BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pengertian belajar Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi belajar. Menurut Asmani (2010:63) mengatakan belajar adalah proses membangun makna atau pemahaman oleh pembelajar terhadap pengalaman dan informasi yang disaring dengan pandangan, pikiran pengetahuan yang dimiliki dan perasaan. Menurut Bahri (2010: 10-11) menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya
tujuan kegiatan
adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Dengan demikian, siswa harus aktif untuk mencari informasi, pengalaman, maupun keterampilan tersebut dalam rangka membangun sebuah makna dari hasil proses belajar. Menurut Yamin (2007: 7) mengemukakan belajar adalah proses perubahan perilaku yang diakibatkan oleh interaksi dengan lingkungan. Sejalan dengan pendapat Slameto (2010: 2) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengamalannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Abdillah (Aunurrahman, 2009: 35) mengatakan bahwa belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek aspek kognitif, psikomotorik,afektif untuk memperoleh tujuan tertentu. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan usaha yang dilakukan secara sadar oleh seseorang untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan yang dapat dipergunakan untuk diri sendiri maupun
6
7
lingkungannya. Dalam belajar membutuhkan interaksi dari individu yang belajar dengan lingkungannya. Lingkungan tersebut bisa berupa lingkungan formal dan nonformal. Sebagai contoh lingkungan formal adalah sekolah. Sedangkan lingkungan nonformal bisa berupa lingkungan sekitar dan interaksi dengan orang lain. Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan peningkatan pengetahuan, keterampilan serta perubahan perilaku, maka sebenarnya belum mengalami proses belajar. Faktor yang dapat mempengaruhi belajar yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi faktor jasmaniah, psikologis dan kelelahan. Sedangkan faktor ekstern meliputi faktor keluarga, sekolah dan masyarakat.
2.1.2 Hasil Belajar Menurut Uno (2008: 213) menyatakan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap dalam diri seseorang sebagai akibat dari interaksi seseorang dengan lingkungannya. Menurut Dimyati dan Mudjiyono (2006: 3) mengatakan bahwa hasil belajar merupakan hal yang dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan sisi guru. Dari sisi siswa hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Sedangkan dari sisi guru adalah bagaimana guru bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik dan siswa bisa menerimanya. Klasifikasi hasil belajar menurut Bloom dalam Suprijono(2009: 6) secara garis besar membagi menjadi 3 ranah psikomotoris, yaitu: 1.
Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual.
2.
Ranah afektif, berkenaan dengan sikap
3.
Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Dari beberapa pengertian hasil belajar yang telah disampaikan oleh
beberapa ahli, dapat dilihat bahwa pengertian hasil belajar yang disampaikan semuanya merujuk pada pencapaian hasil belajar yang diukur dengan suatu alat
8
evaluasi yaitu dengan tes. Indikator hasil belajar adalah peningkatan kemampuan atau pemahaman siswa terhadap sesuatu atau materi pelajaran tertentu. Dari kesimpulan tersebut maka penulis mencoba membuat pengertian bahwa hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti pembelajaran dan pencapaian hasil belajar tersebut dapat diketahui setelah adanya pengukuran oleh guru melalui tes evaluasi.
2.1.3 Hakekat Matematika Matematika, menurut Ruseffendi dalam Heruman (2007: 1) mengatakan bahwa matematika adalah bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil. Menurut Soedjadi dalam Heruman (2007: 1) yaitu memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif. Sejalan dengan pendapat Johnson dan Myklebust dalam Abdurrahman (2003) matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubunganhubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Menurut Paling dalam Abdurrahman (2003) yang mengatakan bahwa matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia; suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Dalam matematika, setiap konsep yang abstrak yang baru dipahami siswa perlu segera diberi penguatan, agar mengendap dan bertahan lama dalam memori siswa, sehingga akan melekat dalam pola pikir dan pola tindakannya. Maka diperlukan adanya pembelajaran melalui perbuatan dan pengertian, tidak hanya sekadar hafalan atau mengingat fakta saja, karena hal tersebut akan mudah dilupakan oleh siswa.
9
2.1.4 Pembelajaran Matematika Dalam pembelajaran matematika ditingkat SD, diharapkan terjadi penemuan kembali (reinvention). Penemuan kembali adalah penemuan suatu cara penyelesaian secara informal dalam pembelajaran di kelas. Walaupun penemuan tersebut sederhana dan bukan hal baru bagi orang yang mengetahui sebelumnya, namun bagi siswa SD hal tersebut merupakan sesuatu hal yang baru. Menurut Bruner dalam Heruman (2008:4) mengatakan bahwa dalam belajar matematika, siswa harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya “menemukan” terutama adalah “menemukan lagi” atau (discovery) dapat juga menemukan sesuatu hal yang baru (invention). Oleh karena itu, materi yang disampaikan kepada siswa bukan dalam bentuk akhir dan tidak diberitahukan cara menyelesaikannya. Dalam hal tersebut, guru berperan sebagai pembimbing dibandingkan sebagai pemberi tahu. Siswa harus dapat menghubungkan apa yang dimiliki dalam stuktur berpikirnya yang berupa konsep matematika, dengan permasalahan yang dihadapi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suparno dalam Heruman(2008: 5) tentang belajar bermakna yaitu “…kegiatan siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan berupa konsep-konsep yang telah dimilikinya”. Akan tetapi, siswa dapat juga hanya mencoba-coba menghafal informasi baru tersebut tanpa menghubungkan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, hal tesebut terjadi belajar hafalan. Ruseffendi dalam Heruman (2008:5) membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa dapat belajar dengan menghafalkan apa yang sudah diperolehnya, sedangkan belajar bermakna adalah belajar memahami apa yang diperoleh dan dikaitkan dengan keadaan lain sehingga apa yang dipelajari akan lebih dimengerti. Adapun menurut Suparno dalam Heruman (2008:5) mengatakan bahwa belajar bermakna terjadi apabila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka dalam setiap penyelesaian masalah.
10
2.1.5
Pembelajaran Matematika di SD Siswa Sekolah Dasar (SD) umumnnya berkisar antara 6 atau 7tahun,
sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget dalam Heruman (2008: 1) bahwa mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dalam obyek yang bersifat konkret. Menurut Dali S.naga dalam Abdurrahman (2003) bidang studi matematika yang diajarkan di SD mencakup tiga cabang yaitu aritmatika, aljabar dan geometri. Aritmatika atau berhitung adalah cabang matematika yang berkenaan dengan sifat hubungan-hubungan bilangan-bilangan nyata dengan perhitungan mereka terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Secara singkat aritmatika atau berhitung adalah pengetahuan tentang bilangan. Dari usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa media, dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa. Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret, semi konkret, dan selanjutnya abstrak. Konsep-konsep pada kurikulum SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu penanaman konsep dasar (penanaman konsep), pemahaman konsep dan pembinaan keetrampilan. Tujuan akhir pembelajaran matematika di SD yaitu siswa terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi untuk menuju tahap keterampilan tersebut harus memulai langkah-langkah benar sesuai dengan kemampuan dan lingkungan siswa. Konsep-konsep pada kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu: 1)
Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep) yaitu pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Kita dapat mengetahui konsep ini dari isi kurikulum, yang dicirikan dengan kata “Mengenal”. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan
11
jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak. Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media atau alat peraga diharapkan dapat digunakan untuk membantu pola pikir siswa. 2) Pemahaman Konsep yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan pada pertemuan berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan dari pemahaman konsep pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya. 3) Pembinaan Keterampilan yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika. Seperti halnya pada pemahaman konsep, pembinaan keterampilan juga terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran keterampilan dilakukan pada pertemuan yang berbeda, tapi masih merupakan lanjutan dari penanaman dan pemahaman konsep dianggap sudah pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan materi berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar berikut ini: Standar Kompetensi
: 6 Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah.
Kompetensi Dasar
: 6.4 Mengurangkan pecahan.
2.1.6 Metode Konvensional Menurut Sumarno (2011) model pembelajaran konvensional didalamnya meliputi berbagai metode yang berpusat pada guru. Metode-metode tersebut meliputi ceramah, Tanya jawab, dan diskusi.
12
2.1.6.1 Metode Ceramah Menurut Sabri (2007: 50) metode ceramah adalah metode yang dilakukan guru dalam menyampaikan bahan pelajaran di dalam kelas secara lisan. Dalam metode ceramah yang mempunyai peran utama adalah guru. Sedangkan menurut zaini dkk (2007: 92) pengajar atau guru adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap penyampaian materi kepada siswa, sehingga arah komunikasi cenderung hanya satu arah, yaitu dari guru kepada siswa. Kelebihan metode ceramah antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Praktis dari sisi persiapan dan media yang digunakan. Efisien dari sisi waktu dan biaya. Dapat menyampaikan materi yang banyak. Mendorong dosen menguasai materi. Lebih mudah mengontrol kelas. Siswa tidak perlu persiapan. Siswa dapat langsung menerima ilmu pengetahuan.
Kelemahan metode ceramah antara lain: 1) Membosankan. 2) Siswa tidak aktif. 3) Informasi hanya satu arah. 4) Feed back relatif rendah. 5) Menggurui dan melelahkan. 6) Monoton. 7) Tidak mengembangkan kreativitas siswa. 8) Menjadikan siswa hanya sebagai obyek didik. Metode ceramah adalah cara pengajaran yang tradisional yaitu dengan cara menularkan pengetahuannya pada siswa secara lisan. Cara ini terkadang sangat membosankan, kurang perhatian siswa.
2.1.6.2 Metode Tanya Jawab Menurut Sabri (2007: 52) metode tanya jawabadalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat two way traffic sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dan siswa.Menurut Roestiyah (2008: 129) Teknik tanya jawab ialah suatu teknik untuk memberikan motivasi pada siswa agar bangkit pemikirannya untuk bertanya, selama
13
mendengarkan pelajaran, atau guru yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, dan siswa menjawab. Kelebihan metode Tanya jawab antar lain: 1) Untuk mengetahui sejauh mana materi pelajaran telah dikuasai oleh siswa. 2) Untuk merangsang siswa berpikir. 3) Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengajukan masalah yang belum dipahami. Guru bertanya siswa menjawab, atau siswa bertanya guru menjawab. Dalam komunikasi ini terlihat adanya hubungan timbal balik secara langsung antara guru dan siswa. Dengan adanya kegiatan tersebut siswa dapat mengerti dan mengingatingat tentang fakta yang dipelajari, didengar ataupun dibaca, sehingga mereka memiliki pengertian yang mendalam tentang fakta itu
2.1.6.3 Metode Diskusi Menurut sabri (2007: 54) metode diskusi adalah suatu kegiatan kelompok untuk memecahkan suatu masalah dengan maksud untuk mendapatkan pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk merampungkan keputusan bersama. Menurut Zaini dkk (2007: 120) strategi diskusi dapat digunakan dalam semua kelas baik besar maupun kecil. Diskusi di kelas kecil dapat lebih efektif ketimbang kelas besar, tetapi kelas besar tidak jadi penghalang bagi kemampuan guru untuk mendorong partisipasi serta berfikir siswa. Kelebihan metode diskusi antara lain: 1) Dapat merangsang siswa untuk lebih kreatif, khususnya dalam memberikan gagasan dan ide-ide. 2) Dapat melatih untuk membiasakan diri bertukar pikiran dalam mengatasi setiap permasalahan. 3) Dapat melatih siswa untuk dapat mengemukakan pendapat atau gagasan secara verbal di samping itu, diskusi juga bisa melatih siswa untuk menghargai pendapat orang lain. Kelemahan metode diskusi antara lain:
14
1) Sering terjadi pembicaraan dalam diskusi dikuasai oleh 2 atau 3 orang siswa yang memiliki keterampilan berbicara. 2) Terkadang pembahasan dalam diskusi meluas, sehingga kesimpulan menjadi kabur. 3) Memerlukan waktu yang cukup panjang yang terkadang tidak sesuai dengan yang direncanakan. 4) Sering terjadi perbedaan pendapat yang bersifat emosional yang tidak terkontrol. Dalam diskusi, tiap orang diharapkan memberikan sumbangan sehingga seluruh kelompok kembali dengan pemahaman yang sama dalam suatu keputusan atau kesimpulan. Di dalam diskusi ini proses interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat, saling tukar menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah, dapat terjadi juga semuanya aktif tidak ada yang pasif sebagai pendengar saja.
2.1.7 Model Pembelajaran Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru dalam mengembangkan model-model pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan intensitas keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses pembelajaran. Pengembangan model pembelajaran yang tepat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat belajar secara aktif dan menyenangkan sehingga siswa dapat meraih hasil belajar dan prestasi yang optimal. Menurut Suprijono (2009:46) mengatakan bahwa model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implementasinya pada tingkat operasional di kelas. Melalui model pembelajaran guru dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide.
15
Menurut Trianto (2007:5) model pembelajaran adalah pola dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Selanjutnya setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Hal ini juga didukung oleh pendapat Aunurrahman (2009:146) yang menyatakan bahwa model pembelajaran diartikan sebagai kerangka konseptual atau perangkat rencana yang digunakan untuk merancang bahan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran di kelas atau di tempat lain yang melaksanakan pembelajaran yang berfungsi sebagai pedoman bagi guru dan perancang pembelajaran dalam aktivitas pembelajaran. Menurut pendapat Arends dalam Trianto(2010:54) bahwa memilih model pembelajaran berdasarkan dua alasan penting yaitu pertama istilah model mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode, atau prosedur. Kedua model dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penting, apakah yang dibicarakan tentang mengajar dikelas, atau praktik mengawasi anak-anak. Model
pembelajaran
diklasifikasikan
berdasarkan
tujuan
pembelajaran,
sintaknya, dan sifat lingkungan belajarnya. Dari beberapa pengertian model pembelajaran yang telah disampaikan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah pola atau kerangka konseptual yang digunakan oleh perancang pengajaran dan para guru sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran atau merancang aktivitas belajar mengajar secara sistematis di kelas. Model pembelajaran sangat berkaitan dengan gaya belajar peserta didik dan guru mengajar.
2.1.8 Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Hal tersebut juga disampaikan oleh Isjoni (2009: 14) bahwa pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
16
berdasarkan kontruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru (Suprijono, 2009:54). Merujuk pendapat Anita lie (2004:29) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok, ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakan
pembagian
kelompok
yang
dilakukan
secara
asal-asalan.
Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif. Hal tersebut juga disampaikan oleh Trianto (2007: 42-44) pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif mempunyai efek yang berarti terhadap penerimaan yang luas terhadap keragaman
ras,
budaya
dan
agama,
strata
sosial,
kemampuan,
dan
ketidakmampuan. Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantungan satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain. Kemp,at.al dalam syafaruddin & Irwan nasution ( 2005: 200) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu jenis khusus dari aktivitas kelompok yang berusaha untuk memajukan pembelajaran dan keterampilan sosial dengan kerjasama tiga konsep ke dalam pengajaran yaitu: penghargaan kelompok, pertanggungjawaban pribadi, dan peluang yang sama untuk berhasil. Di dalam kelas kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompokkelompok kecil yang terdiri dari 4-6 siswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin, ras/suku, dan satu sama lain saling membantu. Tujuan
17
dibentuknya kelompok tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan oleh guru, dan saling membantu teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan belajar. Belajar dengan model kooperatif dapat diterapkan untuk memotivasi siswa berani mengemukakan pendapatnya (sharing ideas). Selain itu dalam belajar biasanya siswa dihadapkan pada latihan soal-soal pemecahan masalah. Oleh sebab itu, pembelajaran kooperatif sangat baik untuk dilaksanakan karena siswa dapat bekerja sama dan saling tolong menolong mengatasi tugas yang dihadapinya. Model pembelajaran kooperatif tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan berpikir kritis, bekerja sama, dan membantu teman. Dalam pembelajaraan kooperatif, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas, dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya.
2.1.8.1 Tujuan Pembelajaran Kooperatif Menurut Syafaruddin dan Irwan Nasution (2005: 207) mengatakan tujuan pembelajaran kooperatif ada dua jenis yang dibuat secara khusus sebelum dimulai pembelajaran yaitu: 1) Tujuan khusus pelajaran pada level yang benar bagi para pelajar dan sesuai dengan tingkatan yang benar dalam pengajaran. 2) Tujuan keterampilan kerjasama, dengan merinci keterampilan interpersonal apa dan keterampilan kelompok kecil yang akan ditekankan selama proses pembelajaran. Kemungkinan kesalahan yang dibuat guru adalah hanya membuat tujuan khusus akademik dan mengabaikan tujuan keterampilan kerjasama yang diperlukan untuk melatih para pelajar bekerjasama antara satu dengan yang lain
18
2.1.8.2
Peran Guru Dalam Pembelajaran Kooperatif Menurut Syafaruddin dan Irwan nasution (2005: 205-206) dalam situasi
pembelajaran kooperatif keberadaan guru adalah sebagai ahli pengajaran dan sekaligus sebagai manajer kelas untuk memajukan efektivitas fungsi kelompok. guru membangun kelompok pembelajaran, mengajarkan konsep pelajaran, prinsip dan strategi yang para pelajar menguasai dan menggunakannya, dan mengawasi fungsi kelompok pembelajaran dan memperlakukan hal-hal yaitu: a) mengajarkan keterampilan kerjasama, b) memberikan bantuan dalam pembelajaran mata pelajaran ketika diperlukan. Para pelajar mempelajari mata pelajaran dengan teman sejawatnya untuk memberikan bantuan, umpan balik, penguatan, dan dukungan. Para pelajar diharapkan untuk berinteraksi dengan yang lain, membagi gagasan dan material pelajaran, mendukung dan mendorong prestasi pelajar, menjelaskan secara lisan dan mengelaborasi konsep dan strategi pembelajaran, dan memberikan tanggung jawab kepada setiap pelajar. Kemudian evaluasi mengacu kepada kriteria juga digunakan.
2.1.8.3 Keunggulan dan kelemahan Pembelajaran Kooperatif 1) Keunggulan pembelajaran kooperatif Menurut Jarolimek & Parker dalam Isjoni (2009) mengatakan bahwa keunggulan yang diperoleh dalam pembelajaran kooperatif adalah: a. Saling ketergantungan yang positif. b. Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu. c. Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas. d. Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan. e. Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru. f. Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan.
19
2)
Kelemahan pembelajaran kooperatif Menurut Isjoni (2009) kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada
dua faktor yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu: a. Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu. b. Agar proses pembelajaran berjalan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai. c. Selama kegiatan diskusi berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan. d. Saat diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif. Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran kooperatif adalah dengan: a.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru harus memperhatikan waktu.
b.
Fasilitas dalam proses pembelajaran harus mendukung, contohnya ruang dalam kegiatan pembelajaran, disesuaikan dengan jumlah siswa.
c.
Dalam kegiatan diskusi, guru membimbing jalannya diskusi kelompok, guru menegur siswa yang tidak aktif dalam kegiatan diskusi kelompok.
d.
Pada saat kegiatan diskusi, guru harus bisa menciptakan suasana diskusi kelas yang aktif.
2.1.9 Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads Together) NHT (Numbered Heads Together) atau banyak disebut pula dengan penomoran, berpikir bersama, atau kepala bernomor merupakan salah satu inovasi dalam pembelajaran kooperatif. NHT (Numbered Heads Together) pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagan tahun 1993 untuk melipatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercangkup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. NHT (Numbered Heads Together) memberi kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling
20
tepat dan dapat meningkatkan semangat kerjasama mereka (Isjoni, 2009: 68). Miftahul Huda (2011: 138) bahwa NHT (Numbered Heads Together) dapat meningkatkan semangat kerja sama siswa dan juga dapat digunakan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas. NHT (Numbered Heads Together) sebagai model pembelajaran pada dasarnya merupakan sebuah variasi diskusi kelompok dengan ciri khas dari NHT (Numbered Heads Together) adalah guru memberi nomor dan hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya. Dalam menunjuk siswa tersebut, guru tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok. Cara tersebut akan menjamin keterlibatan total semua siswa dan merupakan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok. Peran seorang guru sangat diperlukan, sebagai pengawas dan fasilitator. Guru tidak hanya membiarkan siswanya mengerjakan sendiri namun juga harus membimbing jalannya diskusi agar tujuan pembelajarannya dapat tercapai. Model
pembelajaran
NHT
(Numbered
Heads
Together)
lebih
mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai sumber yang pada akhirnya dipresentasikan di depan kelas. Keterlibatan siswa secara kolaboratif dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama ini memungkinkan NHT (Numbered Heads Together) dapat meningkatkan hasil belajar matematika khususnya dalam pemecahan masalah matematika. Dalam model pembelajaran NHT (Numbered Heads Together), dalam pembagian kelompok juga harus mempertimbangkan kriteria heterogenitas seperti: jenis kelamin, latar belakang sosial, kesenangan, intelektual dan sebagainya. Pembagian siswa dalam kelompok-kelompok perlu diseimbangkan sehingga setiap kelompok memiliki anggota yang tingkat prestasinya seimbang. Model pembelajaran NHT (Numbered Heads Together) ini secara tidak langsung melatih siswa untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta berbicara dengan penuh perhitungan, sehingga siswa lebih produktif
21
dalam pembelajaran. Tahapan dalam pembelajaran NHT (Numbered Heads Together) menurut Trianto (2007: 62): a. Penomoran Penomoran adalah hal yang utama di dalam NHT (Numbered Heads Together), dalam tahap ini guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan tiga sampai lima orang dan memberi siswa nomor sehingga setiap siswa dalam tim mempunyai nomor berbeda-beda, sesuai dengan jumlah siswa di dalam kelompok. a. Pengajuan pertanyaan Langkah berikutnya adalah pengajuan pertanyaan, guru mengajukan pertanyaan yang diberikan dapat diambil dari materi pelajaran tertentu yang memang sedang dipelajari, dalam membuat pertanyaan usahakan dapat bervariasi dari yang spesifik hingga bersifat umum dan dengan tingkat kesukaran yang bervariasi. b. Berpikir bersama Setelah mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari guru, siswa berpikir bersama untuk menemukan jawaban dan menjelaskan jawaban kepada anggota dalam timnya sehingga semua anggota mengetahui jawaban dari masing-masing pertanyaan. c.
Pemberian jawaban Langkah terakhir yaitu guru menyebut salah satu nomor dan setiap siswa dari tiap kelompok yang bernomor sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas, kemudian guru secara random memilih kelompok yang harus menjawab pertanyaan tersebut, selanjutnya siswa yang nomornya disebut guru dari kelompok tersebut mengangkat tangan dan berdiri untuk menjawab pertanyaan. Kelompok lain yang bernomor sama menanggapi jawaban tersebut. Berdasarkan tahapan-tahapan tersebut, bisa dibuat langkah-langkah
pembelajaran NHT (Numbered Heads Together) pada pembelajaran matematika materi pengurangan pecahan pada kelompok eksperimen adalah : 1. Pendahuluan
22
a. Guru melakukan apersepsi b. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang mengaitkan materi dengan realitas kehidupan. c. Guru memberikan motivasi. 2. Kegiatan inti Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) a. Tahap pertama - Penomoran: Guru membagi siswa dalam kelompok yang beranggotakan 3 – 5 orang dan kepada setiap anggota diberi nomor 1 – 5. - Siswa bergabung dengan anggotanya masing-masing. b. Tahap kedua - Mengajukan pertanyaan: Guru mengajukan pertanyaan berupa tugas untuk mengerjakan soal-soal dalam kartu soal. c. Tahap ketiga - Berpikir bersama: Siswa berpikir bersama dan menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan tersebut dan menyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tersebut. d. Tahap keempat - Menjawab: Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan atau mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk seluruh kelas. Kelompok lain diberi kesempatan untuk berpendapat dan bertanya terhadap hasil diskusi kelompok tersebut. - Guru mengamati hasil yang diperoleh masing-masing kelompok dan memberikan semangat bagi kelompok yang belum berhasil dengan baik. 3. Penutup - Siswa bersama guru menyimpulkan materi yang telah diajarkan. - Guru memberikan soal latihan secara individu untuk mengukur kepahaman siswa. - Guru mengingatkan siswa untuk mempelajari kembali materi yang telah diajarkan dan materi selanjutnya.
23
2.2 Kajian Penelitian yang Relevan a) Penelitian tentang model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together), telah dilakukan penelitian lain. Penelitian tersebut berbentuk PTK, yang dilakukan oleh Wahyu Nugroho Sandi Ananta (2011) yang berjudul “Penerapan Model Numbered Heads Together (NHT) Dalam Pembelajaran Matematika Pokok Bahasan Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan UntukMeningkatkan Hasil Belajar Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Pitrosari Kecamatan Wonoboyo Kabupaten Temanggung. Hasil penelitian menunjukkan menggunakan model Numbered Heads Together (NHT)ternyata dapat meningkatkan hasil belajar matimatika siswa kelas IV SD Negeri Pitrosari Kecamatan Wonoboyo Kabupaten Temanggung tentang penjumlahan dan pengurangan pecahan pada semester II tahun 2010/2011. Hal tersebut dibuktikan dengan rata-rata nilai sebelum tindakan adalah 70,34 kemudian pada siklus II meningkat menjadi 75,55. b) Penelitian lain dilakukan oleh Intan Putri Utami (2011) yang berjudul “Keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) terhadap hasil belajar matematika bagi siswa kelas V SD. Hasil penelitian tersebut dapat diambil keputusan bahwa ada perbedaan hasil belajar antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran tipe NHT (Numbered Heads Together) dengan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional, hasil belajar matematika siswa kelas V SD yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif NHT (Numbered Heads Together) lebih baik dibandingkan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional, dan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) efektif terhadap hasil belajar Matematika siswa kelas V SD. Rata-rata untuk kelompok eksperimen yaitu 78,59 dan rata-rata untuk kelompok control yaitu sebesar 67,63 berarti rata-rata hasil belajar antara siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) lebih tinnggi daripada hasil belajar siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional.
24
Hasil penelitian terdahulu tersebut relevan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti karana sama-sama meneliti tentang Keefektifan model pembelajaran NHT (Numbered Heads Together). c) Penelian yang dilakukan oleh Rima Chandra Novitasari (2011) yang berjudul “ Upaya peningkatan hasil belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT mata pelajaran IPA pokok bahasan Perubahan Lingkungan kelas IV SDN Tegalrejo 05 kecamatan Argomulyoh Kota Salatiga Semester II Tahun ajaran 2010/2011. Penelitian yang dilakukan berbentuk PTK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan ketuntasan belajar, yakni dari 65,6% sebelum siklus, meningkat menjadi 71,8% pada siklus 1 dan 100% pada siklus 2. Tewrjadi peningkatan rata-rata kelas dari 66,25 sebelum tindakan, meningkat menjadi 70,31 pada siklus 1 dan menjadi 82,18 pada siklus 2. Peningkatan skor minimal dari 40 pada sebelum siklus, menjasi 50 pada siklus 1, dan menjadi 70 pada siklus 2.Peningkatan skor maksimal dari 90 pada sebelum tindakan, tetapi pada siklus 2 sebesar 100. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT pada mata pelajaran IPA pokok bahasan perubahan lingkungan bagi siswa kelas IV SDN Tegalrejo 05 Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga tahun ajaran 2010/2011 dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV. d)
Penelitian yang dilakukan oleh Alvera Dwi Wijayanti (2011) yang berjudul “ Pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif teknik NHT (Numbered Heads Tohether) terhadap hasil belajar siswa pada pelajaran IPS kelas V SDN Gladagsari tahun pelajaran 2010/2011. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengujian hipotesis menggunakan uji t diperoleh sig 0,000 < 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Rata-rata nilai untuk kelompok eksperimen yaitu sebesar 80,59 dan rata-rata nilai kelompok control yaitu sebesar 74,63 berarti rata-rata hasil belajar antara siswa yang diajar menggunakan metode pembnelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered
25
Heads Together) dengan siswa yabg diajar menggunakan model pembelajaran konvensional. Jadi penggunaan model pembelajaran kooperatif teknik NHT (Numbered Heads Together) berpengaruh terhadap hasil belajar siswa dibandingkan dengan pembelajaran dengan metode konvensional.
2.3.
Kerangka Pikir Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang susah untuk
dimengerti. Dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang kurang memuaskan dan mencapai KKM yang ditetapkan oleh sekolah. Pembelajaran yang biasa diterapkan selama ini yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru, siswa pasif, dan kurang terlibat dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa mengalami kejenuhan yang berakibat kurangnya minat belajar. Minat belajar akan tumbuh dan terpelihara apabila kegiatan belajar mengajar dilaksanakan secara bervariasi, baik melalui variasi model maupun media pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) adalah salah satu model pembelajaran kooperatif sebagai alternative bagi guru dalam mengajar siswa, yang merupakan sebuah variasi diskusi kelompok yang ciri khasnya adalah guru hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya tersebut. Sehingga cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa dan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok. Dengan adanya keterlibatan total semua siswa tentunya akan berdampak positif terdahap hasil belajar siswa. Siswa kelompok bawah akan mentrasfer pengetahuan dari siswa kelompok atas yang merupakan teman sebayanya yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil belajar antara kelompok kontrol yaitu siswa kelas IV SD Negeri Traji II dan kelompok eksperimen yaitu siswa kelas IV SD Negeri Traji I. Dalam hal ini kelompok kontrol dalam kegiatan pembelajaran menggunakan metode konvensional yang sudah biasa digunakan dalam kelas, sedangkan kelompok eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together).
26
Pada awal kegiatan penelitian, peneliti menguji tingkat homogenitas kedua kelompok terlebih dahulu, dengan membuat tes yang akan diberikan kepada kedua kelompok tersebut. Hal tersebut adalah salah satu cara penelitiuntuk mengetahui seberapa besar tingkat efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) dalam meningkatkan hasil belajar matematika kelas IV. Jika siswa yang diajar dengan menggunakan modelpembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) pada mata pelajaran matematika pokok bahasan pengurangan pecahan semua siswa memperoleh nilai mencapai nilai KKM, berarti model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) efektif dalam kegiatan belajar mengajar. Akan tetapi, jika hasil belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran tipe NHT (Numbered Heads Together) tidak menunjukkan peningkatan hasil belajar, berarti model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) kurang efektif digunakan pada mata pelajaran matematika pokok bahasan pengurangan pecahan. - Membagi kelompok - Memberikan kartu soal - Siswa berdiskusi bersama - Menjawab pertanyaan kartu soal
Menggunakan model pembealajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together)
Hasil belajar
dibandingkan
KBM kelas IV - Menyampaikan materi dengan ceramah - Memberikan kesempatan untuk bertanya - Menyimpulkan materi - Memberikan evaluasi
Menggunakan metode konvensional
Hasil belajar
Gambar 2.1 Kerangka Pikir 2.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian kerangka pikir, peneliti mengemukakan hipotesis
penelitian yaitu terdapat perbedaan pada hasil belajar matematika kelas IV yang signifikan antara pembelajaran yang menggunakanmodel pembelajaran kooperatif tipe
NHT
(Numbered
Heads
Together)
dan
metode
konvensional