10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pengertian auditing menurut Mulyadi (2002) adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataanpernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria kepentingan. Dalam definisi audit tersebut ada beberapa kata yang dapat kita kaitkan kedalam istilah lain dari pengertian tersebut yaitu : 1) Suatu proses sistematik: pemeriksaan akuntan merupakan suatu proses sistematik, yaitu berupa suatu rangkaian langkah atau prosedur yang logis, berkerangka dan terorganisasi; 2) Untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif : Mengevaluasi pernyataan yang dibuat oleh individu atau badan usaha tanpa memihak atau berprasangka terhadap bukti-bukti tersebut; 3) Pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi : hasil dari proses akuntansi; 4) Menetapkan tingkat kesesuaian : menetapkan dekat atau tidaknya pernyataan dengan kriteria yang telah ditetapkan Menurut Ashari (2011), pengertian auditing adalah suatu proses yang selain bertujuan untuk mendeteksi kecurangan atau penyelewengan dan memberikan simpulan atas kewajaran penyajian akuntabilitas, juga menjamin ketaatan terhadap
11
hukum, kebijaksanaan serta peraturan melalui pengujian apakah aktivitas organisasi dan program dikelola secara ekonomis, efisien dan efektif. Jadi dapat disimpulkan bahwasanya auditing adalah penyajian bukti-bukti laporan secara akurat dalam pernyataan dalam laporan informasi yang dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan yang bertujuan tidak terjadinya kecurangan serta halhal dibatas kewajaran dalam mengaudit. Secara umum, auditing merupakan suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataanpernyataan tentang kegiatan dan kejadian-kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil audit inilah, kemudian auditor menarik sebuah kesimpulan dan menyampaikan kesimpulan tersebut kepada pemakai yang berkepentingan.
2.1 Pengalaman Pengalaman auditor sangatlah penting dalam rangka memenuhi tugasnya untuk memberikan opini atas laporan keuangan yang diauditnya. Gusti (2011) memberikan kesimpulan bahwa seorang karyawan yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan dalam beberapa hal diantaranya; mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan, dan mencari penyebab munculnya kesalahan. Auditor yang tidak berpengalaman mempunyai tingkat kesalahan yang lebih signifikan dibandingkan dengan auditor yang lebih berpengalaman
12
(Monica, 2013). Seseorang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki akan memberikan hasil yang lebih baik daripada mereka yang tidak mempunyai pengetahuan dan kompetensi yang cukup dalam tugasnya. Peningkatan pengetahuan yang muncul dari pelatihan formal sama bagusnya dengan yang didapat dari pengalaman khusus (Gusti, 2011). Oleh karena itu pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor yang penting dalam memprediksi kinerja akuntan publik, sehingga pengalaman dimasukkan sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh ijin menjadi akuntan publik (SK MenKeu No.43/KMK.017/1997). Bertambahnya pengalaman kerja auditor juga akan meningkatkan ketelitian dalam melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi akan menghasilkan laporan audit yang berkualitas. Gusti
dan
Ali
(2008)
menyimpulkan
bahwa
auditor
yang
berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam tugastugas profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman. Jadi seorang auditor yang lebih berpengalaman akan lebih tinggi tingkat skeptisisme profesionalnya dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman. Kebanyakan orang memahami bahwa semakin banyak jumlah jam terbang seorang auditor, tentunya dapat memberikan kualitas audit yang lebih baik daripada seorang auditor yang baru memulai kariernya. Atau dengan kata lain auditor yang berpengalaman diasumsikan dapat
13
memberikan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan auditor yang belum berpengalaman. Hal ini dikarenakan pengalaman akan membentuk keahlian seseorang baik secara teknis maupun secara psikis. Secara teknis, semakin banyak tugas yang dia kerjakan, akan semakin mengasah keahliannya dalam mendeteksi suatu hal yang memerlukan treatment atau perlakuan khusus yang banyak dijumpai dalam pekerjaannya dan sangat bervariasi karakteristiknya (Aji, 2009). Jadi dapat dikatakan bahwa seseorang jika melakukan pekerjaan yang sama secara terus menerus, maka akan menjadi lebih cepat dan lebih baik dalam menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan dia telah benar-benar memahami teknik atau cara menyelesaikannya, serta telah banyak mengalami berbagai hambatan-hambatan atau kesalahan-kesalahan dalam pekerjaannya tersebut, sehingga dapat lebih cermat dan berhati-hati menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Herliyansyah dan Ilyas (2006) yang mengatakan bahwa penggunaan pengalaman didasarkan pada asumsi bahwa tugas yang dilakukan secara berulang-ulang memberikan peluang untuk belajar melakukannya dengan yang terbaik. Secara psikis, pengalaman akan membentuk pribadi seseorang, yaitu akan membuat seseorang lebih bijaksana baik dalam berpikir maupun bertindak, karena pengalaman seseorang akan merasakan posisinya saat dia dalam keadaan baik dan saat dia dalam keadaan buruk. Seseorang akan semakin berhatihati dalam bertindak ketika ia merasakan fatalnya melakukan kesalahan. Auditor yang berpengalaman akan merasa senang ketika berhasil
14
menemukan pemecahan masalah dan akan melakukan hal serupa ketika terjadi permasalahan yang sama. Auditor yang berpengalaman akan puas ketika memenangkan argumentasi dan akan merasa bangga ketika memperoleh imbalan hasil pekerjaannya (Noviari, 2005). Pengalaman dalam penelitian ini adalah sejauh mana jam terbang akuntan publik dalam melaksanakan tugasnya yang diduga akan berpengaruh positif terhadap pemberian opininya atas laporan keuangan melalui skeptisisme profesional auditor. Variabel pengalaman ini diukur dengan pertanyaan terbuka pada kuesioner dengan indikator jumlah penugasan dan lama kerjanya menjadi auditor. Semakin tinggi pengalaman diduga akan berpengaruh terhadap skeptisisme profesional seorang auditor sehingga semakin tepat dalam memberikan opini atas laporan keuangan. Pengalaman audit antara lain adalah pengalaman tim audit menjadi auditor
di
lembaga
pemerintahan
maupun
perusahaan.
Dalam
melaksanakan audit sampai pada suatu pernyataan pendapat, auditor senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang auditing agar auditing yang dilaksanakan berkualitas. Pencapaian kualitasnya tersebut dimulai dengan pendidikan yang diperluas melalui pengalaman-pengalamannya dalam praktik audit. Pengalaman adalah hal penting yang harus dimiliki oleh seorang auditor, hal ini terbukti dengan kesalahan yang dimiliki oleh auditor yang tidak berpengalaman dibanding auditor yang berpengalaman.
15
2.2 Kompetensi Kompetensi adalah keahlian profesional yang dimiliki oleh auditor sebagai hasil dari pendidikan formal, ujian profesional maupun keikutsertaan dalam pelatihan, seminar, symposium dan lain-lain seperti : 1) Untuk luar negeri (AS) ujian CPA (Certified Public Accountant) dan untuk di dalam negeri (Indonesia) USAP (Ujian Sertifikat Akuntan Publik) 2) PPB (Pendidikan Profesi Berkelanjutan) 3) Pelatian-pelatihan intern dan ekstern 4) Keikutsertaan dalam seminar, symposium dan lain-lain. Kompetensi auditor diukur melalui banyaknya ijasah/sertifikat yang dimiliki, serta jumlah atau banyaknya keikutsertaan yang bersangkutan dalam pelatihan-pelatihan, seminar atau symposium. Semakin banyak sertifikat yang dimiliki dan semakin sering mengikuti pelatihan, seminar/symposium diharapkan auditor yang bersangkutan akan semakin cakap dalam melaksanakan tugasnya. Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP, 2012) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Sedangkan, standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam SPAP, 2012) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit akan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Oleh karena itu, maka setiap auditor wajib memiliki kemahiran
16
profesionalitas dan keahlian dalam melaksanakan tugasnya sebagai auditor. Keahlian audit mencakup seluruh pengetahuan auditor akan dunia audit itu sendiri, tolak ukurnya adalah tingkat sertifikasi pendidikan dan jenjang pendidikan
sarjana
formal
(Gusti
dan
Ali,
2008).
Indah
(2010)
mendefinisikan keahlian (expertise) sebagai keterampilan dari seorang ahli. Ahli (expert) didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki tingkat keterampilan tertentu atau pengetahuan yang tinggi dalam subyek tertentu yang diperoleh dari pelatihan dan pengalaman. Definisi keahlian dalam bidang auditing pun sering diukur dengan pengalaman (Mayangsari, 2003). Pengertian keahlian menurut Murtanto (1999) adalah seseorang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Menurut Mayangsari (2003), keahlian adalah mengerjakan pekerjaan secara mudah, cepat, intuisi, dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan. Mayangsari (2003) mengatakan bahwa ukuran keahlian tidak cukup
hanya pengalaman tetapi diperlukan
pertimbangan-pertimbangan lain dalam pembuatan suatu keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki sejumlah unsur lain disamping pengalaman. Komponen keahlian berdasarkan model yang dikembangkan dapat dibagi menjadi : (Desyanti dan Ratnadi, 2006) (1) komponen pengetahuan (knowledge component) yang meliputi komponen seperti pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur, dan pengalaman;
17
(2) ciri-ciri psikologis (pshycological traits) yang ditujukan dalam komunikasi, kepercayaan, kreativitas, dan kemampuan bekerja dengan orang lain; (3) kemampuan berpikir untuk mengakumulasikan dan mengolah informasi; (4) analisis tugas yang dipengaruhi oleh pengalaman audit yang mempunyai pengaruh terhadap penentuan keputusan. Prakteknya definsi keahlian sering ditunjukkan dengan pengakuan resmi (official recognition) seperti kecerdasan partner dan penerimaan konsensus (consensual acclamation) seperti pengakuan terhadap seorang spesialis pada industri tertentu, tanpa adanya suatu daftar resmi dari atributatribut keahlian (Mayangsari, 2003). Definisi operasional seorang ahli adalah seorang yang telah diatur dalam profesinya sebagai orang yang memiliki keterampilan dan kemampuan yang penting untuk menilai pada derajat yang tinggi (Indah, 2010).
2.3 Etika Etika diartikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang mendasari perilaku manusia. Etos didefinisikan sebagai ciri-ciri dari suatu masyarakat atau budaya, etos kerja dimaksudkan sebagai ciri-ciri dari kerja khususnya pribadi atau kelompok yang melaksanakan kerja, seperti disiplin, tanggungjawab, dedikasi, integritas, transparansi dan sebagainya. Etika berfungsi sebagai panduan, prinsip-prinsip moral tersebut berfungsi sebagai
18
kriteria untuk menilai benar atau salahnya perbuatan atau perilaku, sedangkan kode etik adalah nilai atau norma atau kaidah untuk mengatur perilaku moral dari suatu profesi melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang harus dipenuhi dan ditaati setiap anggota profesi. Secara umum etika merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindaknya seseorang sehingga apa yang dilakukannya dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang, termasuk didalamnya dalam meningkatkan kualitas audit (Munawir, 2007). Selanjutnya, Sabrina (2011) menyatakan bahwa etika secara umum sebagai perangkat moral dan nilai. Dapat dikatakan bahwa etika berkaitan erat dengan moral dan nilai-nilai yang berlaku. Termasuk para auditor didalamnya, diharapkan oleh masyarakat untuk bertindak dengan prinsip moral yang ada, jujur, adil dan tidak memihak serta mengungkapkan laporan keuangan sesuai dengan kondisi sebenarnya. Audit membutuhkan pengabdian yang besar pada masyarakat, lembaga dan komitmen moral yang tinggi. Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para auditor publik dengan standar khusus dan kualitas yang tinggi dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri. Itulah sebabnya profesi auditor menetapkan standar teknis dan standar etika yang harus dijadikan panduan oleh para auditor dalam melaksanakan audit. Standar etika diperlukan bagi profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan
19
kepentingan. Oleh karena itu seorang auditor harus selalu memupuk dan menjaga kewaspadaannya agar tidak mudah takluk pada godaan dan tekanan yang membawanya kedalam pelanggaran prinsip-prinsip etika secara umum dan etika profesi. Etika yang tinggi yaitu auditor mampu mengenali situasisituasi yang mengandung isu-isu etis sehingga memungkinkan untuk mengambil keputusan atau tindakan yang tepat. Masalah etika yang dapat dijumpai oleh auditor yang meliputi permintaan atau tekanan untuk : 1.
Melaksanakan tugas yang bukan merupakan kompetensinya;
2.
Mengungkapkan informasi rahasia;
3.
Mengkompromikan integritasnya dengan melakukan pemalsuan, penggelapan, penyuapan dan sebagainya;
4.
Mendistorsi obyektivitas dengan menerbitkan laporan-laporan yang menyesatkan
Prinsip-prinsip etika dalam kode etik IAI ada 8 (delapan) yaitu : 1. Tanggungjawab; 2. Kepentingan Umum (Publik); 3. Integritas; 4. Obyektivitas; 5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional; 6. Kerahasiaan; 7. Perilaku Profesional; 8. Standar Teknis
20
Berdasarkan aturan etika ini, seorang profesional akuntan sektor publik harus memiliki karakteristik yang mencakup : 1.
Penguasaan
keahlian
intelektual
yang
diperoleh
melalui
pendidikan dan pelatihan; 2.
Kesediaan melakukan tugas untuk masyarakat secara luas di tempat instansi kerja maupun untuk auditan;
3.
Berpandangan obyektif;
4.
Penyediaan layanan dengan standar pelaksaan tugas dan kinerja yang tinggi
Penerapan aturan etika ini dilakukan untuk mendukung tercapainya tujuan profesi akuntan yaitu bekerja dengan standar yang tinggi, mencapai tingkat kinerja yang diharapkan dan mencapai tingkat kinerja yang memenuhi persyaratan kepentingan masyarakat.
2.4 Situasi Audit Situasi audit merupakan suatu keadaan dimana adanya suatu penugasan audit, auditor dihadapkan pada keadaan yang mengandung resiko rendah (regularities) dan keadaan resiko tinggi (irregularities). Irregularities merupakan suatu keadaan dimana adanya ketidakberesan atau kecurangan yang dilakukan dengan sengaja. Kecurangan ini dapat menyangkut dua hal yaitu adanya tekanan atau dorongan dalam melakukan kecurangan maupun suatu peluang untuk melaksanakan kecurangan tersebut. Kecurangan dapat disembunyikan dengan cara memalsukan dokumentasi, termasuk pemalsuan
21
tanda tangan. Auditor ini bertanggung jawab atas pemeriksaan atau mengaudit laporan keuangan dengan memberikan opini atas informasi yang diauditnya. Auditor sebagai profesi dituntut untuk memberikan opini yang tepat. Situasi audit mempunyai resiko tinggi sehingga mempengaruhi auditor untuk meningkatkan komunikasi yang baik. Sebagai contoh, manajemen yang melakukan kecurangan dalam pelaporan keuangan dapat mencoba menyembunyikan salah saji dengan membuat faktur fiktif, karyawan atau manajemen yang memperlakukan kas secara tidak semestinya dapat menyembunyikan tindakan pencurian mereka dengan mamalsukan tanda tangan atau menciptakan pengesahan elektronik yang tidak sah diatas dokumen otorisasi pengeluaran kas. Kecurangan juga disembunyikan melalui kolusi diantara manajemen, karyawan atau pihak ketiga. Kolusi dapat menyebabkan auditor percaya bahwa bukti dapat meyakinkan, meskipun kenyataannya palsu.
2.5 Independensi Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan
atas
pekerjaan
akuntan
publik
(Setyaningrum,
2010).
Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi
22
juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya (Mulyadi, 2002). Sawyer
(2006)
membagi
independensi
menjadi
tiga,
yaitu
independensi dalam verifikasi, independensi dalam program audit, dan independensi dalam pelaporan yang dapat diperuntukkan bagi akuntan publik atau auditor eksternal, tetapi konsep yang sama dapat diterapkan untuk auditor internal dalam bersikap objektif. Independensi dalam hal ini adalah independensi dalam pelaporan dimana independensi dalam pelaporan menjadikan auditor internal: harus bebas dari perasaan untuk memodifikasi dampak dari fakta - fakta, harus bebas dari hambatan oleh pihak-pihak yang ingin meniadakan auditor dalam memberikan pertimbangan. Independensi akuntan publik dapat dibagi ke dalam tiga aspek; 1) Program Independen, yaitu laporan audit akan mempunyai sedikit nilai jika didukung oleh suatu penyelidikan secara seksama. Suatu penyelidikan sesama mungkin tidak akan diminati oleh direktur. Sekalipun
mereka
tidak
mempunyai
apapun
untuk
disembunyikan, para direktur dapat mengurangi fee audit atau menerbitkan laporan keuangan dengan cepat setelah tahun berakhir dan hal seperti itu mungkin saja terjadi; 2) Independen investigasi (verifikasi), yaitu program independen melindungi kemampuan auditor untuk memilih strategi yang paling sesuai untuk hasil audit mereka dalam bekerja. Sedangkan
23
investigasi
independen
melindungi
cara
dimana
mereka
menerapkan strategi ini. Auditor mempunyai pertanyaan bisnis perusahaan atau perlakuan akuntansi, transaksinya harus dijawab; 3) Laporan Independen, yaitu jika para direktur berusaha untuk menyesatkan pemegang saham dengan memberitahukan informasi akuntansi yang salah atau tidak sempurna, mereka pasti mencegah auditor dari perbuatannya terhadap publik. Ketika independen auditor menjadi rumit, tentu banyak kesalahpahaman terjadi dalam hubungan seperti penafsiran suatu standar akuntansi atau suatu perkiraan atau seperti suatu ketetapan untuk hutang yang tidak terbayar (Suryaningtiyas, 2007) Independensi merupakan salah satu ciri paling penting yang dimiliki oleh profesi akuntan publik. Karena banyak pihak yang menggantungkan kepercayaannya kepada kebenaran laporan keuangan berdasarkan laporan auditor yang dibuat oleh akuntan publik. Sekalipun akuntan publik ahli, apabila tidak mempunyai sikap independensi dalam mengumpulkan informasi akan tidak berguna, sebab informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan haruslah tidak biasa. Akuntan publik harus bersikap independen jika melaksanakan praktik publik (public pratice). Pratik publik adalah aktivitas profesi akuntan publik yang mempengaruhi publik (Suryaningtiyas, 2007). Menurut Mulyadi (2010) independensi berarti bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain atau jujur
24
dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan objektif, tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapat. Penilaian masyarakat atas independensi auditor independen bukan pada diri auditor secara keseluruhan. Oleh karenanya apabila seorang auditor independen
atau
suatu
Kantor
Akuntan
Publik
lalai
atau
gagal
mempertahankan sikap independensinya, maka kemungkinan besar anggapan masyarakat bahwa semua akuntan publik tidak independen. Kecurigaan tersebut dapat berakibat pada berkurang atau hilangnya kredibilitas masyarakat terhadap jasa audit profesi auditor independen. Banyak definisi mengenai independensi telah dikemukakan oleh para pakar akuntansi. Umumnya definisi-definisi tersebut berbeda satu dengan yang lain dan perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan sudut pandang masing-masing pakar yang pada gilirannya mengakibatkan perbedaan cakupan makna independensi. Indah (2010) mendefinisikan independensi dalam pengauditan sebagai ”pengguna cara pandang yang tidak bias dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit. Selain itu, Indah mengategorikan independensi kedalam dua aspek, yaitu: independensi dalam kenyataan (independence in fact) dan independensi dalam penampilan (independence in appearance). Independensi dalam kenyataan ada apabila akuntan publik berhasil mempertahankan sikap yang tidak bias selama audit, sedangkan independensi dalam penampilan adalah hasil persepsi pihak lain terhadap independensi akuntan publik.
25
Mayangsari (2003) mendefinisikan independensi sebagai suatu hubungan antara akuntan dan kliennya yang mempunyai sifat sedemikian rupa sehingga temuan dan laporan yang diberikan auditor hanya dipengaruhi oleh bukti-bukti yang ditemukan dan dikumpulkan sesuai dengan aturan atau prinsip-prinsip profesionalnya. Independensi secara esensial merupakan sikap pikiran seseorang yang dicirikan oleh pendekatan integritas dan obyektivitas tugas profesionalnya. Hal ini senada dengan American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) yang menyatakan bahwa independensi adalah suatu kemampuan untuk bertindak berdasarkan integritas dan objektivitas. Meskipun integritas dan obyektivitas tidak dapat diukur dengan pasti, tetapi keduanya merupakan hal yang mendasar bagi profesi akuntan publik. Integritas merupakan prinsip moral yang tidak memihak, jujur, memandang dan mengemukakan fakta seperti apa adanya, di lain pihak, obyektivitas merupakan
sikap
tidak
memihak
dalam
mempertimbangkan
fakta,
kepentingan pribadi tidak terdapat dalam fakta yang dihadapi (Indah, 2010). Selain itu American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) juga memberikan prinsip-prinsip berikut sebagai panduan yang berkaitan dengan independensi, yaitu: a. Auditor dan perusahaan tidak boleh tergantung dalam hal keuangan terhadap klien. b. Auditor dan perusahaan seharusnya tidak terlibat dalam konflik kepentingan
yang akan mengangggu obyektivitas mereka
26
berkenaan dengan cara-cara
yang mempengaruhi laporan
keuangan c. Auditor dan perusahaan seharusnya tidak memiliki hubungan dengan klien yang akan menganggu obyektivitasnya auditor. SEC (Securities and Exchange Commission) sebagai badan yang juga berkepentingan terhadap audior yang independen memberikan definisi lain berkaitan dengan independensi. SEC memberikan empat prinsip dalam menentukan auditor yang independen. Prinsip-prinsip ini menyatakan bahwa independensi dapat terganggu apabila auditor memiliki konflik kepentingan dengan klien, mengaudit pekerjaan mereka sendiri, berfungsi baik sebagai manajer ataupun pekerja dari kliennya, bertindak sebagai penasehat bagi kliennya (Meutia, 2004). Menurut Meutia (2004), auditor independen seharusnya dapat menjadi pelindung terhadap praktek-praktek akuntansi, karena auditor tidak hanya dianggap memiliki pengetahuan yang mendalam di bidang akuntansi tetapi juga dapat berhubungan dengan komite audit dan dewan direksi yang bertanggung jawab untuk memeriksa dengan teliti para pembuat keputusan di perusahaan. Aturan etika kompartemen akuntan publik (2011) menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance). Selain itu benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak
27
boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan pertimbangannya kepada pihak lain. Buku “The Phylosophy of Auditing” karya Mautz dan Sharaf memberikan beberapa indikator independensi profesional bagi akuntan publik, sebagai berikut: a. Independensi dalam Program Audit – Bebas dari intervensi manajerial dalam program audit. – Bebas dari segala intervensi dalam prosedur audit. – Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit selain yang memang disyaratkan untuk sebuah proses audit. b. Independensi dalam Verifikasi – Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva, dan karyawan yang relevan dengan audit yang dilakukan. – Mendapat kerjasama yang aktif dari karyawan manajemen selama verifikasi audit. – Bebas dari segala usaha manajerial yang berusaha membatasi aktifitas yang diperiksa atau membatasi perolehan bahan bukti. – Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit. c. Independensi dalam Pelaporan – Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari fakta-fakta yang dilaporkan. – Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang signifikan dalam laporan audit.
28
– Menghindari penggunaan kata-kata yang menyesatkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja dalam melaporkan fakta, opini, dan rekomendasi dalam interpratasi auditor. – Bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan auditor mengenai fakta atau opini dalam laporan audit internal Atas dasar beberapa definisi tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai unsur-unsur pengertian independensi akuntan publik sebagai berikut : 1.
Kepercayaan masyarakat terhadap integritas, obyektivitas dan kebebasan kuntan publik dari pengaruh pihak lain.
2.
Kepercayaan
akuntan publik terhadap
diri
sendiri
yang
merupakan integritas profesionalnya. 3.
Kemampuan
akuntan
publik
meningkatkan
kredibilitas
pengetahuannya terhadap laporan keuangan yang diperiksa. 4.
Suatu sikap mental akuntan publik yang jujur dan ahli, serta tindakan yang bebas dari bujukan, pengaruh dan pengendalian pihak lain dalam melaksanakan perencanaan, pemeriksaan, penilaian, dan pelaporan hasil pemeriksaannya.
Berdasarkan berbagai pendapat mengenai independensi diatas, terdapat satu kesepakatan bahwa independensi merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh auditor. Terdapat berbagai jenis independensi, tetapi dapat disimpulkan bahwa independensi yang dapat dinilai hanyalah independensi yang kelihatan dan penilaian terhadap independensi yang kelihatan ini selalu
29
berkaitan dengan hubungan yang dapat dilihat serta diamati antara auditor dan kliennya (Indah, 2010).
2.6 Skeptisisme Profesional Auditor SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik,
2001),
menyatakan
skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Skeptisisme merupakan bagian penting dari filsafat. Melalui filsafat dan pemikiran disiplin ilmu, skeptisisme menjadi bagian dari kosakata auditing. Karena auditing melandasi profesi akuntansi, maka istilah yang digunakan adalah professional scepticism atau skeptisisme profesional. Para teoritis dan praktisi auditing sepakat bahwa skeptisisme profesional merupakan sikap multak yang harus dimiliki auditor (Tuanakota, 2011). Salah satu penyebab dari suatu kegagalan audit adalah rendahnya skeptisisme profesional, sehingga akan menimbulkan kepekaan auditor terhadap kecurangan baik yang nyata maupun yang berupa potensi, atau terhadap tanda-tanda bahaya yang akan mengindikasikan adanya kesalahan dan kecurangan. Auditor yang dengan disiplin menerapakan skeptisisme profesional tidak akan terpaku pada prosedur yang tertera dalam program audit. Skeptisisme profesional akan membantu auditor dalam menilai dengan kritis resiko yang dihadapi dan memperhitungkan resiko tersebut dalam bermacam-
30
macam keputusan untuk menerima atau menolak klien, memilih metode dan teknik audit yang tepat, menilai bukti-bukti audit yang dikumpulkan dan seterusnya. SPAP (Standar Profesional Akuntan Publik, 2012) menyatakan skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Skeptisisme profesional auditor adalah “Professional scepticism is a choice to fulfill the profesional auditor’s duty to prevent or reduce or harmful consequences of another person’s behavior…” (Gusti dan Ali, 2008). Skeptisisme profesional digabungkan ke dalam literatur profesional yang membutuhkan auditor untuk mengevaluasi kemungkinan kecurangan material. Selain itu juga dapat diartikan sebagai pilihan untuk memenuhi tugas audit profesionalnya untuk mencegah dan mengurangi konsekuensi bahaya dan prilaku orang lain (SPAP, 2012). Dalam model “Professional Scepticism Auditor” menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor : 1.
Faktor-faktor kecondongan etika. Faktor-faktor kecondongan etika memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skeptisisme profesional
auditor.
The
American
Heritage
Directory
menyatakan etika sebagai suatu aturan atau standar yang menentukan tingkah laku para anggota dari suatu profesi. Pengembangan kesadaran etis/moral memainkan peranan kunci
31
dalam semua area profesi akuntan (Gusti dan Ali, 2008), termasuk dalam melatih sikap skeptisisme profesional akuntan. 2.
Faktor-faktor situasi. Faktor-faktor situasi berperngaruh secara positif terhadap skeptisisme profesional auditor. Faktor situasi seperti situasi audit yang memiliki risiko tinggi (irregularities) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya.
3.
Pengalaman. Pengalaman yang dimaksudkan disini adalah pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan.
Skeptisisme profesional yang dimaksud disini adalah sikap skeptis yang dimiliki seorang auditor yang selalu mempertanyakan dan meragukan bukti audit. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisisme profesional. Dapat diartikan bahwa skeptisisme profesional menjadi salah satu faktor dalam menentukan kemahiran profesional
seorang
auditor.
Kemahiran
profesional
mempengaruhi ketepatan pemberian opini oleh seorang auditor.
akan
sangat
32
2.7 Telaah Penelitian Terdahulu Peneliti / Tahun Suraida (2005)
Judul Penelitian Etika, kompetensi, pengalaman dan resiko terhadap skeptisisme profesional auditor dan ketepatan pemberian opini akuntan publik
Gusti dan Ali (2008)
Skeptisisme profesional auditor, situasi audit, etika, pengalaman, keahlian audit dan ketepatan pemberian opini auditor oleh akuntan publik
Sukriah Aknam Inapty (2008)
Pengalaman kerja, independensi, obyektifitas, integritas, dan kompetensi terhadap kualitas audit
Matondang (2010)
Pengaruh pengalaman, independensi dan keahlian profesional terhadap pencegahan dan pendeteksian kecurangan
Muhammad Yusuf Aulia (2013)
Pengalaman, independensi, dan skeptisisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Hasil Penelitian Etika, kompetensi, pengalaman dan resiko berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional dan ketepatan pemberian opini audit oleh akuntan publik Skeptisisme profesional auditor, situasi audit, berpengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor oleh akuntan publik Pengalaman kerja, obyektifitas dan kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit, sedangkan independensi dan integritas tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit Pengalaman, independensi dan keahlian profesional berpengaruh terhadap pencegahan dan pendeteksian kecurangan Pengalaman, independensi, dan skeptisisme profesional auditor berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan
33
2.8 Hipotesis Penelitian Pengalaman (X1)
+ Kompetensi (X2) Etika (X3)
+ + +
Skeptisisme Profesional Auditor (Y)
Situasi Audit (X4)
+ Independensi (X5)
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian
a. Pengaruh Pengalaman (X1) terhadap Skeptisisme Profesional Auditor (Y) Sesuai dengan standar umum dalam standar profesional akuntan publik bahwa auditor diisyaratkan memiliki pengalaman kerja yang cukup dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti kliennya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Galang (2009), pengalaman (X1) berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor (Y), artinya apabila terjadi perubahan sedikit saja pada variabel pengalaman (X1) maka akan langsung terjadi perubahan yang berarti pada variabel skeptisisme profesional auditor (Y). Semakin bertambahnya pengalaman seorang auditor maka skeptisisme profesional dalam menjalankan profesinya semakin meningkat juga.
34
Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan : H1 : Terdapat pengaruh positif pengalaman terhadap skeptisisme profesional auditor b. Pengaruh Kompetensi (X2) terhadap Skeptisisme Profesional Auditor (Y) Menurut
penelitian
yang
dilakukan
Galang
(2009)
kompetensi
berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor baik secara parsial maupun secara simultan. Hal ini mengandung arti bahwa jika akuntan publik memiliki kompetensi, maka tingkat skeptisisme profesional auditor akan semakin tinggi. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan : H2 : Terdapat pengaruh positif kompetensi terhadap skeptisisme profesional auditor c. Pengaruh Etika (X3) terhadap Skeptisisme Profesional Auditor (Y) Dalam penelitian yang dilakukan Nadiana (2009), variabel etika memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Faktorfaktor kecondongan etika memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Dalam The American Heritage Directory, etika sebagai suatu aturan atau standar yang menentukan tingkah laku para anggota
dari
suatu
profesi.
Pengembangan
kesadaran
etis/moral
memainkan peranan kunci dalam semua area profesi akuntan (Sabrina, 2011), termasuk dalam melatih sikap skeptisisme profesional akuntan.
35
Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan : H3 : Terdapat pengaruh positif etika terhadap skeptisisme profesional auditor d. Pengaruh Situasi Audit (X4) terhadap Skeptisisme Profesional Auditor (Y) Dalam penelitian yang dilakukan Suraida (2005), auditor sebagai profesi yang dituntut menghadapi serangkaian situasi-situasi yang mempengaruhi sikap dan keputusan yang ditetapkannya. Situasi tersebut termasuk lingkungan dimana auditor itu bekerja, situasi yang dialami oleh klien seperti klien yang baru pertama kali diaudit, situasi kemungkinan adanya motivasi manajemen untuk menarik investor diduga akan mempengaruhi auditor dalam memberikan opini. Teori ini mengatakan bahwa pada dasarnya seseorang tidak menyukai adanya disonansi kognitif, yaitu adanya dua kognisi atau lebih yang berbeda yang menimbulkan konflik dalam dirinya. Oleh karena itu, serangkaian situasi yang dialami auditor membuat auditor akan berusaha mencapai keselarasan antara sikap dan perilakunya agar selaras dengan perilaku yang seharusnya dilakukannya, semakin tinggi risiko/situasi audit maka semakin tinggi pula skeptisisme profesional auditor. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis keempat penelitian ini adalah sebagai berikut : H4 : Terdapat pengaruh positif situasi audit terhadap skeptisisme profesional auditor
36
e. Pengaruh Independensi (X5) terhadap Skeptisisme Profesional auditor (Y) Menurut Arens (2010), independensi adalah cara pandang yang tidak memihak didalam pelaksanaan pengujian evaluasi hasil pemeriksaan dan penyusunan laporan audit. Mulyadi (2008) mendefinisikan independensi sebagai “keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan dari pihak lain, tidak berpengaruh terhadap orang lain” dan akuntan publik yang independen haruslah akuntan publik yang tidak terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpai dalam pemeriksaan. Semakin tinggi independensinya maka semakin tinggi pula skeptisisme profesional auditornya. Skeptisisme profesional auditor merupakan sikap (attitude) auditor dalam melakukan penugasan audit dimana sikap ini mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis kelima penelitian ini adalah sebagai berikut : H5 : Terdapat pengaruh positif independensi terhadap skeptisisme profesional auditor