BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori
2.1.1 Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan (Suparni dan Ibrahim, 2012: 62). Menurut Benjamin S. Bloom dalam Jihad dan Haris (2013:14) tiga ranah hasil belajar yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Peristiwa belajar dan pembelajaran merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Kegiatan belajar yang disertai dengan proses pembelajaran akan lebih terarah dan sistematik daripada belajar yang hanya semata-mata dengan pengalaman dalam kehidupan sosial di masyarakat. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010: 2). Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan pencapaian bentuk perubahan perilaku secara sadar yang cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif dan psikomotorik sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungan Pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta didik, dimana antara keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah menuju pada suatu target yang telah diterapkan sebelumnya (Trianto, 2010: 17). Menurut Isjoni (2010: 11) pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakuan kegiatan belajar. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu usaha guru yang dilakukan untuk menciptakan kondisi yang memudahkan siswa untuk belajar dan memperdayakan potensinya sehingga dapat menguasai kompetensi berdasarakan tujuan yang telah di tetapkan.
7
8
Matematika adalah ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat dibidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit (Suparni dan Ibrahim, 2012: 35). Sehingga pembelajaran matematika adalah dimana proses secara sadar untuk mempelajari ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern untuk memajukan daya pikir manusia. Menurut Bruner (Pitadjeng, 2006: 26) belajar matematika adalah belajar tentang struktur-struktur matematika yang terdapat didalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan hubungan antara konsep-konsep dan struktur matematika. Bruner melukiskan anak-anak berkembang dalam belajar konsep matematika melalui tiga tahap, yaitu enaktive, ikonik, dan simbolik. Tahap enaktive yaitu tahap belajar dengan memanipulasi benda atau obyek konkret, tahap ikonik yaitu tahap belajar dengan menggunakan gambar, dan tahap simbolik yaitu tahap belajar matematika melalui manipulasi lambang atau simbol. Menurut Suparni dan Ibrahim (2012: 35) tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar antara lain yaitu untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Adapun standar kompetensi lulusan SD/MI dalam dokumen pada KTSP (Suparni dan Ibrahim, 2012: 37) adalah sebagai berikut : 1. Memahami Konsep bilangan bulat dan pecahan, operasi hitung dan sifat-sifatnya, serta menggunakanya dalam pemecahan maslah dalam kehidupan sehari-hari. 2. Memahami bangun datar dan bangun ruang sederhana, unsurunsur dan sifat-sifatnya, serta menerapkanya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. 3. Memahami konsep ukuran dan pengukuran berat, panjang, luas, volume, sudut, waktu, kecepatan, debit, serta mengaplikasikannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. 4. Memahami konsep koordinat untuk menentukan letak benda dan menggunakannya dalam pemecahan maslah kehidupan seharihari.
9
5. Memahami konsep pengumpulan data, penyajian data dengan tabel, rentangan data, rerata hitung, modus, serta menerapkannya salam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. 6. Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaanya dalam kehidupan. 7. Memiliki kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif. Banyak orang yang tidak menyukai Matematika, termasuk siswa yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Mereka menganggap Matematika adalah pelajaran yang sulit dan menakutkan. Anggapan ini membuat mereka merasa malas untuk belajar Matematika. Menurut Kline (Pitadjeng, 2006: 1) belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Sedangkan menurut Pitadjeng (2006: 3) orang yang belajar akan merasa senang jika memahami apa yang dipelajari. Pendapat keduanya juga berlaku bagi siswa Sekolah Dasar yang sedang belajar Matematika. Oleh karena itu, di dalam belajar anak diberi kesempatan untuk merencanakan dan menggunakan cara belajar yang mereka senangi. Selain itu, guru dalam mengajarkan Matematika harus mengupayakan agar siswa dapat memahami dengan baik materi yang sedang dipelajari. Untuk menciptakan suasana belajar yang menarik dan menyenangkan,guru harus pandai dalam memilih pendekatan, metode, media yang akan digunakan dalam mengajar. Media pengajaran yang lengkap akan memperlancar dan mempermudah anak belajar. Dalam pelajaran matematika sangat diperlukan media belajar yang berbentuk kongkret yang dapat dimanipulasikan anak anak untuk dapat meahami konsep matematika (Pitadjeng, 2006: 78). Dan pedekatan pembelajaran matematika hendaknya diperhatikan inti dari proses belajar mengajar ialah adanya kegiatan siswa belajar , artinya berpusat pada siswa, nbukan kepada guru yang mengajar (Sudjana, 2011: 158). Berdasarkan uraian penjelasan tentang pembelajaran matematika yang dikemukakan oleh para ahli, pada dasarnya pembelajaran matematika hanyalah sebuah proses dimana individu yang belajar diberikan serangkaian kegiatan yang
10
bertujuan untuk memperoleh kompetensi dari bahan, konsep matematika yang dipelajari tetapi dalam mempelajari konsep matematika diperjelas oleh Bruner bahwa anak dalam mempelajari konsep matematika melalui tiga tahap yang salah satunya adalah enaktif. Dalam enaktif ini merupakan suatu tahap dimana anak secara langsung memanipulasi benda-benda konkret atau situasi yang nyata karena pada dasarnya pembelajaran matematika memiliki kajian yang abstrak ditambah lagi pemikiran anak SD masih dalam taraf berfikir secara konkret sehingga
guru
disampaikanyaitu
hendaknya salah
mengurangi
satunya
dengan
keabstrakan
dari
menggunakan
materi
media.
yang Peneliti
beranggapan bahwa dalam pembelajaran matematika yang pendekatan scientific dengan bantuan media realia, siswa akan lebih efektif mudah memahami materi, konsep yang disampaikan oleh guru, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran matematika hendaknya guru menyajikan materi pelajaran dengan menghadapkan siswa pada benda-benda yang konkret atau situasi nyata karena dengan memberikan benda-benda yang konkret, sehingga siswa akan lebih mudah dalam memahami materi, konsep yang disampaikan oleh guru.. Pencapaian tujuan matematika dapat dimiliki oleh kemampuan peserta didik yang standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam Kompetensi Dasar (KD). SK dan KD untuk mata pelajaran matematika yang diitujukan bagi siswa kelas V SD disajikan melalui tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Kelas V Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014 Standar Kompetensi Bilangan 5. Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah
Kompetensi Dasar 5.1 Mengubah pecahan ke bentuk persen dan desimal serta sebaliknya 5.2 Menjumlahkan dan mengurangkan berbagai bentuk pecahan 5.3 Mengalikan dan membagi berbagai bentuk pecahan 5.4 Menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala
11
Standar Kompetensi Geometri dan Pengukuran 6. Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun
Kompetensi Dasar 6.1 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar 6.2 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang 6.3 Menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana 6.4 Menyelidiki sifat-sifat kesebangunan dan simetri 6.5 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan bangun datar dan bangun ruang sederhana
2.1.2 Hasil Belajar 2.1.2.1 Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011: 22). Hasil belajar merupakan pencapaian bentuk perubahan perilaku yang cenderung menatap dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotoris dari proses belajar yang dilakukan dalam waktu tertentu (Jihad dan Haris,2013: 14). Menurut Gagne (Purwanto, 2013: 2) hasil belajar adalah terbentuknya konsep, yaitu kategori yang kita berikan pada stimulus yang ada dilingkungan, yang menyediakan skema yang terorganisasi untuk mengasimilasi stimulusstimulus bareu dan menentukan didalam dan diantara kategori-kategori. Menurut Winkel dalam Purwanto (2013: 45) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam hal sikap dan tingkah lakunya. Sedangkan menurut Kingsley dalam Sudjana (2011: 22) membagi tiga macam hasil belajar mengajar: Keterampilan dan kebiasaan, Pengetahuan dan pengarahan, Sikap dan cita-cita. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah merupakan kemampuan, sikap, dan keterampilan yang diperoleh siswa dan terbentuknya konsep baru setelah siswa menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dengan pengalaman belajarnya sisiwa dapat mengkonstruksikan pengetahuan yang diperoleh untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
12
2.1.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Sudjana (2011: 39) Hasil belajar yang dicapai oleh siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni dari faktor dari dalam siswa itu sendiri dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau lingkungan. Faktor yang datang dari dalam diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Seperti dikemukakan Clark dalam Sudjana (2011: 39) bahwa hasil belajar siswa disekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Disamping faktor kemampuan yang dimiliki siswa juga ada faktor lain seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis. Menurut Caroll dalam Sudjana (2011: 40) bahwa hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh 5 faktor yakni (a) bakat belajar, (b)waktu yang tersedia untuk belajar, (c) waktu yang di perlukan untuk menjelaskan pelajaran, (d) kualitas pengajaran, dan (e) kemampuan individu. Empat faktor yang disebut diatas (a, b, c, e) berkenaan dengan kemampuan individu dan faktor (d) adalah faktor luar individu. Menurut Slameto (2010: 54) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar digolongkan menjadi 2 yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Dimana faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar dan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu. Dalam Faktor Intern terdapat Faktor Jasmaniah yang meliputi kesehatan, cacat tubuh, kemudian Faktor Psikologis yang meliputi inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan dan yang terakhir adalah Faktor Kelelahan. Selain Faktor Intern juga terdapat Faktor Eksternal diantaranya adalah Faktor Keluarga meliputi cara orang tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah , keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan. Kemudian Faktor Sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, tugas rumah, dan yang
13
terakhir adalah Faktor Masyarakat yang meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat Bloom (Sudjana, 2011: 40) menyatakan bahwa ada 3 variabel utama dalam teori belajar disekolah, yakni karakteristik individu, kualitas pengajaran dan hasil belajar. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh
keampuan siswa dan kualaitas
pengajaran Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa bahwa ada hubungan antara kemapuan individu dan faktor lingkungan dengan hasil belajar siswa. Hasil belajar merupakan dampak yang telah diperoleh dari belajar atau berinteraksi dengan lingkungan dampak tersebut dapat berupa perubahan tingkah laku yang pastinya adalah kearah positif kemudian Jadi dapat disimpulkan hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang terjadi pada individu yang berinteraksi dengan lingkungan (belajar) dan tingkah laku yang dimaksud merupakan perubahan ke arah positif.
2.1.2.3 Cara Mengukur Hasil Belajar Pengukuran dapat diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakterisitik yang didasarkan pada aturan atau formulasi yang jelas (Zaenul dalam Jihad dan Haris, 2013: 54). Menurut Arikunto dan Jabar (2004: 8) menyatakan
pengertian
pengukuran
(measurement)
sebagai
kegiatan
membandingkan suatu hal dengan satuan ukuran tertentu sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Jadi pengukuran memiliki arti suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu dengan satuan ukuran tertentu sehingga data yang dihasilkan adalah data kuantitatif. Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan siswa seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap, dan angket. Dari pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk mengukur hasil belajar peserta didik digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Menurut Sudjana (2011: 113) agar guru mengetahui dan terampil dalam mengadakan penilaian
14
maka asesmen pembelajaran dapat diukur belajar dapat diukur melalui 2 tehnik yaitu: 1. Tes Tes ada yang distandarisasi, artinya tes tersebut telah mengalami proses validasi dan reabilitasi untuk suatu tujuan tertentu dan sekelompok siswa tertentu. Sebagai contoh, penyusunan THB (Tes Hasil Belajar) merupakan usaha penyusunan tes yang sudah distandarisasi. Disamping itu banyak yang kita temukan ialah tes buatan guru sendiri. Tes ini belum distandarisasi, sebab dibuat oleh guru untuk tujuan tertentu dan untuk siswa tertentu pula. Meskipun demikian, tes buatan guru harus mempertimbangkan faktor validitas dan faktor reliabiltasnya. Tes ini terdiri dari tiga bentuk yakni a) tes lisan. b) tes tulisan dan c) tes tindakan. Jenis tes tersebut biasanya digunakan untuk menilai isi pendidikan, misalnya aspek pengetahuan, kecakapan, ketrampilan, dan pemahaman pembelajaran yang telah diberikan guru. 2. Non Tes Untuk menilai aspek tingkah laku, jenis non-tes lebih sesuai digunakan sebagai alat evaluasi. Seperti menilai aspek sikap, minat, perhatian , karakteristik, dan lain lain yang sejenis. Alat evaluasi jenis Non-tes antara lain ialah : a. Observasi Obeservasi nyakni pengamatan kepada tingkah laku pada suatu situasi tertentu. Observasi bisa dalam situasi yang sebenarnya atau observasi langsung dan bisa pula dalam situasi buatan atau observasi tidak langsung. b. Wawancara Wawancara ialah komunikasi langsung antara yang mewawancarai dengan yang diwawancarai. Untuk memudahkan pelaksanaanya perlu disediakan pedoman wawancara berupa pokok-pokok yang ditanyakan . c. Studi kasus Mempelajari individu dalam periode tertentu secara terus menerus untuk melihat perkembanganya. Misalnya untuk melihat sikap siswa terhadap pelajaran yang diberikan guru disekolah selama satu semester. d. Rating Scale (skala penilaian) Rating scale merupakan salah satu penilaian yangt menggunakan skala yang telah disusun dari ujung yang negatif sampai kepada ujung popsitif, sehingga pada skala tersebut penilai tinggal membubuhi tanda cek sasa (√) e. Chek list Hampir menyerupai rating scale hanya pada chek list tidak perlu disusun kriteria atau skala dari yang negatif sampai skala
15
yang positif. Cukup dengan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang akan diminta dari yang dievaluasi f. Inventory Daftar pernyatan yang disertai alternatif jawaban diantara setuju, kurang setuju atau tidak setuju. Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik atau cara pengukuran yang sistematis melalui tes, observasi, skala sikap atau peskoran portofolio. Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dinamakan dengan instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas instrumen
butir-butir
soal
apabila
cara
pengukuran
dilakukan
dengan
menggunakan tes, dan apabila pengukuran dilakukan dengan cara mengamati atau mengobservasi dapat menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi, pengukuran dengan teknik skala sikap dapat menggunakan instrumen butir-butir pernyataan. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah valid, maksudnya adalah instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Hasil dari pengukuran pencapaian Kompetensi Dasar dipergunakan sebagai dasar peskoran atau evaluasi (penilaian). Menurut Depdiknas (dalam Jihad dan Haris, 2013:54) penilaian merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk memperoleh informasi secara objektif, berkelanjutan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang hasilnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan perlakuan selanjutnya. Hal ini berarti penilaian tidak hanya untuk mencapai target sesaat atau aspek saja, melainkan menyeluruh dan mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan demikian, inti dari penilaian adalah proses memberikan atau menentukkan terhadap hasil belajar yang berupa tes dan non tes berdasarkan suatu kriteria atau satuan ukuran tertentu.
16
2.1.3 Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran 2.1.3.1 Pendekatan Pembelajaran Pendekatan pembelajaran merupakan suatu jalan, cara, atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru juga siswa untuk mencapai tujuan pengajaran apabila kita melihatnya dari sudut pandang bagaimana proses pengajaran atau materi pengajaran itu dikelola (Jihad dan Haris , 2013: 24). Pendekatan pembelajaran menurut Sanjaya (2009: 127) adalah suatu titik tolak atau sudut pandang mengenai terjadinya proses pembelajaran secara umum berdasarkan cakupan teoritik tertentu. Menurut Anderson dalam Sudjana (2011: 152) ada dua pendekatan dalam pembelajaran, yakni pendekatan yang berorientasai kepada guru yang disebut teacher centered dan pendekatan yang berorientasi pada siswa atau disebut student centered. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran proses penyajian isi pembelajaran kepada siswa untuk mencapai kompetensi tertentu dengan berbagai metode pilihan yang berpusat pada guru atau siswa. Dalam penggunaan pendekatan pembelajaran hendaknya diperhatikan inti dari proses belajar mengajar ialah adanya kegiatan siswa belajar , artinya berpusat pada siswa, bukan kepada guru yang mengajar. Berikut ini beberapa pendekatan pembelajaran (Sudjana, 2011: 153) 1. Pendekatan ekspositori atau model informasi 2. Pendekatan inquiri/ discovery 3. Pendekatan interaksi sosial 4. Pendekatan tingkah laku Namun pendekatan tesebut tidak bisa diterapkan di pembelajaran jenjang sekolah dasar dan menegah diindonesia dengan diberlakukanya kurikulum 2013 yang telah diamanatkan dan disahkan oleh kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan. Pada kurikulum 2013 pendekatan scientific merupakan pendekatan pembelajaran yang harus diterapkan di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
17
2.1.3.2 Esensi Pendekatan Scientific Menurut Iskandar (2008: 16) pendekatan scientific (ilmiah) adalah suatu proses penyelidikan secara sistematik yang terdiri atas bagian bagian yang saling bergantung (interdependent), ini adalah metode yang berkembang dan berhasil dalam memahami pendidikan kita yang semakin rumit. Secara sederhana pendekatan ilmiah merupakan suatu cara atau mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan prosedur yang didasarkan pada suatu metode ilmiah. Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai non ilmiah. Pendekatan non ilmiah dimaksud meliputi semata-mata berdasarkan intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis (Kemendikbud dalam Astnan dan Rahmita, 2013: 3). Perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output). Penilaian proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang menilai kesiapan siswa, proses, dan hasil belajar secara utuh (Permen No.65 Tahun 2013). Pembelajaran merupakan proses ilmiah, karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran (Kemdikbud, 2013). Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuwan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum. Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan
18
pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serial aktivitas pengoleksian data melalui observasi dan ekperimen, kemudian memformulasi dan menguji hipotesis. Proses pembelajaran harus dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini (Kemendikbud, 2013): 1. Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. 2. Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif gurupes erta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. 3. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. 4. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari substansi atau materi pembelajaran. 5. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran. 6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. 7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya. Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah(Kemendikbud, 2013). Pendekatan nonilmiah dimaksud meliputi semata-mata berdasarkan intuisi, akal sehat,prasangka, penemuan melalui cobacoba, dan asal berpikir kritis. 1. Intuisi. Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang
19
2.
3.
4.
5.
atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik dan sistematik. Akal sehat. Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya sematamata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran. Prasangka. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan orang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didompleng kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik. Penemuan coba-coba. Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan cara cobacoba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya dan bernilai kreatifitas. Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala. Berpikir kritis. Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil esperimen yang valid dan reliabel, karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata.
20
Scientific Mathematic merupakan proyek Eropa yang melibatkkan kerjasama interdisiplinary antara matematika dan ilmu pengetahuan. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan pembelajaran ke arah belajar yang komprehensif dan multidimensional mengenai isi dan konsep matematika. Ide dasarnya adalah untuk mendorong pembelajaran matematika dalam konteks ilmiah dan kegiatan siswa (Beckmann dalam Astnan dan Rahmita, 2013: 3). Kemudian disebutkan bahwa pendekatan ini mengaitkan antara matematika dengan ilmu pengetahuan, sehingga siswa akan mempelajari matematika dengan cara yang menarik. Belajar dengan berkegiatan akan berkontribusi terhadap pemahaman intuitif matematika siswa. Dengan kata lain, belajar matematika yang baik adalah mengalami atau berkegiatan. 2.1.3.3 Langkah-Langkah Pembelajaran Menggunakan Pendekatan Scientific Pada pembelajaran matematika, langkah – langkah pendekatan scientific ini terdiri dari pengumpulan data dari percobaan, pengembangan dan peyelidikan suatu model matematika dalam bentuk representasi yang berbeda, dan refleksi (Beckmann et al dalam Astnan dan Rahmita, 2013: 3). Dalam Diklat analisis materi ajar yang dilaksanakan Kemendikbud pada kurikulum 2013 dinyatakan bahwa untuk jenjang SD,SMP, dan SMA atau yang sederajat pelaksanaan proses pembelajaran menggunakan pendekatan scientific. Proses pembelajaran pada pendekatan ini menyentuh tiga ranah belajar, yaitu: sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menyentuh transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa, mengapa dan bagaimana.” Ranah keterampilan menyentuh transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik mampu mengimplementasi “tahu apa, bagaimana dan bagaimana”. Ranah pengetahuan menyentuh transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa, mengapa dan bagaimana.” Hasil akhirnya adalah diharapkan peserta didik mampu melakukan peningkatan dan keseimbangan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
21
Pendekatan scientific pada kurikulum 2013 yang diterapkan di Indonesia menjabarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut menjadi lima, yaitu: mengamati,
menanya,
menalar,
mencoba,
dan
mengkomunikasikan
atu
membentuk jejaring (Kemendikbud, 2013). Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi
tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat
diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilainilai atau sifat-sifat non ilmiah. Langkah-langkah pendekatan scientific pembelajaran dijelaskan di bawah ini: 1. Mengamati Aktivitas mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Aktivitas ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam mengamati adalah: 1) Cermat, objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran. 2) Banyak atau sedikit serta homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang diobservasi. Makin banyak dan hiterogensubjek, objek, atau situasi yang diobservasi, makin sulit kegiatan obervasi itu dilakukan. Sebelum obsevasi dilaksanakan, guru dan peserta didik sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan. 3) Guru dan peserta didik perlu memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas perolehan observasi. 2. Menanya Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Adapun Fungsi menanya adalah sebagai berikut: 1) Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran. 2) Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri. 3) Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya.
22
4) Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan. 5) Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar. 6) Mendorong partisipasipeserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik simpulan. 7) Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok. 8) Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul. 9) Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain. 3. Menalar Istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Menalar secara induktif adalah proses penarikan simpulan dari kasus- kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik. Menalar secara deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus. 4. Mencoba Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran Matematika, misalnya peserta didik harus memahami konsepkonsep Matematika dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. 5. Membentuk jejaring Membentuk jejaring akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan antarfenonena atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat. Pada kegiatan ini kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang
23
harus lebih aktif. Jika kegiatan ini diposisikan sebagai satu falsafah pribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama. Pendekatan scientific dapat dilaksanakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kolaboraif serta strategi pembelajaran lain. Kolaborasi merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja
untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan dan fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif.
2.1.4 Media Realia dalam Pembelajaran Matematika 2.1.4.1 Media Pembelajaran Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari ”medium” yang secara harfiah berarti ”perantara” atau ”pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Education Association (Suparni dan Ibrahim, 2012: 111) mendefinisikan media sebagai benda yang dapat dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca, dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan
dengan
baik
dalaam
kegiatan
belajar
mengajar,
dapat
mempengaruhi efektifitas progam pembelajaran. Menurut sudono (2008: 44) “agar tujuan pembelajaran tercapai dan tercapainya proses belajar mengajar yang tidak memembosankan, guru dapat menggunakan media secara tepat”. Digunakanya media dalam pembelajaran yaitu agar dapat menjembatani antara konsep konsep materi yang abstrak menjadi konkrit, sehingga anak dapat memahami materi yang disajikan guru. Untuk itu, maka penggunaan media dalam proses pembelajaran diperlukan demi terciptanya tujuan pembelajaran secara optimal.
24
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bab VII Standar Sarana dan Prasarana, pasal 42 menegaskan bahwa (1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan, (2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat olahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/ tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Media pendidikan memegang peranan penting dalam pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran yang tepat akan lebih mudah dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan. Sebagai salah satu komponen pembelajaran, media tidak bisa luput dari pembahasan sistem pembelajaran secara menyeluruh. pemanfaatan media seharusnya merupakan bagaian yang harus mendapatkan perhatian guru dalam setiap kegiatan pembelajaran. Namun kenyataannya bagian inilah yang masih sering terabaikan dengan berbagai alasan. Alasan yang sering muncul antara lain: terbatasnya waktu untuk membuat persiapan mengajar, sulit mencari media yang tepat, tidak tersedianya biaya, dan lain-lain. Hal ini sebenarnya tidak terjadi jika setiap guru telah membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan dalam hal media pembelajaran. Menurut Suparni & Ibrahim (2012: 112) jenis Media pembelajaran meliputi 3 bentuk : 1.
2.
Media visual Media visual dapat dikelompokkan menjadi media media visual yang materinya tidak diproyeksikan seperti foto, garis, model, dan realita., dan media visual yang diproyeksikan yaitu OHP,LCD,dll Media audio Media audio dibagi menjadi media yang menggunakan alat perekam dan audio yang menggunakan pemancaran gelombang radio.
25
Media audio visual Media audio visual terdiri dari paduan foto dan suara, paduan slide dan suara, film suara. Media pada hakekatnya merupakan salah satu komponen sistem
3.
pembelajaran. Sebagai komponen, media hendaknya merupakan bagian integral dan harus sesuai dengan proses pembelajaran secara menyeluruh. Akhir dari pemilihan
media
adalah
penggunaaan
media
tersebut
dalam
kegiatan
pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa dapat berinteraksi dengan media yang kita pilih. Apabila kita telah menentukan alternatif media yang akan kita gunakan dalam pembelajaran, Jika sudah tersedia maka kita tinggal meminjam atau membelinya saja. Itupun jika media yang ada memang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah kita rencanakan, dan terjangkau harganya. Jika media yang kita butuhkan temyata belum tersedia, mau tak mau kita harus membuat sendiri program media sesuai keperluan tersebut. Jadi, pemilihan media itu perlu kita lakukan agar kita dapat menentukan media yang terbaik, tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sasaran didik. Untuk itu, pemilihan jenis media harus dilakukan dengan prosedur yang benar, karena begitu banyak jenis media dengan berbagai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Menurut Santyasa dalam Fenti (2012: 12) Media memiliki beberapa fungsi diantaranya : a. Menyaksikan benda yang ada atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Dengan perantaraan gambar, potret, slide, film, video, atau media yang lain, siswa dapat memperoleh gambaran yang nyata tentang benda/ peristiwa sejarah. b. Mengamati benda atau peristiwa yang sukar dikunjungi baik karena jaraknya jauh, berbahaya, atau terlarang. Misalnya, video tentang kehidupan harimau di hutan, keadaan dan kesibukan di pusat reaktor nuklir, dan sebagainya. c. Memperoleh gambaran yang jelas tentang benda/hal-hal yang sukar diamati secara langsung karena ukurannya yang tidak memungkinkan, baik karena terlalu besar atau terlalu kecil. Misalnya dengan perantaraan paket siswa dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang bendungan dan kompleks pembangkit listrik, dengan slide dan film siswa memperoleh gambaran tentang bakteri, amuba, dan sebagainya.
26
d. Mendengar suara yang sukar ditangkap dengan telinga secara langsung. Misalnya, rekaman suara denyut jantung dan sebagainya. e. Mengamati dengan teliti binatang-binatang yang sukar diamati secara langsung karena sukar ditangkap. Dengan bantuan gambar, potret, slide, film atau video siswa dapat mengamati berbagai macam serangga, burung hantu, kalelawar, dan sebagainya. f. Mengamati peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi atau berbahaya untuk didekati. Dengan slide, film, atau video siswa dapat mengamati pelangi, gunung meletus, pertempuran, dan sebagainya. 2.1.4.2 Media Realia dalam Pembelajaran Matematika Kajian psikologis menyatakan bahwa anak akan lebih mudah mempelajari hal yang konkrit ketimbang yang abstrak. Untuk itu dalam setiap pembelajaran di sekolah dasar terutama pembelajaran matematika hendaknya anak di belajarkan dengan media benda nyata supaya tujuan dari pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan dan anak menjadi lebih semangat dan tidak bosan dalam setiap pembelajaran serta mudah memahami materi. Media realia merupakan media yang ditampilkan merupakan benda nyatanya. Menurut Kemp (Winnuly, 2013: 2) “Media realia merupakan bentuk nyata dari orang, benda dan alat nyata serta model tiruan benda ali yang diperkecil maupun diperbesar sesuai kebutuhan dalam pembelajaran”. Menurut Indriana (2011: 15) media realia adalah benda nyata yang digunakan sebagai bahan atau sumber belajar. Pemanfaatan media realia tidak harus dihadirkan secara nyata dalam ruang kelas, melainkan dapat juga dengan cara mengajak siswa melihat langsung (observasi) benda nyata tersebut ke lokasinya. Media pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi nyata atau merupakan benda nyata akan memberikan pengalaman tersendiri bagi peserta didik yang tidak akan mudah dilupakan. Dengan melihat sendiri benda nyatanya maka diharapkan peserta didik akan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata dan bukan hanya secara teori yang dipahaminya, namun benda sendiri hanya dilihat melalui gambar. Sebagai ilustrasi seorang pilot yang diberikan pembelajaran praktek langsung dengan yang hanya diberikan teori dan melihat gambarnya, tentunya akan mampu dilihat hasilnya. Seorang pilot yang
27
sudah terbiasa praktek langsung akan lebih terampil dalam menjalankan pesawatnya. ”Mereka akan belajar lebih banyak tentang binatang serangga yang dikumpulkan dari hasil perjalanan karya wisata, dibandingkan dengan melihat difilm strip mengenai kehidupan binatang tersebut”. (Sudjana, dan Rival dalam Fenti, 2011: 17). Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan opersi konkret. Pada rentang usia tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut : (1) Mulai memandang dunia secara obyektif, bergeser dari suatu aspek situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, (2) Mulai berpikir secara operasional, (3) Mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, (4) Mempergunakan hubungan sebab-akibat, dan (5) Memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan berat. Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut (KTSP Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, 2006). Kecenderungan belajar anak usia SD memiliki tiga ciri, yaitu : a. Konkrit Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari halhal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak-atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna dan kebenarannya lebih dapat dipertanggung jawabkan. b. Integratif Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilahmilah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal yang umum ke bagian demi bagian. c. Hierarkis Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana kehal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan dan kedalaman materi.
28
Penggunaan media realia merupakan alat peraga yang paling tepat karena peserta didik dapat langsung mengamati benda aslinya/nyatanya. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistik. Suryanto (Supinah, 2008: 15) menyatakan bahwa “dunia nyata dalam arti seharihari dan dunia yang dapat dibayangkan siswa ini disebut dunia nyata siswa". Dunia nyata siswa inilah yang menjadi starting point (titik awal atau titik tolak) dalam pengembangan konsep-konsep atau gagasan-gagasan matematika dalam pembelajaran matematika realistik. Dalam memahami karakteristik media realia dalam pembelajaaran matematika, harus juga dipahami mengenai makna dari pembelajaran matematika tersebut Pembelajaran matematika merupakan upaya penataan lingkungan agar proses belajar atau pembentukan pengetahuan dan pemahaman matematika oleh siswa berkembang secara optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Indriana, 2011: 15). Dalam pembelajaran matematika dengan media realia siswa dihadirkan dengan benda nyata, tetapi siswa juga dapat melangsung ke obyek. Kelebihan dari media realia diterapkan dalam pembelajaran matematika pokok bahasan bangun ruang dapat memberikan pengalaman nyata kepada siswa. Misalnya untuk mempejari sifat-sifat bangun ruang kerucut, siswa dapat menemukan sendiri jawaban tersebut dengan melihat, meraba, menganalisis benda dengan sifat-sifat sama dengan bangun ruang tersebut seperti topi ulang tahun, marka lalu lintas, caping
ataupun
dengan
diorama
bangun
ruang
kerucut
yang
sudah
dipersiapkankan guru. Sehingga materi yang dipelajari akan lebih tertanam pada diri siswa dan tidak cepat lupa. Selain mempunyai kelebihan tentu saja penggunaan media realia dalam pembelajaran matematika mempunyai keterbatasan, diantaranya Sulit untuk mengontrol hasil belajar, karena konflik-konflik yang mungkin terjadi dengan pekerjaan atau dengan lingkungan kelas. Misalnya dalam aktifitas pembelajaran dalam kelompok adakalanya siswa berebut media yang membuat tertarik, sehingga guru harus benar-benar bisa mengkondisikan pembelajaran agar tidak ada pertengkaran antar siswa dan tujuan pembelajaran yang diharapkan tercapai.
29
Setiap media yang digunakan dalam pembelajaran akan mencapai keberhasilan apabila sesuai dengan materi yang tepat. Media realia mempunyai kelebihan dan keterbatasan, namun apabila disesuaikan dengan materi yang akan digunakan maka dapat mengurangi keterbatasan yang terjadi. Media realia dalam pembelajaran ini yang menyesuaikan Kompetensi Dasar matematika kelas V semester 2 mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang adalah model bangun ruang dalam bentuk diorama dan juga benda yang ada dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk bangun ruang tabung, kerucut, prisma dan limas.
2.1.3. Syntax Media Realia Dalam Pembelajaran Matematika Penggunaan media realia dalam penelitian ini di SD Negeri Blotongan 03 Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga semsester II tahun pelajaran 2013/2014 yang diterapkan pada mata pelajaran matematika
pokok bahasan bangun Ruang.
Pembelajaran dengan media realia yaitu dilakukan dengan cara mengajak siswa mengamati dan melihat langsung secara model atau diorama bangun-bangun ruang dan yang sudah dipersiapkan oleh guru kemudian siswa menyebutkan benda apa dalam kehidupan sehari-hari yang menyerupai bangun-bangun ruang tersebut. Selanjutnya secara berkelompok memahami struktur apa saja yang membentuk bangun ruang tersebut seperi sisi, rusuk, dan titik sudut dan membuat jaring-jaring sesuai dengan benda benda yang dipersiapkan oleh guru. Setelah siswa dapat memahami sifat sifatnya dan dapat membuat jaring-jaring dan dibentuk menjadi bangun ruang. Kegiatan terakhir siswa menggambar bangun tersebut sesuai dengan pemahamannya dan guru meluruskan kesalahan pemahaman. Untuk mengetahui ada dan tidaknya peningkatan hasil belajar dengan media realia dilakukan post-test diakhir siklus pembelajaran. Aktifitas pembelajaran melihat dan praktek langsung dengan media nyata seperti berikut : a. Menunjukkan contoh benda nyata dalam kehidupan sehari-hari agar siswa dapat membedakan jenis-jenis bangun ruang b. Untuk mengetahui sifat-sifat bangun ruang yang meliputi jumlah sisi, rusuk, dan titik sudut dalam bangun ruang.
30
c. Menunjukkan contoh peristiwa terbentuknya bangun ruang tersebut dengan mempraktikan membuat jaring-jaring bangun ruang. d. Menggambar bangun ruang yang dilihat sesuai dengan pemahanya tentang bangun ruang tersebut. Setelah semua materi selesai diajarkan guru bersama siswa menarik kesimpulan hasil pembelajaran kemudian siswa mengerjakan soal post test untuk mengetahui kemampuan siswa setelah diajar dengan menggunakan media realia.
2.2
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Tri Murti Handayani (2012)
dengan judul penelitian: “Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Konsep Bangun Ruang Dengan Media Realia Bagi Siswa Kelas V SD Negeri Premulung No. 94 Kecamatan Laweyan Kota Surakarta Tahun Pelajaran 2011/2012” terlihat adanya peningkatan hasil belajar siswa untuk mata pelajaran matematika konsep bangun ruang dibuktikan dengan hasil penelitian yang menujukan pada kondisi awal skor rata-rata nilai siswa 61,98, kemudian pada siklus I mengalami peningkatan skor rata-rata nilai menjadi 66,88. selanjutnya siklus II skor rata-rata nilai menjadi 72,29. Menurut Tomas (2012) dalam skripsi yang berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA dengan Menggunakan Media Realia Siswa Kelas V SDN Salatiga 03 Semester II Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga Tahun Ajaran 2011/2012”. Berdasarkan analisis data yang telah dibahas di BAB IV dapat diambil kesimpulkan bahwa media realia dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang dapat dilihat dari hasil pembelajaran pada siklus I dam siklus II. Pada kondisi awal skor rata-rata nilai siswa 60,5, pada siklus 1 skor rata-rata siswa naik menjadi 66,1 dan pada siklus II skor nilai rata-rata menjadi 78,03. Menurut
Fenti Anggita Rohma (2011) dalam skripsi yang berjudul
“Pengaruh Media Realia Pada Mata Pelajaran IPA terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas V SDN Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak Tahun Pelajaran 2010/2011”. Berdasarkan analisis data yang telah dibahas di BAB IV dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan media realia
31
dibandingkan dengan pembelajaran menggunakan metode konvensional pada mata pelajaran IPA terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V SDN Ngawen kecamatan Wedung kabupaten Demak tahun pelajaran 2010/2011. Perbedaan rata-ratanya berkisar antara 8,41 sampai 19,84 dengan perbedaan rata-rata 14,13. Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan di atas, penggunaan media pada dasarnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara berkala karena dengan menggunakan media dalam pembelajaran, siswa tampak lebih aktif, dan termotivasi dalam mengikuti pembelajaran selain itu siswa lebih mudah memahami materi, konsep-konsep yang disampaikan oleh guru karena konsepkonsep tersebut dapat tersajikan secara konkret. Hal itu menunjukkan adanya perubahan pada hasil belajar siswa dan tingkat ketuntasan belajar siswa Sedangkan pendekatan scientific merupakan pendekatan pembelajaran yang relatif baru seiring diterapkannya kurikulum 2013, sehingga belum ada peneltian yang serupa dengan penelitian ini yang diharapkan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran serta hasil belajar meningkat. Dengan demikian penelitian tersebut mendukung penelitian ini yang menekankan penerapan scientific sesuai kurikulum 2013 dan penggunaan media realia pada peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika kelas V SD Negeri Blotongan 03 Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga Semester II tahun pelajaran 2013/2014. 2.3
Kerangka Berpikir Strategi
pendekatan
dan
media
yang digunakan
peneliti
untuk
meningkatkan pemahaman dan hasil belajar siswa terhadap konsep bangun ruang melalui pendekatan scientific dengan menggunakan media realia. Dengan pendekatan pembelajaran ilmiah guru dimudakan untuk menyampaikan sebuah materi. Materi Pemebelajaran matematika berbasis pada fakta dan fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu bukan sebatas kira-kira, khayalan, atau dongeng semata. Karena yang dikehendaki adalah jawaban mengenai fakta-fakta (matematika) maka pendekatan dengan langkah-langkah tersebut dikatakan sangat erat dengan metode ilmiah. Ada juga refensi yang menyatakan bahwa metode ilmiah adalah wujud dari pendekatan ilmiah. Media realia berarti materi pembelajaran disertai dengan peragaan berupa alat bantu
32
pelajaran, pembelajaran yang menggunakan seperti ini diharapkan seluruh siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih kongkrit dalam pembelajaran matematika sehingga pemahaman semakin meningkat. Penerapan pendekatan scientific dengan media realia di pembelajaran matematika SD diharapkan proses pembelajaran dilakukan secara sistematik berdasarkan langkah-langkah ilmiah mulai dari mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jejaring disertai alat peraga yang kongkrit sehingga lebih memudahkan siswa untuk memahami materi . Adapun alur kerangka pemikiran yang ditunjukkan untuk mengarahkan jalannya penelitian agar tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka kerangka pikir diatas dilukiskan dalam sebuah gambar skema agar peneliti mempunyai gambaran yang jelas dalam melakukan penelitian. Adapun skema itu adalah sebagai berikut:
Kondisi Awal
Guru: mendominasi PBM dengan konvensional (ceramah), langsung penugasan. Siswa berpikir abstrak ke abstrak.
Hasil belajar matematika siswa rendah
Penggunaan pendekatan scientific dengan media realia: PBM dengan proses ilmiah yaitu mengamati,menanya,menalar, mencoba,dan membentuk jejaring dengan media benda kongkrit bangun ruang dan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Tindakan
Kondisi Akhir
Siklus I
Siklus II
- Pemahaman siswa meningkat tentang bangun ruang - Hasil belajar siswa meningkat ≥ KKM 61 dalam mendeskripsikan sifat-sifat dari bangun ruang - Nilai ketuntasan siswa secara klasikal ≥80%
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Peningkatan Hasil Belajar Matematika melalui Pendekatan Scientific dengan Media Realia
33
2.4
Hipotesis Tindakan Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran, maka dapat
dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut: “Penerapan Pendekatan Scientific dengan Media Realia dapat Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Negeri Blotongan 03 Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014”.