan Romawi Menurut Karso (2011: 4.27- 4.30) a) Aturan Penjumlahan Bilangan Romawi Membaca bilangan Romawi dapat diuraikan dalam bentuk penjumlahan seperti pada contoh berikut ini: Contoh VI
= V+I = 5+1 = 6 Jadi, VI ditulis ke dalam bilangan asli menjadi 6.
LX
= L+X = 50 + 10 = 60 Jadi, LX ditulis ke dalam bilangan asli 60.
CX
= C+X = 100 + 10 = 110 Jadi, CX ditulis ke dalam bilangan menjadi 110. Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat di tarik kesimpulan
bahwa makin ke kanan nilainya semakin kecil. Tidak ada lambang bilangan dasar yang berjajar lebih dari tiga. Dari contoh-contoh tersebut dapat kita tuliskan aturan pertama dalam membaca lambang bilangan Romawi sebagai berikut. (1) Jika lambang yang menyatakan angka lebih kecil terletak di kanan maka lambang-lambang Romawi tersebut dijumlahkan. (2) Penambahnya paling banyak tiga angka.
13 b) Aturan Pengurangan Bilangan Romawi Lambang Romawi yang menyatakan angka lebih kecil terletak di sebelah kiri maka untuk membaca bilangan Romawi, dapat diuraikan dalam bentuk pengurangan seperti pada contoh berikut ini. Contoh IV
=
V–I
=
5–1
=
4 Jadi, IV ditulis ke dalam bilangan asli menjadi 4.
IX
=
X -1
=
10- 1
=
9 Jadi, IX ditulis ke dalam bilangan asli menjadi 9.
XL =
L–X
=
50 – 10
=
40 Jadi, XL ditulis ke dalam bilangan asli menjadi 40. Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat di tuliskan aturan
kedua dalam membaca lambang bilangan Romawi sebagai berikut: (1) Jika lambang yang menyatakan angka lebih kecil terletak di kiri maka lambang-lambang Romawi tersebut dikurangi. (2) Pengurangan paling banyak satu angka. (3) Angka I hanya mengurangi angka V dan X, angka X hanya mengurangi angka L dan C, angka C hanya mengurangi angka D dan M (Kamsiyati, 2012 : 64) c) Aturan Gabungan Aturan gabungan merupakan aturan antara penjumlahan dan pengurangan. Untuk membaca bilangan Romawi dapat diuraikan dalam bentuk gabungan seperti pada contoh berikut ini.
14 Contoh = X + (V – I)
XIV
= 10 + (5-1) = 10 + 4 = 14 Jadi, XIV dituliskan ke dalam bilangan asli menjadi 14. MCMXCIX
= M + (M - C) + (C – X) + (X – I) = 1.000 + (1.000-100) + (100-10) +(10 – 1) = 1.000 + 900 + 90 + 9 = 1.999 Jadi,
MCMXCIX
dituliskan
ke
dalam
bilangan asli menjadi 1.999. Contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa aturan gabungan bilangan Romawi, yaitu: (1)Jika suatu bilangan Romawi diawali dengan menggunakan operasi hitung penjumlahan maka bilangan tersebut dihitung terlebih dahulu dan dilanjutkan opersi hitung dibelakangnya. (2)Jika suatu bilangan Romawi diawali dengan operasi hitung pengurangan maka bilangan tersebut dihitung terlebih dahulu dan dilanjutkan operasi hitung di belakangnya. d) Aturan Basis 10 Bilangan Romawi mempunyai dasar atau basis 10 maka dalam penulisannya tidak pernah menggunakan lambang-lambang besar yang bukan perpangkatan dari 10 yang dijajarkan. Contoh: 10 ≠ VV 100 ≠ LL 1000 ≠ DD
15 e) Aturan Bilangan Besar Bilangan-bilangan yang cukup besar, yaitu bilangan puluh ribuan ke atas menggunakan sistem perkalian dengan tanda-tanda tertentu. Sebuah Strip (segmen garis) di atas lambang bilangan tertentu menunjukkan nilai yang sama dengan seribu kali nilai angka di bawahnya. Dua buah strip di atas sebuah lambang bilangan tertentu menunjukkan nilai sejuta kali nilai angka dibawahnya (Kamsiyati, 2012 : 64-65) Contoh ̅̅̅̅
= 23.000
̅̅̅̅̅
= 54.000
̿̿̿̿̿̿
= 96.000.000
̿̿̿̿̿̿̿̿̿
= 945.000.000
f) Ketentuan Lainnya (1) Lambang I, X, C tidak boleh ditulis berurutan lebih dari tiga kali. Contoh III
= 3, tetapi untuk menyatakan 4 tidak boleh ditulis dengan IIII.
CCC = 300, tetapi untuk menyatakan 400 tidak boleh ditulis dengan CCCC. (2) Lambang V, L, dan tidak boleh ditulis berurutan lebih dari satu kali. Contoh: VV = 10 (salah) DD = 1.000 (salah) Hamalik (2008: 166) menyatakan bahwa untuk mengetahui apakah siswa telah mengetahui suatu konsep paling tidak ada empat hal yang dapat diperbuatnya, yaitu a) siswa dapat menyebutkan nama contoh-contoh konsep bila dia melihatnya; b) siswa dapat menyatakan ciri-ciri (properties) konsep tersebut; c) siswa memilih, membedakan
16 antara contoh-contoh dari yang bukan contoh; d) siswa mungkin lebih mampu memecahkan masalah yang berkenaan dengan konsep tersebut. Dari pendapat Hamalik di atas, siswa dapat dikatakan memahami konsep bilangan Romawi apabila; a) siswa dapat menyebutkan lambanglambang pokok bilangan Romawi; b) siswa dapat menyatakan ciri-ciri konsep bilangan Romawi; c) siswa memilih dan membedakan aturan penulisan bilangan Romawi; d) siswa mungkin lebih mampu memecahkan masalah yang berkenaan dengan konsep bilangan Romawi. Berdasarkan penjelasan mengenai konsep hingga pemahaman konsep di atas, dapat disimpulan bahwa pemahaman konsep bilangan Romawi adalah kemampuan siswa untuk memahami informasi mengenai materi bilangan Romawi dan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah atau mencari solusi yang berhubungan dengan materi bilangan Romawi. b. Hakikat pembelajaran Matematika 1) Pengertian Pembelajaran Manusia dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan rumah dan sekolah tidak bisa lepas dengan pembelajaran. Secara sederhana, istilah pembelajaran (instruction) bermakna sebagai “Upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya dan berbagai strategi, metode, dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan”(Majid,2013: 4). Sedangkan Gagne (Pribadi, 2009: 9) mendefinisikan istilah pembelajaran sebagai “a set of events embedded in purposeful activities that facilitate learning”. Pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar. Pembelajaran bertujuan untuk mengubah perilaku siswa menjadi lebih baik dari perilaku sebelumnya. Sejalan dengan Mulyasa (2006: 100) yang menyinggung tentang pengertian pembelajaran, yakni proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku menjadi lebih baik.
17 Pembalajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Berkaitan dengan pengertian pembelajaran, Chatib (Hosnan, 2014: 4) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan proses mentransfer ilmu dari dua arah antara guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Pembelajaran dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh pengetahuan baru. Sejalan dengan pendapat Aisyah (2007: 1-3) menyatakan bahwa, pembelajaran adalah proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu. Pembelajaran merupakan subjek khusus dari pendidikan . Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara siswa dengan guru dan sumber belajar dalam
lingkungan belajar yang
dilakukan dengan sengaja sehingga saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dari pembelajaran diharapkan siswa mendapatkan pengetahuan yang baru dan kemampuan berpikir menjadi meningkat. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal, maka pendidik harus menggunakan model pembelajaran yang efektif
untuk menciptakan
pembelajaran yang bermakna bagi siswa. 2) Pengertian Matematika Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah. Matemat`ika berasal dari mathema yang artinya pengetahuan, mathanein yang artinya berpikir atau belajar (Hamzah dan Muhlisrarini, 2014: 48). James dan James (Karso, 1993: 2) menyatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan lainnya dengan jumlah yang banyak. Menurut Johnson dan Myklebust (Abdurahman, 2010 : 252) matematika adalah bahasa simbolis yang berfungsi praktisnya untuk
18 mengekspresikan
hubungan-hubungan
kuantitatif
dan
keruangan
sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Sejalan dengan pendapat Abdurahman (2010: 252) menyatakan bahwa “Matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif tetapi juga tidak melupakan cara berpikir induktif”. Sedangkan menurut NRC (Shadiq: 2014: 7) menyatakan dengan singkat bahwa “Mathematics is a science of patterns and order.” Artinya matematika adalah ilmu yang membahas pola atau keteraturan (pattern) dan tingkatan (order). Secara lebih terperinci mengenai pengertian matematika, menurut Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 47-48) ada beberapa definisi atau pengertian tentang matematika: a) Matematika adalah cabang pengetahuan eksak dan terorganisasi; b) Matematika adalah ilmu tentang keluasan atau pengukuran dan letak; c) Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan dan hubungan-hubungannya; d) Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis. e) Matematika adalah ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan pada observasi (induktif) tetapi diterima generalisasi yang didasarkan kepada pembuktian secara deduktif. f) Matematika adalah ilmu tentang struktur yang terorganisasi mulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau portulat akhirnya ke dalil atau teorema. g) Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan besaran, dan konsep-konsep hubungan lainnya yang jumlahnya banyak dan terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan yang membahas angka-angka dan hitungannya serta merupakan bahasa simbolis yang ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif yang memungkinkan manusia untuk memikirkan, mencatat, dan
19 mengkomunikasikan ide mengenai kuantitas yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. 3) Pengertian Pembelajaran Matematika Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang sudah direncanakan, sehingga siswa memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari (Muhsetyo, 2007: 126). Sejalan dengan pendapat Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 65) bahwa, pembelajaran matematika harus direncanakan dengan baik dan matang agar perkembangan pengetahuan anak didik meningkat dalam setiap satuan pendidik. Sedangkan menurut Bruner (Aisyah,dkk:1-5) menyatakan bahwa, belajar matematika merupakan pembelajaran tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat pada materi matematika yang dipelajari, serta menghubungkan konsep dan struktur matematika itu. Siswa harus dapat menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian, siswa dalam belajar haruslah terlibat aktif mentalnya agar dapat mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dipelajari. Pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan diajarakan. Heruman (2007: 5) juga berpendapat bahwa, “Pada pembelajaran
matematika
harus
terjadi
pula
belajar
secara
konstruktivisme Piaget”. Dalam konstruktivisme, konstruksi pengetahuan dilakukan sendiri oleh siswa sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan menciptakan iklim yang kondusif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran matematika adalah
proses interaksi
siswa dengan guru dan sumber belajar dalam lingkungan belajar untuk memperoleh kompetensi tentang mata pelajaran matematika.
20 4) Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang ada di sekolah dasar. Menurut Abdurrahman (2012: 203) mengemukakan bahwa,“Bidang studi matematika yang diajarkan di sekolah dasar mencakup tiga cabang, yaitu aritmatika (pengetahuan tentang bilangan), aljabar (penggunaan simbol untuk menggantikan bilangan), dan geometri (cabang matematika yang berkenaan dengan titik dan garis)”. Sedangkan Bruner (Aisyah, dkk: 1-5) menjelaskan bahwa ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam pembelajaran, yaitu proses perolehan informasi baru, proes mentransformasikan informasi yang diterima, dan menguji
relevansi
atau
ketepatan
pengetahuan.
Dalam
proses
pembelajaran matematika perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca dan mendengarkan penjelasan guru mengenai materi matematika. Sedangkan mentransformasi pengetahuan
adalah proses
memperlakukan pengetahuan yang diterima agar sesuai dengan kebutuhan.
Informasi
dalam
pembelajaran
matematika
diterima
kemudian diubah menjadi konsep agar dapat dimanfaatkan. Tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar dapat tercapai, jika adanya tahapan dalam pembelajaran matematika. Mulai dari yang paling mudah sampai yang paling sulit. Hal itu dapat dikaitkan dengan simpulan dari Setyono (2010: 8) yang menyatakan bahwa, proses pembelajaran matematika yang baik mempunyai tahapan demi tahapan yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Pada tahap awal pembelajaran harus dimulai dari yang nyata dan perlahan-lahan menuju pemahaman yang abstrak atau yang simbolis. Pembelajaran matematika di sekolah dasar
sebaiknya dibuat
semenarik mungkin sehingga membuat peserta didik merasa senang. Hal itu dapat dilakukan dengan cara memberikan kesan awal matematika itu mudah dan menyenangkan. Berkaitan dengan pembelajaran matematika di sekolah dasar Setyono (2010: 9) mengemukakan bahwa “Kesan pertama pembelajaran matematika yang menyenangkan itu sangat
21 penting, agar siswa mempercayai bahwa, matematika itu mudah”. Agar pembelajaran konsep matematikan dapat tercapai dengan baik, Karso dkk (2011: 1.53) menyatakan bahwa, “Siswa perlu mendapat pengalaman dengan konsep yang bervariasi agar dapat menerapkan konsep dalam pembelajaran. Hal ini diperlukan untuk dapat menggunakan konsepkonsep tersebut dalam menyelesaikan persoalan yang terkait”. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar haruslah dibuat menarik dan menyenangkan untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran matematika harus dilakukan tahap demi tahap dimulai dengan pengenalan konsep kemudian pemahaman konsep yang sederhana sampai ke jenjang yang lebih kompleks. 2. Hakikat Model Pembelajaran Pair Checks a. Pengertian Model Secara umum istilah “model” diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan (Majid, 2013: 13). Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 153) juga menyinggung tentang model, yakni kerangka konseptual yang akan digunakan sebagai pedoman dan acuan untuk suatu kegiatan. Sedangkan model menurut Anitah (2009: 45) merupakan suatu kerangka berpikir yang digunakan sebagai panduan untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka mencapai tujuan tertentu itu. Sedangkan Mills (Hamzah dan Muhlisrarini, 2014: 153) berpendapat bahwa, “Bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau kelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model”. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model adalah kerangka berpikir yang akan digunakan sebagai pedoman dan untuk melakukan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.
22 b. Pengertian Model Pembelajaran Guru memilih model pembelajaran yang akan digunakan sebelum mengajar. Hal itu bertujuan agar pembelajaran menjadi lebih terarah. Menurut pendapat Joyce (Trianto, 2010: 51) model pembelajaran adalah “Suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain”. Sejalan dengan Winataputra (Sugiyanto, 2009: 3) menjelaskan bahwa, model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran. Model pembelajaran merupakan pedoman guru dalam melaksakan kegiatan pembelajaran di kelas yang berisi tentang kegiatan siswa dan guru. Berkaitan dengan model pembelajaran Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 153) berpendapat bahwa, “Rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi peserta didik, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya. Pembelajaran harus direncanakan dengan baik agar terlaksana dengan baik pula”. Pembelajaran yang baik harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sistematis agar pembelajaran lebih terarah. Hal itu sesuai dengan pendapat Arends (Al-Tabany, 2013: 24) menyatakan, “The Term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, syntax, environment, and management system.” Isilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya. Menurut Zarkasyi (2015: 37) model pembelajaran merupakan interaksi antara siswa dan guru di dala kelas yang terdiri dari strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam
23 pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas. Huda (mengutip simpulan Joyce dan Weill, 2009) mendeskripsikan model pengajaran, Models of Teaching are really models of learning. As we help students acquire information, ideas, skills, values, ways of thinking and means of ekspressing themselves, we are also teaching them how to learn. In fact the most important long termoutcome of intruction may be the students increased capabilities to learn more easily and effectivelu in the future, boyh because of the knowledge and skills they have acquired and because the have mastered learning processes (2014 :73). Model pengajaran sebenarnya merupakan model pembelajaran seperti kita membantu siswa untuk memperoleh informasi, gagasan, keterampilan, nilai, cara berpikir dan maksud dari ucapan mereka, kita juga sedang mengajari mereka bagaimana cara mempelajari sesuatu. Sebenarnya yang paling penting dari hasil berkelanjutan dari pengajaran mungkin kemampuan siswa meningkat dalam belajar lebih dengan mudah dan efektif di masa yang akan datang karena pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka dapat dan mereka telah meguasai proses pembelajaran. Dari pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan pembelajaran yang di dalamnya berisi tentang tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas yang disusun secara sistematis yang digunakan sebagai pedoman bagi para pengajar untuk melaksanakan aktivitas pembelajaran. Sebelum
melaksanakan
pembelajaran
di
kelas
guru
harus
menentukan model pembelajaran yang akan digunakan. Pentingnya menerapkan model pembelajaran sebelum kegiatan belajar di kelas bertujuan agar pembelajaran menjadi lebih terarah dan tujuan pembelajaran dapat tercapai. c. Model Pembelajaran Kooperatif 1) Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Salah satu model pembelajaran yang berkembang dan populer akhir-akhir ini adalah model pembelajaran cooperative learning. Menurut pendapat Ratna (Majid, 2013: 173) menjelaskan bahwa
24 “Pembelajaran
kooperatif
dikembangkan
dari
teori
belajar
kontruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky. Berdasarkan penelitian Piaget pertama, dikemukakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak”. Pembelajaran kooperatif merupakan kegiatan belajar siswa yang diakukan dengan cara berkelompok. Berkaitan dengan pembelajaran kooperatif Sugiyanto (2009: 37) menjelaskan bahwa, pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang di dalamnya terdapat kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Kooperatif merupakan rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Ibrahim (Rusman,2014:
208)
memperkuat
pendapat
Sugiyanto
dengan
mengungkapkan pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan siswa
dengan berkelompok untuk saling bekerjasama dan
saling ketergantungan dalam struktur tugas, tujuan, dan hadiah. Sedangkan menurut Suyatno (2009: 51) pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran yang di dalamnya siswa bekerja sesuai dengan aturan dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-5 orang. Pendapat tersebuat sesuai dengan Majid (2013: 174) menjelaskan bahwa,
yang
pembelajaran kooperatif merupakan bentuk
pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Satu pemikiran pula dengan Slavin (2005: 8 ) menjelaskan bahwa, “Dalam metode pembelajran kooperatif, para siswa duduk bersama dalam kelompok
yang
beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru”. Sedangkan
menurut Hosnan (2014: 234) model
pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Setiap siswa yang ada di dalam kelompok mempunyai tingkatan yang berbeda-beda.
25 Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok yang saling berinteraksi dan saling ketergantungan satu sama lain yang umumnya terdiri dari 4-6 orang. Pembelajaran kooperatif membantu siswa untuk saling berinteraksi dengan satu sama lain dalam memecahkan suatu masalah. 2) Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif Menurut Majid (2013: 175) pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa tujuan, diantaranya : a) Meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Model kooperatif ini memiliki keunggulan dalam membantu siswa untuk memahami konsep-konsep yang sulit; b) Agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai perbedaan latar belakang; c) Mengembangkan keterampilan sosial; berbagai tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, dan bekerja kelompok. Pembelajaran kooperatif menuntut siswa untuk saling membantu satu sama lain apabila belum paham terhadap materi yang diajarkan. Menurut Webb dalam Journal of Scholarship of Teaching and Learning by Tsay and Brady (2010) tentang A case study of cooperative learning and communication pedagogy: students exhibited signs of higher understanding when they were responsible for teaching concepts to their classmates and when their classmates taught concepts to them. Moreover, group members were more inclined to help other members lear concepts when the entire group’s grade depended on each students’s understanding of the subject. Menurut webb (Tsay and Brady: 2010) siswa-siswa memperlihatkan tanda-tanda mempunyai pemahaman yang tinggi ketika mereka bertanggung jawab untuk mengajarkan konsep-konsep kepada teman mereka. Ditambah lagi, anggota kelompok juga membantu anggota lain
untuk mempelajari konsep-konsep dan nilai kelompok
tergantung dari setiap siswa dalam memahami mata pelajaran. Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif bertujuan untuk menciptakan situasi dimana
26 keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompok. Dalam suatu kelompok apabila ada anggotanya belum bisa memahami konsep maka anggota kelompok yang lain membantunya. 3) Unsur –unsur Model Pembelajaran Kooperatif Roger dan Johnson (Suprijono, 2009: 58-61) mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah : a) Positive Interdependence (saling ketergantungan positif). Unsur pertama pembelajaran kooperatif adalah
saling
ketergantungan positif. Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggung jawaban kelompok. Pertama, Kedua,
memepelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. menjamin
semua
anggta
kelompok
secara
individu
mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut. b) Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan) Unsur kedua pembelajaran kooperatif adalah tanggung jawab individual.
Pertanggungjawaban
ini
muncul
jika
dilakukan
pengukuran terhadap keberhasilan kelompok. Tujuan pembelajaran kelompok menjadi paribadi yang kuat. Tanggung jawab perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama. Artinya, setelah mengikuti kelompok belajar bersama, anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas yang sama. c) Face to face promotive interaction (interaksi promotif) Unsur ketiga pembelajaran kooperatif adalah interaksi promotif. Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Ciri-ciri interaksi promotif adalah (1) saling membantu secara efektif dan efesien; (2) saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan; (3) memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efesien; (4) saling mengingatkan; (5) saling
27 membantu dalam merumuskan dan mengembangkan argumentasi serta saling meningkatkan kemampuan wawasan terhadap masalah yang dihadapi; (6) saling percaya; (7)) saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama. Unsur model pembelajaran kooperatif ini menggambarkan interaksi antar siswa dalam satu kelompok, yang berpengaruh positif terhadap siswa untuk menjadi yang terbaik dan bersaing dengan kelompok yang lain. d) Interpersonal skill ( Komunikasi antar anggota) Unsur keempat pembelajaran kooperatif adalah keterampilan sosial. Untuk mengoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan peserta didik harus : (1) saling mengenal dan mempercayai; (2) mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius; (3) saling menerima dan saling mendukung; (4) mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. e) Group processing (pemrosesan kelompok) Unsur kelima pembelajaran kooperatif adalah pemrosesan kelompok. Pemrosesan mengndung arti menilai. Melalui pemprosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota kelompok. Siapa diantara anggota kelompok yang sangat membantu dan siapa yang tidak membantu. Tujuan pemrosesan kelompok adalah meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok. Lain halnya dengan Rusman (2014: 208) bahwa unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: a) Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama. b) Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri. c) Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
28 d) Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya. e) Siswa akan dikenakkan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok. f) Siswa berbagai kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belaja rbersama selama proses belajarnya. g) Siswa diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Dari pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif memiliki unsur-unsur yang positif terhadap peserta didik baik secara individu maupun kelompok. Setiap individu memiliki tanggung jawab kepada diri sendiri maupun kepada siswa yang lain dalam menyelesaikan tugas. Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan siswa aktif dalam mengikuti pembelajaran sehingga pembelajaran akan menjadi lebih bermakna bagi siswa. 4) Ciri –Ciri Model pembelajaran Kooperatif Menurut Rusman (2014: 208-209), model pembelajran kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Siswa bekerja kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi pembelajaran. b) Kelompok dibentuk dan siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. c) Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku dan jenis kelamin berbeda-beda. d) Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu. Dari uraian ciri-ciri pembelajaran kooperatif di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tersebut memerlukan kerjasama antar siswa dan saling ketergantungan dalam struktur pencapaian tugas, tujuan, dan pehargaan. Keberhasilan pembelajaran ini tergantung dari keberhasilan masing-masing individu dalam kelompok di mana keberhasilan tersebut sangat berarti untuk mencapai suatu tujuan yang positif dalam belajar kelompok.
29 5) Tipe-Tipe Model Pembelajaran Kooperatif Dalam pembelajaran Kooperatif ada beberapa variasi model pembelajaran yang diterapkan. Model-model pembelajaran kooperatif tersebut antara lain: a) Student Teans Achievement Division (STAD); b) Jigsaw; c) Investigasi Kelompok (Group Investigation); d) Make a Match (membuat pasangan); e)Teams Game Turnaments (TGT), f) Model Struktural; g) Course Review Horay; h) Pair Checks; i) Role Playing dan lain-lain. Bertolak dari contoh tipe-tipe model pembelajaran kooperatif yang sudah disebutkan di atas, dalam penelitian ini peneliti menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe pair checks. d. Model Pembelajaran Pair Check 1) Pengertian Model Pembelajaran Pair Checks Pair checks adalah salah satu tipe model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran pair checks merupakan model pembelajaran yang dilakukan secara berpasangan diperkenalkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1993 (Aqib, 2013: 34). Berkaitan dengan model pair checks Huda (2013: 211) menyatakan bahwa, “Model pembelajaran pair checks adalah model pembelajaran berkelompok antar dua orang atau berpasangan yang menerapkan pembelajaran kooperatif yang menuntut kemandirian dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan persoalan”. Siswa dalam menyelesaikan persoalan bekerja secara berpasangan agar mempermudah siswa dalam memecahkan masalah. Berkaitan dengan pengertian pair checks Herdian (Shoimin, 2014: 119) menyatakan bahwa, model pembelajaran di mana siswa saling berpasangan untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, dalam pembelajaran model pair checks guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator aktivitas siswa. Pembelajaran dengan menggunakan model pair checks menuntut siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran di kelas. Sejalan dengan pendapat Lestari dan Linuwih (2012) menyatakan bahwa, “Penerapan model kooperatif pair checks dapat membantu siswa
30 yang kurang aktif”. Model pembelajaran pair checks melatih rasa sosial siswa, kerjasama, dan kemampuan memberikan penilaian. Pembelajaran dengan menggunakan model pair checks menuntut siswa untuk memberikan penilaian dan berani mengungkapkan pendapat. Hal itu berkaitan dengan pendapat Shoimin (2014: 119) bahwa, pair checks dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa untuk menuangkan ide, pikiran, pengalaman, dan pendapatnya dengan benar. Penggunaan model pair checks menuntut siswa untuk saling menghargai dan membantu siswa yang lain agar dapat memahami pemahaman konsep. Sejalan dengan hasil penelitian Nusantari dalam jurnal pendidikan, oleh Lestari dan Linuwih (2012) menyatakan bahwa, “Model pembelajaran kooperatif tipe pair checks dapat meningkatkan kerjasama siswa dalam memecahkan masalah juga mengajarkan siswa untuk saling menghargai dan membantu siswa yang kurang aktif”. Pendapat lain disampaikan oleh Utami (2014: 5) dalam jurnalnya menyimpulkan bahwa, dengan menggunakan model pembelajaran pair checks siswa dapat saling bekerja sama dan dapat berinteraksi secara baik dengan teman sekelas. Selain itu, dapat memperdalam dan mempertajam pengetahuan siswa dan meningkatkan keterampilan yang dimiliki. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran pair checks memungkinkan siswa untuk saling bertukar pendapat dan memberikan saran dalam menyelesaikan soal tentang bilangan Romawi pada mata pelajaran matematika. Oleh karena itu, peneliti menggunakan model pair checks yang dirasa cocok untuk mengatasi kesulitan siswa mengenai pemaham konsep bilangan Romawi. 2) Langkah -langkah Pembelajaran Model Pair Checks Secara umum, sintak pembelajaran pair checks menurut Huda (2013: 211) yaitu: a) bekerja berpasangan; b) pembagian peran partner dan pelatih; c) pelatih memberi soal, partner menjawab; d) pengecekan jawaban; e) bertukar peran; f) penyimpulan; g) evaluasi; dan h) refleksi.
31 Berdasarkan sintak tersebut (Huda, 2013: 211-212), langkahlangkah rinci pembelajaran pair checks adalah sebagai berikut: a) Guru menjelaskan konsep b) Siswa dibagi ke dalam beberapa tim. Setiap tim terdiri dari 4 orang. Dalam satu tim ada 2 pasangan. Setiap pasangan dalam satu tim dibebani masing-masing satu peran yang berbeda pelatih dan partner. c) Guru membagi soal kepada partner. d) Partner menjawab soal, dan si pelatih bertugas mengecek jawabannya. Partner yang menjawab satu soal dengan benar berhak mendapat satu kupon dari pelatih. e) Pelatih dan partner saling bertukar peran. Pelatih menjadi partner, dan partner menjadi pelatih. f) Partner menjawab soal, pelatih bertugas mengecek jawabannya. Partner yang menjawab satu soal dengan benar berhak mendapat satu kupon dari pelatih. g) Setiap pasangan kembali ke tim awal dan mencocokkan jawaban satu sama lain. h) Guru membimbing dan memberikan arahan atas jawaban dari berbagai soal. i) Setiap tim mengecek jawabannya. j) Tim yang paling banyak mendapatkan kupon diberi hadiah ataur reward oleh guru. 3) Impelementasi Model Pembelajaran Pair Checks dalam Pembelajaran Matematika Bilangan Romawi. Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran model pair checks di atas, penerapan dalam pelajaran matematika bilangan Romawi adalah sebagai berikut: a) Guru menjelaskan tentang konsep bilangan Romawi. b) Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang. Dalam satu kelompok ada 2 pasang. Setiap pasang dalam satu tim terdiri dari pelatih dan partner yang saling bertukar peran. c) Guru membagi soal tentang bilangan Romawi kepada partner (setiap pasang hanya memperoleh 1 LKS dan 1 pensil). d) Partner menjawab soal, dan si pelatih bertugas untuk mengecek jawabannya. Partner yang menjawab soal dengan benar berhak memperoleh kupon dari pelatih.
32 e) Alokasi waktu untuk setiap nomor ± 2 menit. Setelah selesai mengerjakan 1 soal, pelatih dan partner saling bertukar peran. Pelatih menjadi partner dan partner menjadi pelatih. f) Partner menjawab soal, dan si pelatih bertugas untuk mengecek jawabannya. Partner yang menjawab soal dengan benar berhak memperoleh kupon dari pelatih. g) Setelah soal terjawab semua, setiap pasang kembali ke peran awal dan mencocokkan jawaban satu sama lain. h) Guru membimbing dan memberikan arahan atas jawaban dari soal. i) Setiap kelompok mengecek jawabannya. j) Kelompok yang paling banyak mendapat kupon diberi reward oleh guru. Implementasi pembelajaran model pair check bisa dimodifikasi sesuai dengan kondisi di lapangan agar siswa tidak merasa jenuh. Dalam penelitian ini model pembelajaran pair checks dimodifikasi dengan media kartu bilangan dan kartu domino. 4) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Pair Checks Kelebihan dan kekurangan
model pembelajaran pair checks
menurut Huda (2014 : 212-213) antara lain: Meningkatkan kerjasama antar siswa, peer tutoring, meningkatkan atas pemahaman konsep dan proses pembelajaran, melatih siswa berkomunikasi dengan baik dengan teman sebangkunya. Sementara itu, model pembelajaran ini juga memiliki kekurangan karena model tersebut membutuhkan waktu yang benar-benar memadai dan kesiapan siswa untuk menjadi pelatih dan partner yang jujur dan memahami soal dengan baik. Sedangkan kelebihan dan kekurangan model pembelajaran pair checks menurut Shoimin (2014: 121-122), yakni: Melatih siswa untuk bersabar, melatih siswa memberikan dan menerima motivasi dari pasangannya secara tepat dan efektif, melatih siswa untuk bersikap terbuka terhadap kritik atau saran yang membangun dari pasangannya atau dari pasangan lain, memberikan kesempatan pada siswa untuk
33 membimbing orang lain (pasangannya), memberikan kesempatan kepada siswa untuk menawarkan bantuan atau bimbingan pada orag lain dengan cara yang baik, memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar menjaga ketertiban kelas, belajar menjadi pelatih dengan pasangannya, menciptakan saling kerjasama di antara siswa, dan melatih dalam komunikasi. Kekurangan model pembelajaran pair checks, yaitu: membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan keterampilan siswa untuk menjadi pembimbing pasang bukanlah siswa dengan kemampuan belajar yang lebih baik. Jadi, kadang-kadang fungsi pembimbingan tidak berjalan dengan baik. 3. Penelitian yang Relevan Penelitian yang diteliti Relevan dengan penelitian: a. Gupita Mayang Sari (2013) pada penelitiannya yang berjudul “Penerapan Model Quantum Teaching Melalui Media Kartu Bilangan Domino Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Bilangan Romawi Siswa Kelas IV SDN VIII Baturetno”. Pada hasil penelitian telah diterapkan penggunaan media kartu domino pada siswa kelas IV SDN VII Baturetno terjadi peningkatan. Hal ini dibuktikan pada setiap siklus, yaitu sebelum tindakan (prasiklus) nilai rata-rata pemahaman konsep bilangan Romawi 56,59 dimana siswa yang mendapatkan nilai di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 65 hanya 9 siswa (40,9%), siklus I nilai rata-rata pemahaman konsep bilangan Romawi meningkat menjadi 74,90 dengan 16 siswa memperoleh nilai diatas KKM (72,7%) dan siklus II nilai rata-rata pemahaman konsep bilangan Romawi siswa meningkat lagi menjadi 82,73% dengan 20 siswa memperoleh nilai di atas KKM (90,9%). Penelitian tersebut menjelaskan bahwa dengan menggunakan kartu domino dapat meningkatkan pemahaman konsep bilangan romawi pada siswa kelas IV SDN VII Baturetno. 1) Persamaan dengan penelitian yang diteliti terletak pada variabel terikat yaitu, sama-sama meneliti tentang pemahaman konsep bilangan Romawi. 2) Perbedaan dengan penelitian yang diteliti terletak pada variabel bebasnya yaitu penggunaan model quantum teaching pada siswa kelas IV SDN VII
34 Baturetno melalui media kartu bilangan domino sedangkan peneliti menggunakan model pembelajaran pair checks pada siswa kelas IV SDN Karangasem IV. b. Muhammad Dian Nafi (2015) pada penelitiannya
yang berjudul
“Penggunaan Media Kartu Bilangan Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Bilangan Romawi Pada Siswa Kelas IV SDN 2 Mudal Boyolali 2014/2015”. Pada hasil penelitian telah diterapkan penggunaan media kartu bilangan pada siswa kelas IV SDN 2 Mudal Boyolali. Hali ini dibuktikan telah terjadi peningkatan dalam hasil pembelajaran. pada pratindakan nilai rata-rata kelas 62,17; pada sikus I nilai rata-rata mencapai 69,01; dan pada siklus II nilai rata-rata kelas mencapai 80,13. ketentuan klasikal siswa pada tindakan, ketuntasan klasikal adalah 34,21% atau 16 siswa dari 38 siswa, pada siklus I tingkat ketuntasan klasikal 73,68% atau 28 siswa dari 38 siswa, pada siklus II tingkat ketuntasan klasikal mencapai 86,84% atau 33 dari 38 siswa. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa dengan menggunakan kartu bilangan dapat meningkatkan pemahaman konsep bilangan Romawi pada siswa kelas IV SDN 2 Mudal Boyolali. 1) Persamaan dengan penelitian yang diteliti terletak pada variabel terikat yaitu, sama-sama meneliti tentang pemahaman konsep bilangan Romawi. 2) Perbedaan dengan penelitian yang diteliti terletak pada variabel bebasnya yaitu penggunaan Penggunaan Media Kartu Bilangan pada siswa kelas IV SDN 2 Mudal Boyolali 2014/201). Sedangkan peneliti menggunakan model pembelajaran pair checks pada siswa kelas IV SDN Karangasem IV. c. Ulva Pratiwi (2015) pada penelitiannya yang berjudul "Penerapan Media Flash Card Dalam Peningkatan Pembelajaran Matematika Tentang Bilangan Romawi Siswa Kelas IV SD Negeri Dorowati Tahun 2014/2015". Pada hasil penelitian telah diterapkan penggunaan media flash card pada siswa kelas IV SD Negeri Dorowati. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan yang terjadi pada hasil belajar. Hasil belajar siswa pada siklus I 64 % pada siklus II 78%, pada siklus III 99%. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa
35 dengan menggunakan flash card dapat meningkatkan pembelajaran matematika tentang bilangan Romawi. 1) Persamaan dengan penelitian yang diteliti terletak pada variabel terikat yaitu, sama-sama meneliti tentang bilangan Romawi. 2) Perbedaan dengan penelitian yang diteliti terletak pada variabel bebasnya yaitu Penerapan Media Flash Card pada siswa kelas IV SD Negeri Dorowati. Sedangkan peneliti menggunakan model pembelajaran pair checks pada siswa kelas IV SDN Karangasem IV. d. Niken Puspita Ambarsari (2015) pada penelitiannya yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Bilangan Desimal Matematika Melalui Model Pembelajaran Pair Checks Pada Siswa Kelas IV SDN Ngadirejan Tahun Ajaran 2014/2015”. Pada hasil penelitian telah diterapkan penggunaan model pembelajaran pair checks pada siswa kelas IV SDN Ngadirejan terjadi peningkatan. Hal ini dibuktikan pada setiap siklus, yaitu sebelum tindakan (prasiklus) nilai rata-rata kemampuan menyelesaikan soal cerita bilangan desimal 56,49 , pada siklus I nilai ratarata menjadi 66,76, pada siklus II nilai rata-rata meningkat menjadi 77,57 dan pada siklus III meningkat menjadi 87,70. Sebelum dilaksanakan tindakan (prasiklus), siswa yang memperoleh nilai diatas KKM (≥67) sebanyak 14 siswa (37,85), siklus I yang tuntas sebanyak 23 siswa (62,2%), siklus II yang tuntas sebanyak 29 siswa (78,38%) dan pada siklus III yang tuntas sebanyak 35 siswa (94,59%). Penelitian tersebut menjelaskan bahwa dengan menggunakan model pair checks dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita bilangan desimal matematika pada siswa kelas IV SDN Ngadirejan tahun ajaran 2014/2015. 1) Persamaan dengan penelitian yang diteliti terletak pada variabel bebas yaitu, sama-sama menggunakan model pembelajaran pair checks. 2) Perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti terletak pada variabel terikatnya yaitu kemampuan menyelesaikan soal cerita bilangan desimal matematika pada siswa kelas IV SDN Ngadirejan tahun ajaran
36 2014/2015 sedangkan peneliti akan meneliti tentang pemahaman konsep bilangan Romawi pada siswa kelas IV SDN Karangasem IV Surakarta.
B. Kerangka Berpikir Kondisi awal guru belum menggunakan model pembelajaran pair checks dalam pembelajaran cenderung menggunakan metode ceramah, penugasan, dan kurang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa hanya mendengarkan guru kemudian berlatih mengerjakan soal. Hal ini mengakibatkan pemahaman konsep materi bilangan Romawi pada siswa kelas IV SD Negeri Karangasem IV Surakarta tergolong rendah. Dari 34 siswa, 22 siswa atau 64,70% masih memperoleh nilai dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM=70), sedangkan jumlah siswa yang lulus atau yang memperoleh nilai mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM=70) sebanyak 12 anak atau 35,30%. Rendahnya nilai pemahaman konsep bilangan Romawi tersebut diakibatkan guru cenderung menggunakan model pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher center). Siswa yang kurang pandai menjadi tertinggal dari temannya yang pandai karena guru hanya memfokuskan pada selesainya penyampaian materi. Pada kondisi awal siswa mengalami kesulitan pemahaman konsep bilangan Romawi. Terbukti pada hasil pretest terdapat 64,70% siswa yang mendapat nilai dibawah KKM sehingga kemampuan pemahaman bilangan Romawi masih kurang. Berdasarkan kondisi awal tersebut maka tindakan penelitian ini menerapkan model pembelajaran pair check pada pembelajaran pemahaman konsep bilangan Romawi untuk menyelesaikan masalah dengan bekerja sama. Dengan begitu siswa yang kurang pandai akan terbantu oleh siswa yang pandai dan siswa yang pandai akan lebih mengembangkan kemampuanya. Sehingga dapat meningkatkan pemahaman konsep bilangan Romawi dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran yang cenderung berpusat pada guru (teacher center). Penerapan
model
pembelajaran
pair
checks
diharapkan
dapat
meningkatkan kemampuan pemahaman konsep bilangan Romawi pada siswa
37 kelas IV SDN Karangasem IV Surakarta. Kerangka berpikir dalam penelitian ini divisualisasikan pada gambar 2.1 sebagai berikut:
Kondisi Awal
Tindakan
Kondisi Akhir
1 Pembelajaran masih cenderung berpusat pada guru (teacher centered). 2 Belum menggunakan model pembelajaran pair checks. 3 Rata-rata kelas hasil belajar bilangan Romawi sebesar 56,61 masih kurang dari KKM (70)
64,70% siswa mendapat nilai di bawah KKM
Siklus I Perencanaan Pelaksanaan Observasi Refleksi
Guru menggunakan model pair checks.
Melalui penerapan model pair checks dapat meningkatkan pemahaman konsep bilangan Romawi pada siswa kelas IV SDN Karangasem IV Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016
Gambar 2. 1 Skema Kerangka Berpikir
Siklus II Perencanaan Pelaksanaan Observasi Refleksi
38 C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas yaitu: “Penerapan model pembelajaran pair checks dapat meningkatkan pemahaman konsep bilangan Romawi pada siswa kelas IV SD Negeri Karangasem IV Surakarta tahun ajaran 2015/2016.
39