BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kebijakan Dividen Kebijakan dividen merupakan keputusan tentang seberapa banyak laba saat ini yang akan dibayarkan sebagai dividen daripada laba yang akan ditahan untuk kemudian diinvestasikan kembali dalam perusahaan (Brigham dan Houston, 2010:27). Setiap keputusan dalam menentukan kebijakan dividen akan berdampak pada tingkat, penetapan waktu, serta arus kas perusahaan dan akhirnya akan berpengaruh pada harga saham perusahaan. Hal tersebut mendorong manajemen untuk membuat suatu keputusan yang dapat memaksimalkan harga saham (Pujiati, 2015). Kebijakan dividen merupakan keputusan setelah perusahaan beroperasi dan memperoleh laba. Kebijakan dividen menyangkut masalah penggunaan laba yang menjadi hak para pemegang saham atau keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan pada pemegang saham sebagai dividen atau ditahan guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang (Wiagustini, 2010:255). Menurut Van Horne dan Wachowicz (2010:270), aspek utama dari kebijakan dividen perusahaan adalah menentukan alokasi laba yang tepat antara
pembayaran dividen dengan penambahan laba ditahan perusahaan. Kebijakan pembagian
dividen
merupakan
suatu
masalah
yang
sering dihadapi
oleh
perusahaan, manajemen sering mengalami kesulitan untuk memutuskan apakah akan membagi dividennya atau akan menahan laba untuk diinvestasikan kembali kepada proyek-proyek yang menguntungkan (Hatta, 2002). Menurut preferensi investor ada tiga teori yang mendasari kebijakan dividen (Brigham dan Houston 2010:211), yaitu : 1) Teori Dividen Tidak Relevan Teori dividen tidak relevan dikemukakan oleh Merton Miller dan Franco Modigliani (MM). Teori ini menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak berpengaruh pada harga saham maupun terhadap biaya modal perusahaan. Teori MM berpendapat bahwa nilai suatu perusahaan ditentukan pada kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba, bukan pada bagaimana laba tersebut dibagi menjadi dividen dan laba ditahan. Teori MM menyatakan bahwa nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya dividend payout ratio, tetapi hanya ditentukan oleh profitabilitas dan risiko usahanya, dengan asumsi bahwa tidak ada pajak yang dibayarkan atas dividen, saham dapat dibeli dan dijual tanpa adanya biaya transaksi, semua pihak baik manajer maupun pemegang saham memiliki informasi yang sama tentang laba perusahaan di masa yang akan datang. 2) Bird in the Hand Theory
Gordon dan Lintner berpendapat bahwa para investor lebih menyukai dividen dibandingkan dengan capital gain. Dividen memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan capital gain, oleh karenanya investor akan merasa lebih aman untuk mengharapkan dividen saat ini dibandingkan menunggu capital gain yang di masa depan. 3) Tax Differential Theory Teori ini didasarkan atas pada perbedaan pajak antara dividen dengan keuntungan modal (capital gain). Pajak atas dividen harus dibayarkan pada tahun saat dividen tersebut diterima, sedangkan pajak atas capital gain tidak dibayarkan sampai saham dijual. Adanya keunggulan pajak tersebut maka membuat investor lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak dibandingkan dengan dividen. Menurut Wiagustini (2010:257) faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen pada umumnya meliputi: 1) Posisi kas atau likuiditas perusahaan mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk membayarkan dividen. Bagi perusahaan yang memiliki laba ditahan yang cukup, tetapi manajemen memutuskan untuk menginvestasikan ke dalam aktiva riil, maka perusahaan tidak dapat membayar dividen dalam bentuk kas. 2) Kebutuhan pembayaran kembali utang perusahaan juga berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. Adanya batasan dalam perjanjian pinjaman kepada kreditur, seperti misalnya pembayaran dividen hanya dapat dilakukan setelah laba yang tersedia bagi pemegang saham dikurangi
dengan angsuran pinjaman atau apabila modal kerja mencapai tingkat tertentu. Di samping itu persetujuan pemegang saham preferen di mana menuntut hak pembayaran dividen sebelum pembayaran dividen kepada pemegang saham biasa, 3) Tingkat ekspansi yang tinggi memerlukan dana yang besar, sehingga laba yang diperoleh lebih baik ditahan. Stabilitas earning memungkinkan perusahaan untuk mempertahankan payout ratio yang tinggi. 4) Akses perusahaan di pasar modal juga berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Aksesibilitas perusahaan ini dipengaruhi oleh usia dan skala perusahaan, bagi perusahaan yang sudah established lebih mudah mempertahankan payout ratio yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang kecil. 5) Posisi pemegang saham dalam kelompok pajak juga berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Kepemilikan perusahaan oleh investor yang kecil cenderung untuk memiliki payout yang tinggi. Sedangkan kepemilikan perusahaan oleh pemegang saham yang termasuk dalam kelompok pembayar pajak besar akan lebih menyukai untuk mempertahankan payout yang rendah. Lebih lanjut posisi pembayaran pajak perusahaan berpengaruh pula terhadap kebijakan dividen. Kemungkinan adanya penalti atas kelebihan akumulasi laba ditahan mungkin akan mendorong untuk memilih payout yang lebih tinggi. Menurut
Brigham
dan
Houston
(2010:231)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kebijakan dividen adalah (1) pembatasan pembayaran dividen, (2) peluang investasi, (3) ketersediaan dan biaya sumber-sumber modal alternatif, (4)
dampak kebijakan dividen pada biaya laba ditahan. Menurut Junaedi (2013) pertumbuhan, risiko, profitabilitas dan kesempatan investasi berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Menurut Umi (2014) free cash flow, return on asset, total asset turn over dan sales growth berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Penelitian ini menggunakan
faktor investment opportunity set, total asset turn over dan sales
growth, karena investment opportunity set, total asset turn over dan sales growth merupakan beberapa faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen. Proksi kebijakan dividen yang dipakai dalam penelitian ini adalah dividend payout ratio. Dividend Payout Ratio adalah rasio perbandingan antara total dividen yang dibayarkan dengan laba bersih yang didapatkan dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase. Rasio ini akan menentukan antara jumlah laba yang akan dibagi dalam bentuk dividen kepada para pemegang saham dan laba yang akan ditahan sebagai sumber pendanaan perusahaan (Umi,2014). Menurut Endiana dkk (2012) secara matematis, dividen payout ratio dapat dinyatakan dengan rumus (dengan satuan persentase) : =
ℎ ℎ
× 100% … … … … … … … … . (1)
2.1.2 Investment Opportunity Set Istilah Investment Opportunity Set (IOS) muncul setelah dikemukakan oleh Myers (1977) memandang nilai perusahaan sebagai sebuah kombinasi assets in place
(asset yang dimiliki) dengan investment options (pillihan investasi) di masa yang akan datang. Pilihan investasi merupakan suatu kesempatan untuk berkembang, namun seringkali perusahaan tidak selalu dapat melaksanakan semua kesempatan investasi di masa yang akan datang. Bagi perusahaan yang tidak dapat menggunakan kesempatan investasi akan mengalami pengeluaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kesempatan yang hilang. Gaver dan Gaver (1993) menyatakan nilai investment opportunity set ini bergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen dimasa yang akan datang (future discretionary expenditure) yang pada saat ini merupakan pilihanpilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan return yang lebih besar dari biaya modal dan dapat menghasilkan keuntungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa Investment Opportunity Set menggambarkan tentang luasnya kesempatan atau peluang investasi bagi suatu perusahaan, namun sangat tergantung pada pilihan expenditure perusahaan untuk kepentingan di masa yang akan datang. Maka dengan demikian Investment Opportunity Set bersifat tidak dapat diobservasi sehingga perlu dipilih suatu proksi yang dapat dihubungkan dengan variabel lain (Norpratiwi, 2004). Kallapur dan Trombley (1999) menyatakan proksi investment opportunity set yang digunakan dalam bidang keuangan digolongkan menjadi 3 jenis yaitu: 1) Proksi IOS berbasis pada harga Proksi IOS berbasis pada harga merupakan proksi yang menyatakan bahwa prospek pertumbuhan perusahaan sebagian dinyatakan dalam harga pasar.
Proksi berdasarkan anggapan yang menyatakan bahwa prospek pertumbuhan perusahaan secara parsial dinyatakan dalam harga-harga saham dan perusahaan yang tumbuh akan memiliki nilai pasar yang lebih tinggi secara relatif untuk aktiva-aktiva yang dimiliki dibandingkan perusahaan yang tidak tumbuh. IOS yang didasari pada harga akan berbentuk suatu rasio sebagai suatu ukuran aktiva yang dimiliki dan nilai pasar perusahaan. Proksi IOS yang merupakan proksi berbasis harga adalah : Market value of equity plus book value of debt, Ratio of book to market value of asset, Ratio of book to market value of equity, Ratio of book value of property, plant and equipment to firm value, Ratio of replacement value of assets to market value, Ratio of depreciation expense to value dan Price Earning Ratio. 2) Proksi IOS berbasis pada investasi Proksi IOS berbasis pada investasi merupakan proksi yang percaya pada gagasan bahwa suatu level kegiatan investasi yang tinggi berkaitan secara positif dengan nilai IOS suatu perusahaan. Proksi IOS yang merupakan proksi IOS berbasis investasi adalah : Ratio R&D expense to firm value, Ratio of R&D expense to total assets, Ratio of R&D expense to sales, Ratio of capital addition to firm value, dan Ratio of capital addition to asset book value. 3) Proksi IOS berbasis pada varian Proksi IOS berbasis pada varian merupakan proksi yang mengungkapkan bahwa suatu opsi akan menjadi bernilai jika menggunakan variabilitas ukuran untuk memperkirakan besarnya opsi yang tumbuh seperti variabilitas return
yang mendasari peningkatan aktiva. Proksi IOS berbasis varian adalah : VARRET (variance of total return) dan Market model Beta. Proksi IOS yang dipilih dalam penelitian ini adalah proksi IOS yang digunakan oleh Gaver & Gaver (1993) yang merupakan proksi IOS yang paling valid. Rasio Market to Book Value of Equity merupakan proksi IOS berdasarkan harga. Proksi ini menggambarkan permodalan suatu perusahaan. Rasio ini dapat diperoleh dengan mengalikan jumlah lembar saham beredar dengan harga penutupan saham terhadap total ekuitas. Menurut Dithi (2012), secara matematis Market to book value of equity ratio (MBVE) dapat dinyatakan dengan rumus (dengan satuan persentase) : =
ℎ
ℎ
×
× 100%. . (2)
2.1.3 Total Asset Turn Over Beberapa industri terkadang memiliki rasio total asset turn over tinggi karena dalam industri ini ada persaingan harga yang sengit. Untuk bisa memperoleh penjualan yang tinggi sebuah perusahaan harus bekerja keras memutar asetnya. Total asset turn over merupakan perbandingan antara penjualan dengan total aktiva suatu perusahaan dimana rasio ini menggambarkan kecepatan perputaran total aktiva dalam satu periode tertentu. Total Asset Turn over merupakan ukuran rasio aktivitas yang digunakan untuk
mengukur
sampai
seberapa
besar
efektivitas
perusahaan
dalam
menggunakan asetnya. Perputaran aktiva yang tinggi akan mencerminkan kinerja
perusahaan secara finansial. Dengan begitu, semakin tinggi perputaran aktiva perusahaan berarti semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam membagikan dividennya, dan juga sebaliknya (Amalia, 2013). Umi (2014) mengemukakan bahwa Rasio Perputaran Total Aktiva (Total Assets Turn over) menunjukkan efektivitas penggunaan seluruh harta perusahaan dalam rangka menghasilkan penjualan atau menggambarkan berapa rupiah penjualan bersih (Net Sales) yang dapat dihasilkan oleh setiap rupiah yang diinvestasikan dalam bentuk harta perusahaan. Jika perputarannya lambat, ini menunjukkan bahwa aktiva yang dimiliki terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan untuk menjual. Menurut Djarwanto (2004), rasio total asset turn over bertujuan untuk mengukur pendayagunaan aktiva usaha (Operating Asset) yakni apakah misalnya terjadi kecederungan kelebihan investasi dalam aktiva dalam kaitannya dengan volume penjualan yang dicapai. Pada umumnya semakin tinggi perputaran aktiva, semakin efisien penggunaan aktiva tersebut. Total Aktiva
(total asset turn over)
merupakan rasio aktivitas yang
digunakan untuk mengukur sampai seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan sumber dayanya yang berupa
asset. Semakin tinggi efisien
penggunaan asset maka semakin cepat pengembalian dana dalam bentuk kas (Abdul Halim, 2007). Total asset turn over sendiri merupakan rasio antara penjualan dengan total aktiva yang mengukur efisiensi penggunaan aktiva secara keseluruhan. Apabila rasio rendah itu merupakan indikasi bahwa perusahaan beroperasi pada volume yang memadai bagi kapasitas investasinya. Apabila perusahaan tidak menghasilkan volume
usaha yang cukup untuk ukuran investasi sebesar total aktivanya, penjualan harus ditingkatkan. Apabila dalam menganalisis rasio TATO selama beberapa periode menunjukkan suatu trend yang cenderung meningkat, memberikan gambaran bahwa semakin efisien penggunaan aktiva. TATO dipengaruhi oleh
besar kecilnya
penjualan dan total aktiva, baik lancar maupun aktiva tetap. Karena itu, TATO dapat diperbesar dengan menambah aktiva pada satu sisi dan pada sisi lain diusahakan agar penjualan dapat meningkat relatif lebih besar dari peningkatan aktiva atau dengan mengurangi penjualan disertai dengan pengurangan relatif terhadap aktiva, (Pieter Leunupun, 2003). Total assets turn over merupakan rasio yang menggambarkan perputaran aktiva diukur dari volume penjualan. Jadi semakin besar rasio ini semakin baik yang berarti bahwa aktiva dapat lebih cepat berputar dan meraih laba dan menunjukkan semakin efisien penggunaan keseluruhan aktiva dalam menghasilkan penjualan. Menurut Ang (1997) semakin besar total asset turn over akan semakin baik, karena semakin efisien seluruh aktiva yang digunakan dalam menunjang kegiatan. Dengan kata lain jumlah asset yang sama dapat memperbesar volume penjualan apabila assets turn over ditingkatkan atau diperbesar. Total asset turn over penting bagi para kreditur dan pemilik perusahaan, tapi akan lebih penting lagi bagi manajemen perusahaan, karena hal ini akan menunjukkan efisien tidaknya penggunaan seluruh aktiva dalam perusahaan. Menurut
Umi (2014), secara matematis total asset turn over dapat dinyatakan dengan rumus (dengan satuan persentase): =
× 100% … … … … … … … … … … … (3)
2.1.4 Sales Growth Perusahaan yang memiliki pertumbuhan yang tinggi harus menyediakan modal yang cukup untuk membiayai belanja perusahaan . Modal sendiri yang menggunakan
laba menempati
urutan pertama
sebagai
sumber pembiayaan
mengingat biaya modal menggunakan laba ditahan lebih murah. Rozeff (1982) berpendapat bahwa bilamana faktor lain tetap konstan sedangkan perusahaan mengalami pertumbuhan yang pesat maka perusahaan membutuhkan dana investasi untuk menciptakan angka penjualan. Nilai perusahaan yang tinggi tercermin dalam harga saham yang tinggi. Harga saham yang tinggi pada suatu perusahaan akan menarik investor untuk menanamkan modal pada perusahaan tersebut dan dapat memicu pertumbuhan angka penjualan perusahaan. Semakin tinggi pertumbuhan perusahaan maka kebutuhan dana investasi semakin tinggi. Dana investasi tersebut akan diambil dari laba ditahan dalam proporsi tertentu. Semakin besar proporsi laba ditahan yang diambil maka semakin kecil proporsi laba yang akan dibagikan. Menurut
Damayanti dan Achyani (2006), semakin
tinggi tingkat
pertumbuhan suatu perusahaan, akan semakin besar kebutuhan dana untuk membiayai ekspansi perusahaan. Semakin besar kebutuhan dana di masa yang
akan datang, akan semakin memungkinkan perusahaan menahan keuntungan dan tidak membayarkannya sebagai dividen. Potensi pertumbuhan perusahaan menjadi faktor penting yang menentukan kebijakan dividen. Pertumbuhan penjualan mencerminkan keberhasilan investasi periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi pertumbuhan masa yang akan datang (Barton et al., 1989). Pertumbuhan penjualan merupakan indikator permintaan dan daya saing perusahaan dalam suatu industri. Laju pertumbuhan suatu perusahaan akan mempengaruhi
kemampuan
mempertahankan
keuntungan
dalam
menandai
kesempatan-kesempatan pada masa yang akan datang. Pertumbuhan penjualan tinggi,maka akan mencerminkan pendapatan meningkat sehingga pembayaran dividen cenderung meningkat. Menurut Tita (2011) Pertumbuhan perusahaan dalam manajemen keuangan diukur berdasar perubahan penjualan, bahkan secara keuangan dapat dihitung berapa pertumbuhan yang seharusnya (sustainable growth rate) dengan melihat keselarasan keputusan investasi dan pembiayaan. Pertumbuhan perusahaan akan menimbulkan konsekuensi pada peningkatan investasi atas aktiva perusahaan dan akhirnya membutuhkan penyediaan dana untuk membeli aktiva. Secara keuangan tingkat pertumbuhan dapat ditentukan dengan mendasarkan pada kemampuan keuangan perusahaan. Tingkat pertumbuhan yang ditentukan dengan hanya melihat kemampuan keuangan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tingkat
pertumbuhan
atas
kekuatan
sendiri
dan
tingkat
pertumbuhan
berkesinambungan. Tingkat pertumbuhan atas kekuatan sendiri merupakan tingkat
pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai perusahaan tanpa membutuhkan dana eksternal atau tingkat pertumbuhan yang hanya dipicu oleh tambahan atas laba ditahan. Tingkat pertumbuhan berkesinambungan adahlah tingkat pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai perusahaan tanpa melakukan pembiayaan modal tetapi dengan memelihara perbandingan antara hutang dengan modal. Menurut Santi (2013), Pertumbuhan atas penjualan merupakan indikator penting dari penerimaan pasar dari produk dan atau jasa perusahaan tersebut, dimana pendapatan yang
dihasilkan dari penjualan akan dapat
digunakan untuk
mengukur tingkat pertumbuhan penjualan. Berkaitan dengan pertumbuhan penjualan, perusahaan harus mempunyai strategi yang tepat agar dapat memenangkan pasar dengan menarik konsumen agar selalu memilih produknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penjualan harus benar-benar diperhatikan, dengan mengetahui faktorfaktor
tersebut
perusahaan
akan
dapat
menetapkan
kebijaksanaan
untuk
mengantisipasi kondisi tersebut sehingga perusahaan dapat menjual produk dalam jumlah besar dan volume penjualan akan meningkat pula. Meningkatnya laba perusahaan maka keuntungan yang diperoleh para investor akan meningkat. Menurut Brigham dan Houston (2010:39) perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil dapat lebih aman memperoleh lebih banyak pinjaman dan menangung beban tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan dengan penjualannya yang tidak stabil. Horne dan Machowicz (2010:223) mengemukakan teori bahwa tingkat pertumbuhan penjualan adalah hasil perbandingan antara selisih penjualan tahun berjalan dan penjualan di tahun sebelumnya dengan penjualan di
tahun sebelumnya. Menurut Khoirul dan Ririn (2013), secara matematis Sales growth dapat dinyatakan dengan rumus (dengan satuan persentase) :
ℎ=
−
× 100% … … … … … … … . (4)
2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Investment Opportunity Set Terhadap Kebijakan Dividen Apabila kondisi perusahaan sangat baik maka pihak manajemen akan cenderung lebih memilih investasi baru daripada membayar dividen yang tinggi. Dana yang seharusnya dapat dibayarkan sebagai dividen tunai kepada pemegang saham akan digunakan untuk pembelian investasi yang menguntungkan, bahkan untuk mengatasi masalah underinvestment. Perusahaan yang mengalami pertumbuhan lambat cenderung membagikan dividen lebih tinggi untuk mengatasi masalah overinvestment. Hasil penelitian Budi (2009) menemukan arah hubungan variabel peluang investasi kepada kebijakan dividen bernilai negatif. Dimana hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi peluang investasi, perusahaan akan cenderung memberikan dividen yang rendah. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Putri (2011), Ahmad (2009), Abor & Bokpin (2010), Martazela et al. (2014), Gul & Keale (1999) dan Subramaniam et al., (2011) bahwa variabel investment opportuniy set
dinyatakan memiliki pengaruh
yang
negatif
dan
signifikan
terhadap
dividend payout ratio. Berdasarkan
dengan teori dan hasil penelitian
empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut. H1 : Investment Opportunity Set berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada sektor industri barang konsumsi di BEI. 2.2.2 Pengaruh Total Asset Turn Over Terhadap Kebijakan Dividen Total asset turn over adalah untuk mengukur efisiensi penggunan aktiva untuk menghasilkan penjualan. Dalam mencari hubungan antara perputaran aktiva dengan rentabilitas ekonomi, menggunakan perhitungan rasio aktivitas, yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menggunakan dana yang tersedia yang tercermin dalam perputaran modalnya. Rasio total asset turn over biasanya tinggi karena dalam industri ini ada persaingan harga. Dengan kata lain, untuk bisa memperoleh penjualan yang tinggi sebuah perusahaan harus bekerja keras memutar asetnya (Riccardo, 2012). Semakin tinggi perputaran aktiva perusahaan berarti semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam membagikan dividennya, dan juga sebaliknya (Amalia, 2013). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Dwi (2010), Ike (2014) dan Purwanti (2010) yang mengemukakan bahwa variabel total asset turn over berpengaruh positif dan
signifikan
terhadap
kebijakan dividen.
Berdasarkan dengan teori dan hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut. H2 : Total asset turn over berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada sektor industri barang konsumsi di BEI.
2.2.3. Pengaruh Sales Growth Terhadap Kebijakan Dividen Suatu perusahaan menyediakan modal
yang
yang
memiliki pertumbuhan
cukup
untuk membiayai
yang
tinggi harus
belanja
perusahaan.
Pertumbuhan penjualan mencerminkan keberhasilan investasi periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi pertumbuhan masa yang akan datang. Nilai perusahaan yang tinggi tercermin dalam harga saham yang tinggi. Harga saham yang tinggi pada suatu perusahaan akan menarik investor untuk menanamkan modal
pada
perusahaan
tersebut
dan
dapat
memicu
pertumbuhan angka
penjualan perusahaan. Semakin tinggi pertumbuhan perusahaan maka kebutuhan dana investasi semakin tinggi. Dana investasi tersebut akan diambil dari laba ditahan dalam proporsi tertentu. Semakin besar proporsi laba ditahan yang diambil maka semakin kecil proporsi laba yang akan dibagikan. Menurut
Damayanti dan Achyani (2006), semakin
tinggi tingkat
pertumbuhan suatu perusahaan, akan semakin besar kebutuhan dana untuk membiayai ekspansi perusahaan. Semakin besar kebutuhan dana di masa yang akan datang, akan semakin memungkinkan perusahaan menahan keuntungan dan tidak membayarkannya sebagai dividen. Potensi pertumbuhan perusahaan menjadi faktor penting yang menentukan kebijakan dividen. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Gill et al. 2010), Kania & Bacon (2005), Leon & Putra (2014), Maladjian & El (2014), Darminto (2007), Hikmah dan Hastuti (2013) dan Latiefasari (2011) menunjukan bahwa sales growth berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kebijakan dividen. Berdasarkan dengan teori dan hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut. H3 : Sales growth berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada industri barang konsumsi di BEI.