BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Perspektif / Paradigma Kajian Paradigma (paradigm) merupakan salah satu dari banyak hal yang memengaruhi dan membentuk ilmu pengetahuan dan teori. Istilah paradigma di perkenalkan dan dipopulerkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang klasik, The Structure of Scientific Revolutions. Dalam bidang keilmuan, paradigma sering juga disebut dengan perspektif (perspective), mahzab pemikiran (school of thought) atau teori, model, pendekatan, strategi intelektual, kerangka konseptual, kerangka pemikiran, serta pandangan dunia (worldview) (Mulyana, 2001:9). Pada hakikatnya, penelitian merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti, maupun praktisi melalui model-model yang disebut dengan paradigma. Seperti yang dijelaskan Tucker (dalam Mulyana, 2001:16) bahwa paradigma sebagai suatu pandangan dunia dalam memandang segala sesuatu mempengaruhi pandangan individu mengenai fenomena. Jadi, paradigma dapat dikatakan sebagai keseluruhan susunan model dan kepercayaan serta asumsi-asumsi yang dipegang dan dipakai oleh peneliti dalam memandang fokus penelitiannya. Paradigma dalam penelitian digunakan karena menyadari bahwa suatu pemahaman selalu dibangun oleh keterkaitan antara apa yang diamati dan apa yang menjadi
konsep
pengamatan.
Penggunaan
paradigma
dapat
mengimbangi
keberubahan fakta sosial yang terus menerus berubah dan mewajibkan peneliti untuk toleran pada perbedaaan cara pandang, serta bijak dalam menggunakan pelbagai metode (Ardianto & Q-Anees, 2007:77-78). Dengan demikian, peranan paradigma dalam penelitian menjadi sangat penting dalam mempengaruhi teori, analisis, maupun tindak perilaku seseorang. Paradigma yang berkembang pada ilmu komunikasi sangat beragam, namun yang sering digunakan dan bersangkutpaut dengan penelitian hanya meliputi positvisme, post-positivisme, interpretif, konstruktivis, dan kritis. Secara singkat,
Universitas Sumatera Utara
kelima paradigma ini muncul dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan cara pandang terhadap realitas dan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologis (asumsi tentang realitas), asumsi epistimologis (asumsi tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti) dan asumsi metodologis (asumsi tentang cara/proses peneliti memperoleh pengetahuan). Pada dasarnya, kemunculan kelima paradigma ini bertujuan sebagai kerangka pencarian penemuan pengetahuan ilmu manusia. Paradigma
atau
perspektif
interpretif
muncul
dilatarbelakangi
atas
ketidakpuasan pada teori post-positivis. Perspektif positivis dinilai terlalu umum, terlalu mekanis, tidak dapat menangkap keruwetan, nuansa dan kompleksitas dari interaksi manusia. Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana manusia membentuk dunia pemaknaan melalui interaksi dan bagaimana manusia berperilaku terhadap dunia yang mereka bentuk itu (Ardianto & Q-nees, NN:124). Dalam pencarian pemahaman ini, kebenaran dilihat sebagai sesuatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisipan, dan peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Dengan demikian, peneliti berusaha memasuki dunia konseptual subjek yang diteliti. Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif. Paradigma interpretatif ini dipakai karena paradigma/pendekatan ini menyatakan bahwa pemahaman individu mengenai makna merupakan hasil interaksi dengan individu lainnya terhadap kehidupan sehari-hari dan pengalamannya, sehingga dengan paradigma/pendekatan ini
peneliti dapat memahami bagaimana proses komunikasi ibu bekerja dengan
keluarga dalam waktu yang terbatas dalam hubungan harmonisasi dengan suami dan anak pada ibu bekerja di Subbagian Tata Laksana dan Kepegawaian Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Kajian Pustaka 2.2.1. Fenomenologi Secara etimologis, kata fenomenologi merupakan terusan dari kata fenomenon dan logos. Kata logos menunjuk pada pengertian uraian, percakapan, atau ilmu. Sedangkan kata fenomenon menunjuk pada pengertian sesuatu yang tampak, terlihat, karena bersinar atau bercahaya, sering disebut sebagai gejala. Dengan demikian, fenomenologi dapat diartikan sebagai uraian, percakapan, atau ilmu tentang gejala atau sesuatu yang sedang menampakkan diri. Secara singkat, fenomenologi merupakan sesuatu yang menggejala. Istilah fenomenologi diperkenalkan pada tahun 1764 oleh Johann Heinrich Lambert, untuk menunjuk pada Teori Penampakan. Lambert beserta Kant merupakan filsuf Jerman yang pertama kali menggunakan kata fenomenologi. Istilah fenomena (phenomenon) digunakan Lambert bagi gambar khayal dari pengalaman manusia, dan kemudian mengartikan fenomenolgi (phenomenoulogy) sebagai “teori tentang khayalan”, sedangkan Kant memberi arti baru dan lebih luas tentang fenomena. Kant membuat perbedaan antara fenomena (phenomenon) dan numena (noumenon). Menurutnya, fenomena (phenomenoun) merupakan objek dan kejadian yang tampak dalam pengalaman kita, sedangkan numena (noumena) merupakan objek dan kejadian yang berada dalam dirinya sendiri serta tidak tampak dalam gejala-gejala yang kita tangkap dengan indra (Sobur, 2013:17). Selain Lambert dan Kant, masih banyak lagi para filsuf yang memberikan pengertian dan pandangan mengenai fenomenologi seperti Eduard von Hartmann, Husserl, Max Scheler, Sartre, Marleau-Ponty, Schutz, Berger, Hegel, Carl Rogers, Austin, Habermas, dan yang lainnya. Istilah ‘realitas’ menjadi pokok pandangan mereka. Para filsuf umumnya melihat bahwa ‘realitas’ bukanlah kata benda, melainkan lebih mengacu pada aturan mengenai bagaimana pribadi dan benda dapat dikenal. Jadi, kata ‘realitas’ tidak digunakan untuk suau objek yang khusus dan konkret, melainkan tentang kriteria tentang apa objek yang nyata itu sebenarnya.
Universitas Sumatera Utara
Inti dari penelitian fenomenologi adalah ide atau gagasan mengenai ‘dunia kehidupan’ (lifeworld), sebuah pemahaman bahwa realitas setiap individu itu berbeda dan tindakan individu hanya bisa dipahami melalui pemahaman terhadap dunia kehidupan individu, sekaligus melalui sudut pandang mereka masing-masing. Dengan demikian, fenomenologi mengkaji bagaimana anggota masyarakat menggambarkan dunia sehari-harinya terutama bagaimana individu dengan kesadarannya membangun makna dari hasil interaksi dengan individu lainnya. Konsep dasar fenomenologi menurut Deetz (1973, dalam Sobur, 2013:19) terdiri dari tiga konsep. Adapun konsep tersebut yaitu : 1. Pengetahuan diperoleh secara langsung lewat pengalaman sadar – individu akan mengetahui dunia ketika individu berhubungan dengannya. 2. Makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam hidup seseorang. Dengan kata lain, bagaimana individu berhubungan dengan benda, menentukan maknanya bagi individu itu sendiri. 3. Bahasa merupakan kendaraan makna. Individu memahami dunia lewat bahasa yang ia gunakan guna mendefenisikan serta mengekspresikan dunia tersebut. Mulyana menyebutkan pendekatan fenomenologi termasuk pada pendekatan subjektif atau interpretif (Mulyana, 2001:59). Lebih lanjut Marice Natanson mengatakan bahwa istilah fenomenologi dapat digunakan sebagai istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna objektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial (Mulyana, 2001:20-21). Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu Menurut Dedy Mulyana (Hidayat, 2011:161-162), analisis fenomenologi dapat merekonstruksi dunia kehidupan manusia dalam bentuk yang mereka alami sendiri. Dalam hal ini Schutz menjelaskan bahwa realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan interaksi dan komunikasi. Fenomenologi menurut Schutz merupakan sebuah metode yang berusaha mengungkapkan tentang pengalaman dan perilaku manusia dalam dunia sosial
Universitas Sumatera Utara
keseharian sebagai realitas yang bermaknna secara sosial (socially meaningful reality). Schutz menyebut manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Makna dari tindakan sosial yang dilakukan “aktor” akan dipahami individu lain melalui proses pengamatan dan pendengaran tentang apa yang dikatakan atau diperbuat “aktor”. Schutz menjelaskan bahwa melihat ke depan pada masa yang akan datang menjadi hal yang esensial bagi konsep tindakan atau action. Tindakan adalah perilaku yang diarahkan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang telah ditetapkan. Dapat diartikan masa lalu juga menentukan sebuah tindakan. Dengan demikian, tujuan tindakan memiliki elemen ke masa lalu dan masa depan. Untuk menggambarkan keseluruhan tindakan seseorang, Schutz membaginya ke dalam dua fase, yaitu tindakan in-order-to-motive (Um-zu-Motiv) yang merujuk pada masa yang akan datang dan tindakan because-motive (Weil-Motiv) yang merujuk pada masa lalu (Hidayat, 2011:163). Oleh sebab itu dalam penelitian ini, peneliti mengangkat komunikasi ibu bekerja dengan suami dan anaknya sebagai bagian dari masalah penelitian. Hal ini dikarenakan tindakan menjadi ibu bekerja serta kondisi ibu bekerja adalah sebuah fakta atau realita dari pengalaman hidup yang sangat memungkinkan dialami oleh sebagian besar keluarga.
2.2.2. Interaksionisme Simbolik Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Istilah fenomenologis digunakan oleh Maurice Natanson sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial (Mulyana, 2001:61). Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Menurut teori ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.
Universitas Sumatera Utara
Individu merupakan organisasi aktif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatankekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah, maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Dengan demikian, interaksi menjadi variabel penting yang menentukan perilaku manusia. Dalam teori yang dipopulerkan oleh George Herbert Mead ini, kehidupan sosial juga dipandang sebagai suatu proses interaksi. Kesalinghubungan merupakan basis dari kenyataan sosial, semua aspek kehidupan dianggap didasari oleh interaksi, begitu halnya dengan komunikasi. Komunikasi merupakan inti dari struktur sosial. Berinteraksi berarti berkomunikasi, dengan demikian keberadaan suatu masyarakat direkat atau dijalin melalui tindak komunikasi. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi individu dalam berinteraksi. Makna suatu bahasa sangat bergantung pada interaksi dan dimana interaksi tersebut berlangsung. George Herbert Mead, seperti yang dikutip dalam Mulyana (2001:68), menekankan bahwa esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu berkomunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
2.2.2.1. Tema dan Asumsi teori Interaksionalisme Simbolik Teori interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Oleh karenanya, teori ini memiliki tema dan kerangka asumsi-asumsi untuk menginterpretasikan ide-ide tersebut secara luas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (1993) bahwa teori interaksi simbolik memperlihatkan tiga tema besar. Adapun tema tersebut yaitu : 1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia Teori ini berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Konstruksi interpretif dibutuhkan diantara orang-orang untuk menciptakan makna, dan dalam prosesnya dibutuhkan interaksi dengan tujuan untuk menciptakan makna yang sama. Kesamaan makna menjadi hal yang penting karena tanpa makna yang sama, berkomunikasi akan menjadi sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
contoh (“Sudah saya katakan jangan membuat teh terlalu manis.” “2 sendok gula adalah takaran gula yang sesuai bagi saya untuk tidak membuat teh menjadi terlalu manis.” “Tetapi maksud saya adalah 1 sendok saja sudah cukup.” “Kamu tidak mengatakan hal itu!”). Dengan demikian, kita berbicara dengan lawan bicara kita dengan asumsi kita sepakat akan sebuah makna pembicaraan tanpa harus menjelaskan semua makna dalam pembicaraan. Akan tetapi, terkadang kita keliru dengan pemahaman makna lawan bicara kita (Herbert Blumer (1969) dalam Turner & West, 2009:99). •
Asumsi-asumsinya :
a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepadanya. Asumsi ini menjelaskan bahwa perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respons orang berkaitan dengan rangsangan tersebut. Seperti misalnya kita sering kali melihat gaya hidup sebagai ukuran dari status sosial individu dalam masyarakat/menghubungkan status sosial dengan gaya hidup seseorang. b. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia. Makna merupakan “produk sosial” atau ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi (Blummer (1969) dalam Turner&West:2009:100). Makna dapat ada ketiika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai symbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Proses interpretif makna menurut Blummer berlangsung dalam dua langkah: (1) para pelaku menentukan benda-benda yang memiliki makna; (2) melibatkan perilaku memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna didalam konteks dimana mereka berada. 2. Pentingnya Konsep diri Tema kedua dalam teori ini berfokus pada pentingnya konsep diri (selfconcept). Konsep diri merupakan seperangkat persepsi atau tanggapan yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Konsep diri individu dapat terbentuk dari pemahaman karakteristik mengenai ciri-ciri fisik, peranan, talenta, keadaan emosi, nilai, keterampilan dan keterbatasan sosial, intelektualitas, dan sebagainya. Karakteristik seperti inilah yang menjadi hal penting dalam teori ini. Teori ini sangat tertarik dengan cara orang mengembangkan konsep diri. Dalam
Universitas Sumatera Utara
teori ini, individu digambarkan sebagai diri yang aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. •
Asumsi-asumsinya :
a. Individu-individu mengebangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa individu membangun perasaaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. orang-orang tidak lahir dengan konsep diri, melainkan mereka belajar mengenai diri mereka melalui interaksi. Sebagai contoh bayi tidak memiliki perasaan mengenai dirinya sendiri, namun selama tahun pertama kehidupannya, anakanak mulai untuk membedakan dirinya dari alam sekitarnya. b. Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku. Prinsip penting dalam teori interaksi simbolik yaitu pemikiran bahwa keyajinan, nlai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri mempengaruhi perilaku tiap individu. Mead (Turner&West:2009:102) mengemukakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup memiliki diri dan mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Diri dilihat sebagai proses, bukan struktur. Memiliki diri memaksa orang untuk mengontruksi tindakan dan responsnya, daripada sekedar mengekspresikannya. Jadi, misalnya jika ibu yang bekerja dalam keluarga merasa yakin akan kemampuannya melakukan peran ganda, maka akan sangat mungkin ibu tersebut berhasil dengan baik dalam menjalani peran gandanya itu. 3. Hubungan antara individu dan masyarakat Tema yang terakhir dalam teori interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan sosial. •
Asumsi-asumsinya : a. Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya. Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu, dan budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap. Contohnya, kita memakai pakaian yang sopan dan rapi ketika berada di kantor karena berpakaian seperti itu dirasakan lebih pantas secara sosial dengan konteks kerja dan berpakaian sopan dan rapi sesuai dengan budaya Indonesia. b. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Asumsi ini menekankan bahwa manusia adalah pembuat pilihan dan dapat memodifikasi situasi sosial (Turner & West, 2009:104). Konsep penting dalam teori interaksionalisme simbolik menurut Mead yaitu
pikiran, diri, dan masyarakat (Turner & West, 2009:104). Pikiran merupakan kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama
Universitas Sumatera Utara
yang harus dikembangkan melalui interaksi dengan orang lain. Diri merupakan kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri dari perspektif orang lain. Melalui bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Subjek atau diri yang bertindak dikatakan sebagai I dan objek atau diri yang mengamati adalah Me. Masyarakat merupakan jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Dengan demikian, masyarakat mempengaruhi pikiran dan diri. Individu-individu mengenal atau mengetahui diri mereka melalui interaksi dengan orang lain yang berkomunikasi kepada mereka siapa mereka (Rogers (1986) dalam Budyatna dan Ganiem, 2011:190).
2.2.3. Komunikasi 2.2.3.1. Definisi dan Prinsip Komunikasi Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya. Manusia ingin mengetahui apa yang terjadi dengan lingkungan sekitarnya bahkan yang terjadi dengan dirinya. Rasa ingin tahu inilah yang membuat manusia berkomunikasi dengan yang lain. Komunikasi adalah hal yang fundamental didalam kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan rasa ingin tahu tersebut. Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari bahasa latin yaitu communis, berarti sama. Sama dalam hal ini maksudnya adalah sama makna. Menurut Laswell dalam Onong Uchjana, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Hovland mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang lain. Laswell mengatakan bahwa komunikasi memiliki lima unsur utama, yaitu (Effendy, 2001:9): 1. Komunikator (Sender)
Universitas Sumatera Utara
Komunikator merupakan seseorang yang menyampaikan pesan atau informasi kepada seseorang atau sejumlah orang. Komunikator yang baik ialah komunikator yang selalu memperhatikan umpan balik sehingga ia dapat mengubah gaya komunikasinya jika ia mengetahui bahwa umpan balik dari komunikan bersifat negatif. 2. Pesan (Message) Pesan adalah seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komuniator. Penyampaian pesan dapat dilakukan secara verbal dan non verbal.
Penyampaian
pesan
secara
verbal
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan bahasa, sedangan pesan secara non verbal dapat dilakukan dengan menggunakan alat, isyarat, gam`bar, atau warna untuk mendapatkan umpan balik dari komunikan. 3. Media (Channel) Media adalah saluran komunikasi atau tempat dimana berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan. lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang dapat secara langsung menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. 4. Komunikan (Receiver/Recepient) Komunikan adalah orang yang
menerima pesan dari komunikator.
Komunikanlah yang akan memberikan umpan balik kepada komunikator. Umpan balik memainkan peranan penting dalam komunikasi, sebab umpan balik yang akan menentuan berlanjutnya komunikasi atau berhentinya komunikasi yang diutarakan oleh komunikator. Oleh sebab itu, umpan balik dapat bersifat positif ataupun negatif. 5. Efek (Effect) Efek merupakan tanggapan atau seperangkat reaksi pada komunikan setelah menerima pesan dari komunikator.
Universitas Sumatera Utara
Kesamaan dalam berkomunikasi dapat diibaratkan dua buah lingkaran yang bertindihan satu sama lain. Daerah yang bertindihan itu disebut kerangka pengalaman (field of experience). Dari pernyataan tersebut dapat ditarik empat prinsip dasar komunikasi, yaitu: 1. Komunikasi hanya bisa terjadi bila terdapat pertukaran pengalaman yang sama antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. 2. Jika daerah tumpang tindih menyebar menutupi lingkaran A dan B, menuju terbentuknya satu lingkaran yang sama, makin besar kemungkinannya tercipta suatu proses komunikasi yang mengena (efektif). 3. Tetapi kalau daerah tumpang tindih ini makin mengecil dan menjauhi sentuhan kedua lingkaran, atau cenderung mengisolasi lingkaran masingmasing,
komunikasi
yang
terjadi
sangat
terbatas.
Bahkan
besar
kemungkinannya gagal dalam menciptakan suatu proses komunikasi yang efektif. 4. Kedua lingkaran ini tidak akan bisa saling menutup secara penuh karena dalam konteks komunikasi antar manusia tidak pernah ada manusia diatas dunia ini yang memiliki perilaku, karakter, dan sifat-sifat yang persis sama sekalipun kedua manusia itu dilahirkan secara kembar (Cangara, 2007:21-22).
Menurut Berlo dalam bukunya The Process Communication (1960), komunikasi sebagai proses adalah suatu kegiatan yang berlangsung secara dinamis. Sesuatu yang didefinisikan sebagai proses, berarti unsur-unsur yang ada di dalamnya bergerak aktif, dinamis, dan tidak statis (Cangara, 2007:51). Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan dari seseorang (komunikator) kepada orang lain. Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini, dan lain sebagainya. Perasaan dapat berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Adapun proses komunikasi terbagi atas dua tahap (Effendy, 2001:11): 1. Proses Komunikasi Secara Primer
Universitas Sumatera Utara
Dalam proses komunikasi ini, komunikator menyampaikan pikiran atau perasaannya kepada komunikan dengan menggunakan lambang sebagai media. Lambang disini pada umumnya adalah bahasa, tetapi dalam situasi komunikasi tertentu lambang-lambang yang digunakan dapat berupa gerak tubuh, warna dan gambar. 2. Proses Komunikasi Secara Sekunder Dalam proses komunikasi ini, komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang-lambang pada media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua karena komunikan berada di tempat yang relatiflebih jauh atau jumlahnya banyak. Misalnya dengan menggunakan surat, telepon, majalah, radio, televisi, dan sebagainya. Proses ini merupakan sambungan dari proses primer untuk enembus ruang dan waktu, dalam prosesnya komunikasi sekunder ini akan semakin efektif dan efisien karena didukung oleh teknologi komunikasi yang semakin canggih.
Dilihat dari prosesnya, komunikasi melibatkan komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Djamarah (2004:14) menjelaskan komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa tulisan, sedangkan komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan isyarat, gerak-gerik, gambar, lambang, mimik muka, dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat simpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain secara verbal maupun nonverbal, baik dilakukan secara tatap muka langsung ataupun secara tidak langsung melalui media. Komunikasi akan berhasil jika dalam komunikasi tersebut terjadi pemahaman yang sama diantara kedua belah pihak. Proses komunikasi ditujukan untuk menciptakan komunikasi yang efektif.
2.2.3.2. Fungsi dan Tujuan Komunikasi
Universitas Sumatera Utara
Effendy (2002:8) menjelaskan bahwa komunikasi memiliki fungsi dan tujuan. Adapun fungsi komunikasi adalah: 1. Menyampaikan informasi (to inform). 2. Mendidik (to educate). 3. Menghibur (to entertain). 4. Mempengaruhi (to influence).
Adapun tujuan komunikasi adalah: 1. Perubahan sikap (attitude change). 2. Perubahan pendapat (opinion change). 3. Perubahan perilaku (behavior change). 4. Perubahan sosial (social change). Komunikasi jika diaplikasikan secara benar, maka akan mampu untuk memperbaiki hubungan sekaligus menciptakan suasana yang menyenangkan dan juga dapat membangun hubungan yang lebih harmonis di kalangan keluarga, pertemanan, atau bermasyarakat. Hal ini akan dapat membina kesatuan dan persatuan antara umat manusia di dunia sehingga dapat menghasilkan citra positif. Disinilah dapat dilihat begitu pentingnya komunikasi dalam kehidupan sehari-hari untuk membangun hubungan tersebut. Menurut Stewart L Tubbs dan Sylvia Moss (Fajar, 2009:8), komunikasi yang efektif akan menimbulkan lima hal, yaitu: a. Pengertian Pengertian yaitu penerimaan yang cermat dari stimuli seperti apa yang dimaksud oleh komunikator. Sehingga stimuli atau pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh komunikan. b. Kesenangan Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi. Misalnya ketika seseorang mengucapkan “selamat siang, apa kabar?” disini orang tersebut tidak mencari keterangan atau informasi, namun komunikasi itu
Universitas Sumatera Utara
dilakukan untuk menimbulkan kesenangan. Komunikasi seperti ini dapat disebut komunikasi fatis (phatic communication). Komuniasi seperti inilah yang aan membuat hubungan seseorang menjadi akrab dan hangat dengan orang lain. c. Mempengaruhi sikap Komunikasi bisa juga dilakukan untu mempengaruhi sikap orang lain. misalnya, guru yang ingin mengajak muridnya untuk mencintai ilmu pengetahuan. Komunikasi seperti ini juga dapat disebut sebagai komunikasi persuasive. d. Hubungan sosial yang baik. Komunikasi juga dapat ditujuan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. hal ini karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. e. Tindakan Komunikasi untuk menimbulkan pengertian yang sama antara komunikator dan komunikan memang sulit, namun lebh sulit lagi untuk mempengaruhi sikap. Jauh lebih sulit lagi mendorong orang bertindak, tetapi efektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikan. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi
2.2.3.3. Jenis-Jenis Komunikasi Banyak pakar komunikasi mengklasifikasikan komunikasi berdasarkan konteksnya. Sebagaimana juga definisi komunikasi, konteks komunikasi ini juga diuraikan secara berlainan. Indikator paling umum untuk mengklasifikasikan komunikasi berdasarkan konteks atau tingkatnya adalah jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi. Klasifikasi komunikasi berdasarkan tingkat jumlah peserta dapat dikategorikan menjadi enam (Mulyana,2005:80): a. Komunikasi Intrapribadi Komunikasi intrapribadi adalah komunikasi dengan diri sendiri. Contohnya
yaitu
berpikir.
Komunikasi
ini
merupakan
landasan
Universitas Sumatera Utara
komunikasi antarpribadi dan komunikasi dalam konteks lainnya. Sebelum kita berkomunikasi dengan orang lain, kita berkomunikasi dengan diri sendiri guna mempersepsikan dan memastikan makna pesan orang lain. keberhasilan komunikasi kita dengan orang lain bergantung pada keefektifan komunikasi kita dengan diri sendiri. b. Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal. Bentuk khusus dari komunikasi ini adalah komunikasi diadik yang biasanya terjadi hanya melibatkan dua orang yang berkomunikasi dalam jarak dekat, dimana pesan yang dikirim maupun diterima secara simultan dan spontan baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi ini sangat efektif untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain. sebagai komunikasi yang paling lengkap dan sempurna, komunikasi antarpribadi berperan besar hingga kapanpun selama manusia masih memiliki emosi. c. Komunikasi Kelompok Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lain, dan memanddang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Dengan demikian, komunikasi kelompok biasanya merujuk pada komunikasi yang dilakukan oleh kelompok kecil, jadi bersifat tatap muka. d. Komunikasi Publik Komunikasi publik adalah komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar oang (khalayak), yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi ini biasanya berlangsung lebih formal dan lebih sulit dibandingkan dengan komunikasi antarpribadi dan kelompok dikarenakan bentuk komunikasi publik ini menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian, dan kemampuan menghadapi sejumlah orang atau khalayak.
Universitas Sumatera Utara
e. Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi adalah komunikasi yang terjadi dalam organisasi, dapat bersifat formal maupun informal, dan berlangsung dalam ruang lingkup lebh besar daripada komunikasi kelompok. Komunikasi formal adalah
komunikasi
yang
berdasarkan
struktur
organisasi,
yakni
komunikasi kebawah, komunikasi keatas, dan komunikasi setara atau horizontal.
Komunikasi
informal
adalah
komunikasi
yang
tidak
berdasarkan struktur organisasi, seperti komunikasi antar rekan. f. Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah proses komunikasi yang dilakukan melalui media massa, baik media cetak maupun elektroni, dengan tujuan masyarakat luas yang anonim, heterogen yang tersebar di berbagai tempat.
2.2.3.4. Gangguan dan Rintangan Komunikasi Pada proses komunikasi, adanya gangguan komunikasi bisa terjadi pada semua elemen atau unsur-unsur yang mendukungnya, termasuk faktor lingkungan dimana komunikasi itu terjadi. Demikian halnya pada proses komunikasi antara ibu bekerja dengan suami dan anak dimana gangguan atau rintangan komunikasi berkecenderungan terjadi didalamya. Menurut Shannon dan Weaver (Cangara, 2006:131-136), gangguan komunikasi terjadi jika terdapat intervensi yang mengganggu salah satu elemen komunikasi, sehingga proses komunikasi tidak dapat berlangsung secara efektif. Sedangkan rintangan komunikasi dimaksudkan adalah adanya hambatan yang membuat proses komunikasi tidak dapat berlangsung sebagaimana harapan komunikator dan penerima. Gangguan atau rintangan komunikasi pada dasarnya dibedakan atas tujuh macam, yaitu: a. Gangguan Teknis Gangguan teknis terjadi jika salah satu alat yang digunakan dalam berkomunikasi mengalami gangguan, sehingga informasi yan di transmisi melalui saluran mengalami kerusakan (channel noise). Misalnya, gangguan pada stasiun radio atau televisi, gangguan jaringan telepon, rusaknya pesawat radio sehingga terjadi suara bising dan semacamnya. b. Gangguan Semantik
Universitas Sumatera Utara
c.
d.
e.
f.
g.
Gangguan semantik adalah gangguan komunikasi yang disebabkan karena kesalahan pada bahasa yang digunakan. Gangguan semantik sering terjadi karena pertama, kata-kata yang digunakan terlalu banyak memakai jargon bahasa asing sehingga sulit dimengerti oleh khalayak tertentu. Kedua, bahasa yang digunakan pembicara berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh penerima. Ketiga, struktu bahasa yang digunakan tidak sebagaimana mestinya, sehingga membingungkan penerima. Keempat, latar belakang budaya yang menyebabkan salah persepsi terhadap simbol-simbol bahasa yang digunakan. Gangguan psikologis Gangguan psikologis merupakan gangguan komunikasi yang disebabkan karena adanya persoalan-persoalan dalam diri individu. Misalnya rasa curiga penerima kepada sumber, situasi berduka atau karena gangguan kejiwaan sehingga dalam penerimaan dan pemberian informasi tidak seimbang. Rintangan Jarak atau Organik Rintangan jarak ialah rintangan yang disebabkan karena kondisi geografis. Misalnya jarak yang jauh sehingga sulit dicapai, tidak adanya sarana kantor pos, kantor telepon, jalur transportasi dan semacamnya. Dalam komunikasi antarmanusia, rintangan fisik bisa juga diartikan karena adanya gangguan organik, yakni tidak berfungsinya salah satu panca indera pada penerima. Rintangan status Rintangan status adalah rintangan yang disebabkan oleh adanya jarak sosial diantara peserta komunikasi, misalnya perbedaan status antara senior dan junior atau atasan dan bawahan. Perbedaan seperti ini biasanya menuntut perilaku komunikasi yang selalu memperhitungkan kondisi dan etika yang sudah membudaya dalam masyarakat, yakni bawahan cenderung hormat pada atasannya atau rakyat pada raja yang memimpinnya. Rintangan Kerangka Berpikir Rintangan kerangka berpikir ialah rintangan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi antara komunikator dan khalayak terhadap pesan yang digunakan dalam berkomunikasi. ini disebabkan karena latar belakang pengalaman dan pendidikan yang berbeda. Rintangan Budaya Rintangan budaya adalah rintangan yang terjadi disebabkan karena addanya perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi.
2.2.4. Komunikasi Antarpribadi 2.2.4.1. Definisi Komunikasi Antarpribadi
Universitas Sumatera Utara
Menurut Vardiansyah (2004:30-31), komunikasi dapat terjadi dalam konteks satu komunikator dengan satu komunikan (komunikasi diadik: dua orang) atau satu komunikator dengan dua komunikan (komunikasi triadik: tiga orang). Komunikasi antarpribadi dapat terjai secara tatap muka maupun melalui media komunikasi antarpribadi, seperti telepon. Dalam komunikasi antarpribadi, komunikator dan komunikan saling mengenal satu dan lainnya, pesan yang dikirim dan diterima secara simultan dan spontan, tidak terstruktur serta umpan balik yang segera. Efek komunikasi antarpribadi yang paling kuat daripada bentuk komunikasi lainnya. Komunikasi antarpribadi dapat mengubah tingkah laku dari komunikannya dengan menggunakan pesan verbal maupun nonverbal. Menurut Joseph A. Devito, dalam bukunya The Interpersonal Communication Book, komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orangorang dengan beberapa efek dan umpan balik seketika (Fajar, 2009:78).
2.2.4.2. Tujuan Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi memiliki enam tujuan, yaitu: 1. Mengenal diri sendiri dan orang lain Komunikasi ini memberi kita kesempatan untuk meperbincangkan mengenai diri sendiri. Melalui komunikasi ini kita dapat belajar mengenai bagaimana dan sejauh mana kita harus membuka diri pada orang lain. Selain itu, kita juga dapat mengetahui nilai, sikap, dan perilaku orang lain. 2. Mengetahui dunia luar Melalui komunikasi antarpribadi kita dapat memahami lingkungan kita dengan baik yaitu mengenal objek dan kejadian-kejadian orang lain. banyak informasi yang kita miliki berasal dari interaksi antarpribadi. 3. Menciptakan dan memelihara hubungan menjadi bermakna Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial sehingga dalam kehidupan seharihari orang ingin menciptakan dan memelihara hubungan dekat dengan orang lain. manusia menggunakan banyak waktu untuk berkomunikasi antarpribadi
Universitas Sumatera Utara
yang bertujuan agar tercipta dan terpeliharanya hubungan sosial dengan orang lain. hubungan ini membantu mengurangi kesepian dan ketegangan serta membuat kita lebih merasa lebih positif tentang diri kita sendiri. 4. Mengubah sikap dan perilaku Manusia banyak menggunakan waktu untuk mempersuasi orang lain melalui komunikasi antarpribadi untuk mengubah sikap dan perilaku orang lain. 5. Bermain dan mencari hiburan Bermain gunanya untuk memperoleh kesenangan dan perlu dilakukan untuk memberi suasana lepas.
6. Membantu Psikolog,ahli terapi dan psikiater adalah contoh profesi yang mempunyai tugas menolong orang lain dengan menggunakan komunikasi antarpribadi
Berdasarkan tujuan komunikasi tersebut, dapat dilihat dua perspektif, yaitu: 1. Tujuan-tujuan ini dapat dilihat sebagai faktor motivasi atau sebagai alasan mengapa manusia melakukan komunikasi antarpribadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia melakukan komunikasi antarpribadi untuk mengubah sikap dan perilaku orang lain. 2. Tujuan-tujuan ini dapat dipandang sebagai hasil efek umum dari komunikasi antarpribadi. Sebagai hasil dari komunikasi antarpribadi, kita dapat mengenal diri sendiri dan orang lain, membuat hubungan lebih bermakna serta memperoleh pengetahuan tentang dunia luar (Fajar, 2009:78-80).
Komunikasi antarpribadi sebagai suatu bentuk perilaku dapat berubah dan sangat tidak efektif. Pada suatu saat komunikasi bisa lebih baik dan pada saat lain bisa menjadi sangat buruk. Ini dikarenakan tiap tindakan komunikasi adalah berbeda dan mempunyai keunikan sendiri sehingga prinsip-prinsip yang dibicarakan harus ditetapkan secara fleksibel.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Devito (Fajar, 2009:84-86), karakteristik-karakteristik efektivitas komunikasi antarpribadi dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu: 1. Humanitis, meliput i sifat-sifat: a. Keterbukaan Sifat keterbukaan menunjuk pada dua aspek mengenai komunikasi antarpribadi. Aspek pertama adalah bahwa kita harus terbuka pada orangorang yang berinteraksi dengan kita. Aspek kedua adalah kemauan kita untuk memberi tanggapan terhaap orang lain dengan jujur dan terus terang tentang segala sesuatu yang dikatakan.
b. Perilaku Suportif Jack R, Gibb menyebutkan tiga perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu: i.
Deskriptif, suasana deskriptif akan menimbulkan sikap suportif dibanding dengan suasana yang evaluatif.
ii.
Spontanitas, orang yang spontan dalam berkomunikasi adalah orang yang terbuka dan terus terang tentang apa yang dipikirkan.
iii.
Provosionalisme, orang yang memiliki sifat terbuka, mau mendengar pandangan berbeda dan bersedia menerima pendapat orang lain, bila memang pendapatnya keliru.
c. Perilaku positif Komunikasi antarpribadi akan berkembang bila ada pandangan positif terhadap orang lain dan berbagai situasi komunikasi. d. Empatis Empati adalah kemauan seseorang untuk menempatkan dirinya pada peranan atau posisi orang lain. e. Kesamaan Hal ini mencangkup dua hal, pertama kesamaan bidang pengalaman diantara para pelaku komunikasi. Kedua adalah kesamaan dalam
Universitas Sumatera Utara
percakapan diantara pelaku komunikasi memberi pengertian bahwa dalam komunikasi antarpribadi harus ada kesamaan dalam hal mengirim dan menerima pesan. 2. Pragmatis, meliput i sifat-sifat: a. Bersifat yakin Komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila seseorang mempunyai keyakinan diri. Orang yang mempunyai sifat ini akan bersifat luwes dan tenang, baik secara verbal maupun nonverbal. b. Kebersamaan Seseorang bisa meningkatkan efektivitas komunikasi antarpribadi dengan orang lain bila ia mebawa ras kebersamaan. Orang yang memiliki sifat ini akan memperhatikan dan merasakan kepentingan orang lain. c. Manajemen interaksi Seseorang yang menginginkan komunikasi yang baik dan efektif akan mengontrol dan menjaga interaksi agar dapat memuaskan kedua belah pihak. Hal ini ditunjukkan dengan mengatur isi, kelaancaran dan arah pembicaraan yang konsisten. d. Perilaku ekspresif Perilaku ini memperlihatkan keterlibatan seseorang secara sungguhsungguh dalam berinteraksi dengan orang lain. e. Orientasi pada orang lain Untuk mencapai efektivitas komunikasi, seseorang harus memiliki sifat yang berorientasi pada orang lain.
2.2.5. Teori Self Disclosure Pembukaan diri (self disclosure) merupakan inti dari perkembangan suatu hubungan. Secara umum, pembukaan diri (sef disclosure) dapat didefinisikan sebagai pembukaan informasi mengenai diri sendiri, khususnya informasi pribadi kepada orang lain yang memiliki tujuan (Turner & West, 2009:199). Sebuah hubungan akan bergerak dari yang tidak intim menuju hubungan yang intim dengan adanya
Universitas Sumatera Utara
keterbukaan diri. Proses pembukaan diri memungkinkan individu untuk saling mengenal dalam sebuah hubungan, membentuk hubungan masa kini dan masa depan, serta memberikan sebuah kepuasan intrinsik. Proses pembukaan diri sangat diperlukan dalam hubungan pertemanan, percintaan, sekalipun dalam hubungan antara anggota keluarga. Morton (dalam Hidayat, 2012:106) mendefinisikan pembukaan diri sebagai kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi dalam pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu mengungkapkan fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh pendengarnya, sedangkan evaluatif lebih kepada ungkapan individu mengenai pendapat atau perasaan pribadinya seperti misalnya tipe orang yang disukainya atau hal-hal yang disukai, tidak disukai atau dibenci. Teori self disclosure memberi penekanan bahwa setiap orang bisa mengetahui dan tidak mengetahui tentang dirinya maupun orang lain. Joseph Luft (1969) mengelompokkan hal demikian kedalam empat macam bidang penenala yang ditunjukkan dalam suatu gambar yang disebutnya jendela Johari (Johari Windows).
Gambar 2.1 Jendela Johari
Diketahui sendiri Diketahui Orang Lain
Tidak Diketahui Orang Lain
Tidak diketahui sendiri
1. Open Area
2. Blind Area
3. Hidden Area
4. Unknown Area
Sumber: Alo Liliweri, Komunikasi Antar Pribadi, 1991: 53
Berdasarkan gambar jendela Johari, dapat diketahui bahwa tiap diri individu memiliki keempat unsur tersebut, termasuk yang belum diketahui ataupun disadari.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian berdasarkan jendela Johari, dalam pengembangan sebuah hubungan, antara seseorang dengan orang lainnya, terdapat empat kemungkinan sebagaimana terwakili melalui suasana keempat bidang tersebut. Jendela I, melukiskan suatu kondisi dimana seorang dengan orang lain mengembangkan sebuah hubungan yang terbuka, sehingga dua pihak saling mengetahui masalah tentang hubungan mereka. Dalam hal ini, kepribadian, kekurangan dan kelebihan yang kita miliki tidak hanya diketahui oleh kita pribadi namun juga diketahui oleh orang lain. Jendela 2, melukiskan suatu kondisi dimana suatu masalah hubungan kedua belah pihak hanya diketahui oleh orang lain. Pada Blind Area ini seseorang tidak mengetahui kekuarangan yang dimiliki oleh dirinya, namun sebaliknya, kekurangan justru diketahui oleh orang lain. Jendela 3, disebut dengan area tesembunyi dimana melukiskan suatu masalah hubungan antara kedua belah pihak diketahui diri sendiri namun tidak diketahui oleh orang lain. Secara singkatnya, kita tertutup dengan orang lain mengenai suatu hal. Jendela 4, disebut dengan area yang tidak dikenal dimana melukiskan kondisi dimana kedua belah pihak sama-sama tidak mengetahui masalah dalam hubungan mereka. Dalam jendela ini, kita sendiri tidak mengenal diri kita, terlebih orang lain tidak mengetahui siapa kita. Oleh karenanya dapat terjadi kesalahan persepsi maupun kesalahan perlakuan kepada orang lain karena tidak saling mengenal baik kelebihan maupun kekurangan serta statusnya. Dari keempat jendela diatas, keadaan yang paling dikehendaki sebenarnya adalah jendela 1, dimana antara komunikator dan komunikan saling mengetahui makna pesan yang sama (Liliweri, 1991:53). Oleh sebab itu, suatu hubungan akan semakin akrab bila komunikator dan komunikan saling terbuka, dan memperluas jendela 1. Dalam hal ini, komunikasi menjadi medium untuk pengembangan pribadi dan kontak sosial dalam sebuah hubungan. Melalui komunikasi, kita belajar, saling mengerti, saling memahami satu sama lain, termasuk dalam hal yang disukai ataupun dibenci.
Universitas Sumatera Utara
Tingkatan-tingkatan pengungkapan diri berbeda dalam proses hubungan interpesona atau hubungan antarpribadi. Powell (dalam Supratikna, 1995) seperti yang dikutip dalam Hidayat, (2012:108) menjelaskan bahwa tingkatan-tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi terdiri dari: 1. Basa-basi, merupakan tingkat pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal. Meskipun dalam basa-basi terdapat keterbukaan antara individu, namun tidak terjadi hubungan antarpribadi. Masing-masing individu berkomunikasi basa-basi sekedar kesopanan. 2. Membicarakan orang lain dalam komunikasi namun hanya yang tentang orang lain dan hal-hal yang diluar dirinya. Isi komunikasi dalam tingkat ini lebih mendalam, namun individu tidak mengungkapkan diri. 3. Menyatakan gagasan dan pendapat, sudah mulai dijalin hubungan yang erat. Dalam tahap ini individu sudah mulai mengungkapkan dirinya pada individu lain. 4. Perasaan, pada tingkatan ini individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama, tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu. 5. Hubungan puncak, pada tingkatan ini pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam dan antar individu yang menjalin hubungan antarpribadi menghayati perasaannya satu sama lain. Selain memiliki tingkatan, pengungkapan diri juga memiliki beberapa fungsi. Darlega dan Grzelak (dalam Sears, dkk, 1988) menyebutkan ada lima fungsi pengungkapan diri, yaitu : 1. Ekspresi (Expression) Pengungkapan diri memberikan kesempatan bagi tiap individu untuk mengekspresikan berbagai perasaan yang dialaminya seperti perasaan kesal, senang, sedih, dan sebagainya. 2. Penjernihan Diri (self-clarification) Pengungkapan diri dapat membuat individu berpikiran jernih dalam menyelesaikan persoalan. Pengungkapan diri membuat individu melihat
Universitas Sumatera Utara
jelas duduk persoalan yang dihadapi seseorang dengan lebih baik melalui saling berbagi rasa, menceritakan perasaan, dan masalah yang sedang di hadapi. 3. Keabsahan Sosial (social validation) Dengan membicarakan masalah yang sedang dihadapi, lawan bicara akan memberikan tanggapan mengenai masalah tersebut. Dengan demikian, individu akan mendapatkan suatu informasi yang bermanfaat tentang kebenaran
akan
pandangannya.
Secara
singkat,
seseorang
akan
mendapatkan dukungan atau sebaliknya dari lawan bicara. 4. Kendali sosial (social control) Individu dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi mengenai keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial, misalnya kita akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan baik tentang diri kita. 5. Perkembangan hubungan (relationship development) Pengungkapan diri dapat membuat suatu hubungan bergerak semakin akrab. Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling mempercayai satu sama lain dalam suatu hubungan, maka akan meningkatkan derajat keakraban hubungan tersebut (Hidayat, 2012:108).
Pada umumnya, pengungkapan diri terjadi pada dua orang, terutama pada dua orang yang sedang membangun sebuah hubungan. Namun, pengungkapan diri juga dapat terjadi dan dilakukan dalam hubungan antar anggota keluarga, dan tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh ibu yang bekerja diluar rumah sekalipun dengan anggota keluarga.
2.2.6. Keluarga Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Sebuah keluarga terbentuk dari adanya hubungan perkawinan. Di dalamnya hidup
Universitas Sumatera Utara
bersama pasangan suami-istri secara sah sehidup semati, ringan sama di jinjing, berat sama dipikul, selalu rukun dan damai dengan suatu tekad dan cita-cita untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu sama lainnya. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah (Djamarah, 2004:16). Definisi dan pengertian mengenai keluarga juga dapat ditinjau melalui tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional dan definisi transaksional. Dalam hal ini, Koerner dan Fitzpatrick (2004) menjelaskan definisi keluarga melalui ketiga sudut pandang tersebut yaitu: 1. Definisi struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan kepada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih (extended family). 2. Definisi fungsional. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencangkup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga. 3. Definisi transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang menegembangkan kelintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalama historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga menjalankan fungsinya (Lestari, 2012:5). Pada dasarnya, keluarga merupakan sebuah kelompok atau komunitas dalam “satu atap”. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama dalam satu tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan diri. Sebagai sebuah kelompok atau komunitas, keluarga memiliki karaketristik yang membedakannya dengan kelompok atau komunitas lainnya. Adapun karakteristik keluarga seperti yang dikemukakan Burgess dan Locke (dalam Khairuddin, 1997:6) yaitu : 1. Keluarga merupakan susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatanikatan perkawinan, darah, atau adopsi. 2. Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan usunan satu rumah tangga; atau juka mereka bertempat tinggal, rumah tanga tersebut menjadi rumah mereka. 3. Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi si suami dan istri, aah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan saudara perempuan. 4. Keluarga merupakan pemelihara suatu kebudayaan bersama. Setiap keluarga memiliki ciri-ciri yang berlainan dengan keluarga lainnya dan berbedanya kebudayaan dari setiap keluarga timbul melalui komunikasi anggota-anggota keluarga yang meupakan gabungan dai pola-pola tingkah laku individu. Lestari (2012:6-8) menjelaskan bahwa secara umum, berdasarkan keberadaan anggota keluarga, struktur keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga batih (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial, yaitu suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling. Keluarga inti terbentuk setelah sepasang laki-laki dan perempuan menikah dan memiliki anak. Dalam keluarga inti, hubungan antara suami istri bersifat saling membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan, sedangkan anak-anak tergantung pada orang tuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan sosialisasi. Sedangkan keluarga batih adalah keluarga yang didalamnya menyertakan posisi lain selain posisi ayah, ibu, dan anak. Keluarga batih dibangun berdasarkan hubungan antargenerasi dan biasanya terdapat dalam masyarakat yang memandang penting hubungan kekerabatan. Keluarga batih terdiri dari tiga bentuk, yaitu keluarga bercabang, keluarga berumpun dan keluarga beranting. Keluarga bercabang terjadi manakala seorang anak, dan hanya seorang, yang sudah menikah masih tinggal dalam rumah orang tuanya. Keluarga berumpun terjadi manakala lebih dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Keluarga beranting terjadi
Universitas Sumatera Utara
manakala didalam suatu keluarga terdapat generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama. Selain keluarga inti dan keluarga batih, variasi keluarga berdasarkan struktur juga mencangkup keluarga dengan orang tua tunggal, baik karena bercerai maupun meninggal, keluarga yang salah satu orang tuanya jarang berada dirumah karena bekerja di luar daerah, keluarga tiri, keluarga dengan anak angkat, keluarga kohibitas dimana orang tuanya tidak menikah, dan keluarga dengan orang tua pasangan sejenis. Pada dasarnya, terbentuknya sebuah keluarga memiliki beberapa fungsi pokok yang tidak bisa diganti oleh apa pun. Fungsi-fungsi pokok tersebut (dalam Khairuddin, 1997:48) yaitu : 1. Fungsi biologik, disebut juga fungsi reproduksi, dimana keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, dan fungsi biologik orang tua adalah melahirkan anak. 2. Fungsi afeksi, dimana keluarga menumbuhkan hubungan cinta kasih yang terlahir dari hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, dan persamaan pandangan mengenai nilai-nilai. 3. Fungsi sosialisasi, dimana fungsi ini menunjuk pada peranan keluarga dalam membentuk kepribadian seorang anak. 4. Fungsi ekonomi Sedangkan menurut Hidayat (dalam buku Komunikasi Antar Pribadi dan Medianya), keluarga secara hakikatnya memiliki delapan fungsi, yaitu : 1. Fungsi keagamaan, dimana diwujudkan dalam bentuk keimanan, ketaqwaan, dan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat; 2. Fungsi sosial budaya, dimana dicerminkan dalam sikap saling menghargai, patuh pada kaidah dan norma-norma yang berlaku pada suatu negara; 3. Fungsi cinta kasih, dimana tercermin dalam kehidupan yang harmonis, rukun dan bertanggung jawab; 4. Fungsi melindungi yang menumbuhkan rasa aman dan kehangatan yang tiada batas bandingannya, baik lahir maupun batin; 5. Fungsi reproduksi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan untuk menyumbang kesejahteraan umat manusia; 6. Fungsi sosialisasi/pendidikan, dimana bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan keluarga; 7. Fungsi ekonomi, dimana diwujudkan dalam bentuk mempunyai mata pencaharian dan hidup berkecukupan;
Universitas Sumatera Utara
8. Fungsi pembinaan lingkungan, dimana keluarga diwujudkan mampu menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang dalam keadaan yang berubah secara dinamis. Fungsi-fungsi keluarga pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan sebuah harmonisasi keluarga. Keharmonisasian keluarga bersumber dari kerukunan hidup di dalam keluarga. Dalam menjaga kerukunan antar anggota keluarga, maka komunikasi dalam keluarga dibutuhkan sebagai alat interaksi dalam penyampaian segala pesan, maksud dan tujuan tiap-tiap anggota keluarga.
2.2.6.1.Komunikasi Keluarga Kegiatan keluarga sehari-hari selalu berkaitan erat dengan pola komunikasi keluarga. Komunikasi keluarga merupakan proses mengembangkan intersubjektivitas (intersubjectivity) dan pengaruh melalui penggunaan kode antara kelompok akrab yang memunculkan perasaan rumah (sense of home) dan identitas kelompok, lengkap dengan ikatan kuat kesetiaan dan emosi (Hidayat, 2012: 174). Secara singkatnya, komunikasi keluarga merupakan komunikasi yang dilakukan oleh anggota keluarga pada anggota keluarga lainnya dalam sebuah keluarga dengan tujuan mencapai pengertian dan perubahan pada tiap anggota keluarga dengan cara yang khas yang dimiliki keluarga tersebut. Komunikasi keluarga jika dilihat dari segi fungsinya tidak jauh berbeda dengan fungsi komunikasi pada umumnya. Djamarah (2004:37) menjelaskan ada dua fungsi komunikasi dalam keluarga, yaitu fungsi komunikasi sosial dan fungsi komunikasi kultural. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, dan untuk menghindarkan diri dari ketegangan dan tekanan. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi kultural diasumsikan dari pendapat para sosiolog yaitu komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik. Peranan komunikasi dalam fungsi ini adalah turut menentukan, memelihara,
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan atau mewariskan budaya. Dengan demikian, melalui komunikasi keluarga sebuah budaya keluarga dapat diwariskan. Komunikasi keluarga menurut Fitzpatrick, dilihat dari orientasi percakapan anggota keluarga, dibedakan menjadi komunikasi yang berorientasi sosial dan komunikasi yang berorientasi konsep. Komunikasi yang berorientasi sosial adalah komunikasi yang relatif menekankan hubungan keharmonisan dan hubungan sosial yang menyenangkan dalam keluarga. Komunikasi yang berorientasi konsep adalah komunikasi yang mendorong anak-anak untuk mengembangkan pandangan dan mempertimbangkan masalah. (Fitzpatrick dalam Morissan dan Wardhany, 2009:184187). Selanjutnya, kedua orientasi percakapan ini menghasilkan empat jenis keluarga yang berbeda sebagaimana dijelaskan Fitzpatrick dan koleganya (LittleJohn, 2009 : 289): 1. Tipe keluarga konsensual, tipe keluarga ini memiliki tingkat percakapan dan kesesuaian yang tinggi. Keluarga konsensual sering berbicara tetapi pemimpin keluarga biasanya salah satu orang tua membuat keputusan. Keluarga ini mengalami tekanan dalam menghargai komunikasi yang terbuka, sementara mereka juga menginginkan kekuasaan orang tua yang jelas. Para orang tua biasanya menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak mereka, tetapi mengambil keputusan dan selanjutnya menjelaskannya kepada anak-anak sebagai usaha untuk membantu mereka memahami pemikiran di balik keputusan tersebut. Orang tua dalam keluarga konsensual cenderung memiliki orientasi pernikahan yang tradisional. Ini berarti mereka akan lebih konvensional dalam memandang pernikahan serta lebih menempatkan nilai pada stabilitas dan kepastian dalam hubungan peran dari pada keragaman dan spontanitas. Mereka memiliki ketergantungan yang kuat dan memiliki banyak teman. Walaupun mereka tidak bersifat tegas dalam pertentangan, mereka tidak menghindari konflik. 2. Tipe keluarga pluralitas, tipe keluarga ini tinggi dalam percakapan tetapi rendah dalam kesesuaian, disini akan memiliki kebebasan berbicara tetapi pada akhirnya setiap orang akan membuat keputusan sendiri berdasarkan pada pembicaraan tersebut. Orientasi pernikahannya mandiri. Pernikahan mandiri juga ekspresif mereka saling merespon terhadap isyarat masing-masing dan biasanya saling memahami dengan baik dan menghargai komunikasi yang terbuka. 3. Tipe keluarga protektif, tipe keluarga ini cenderung rendah dalam percakapan tetapi tinggi dalam kesesuaian akan ada banyak kepatuhan tetapi sedikit komunikasi, mereka juga tidak memberikan penjelasan kepada anak-anak tentang apa yang mereka putuskan, orang tua tipe ini cenderung digolongkan sebagai
Universitas Sumatera Utara
orang tua tak terpisah. Mereka nampaknya saling bertentangan dalam peran dan hubungan mereka. Orientasi pernikahannya konvensional. 4. Tipe keluarga laisssez-faire atau toleran, tipe keluarga ini rendah dan percakapan dan kesesuaian, tidak suka ikut campur dan keterlibatan yang rendah. Anggota keluarga sangat tidak peduli dengan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang lain dan mereka benar-benar tidak mau membuang waktu untuk membicarakannya. Mereka mungkin kombinasi dari orang tua yang mandiri dan terpisah atau kombinasi yang lain. Komunikasi dalam keluarga dapat berlangsung secara timbal balik, silih berganti, dan secara vertikal maupun horizontal. Baik itu komunikasi antara suami dan istri, komunikasi antara ayah, ibu dan anak, komunikasi antara ayah dan anak, komunikasi antara ibu dan anak, dan komunikasi antara anak dan anak dalam rangka mengakrabkan hubungan keluarga. Secara umum, komunikasi keluarga bertujuan untuk menjaga keharmonisan sebuah keluarga. Selain itu, komunikasi keluarga juga bertujuan untuk mewarisi norma-norma yang berlaku di masyarakat seperti norma agama, norma akhlak, norma sosial, norma etika, norma estetika, dan norma moral dari orang tua pada anak. Oleh sebab itu, komunikasi keluarga dilakukan secara terus menerus dan membentuk sebuah pola. Menurut Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (1986), terdapat empat pola komunikasi keluarga pada umumnya, yaitu : 1. Pola Komunikasi Pesamaan (Equality Pattern) Pola ini menyatakan bahwa peran yang dimainkan tiap anggota keluarga adalah sama dan kesempatan komunikasi tiap individu terbagi secara merata dan seimbang. Tiap orang dianggap sederajat dan setara kemampuannya, bebas mengungkapkan opini dan ide-ide. Komunikasi yang terjadi berjalan dengan langsung, terbuka, dan bebas. Tiap anggota keluarga juga memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan, misalnya menentukan makanan yang akan di masak atau menentukan tempat liburan bersama. 2. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern) Pola ini menyatakan bahwa tiap orang memegang kekuasaan atau kontrol dalam bidangnya masing-masing, namun didalam keluarga terdapat persamaan hubungan yang tetap terjaga. Misalnya dalam keluarga seorang istri dipercayakan untuk mengurus rumah tangga dan anak dan ayah dipercaya untuk bekerja mencari nafkah. 3. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern)
Universitas Sumatera Utara
Pola ini menyatakan bahwa dalam sebuah keluarga ada satu orang yang mendominasi dan dianggap sebagai ahli lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Kontrol dipegang oleh salah satu orang yang mendominasi. Pihak yang mendominasi mengeluarkan pernyataan tegas, memberitahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol dan jarang meminta pendapat yang lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi dirinya atau sekedar meyakinkan pihak lain atas argumennya. Sebaliknya, pihak yang lain juga meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam mengambil keputusan. 4. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern) Satu orang dipandang sebagai kekuasaan. Orang ini lebih bersifat memerintah daripada berkomunikasi, memberi wejangan daripada mendengarkan umpan balik. Pemegang kekuasaan tidak pernah meminta pendapat dan ia berhak atas keputusan akhir. Perdebatan jarang terjadi karena semua sudah mengetahui siapa yang akan menang. Untuk memahami pola komunikasi dalam sebuah keluarga, maka seseorang harus memahami hubungan komunikasi dan interaksi diantara anggota keluarga. Interaksi-interaksi dalam keluarga tidak terlepas dari kegiatan dan kebiasaan yang dilakukan anggota keluarga sehari-hari. Interaksi yang berlangsung didalam keluarga tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi karena ada tujuan atau kebutuhan bersama antara ibu, ayah, dan anak. Adapun tujuan tertentu yang ingin dicapai atas kebutuhan yang berbeda membuat mereka saling berhubungan dan berinteraksi melalui komunikasi secara terus-menerus dan membentuk sebuah pola.
2.2.6.2. Pola-Pola Hubungan Interaksi Hubungan bukanlah entitas statis yang tidak pernah berubah, kita terus mengubah apa yang kita lakukan dan apa yang kita katakan berdasarkan reaksi orang lain dan seiring waktu hubungan tersebut berjalan. Para akademis komunikasi yang melakukan penelitian tentang teori ini dikenal dengan sebutan Palo Alto Group. Teori ini menjelaskan tentang hubungan-hubungan yang timbul setelah kita melakukan interaksi, jika kita menerima suatu pesan maka pada saat bersamaan kita juga akan memperoleh pesan hubungan yang berkaitan dari pesan tersebut. Sebagai contoh jika dosen mengatakan bahwa dalam waktu dekat ini kita akan mengadakan ujian, maka
Universitas Sumatera Utara
pesan hubungan yang dibangun dapat ia ucapkan seperti : “ saya ingin peningkatan nilai kalian dari ujian sebelumnya maka bacalah materi-materi yang sudah saya beri”. Ada dua tipe pola yang penting bagi Palo Alto Group untuk menggambarkan gagasan ini. Jika dua orang saling merespon dengan cara yang sama, mereka dikatakan terlibat dalam sebuah hubungan simetris (symmetrical relationship), pertentangan kekuasaan tepatnya seperti ini : Salah satu lawan bicara menonjolkan kendali; yang lain menanggapinya dengan memaksakan kendali juga. Orang pertama merespon lagi dengan cara yang sama, sehingga terjadilah pertentangan. Namun, hubungan simetris tidak selalu berupa pertentangan kekuasaan. Kedua pelaku dapat saja memberi tanggapan pasif, tanggapan balasan, atau malah keduanya bersikap saling menjaga. Tipe hubungan yang kedua adalah pelengkapan (complementary). Dalam hubungan ini, pelaku komunikasi merespon dengan cara yang berlawanan. Ketika seseorang bersifat mendominasi, yang lain mematuhinya; ketika seseorang bersifat argumentatif yang lainnya diam; ketika seseorang menjaga, yang lainnya menerima (LittleJohn, 2009 : 286). L. Edna dan Rogers menunjukkan bagaimana sebuah kendali hubungan merupakan sebuah proses sibernatika. Kendali dari sebuah hubungan tidak hanya bergantung pada tindakan satu orang melainkan melihat pola-pola perilaku lawan bicara. Kendali hubungan terdiri dari tiga jenis respon, yaitu : 1. One Down : Merespon dengan cara menerima 2. One Up
: Merespon dengan cara menyanggah atau menolak dan membuat
pernyataan balasan. 3. One Across : Merespon dengan menerima atau menolak kendali orang pertama dan memberi tanggapan tanpa mengakui kendali lainnya.
2.2.6.2. Aneka Komunikasi dalam Keluarga Selain beberapa pola hubungan dan pola komunikasi dalam keluarga, adapun aneka komunikasi yang terjadi di dalam sebuah keluarga, yaitu (Djamarah, 2004:4348) :
Universitas Sumatera Utara
1.
Komunikasi Verbal Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis atau lisan. Komunikasi verbal menempati porsi besar. Karena kenyataannya, ide-ide, pemikiran, atau keputusan, lebih mudah disampaikan secara verbal ketibang non verbal. Dengan harapan, komunikan (baik pendengar maupun pembaca) bisa lebih mudah memahami pesan-pesan yang disampaikan. Kegiatan komunikasi verbal menempati frekuensi terbanyak dalam keluarga setiap hari baik orang tua selalu ingin berbincang-bincang kepada anaknya, begitu pun sebaliknya, canda dan tawa menyertai dialog diantara mereka.
2.
Komunikasi Non Verbal Komunikasi yang berlangsung dalam keluarga tidak hanya dalam bentuk verbal, tetapi juga dalam bentuk non verbal. Walaupun begitu, komunikasi non verbal suatu ketika bisa berfungsi sebagai penguat komunikasi verbal. Fungi komunikasi verbal sangat terasa jika, komunikasi yang dilakukan secara verbal tidak mampu mengungkapkan sesuatu secara jelas.
3.
Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang sering terjadi dalam keluarga. komunikasi yang terjadi berlangsung dalam sebuah interaksi antarpribadi, misalnya antara suami dan istri, antara ayah dan anak, ibu dengan anak, ataupun anak dengan anak.
4.
Komunikasi Kelompok Hubungan akrab antara orang tua dan anak sangat penting untuk dibina dalam keluarga. Keakraban hubungan itu dapat dilihat dari frekuensi pertemuan antara orang tua dan anak dalam suatu waktu dan kesempatan. Sudah saatnya orang tua meluangkan waktu dan kesempatan untuk duduk bersama dengan anak-anak, berbicara dan berdialog dalam suasana yang santai.
Universitas Sumatera Utara
2.2.7. Ibu Ibu merupakan partner seorang ayah atau suami di dalam sebuah keluarga. Secara umum, di dalam sebuah struktur keluarga, setiap anggota keluarga memiliki dan memainkan peran masing-masing dan tanggung jawab, tidak terkecuali seorang ibu. Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung keluarga. Apabila jantung berhenti berdenyut, maka orang itu tidak bisa melangsungkan hidupnya. Ibarat sebuah jantung, kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Pentingnya ibu terutama terlihat sejak kelahiran seorang anak (Gunarsa dan Gunarsa, 2000:31). Di dalam keluarga peranan ibu sangat banyak. Ibu dalam keluarga berperan sebagai pendidik dan pembimbing anak-anak, pemelihara rumah tangga, pengatur, pencipta suasana persahabatan, dan kekeluargaan dengan keluarga-keluarga lain dalam lingkungan dimana ia hidup. Dalam hal ini, ibu memainkan perananannya ke luar maupun di dalam keluarga. Ke luar, ia berusaha agar hubungannya dengan keluarga lain dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Sedangkan ke dalam, ia berusaha agar keluarganya menjadi sebuah kesatuan yang kompak dan terhormat (Notopuro, 1984:46). Selain sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, mengurus rumah tangga dan mengasuh serta mendidik anak, seorang ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarganya. Realitas peran ibu saat ini adalah bahwa di banyak keluarga, tanggung jawab utama atas anak maupun pekerjaan rumah tangga dan bentuk lainnya dari pekerjaan keluarga masih dibebankan di pundak ibu (Barnard & Martell (1995) dalam Santrock, 2007:193).
2.2.7.1.Ibu Bekerja Ibu bekerja merupakan ibu yang bekerja di luar rumah dalam rangka memenuhi kebutuhan dan nafkah keluarga. Ibu bekerja pada dasarnya juga dilatarbelakangi oleh adanya tuntutan sosial serta pemenuhan kebutuhan psikologis,
Universitas Sumatera Utara
dimana merasakan kepuasaan tersendiri apabila dapat mengaplikasikan ilmu yang dimiliki. Alasan ibu bekerja menurut Hidayat (2012:193) yaitu tidak hanya membantu suami dalam mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi sebagai sebuah kepuasan diri, seperti aktualisasi diri, memperoleh penghargaan dan status sosial. Adapun beberapa alasan yang mendukung tujuan keikutsertaan ibu bekerja menurut Gunarsa (2002) adalah: 1. karena tuntutan ekonomi, untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Hal ini terjadi karena ekonomi keluarga yang menuntut ibu bekerja, misalnya penghasilan suami kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, sehingga ibu harus bekerja. 2. karena ingin mempunyai atau membina pekerjaan. Hal ini terjadi sebagai wujud aktualisasi diri ibu, misalnya ibu seorang sarjana akan lebih memilih bekerja untuk membina pekerjaan 3. proses untuk mengembangkan sosial yang lebih luas dengan orang lain dan menambah pengalaman hidup dalam lingkungan pekerjaan 4. karena kesadaran bahwa pembangunan membutuhkan tenga kerja baik tenaga kerja wanita. Hal ini erjadi karena ibu memiliki kesadaran nasional bahwa negaranya memerlukan tenaga kerja demi melancarkan pembangunan 5. pihak orang tua yang menginginkan ibu untuk bekerja 6. untuk memiliki kebebasan finansial, dengan alasan tidak bergantung sepenuhnya dengan suami untuk memenuhi kebutuhan sendiri, misalnya membantu keluarga dengan tanpa harus meminta suami 7. bekerja merupakan bentuk penghargaan bagi ibu 8. bekerja dapat menambah wawasan, dimana pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pada pola asuh anak-anak.
Alasan-alasan diatas menjadi dasar terjadinya pergeseran nilai peran ibu. Ibu yang bekerja harus menjalankan multi peran dalam menjalankan perannya sebagai sosok seorang ibu dan juga pekerja. Multi peran ini berpengaruh positif maupun
Universitas Sumatera Utara
negatif terhadap kondisi keluarga. Idealnya, ibu bekerja harus dapat menjalankan multi perannya secara seimbang.
2.2.8. Hubungan Harmonisasi Keluarga Sebuah hubungan akan menjadi harmonis jika adanya kepercayaan, hidup berdampingan,
dan
mempertahankan
hubungan.
Dalam upaya
membangun
keselarasan dan kebahagiaan suatu hubungan, penting bahwa setiap orang ataupun anggota keluarga untuk menciptakan dan mengikuti setiap peraturan-peraturan yang telah di tetapkan secara bersama. Adapun hal yang diperlukan agar hubungan tetap pada jalur utamanya (Patton, 1998:16) yaitu: 1.
Affection (kasih sayang), hal ini menunjukkan bagaimana perasaan dan memberikan diri secara tulus dan tanpa pamrih kepada seseorang.
2.
Appreciation (penghargaan), mengetahui betapa penting dan berharganya seseorang.
3.
Acknowledgement (pe ngakuan), mengakui hak seseorang dan meenghormati perasaannya.
4.
Absolute
(kemutlakan),
komitmen
nyata
terhadap
hubungan
dan
mempertahankan tujuan utamanya. 5.
Acceptance (penerimaan), memberi kesempatan kepada orang lain untuk berkembang dan memenuhi ambisinya serta menciptakan ruang untuk mencapai semua.
6.
Action (tindakan), berusaha agar hubungan menjadi harmonis dan selalu mencari cara-cara untuk meningkatkan hubungan tersebut. Dengan adanya ketentuan diatas dan didukung dengan komunikasi antarpribadi
maka hubungan yang terjalin akan tetap harmonis dengan rasa kekeluargaan dan dukungan yang baik. Membangun hubungan dalam berkomunikasi sangat diperlukan agar setiap hubungan menjadi menyenangkan dan membahagiakan. Maka, kejujuran dalam suatu hubungan juga diperlukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini, hubungan harmonisasi yang terjalin antara ibu bekerja dan suami serta anak akan diketahui dari beberapa hal diatas. Jika ibu bekerja dan suami beserta anak melakukan beberapa hal diatas, maka hubungan mereka dapat dikatakaan harmonis, dan sebaliknya jika mereka tidak melakukan hal tersebut maka hubungan diantara ibu bekerja, suami dan anaknya tidak dapat dikatakan memiliki hubungan yang harmonis.
2.3. Model Teoritik Gambar 2.2 Bagan Teoritik Penelitian Proses Komunikasi Keluarga Ibu Bekerja
Hambatan Komunikasi
Ibu Bekerja
Suami dan Anak
Unsur-unsur Komunikasi Laswell Komunikasi Antarpribadi Komunikasi Keluarga Self Disclosure
Harmonisasi Hubungan
Skema Hubungan Keluarga Sumber: Peneliti, 2014
Universitas Sumatera Utara