BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Teori Belajar Belajar secara umum adalah terjadinya perubahan pada diri orang belajar karena pengalaman Prof. Dr. Max Darsono, dkk, (2000:4). Sedangkan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah kearah yang lebih baik Prof. Dr. Max Darsono, dkk, (2000:24). Pembelajaran menurut Gestalt adalah usaha guru untuk memberikan materi pembelajaran sedemikian rupa, sehingga siswa lebih mudah mengorganisirnya (mengaturnya) menjadi suatu pola bermakna. Gestalt juga mengungkapkan bahwa belajar adalah perubahan perilaku individu yang terjadi melalui pengalaman. 2.1.2 Pembelajaran Bahasa Indonesia Menurut M. Ngalim Purwanto (1997:4) dalam metodologi pengajaran bahasa Indonesia, menyebutkan bahwa bahasa memungkinkan manusia untuk saling berhubungan (berkomunikasi), saling berbagi pengalaman, saling belajar dari orang lain, memahami orang lain, menyatakan diri, dan meningkatkan kemampuan intelektual. Mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah program untuk mengembangkan pengetahuan, mempertinggi kemampuan berbahasa, dan menumbuhkan sikap posisitp terhadap Bahasa Indonesia. Disebutkan pula bahwa pendidikan Bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek penting yang perlu diajarkan kepada para siswa di sekolah. Oleh karena itu, mata pelajaran Bahasa Indonesia diibaratkan seperti ulat yang hendak bermetamofosis menjadi kupu-kupu. M. Ngalim Purwanto (1997:4) juga menyebutkan ruang lingkup pembelajaran Bahasa Indonesia meliputi: a) penguasaan Bahasa Indonesia; b) kemampuan memahami; c) keterampilan berbahasa/menggunakan bahasa untuk segala macam keperluan apresiasi sastra.
5
6
Menurut M. Ngalim Purwanto (1997:5) pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki tujuan, antara lain: 1) Tujuan umum: a. Siswa menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara. b. Siswa memahami bahasa dari segi bentuk, makna, dan fungsi, untuk bermacam tujuan/keperluan dan keadaan. c. Siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual (berpikir kreatif, menggunakan akal sehat, menerapkan pengetahuan yang berguna; memecahkan masalah, kematangan emosional, dan sosial). d. Siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluan wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa 2) Tujuan khusus: a. Tujuan khusus dalam lingkup kebahasaan antara lain: 1) Siswa memahami cara penulisan kata-kata berimbuhan, kata ulang, dan tanda baca dalam kalimat. 2) Siswa memahami bentuk dan makna imbuhan. 3) Siswa memahami ciri-ciri kalimat berita dan kalimat perintah. 4) Siswa memahami ucapan kalimat langsung dan tidak langsung. 5) Siswa memahami dan dapat mengaplikasikan makna kata umum dan kata khusus. 6) Siswa memahami dan dapat menggunakan makna ungkapan dan peribahasa. 7) Siswa memahami perbedaan dan dapat menggunakan sinonim dan antonim. 8) Siswa mampu membedakan bentuk puisi, prosa, dan drama secara sederhana dan dapat menikmatinya. b. Tujuan khusus dalam lingkup pemahaman bahasa antara lain: 1) Siswa mampu memperoleh informasi dan memberi tanggapan dengan tepat dalam berbagai hal kegiatan (mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, dan menulis).
7
2) Siswa mampu menyerap pengungkapan perasaan orang lain secara lisan dan memberi tanggapan yang cepat dan tepat. 3) Siswa mampu menyerap pesan, gagasan, dan pendapat orang lain dari berbagai sumber, baik tertulis maupun lisan. 4) Siswa memperoleh kenikmatan dan manfaat dari mendengarkan. 5) Memahami dan dapat mengevaluasi isi bacaan dengan tepat. 6) Siswa mampu mencari sumber, mengumpulkkan, dan menyerap informasi yang diperlukannya. 7) Siswa mampu menyerap isi dan pengungkapan perasaan melalui bacaan dan menanggapinya secara tepat. 8) Siswa memiliki kegemaran membaca untuk meningkatkan pengetahuan dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari dan membaca karya-karya sastra. c. Tujuan khusus dalam lingkup penggunaan antara lain: 1)
Siswa mampu memberikan berbagai informasi secara lisan.
2) Siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, pengalaman dan pesan secara lisan. 3) Siswa mampu mnegungkapkan perasaan secara lisan. 4) Siswa mampu berinteraksi dan menjalin hubungan dengan orang lain secara lisan. 5) Siswa memiliki kepuasan dan kesenangan berbicara. 6) Siswa mampu menuangkan pengalaman dan gagasannya secara tertulis dengan jelas. 7) Siswa mampu mengungkapkan perasaan secara tertulis dengan jelas. 8) Siswa mampu menuliskan informasi sesuai dengan konteks keadaan. 2.1.3 Menulis Menulis merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam seluruh proses belajar yang dialami siswa selama menuntut ilmu di sekolah. Menulis merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara (Wikipedia Indonesia, 2006) Menulis memerlukan keterampilan karena diperlukan latihan-latihan yang berkelanjutan dan terus-menerus menurut Dawson, dkk, dalam
8
Nurchasanah (1997:68). Secara garis besar, menulis adalah bentuk dari komunikasi yang membutuhkan keterampilan agar menghasilkn tulisan yang baik. Menurut Johana Pantow, dkk. (2002) menyebutkan bahwa menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus dimiliki oleh orang yang menggunakan bahasa atau yang mempelajari suatu bahasa. Puji Arya Yanti, (2007) mengatakan bahwa dengan menulis seorang anak dapat membenamkan diri ke dalam proses kreatif, yakni anak dapat menciptakan sesuatu yang juga berarti melontarkan pertanyaan-pertanyaan, mengalami keraguan dan kebingungan, sampai akhirnya menemukan pemecahan. Tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran menulis adalah agar siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat dan pengetahuan secara tertulis serta memiliki kegemaran menulis (Depdikbud, 1997). Puji Arya Yanti (2007) menyebutkan bahwa dengan kegiatan menulis anak dapat memperoleh manfaat, antara lain: 1. Anak dapat menyatakan perasaannya tentang apa yang dialami dalam bentuk tulisan. 2. Anak dapat menyatukan pikiran ketika menuangkan ide dengan kata-kata. 3. Anak dapat menunjukkn kasih kepada sesama, misalnya dengan menulis surat ucapan terimakasih atau ulang tahun kepada orang tua, teman, bahkan guru. 4. Anak dapat meningkatkan daya ingat dengan cara membuat dan menulis informasi tentang sesuatu. 2.1.4 Menulis Deskripsi Menulis deskripsi menurut Puji Arya Yanti, (2007) dapat dilakukan dengan cara menuliskan kalimat-kalimat deskripsi dari gambar-gambar yang mereka miliki. Kegiatan menulis deskripsi ini dapat merangsang anak untuk mengungkapkan suatu bentuk/benda yang dipahami anak melalui tulisan. Anak-anak dapat diminta untuk menulis kalimat-kalimat deskripsi dari gambargambar (sesuai dengan materi pelajaran yang disampaikan) yang dipasang di kelas. Untuk me-review, anak-anak dapat diminta untuk memasangkan kalimat-kalimat itu sesuai dengan gambar-gambar tersebut. Sebagai kreasi dalam pelajaran, anak-anak dapat menulis deskripsi tentang binatang-binatang dan memasangkannya dengan foto binatang yang tersedia.
9
2.1.5 Media gambar Purwanti dan Eldarni (2004: 4) dalam Wijaya Kusumah (2007) mengungkapkan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim pesan ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses pembelajaran. Penggolongan media pembelajaran menurut Gerlach dan Ely yang dikutip oleh Rohani (1997:16) dalam Wijaya Kusumah (2007), yaitu: 1) Gambar diam, baik dalam teks, bulletin, papan display, slide, film strip, atau overhead proyector. 2) Gambar gerak, baik hitam putih maupun berwana, baik bersuara maupun yang tidak bersuara. 3) Rekaman bersuara baik dalam kaset maupun dalam piringan hitam. 4) Televisi. 5) Benda-benda hidup simulasi maupun model. 6) Instrisional berprogram ataupun CAI (Computer Assisten Instruction). D. Syahrudin (2007) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa : a. Media gambar dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis karangan di sekolah dasar. b. Penggunaan media gambar dalam pembelajaran lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkembangkan motivasi belajar, dan dapat mengatasi keterbatasan pengalaman siswa dalam berimajinasi dan berekespresi. c. Kendala yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis karangan dengan menggunakan media gambar adalah keterbatasan waktu, karena pada umumnya guru sekolah dasar mengajarkan beberapa bidang studi dalam satu kelas. 2.1.6 Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan salah satu metode yang mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan benda nyata. Metode ini juga merupakan salah satu metode yang cocok dipakai dalam pembelajaran kelas rendah dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terutama dalam pembelajaran menulis. Metode ini menjadi penting karena tingkat pengetahuan siswa kelas rendah
10
dalam pemahaman suatu benda masih abstrak sehingga diperlukan media yang sebenarnya agar siswa dengan mudah menuliskan sifat-sifat benda tersebut. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari suatu permasalahan ke permasalahan lain, dari suatu konteks ke konteks lain. Pengalaman awal siswa merupakan material yang sangat berharga. Pengalaman awal ini dapat tumbuh dan berkembang dari lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar. Dengan layanan guru yang memadai melalui berbagai bentuk penugasan, siswa belajar bekerja sama untuk menyelesaikan masalah (problem-based learning) dan saling menghargai sehingga hubungan antarsiswa akan lebih harmonis. Siswa yang merasa "kurang" dapat belajar bersama-sama siswa yang pandai mengerjakan dan mempertanggungjawabkan proyek yang ditugaskan menurut Zaenuri Mastur, (2004). Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Wina Sanjaya, 2007: 253). Pendekatan kontekstual mendorong peran aktif siswa dalam pembelajaran, sehingga siswa dapat belajar efektif dan bermakna. Sarah R Predmore (2005: 23) mengutarakan bahwa “CTL can be especially engaging for those students who dismiss school as boring” yang diartikan bahwa CTL dapat menjadi kejutan manis untuk siswa yang mengalami kesulitan sekolah seperti kebosanan. Hal ini merupakan kabar yang menyenangkan bagi dunia pendidikan terutama bagi siswa yang selama ini mengalami kesulitan dalam belajar. Pembelajaran kontekstual berhubungan dengan: 1) fenomena kehidupan sosial masyarakat, bahasa, lingkungan hidup, harapan, dan cita-cita yang tumbuh; 2) fenomena dunia pengalaman pengetahuan murid; dan 3) kelas sebagai fenomena sosial. Kontekstualitas merupakan fenomena yang bersifat alamiah, tumbuh dan terus berkembang, serta beragam karena berkaitan dengan fenomena kehidupan sosial masyarakat. Kaitannya dengan ini, pembelajaran pada dasarnya merupakan aktivitas mengaktifkan, menyentuhkan, mempertautkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan
11
membentuk pemahaman melalui penciptaan kegiatan, pembangkitan penghayatan, internalisasi, proses penemuan jawaban pertanyaan, dan rekontruksi pemahaman melalui refleksi yang berlangsung secara dinamis. Suatu proses belajar mengajar dikatakan bermakna jika siswa dapat mengaitkan pelajaran yang didapatnya dengan kehidupan nyata yang mereka alami. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual sebagai sebuah sistem mengajar didasarkan pada pikiran bahwa makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya (Elaine B Johnson 2009: 34). Konteks memberikan makna pada isi. Semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya bagi mereka. Strategi pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran (Wina Sanjaya, 2007: 253). Siswa didorong untuk mempelajari materi pelajaran sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya. Menurut Shaw M Glynn dan Linda K Winter (2004: 60) “teachers collaborated with their students by sharing decision making with them and respecting the decisions their students made, which empowered their student and prmoted autonomous learning” yang secara bebas diartikan bahwa guru berkolaborasi dengan siswanya dengan tukar pikiran membuat kesimpulan dengan mereka dan menanggapi kesimpulan siswanya, yang memusatkan kekuasaan pada siswa dan siswa didorong untuk belajar mandiri. Di sini guru bukan sebagai penyampai bahan belajar melainkan sebagai pembimbing apabila siswa megalami kesulitan. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menuntut siswa yang belajar untuk aktif dan kreatif. Belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman secara langsung (Wina Sanjaya, 2007: 253). Melalui proses berpengalaman itu diharapkan perkembangan siswa terjadi secara utuh, yang tidak hanya berkembang dalam aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik. Pendekatan kontekstual juga menuntut guru untuk aktif dalam mengaitkan antara materi dengan situasi dunia luar yang dijalani oleh siswa. Pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL), merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
12
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Berpijak dari berbagai pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa strategi atau pendekatan kontekstual menrupakan strategi pembelajarn yang membawa situasi dunia nyata ke dalam pembelajaran di kelas sehingga belajar akan lebih mudah dan menyenangkan. Selain itu, belajar akan lebih bermakna. Proses pembelajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu: 1) Mengaitkan (relating) Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketika ia mengaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Pendapat lainnya diutarakan oleh Michael Crawford dan Mary witte “relating is the most powerful contextual teaching strategy and is at the heart of constructivism” (1999: 35) yang secara bebas diartikan bahwa keterhubungan adalah kekuatan terpenting dalam pembelajaran kontekstual dan itu juga merupakan makna/inti dari konstruktivisme. Dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru merupakan kekuatan pendekatan kontekstual yang sekaligus merupakan inti dari konstruktivisme. 2) Mengalami (experiencing) Mengalami merupakan inti belajar kontekstual yang pada akhirnya akan mengaitkan atau menghubungkan informasi baru dengan pengalaman maupun pengetahuan sebelumnya. Michael Crawford dan Mary Witte (1999: 35) mengatakan bahwa “relating draw on the life experiences that students bring to the classroom. Teacher also help students construct new knowledge by orchestratrating hand-on experiences inside the classroom” yang artinya kertehubungan berkembang dalam membantu siswa membangun pengetahuan baru dengan menyusun sendiri pengalamannya di dalam kelas. Belajar dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif. 3) Menerapkan (applying) Siswa menerapkan suatu konsep ketika melakukan kegiatan pemecahan masalah. Crawford dan Mary Witte mengungkapkan bahwa “applying as learning by putting the
13
concept to use” yang artinya aplikasi ini seperti belajar dengan mengambil konsep untuk digunakan. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikan latihan yang realistis dan relevan. 4) Bekerjasama (cooperating) Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata. Menurut Crawford dan Mary Witte (1999:37) “working with their peers in small groups most student feel less selfconsciousness and can ask questions without a threat of embarrassment” yang diartikan bahwa bekerja dengan teman sebaya dalam kelompok kecil membuat banyak siswa percaya diri dan dapat mengungkapkan pertanyaanpertanyaan yang berhubungan dengan ancaman kesukaran dalam pembelajarannya. 5) Mentransfer (transferring) Peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan fokus pada pemahaman bukan hafalan. a. Komponen Pembelajaran Kontekstual Menurut Wina Sanjaya (2007: 262) CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki tujuh asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Sering kali asas-asas ini disebut juga komponen-komponen CTL. Selanjutnya ketujuh asas dijelaskan di bawah ini: 1) Konstruktivisme (constructivism) Konstruktivisme merupakan landasan berpikir CTL. Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar yang membuat siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, dengan dilandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu
14
memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan itu menjadi milik mereka sendiri. Menurut Dr. Zolazlan Hamidi (2001) kaidah pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah proses pembelajaran yang merangkumkan contoh yang diterbitkan daripada pengalaman harian dalam kehidupan pribadi masyarakat serta profesi dan menyajikan aplikasi hands-on yang nyata tentang bahan yang akan dipelajari. Dikdasmen Diknas (2002:10-19), menyebutkan bahwa ada 7 (tujuh) unsur yang harus ada dalam pembelajaran kontekstual, yaitu: 1) Constructivisme, artinya bahwa dalam pembelajaran kontekstual harus dapat membangun dan membentuk konsep atau pengetahua baru. 2) Inquiry, artinya bahwa dalam pembelajaran kontekstual harus ada penemuan suatu konsep atau pengetahuan baru dari proses yang dilakukan sendiri oleh siswa. 3) Questioning, dalam pembelajaran harus muncul banyak pertanyaan untuk menggiring siswa dalam menentukan konsep baru. 4) Modeling, dalam pembelajaran kontekstual harus ada contoh atau model yang dijadikan media dalam pembelajaran tersebut, khususnya bidang keterampilan. 5) Community Learning, dalam pembelajaran kontekstual harus dapat diciptakan masyarakat belajar. Dalam hal ini siswa belajar dalam bentuk kelompok untuk melakukan kerja sama. 6) Reflection, artinya bahwa konsep pengetahuan yang telah ditemukan dapat direfleksikan agar memiliki makna dalam kehidupan siswa. 7) Authentic Assessment, pembelajaran kontekstual harus dinilai berdasarkan kenyataan yang ada (proses dan hasil) melalui berbagai macam alat dan jenis penilaian.
15
Berikut ini adalah kisi-kisi instrumen untuk menilai penerapan pendekatan kontekstual dalam usaha meningkatkan hasil belajar pada pelajaran Bahasa Indonesia selama penerapan tindakan dilakukan.
No I.
Kompetensi Dasar
Materi
8.1 Mendeskripsikan tumbuhan atau binatang di sekitar secara sederhana dengan bahasa tulis
Deskripsi tumbuha n atau binatang
Indikator
Penilaian
1. Tes tertulis Mendeskrisikan bunga/binatang secara tertulis.
Betuk soal Jawaban singkat
No Soal
As pek
1
(C3)
.
Penerapan
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
adalah sebagai berikut : Tahap
Pendahuluan
Kegiatan Inti
Penutup
2.1.7
Uraian Kegiatan Pembelajaran 1. Apersepsi Siswa menyimak tayangan guru tentang dunia flora fauna dilanjutkan tanya jawab tentang bunga / binatang kesukaan. 2. Siswa menyimak tujuan pembelajaran dari guru. 3. Siswa menyimak langkah-langkah pembelajaran dari guru 1. Siswa mengamati gambar bunga / binatang yang ditunjukkan guru 2. Siswa mengelompokkan gambar 3. Siswa bertanya jawab tentang ciri-ciri bunga / binatang pada gambar yang ditujukkan (eksplorasi) 4. Siswa mengidentifikasi sifat-sifat bunga / binatang pada gambar yang ditunjukkan (eksplorasi) 5. Siswa mendeskripsikan bunga pada gambar yang ditunjukkan secara lisan (eksplorasi) 6. Siswa mendeskrisikan bunga pada gambar yang ditunjukkan secara tertulis(elaborasi) 7. Siswa menukar hasil pekerjaan dengan teman sebangku untuk dibaca. 8. Siswa merevisi tulisan jika masih ada kekeliruan(elaborasi) Refleksi siswa bersama guru
Hasil Belajar
2.1.7.1 Hasil Belajar Menurut Romiszowski (1981) “Hasil belajar merupakan keluaran (output) dari suatu sistem pemrosesan masukan (input).
Masukan dari sistem tersebut berupa
16
bermacam-macam informasi sedangkan keluarannnya adalah perbuatan atau kinerja (performance)”. Seperti halnya Romiszowski, Keller (1983) menyatakan “Hasil belajar sebagai keluaran dari suatu system pemrosesan berbagai masukan yang berupa informasi. ”Berbagai masukan tersebut menurut Killer dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kelompok masukan pribadi (personal inputs) dan kelompok masukan yang berasal dari lingkungan (environmental inputs). Menurut Sudjana (1992) menyatakan “Hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa atau mahasiswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya” Padmono, (2009: 26). Hal senada diungkapkan Bloom bahwa hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan, menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru), dan evaluation (menilai). Domain efektif adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respons), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain psikomotor meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual Suprijono, (2011: 6). Dari beberapa pengertian hasil belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar sebagai perubahan dalam kapabilitas (kemampuan tertentu) yaitu keluaran (outputs) berupa perbuatan atau kinerja (performance) dari suatu system pemrosesan masukan (inputs) berupa bermacam-macam informasi dari masukan pribadi (personal inputs) dan masukan yang berasal dari lingkungan (environmental inputs) atau sebagai akibat belajar. Hasil belajar sangat penting diketahui sebagai tolok ukur keberhasilan dari metode pembelajaran dan kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran yang diajarkan sebelum diadakan tindak lanjut. Hasil belajar dapat diketahui dari hasil evaluasi yang diberikan dalam bentuk test. Keberhasilan penerapan metode yang tepat dapat diketahui jika hasil belajar siswa dapat meningkat bahkan melebihi target KKM yang diberikan.
17
2.2
Pengukuran Tes adalah salah satu contoh instrumen atau alat pengukuran yang paling
banyak dipergunakan untuk mengetahui kemampuan intelektual seseorang. Tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang
trait atau sifat
atau atribut pendidikan yang
setiap
butir
pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar (Suryanto Adi, dkk., 2009). Penetapan angka kemampuan belajar peserta didik dapat dilakukan dengan berbagai cara atau teknik yang sistematis, baik berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik penetapan angka tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian
kemajuan
belajar
peserta
didik
terhadap pencapaian
standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Penilaian suatu kompetensi dasar dilakukan berdasarkan indikator-indikator pencapaian hasil belajar, baik berupa domain kognitif, afektif, maupun psikomotor (Balitbang Depdiknas, 2006).
Secara
umum teknik
penilaian dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu teknik tes dan nontes. 1. Tes. Terbiasa terdiri atas tes lisan (menuntut jawaban secara lisan), tes tulisan (menuntut jawaban secara tulisan), dan tes tindakan (menuntut jawaban dalam bentuk perbuatan). Soal-soal tes ada yang disusun dalam bentuk (a) objektif, ada juga yang disusun dalam bentuk (b) esai atau uraian (Poerwanti dkk, 2008:4-4). 2. Bukan tes (nontes). Bukan tes sebagai alat penilaian mencakup observasi atau pengamatan, angket, kuesioner, interviews (wawancara), skala penilaian, sosiometri, studi kasus, work sample analysis (analisa sampel kerja), task analysis (analisis tugas), checklists dan rating scales dan portofolio (Poerwanti dkk, 2008:4-4). Teknik penilaian juga dapat dibedakan menjadi: 1. Tes tertulis Tes tertulis adalah teknik penilaian yang menuntut jawaban secara tertulis, baik berupa tes objektif dan uraian pada peserta didik di lembaga penyelenggara pendidikan keterampilan. Ujian tertulis, untuk memperoleh informasi tentang pengetahuan peserta didik berkenaan dengan tugas/pekerjaan dengan cara
18
merespon secara tertulis tentang aspek-aspek yang diujikan (Poerwanti dkk, 2007: 4.4). 2. Tes kinerja / tindakan Tes
kinerja
adalah
teknik
penilaian
yang
menuntut
peserta
didik
mendemonstrasikan kemahirannya dalam melakukan kegiatan atau pekerjaan tertentu, misalnya kemahiran mengidentifikasi kerusakan pada alat-alat yang diperlukan untuk melakukan kinerja tertentu, bersimulasi, ataupun melakukan pekerjaan yang sesungguhnya. Tes kinerja dapat dilakukan untuk menilai proses, produk, serta proses dan produk. Tes kinerja, untuk memperoleh data tentang kinerja atas bidang keterampilan tertentu yang dipertunjukkan oleh seseorang peserta didik. Penilai mengajukan sejumlah tugas atau pekerjaan untuk dilakukan oleh peserta didik dengan cara memperagakan secara psikomotor. Misal seorang peserta didik disuruh memperagakan cara perambatan panas melalui zat padat (Poerwanti dkk, 2007: 4.5). 3. Tes lisan Tes lisan dilaksanakan melalui komunikasi langsung tatap muka antara peserta didik denganseorang atau beberapa penguji. Pertanyaan dan jawaban diberikan secara lisan dan spontan. Ujian lisan, untuk memperoleh data tentang performansi tertentu, dengan cara berkomunikasi dua arah antara penilai atau guru dengan peserta didik melalui tanya jawab atau wawancara langsung, berkenaan dengan pemahaman, perilaku, kinerja, dan tugas tertentu yang berkaitan dengan materi pelajaran yang telah dipelajari (Poerwanti dkk, 2007:4.5). 4. Observasi Observasi adalah teknik penilaian yang dilakukan dengan cara mencatat hasil pengamatan terhadap objek tertentu. Pelaksanaan observasi dilakukan dengan cara menggunakan instrumen yang sudah dirancang sebelumnya sesuai dengan jenis perilaku yang akan diamati dan situasi yang akan diobservasi, misalnya dalam kelas, waktu bekerja dalam bengkel/laboratorium. Metode pencatatan, berapa lama dan berapa kali observasi dilakukan disesuaikan dengan tujuan observasi. Metode ini digunakan juga untuk memeriksa proses melalui analisis tugas tentang beroperasinya suatu kegiatan/pekerjaan tertentu maupun produk yang dihasilkannya.
19
Penilaian atau guru dapat secara langsung mengamati dan mencatat perilaku yang muncul, dan dapat juga menggunakan lembar observasi atau daftar ceklis mengenai aspek-aspek tugas atau pekerjaan tertentu yang akan diamati (Poerwanti dkk, 2007: 4.6). 5. Penugasan Penugasan adalah teknik penilaian yang menuntut peserta didik menyelesaikan tugas di luar kegiatan pembelajaran di kelas, laboratorium atau bengkel. Penugasan dapat diberikan dalam bentuk individual atau kelompok dan dapat berupa tugas rumah atau projek. Tugas rumah adalah tugas yang harus diselesaikan peserta didik di luar kegiatan kelas. Tugas projek adalah tugas yang melibatkan kegiatan perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan secara tertulis maupun lisand alam waktu tertentu. Proyek, untuk memperoleh data tentang kinerja atas suatu tugas/pekerjaan tertentu yang dikerjakan dalam jangka waktu tertentu, baik melalui pengawasan maupun tanpa pengawasan. Misalnya penilai mempersiapkan dan merancang suatu tugas/pekerjaan tertentu untuk dikerjakaan peserta didik kemudian hasil dari pekerjaannya dinilai (Poerwanti dkk, 2007: 4-6). 6. Penilaian portofolio Penilaian portofolio adalah penilaian yang dilakukan dengan cara menilai hasil karya peserta didik. Portofolio adalah kumpulan karya peserta didik dalam bidang tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan, prestasi, dan kreativitas peserta didik. Portofolio, untuk memperoleh data dengan cara mengumpulan bukti-bukti fisik yang bersifat pribadi, atau hasil karya dan pencapaian dijadikan sebagai dasar untuk menilai kinerja seseorang sebelum, dan setelah mengikuti pendidikan (Poerwanti dkk, 2007: 4.8). 7. Penilaian diri Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan
kelebihan
dan
kekurangan dirinya. Penilaian diri untuk
memperoleh data tentang kelebihan dan kekurangan yang dimiliki peserta didik dan bersumber dari peserta didik sendiri. Dalam penilaian diri peserta didik menyampaikan sendiri secara jujur apa yang telah dikuasai dan yang belum dikuasai setelah atau sebelum mengikuti pembelajaran. Bentuk penilaian diri
20
adalah laporan tentang keadaan diri peserta didik yang disusun sendiri oleh peserta didik. Misal laporan tentang keterampilan yang telah dikuasai dan yang belum dalam
membuat tusuk rantai pada pelajaran keterampilan (Poerwanti dkk,
2007: 4.10). 8. Penilaian antar teman Penilaian antar teman merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan temannya. Teknik penilaian antar teman dilakukan dengan melalukan observasi terhadap temannya sendiri. Instrumen observasi, skala penilaian, dan daftar ceklist yang digunakan berisikan aspek-aspek kemampuan atau kelebihan dan kesulitan atau kekurangan temannya dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Misal peserta didik diberikan tugas untuk menilai kinerja temannya dalam merawat tanaman hias dengan menyiraminya mempergunakan skala penilaian (Poerwanti dkk, 2007: 4.11). Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik atau cara pengukuran yang sistematis melalui tes, observasi, skala sikap atau penilaian portofolio. Dengan demikian, Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor tes, pengamatan, diskusi, dan laporan. 2.3 Hasil-hasil Penelitian yang Relevan D. Syarifudin (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Penggunaan Media Gambar untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Karangan Prosa” mengungkapkan bahwa: a. Media gambar dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis karangan di sekolah dasar. b. Penggunaan media gambar dalam pembelajaran lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkembangkan motivasi belajar, dan dapat mengatasi keterbatasan pengalaman siswa dalam berimajinasi dan berekespresi. c. Kendala yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis karangan dengan menggunakan media gambar adalah keterbatasan waktu, karena pada umumnya guru sekolah dasar mengajarkan beberapa bidang studi dalam satu kelas.
21
Sri Purwaningtyas (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pendekatan
Kontekstual
(CTL)
Terhadap
Keterampilan
Menulis
Deskripsi”
mengungkapkan tentang keberhasilan penggunaan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa pembelajaran menulis deskripsi dengan pendekatan kontekstual menghasilkan keterampilan menulis deskripsi siswa yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran menulis deskripsi dengan pendekatan konvensional. 2.4 Kerangka Berpikir Masalah rendahnya prestasi belajar siswa Kelas 2 SDN 02 Karanggedang Kabupaten Kebumen dalam mendeskripsikan binatang di sekitar dengan bahasa tulis pada mata pelajaran Bahasa Indonesia ditindaklanjuti oleh guru dengan mengadakan penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam hal ini, siswa diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran dalam mendeskripsikan binatang dengan bahasa tulis menggunakan media gambar binatang. Penelitian tindakan kelas (PTK) tersebut dilakukan dalam tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari perencaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Dalam penelitian tindakan kelas (PTK) tersebut, dilakukan dengan suatu pembelajaran yang inovatif dan diyakini dapat meningkatkan prestasi belajar siswa Kelas 2 SDN 02 Karanggedang, Kabupaten Kebumen. Pembelajaran inovatif dalam penelitian ini menggunkan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning), dengan media berupa gambar binatang sebagai media dalam pembelajaran individu (siklus I), puzzle (potongan gambar) seekor binatang sebagai media dalam pembelajaran berbasis kelompok (siklus II), puzzle (potongan gambar) beberapa binatang dalam satu lingkugan tempat hidupnya sebagai media untuk pembelajaran berbasis kelompok (siklus III). Ketiga media yang digunakan dalam PTK tersebut untuk merangsang keaktifan siswa dalam bertanya jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan gambar, serta untuk meningkatkan kreatifitas siswa dalam menyusun puzzle. Selain itu juga sebagai alat bantu dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam medeskripsikan binatang dalam bentuk tulisan. Dengan penelitian tindakan tersebut, diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dengan nilai rata-rata kelas dalam pencapaian tujuan tersebut di atas 70 dan dalam pembelajaran menulis setiap siswa diharapkan dapat memperoleh nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) bahasa Indonesia aspek menulis Kelas 2
22
semester 2 yang telah dibuat dan ditentukan oleh SDN 02 Karanggedang kabupaten Kebumen, yakni 70.
Pembelajaran Bahasa Indonesia Mendeskripsikan Ciri-ciri Binatang secara Tertulis
Pembelajaran Konvensional Berpusat pada Guru
Hasil Belajar Rendah Pembelajaran kontekstual menggunakan media gambar dengan langkah: 1. Tahap Apersepsi: bercerita tentang binatang di sekitar siswa; 2. Tahap eksplorasi: mengidentifikasi ciri-ciri binatang berdasarkan gambar; 3. Tahap elaborasi: mendeskripsikan ciri-ciri binatang berdasarkan gambar secara lisan dan tertulis 4. Tahap konfirmasi
Penilaian Proses dan Penilaian Hasil Belajar (tes formatif)
Hasil Belajar Meningkat
Gambar 1 Kerangka Berpikir Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, diduga melalui pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) menggunakan media gambar yang dilaksanakan dapat meningkatkan keterampilan siswa Kelas 2 SDN 02 Karanggedang kabupaten Kebumen dalam mendeskripsikan benda dengan bahasa tulis.
23
2.5 Hipotesis Tindakan Berdasarkan paparan di atas, penulis mengajukan hipotesis tindakan sebagai berikut: Melalui pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) menggunakan media gambar diharapkan dapat meningkatkan keterampilan siswa Kelas 2 SDN 02 Karanggedang kabupaten Kebumen tahun pelajaran 2012/2013 dalam mendeskripsikan benda dengan bahasa tulis.