BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori 2.1.1 Efektivitas Pembelajaran Efektivitas berasal dari bahasa inggris yaitu Effective yang berarti berhasil, tepat atau manjur. Eggen dan Kauchak (dalam Artanti, 2012:7) mengemukakan bahwa pembelajaran dikatakan efektif apabila siswa secara aktif dilibatkan dalam pengorganisasian dan penentuan informasi (pengetahuan). Siswa tidak hanya pasif menerima pengetahuan yang diberikan guru. Hasil belajar ini tidak hanya meningkatkan pemahaman siswa saja, tetapi juga meningkatkan keterampilan berfikir siswa.
Nana
Sudjana (2012:59)
mengungkapkan bahwa
suatu
pembelajaran efektif dapat ditinjau dari segi proses dan hasilnya. Dari segi proses suatu pembelajaran haruslah merupakan interaksi dinamis sehingga siswa sebagai subyek belajar mampu mengembangkan potensi secara efektif. Dari segi hasil atau produk menekankan pada penguasaan tujuan oleh siswa baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Slameto (2010:92) menyatakan bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat membawa siswa belajar efektif. Pembelajaran akan efektif jika waktu yang tersedia sedikit saja untuk guru melakukan ceramah dan waktu yang besar adalah untuk kegiatan intelektual dan untuk pemeriksaan pemahaman siswa. Lebih lanjut Slameto, mengemukakan bahwa suatu pembelajaran dikatakan efektif jika memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain: (1) belajar secara aktif, baik secara mental maupun fisik, (2) adanya variasi metode dalam pembelajaran, (3) adanya motivasi, (4) kurikulum yang baik dan seimbang, (5) adanya pertimbangan perbedaan individu, (6) adanya perencanaan sebelum pembelajaran, (7) adanya suasana yang demoratis, (8) penyajian bahan pelajaran yang merangsang siswa untuk berfikir, (9) interaksi semua pelajaran, (10) kaitan antara kehidupan nyata kehidupan sekolah, (11) kebebasan siswa dalam interaksi pembelajaran, (12) pengajaran remedial.
6
7
Dari beberapa uraian mengenai efektivitas pembelajaran maka dapat disimpulkan bahwa suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila semua unsur dan komponen yang terdapat dalam sistem pembelajaran berfungsi dengan baik sesuai dengan hasil dan tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai tujuan pembelajaran , maka dapat dikatakan efektif apabila siswa berhasil mencapai hasil yang diharapkan, dalam hal ini adalah hasil belajar yang optimal. 2.1.2 Model Pembelajaran Problem Posing 2.1.2.1 Model Pembelajaran Menurut Sagala (2012:175), model pembelajaran adalah kerangka konseptual
yang
menggambarkan
prosedur
yang
sistematis
dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Suprijono (2012:46), menyatakan model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial. Mills (dalam Suprijono, 2012:45), berpendapat bahwa model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Senada dengan pemikiran Joyce (dalam Suprijono, 2012:46), fungsi model pembelajaran yaitu guru dapat membantu peserta didik mendapat informasi, ide ketrampilan, cara berfikir dan mengekspresikan ide. Berdasarkan uraian pengertian model pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu bentuk pengajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam kegiatan belajar mengajar. Model pembelajaran diperlukan oleh guru dan penggunaannya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pengajaran berakhir. 2.1.2.2 Problem Posing Model pembelajaran problem posing ini mulai dikembangkan pada tahun 1997 oleh Lyn D. English dan awalnya diterapkan dalam mata pelajaran matematika. Problem Posing merupakan istilah dari bahasa inggris yang berasal
8
dari dua kata yaitu “Problem” yang artinya masalah dan “Posing” dari kata to pose yang artinya mengajukan atau membentuk. Jadi problem posing bisa diartikan sebagai pengajuan soal atau pengajuan masalah. Senada dengan pernyataan tersebut, menurut Suryanto (dalam Thobroni & Mustofa, 2012:343), mengartikan bahwa kata problem sebagai masalah atau soal sehingga pengajuan masalah dipandang sebagai suatu tindakan merumuskan soal dari situasi yang diberikan. Thobroni
&
Mustofa
(2012:351),
mengungkapkan
bahwa
model
pembelajaran problem posing adalah suatu model pembelajaran yag mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal secara mandiri. Suryanto (dalam Thobroni & Mustofa, 2012:351), menjelaskan bahwa problem posing adalah perumusan soal agar lebih sederhana dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Senada dengan pernyataan tersebut, menurut Brown dan Walter (dalam Thobroni & Mustofa, 2012:345), model pengajuan masalah terdiri dari dua aspek penting, yaitu accepting dan challenging. Accepting berkaitan dengan dengan sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan oleh guru. Sementara challenging berkaitan dengan sejauh mana siswa tertantang dari situasi yang sehingga melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah atau soal. Menurut Yaya S. Kusumah (2004:8), penekanan dari model pembelajaran ini adalah siswa tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan guru tetapi juga secara aktif mengkonstruksinya secara individual. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpukanlan bahwa problem posing adalah model pembelajaran dimana siswa berlatih mandiri untuk merumuskan masalah sesuai dengan situasi yang diberikan dan acuan penyelesaian soal itu sendiri. A. Prinsip-prinsip Problem Posing Dalam rangka mengembangkan model pembelajaran problem posing maka dalam pembelajaran diterapkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut : 1. Pengajuan soal harus berhubungan dengan aktifitas siswa di dalam kelas.
9
2. Pengajuan soal harus berhubungan dengan pemecahan masalah siswa. 3. Pengajuan soal dapat dihasilkan dari permasalahan yang ada dalam buku teks tetapi masih berkaitan dengan materi pembelajaran. B. Langkah Model Pembelajaran Problem Posing Langkah-langkah dan aktivitas pembelajaran problem posing adalah sebagai berikut : 1. Guru menyampaikan materi secara garis besar dengan menggunakan alat peraga untuk memperjelas konsep. 2. Guru memberikan latihan soal secukupnya kepada siswa. 3. Guru memberikan beberapa bentuk contoh soal kepada siswa. 4. Siswa diminta untuk mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. 5. Guru secara acak menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. 6. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap proses belajar mengajar. C. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Problem Posing Kelebihan model pembelajaran problem posing sebagai berikut : 1.
Mendidik siswa untuk berpikir kritis dan kreatif.
2.
Siswa aktif dalam pembelajaran
3.
Belajar menganalisa suatu masalah.
4.
Mendidik anak percaya pada diri sendiri Sedangkan kekurangan dari model problem posing sebagai berikut :
1.
Tidak semua siswa memiliki konsep untuk menguasai konsep dalam waktu yang singkat.
2.
Pertanyaan yang dibuat siswa tidak semuanya bersifat menantang.
3.
Membutuhkan waktu yang relatif lama.
4.
Tidak semua siswa trampil bertanya.
10
2.1.3 Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Team Achievement Divisions) 2.1.3.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran ini memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk bekerja kelompok dalam memecahkan suatu masalah. Beberapa pendapat tentang model belajar kooperatif dikemukakan oleh Johnson & Johnson (dalam Isjoni, 2012:23), Pembelajaran kooperatif adalah pengelompokan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut. Taniredja (2011:54), menyatakan pembelajaran kooperatif adalah sebagai suatu sikap atau prilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Menurut Lie (2008:28), pembelajaran Kooperatif atau Cooperative Learning merupakan istilah umum untuk sekumpulan strategi pengajaran yang dirancang untuk mendidik kerja sama kelompok dan interaksi antarsiswa. Model pembelajaran kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Cooperative learning menurut Slavin (dalam Isjoni, 2012:15), adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Pembelajaran kooperatif ditunjukkan adanya kolaborasi antara beberapa pemikiran sehingga diperoleh pemahaman yang lebih baik. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Slavin, R.E. (2005:8) dalam model pembelajaran kooperatif akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Roger dan David Johnson (dalam Suprijono, 2012:58) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran cooperative learning harus diterapkan, yaitu :
11
1. Positive interdependence (saling ketergantungan positif) 2. Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan) 3. Face to face promotive interaction (tatap muka) 4. Interpersonal skill (komunikasi antar anggota) 5. Group processing (pemrosesan kelompok). Pada cooperative learning diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 2005). Beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut : 1) untuk menuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif; 2) kelompok dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah; 3) jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang terdiri dari beberapa ras, suku, budaya jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar dalam tiap kelompok terdiri dari ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda pula; 4) penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan. Berdasarkan pendapat di atas maka pembelajaran kooperatif dapat disimpulkan suatu model pembelajaran yang dilakukan di dalam kelompok kecil, dimana di dalam suatu kelompok saling bekerjasama untuk menyelesaikan tugastugas terstruktur. Dalam metode Student Team Learning, tugas-tugas yang diberikan pada siswa bukan melakukan sesuatu sebagai sebuah tim, tetapi belajar sesuatu sebagai sebuah tim. Tiga konsep penting dalam karakteristik pembelajaran kooperatif sebagaimana dikemukakan Slavin (dalam Isjoni, 2012:33-34) adalah penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan. Menurut Isjoni (2012:73) dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa model yang dapat diterapkan yaitu, antara lain : 1) Student TeamAchievement Division (STAD); 2) Jigsaw; 3) Teams-Games-Tournament (TGT; 4) Group Investigation; 5) Team Accelerated Instruction (TAI).
12
2.1.3.2 STAD (Student Team Achievement Divisions) Slavin (dalam Isjoni, 2012:74) Student Team Achievement Division (STAD) merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Sedangkan menurut Slavin (2005:143) STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa STAD (Student Team Achievement Division) adalah pembelajaran kooperatif yang digunakan untuk memotivasi siswa agar dapat bekerja sama satu sama lain dalam menguasai materi yang disampaikan guru. Meskipun mereka dapat bekerja sama dalam kelompok, mereka harus bekerja sendiri dalam mengerjakan kuis. Hal ini dapat membuat anggota kelompok bertanggung jawab pada kelompoknya karena skor tim mereka berdasarkan pada poin yang diperoleh anggota kelompoknya. Dengan penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada mata pelajaran matematika, siswa akan lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran di kelas. Siswa akan lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran dengan adanya reward dari guru. A.
Komponen Pembelajaran Kooperstif Tipe STAD Menurut
Slavin
(2005:143),
ada
lima
komponen
utama
dalam
pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu : 1.
Presentasi kelas Materi dalam STAD pertama-tama diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan pengajaran langsung seperti yang sering dilakukan atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru.
2.
Tim Tim terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama tim adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, dan mempersiapkan anggotanya untuk bisa
13
mengerjakan kuis dengan baik. Setelah guru menyampaikan materinya, tim berkumpul untuk mempelajari lembar kegiatan atau materi lainnya. Pada tiap poinnya, yang ditekankan adalah membuat anggota tim melakukan yang terbaik untuk tim, dan tim pun harus melakukan yang terbaik untuk membantu setiap anggotanya. 3.
Kuis Setelah guru memberikan presentasi, siswa akan mengerjakan kuis individual. Para siswa tidak diperbolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis. Sehingga setiap siswa bertanggung jawab secara individual untuk memahami materinya.
4.
Skor Kemajuan Individual Untuk memberikan kepada tiap siswa tujuan kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya. Tiap skor diberi skor “awal” yang diperoleh dari rata-rata kinerja siswa sebelumnya
5.
Rekognisi Tim Pada tahap ini perhitungan skor kelompok dilakukan dengan cara masing-masing skor perkembangan individu kemudian dibagi sesuai jumlah anggota kelompoknya. Pemberian penghargaan diberikan berdasarkan perolehan rata-rata, penghargaan dikategorikan kepada kelompok baik, kelompok hebat dan kelompok super. Tabel 2.1 Pedoman Pemberian Skor Perkembangan Individu Skor kuis
Poin kemajuan
Lebih dari 10 poin dibawah skor awal
5 poin
10-1 poin dibawah skor awal
10 poin
Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal
20 poin
Lebih dari 10 poin di atas skor awal
30 poin
Kertas jawaban sempuna (terlepas dari skor awal)
30poin
(Sumber: Slavin, Robert E, 2005:159)
14
B. Langkah-langkah pembelajaraan kooperatif tipe STAD Langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut: 1.
Guru menyajikan pembelajaran
2.
Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen.
3.
Guru memberikan tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota
kelompok.
Anggotanya
yang sudah
mengerti
dapat
menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti. 4.
Guru memberikan kuis kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis dalam anggota kelompok tidak boleh saling membantu.
5.
Memberi soal evaluasi.
6.
Guru menghitung poin dari hasil kuis, dianalisis, dan ditetapkan penghargaan yang akan diumumkan kepada semua siswa. Setiap kelompok diberi penghargaan sesuai dengan poin kemajuan individual. penghargaan dikategorikan kepada kelompok baik, kelompok hebat dan kelompok super.
C. Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe STAD Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai berikut : 1. Mengembangkan serta menggunakan keterampilan berpikir kritis dan kerjasama kelompok. 2. Menyuburkan hubungan antar pribadi yang positif diantara siswa yang berasal dari ras yang berbeda. 3. Menerapkan bimbingan oleh teman. Sedangkan kekurangan model pembelajaran kooperatif STAD adalah sebagai berikut: 1. Sejumlah siswa mungkin bingung karena belum terbiasa dengan perlakuan seperti ini. 2. Siswa berprestasi tinggi akan mengarah pada kekecewaan karena peran anggota yang pandai lebih dominan.
15
3. Guru pada permulaan akan membuat kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan kelas. Akan tetapi usaha sungguh-sungguh yang terus menerus akan dapat terampil menerapkan model ini. 2.1.4 Model
Pembelajaran
Problem
Posing
Dikolaborasikan
dengan
dikolaborasikan
dengan
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pembelajaran
melalui
problem
posing
pembelajaraan kooperatif tipe STAD merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan atas beberapa kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa secara heterogen dan pada tahap diskusi terdapat penyusunan soal dan cara penyelesaiannya. Di dalam kolaborasi ini siswa akan mendapat pengalaman belajar yang lebih yaitu selain siswa mengkonstruksi pengetahuannya, mereka juga akan belajar bagaimana bekerja sama dan bersosialisasi dengan orang lain tanpa membeda-bedakan. Contoh pola implementasi pembelajaran menggunakan model problem posing dikolaborasikan dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam RPP adalah sebagai berikut: 1. Pendahuluan - Guru melakukan kegiatan apersepsi. - Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa dan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan serta aturan dalam permainan. 2. Inti Eksplorasi - Guru menyampaikan materi secara garis besar dengan menggunakan alat peraga untuk memperjelas konsep. Elaborasi - Guru membentuk siswa dalam kelompok kecil kurang lebih 5-6 orang secara heterogen (tahap tim). - Siswa diberi lembar latihan untuk memperdalam atau mempelajari lebih lanjut materi dalam anggota kelompok
16
- Siswa diminta untuk menyusun pertanyaannya sendiri dari informasi yang sudah diberikan guru (problem posing) - Guru memberikan contoh cara penyusunan soal. - Guru memberikan kesempatan siswa untuk membuat dan membahas soal tersebut dalam satu kelompok dan memastikan semua anggota kelompok benar-benar memahami materi, soal dan cara penyelesaiannya. - Guru meminta siswa untuk menukarkan soal kepada kelompok lain dan kelompok lain tersebut juga membahas soal di dalam kelompoknya - Guru meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil pembahasan soal - Guru memberikan kuis pada masing-masing individu. (STAD) Konfirmasi - Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diketahui siswa - Guru bersama siswa bertanya jawab meluruskan kesalahan pemahaman, dan memberikan penguatan. - Guru menghitung poin hasil kuis, dianalisis, dan ditetapkan penghargaan yang akan diumumkan kepada semua siswa. Setiap kelompok diberi penghargaan sesuai dengan poin kemajuan individual. penghargaan dikategorikan kepada kelompok baik, kelompok hebat dan kelompok super. - Guru memberikan reward atau penghargaan kepada kelompok yang memiliki skor paling tinggi. (STAD) 3. Penutup - Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil pembelajaran sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai. - Dengan bantuan guru siswa merefleksi kembali dari kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. - Guru memberikan tes evaluasi untuk mengukur pemahaman siswa mengenai materi yang telah disampaikan. Pada pembelajaran model problem posing dikolaborasikan dengan STAD siswa diberi kesempatan untuk mengajukan permasalahan dan menyelesaikannya berdasarkan situasi yang diberikan kemudian dikerjakan secara bersama-sama,
17
sehingga diharapkan kreativitas siswa dapat berkembang. Model problem posing dikolaborasikan dengan STAD juga dapat membangkitkan nalar siswa sehingga siswa kreatif dan akhirnya diharapkan siswa dapat berpikir logis dan kritis. 2.1.5 Hakekat Hasil Belajar Matematika 2.1.5.1 Pengertian Belajar Slameto (2010:2), menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.
Pengertian
belajar
sejalan
dengan
teori
yang
dikemukankan Gagne (dalam Suprijono, 2009:2), belajar ialah perubahan disposisi/ kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktifvitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara alamiah. Hamalik (2011:27) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi mengalami. Sudjana (2010:28), mengungkapkan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah laku, keterampilan kecakapan dan kemampuan dan aspek-aspek lain yang ada pada individu. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku pada diri individu sebagai hasil dari pengalaman
yang
ditunjukkan
dengan
adanya
perubahan
pengetahuan,
pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan kecakapan dan kemampuan dan aspek-aspek lain yang ada pada individu melalui aktivitas dan interaksi dengan lingkungannya. 2.1.5.2 Hasil Belajar Matematika Menurut Dimyati dan Mudjiono, (2006:3) hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tidak belajar dan tindak mengajar. Hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut,
18
misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti, Oemar Hamalik, (2011:30). Menurut Suprijono (2012:5), hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Senada dengan pendapat tersebut menurut Nana Sudjana (2012:2), mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang dicapai siswa setelah mengalami proses belajar dalam waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Lebih lanjut menurut Bloom (dalam Nana Sudjana, 2012:22), ada tiga ranah (domain) hasil belajar, yaitu : 1) Ranah afektif, merupakan aspek yang berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat penerimaan atau penolakan terhadap suatu objek; 2) Ranah psikomotor, merupakan aspek yang berkaitan dengan kemampuan melakukan pekerjaan yang melibatkan anggota badan, kemampuan yang berkaitan dengan gerak fisik; 3) Ranah kognitif, merupakan aspek yang berkaitan dengan kemampuan berpikir, kemampuan memperoleh pengetahuan, kemampuan yang berkaitan dengan perolehan pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan dan penalaran. Hasil belajar diperoleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. Untuk mengetahui tingkat pencapaian belajar siswa dalam suatu pokok bahasan guru biasanya mengadakan tes hasil belajar. Hasil belajar dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu tes hasil belajar yang diadakan. Sudjana (2010:39) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar ada dua yaitu : faktor dari dalam dan faktor dari luar atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari dalam diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Di samping faktor kemampuan yang dimiliki siswa juga ada faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis. Berdasarkan uraian pengertian hasil belajar matematika, dapat disimpulkan perubahan tingkah laku dari proses belajar yang dilakukan dalam waktu tertentu
19
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan merupakan suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran matematika. Untuk memperoleh hasil belajar, diperlukan penilaian atau dilakukan evaluasi pada siswa yang merupakan cara yang dilakukan untuk mengukur tingkat penguasaan siswa dalam proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Sehingga dengan evaluasi, pendidik juga dapat mengukur tentang perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran. Hasil belajar merupakan hal penting dalam proses belajar mengajar, karena menjadi alat ukur untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan seorang siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Dengan demikian jika pencapaian hasil belajar itu tinggi, maka dapat dikatakan bahwa proses belajar mengajar itu berhasil.
2.2 Kajian Penelitian yang Relevan Sutriyono tahun 2006 dalam penelitan dengan judul “Keefektifan Model Pembelajaran Tipe STAD Terhadap Pemahaman Konsep Materi Pokok Bangun Ruang Sisi Datar Siswa Kelas VIII SMP N 3 Dempet Tahun Pelajaran 2006/2007”
menunjukkan
bahwa
pemahaman
konsep
siswa
terhadap
pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada siswa yang dikenai dengan pembelajaran konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata sebesar 72,57 untuk kelas ekperimen dan 66,76 untuk kelas kontrol. Setelah dilakukan uji perbedaan rata-ratadiperoleh thitung = 2,787, dan ttabel = 1,67, karena thitung > ttabel maka H0 ditolak artinya pemahaman konsep kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil penelitian Artanti, Nila tahun 2012 dalam skripsinya yang berjudul “Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournamnet Mata Pelajaran IPA Kelas V SD Imbas Gugus Lokantara Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012” menyatakan bahwa hasil dari penelitian ini perolehan rata-rata hasil belajar kelas ekperimen sebesar 75,26 dan untuk kelas kontrol sebesar 65,31 dengan perbedaan rata-rata hasil belajarnya adalah 9,95. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat
20
disimpulkan terdapat perbedaan efektivitas yang signifikan antara pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournamnet dengan pembelajaran konvensional mata pelajaran IPA. Riana, Fifit (2012) dalam penelitiannya dengan judul “Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Problem Posing Terhadap Hasil Belajar Ekonomi pada siswa kelas X di SMA Negeri 1 Kandangan, Kabupaten Kediri” menunjukkan bahwa hasil belajar ekonomi langsung diperoleh peningkatan dilihat dari rata-rata pretest 40,39 dan nilai rata-rata postest 74,74 dan hasil belajar siswa yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif tipe problem posing diperoleh peningkatan dilihat dari rata-rata pretest 42,11 dan nilai rata-rata postest 85,92. Terlihat ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe problem posing dengan model pembelajaran langsung.
2.3 Kerangka Berfikir Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit untuk dimengerti. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang kurang memuaskan. Pembelajaran yang biasa diterapkan selama ini menggunakan metode konvensional, dimana pembelajaran berpusat pada guru, siswa pasif, dan kurang terlibat dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa mengalami kejenuhan dalam pembelajaran yang berakibat kurangnya minat belajar. Minat belajar akan tumbuh apabila kegiatan belajar mengajar menggunakan model pembelajaran yang tepat. Pada pembelajaran model problem posing dikolaborasikan dengan STAD siswa diberi kesempatan untuk mengajukan permasalahan dan menyelesaikannya berdasarkan situasi yang diberikan kemudian dikerjakan secara bersama-sama, sehingga diharapkan kreativitas siswa dapat berkembang. Model problem posing dikolaborasikan dengan STAD juga dapat membangkitkan nalar siswa sehingga siswa kreatif dan akhirnya diharapkan siswa dapat berpikir logis dan kritis.
21
Bagan 2.1 Alur Kerangka Berfikir Kelas Eksperimen di kelas IVB SD N Bansari
Kelas kontrol di kelas IVA SD N Bansari
Uji Kesetaraan
Pembelajaran model problem posing dikolaborasikan dengan STAD
Pembelajaran Konvensional
Postest
Hasil Belajar Matematika
2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Diduga penggunaan model pembelajaran problem posing dikolaborasikan dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih efektif terhadap hasil belajar matematika kelas IV di SD N Bansari kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung tahun ajaran 2012/2013.”
