BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Program Akselerasi 1. Konsep Program Akselerasi Akselerasi atau percepatan belajar merupakan salah satu penanganan pendidikan yang memberikan kesempatan kecepatan
kepada yang
siswa
lebih
untuk
tinggi
belajar
dari
dengan
rata-rata
anak
seusianya atau belajar pada usia yang lebih muda dari umumnya dengan stimulasi belajar yang disesuaikan dengan kecepatan belajar siswa (Colangelo, 1991; Feldhusen, 1995; Pressey, 1949 dalam Winanti dkk, 2007). Hal ini berarti siswa yang memiliki kecerdasan yang sangat tinggi dapat mempelajari berbagai topik yang seharusnya diberikan kepada siswa di kelas yang lebih
tinggi.
Jadi
akselerasi
lebih
berfokus
pada
kecepatan dalam belajar, bukan pada kedalaman ataupun keluasan dalam belajar. Colangelo
(1991
dalam
Winanti
dkk,
2007)
menyebutkan bahwa istilah akselerasi merujuk pada pelayanan
yang
diberikan
dan
kurikulum
yang
disampaikan. Sebagai model pelayanan, pengertian akselerasi termasuk juga taman siswa-siswa atau perguruan tinggi pada usia muda, meloncat kelas dan mengikuti pelajaran tertentu pada kelas di atasnya. Sementara itu, sebagai model kurikulum, akselerasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai siswa pada saat itu. 13
14
Secara konseptual akselerasi didefinisikan oleh Pressey (1949 dalam Winanti dkk, 2007) sebagai: “progress through and educational program at rates, faster or ages younger than conventional”. Akselerasi sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program pendidikan yang lebih cepat atau usia yang lebih muda daripada yang konvensional. Menurut Feldhusen (1995 dalam Muhid dan Rohmatillah,
2007),
program
akselerasi
diberikan
untuk memelihara minat siswa yang memiliki potensi lebih
terhadap
sekolah.
Mendorong
siswa
agar
mencapai prestasi akademis yang baik dan untuk menyelesaikan pendidikan yang relatif cepat dalam melanjutkan
pendidikan
yang
lebih
tinggi
bagi
keuntungan dirinya dan masyarakat. Herry Widiastono, seperti yang dikutip Wulandari (2004) menyatakan bahwa program percepatan belajar (accelerated)
yaitu
pemberian
pelayanan
dengan
membolehkan mereka (siswa) menyelesaikan program reguler
dalam
jangka
waktu
yang
lebih
singkat
dibandingkan dengan teman-temannya. Program ini cocok bagi anak yang berbakat dengan tipe accelerated learner.
Depdiknas
(2004)
mendefinisikan
bahwa
program akselerasi adalah “Program layanan belajar diperuntukan
bagi
siswa
yang
diidentifikasikan
memiliki ciri-ciri keberbakatan intelektual dan program ini dirancang khusus untuk dapat menyelesaikan program belajar lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan”.
15
Dalam program percepatan belajar untuk SD, SLTP, dan SMU yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2000, akselerasi didefinisikan sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang diberikan bagi siswa dengan kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan, sehingga mereka dapat menyelesaikan pendidikan formalnya dalam waktu yang lebih singkat atau pada usia yang lebih muda (Direktorat PSLB, 2010). Akselerasi
bukanlah
pendidikan
atau
program
Sebaliknya,
akselerasi
pengganti untuk
(dan
anak
kebijakan
layanan berbakat. akselerasi)
memberikan kontribusi yang luas, komprehensif bagi program anak berbakat (Colangelo dkk, 2010). Karena program ini diberikan kepada siswa yang memiliki potensi kecerdasan tinggi, dan bakat istimewa, maka pihak
sekolah
(guru/tenaga
kependidikan)
harus
mengetahui, mengamati dan menyeleksi siswa yang demikian. Hal ini dilakukan agar penyelenggaraan program akselerasi diberikan tepat sasaran kepada siswa yang benar-benar memiliki potensi kecerdasan tinggi dan bakat istimewa. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa
seperangkat
kegiatan
program
akselerasi
pelayanan
berisikan
pendidikan
yang
dirancang khusus dan diperuntukan bagi siswa yang memiliki keberbakatan istimewa dengan kecerdasan dan kemampuan serta bakat dan minat luar biasa dibandingkan dengan siswa lain (siswa biasa), sehingga
16
kegiatan
belajar
dapat
diselesaikan
dalam
waktu
yang lebih cepat dan singkat. 2. Tujuan Program Akselerasi Akselerasi sebagai salah satu pendekatan yang dilakukan untuk membantu siswa CI mengembangkan potensinya secara optimal bertujuan antara lain (NAGC Position Statement 1992 dalam Direktorat PSLB 2004): (1)
Menyesuaikan
kecepatan
pembelajaran
dengan
kemampuan siswa, (2) Memberikan tantangan belajar pada
tingkatan
kejenuhan
yang
belajar
diulang-ulang,
sesuai
akibat
dan
(3)
dari
untuk
menghindari
pembelajaran
Mengurangi
waktu
yang untuk
menyelesaikan sekolah secara tradisional. Penyelenggaraan program akselerasi bagi siswa sekolah yang di lakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2009), mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut: (1) Memberikan kesempatan bagi peserta didik cerdas istimewa untuk mengikuti program pendidikan sesuai dengan potensi kecerdasan yang dimilikinya; (2) Memenuhi hak asasi peserta didik cerdas istimewa sesuai kebutuhan pendidikan bagi dirinya; (3) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses
pembelajaran
bagi
peserta
didik
cerdas
istimewa; (4) Membentuk manusia berkualitas yang memiliki kecerdasan spiritual, emosional, sosial dan intelektual serta memiliki ketahanan dan kebugaran fisik; dan (5) Membentuk manusia yang berkualitas dan berkompeten dalam pengetahuan dan seni, berkeahlian dan berketrampilan, menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab, serta mempersiapkan peserta didik
17
mengikuti
pendidikan
lebih
lanjut
dalam
rangka
mewujudkan pendidikan nasional. Selain tujuan di atas, Meier (2000) menjelaskan bahwa “the purpose of accelerated learning is to awaken learners to their full learning ability, to make learning enjoyable and fulfilling for them again, and to contribute to their full human happiness, intelligence, competence, and success”. Tujuan pembelajaran program akselerasi adalah menggugah sepenuhnya kemampuan belajar para pelajar, membuat belajar menyenangkan, dan memuaskan
bagi
mereka,
sumbangan
sepenuhnya
serta pada
memberikan kebahagiaan,
kecerdasan, keberhasilan mereka sebagai manusia. Ada
dua
tujuan
dikembangkannya
program
yang
mendasari
percepatan
belajar
(akselerasi) bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Depdiknas, 2003): (1) Tujuan Umum, yaitu: (a) Memenuhi kebutuhan peserta didik yang memiliki karakteristik spesifik dari segi perkembangan kognitif dan afektifnya, (b) Memenuhi hak asasi peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan bagi dirinya sendiri, (c) Memenuhi minat intelektual dan perspektif masa depan peserta didik, (d) Memenuhi kebutuhan aktualisasi diri peserta didik, (e) Menimbang
peran
masyarakat
dan
peserta kebutuhan
didik
sebagai
masyarakat
aset untuk
pengisian peran, serta (f) Menyiapkan peserta didik sebagai pemimpin masa depan, dan (2) Tujuan Khusus, yaitu:
(a)
Memberikan
penghargaan
untuk
dapat
menyelesaikan program pendidikan secara lebih cepat sesuai dengan potensinya, (b) Meningkatkan efisiensi
18
dan efektivitas dan proses pembelajaran peserta didik, (c) Mencegah rasa bosan terhadap iklim kelas yang kurang
mendukung
berkembangnya
potensi
keunggulan peserta didik secara optimal, serta (d) Memacu mutu siswa untuk peningkatan kecerdasan spiritual,
intelektual,
dan
emosionalnya
secara
berimbang. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan utama diselenggarakannya program akselerasi yaitu
memberikan
kesempatan
dan
pelayanan
pendidikan pada siswa cerdas istimewa dan untuk membentuk peserta didik berprestasi dalam proses pelajaran. Sesuai dengan tujuan program percepatan belajar
(akselerasi)
di
atas,
tentunya
sekolah
penyelenggara harus mengelola pendidikan dengan baik agar tujuan tersebut dapat tercapai dengan maksimal. 3. Bentuk Penyelenggaraan Program Akselerasi Menurut Elliot & Dweck (1999 dalam Alsa, 2007), pengakomodasian perbedaan individual di antara siswa dapat dilaksanakan dengan empat cara, yaitu (1) masuk sekolah berdasar usia mental dan bukan usia kronologis,
(2)
loncat
kelas,
(3)
waktu
belajar
dipersingkat, dan (4) masuk sekolah menengah atau universitas lebih awal. Program akselerasi dengan cara mempersingkat waktu belajar memiliki tiga model, yaitu model kelas reguler, model kelas khusus, dan model sekolah khusus. Pada model kelas reguler, siswa tetap
berada
dalam
kelas
regulernya
dan
guru
memberikan perlakuan akseleratif pada siswa sehingga dapat loncat kelas; pada model kelas khusus, siswa
19
dikelompokkan ke dalam satu kelas tersendiri dan diberi pengajaran akseleratif, dan pada model sekolah khusus,
siswa
belajar
di
sekolah
yang
memang
dikhususkan untuk mereka. Model yang diterapkan di Indonesia
adalah
model
kelas
khusus,
ditambah
dengan adanya pemerkayaan (enrichment) (Depdiknas, 2003). Dalam penyelenggaraan program akselerasi di SMP Negeri 6 Ambon, model yang digunakan adalah model kelas khusus. 4. Penyelenggaraan Program Akselerasi Upaya peningkatan mutu pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain. Faktor-faktor tersebut merupakan sub-sistem dalam pendidikan. Bila ingin mengembangkan sub-sistem tersebut, menuntut perubahan atau penyesuaian pada sub-sistem lain. Bila pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
kemampuan
dan
kecerdasan
luar
biasa
dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran
(output)
pendidikannya,
maka
untuk
mencapai keunggulan tersebut, sedikitnya terdapat 8 faktor lainnya yang perlu diarahkan untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut. Faktor-faktor itu meliputi: (1) Masukan (input, intake), (2) Kurikulum, (3) Tenaga Kependidikan, (4) Sarana dan Prasarana, (5) Dana, (6) Manajemen, (7) Lingkungan, dan (8) Proses belajar mengajar. Kedelapan faktor tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut (Herry, 1999 dalam Ahmadi dkk, 2011): Pertama, masukan (input, intake) siswa di seleksi secara ketat dengan menggunakan kriteria tertentu dan
20
prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang digunakan adalah: (1) Prestasi belajar, dengan indikator: angka rapor, Nilai Ebtanas Murni (NEM), dan/atau hasil tes prestasi akademik, berada dua standar deviasi di atas mean populasi siswa, (2) Skor psikotes,
yang
meliputi:
inteligency
quotient
(IQ)
minimal 125, kreativitas, tanggung jawab terhadap tugas (task commitment), dan emotional quotient (EQ) berada dua standar deviasi di atas mean populasi siswa, dan (3) Kesehatan dan kesempatan jasmani, jika diperlukan. Kedua,
kurikulum
yang
digunakan
adalah
kurikulum nasional yang standar, namun dilakukan improvisasi alokasi waktunya sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang memiliki kecepatan belajar serta motivasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kecepatan
seusianya.
Dalam
belajar hal
dan ini
motivasi misalnya
siswa untuk
menyelesaikan studi di SD, yang biasanya memakan waktu 6 tahun dipercepat menjadi 5 tahun. Demikian pula, untuk menyelesaikan studi di SMP atau SMU, yang biasanya memakan waktu 3 tahun dipercepat menjadi 2 tahun. Ketiga, tenaga kependidikan. Karena siswanya memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, maka tenaga kependidikan yang menanganinyapun terdiri atas tenaga kependidikan yang unggul, baik dari segi penguasaan
materi
pelajaran,
penguasaan
metode
mengajar, maupun komitmen dalam melaksanakan tugas.
21
Keempat,
sarana-prasarana
yang
menunjang,
yang disesuaikan dengan kemampuan dan kecerdasan siswa, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan belajar serta menyalurkan kemampuan dan kecerdasannya, termasuk bakat dan minat, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler. Kelima, dana. Untuk menunjang tercapainya tujuan yang telah ditetapkan perlu adanya dukungan dana yang memadai, termasuk perlunya disediakan insentif tambahan bagi tenaga kependidikan yang terlibat, baik berupa uang maupun fasilitas lainnya. Keenam, manajemen, bersangkut paut dengan strategi dan implementasi keseluruhan sumberdaya yang ada dalam sistem sekolah untuk mencapai tujuan yang
telah
ditetapkan.
Oleh
sebab
itu,
bentuk
manajemen pada sekolah dengan sistem percepatan belajar harus memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi, realistis, dan berorientasi jauh ke depan. Dengan demikian, pengelolaannya didasari oleh komitmen, ketekunan,
pemahaman
yang
sama,
kebersamaan
antara semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini. Ketujuh, lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan yang nyata, baik lingkungan dalam arti fisik maupun sosial-psikologis di sekolah, di masyarakat, dan di rumah. Kedelapan, bermutu
dan
proses
belajar-mengajar
hasilnya
selalu
yang dapat
dipertanggungjawabkan (accountable) kepada siswa, orang tua, lembaga, maupun masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perlunya perhatian khusus kepada peserta didik
22
yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik seoptimal mungkin. Pengembangan potensi peserta didik memerlukan strategi yang sistematis dan terarah karena strategi pendidikan yang ditempuh selama ini, termasuk kurikulum yang ada, memberikan perlakuan yang
standar
kepada
semua
peserta
didik
yang
sebenarnya berbeda kemampuan dan kecerdasannya. Potensi unggul peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa tidak akan begitu saja muncul tanpa stimulasi yang sesuai. Salah satu stimulasi
yang
pelayanan
sesuai
pendidikan
adalah yang
melalui
pemberian
berdiferensiasi,
yaitu
pemberian pengalaman pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kecerdasan peserta didik, dengan menggunakan kurikulum yang berdiversifikasi yaitu kurikulum standar yang diimprovisasi alokasi waktunya sehingga sesuai dengan kecepatan belajar dan motivasi belajar siswa. Dengan sistem percepatan kelas (akselerasi), siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa diberi peluang untuk dapat menyelesaikan studi di SD menjadi 5 tahun, di SMP dan
SMU
masing-masing
2
tahun,
dengan
menyelesaikan semua target kurikulum tanpa meloncat kelas.
Penyelenggaraan
sistem
percepatan
belajar
(akselerasi) bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan salah satu strategi alternatif yang relevan karena siswa yang memiliki kemampuan kecepatan
dan belajar
kecerdasan dan
luar
motivasi
biasa belajar
memiliki di
atas
kecepatan belajar dan motivasi belajar siswa lainnya.
23
2.2 Evaluasi Program Suchman (1961 dalam Arikunto dan Safruddin, 2014) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh Worthen dan Sanders (1973 dalam Arikunto dan Safruddin, 2014), kedua ahli tersebut mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan
mencari
sesuatu; dalam
sesuatu mencari
yang
berharga
sesuatu
tentang
tersebut
juga
termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Stufflebeam (1971 dalam Arikunto dan Safruddin, 2014) mengatakan bahwa evaluasi merupakan penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan. Setiap program, khususnya dalam pendidikan, dikatakan lengkap apabila disertai dengan evaluasi sebagai kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari program itu. Evaluasi program perlu dilakukan secara objektif
dan
mendasar
sehingga
bermakna
dan
merupakan bentuk pertanggungjawaban. Hasil evaluasi akan menentukan keberlangsungan suatu program.
24
Evaluasi sangat dibutuhkan terutama dalam memaparkan mengetahui
secara sampai
sistematis sejauh
dan
mana
detail, suatu
untuk
program
pendidikan itu telah berjalan. Berikut ada empat faktor pendorong atau kecenderungan yang menyebabkan evaluasi dibutuhkan (Marni, 2013): 1. Akuntabilitas,
merujuk
pada
justifikasi
untuk
pencapaian hasil yang realistis suatu program. 2. Pelaporan perihal dana. Jika suatu program akan dipertanggungjawabkan, tentu dibutuhkan rincian secara
detail
penggunaan
dananya
secara
transparan. 3. Kegiatan untuk mengetahui sampai sejauh mana performa dan hasil kerja yang sedang atau telah dilakukan baik dalam tahap proses, hasil, dan dampak. 4. Pengambilan keputusan suatu program pendidikan. Untuk memutuskan apakah program dapat terus dilaksanakan, direvisi dan dikembangkan, atau dihentikan. Alasan di atas menjadi penting dan mempunyai makna yang mendalam untuk digeneralisasikan bahwa setiap program perlu untuk di evaluasi. Sebelum membahas tentang evaluasi program lebih lanjut, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dasar tentang “program”. Arikunto dan Safruddin (2014) menyebutkan dua pengertian program, secara umum dan khusus. Pengertian program secara umum adalah rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan.
Sedangkan
pengertian
secara
khusus,
program adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan
25
secara
berkesinambungan
dengan
waktu
dan
pelaksanaannya biasanya membutuhkan waktu yang panjang. Program juga merupakan rangkaian kegiatan yang membentuk satu sistem yang saling terkait satu dengan lainnya dengan melibatkan lebih dari satu orang untuk melaksanakannya. Wirawan (2012) menyatakan bahwa program adalah kegiatan atau aktivitas yang dirancang untuk melaksanakan
kebijakan
dan
dilaksanakan
dalam
waktu yang tidak terbatas. Kebijakan bersifat umum dan untuk merealisasikannya disusun berbagai jenis program.
Menurutnya,
program
tersebut
perlu
dievaluasi untuk menentukan apakah layanan atau intervensinya telah mencapai tujuan yang ditetapkan. Lebih
lanjut
program
beliau
adalah
mengatakan metode
bahwa,
evaluasi
sistematik
untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan memakai informasi untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai program. Menurut Isaac dan Michael (1984) seperti dikutip oleh Marni (2013), sebuah program harus diakhiri dengan
evaluasi,
untuk
melihat
apakah
program
tersebut berhasil menjalankan fungsi sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan kebijakan lanjutan dari program, karena dari hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang atau telah dilaksanakan. Wujud
dari
rekomendasi
dari
hasil
evaluasi
evaluator
adalah
untuk
adanya
pengambilan
keputusan (decision maker). Menurut Arikunto dan
26
Syafrudin (2014), ada empat kemungkinan kebijakan berdasarkan hasil evaluasi yaitu: 1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan. 2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan, tetapi hanya sedikit). 3. Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat. 4. Menyebarluaskan program (melaksanakan program di tempat-tempat lain atau mengulangi lagi program di lain waktu), karena program tersebut berhasil dengan baik, maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain. Tujuan
dari
diadakannya
evaluasi
program
adalah untuk mengetahui pencapaian tujuan program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator program ingin mengetahui bagian
mana
dari
komponen
dan
subkomponen
program yang belum terlaksana dan apa sebabnya (Arikunto dan Safruddin, 2014). Evaluasi dilaksanakan untuk mencapai berbagai tujuan
sesuai
melaksanakan
dengan evaluasi
objek
evaluasinya.
menurut
Wirawan
Tujuan (2012)
antara lain adalah: 1. Mengukur pengaruh program terhadap masyarakat. 2. Menilai apakah program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana.
27
3. Mengukur apakah pelaksanaan program sesuai dengan standar. 4. Evaluasi program dapat mengidentifikasi dan menemukan mana dimensi program yang jalan, mana yang tidak berjalan. 5. Pengembangan staf program. 6. Memenuhi ketentuan undang-undang. 7. Akreditasi program. 8. Mengukur cost effectiveness dan cost efficiency. 9. Mengambil keputusan mengenai program. 10. Accountabilitas. 11. Memberikan balikan kepada pimpinan dan staf program. 12. Memperkuat posisi politik 13. Mengembangkan teori ilmu evaluasi atau riset evaluasi.
Evaluasi maksud
program
atau
dilakukan
tujuan
yang
dengan
berguna
dan
suatu jelas
sasarannya. Sekurang-kurangnya ada empat kegunaan utama evaluasi program (Widoyoko, 2013), yaitu: 1. Mengkomunikasikan program kepada publik Sekolah
memiliki
kewajiban
untuk
mengkomunikasikan efektivitas program (termasuk program akselerasi) kepada orang tua maupun publik lainnya melalui hasil-hasil evaluasi yang dilaksanakan,
dengan
demikian
publik
dapat
menilai tentang efektivitas program dan memberikan dukungan yang diperlukan. 2. Menyediakan informasi bagi pembuat keputusan Informasi yang dihasilkan dari evaluasi program (program tahapan
akselerasi) dari
akan
manajemen
berguna sekolah
bagi
setiap
mulai
sejak
perencanaan, pelaksanaan ataupun ketika akan mengulangi
dan
melanjutkan
program.
Hasil
evaluasi dapat dijadikan dasar bagi pembuatan
28
keputusan, sehingga keputusan tersebut lebih valid. Pembuat keputusan biasanya memerlukan informasi yang akurat agar dapat memutuskan sesuatu secara tepat. 3. Penyempurnaan program yang ada Evaluasi program yang dilaksanakan dengan baik dapat
membantu
upaya-upaya
dalam
rangka
menyempurnakan jalannya program sehingga lebih efektif. Berdasarkan hasil evaluasi akan dapat diperoleh informasi tentang dampak dari berbagai aspek program terhadap siswa, dan berhasil juga teridentifikasi
berbagai
faktor
yang
perlu
diperhatikan atau perlu penyempurnaan. 4. Meningkatkan partisipasi Dengan adanya informasi hasil evaluasi program (program
akselerasi),
maka
orang
tua
atau
masyarakat akan terpanggil untuk berpartisipasi dan ikut mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan. Hasil evaluasi program yang dimasyarakatkan
akan
menggugah
kepedulian
masyarakat terhadap program tersebut, menarik perhatiannya, dan akhirnya akan menumbuhkan rasa ikut memiliki (self of belonging). Implementasi
program
evaluasi untuk melihat tingkat
harus
senantiasa
di
efektifitas program
tersebut mencapai maksud pelaksanaan program yang telah ditetapkan sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi, program
yang
berjalan
tidak
akan
dapat
dilihat
efektifitasnya. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan baru yang berhubungan dengan program itu tidak akan didukung oleh data. Karenanya, evaluasi program
29
bertujuan untuk menyediakan data dan informasi serta rekomendasi bagi pengambil kebijakan (decision maker) untuk
memutuskan
apakah
akan
melanjutkan,
memperbaiki, atau menghentikan sebuah program.
2.3 Model Evaluasi Program Ada banyak model yang bisa digunakan dalam melakukan
evaluasi
program
khususnya
program
pendidikan. Meskipun terdapat beberapa perbedaan antara model-model tersebut, tetapi secara umum semuanya memiliki persamaan yaitu mengumpulkan data atau informasi obyek yang di evaluasi sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan. Terdapat beberapa model evaluasi yang dapat digunakan
dalam
melakukan
kegiatan
evaluasi
terhadap suatu program (Arikunto dan Safruddin, 2014) sebagai berikut: 1. Goal Oriented Evaluation Model Merupakan model yang muncul paling awal. Yang menjadi objek pengamatan pada model ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum secara
program
dimulai.
Evaluasi
berkesinambungan,
dilakukan
terus-menerus,
mengecek sejauh mana tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam proses pelaksanaan program. Model ini dikembangkan oleh Tyler. 2. Goal Free Evaluation Model Dikembangkan
oleh
Michel
Scriven.
Model
ini
disebut juga dengan evaluasi lepas dari tujuan, tetapi bukannya lepas sama sekali dari tujuan tetapi
30
hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan
tujuan
umum
yang
akan
dicapai oleh program, bukan secara rinci atau perkomponen. 3. Formatif – Summatif Evaluation Model Evaluasi
Formatif
secara
prinsip
merupakan
evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih berlangsung atau ketika program masih dekat dengan
permulaan
kegiatan.
Tujuan
evaluasi
formatif tersebut adalah mengetahui sejauh mana program
yang
dirancang
dapat
berlangsung,
sekaligus mengidentifikasikan hambatan. Dengan diketahuinya
hambatan
menyebabkan
program
dan
tidak
hal-hal
lancar,
yang
pengambil
keputusan secara dini dapat mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program.
Evaluasi
Sumatif
dilakukan
setelah
program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk mengukur ketercapaian program. 4. Countenance Evaluation Model Dikembangkan oleh Stake. Model ini menekankan pada adanya pelaksanaan dua hal pokok, yaitu: (a) deskripsi
(description),
dan
(b)
perimbangan
(judgements), serta membedakan adanya tiga tahap dalam
evaluasi
program,
(antecedents/context),
(b)
yaitu: transaksi
(a)
anteseden
(transaction/
process), (c) keluaran (output - outcomes). 5. CSE – UCLA Evaluation Model Ciri dari model ini adalah adanya 4 tahap yang dilakukan
dalam
evaluasi,
yaitu
perencanaan,
pengembangan, implementasi, hasil, dan dampak.
31
Hernandez,
seperti
yang
dikutip
oleh
Arikunto
menjelaskan ada 4 tahap dalam model ini, yaitu: a) Needs Assessment, b) Program Planning, c) Formative Evaluation, dan d) Summative Evaluation. 6. CIPP Evaluation Model Model evaluasi ini adalah model yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Model CIPP ini dikembang
oleh
Stufflebeam, dkk pada
tahun 1967 di Ohio State University. Model evaluasi CIPP melakukan tindakan evaluasi yang mencakup empat
sasaran
evaluasi
yakni
konteks,
input,
proses, dan produk. 7. Discrepancy Evaluation Model Evaluasi
kesenjangan
(discrepancy
evaluation)
menurut Provus adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara baku (standard) yang sudah ditentukan
dalam
program
dengan
kinerja
(performance) sesungguhnya dari program tersebut. Baku adalah kriteria yang ditetapkan, sedangkan kinerja adalah hasil pelaksanaan program. Evaluasi membutuhkan
terhadap model
program
evaluasi
yang
akselerasi cocok
untuk
melakukan kegiatan tersebut. Dilihat dari beberapa substansi program tersebut, evaluasi ini dilakukan untuk
melihat
penyelenggaraannya,
hal
yang desain
melatarbelakangi perencanaannya,
pelaksanaannya, dan produk yang dihasilkan dari program tersebut, yang pada akhirnya hasil evaluasi ini akan memberikan rekomendasi terhadap keberadaan program substansi
tersebut. tersebut,
Apabila
dilihat
dari
keempat
maka
model
evaluasi
CIPP
32
merupakan salah satu model yang cocok digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap program akselerasi. Konsep model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, and Product) pertama kali ditawarkan oleh Stufflebeam pada tahun 1965 sebagai hasil usahanya mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education
Act).
Konsep
tersebut
ditawarkan
oleh
Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki. The CIPP approach is based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but to improve (Madaus, Scriven, Stufflebeam, 1993, dalam Widoyoko, 2013). Gambar 2.1 menggambarkan elemen dasar dari CIPP Model dalam tiga lingkaran konsentris. Lingkaran dalam mewakili nilai-nilai inti yang memberikan dasar untuk suatu evaluasi. Roda sekitar nilai dibagi menjadi empat
fokus
program
atau
evaluatif usaha
tindakan, dan hasil.
yang
berhubungan
lainnya:
tujuan,
dengan rencana,
Roda luar menunjukkan jenis
evaluasi yang melayani masing-masing empat fokus evaluatif. Ini adalah evaluasi konteks, input, proses, dan produk.
33
Gambar 2.1 Key Components of the CIPP Evaluation Model and Associated Relationships with Programs (Stufflebeam, 2003)
Setiap panah ganda menunjukkan hubungan dua
arah
antara
fokus
evaluasi. Tugas pertanyaan
evaluatif
menetapkan
untuk
evaluasi
tertentu tujuan
dan
jenis
menimbulkan
konteks,
yang
pada
gilirannya memberikan informasi untuk memvalidasi atau
memperbaiki
tujuan. Perencanaan
upaya
perbaikan menghasilkan pertanyaan untuk evaluasi masukan, yang sejalan menyediakan penilaian rencana dan
arahan
untuk
memperkuat
rencana. Kegiatan
perbaikan memunculkan pertanyaan untuk evaluasi proses, yang pada gilirannya memberikan penilaian tindakan dan umpan balik untuk memperkuat keempat komponen tersebut. Definisi formal evaluasi yang mendasari model CIPP adalah sebagai berikut: “Evaluation is the process of delineating, obtaining, providing, and applying descriptive and judgmental information about the merit and worth of some object’s goals, design, implementation, and outcomes to guide improvement decisions, provide accountability reports, inform institutionalization/ dissemination decisions, and improve understanding of the involved phenomena” (Stufflebeam, 2003).
Definisi di atas merangkum ide-ide kunci dalam model CIPP. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat empat tujuan evaluasi, yaitu: keputusan membimbing; memberikan catatan untuk
akuntabilitas;
menginformasikan
keputusan
tentang menginstal dan/atau menyebarkan produk yang
dikembangkan,
program,
dan
jasa; dan
34
mempromosikan
pemahaman
tentang
dinamika
fenomena yang diperiksa. Model kebutuhan
CIPP
ini
dirancang
baik
untuk
untuk
evaluasi
melayani
formatif
dan
sumatif. Evaluasi CIPP yang formatif, ketika mereka secara
proaktif
pelaporan
sebagai
informasi
kunci kepada
pengumpulan
dan
perbaikan. Sebagai
evaluasi sumatif, ketika mereka melihat kembali pada proyek atau program kegiatan selesai atau pertunjukan jasa, bekerja sama dan jumlah arti nilai informasi yang relevan, dan fokus pada akuntabilitas (Stufflebeam, 2003). Hubungan peran evaluasi formatif (perbaikan) dan sumatif (akuntabilitas) untuk evaluasi konteks, input, proses, dan produk terwakili dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 The Relevance of Four Evaluation Types to Improvement and Accountability Improveme nt/Formati ve orientation
Context Guidance for choosing goals and assigning priorities
Input Guidance for choosing a program/se rvice strategy
Process Guidance for impleme ntation
Product Guidance for termination, continuation, modification, or installation
Record of the actual
Record of achievements, assessment
Input for specifying the procedural design, schedule, and budget Accountabi lity/Summ ative
Record of goals and priorities and bases for
Record of chosen strategy
35
orientation
their choice along with a record of assessed needs, opportunities, and problems (Sumber: Stufflebeam, 2003).
and design and reasons for their choice over other alternatives
process and its costs
compared with needs and coast, and recycling decisions
Berdasarkan skema di atas, evaluator akan merancang dan melakukan evaluasi untuk membantu guru, kepala sekolah, atau penyedia layanan lain bertanggung jawab merencanakan dan melaksanakan program atau layanan. Mereka juga akan mengatur dan menyimpan informasi terkait evaluasi formatif untuk digunakan
dalam
menyusun
suatu
akuntabilitas/
laporan evaluasi sumatif. Menurut Arikunto dan Safruddin (2014), model evaluasi CIPP adalah model evaluasi yang memandang program
yang
dievaluasi
sebagai
sebuah
sistem.
Dengan demikian, jika evaluator sudah menetapkan model CIPP sebagai model yang akan digunakan untuk mengevaluasi suatu program, maka mau tidak mau harus menganalisis program tersebut berdasarkan komponen-komponennya. Komponen dalam model evaluasi CIPP dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Evaluasi Konteks (Context Evaluation) Menurut Stufflebeam (2003 dalam Wirawan, 2012),
evaluasi
konteks
untuk
menjawab
pertanyaan: apa yang perlu dilakukan? (What needs to be done?). Evaluasi ini mengidentifikasi dan menilai
kebutuhan-kebutuhan
disusunnya suatu program.
yang
mendasari
36
Tujuan dari evaluasi konteks pada model evaluasi
CIPP
adalah
untuk
mengidentifikasi
informasi awal mengenai bagaimana program akan berfungsi (Fitzpatrick et al., 2004 dalam Wang, 2010). Sax (1980) mendefinisikan evaluasi konteks, sebagai berikut: “…the delineation and specification of project’s environment, its unmet, the population and sample individual to be served, and the project objectives. Contect evaluation provides a rationale for justifying a particular type of program intervention”. Evaluasi konteks merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan yang belum dipenuhi, karakteristik populasi dan sampel dari individu yang dilayani dan tujuan program.
Evaluasi
konteks
membantu
merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program (Widoyoko, 2013). Evaluasi konteks menurut Arikunto dan Safruddin (2014) dilakukan untuk menjawab pertanyaan: a) kebutuhan apa yang belum terpenuhi oleh program, b) tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan, c) tujuan manakah yang paling mudah dicapai. 2. Evaluasi Masukan (Input Evaluation) Evaluasi masukan untuk mencari jawaban atas pertanyaan: apa yang harus dilakukan (What should be done?). Evaluasi ini mengidentifikasi problem, aset, dan peluang untuk membantu para pengambil
keputusan
prioritas-prioritas,
dan
mendefinisikan membantu
tujuan, kelompok-
37
kelompok lebih luas pemakai untuk menilai tujuan, prioritas,
dan
manfaat-manfaat
dari
program,
menilai pendekatan alternatif, rencana tindakan, rencana staf, dan anggaran untuk feasibilitas dan cost
potensi
kebutuhan
effectiveness
dan
tujuan
untuk
yang
memenuhi
ditargetkan.
Para
pengambil keputusan memakai Evaluasi Masukan dalam memilih di antara rencana-rencana yang ada, menyusun proposal pendanaan, alokasi sumbersumber, menempatkan staf, menskedul pekerjaan, menilai
rencana-rencana
aktivitas,
dan
pengangguran (Stufflebeam, 2003 dalam Wirawan, 2012). Evaluasi masukan dilakukan sebagai sarana menempatkan sistem pendukung, strategi solusi, dan desain prosedural di tempat untuk pelaksanaan program di masa mendatang (Fitzpatrick et al., 2004 dalam
Wang,
2010). Terutama
keterangan
yang
meliputi isu-isu seperti biaya, hasil, keuntungan, kerugian, dan faktor-faktor yang terkait dengan program lainnya. Maksud kemampuan menunjang
dari awal
evaluasi siswa
program
masukan
dan
tersebut
sekolah (Arikunto
adalah dalam dan
Safruddin, 2014). Evaluasi masukan membantu mengatur
keputusan,
mengatur
sumber-sumber
yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, bagaimana prosedur
kerja
untuk
evaluasi
masukan
mencapainya.
meliputi:
a)
Komponen
sumber
daya
manusia, b) sarana dan peralatan pendukung, c)
38
dana/anggaran, dan d) berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan (Widoyoko, 2013). 3. Evaluasi Proses (Process Evaluation) Evaluasi
proses
berupaya
untuk
mencari
jawaban atas pertanyaan: apakah program sedang dilaksanakan? (Is it being done?). Evaluasi ini berupaya untuk
mengakses
membantu
aktivitas
dan
pelaksanaan
staf
program
kemudian
dari
rencana
melaksanakan
membantu
kelompok
pemakai yang lebih luas menilai program dan menginterpretasikan
manfaat (Stufflebeam, 2003
dalam Wirawan, 2012). Evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan dengan program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggungjawab program, “kapan” (when) kegiatan akan
selesai
(Arikunto
dan
Safruddin,
2014).
Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan
program.
Pada
dasarnya
evaluasi
proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki (Widoyoko, 2013). 4. Evaluasi Produk/Hasil (Product Evaluation) Evaluasi produk diarahkan untuk mencari jawaban pertanyaan: Did it succed?. Evaluasi ini berupaya mengidentifikasi dan mengakses keluaran dan manfaat, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya untuk membantu staf menjaga upaya memfokuskan pada mencapai manfaat yang
39
penting dan akhirnya untuk membantu kelompokkelompok pemakai lebih luas mengukur kesuksesan upaya dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan yang ditargetkan (Stufflebeam, 2003 dalam Wirawan, 2012). Fungsi
evaluasi
produk/hasil
seperti
dirumuskan oleh Sax (1980) adalah “to allow to project director (or teacher) to make decision regarding continuation, termination, or modification of program”. Dari
hasil
evaluasi
proses
diharapkan
dapat
membantu
pimpinan
proyek
atau
untuk
membuat
keputusan
yang
kelanjutan,
akhir
maupun
guru
berkenan
dengan
modifikasi
program
(Widoyoko, 2013). Sementara menurut Tayibnapis (2008) evaluasi produk untuk membantu membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program itu berjalan. Berdasarkan beberapa pendapat tentang model evaluasi
CIPP
diatas,
maka
komponen-komponen
program akselerasi dalam penelitian ini dapat dianalisis dengan menggunakan model CIPP. Evaluasi program akselerasi di SMP Negeri 6 Ambon dapat dinilai dari konteks, input, proses, dan produk, karena sekolah tersebut sudah melaksanakannya selama tujuh tahun.
2.4 Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian
sebelumnya
telah
dilakukan
oleh
Marni Serepinah, tahun 2014, dengan judul “Evaluasi Program Kelas Akselerasi (Studi Evaluatif di SDK
40
Penabur
4
Jakarta).
disimpulkan masukan,
Dari
sebagai
hasil
berikut:
utamanya
penelitian Pertama,
meliputi
dapat
evaluasi
dasar/pedoman
penyelenggaraan Program Akselerasi SDK 10 PENABUR Jakarta
telah
memenuhi
kriteria
penyelenggaraan
program, dimana legalitas penyelenggaraan program baik secara de facto dan de jure telah memiliki legalitas penyelenggaraan peserta
program.
didik,
pembelajaran,
Kurikulum,
kualifikasi
dan
sarana
rekrutmen
pendidik, prasarana
bahan
penunjang
pembelajaran pada umumnya telah sesuai dan berjalan dengan
efektif.
Beberapa
hal
yang
memerlukan
perhatian adalah rekruitmen peserta didik yang masih belum sesuai kriteria penerimaan untuk tingkat IQ siswa. Minimnya pelatihan, seminar atau lokakarya untuk guru akselerasi dan masih terdapat guru yang mengajar dengan latar belakang jenjang pendidikan D3 (Diploma 3). Oleh karena itu dibutuhkan rekrutmen yang selektif dan perlunya sosialisasi dan koordinasi dengan bagian pendidikan BPK PENABUR dan dinas setempat terkait dengan Program
Akselerasi yang
terdapat di SDK 10 PENABUR Jakarta. Kedua, evaluasi proses
mencakup
pelaksanaan
perencanaan
pembelajaran,
dan
pembelajaran, penilaian
siswa
akselerasi baik kelas 3, 5, dan 6 terhadap kemampuan guru dalam persiapan pembelajaran, proses, interaksi, pengelolaan keaktifan siswa, dan kegiatan penutup pembelajaran menunjukkan kategori baik. Sungguhpun demikian, orang tua siswa mengharapkan kegiatan di luar kelas, non teori seperti eksperimen, praktik, dan pengamatan terhadap hal-hal yang mendukung bidang
41
studi perlu diperbanyak. Ketiga, evaluasi keluaran dan dampak,
secara
umum
menunjukkan
tingkat
pencapaian yang baik, bahkan perbandingan nilai ujian nasional kelas akselerasi menunjukkan grafik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas reguler. Aspek dampak, 100 % lulusan siswa akselerasi diterima di SMP
unggulan
melanjutkan
dan
sekolah
umumnya di
lingkungan BPK PENABUR.
SMP
mereka
yang
tetap
terdapat
di
Akan tetapi kurang dari
20% siswa melanjutkan ke SMP dengan program kelas akselerasi, karena jauhnya jarak rumah ke sekolah SMP penyelenggara Program Akselerasi di lingkungan sekolah BPK PENABUR. Secara keseluruhan, SDK 10 PENABUR Jakarta telah mampu menyelenggarakan Program
Akselerasi
yang
bertujuan
menyediakan
tempat bagi siswa dengan IQ yang berada di atas ratarata. Orang tua siswa juga memberikan masukan positif terhadap kelas akselerasi di SDK 10 PENABUR Jakarta dan bangga apabila anak mereka dapat melalui tes dan mengikuti Program Akselerasi. Sosialisasi yang kurang dan lokasi yang cukup jauh mengakibatkan Program Akselerasi ini tidak dapat dijangkau oleh siswa lainnya dari semua sekolah di lingkungan PENABUR yang tersebar di DKI Jakarta. Hasil penelitian yang relevan juga dilakukan oleh Dewi Chandrakirana Damayanti, tahun 2013. Tesis Program
Studi
Pendidikan
Kebutuhan
Khusus
Universitas Pendidikan Indonesia. Judul penelitian “Penyelenggaraan
Program
Akselerasi
Belajar
Bagi
Peserta Didik Cerdas Istimewa dilihat dari Opini Guru, Orang Tua dan Peserta Didik (Studi Kasus pada SMP
42
Negeri 1 Baleendah Kabupaten Bandung)”. Dari hasil penelitian dinyatakan bahwa: (1) terdapat empat pola rekrutmen peserta didik cerdas istimewa sesuai edaran dari Dinas pendidikan Provinsi Jabar (2) Proses dan evaluasi belajar dilaksanakan di kelas khusus (3) terdapat lima alternatif gagasan layanan belajar bagi peserta
didik
penelitian
ini
cerdas
istimewa.
adalah
terdapat
Kesimpulan alternatif
dari
gagasan
layanan belajar bagi peserta didik cerdas istimewa selain program akselerasi belajar. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Jovita
Dwi
Satyarini, tahun 2010 mengambil judul “Manajemen Program Akselerasi di Sekolah Unggulan Terpadu (Studi Multisitus
di
SMP Negeri
1
dan
SMA
Negeri
2
Lumajang)”. Berdasarkan temuan penelitian diperoleh kesimpulan: (1) perencanaan penyelenggaraan program akselerasi
melibatkan
mekanisme
seluruh
penyelenggaraan
warga
sekolah,
program
(2)
akselerasi
meliputi kegiatan meyusun dan mengirimkan proposal kepada
Dinas
Pendidikan
merekomendasikannya Provinsi
untuk
Kabupaten
kepada
dilakukan
Dinas
penelitian
yang
akan
Pendidikan dan
evaluasi
terhadap proposal tersebut. Apabila dianggap memenuhi kriteria, Dinas Pendidikan Provinsi akan menerbitkan
Surat
Keputusan
Penetapan,
(3)
strategi
penentuan input program akselerasi mengikuti konsep “Three-Ring Conception” dari Renzulli. Pelaksana tes adalah
lembaga
psikologi
yang
bersertifikasi
dan
oleh
Dirjen
Dikdasmen,
(4)
direkomendasikan
kurikulum dan pembelajaran pada program akselerasi adalah
kurikulum
nasional
dan
muatan
lokal.
43
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum berdiferensiasi Kalender akademik program akselerasi memuat empat bulan hari efektif setiap semesternya, (5) strategi penentuan output menggunakan berbagai jenis ulangan. Program remidial juga harus diikuti akseleran jika tidak mampu mencapai KKM dan harus kembali ke program reguler jika dinilai tidak mampu mengikuti pembelajaran di program akselerasi. Akseleran dinyatakan lulus dari satuan pendidikan dengan mengikuti kriteria kelulusan sekolah, (6) mekanisme pembinaan meliputi pembina pusat, provinsi, dan kabupaten. (7) monitoring dilakukan secara berjenjang, dilaksanakan oleh Ditjen Dikdasmen cq. Dit PLB, Dinas Pendidikan Provinsi
(Subdin
PLB),
dan
Dinas
Pendidikan
Kabupaten; dan (8) melakukan evaluasi program setiap tahun. Selain itu juga penelitian yang dilakukan oleh Citra
Ceria,
tahun
2011
dengan
judul
“Evaluasi
Pelaksanaan Program Akselerasi di SMA Negeri 1 Banjarmasin”. Temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa: (1) Animo masyarakat cukup tinggi terhadap program akselerasi dan dalam hal partisipasi pun sudah cukup baik; (2) Dari segi input, kompetensi guru sudah sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan telah mencapai 87,5%. Dari segi karakteristik siswa, yang diterima pada program ini telah mencapai 85,7% sesuai standar yang berlaku. Untuk sarana dan prasarana kelas program akselerasi sudah memenuhi pencapaian yang
sangat
digunakan
baik
untuk
yaitu
100%.
program
Kurikulum
akselerasi
ini
yang adalah
kurikulum nasional yaitu Kurikulum Tingkat Satuan
44
Pendidikan (KTSP) yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa. (3) Dari segi proses, Proses Belajar Mengajar (aktivitas guru dan siswa) sudah menunjukkan hal yang baik dengan pencapaian 100%. Untuk strategi pembelajaran pun sudah mencapai 100%. Namun untuk pengelolaan program hanya mencapai 50% karena tidak adanya Job Description untuk masing-masing anggota pengurus program. (4) Dari segi produk, prestasi akademik menunjukkan hasil yang sangat baik karena setiap tahunnya selalu menghasilkan 100% kelulusan dengan nilai rata-rata di atas standar. Namun dari segi prestasi non akademik baru mencapai 33,3% karena siswa program ini hanya sedikit yang mengikuti lomba-lomba ekstrakurikuler. Penelitian yang dilakukan oleh Marni Serepinah (2014) memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Citra Ceria (2011), yaitu melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan program akselerasi tetapi terdapat perbedaan pada jenjang pendidikan, model evaluasi yang digunakan, serta komponenkomponen program akselerasi yang dievaluasi. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Dewi
Chandrakirana Damayanti (2013) memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jovita Dwi Satyarini
(2010),
yakni
menekankan
pada
aspek
manajemen penyelenggaraan program akselerasi. Tetapi perbedaannya
terletak
pada
pendekatan
yang
digunakan. Adapun kesamaan mendasar dengan penelitian yang relevan di atas dengan yaitu sama-sama meneliti
45
tentang pendekatan
penyelenggaraan yang
program
digunakan
akselerasi,
adalah pendekatan
deskriptif kualitatif, serta teknik pengumpulan data juga sama. Namun yang membedakan penelitianpenelitian
tersebut
adalah
jenjang
pendidikan,
komponen-komponen program yang diteliti, serta model evaluasi yang digunakan. Dari
hasil
penelitian
yang
relevan
di
atas,
terdapat kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang hendak dilakukan. Jika dilihat dari tema yang diteliti maka penelitian yang hendak dilakukan ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Marni Serepinah (2014) dan Citra Ceria (2011), yaitu mengkaji tentang evaluasi program akselerasi walaupun model evaluasi yang digunakan berbeda dengan model evaluasi yang digunakan oleh Marni Serepiah (2014), akan tetapi sama dalam jenjang pendidikan, yaitu SMP. Jika dilihat dari komponenkomponen program akselerasi yang dievaluasi maka penelitian
yang
hendak
dilakukan
ini
memiliki
perbedaan dengan penelitian-penelitian yang relevan tersebut,
karena
komponen-komponen
program
akselerasi yang diteliti secara berbeda-beda dalam penelitian-penelitian tersebut, akan diteliti lebih dalam lagi melalui penelitian ini.
46
2.5 Kerangka Berpikir Program Akselerasi SMP Negeri 6 Ambon Periode Berikutnya
Program Akselerasi SMP Negeri 6 Ambon Rekomendasi Kebijakan
Evaluasi Program: Context Input) Process Product
Hasil Evaluasi
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian
Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dijelaskan bahwa SMP Negeri 6 Ambon menyelenggarakan program akselerasi.
Program
tersebut
kemudian
dievaluasi
Context, Input, Process, dan Product. Setelah dievaluasi, maka menghasilkan rekomendasi kebijakan bagi pihak sekolah
terkait
keberlangsungan
bersangkutan ke depan.
program
yang