BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori
2.1.1 Mata Pelajaran Matematika Wahyudi & Inawati (2011:5) menjelaskan “matematika merupakan suatu ilmu yang mempelajari jumlah-jumlah yang diketahui melalui proses perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan dengan angka-angka atau simbol-simbol”. Menurut Depdiknas (2004:75), “matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya yang sudah diterima, sehingga keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas”. Sedangkan menurut Susanto (2013:183), “matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol, maka konsep-konsep matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu”. Menurut Gatot dalam Pangestuti (2012:25) pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajarai. Sementara Susanto (2013:186) berpendapat bahwa: Pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika. Sejalan pendapat tersebut, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 dalam standar isi (BSNP, 2006:147) menyebutkan bahwa: Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan
8
9
berpikir logis, analitis, sistematis, kristis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Muhsetyo (2008) mengungkapkan: Pada hakikatnya pembelajaran matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan memungkinkan seseorang (si pelajar) melaksanakan kegiatan belajar matematika, dan proses tersebut berpusat pada guru mengajar matematika. Pembelajaran matematika harus memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika dalam batasan pengertian pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Pembelajaran matematika dimaksudkan sebagai proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan (kelas/sekolah) yang memungkinkan kegiatan siswa belajar matematika sekolah. Peraturan Manteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 dalam standar isi (BSNP, 2006:148) tentang standar isi menyatakan bahwa: Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. BSNP (2006) tentang standar isi, ruang lingkup mata pelajaran
10
matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek 1) Bilangan, 2) Geometri dan pengukuran, 3) Pengolahan data. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bahan kajian matematika, antara lain, berhitung, ilmu ukur, dan aljabar dimaksudkan untuk mengembangkan logika dan kemampuan berpikir peserta didik.
Sedangkan
menurut
Ruseffendi
(1991)
dalam
Heruman
(2007:1)
mengemukakan bahwa “matematika adalah bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang teroganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil”. Berdasarkan pendapat para ahli tentang mata pelajaran matematika maka dapat diambil kesimpulan bahwa mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang dapat mengembangkan daya pikir dan logika peserta didik yang dinyatakan dengan simbol-simbol untuk memecahkan masalah dengan kajian yang meliputi bilangan, berhitung, mengukur, geometri, aljabar teori peluang dan matematika diskrit.
2.1.2 Pendekatan Contextual Teaching and Learning 2.1.2.1 Pengertian Pendekatan CTL Pendekatan kontekstual telah lama dikembangkan oleh John Dewey pada tahun 1916 yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya (Kesuma, 2010). CTL pertama kali dikembangkan oleh Amerika Serikat dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997 sampai 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektivitas penyelenggara pengajaran matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 20 sekolah dengan
11
mengikutsertakan 85 orang guru dan professor serta 75 orang guru yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya. Pendekatan kontekstual atau CTL merupakan pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dangan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Kesuma, 2010:58). Menurut Kesuma (2010:5) CTL adalah mengajar dan belajar yang menghubungkan isi pelajaran dengan lingkungan, sehingga dapat menjadikan kegiatan belajar mengajar menjadi mengasyikkan dan bermakna. Landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, tetapi mengkonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya (Muslich, 2008). Johnson (2010 : 67) Contextual Teaching and Learning (CTL) menyatakan: CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik . Sanjaya (2008:109) menjelaskan bahwa: Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
12
Pendekatan CTL menurut Khaerudin (2007) merupakan “konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat”. Sedangkan Nurhadi dkk (2014:12) menjelaskan bahwa “pendekatan kontekstual adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hal ini senada dengan penjelasan dari Baharudin dan Nur (2007:137) bahwa “pendekatan CTL adalah konsep pembelajaran yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka seharihari. Isriani dan Puspitasari (2012:62-63) juga menjelaskan bahwa “CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan. Suprijono (2013:79) juga menjelaskan: Proses pembelajaran kontekstual berdasarkan pada pemrosesan informasi, individualisasi, dan interaksi sosial. Pemrosesan informasi menyatakan bahwa peserta didik mengolah informasi, memonitornya, dan menyusun strategi berkaitan dengan informasi tersebut. Inti pemrosesan informasi adalah proses memori dan proses berpikir. Individualisasi beraksentuasi pada proses individu membentuk dan menata realitas keunikannya. Mengajar dalam hal tersebut adalah upaya dalam membantu individu untuk mengembangkan sesuatu yang produktif dengan lingkungannya dan memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap, sehingga mampu memperkaya hubungan antarpribadi dan lebih cakap dalam pemrosesan informasi. Interaksi sosial memusatkan pada proses di mana kenyataan ditawarkan secara sosial. Pendekatan kontekstual menurut Sudiono dkk (2003) menjelaskan bahwa: Pendekatan kontekstual berhubungan erat dengan pengetahuan sehari-hari dan selalu dihadapkan pada masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisa masalah dan kreatif untuk
13
melahirkan alternatif semacam masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Pembelajaran kontekstual menurut Suprijono (2013:79) merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa pendekatan CTL adalah proses pembelajaran yang membantu siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka sehingga siswa mampu berpikir kritis dan kreatif. Tujuannya agar siswa mampu menerapkan apa yang didapat di dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL di kehidupan sehari-hari.
2.1.2.2 Asas-asas Contextual Teaching and Learning Sanjaya (2006:262-267) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh asas utama yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran, yaitu: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). a) Konstruktivisme (Constructivism) Setiap individu dapat membuat struktur kognitif atau mental berdasarkan pengalaman mereka maka setiap individu dapat membentuk konsep atau ide baru, hal ini dikatakan sebagai konstruktivisme. Fungsi guru disini membantu membentuk konsep tersebut melalui metode penemuan (selfdiscovery), siswa berpartisipasi secara aktif dalam membentuk ide baru. Menurut Piaget dalam Sanjaya (2006:262) menyatakan bahwa pendekatan konstruktivisme mengandung beberapa hakikat pengetahuan. Hakikat pengetahuan yang diperoleh merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek; Subjek membentuk skema kognitif, kategori, dan struktur yang diperlukan untuk pengetahuan dalam proses pembelajaran; Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur
14
konsepsi tersebut terjadi bila konsepsi itu berhubungan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. b) Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Menemukan atau inkuiri dapat diartikan juga sebagai proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan, dan membuat kesimpulan. Proses berpikir yang sistematis diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk pembentukan kreativitas siswa. c) Bertanya (Questioning) Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran kontekstual. Kegiatan bertanya dipandang sebagai refleksi keingintahuan setiap individu dalam belajar. Proses pembelajaran CTL lebih menekankan pada peran guru yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi memancing pemikiran siswa agar dapat menemukan sendiri materi yang dipelajari. Pembelajaran yang produktif dengan menggunakan kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: Menggali informasi, baik administratif maupun akademis; Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa; Membangkitkan respon kepada siswa; Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa; Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; Menyegarkan kembali pengetahuan siswa. d) Masyarakat belajar (Learning Community) Vygotsky (dalam Sanjaya 2006: 265) menyatakan bahwa “pengetahuan dan pemahaman anak lebih banyak dipengaruhi oleh komunikasi dengan orang lain”. Konsep masyarakat belajar (Learning Community) menyarankan agar hasil pembelajaran yang diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil dalam proses pembelajaran yang diperoleh dari sharring antarsiswa, antarkelompok, dan antarmasyarakat belajar yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman. e) Pemodelan (Modeling) Pemodelan dalam pembelajaran kontekstual merupakan sebuah keterampilan atau pengetahuan tertentu yang menggunakan suatu model
15
yang bisa ditiru. Model itu dapat berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu, dalam artian bahwa guru memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Pembelajaran kontekstual menekankan kepada guru untuk dapat merancang model dengan melibatkan siswa agar siswa dapat terlibat aktif dalam pembelajaran. f)
Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa merefleksikan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahun yang baru diterima. Pada kegiatan pembelajaran, refleksi dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa: Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh pada pembelajaran yang baru saja dilakukan; Catatan atau jurnal di buku siswa; Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.
g) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) Penilaian autentik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar yang benar. Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Karakteristik authentic assessment diantaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis.
16
2.1.2.3 Prinsip-prinsip Pendekatan CTL Pendekatan kontekstual menurut Suprijono (2013:80-81) terdapat beberapa prinsip yang digunakan sebagai pegangan, anatara lain: 1. Prinsip Saling Ketergantungan Prinsip saling ketergantungan merumuskan bahwa kehidupan ini merupakan suatu sistem. Lingkungan belajar merupakan sistem mengintegrasikan berbagai komponen pembelajaran dan komponen tersebut saling memmengaruhi secara fungsional. Berdasarkan prinsip itu dalam belajar memungkinkan peserta didik membuat hubungan bermakna. Peserta didik mengidentifikasi hubungan yang menghasilkan pemahamanpemahaman baru. Peserta didik dapat menargaetkan pencapaian standar akademik yang tinggi. Berdasarkan prinsip itu pula peserta didik harus bekerja sama menemukanpersoalan, merancang rencana, dana mencari pemecahan masalah. Bekerja sama akan membantu pesrta diaik mencapai keberhasilan, mengingat setiap peserta didik mempunyai kemampuan berbeda dan unik. Jika hal tersebut dikolaborasikan dan kooperatif, maka akan tersusun menjadi sesuatu yang lebih besar daripada sekedar penjumlahan dari bagian-bagian itu sendiri. 2. Prisnsip Diferensiasi Diferensiasi merujuk pada entitas-entitas yang beraneka ragam dari realitas kehidupan di sekitar peserta didik. Keanekaragaman mendorong berpikir kritis peserta didik untuk menemukan hubungan diantara entitas-entitas yang beraneka ragam itu. Peserta didik dapat memahami makna bahwa perbedaan itu rahmat. 3. Prinsip Pengaturan Diri Prinsip ini mendorong pentingnya peserta didik mengeluarkan seluruh potensi yang dimilikinya. Ketika peserta didik menghubungkan materi akademik dengan konteks keadaan pribadi mereka, peserta didik terlibat dalam kegiatan yang mengandung prinsip pengaturan diri. Peserta didik menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku mereka sindiri, memilih alternative, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi dan secara kritias menilai bukti. 2.1.2.4 Komponen-komponen dalam Pendekatan CTL Proses pembelajaran dalam CTL mempunyai delapan komponen, yaitu: membuat hubungan-hubungan yang bermakna; melakukan pekerjaan yang berarti; melaksanakan proses pembelajaran yang diatur sendiri; bekerja sama; berpikir kritis
17
dan kreatif; membantu individu untuk tumbuh dan berkembang; mencapai standar tinggi; menggunakan penilaian autentik (Johnson 2007: 65). Menurut Dharma Kesuma, dkk (2010), komponen-komponen pendekatan CTL mencakup 7 komponen yaitu: 1) Konstruktivisme. Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman; 2) Inkuiri. Inkuiri berarti proses pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis; 3) Bertanya. Belajar pada hakekatnya adalah bertanya; 4) masyarakat belajar. Konsep dalam masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain; 6) Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang didapat ditiru oleh setiap siswa; 7) Refleksi, merupakan cara berpikir tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu; 8) Penilaian nyata adalah proses pembelajaran konvensional yang sering dilakukan guru, biasanya ditekankan pada aspek intelektual sehingga alat evaluasi dapat digunakan terbatas pada pengguna tes.
2.1.2.5 Karakteristik dalam Pendekatan CTL Sanjaya (2008: 110) menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL, yaitu: Pembelajaran dengan pendekatan CTL merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh oleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain; Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan yang baru (acquiring knowledge). Pengetahuan yang baru itu diperoleh secara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memerhatikan detailnya; Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari
18
yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan; mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan dan perilaku siswa; melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
2.1.2.6 Proses Pembelajaran dalam Pendekatan CTL Adapun realisasi proses pembelajaran menggunakan pendekatan CTL menggunakan pertanyaan langsung tentang apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya; Penilaian autentik, prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian autentik adalah pada pembelajaran yang seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa (Sanjaya 2008: 116).
2.1.2.7 Langkah-langkah Pendekatan CTL Langkah-langkah dalam dalam proses pembelajaran CTL harus dapat dipahami guru terlebih dahulu ketika akan mengajar siswa dalam proses pembelajaran. Langkah-langkah itu merupakan pedoman bagi guru ketika mengajar siswa dikelas, agar proses pembelajaran yang diajarkan bermakna dan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa. Langkah-langkah penerapan pendekatan kontekstual berpedoman pada prisip dan pembelajarannya. Menurut Sutarji (2007:106), langkahlangkah pendekatan kontekstual meliputi: 1) siswa didorong agar menemukan pengetahuan awal tentang konsep yang dibahas. Bila perlu guru memancing dengan
19
memberikan pertanyaan yang problematik tentang kehidupan sehari-hari; 2) Eksplorasi yaitu siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, penginterpretasian data selama sebuah kegiatan yang telah dirancang oleh guru; 3) penjelasan dan solusi, siswa menyampaikan pendapat, membuat model dan membuat rangkuman serta hasil ringkasan pekerjaan dengan bimbingan guru; 4) pengambilan tindakan, siswa dapat membuat keputusan menggunakan pengetahuan dan keterampilan, berbagai informasi dan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan, mengajukan sarana baik secara individu maupun secara kelompok yang berhubungan dengan pemecahan masalah.
2.1.2.8 Kelebihan Pendekatan CTL Menurut Elaine B. Johnson (2007: 67) dalam bukunya “Contextual Teaching and Learning” kelebihan pendekatan CTL, yaitu: 1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, karena materi yang dipelajari dikaitkan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. 2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, konstruktivisme yang dimaksudkan agar seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
20
2.1.3
Kreativitas
2.1.3.1 Pengertian Kreativitas Menurut Munandar (2009:25), kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan gagasan, menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada. Siswa memiliki kebebasan berpikir untuk menyatakan gagasan dan pendapat seluas–luasnya tanpa aturan–aturan. Amabile dalam Munandar (2009 :40) mendefinisikan, kreativitas sebagai produksi suatu respons atau karya baru sesuai dengan tugas yang dihadapi. Menurut Ayan (2002) mengatakan bahwa hakekat kreativitas adalah kemauan, keinginan atau semangat untuk melakukan eksplorasi, mempertanyakan dan melakukan eksperiman terhadap berbagai objek, peristiwa dan situasi yang ada di lingkungan. 2.1.3.2 Proses Kreativitas Wallas dalam Munandar (2009:39) yang menyatakan bahwa proses kreatif meliputi empat tahap, yaitu : tahap persiapan, adalah tahap pengumpulan informasi atau data sebagai bahan untuk memecahkan masalah. Percobaan–percobaan atas dasar berbagai pemikiran kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi terjadi pada tahap ini; inkubasi (incubation), adalah tahap dieraminya proses pemecahan masalah dalam alam prasadar; iluminasi (illumination), yaitu tahap munculnya inspirasi atau gagasan–gagasan untuk memecahkan masalah; verifikasi (verification), adalah tahap munculnya aktivitas evaluasi terhadap gagasan secara kritis yang sudah mulai dicocokkan dengan kenyataan nyata atau kondisi realita. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan proses kreatif yaitu : tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Tahap inkubasi merupakan tahap yang sangat penting, karena berlangsung proses refleksi yang memerlukan ketenangan dan waktu yang cukup.
21
2.1.3.3 Karakteristik Kreativitas Menurut Fisher & Wiliams dalam Wijaya (2012:56) terdapat empat karakteristik kreativitas, antara lain: 1) Melibatkan kegiatan berpikir imaginatif 2) Memiliki tujuan yang jelas 3) Karya yang dihasilkan memiliki nilai (value) 4) Menghasilkan karya yang orisinal
2.1.3.4 Kemampuan dalam Mengembangkan Kreativitas Kemampuan mengelola pengetahuan bukan suatu kemampuan tunggal, melainkan tersusun dari sejumlah kemampuan yang lain. Cropley dalam Wijaya (2012:56) menyebutkan kemampuan yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kreativitas siswa melalui pembelajaran di kelas. Kemampuan tersebut mencakup: 1. Kemampuan untuk (berpikir) focus (Focusing Skills) Kemmapuan untuk (berpikir) focus berkaitan dengan kemampuan untuk mengidentifikasi konsep kunci (identifying key concepts), mengenal permasalahan (recognizing the problems), dan menetapkan tujuan (setting goals) merupakan komponen dari kemampuan (berpikir) fokus. Cropley menyebutkan kepekaan terhadap masalah (sensitivity
to problems)
merupakan ciri pertama dari kemampuan berpikir kreatif. Selanjutnya, seorang
pemikir
yang
krratif
akan
memapu
menyatakan
ulang
permasalahan yang ada dari susut pandang yang berbeda. Cropley menyebut tahap ini sebagai redefinition of problems. 2. Kemampuan mengumpulkan informasi (Informationo-Gathering Skills) dilakukan selanjutnya adalah mengumpulkan informasi yang terkait dengan konsep kunci tersebut. Kemampuan pengamatan, perumusan pertanyaan, serta klarifikasi melalui inkuiri merupakan keterampilan pokok yang dibutuhkan dalam pengumpulan informasi.
22
3. Kemampuan mengorganisasi (Organizing Skills) Kemampuan mengorganisasi berkaitan dengan penyusunan informasi sehingga mudah dipahami dan bisa disampaikan secara efektif. Kemampuan
pengorganisasian
terdiri
dari
keterampilan
dalam
memabandingkan (comparing), pengategorian (classifying/categorizing), pengurutan (ordering), serta penyajian informasi. 4. Kemampuan menganalisis (Analyzing Skills) Analisis merupakan inti dari kemampuan kritis yang melibatkan proses klarifikasi
dan
Kemampuan
pemeriksaan
mengidentifikasi
komponen pola
dan
dan
hubungan
hubungan
informasi.
(pattern
and
relationship) dan menemukan kesalahan (finding errors) merupakan elemen utama dari analisis. 5. Kemampuan generalisasi Kemampuan generalisasi mencakup kemampuan untuk menggunakan pengetahuan awal dan mengembangkannya dengan informasi tambahan. Kemampuan mengembangkan ide-ide baru, mengidentifikasi persamaan dan perbedaan, memperkirakan, dan mengelaborasi ide perlu diperhatikan dalam mengembangkan kemampuan generalisasi. 6. Keterampilan mengintegrasi Keterampilan ini mencakup kemampuan meringkas (summarizing), mengombinasikan informasi, memilih dan memilah informasi yang tidak dibutuhkan, mengorganisasi informasi secara grafis, dan mengonstruksi informasi. 7. Keterampilan mengevaluasi Menurut Marzano, Pickering, & Pollock dalam wijaya (2012:570, keterampialn evaluasi mencakup kemampuan untuk menetapkan kriteria dan pembuktian atau verifikasi data.
23
2.1.3.5 Ciri-ciri Kreativitas Guilford dalam Munandar (2009:10) dan Hawadi (2001:3) mengemukakan ada empat ciri yang menjadi sifat kreativitas, yaitu kelancaran (fluency) adalah kemampuan untuk memproduksi banyak gagasan; kelenturan atau keluwesan (fleksibility)
merupakan
kemampuan
untuk
mengajukan
bermacam–macam
pendekatan dan atau pemecahan masalah; orisinalitas dalam berpikir merupakan kemamapuan untuk melahirkan gagasan asli sebagai hasil pemikiran sendiri dan tidak klise; elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terinci.
2.1.3.6 Indikator Kreativitas Krutetski
(Munandar,
2004)
menyatakan
kreativitas
identik
dengan
keterbakatan matematik. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa kreativitas dalam pemecahan masalah matematik merupakan kemampuan dalam merumuskan masalah matematik secara bebas, bersifat penemuan, dan baru. Ide-ide ini sejalan dengan ideide seperti flesibilitas dan kelancaran dalam membuat asosiasi baru dan menghasilkan jawaban divergen yang berkaitan dengan kreativitas secara umum. Menurut Aisyah (Suharta, 2003), untuk menjadi individu kreatif, dibutuhkan kemampuan berpikir yang mengalir lancar, bebas, dan ide yang orisinal yang didapat dari alam pikirannya sendiri. Berpikir kreatif juga menuntut yang bersangkutan memiliki banyak gagasan. Agar anak bisa berpikir kreatif, ia haruslah bisa bersikap terbuka dan fleksibel dalam mengemukakan gagasan. Makin banyak ide yang dicetuskannya menandakan makin kreatif si anak. Tabel 2.1 Indikator Kreativitas Matematis Pengertian Berpikir Lancar 1. Mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau jawaban.
Perilaku a. Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan. b. Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah.
24
2. Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Berpikir Luwes 1. Menghasilkan jawaban, gagasan, atau pertanyaan yang bervariasi. 2. Dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda.
Berpikir Orisinil 1. Mampu melahirkan ungkapan baru dan unik. 2. Memikirkan cara-cara yang tak lazim untuk mengungkapkan diri
Berpikir Terperinci (Elaboration) 1. Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk. 2. Menambah atau merinci detail-detail suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.
a. Memberikan penafsiran bermacam-mcam terhadap gambar, cerita, atau masalah. b. Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-beda. c. Jika diberi suatu masalah, menggolongkan hal-hal menurut pembagian (kategori) yang berbedabeda. a. Mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha memikirkan cara-cara baru. b. Setelah membaca atau mendengar gagasan-gagasan, bekerja untuk menyelesaikan yang baru. c. Lebih senang mensintesis daripada menganalisis sesuatu. a. Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan langkahlangkah yang terperinci. b. Mengembangkan atau memperkaya gagasan oranglain.
Guilford yang dikutip oleh Munandar (2009), menyatakan bahwa aspek-aspek kreativitas adalah sebagai berikut; (1) Fluency yaitu kesigapan, kelancaran untuk menghasilkan banyak gagasan saat menghadapi suatu masalah dan saat bekerja. Berpikir lancar artinya siswa mampu mengajukan atau menjawab pertanyaan dengan
25
gagasan-gagasan yang baru sehingga siswa
mampu belajar lebih cepat; (2)
Fleksibilitas yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan. Berpikir luwes artinya siswa mampu menghasilkan gagasan baik berupa pertanyaan atau jawaban yang bervariasi. Siswa tidak hanya menyelesaikan masalah dengan melihat satu sudut pandang saja, melainkan siswa mengaitkan atau menghubungkan masalah ke dalam bidang atau sudut pandang yang lain. Misalnya saja dalam belajar matematika tentang penjumlahan siswa bisa mengintegrasikan atau menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari, sebagai contoh penjumlahan dikaitkan ketika terjadi jual beli di warung atau di pasar. Siswa tidak hanya belajar dari satu sumber bahkan hanya terfokus oleh buku, melainkan siswa bisa mengintegrasikan dengan sudut pandang yang berbeda. Siswa lebih kritis karena banyak memiliki alternatif atau strategi yang banyak, dengan kritisnya siswa tersebut, biasanya dalam diskusi terkadang ia mempunyai posisi yang bertentangan dengan siswa lain,tetapi dengan pemikiran yang kritis itu pula siswa mampu mengubah arah berpikir secara spontan; (3) Orisinilitas, yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan yang asli. Dalam berpikir orisinil siswa lebih menghubungkan antara cara lama dengan berusaha memikirkan cara atau ide baru. Setelah siswa membaca atau mendengar gagasan, siswa berusaha untuk menemukan atau menyelesaikan masalah dengan ide yang baru sehingga siswa terlihat lebih senang mensintesis atau memadukan daripada menganalisis. Berpikir terperinci artinya siswa mampu mencari arti lebih mendalam terhadap pemecahan masalah dengan langkahlangkah terperinci. Siswa lebih memperkaya gagasan dari oarng lain. Siswa mengkaji atau menganalisis antara gagasan yang satu dengan yang lainnya sehingga siswa mampu memberikan gagasan yang mantap dan sempurna, karena siswa yang berpikir terperinci tidak puas dengan penampilan yang sederhana; (4) Elaborasi, yaitu kemampuan untuk melakukan hal-hal secara detail atau terperinci; (5) Redefinition, yaitu kemampuan untuk merumuskan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kreativitas matematis adalah kemampuan menemukan dan menyelesaikan
26
soal-soal atau masalah matematis yang indikator-indikatornya meliputi: (1) kelancaran adalah kemampuan mengemukakan ide, jawaban, pertanyaan dan penyelesaian masalah, (2) keluwesan adalah kemampuan untuk menemukan atau menghasilkan berbagai macam ide, jawaban atau pernyataan yang bervariasi, (3) original adalah kemampuan memberikan gagasan atau tanggapan yang baru, dan (4) terperinci adalah kemampuan untuk mengembangkan suatu ide, menambah atau merinci secara detail suatu obyek, ide, dan situasi.
2.1.3.7 Fungsi Kreativitas Menurut Munandar (2009:31), fungsi kreativitas dalam kehidupan ada empat yaitu: perwujudan diri, karena dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya; kreativitas atau berfikir kreatif, yaitu kemampuan untuk melihat bermacam–macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah; aktif-kreatif, menyibukkan diri secara kreatif selain bermanfaat bagi diri pribadi dan lingkungan, tetapi lebih–lebih juga memberikan kepuasan kepada individu; peningkatan kualitas hidup, kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya.
2.1.3.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kreativitas Perkembangan potensi kreatif anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan pola asuh orang tua (Safaria, 2005 :51). Mengapa demikian, karena perkembangan potensi kreatif anak berproses melalui interaksi antara pribadi anak dan lingkungannya. Faktor berikutnya adalah peran guru dan sekolah, karena masa anak disekolah, baik sekolah dasar, menengah pertama maupun menengah atas adalah masa–masa yang penting dalam perkembangan kreatif anak. Pada usia emas ini bibit potensi kreativitas mulai tumbuh dan berkembang, sehingga membutuhkan lingkungan yang kondusif. Sistem pengajaran disekolah kurang mampu memfasilitasi potensi anak kreatif. Sistem yang hanya menekankan keseragaman, otoriter, hafalan, terlalu mengarahkan anak (direktif) dan kurang memberikan otonomi pada anak, menjadi penghambat perkembangan kecerdasan kreatif anak (Safaria, 2005 :58).
27
Menurut Munandar (2009:45), bakat kreatif dimiliki oleh setiap orang meskipun dalm bentuk dan tingkatan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, bakat kreatif harus dipupuk dan dikembangkan. Perkembangan bakat kreatif tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan tertentu, sehngga dapat muncul, tumbuh dan terwujud menjadi karya-karya kreatif yang bermakna. Timbul dan tumbuhnya kreativitas dan selanjutnya berkembangnya suatu kreasi yang diciptakan oleh seorang individu tidak dapat luput dari pengaruh kebudayaan serta pengaruh masyarakat tempat individu itu hidup dan bekerja. Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah respon di mana mengungkapkan bahwa pengertian kreativitas itu memiliki perspektif yang baru yaitu yang bersifat orisinil, tak diduga, berguna, serta adaptif terhadap untuk menemukan cara–cara baru dalam memecahkan suatu permasalahan.
2.1.4
Hasil Belajar
2.1.4.1 Pengertian Hasil Belajar Dimyati dan Mudjiono (2009:20) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Hasil belajar tersebut terjadi terutama berkat evaluasi guru. Hasil belajar dapat berupa dampak pengajaran dan dampak pengiring. Kedua dampak bermanfaat bagi siswa dan guru. Menurut Davies (Dimyati dan Mudjiono 2009: 201), ranah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar siswa secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 3, yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan menurut Sudjana (2009:22), bahwa hasil belajar adalah kemampuan kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan pembelajaran oleh siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran.” Sudjana (2009) membagi tiga macam hasil belajar mengajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengarahan, dan (c) sikap dan cita-cita. Hasil belajar menururt Rusman (2012:123) adalah sejumlah pengalaman yang diperoleh siswa yang mencakap ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Belajar
28
tidak hanya penguasaan konsep teori mata pelajaran saja tapi juga penguasaan kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat-bakat, penyesuaian social, macam-macam keterampilan, cita-cita, keinginan, dan harapan. Sedangkan menurut Hamalik dalam Rusman (2012:123), hasil belajar itu dapat terlihat terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perubahan perilaku. Menurut Bloom dalam Winkel (2004:274-279), hasil belajar mencakup tiga kemampuan, yatu kemampuan kognitif, kemampuan psikomotorik dan kemampuan afektif. Penelitian yang dilakukan untuk mengukur hasil belajar dari aspek kognitif. Hasil belajar kognitif Bloom dalam Winkel (2004: 274-279) adalah Hasil belajar yang berkenaan dengan pemahaman pengetahuan dan pengertian pada suatu materi yang meliputi 1) pengetahuan yaitu kemampuan mengingat kembali hal-hal yang pernah dipelajari mancakup fakta, prinsip, dan metode yang diketahui; 2) pemahaman yaitu kemampuan memahami makna atau arti dari suatu konsep sehingga dapat menguraikan isi pokok dari suatu makna; 3) penerapan yaitu kemampuan menerapkan dan mengabstrasikan suatu konsep atau ide dalam situasi yang baru; 4) analisis yaitu kemampuan untuk merinci satu kesatuan ke dalam bagian-bagian, sehingga pengorganisasian dapat dipahami dengan baik; 5) sintesis yaitu kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal dan dapat mempertanggungjawabkan berdasarkan kriteria tertentu. Winaputra (2007:1.10) menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai siswa dimana setiap kegiatan belajar dapat menimbulkan suatu perubahan yang khas. Dalam hal ini belajar meliputi keterampilan proses, keaktifan, motivasi juga prestasi belajar. Hasil adalah kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatau kegiatan. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa mempunyai 3 ranah yang harus dimiliki oleh siswa setelah siswa menerima pengalaman belajar yang ditunjukkan melalui penguasaan pengetahuan, keterampilan, atau tingkah laku.
29
2.1.4.2 Faktor - faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar yang kondusif, hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar siswa. Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep, keterampilan, dan pembentukan sikap. Menurut Slameto (2008:54-72) faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua yaitu: faktor intern meliputi: faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan, sedangkan faktor ekstern meliputi: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. Menurut Slameto (2008:54-72) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua. Dua faktor tersebut akan dijelaskan dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor intern Faktor intern adalah faktor yang berasal dari diri siswa. Faktor intern ini terbagi menjadi tiga faktor yaitu : faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan. a) Faktor jasmaniah Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beseta bagianbagiannya atau bebas dari penyakit. Kesehatan seseorang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Proses belajar akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, mengantuk jika badannya lemah, kurang darah ataupun ada gangguan fungsi alat indera serta tubuhnya. Kedua adalah cacat tubuh. Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh. Cacat ini dapat berupa : buta, tuli, patah kaki, patah tangan, lumpuh dan lainlain. Jika ini terjadi maka belajar akan terganggu, hendaknya apabila cacat ia disekolahkan di sekolah khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat mengurangi pengaruh kecatatan itu.
30
b) Faktor psikologis Sekurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah: pertama inteligensi yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, menggunakan konsepkonsep
yang
abstrak
secara
efektif,
mengetahui
relasi
dan
mempelajarinya dengan cepat. Kedua perhatian yaitu keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun semata-mata tertuju kepada suatu objek atau sekumpulan objek. Ketiga minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. keempat bakat yaitu kemampuan untuk belajar. Kemampuan ini akan baru terealisasi menjadi kecakapan nyata sesudah belajar atau berlatih. Kelima motif harus diperhatikan agar dapat belajar dengan baik harus memiliki motif atau dorongan untuk berfikir dan memusatkan perhatian saat belajar. Keenam kematangan adalah suatu tingkat pertumbuhan seseorang. Ketujuh kesiapan adalah kesediaan untuk memberi renspon atau bereaksi. Dari faktor-faktor tersebut sangat jelas mempengaruhi belajar, dan apabila belajar terganggu maka hasil belajar tidak akan baik. c) Faktor kelelahan Kelelahan seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: kelelahan jasmani dan kelelahan rohani (bersifat praktis).
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah
lunglainya tubuh dan timbul untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena kekacauan substansi sisa pembakaran di dalam tubuh. Sehingga darah tidak lancar pada bagian-bagian tertentu. Selain itu kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga minat untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat terasa pada bagian kepala sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-olah otak kehabisan daya untuk bekerja.
31
Kelelahan rohani dapat terjadi terus-menerus karena memikirkan masalah yang dianggap berat tanpa istirahat, menghadapi suatu hal yang selalu sama atau tanpa ada variasi dalam mengerjakan sesuatu karena terpaksa dan tidak sesuai dengan bakat, minat dan perhatiannya. Menurut Slameto (2008:60) kelelahan baik jasmani maupun rohani dapat dihilangkan dengan cara sebagai berikut: tidur, istirahat, mengusahakan variasi dalam belajar, menggunakan obat-obat yang melancarkan peredaran darah, rekreasi atau ibadah teratur, olah raga, makan yang memenuhi sarat empat sehat lima sempurna, apabila kelelahan terus-menerus hubungi seorang ahli. 2. Faktor-faktor ekstern Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar siswa. Faktor ini meliputi: faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat yaitu dengan penjelasan sebagai berikut: a) Faktor keluarga Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa: cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. Sebagian waktu seorang siswa berada di rumah. Oleh karena itu, keluarga merupakan salah satu yang berperan pada hasil belajar. Oleh sebab itu orang tua harus mendorong, memberi semangat, membimbing, memberi teladan yang baik, menjalin hubungan yang baik, memberikan suasana yang mendukung belajar, dan dukungan material yang cukup. b) Faktor sekolah Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. Sekolah adalah lingkungan kedua yang berperan besar memberi pengaruh pada hasil
32
belajar siswa. Sekolah harus menciptakan suasana yang kondusif bagi pembelajaran, hubungan dan komunikasi perorang di sekolah berjalan baik, kurikulum yang sesuai, kedisiplinan sekolah, gedung yang nyaman, metode pembelajaran aktif-interaktif, pemberian tugas rumah, dan sarana penunjang cukup memadai seperti perpustakaan sekolah dan sarana yang lainnya. c) Faktor masyarakat Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Pengaruh ini karena keberadaan siswa dalam masyarakat. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa ini meliputi: pertama kegiatan siswa dalam mayarakat yaitu misalnya siswa ikut dalam organisasi masyarakat, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajar akan terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam mengatur waktunya. Kedua multi media misalnya: TV, radio, bioskop, surat kabar, buku-buku, komik dan lain-lain. Semua itu ada dan beredar di masyarakat. Ketiga teman bergaul, teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya daripada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan memberi pengaruh yang baik terhadap diri siswa begitu sebaliknya. Contoh teman bergaul yang tidak baik misalnya suka begadang, pecandu rokok, keluyuran minum-minum, lebih-lebih pemabuk, penjinah, dan lain-lain. Keempat
bentuk
kehidupan
masyarakat. Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh pada hasil belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri, dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik akan berpengaruh jelek kepada siswa yang tinggal di situ. Melalui penjelasan faktor intern dan ekstern yang mempengaruhi hasil belajar. Faktor intern meliputi: faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan, dan faktor ekstern meliputi: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat.
33
2.2
Kajian Penelitian yang Relevan Saputra (2011) dengan penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Penerapan
Model Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Kemampuan Membaca Pemahaman Terhadap Hasil Belajar Matematika Soal Cerita Siswa Kelas V SD Kecamatan Wonogiri Tahun Pelajaran 2011/2012”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dan kemampuan membaca pemahaman secara bersama-sama terhadaphasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dengan mengacu pada hipotesis yang dirumuskan pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05), maka dapat disimpulkan ada pengaruh antara model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran terhadap hasil belajar matematika. Septiyani (2013) dengan penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran Matematika Berbasis Kontekstual Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Pada Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 02 Salatiga Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang signifikan pembelajaran matematika berbasis kontekstual terhadap hasil belajar siswa pada kelas IV Sekolah Dasar Negeri 02 Salatiga semester genap tahun pelajaran 2012/2013. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data disimpulkan bahwa Penggunaan pendekatan kontekstual berpengaruh terhadap hasil belajar matematika pada siswa kelas IV SD Negeri 02 Salatiga semester genap tahun pelajaran 2012/2013 yang dibuktikan dengan adanya perbedaan hasil belajar antara kedua kelas. Hal ini dibuktikan bahwa rata-rata hasil belajar diperoleh nilai signifikansi equal variances assumed 0,000 < 0,05. Rata-rata hasil belajar kelas yang diajar dengan pendekatan kontekstual sebesar 87,81, sedangkan rata-rata hasil belajar kelas konvensional sebesar 80,22. Lestari (2010) dengan penelitiannya yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan Kontekstual Pada Siswa Kelas II SD Negeri III Bubakan Kecamatan Girimarto Kabupaten Wonogiri Tahun Pelajaran 2009/2010”.
34
Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk meningkatkan hasil belajar matematika dengan Pendekatan Kontekstual pada siswa kelas II SD Negeri III Bubakan; (2) Mendiskripsikan kendala-kendala yang dihadapi guru dalam penerapan Pendekatan Kontekstual untuk meningkatan hasil belajar matematika pada siswa kelas SD Negeri III Bubakan II; (3) Memaparkan cara mengatasi kendala-kendala penerapan Pendekatan Kontekstual untuk meningkatan hasil belajar matematika pada siswa kelas II SD Negeri III Bubakan. Berdasarkan hasil penelitian Penerapan Kontekstual pada siswa kelas II Sekolah Dasar Negeri III Bubakan tahun ajaran 2009 / 2010, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : (1) Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual pada siswa kelas II Sekolah Dasar Negeri III Bubakan pada materi perkalian hasil belajarnya meningkat. Dapat didukung dengan data : tes awal sebesar 58, 63, siklus I, 77,72 dan pada siklus II, naik 94,54. Untuk siswa tuntas belajar (nilai ketuntasan 65) pada tes awal sebesar 36,37%, tes siklus I, 77,26%, tes siklus II, 100%, secara keseluruhan sudah meningkat hasil belajarnya bila dilihat dari presentase ketuntasan siswa, yaitu pada tes siklus II semua siswa sudah mencapai ketuntasan; (2) Terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam penerapan Pendekatan Kontekstual untuk meningkatkan hasil belajar matematika misalnya : guru kurang dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan (respon siswa kurang), aktivitas siswa kurang, dan masih kurangnya ketuntasan belajar siswa kelas II Sekolah Dasar Negeri III Bubakan; (3) Cara mengatasi kendala penerapan Pendekatan Kontekstual untuk meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas II Sekolah Dasar Negeri III Bubakan Kecamatan Girimarto Kabupaten Wonogiri tahun Pelajaran 2009/ 2010 adalah guru harus terampil dalam menerapkan Pendekatan Kontekstual diantaranya : a) mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan dipelajari oleh siswa; b) memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama; c) mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memuilih dan mengaitkannya dengan konsep dan kompetensi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran kontekstual; d) merancang pengajaran
dengan
mengaitkan
kosep
atau
teori
yang dipelajari
dengan
35
,mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa di lingkungan kehidupan mereka; e) melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari; f) melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil penilaian tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaan. Penelitian Hidayah (2010) yang berjudul
Peningkatan Prestasi Belajar
Matematika Melalui Pendekatan CTL (Contextual Teaching And Learning ) Pada Siswa Kelas IV SDN Madyopuro I Di Malang. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) Mendiskripsikan poreses peningkatan prestasi belajar matematika melalui pendekatan CTL (Contextual Teaching End Learning) pada kelas IV SDN Madyopuro I di Malang; (2) Untuk mengetahui apakah penerapan pendekatan CTL (Contextual Teaching End Learning) dapat meningkatkan prestasi belajar pada kelas IV SDN Madyopuro I di Malang. Dari hasil penelitian membuktikan adanya peningkatan prestasi belajar siswa adalah sebagai berikut: Pada saat peserta tes, yang dinyatakan lulus sebanyak 19 siswa atau sebesar 40.43%, sedangkan siswa yang tidak lulus 28 siswa atau sebesar 59,57%. Pada siklus I pertemuan pertama untuk siswa yang diyatakan lulus 29 siswa (61,70%), siswa yang tidak lulus 18 siswa (38,30%) dengan nilai rata-rata 67,44. Siklus I pertemuan kedua untuk siswa yang lulus 43 (91,50%), yang tidak lulus 4 siswa (8,50%), dan dua tidak masuk karena sakit dengan nilai rata-rata 76,5. Pada siklus II pertemuan pertama, siswa yang lulus menjadi 42 atau (89,36%) sedangkan siswa yang tidak lulus 5 siswa (10,64%), nilai rata-rata 88,3. Siklus II pertemuan kedua untuk siswa yang diyatakan lulus ada 47 siswa, skor yang diperoleh 80-100 (100%) dengan nilai rata-rata 91. Dari analisa penelitian kami di atas bisa kita lihat, menunjukan adanyah peningkatan prestasi, dari pre-tes ke siklus satu pertemuan pertama 21,27%. Dari siklus satu pertemuan satu kepertemuan dua naik 29,8%. Dari siklus satu pertemuan dua kesiklus dua pertemuan satu naik 2,14%. Dari siklus dua pertemuan satu kepertemuan dua
36
naik 10,64%. Sehinga dapat disimpulkan bahwa dengan pendekatan CTL siswa dapat lulus 100% padahal sebelum tindakan yang lulus hanyak 40,43%. Penelitian Ratih dkk (2014) yang berjudul Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) melalui Pemodelan Media Sederhana Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Gugus III Kecamatan Gianyar. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara siswa yang dibelajarkan dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) melalui pemodelan media sederhana dengan siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional di kelas V SD Gugus III Kecamatan Gianyar. Hasil penelitiannya adalah thit =3,75 dan ttabel =2,00 dengan dk = 77 (n1+n2-2 = 39+40-2 =77) dan taraf signifikansi 5%. Berdasarkan hasil pengujian, t-hitung > ttabel (3,75 > 2,00). Ini berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara siswa yang dibelajarkan dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning ( CTL) melalui pemodelan media sederhana dengan siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) melalui pemodelan media sederhana terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD Gugus III Kecamatan Gianyar. Mulyasari dkk (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Pembelajaran Kontekstual terhadap hasil Hasil Belajar Matematika Siswa ditinjau dari Kemampuan Awal Siswa” diperoleh hasil tidak terdapat perbedaan hasil belajar antara pembelajaran kontektual dan pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan awal siswa. Penelitian ini dilakukan di SMPN 20 Bandar Lampung semester genap tahun pelajaran 2011/2012. Penelitian yang mengacu pada penelitian sebelumnya, maka peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan yang sama. Meskipun demikian perbedaannya dengan penelitian terdahulu adalah pada subjek penelitian karena peneliti berasumsi bahwa perbedaan subjek penelitian merupakan faktor lain yang akan mempengaruhi hasil belajar, selain itu fokus penelitian ini adalah
37
mengetahui pengaruh penggunaan pendekatan CTL terhadap kreativitas siswa pada mata pelajaran matematika materi bangun datar siswa kelas 3 SDN Salatiga 09.
2.3
Kerangka Pikir Selama ini pembelajaran di kelas III SDN Salatiga 09 masih belum maksimal
karena belum ada inovasi terhadap kondisi lingkungan kelas, menggunakan pendekatan pemebelajaran mekanistik atau guru lebih banyak memberikan ceramah, sedangkan siswa cenderung pasif, kurang percaya diri jika diberi kesempatan untuk bertanya dan mengerjakan soal di depan kelas, jika melakukan kesalahan anak akan cenderung putus asa, dan takut membuat kesalahan jika diminta menyampaikan pendapat serta kebanyakan siswa meniru jawaban dari jawaban siswa lain jika diberi pertanyaan. Langkah-langkah pembelajaran atau urutan sajian materi dalam pembelajaran matematika yang biasa dilakukan selama ini adalah pembelajaran yang diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, pemberian contoh soal, kemudian diakhiri dengan latihan soal. Pola itu dilakukan secara monoton dari waktu ke waktu. Dalam pembelajaran ini konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari apa yang dikatakan oleh guru. Konsekuensinya, bila siswa diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan maka siswa cenderung membuat kesalahan. Siswa kurang didorong untuk aktif atau cenderung pasif dalam mengikuti pembelajaran
sehingga
mengakibatkan
pembelajaran
kurang
menarik
dan
membosankan yang mengakibatkan tingkat pemahaman siswa menjadi rendah dan berdampak terhadap hasil belajar siswa yang rendah. Hal ini ditunjukkan dari ratarata nilai ulangan harian siswa pada materi perkalian bersusun dari 38 anak adalah 41,67. Berdasarkan kajian teori, dapat diketahui salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan penerapan pendekatan CTL. Pendekatan CTL adalah proses pembelajaran yang membantu siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks
38
keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka sehingga siswa mampu berpikir kritis dan kreatif, sehingga dapat menumbuh kembangkan kreativitas dan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Kreativitas (Y1) Pendekatan CTL (X) Hasil Belajar (Y2)
Gambar 2.1 Paradigma Penelitian 2.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian yaitu: 1. Ada pengaruh Pendekatan CTL terhadap kreativitas siswa kelas 3 SD Negeri Salatiga 09 Semester II tahun ajaran 2013/2014. 2. Ada pengaruh pendekatan CTL terhadap hasil belajar siswa kelas 3 SD Negeri Salatiga 09 Semester II tahun ajaran 2013/2014.