BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kitin dan Bakteri Kitinolitik Kitin merupakan polimer golongan karbohidrat yang dihasilkan dari limbah hasil laut khususnya golongan udang, kepiting, dan kerang. Secara hayati, polimer polisakarida ini disintesis hampir satu milyar ton per tahun di dunia. Kadar kitin dalam kulit udang dan kepiting sekitar 40-60 %, sedangkan pada dinding sel fungi berkisar 22-44 %. Kitin ditemukan pada kutikula serangga, karapas Crustacea dan dinding sel Saprolegnia (Gohel et al. 2006). Kitin yang diperoleh dari berbagai sumber memiliki struktur sama, kecuali ikatannya dengan protein dan kalsium karbonat yang merupakan dua komponen lain pada kulit udang (Rahayu et al. 2003). Bakteri kitinolitik sudah diketahui secara luas dapat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan jamur dan lebih dari itu, digunakan sebagai alat untuk mengontrol penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur (Quecine et al. 2008). Enzim yang dapat mendegradasi kitin adalah kitinase atau enzim kitinolitik. Organisme yang dapat mendegradasi kitin tersebar luas di alam, termasuk organisme yang tidak memiliki kitin seperti bakteri, virus, tumbuhan tingkat tinggi, dan hewan yang memiliki peran penting dalam fisiologi dan ekologi (Dewi 2011). Menurut Matsumoto (2006), mikroba mendegradasi kitin dengan mensekresikan enzim yang memiliki spesifitas tertentu untuk mengubah atau menghidrolisis kitin. Bakteri kitinolitik merupakan kandidat bakteri yang dapat digunakan dalam pengendali hayati jamur. Kitinase merupakan enzim yang mampu menghidrolisis polimer kitin menjadi monomer N-asetilglukosamin atau kitin oligosakarida. Degradasi kitin oleh prokariot dan eukariot terjadi dalam dua tahap yang prosesnya melibatkan hidrolisis ikatan β 1-4 glikosida yang menghubungkan sub unit N-asetilglukosamin. Pertama endokitinase mengikat tetramer dan polimer N-asetilglukosamin untuk menghasilkan disakarida kitobiose. Kedua kitobiose dihidrolisis menjadi monomer N-asetilglukosamin. Enzim pendegradasi kitin umumnya oleh beberapa organisme diinduksi oleh kitosan, kitobiose, dan glukosamin (Connel et al. 1998). 2.2 Enzim Kitinase
6
Enzim merupakan protein untuk katalis percepatan reaksi kimia. Enzim akan merubah suatu susunan molekul menjadi susunan lain yang lebih sederhana berupa produk, bereaksi secara spesifik, dan bekerja seperti kunci dan gembok artinya suatu aktivitas enzim hanya bereaksi terhadap susunan molekul tertentu. Aktivitas kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti inhibitor (memperlambat reaksi), aktivator (mempercepat reaksi), kofaktor, koenzim, suhu, pH, konsentrasi dari substrat (Wikipedia 2007). Enzim kitinase adalah enzim pencerna yang memecah ikatan glikosida dalam kitin, menghidrolisis kitin menjadi kitosan (Shomashekar dan Joseph dalam Ahmad 2007). Struktur pita molekul kitinase dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Pita Molekul Kitinase (Wikipedia 2007) Enzim
kitinase
yang
dihasilkan
oleh
mikroorganisme
kitinolitik
mempunyai potensi tinggi untuk mendegradasi limbah yang mengandung kitin, karena adanya enzim kitinase memungkinkan konversi kitin yang melimpah menjadi produk yang berguna. Bakteri kitinolitik pada bidang pertanian berfungsi sebagai agen biokontrol terhadap fungi patogen maupun serangga hama yang umumnya memiliki komponen kitin pada dinding selnya (Hirano 1996). Menurut Rostinawati (2008), enzim kitinase berdasarkan cara kerjanya dalam mendegradasi substrat dikelompokkan ked alam dua tipe yaitu :
1.
Endokitinase, yaitu kitinase yang memotong secara acak ikatan β-
1,4 bagian internal mikrofibril kitin. Produk akhir yang terbentuk bersifat mudah larut berupa oligomer pendek N-asetilglukosamin yang memiliki berat molekul rendah seperti kitotetraose. 2.
Eksokitinase dinamakan juga kitobiosidase atau kitin β-1,4-
kitobiosidase, yaitu enzim yang mengkatalisis secara aktif pembebasan unit-unit monosakarida atau oligosakarida yang dibentuk. Pemotongan hanya terjadi pada ujung non reduksi mikrofibril kitin dan tidak secara acak. 2.3 Saprolegnia sp.
Infeksi jamur pada ikan sering disebabkan oleh Saprolegnia sp. Saprolegnia sp. merupakan patogen utama pada ikan air tawar (Noga 2000). Ciriciri umum Saprolegnia sp. diantaranya adalah hidup di daerah tropis dengan suhu lebih dari 24 0C, sebagai saprofit mudah menyerang telur ikan, tidak hidup di air laut, dapat hidup dalam salinitas rendah, sporangia dan zoospora diproduksi setelah 48 jam sampai 72 jam (Willoughby dalam Widiaty 2008). Beberapa spesies yang patogen terhadap ikan yaitu Saprolegnia parasitica, Saprolegnia diclina, Saprolegnia ferax. Infeksi sekunder munculnya borok disebabkan oleh spora Saprolegnia parasitica yang tumbuh membentuk miselium, menembus luka atau borok pada tubuh ikan dan menyebabkan terganggunya proses osmoregulasi (Willoughby dalam Widiaty 2008). Klasifikasi Saprolegnia sp. menurut Alexopoulos dalam Widiaty (2008) : Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Mycota : Oomycetes : Saprolegniales : Saprolegniaceae : Saprolegnia : Saprolegnia sp.
Saprolegnia sp. memiliki struktur umum berbentuk benang dengan sedikit hifa. Jamur Saprolegnia sp. sepintas hampir sama bentuk maupun strukturnya
dengan Achlya, perbedaannya terletak pada saat pembentukan spora. Jamur Saprolegnia sp. membentuk spora pada ujung hifa yang lama, sedangkan Achlya membentuk spora pada ujung hifa yang baru. Lapisan teratas hifa kaya akan 1,3 β glukan (El-Katatny et al., 2000). Saprolegnia yang menyerang ikan dan telur ikan disajikan pada Gambar 2.
b.
(b) Keterangan: (a) Telur ikan yang terinfeksi Saprolegnia (b) Ikan yang terinfeksi Saprolegnia (a)
Gambar 2. a-b. Perbandingan ikan dan telur yang terinfeksi Saprolegnia (Lombardini 2010) Menurut Alexopoulus dalam Widyati (2008), perkembangan jamur ini dapat terjadi secara seksual maupun secara aseksual. Reproduksi seksual pada Saprolegnia sp. terjadi dengan bertemunya alat reproduksi jantan yaitu antheridium dengan alat reproduksi betina yaitu oogonium. Pada saat antheridium bertemu dengan oogonium, inti sel jantan menembus dinding sel betina lalu bercampur dengan inti sel betina kemudian akan terbentuk oospora, yang pada akhirnya akan tumbuh hifa baru. Pada reproduksi aseksual akan dihasilkan dua tipe zoospora, yang pertama adalah zoospora primer yang memiliki flagella pada ujungnya. Segera setelah keluar dari dari zoosporangium, zoospora primer akan membentuk kista, kemudian akan langsung berkecambah atau akan membentuk tipe zoospora yang kedua yaitu zoospora sekunder. Zoospora sekunder akan membentuk kista juga, tetapi pada akhirnya akan berkecambah membentuk hifa baru. Menurut Bruno dan Wood (1999), Saprolegnia sp. merupakan cendawan yang bertanggung jawab terhadap infeksi, baik pada ikan budidaya maupun ikan-
ikan liar pada perairan bebas, yang hidup maupun yang mati, dan juga pada telur ikan. Saprolegnia sp. memiliki bentuk seperti benang halus dan berwarna putih atau kadang agak kecoklatan, menonjol dan bundar. Menyebar di seluruh tubuh dengan perluasan yang melingkar sampai perbatasan luka, khusus menyerang organ tubuh seperti kepala, tutup insang, sirip ekor, dan sirip anal. Faktor utama yang menentukan terjadinya infeksi Saprolegnia sp. adalah keadaan psikologi ikan. Kematangan seksual, stres, atau kerusakan ikan adalah penyebab utama terjadinya kerentanan terhadap infeksi. Bruno dan Wood (1999) lebih jauh mengatakan minimal terdapat tiga garis pertahanan yang dimiliki oleh ikan dalam menghadapi dan melawan infeksi Saprolegnia sp. Kulit merupakan bagian pertama yang melakukan kontak pada saat terjadinya infeksi, selanjutnya diikuti oleh peningkatan pengeluaran lendir ikan yang berperan untuk mengurangi jumlah parasit pada permukaan tubuh. Pertahanan kedua adalah morfogen dari lendir bagian luar yang dapat menghambat pertumbuhan miselium spora, dan terakhir terdapat pertahanan berupa respon selular yang dapat terdeteksi pada lendir eksternal. Menurut Kamoun (2003) keunikan Oomycetes ditemukan pada komposisi penyusun dinding selnya. Penyusun utama dinding sel Oomycetes adalah polimer β-1,3 glukan dan selulosa namun dengan sedikit kitin. Kitin merupakan penyusun dinding sel Saprolegnia sp. yang minor, namun komponen ini penting dalam dinding sel karena kitin sintase dapat menghambat polyoxin D yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dinding sel Oomycetes. Menurut Guerreiro et al. (2010), pada jamur Oomycetes kadar kitin sangat sedikit jumlahnya pada dinding sel tidak mencapai lebih dari 0,5 % akan tetapi kitin sangat berperan penting dalam membentuk struktur pertumbuhan ujung hifa pada Oomycetes yang merupakan proses yang sangat vital pada mikroorganisme tersebut. Siklus hidup Saprolegnia sp. disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Siklus Hidup Saprolegnia sp. (Neish dan Hughes dalam Lingga 2012) 2.4 Primer RNA Ribosomal 16S (16S rRNA) Prokaryota
Prokaryota memiliki
karakter khusus, berukuran mikroskopis, dan
memiliki struktur yang relatif sederhana. Beberapa definisi spesies untuk prokaryota
dibuat
berdasarkan
parameter
fenotipe
dan
genotipe
untuk
menggambarkan kekerabatan secara filogeni. Konsep spesies filogenetik lebih sesuai untuk diterapkan pada prokaryota dibandingkan dengan konsep spesies biologi karena kelompok ini bereproduksi secara aseksual (Roselo-Mora dan Amann dalam Pangastuti 2006). Parameter morfologi jarang digunakan untuk mengkarakterisasi prokaryota karena kesederhanaan struktur selnya. Pada kelompok prokaryota yang memiliki morfologi relatif kompleks, seperti cyanobacteria dan actinomycetes, penentuan spesies berdasarkan morfologinya dapat dilakukan. Pendekatan genomik lebih sering digunakan untuk penentuan spesies pada prokaryota. Kemajuan teknologi telah memungkinkan untuk melakukan isolasi DNA atau RNA langsung dari sampel yang diperoleh langsung dari lingkungan (Krieg dan Holt dalam Pangastuti 2006). Diantara berbagai teknik yang digunakan, RNA ribosomal paling banyak digunakan sebagai penanda DNA molekuler pada prokaryota. Pada prokaryota terdapat tiga jenis RNA ribosomal yaitu 5S, 16S, dan 23S rRNA, diantara ketiganya 16S rRNA yang paling sering digunakan. Molekul 5S rRNA memiliki urutan basa terlalu pendek, sehingga tidak ideal dari segi analisis statistika, sementara molekul 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang sehingga menyulitkan analisis. Analisis gen penyandi 16S rRNA telah
menjadi prosedur baku untuk menentukan hubungan filogenetik dan menganalisis suatu ekosistem (Pangastuti 2006). Sifat spesifik 16S rRNA ini dimiliki oleh setiap spesies bakteri. Penggunaan metode analisis gen 16S rRNA ini sebagai acuan identifikasi bakteri secara molekuler memiliki keunggulan, dimana gen ini relatif konstan dan tidak berubah dalam jangka waktu yang sangat lama atau dengan kata lain laju mutasinya sangat kecil. Kelemahan penggunaan gen 16S rRNA untuk proses pengidentifikasian adalah hanya dapat dipakai dengan meyakinkan hingga tingkat genus (Pangastuti 2006). Gen 16S rRNA memiliki ukuran panjang antara 1500 – 1550 bp dan kaya akan basa nitrogen guanin dan sitosin. Pada gen 16S rRNA terdapat suatu daerah yang dinamakan daerah lestari dan daerah variabel. Sebagian atau seluruh urutan basa pada daerah inilah yang akan menjadi urutan basa yang dikenali oleh primer 16S. Teknik identifikasi bakteri menggunakan analisis sekuen gen 16S rRNA sudah dimulai sejak tahun 1980, sehingga database nukleotida gen 16S pada bakteri sudah cukup tersedia untuk menjadi acuan identifikasi isolat bakteri dan studi filogenetik (Janda dan Abott 2007). 2.5 Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B Mullis. Metode ini sekarang telah banyak digunakan untuk
berbagai
macam
manipulasi
dan
analisis
genetik.
Pada
awal
perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA (Yuwono 2006). Metode PCR sangat sensitif. Sensitivitas tersebut membuatnya dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA. Kelebihan lain dari metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan secara cepat dengan menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit.
Berikut adalah tahap bekerjanya PCR dalam satu siklus (Koolman dan Roehm 2005) : 1.
Tahap peleburan (melting) atau denaturation
Tahap ini berlangsung pada suhu tinggi, antara 94 – 96 0C. Akibat suhu yang tinggi, ikatan hidrogen pada DNA akan terputus dan terjadi denaturasi DNA menjadi rantai utas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan cukup lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua rantai DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi template (cetakan) bagi primer. 2.
Tahap penempelan atau annealing
Primer menempel pada bagian DNA template yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 50 – 60 0C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan primer pada DNA target atau primer menempel di sembarang tempat. Umumnya durasi tahap ini 1 – 2 menit, namun biasanya tergantung pada primer yang digunakan. 3.
Tahap pemanjangan atau extention
Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA-polimerase yang digunakan pada reaksi. Secara universal, biasanya enzim yang digunakan adalah Taq-polymerase yang diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus. Enzim ini relatif stabil bekerja pada suhu tinggi dan tidak terdenaturasi lebih cepat. Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 72 0C dengan durasi 1 menit. 2.6
Elektroforesis
Agarose merupakan suatu polisakarida yang diekstraksi dari berbagai jenis ganggang merah. Molekul agarose adalah polimer unit disakarida berulang, yang tersusun atas –D–galaktopinarosa dan 3,6–anhidro–L–galaktosa yang dihubungkan dengan ikatan 1–3–glikosidik. Diduga bahwa ikatan hidrogen antara rantai membentuk jalinan silang menyebabkan timbulnya polimerisasi. Elektroforesis
dengan gel agarose termasuk teknik yang relatif mudah penanganannya, murah, dan memerlukan sampel yang relatif sedikit (Yuwono 2006). Menurut Yuwono (2006) lebih jauh menjelaskan penggunaan gel agarose dalam proses elektroforesis juga mempunyai keuntungan lain, dimana lokasi dari DNA (fragmen DNA) dalam gel dapat diamati langsung secara in situ dengan menggunakan etidium bromid (EtBr) sebagai pewarna baik dengan mencampur langsung dalam gel, gel buffer atau setelah elektroforesis berakhir. Pemakaian etidium bromid dengan melarutkan langsung dalam buffer dapat mempengaruhi mobilitas DNA dalam gel. Warna ini berinteraksi dengan basa dari molekul DNA dan memberikan warna orange flourescence dibawah lampu ultra violet (UV). EtBr adalah senyawa aromatik yang toksik sehingga dalam penanganannya diperlukan kehati-hatian. EtBr dalam bentuk serbuk mengakibatkan iritasi pada sistem pernapasan, mata, dan kulit. EtBr juga dapat menjadi mutagen, karsinogen, atau tetratogen. EtBr bertindak sebagai mutagen (dapat menyebabkan mutasi) karena dapat mengikat DNA untai ganda, sehingga dengan demikian dapat mengubah bentuk suatu molekul yang dipercaya dapat mengganggu proses biologi yang terjadi pada DNA. Saat bekerja dengan EtBr harus menggunakan jas laboratorium, sarung tangan, masker, dan pelindung mata. Selain EtBr juga terdapat pewarna yang lebih aman digunakan yaitu SYBR® green I. Keuntungan dari SYBR® green I adalah mengukur intensitas fluoresencence secara proporsional sesuai dengan produk PCR yang dihasilkan, sedangkan kekurangan SYBR® green I merupakan label fluoroescence yang tidak spesifik sehingga dapat menghasilkan sinyal pengujian false-positive karena terjadinya primer-dimer atau terbentuknya produk yang tidak spesifik. SYBR ® green I merupakan label fluoroescence yang efektif dari segi biaya jika dibandingkan dengan komponen label kimia lainnya dan juga mudah digunakan serta tidak menimbulkan karsinogenik (Pestana et al. 2010).