BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Agama Perspektif Sosiologi Agama dan beragama punya sejarah panjang sepanjang sejarah masyarakat
dan manusia itu sendiri, manusia yang memiliki akal, nafsu, perasaan ruhani. Agama ditemukan hampir disetiap masyarakat bahkan setiap individu. Secara sosiologis, masyarakat dan manusia dalam menganut agama atau beragama punya ciri-ciri mempercayai sesuatu yang digunakan secara fanatik, mensakralkan sesuatu, percaya kepada yang gaib (supernatural). Ciri-ciri beragama atau menjadikan sesuatu sebagai agama ini ditemukan pada setiap masyarakat. Karena itu beragama adalah gejala universal, ditemukan dari awal masyarakat manusia ada sampai akhir zaman. (Bustanuddin Agus,2003:1). Elizabeth K Nottingham menyatakan bahwa tidak ada definisi tentang agama yang benar-benar memuaskan karena agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan). Lebih jauh Nottingham menegaskan bahwa fokus utama perhatian sosiologi terhadap agama adalah bersumber pada tingkah laku manusia dalam kelompok sebagai wujud pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dan peranan yang dimainkan oleh agama selama berabad-abad sampai sekarang dalam mengembangkan dan menghambat kelangsungan hidup kelompok-kelompok masyarakat. (http://arifinzain.wordpress.com/).
Universitas Sumatera Utara
Roland Robertson membagi definisi tentang agama yang telah dikemukakan oleh kalangan ilmuan sosial kedalam dua model definisi: inklusif dan eksklusif. Definisi inklusif memberikan suatu rumusan agama dalam arti yang seluas-luasnya, yang memandang agama sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Kalangan ilmuan sosial yang memiliki pandangan inklusif pada umumnya melihat agama bukan saja sebagai sistem-sistem teistik yang diorganisasi seputar konsep tentang kekuatan supernatural, tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme. Sebaliknya definisi eksklusif membatasi istilah agama itu kepada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural. Dengan demikian, sistem-sistem kepercayaan seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme dikeluarkan meskipun sebenarnya bisa juga diterima sebagai sistem kepercayaan non-teistik karena memiliki elemen-elemen yang sama dengan sistemsistem keagamaan. Tim Curry setidaknya mencatat ada lima karakteristik universal agama, yaitu: a.
Kepercayaan Bisa dikatakan bahwa kepercayaan merupakan hal yang paling mendasar
dalam setiap agama. Kepercayaan terhadap segala sesuatu dalam agama merupakan permasalahan yang berkaitan dengan disiplin ilmu teologi. Adapun konsekuensi sosial yang ditimbulkan oleh kepercayaan tersebut baru merupakan permasalahan sosiologis. Jadi, fokus perhatian kalangan sosiolog bukanlah melihat validitas atau kebenaran kepercayaan tersebut tapi lebih memfokuskan perhatian pada konsekuensi
Universitas Sumatera Utara
sosial yang timbul sebagai akibat dari adanya kepercayaan tersebut. Misalnya, kepercayaan akan adanya surga dan neraka menjadi salah satu faktor yang mendorong manusia untuk melakukan serangkaiain ibadah atau ritual tertentu secara komunal. Dalam hal ini, fokus kajian seorang sosiolog bukanlah untuk membuktikan keberadaan surga atau neraka, akan tetapi mencoba mengupas pengaruh keimanan terhadap surga dan neraka dalam membentuk perilaku mereka di masyarakat b.
Sacred dan Profane. Menurut Durkheim, semua agama membedakan dunia kedalam dua domain
besar: sacred dan profane. Sesuatu yang disebut sacred adalah segala sesuatu yang memiliki arti dan kualitas supernatural. Adapun yang profane adalah sesuatu yang dipandang sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari . Karena begitu luasnya cakupan definisi tersebut maka sangatlah mungkin terjadi tumpang-tindih di masyarakat tentang penggolongan sesuatu sebagai yang sacred atau profane. Bisa jadi dalam suatu masyarakat atau agama sesuatu dipandang sebagai yang sacred tapi bagi masyarakat atau agama lain dipandang sebagai sesuatu yang profane. c.
Ritual dan Seremoni. Semua agama memiliki beberapa bentuk perilaku yang rutin dilaksanakan
sebagai ekspresi dan penguat iman. Oleh karenanya semua agama memiliki ritual. Bagi pemeluk agama, ritual dan seremoni merupakan sesuatu yang penting berkaitan dengan masalah peribadatan. Adapun bagi kalangan sosiolog, beberapa ritual dipandang membantu mengikat orang secara bersama-sama dalam masyarakat. Pelaksanaan ritual memungkinkan munculnya solidaritas sosial meskipun terdapat banyak perbedaan diantara mereka.
Universitas Sumatera Utara
d.
Komunitas moral. Agama merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang
yang memiliki kesamaan kepercayaan dan nilai-nilai. Adanya kesamaan nilai yang kemudian diperkuat dengan pelembagaan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran nilainilai tersebut telah membentk suatu komunitas yang mampu bertahan dari generasi ke generasi berikutnya. e.
Pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi yang diperoleh melalui agama dapat memberikan makna
bagi kehidupan manusia bahkan terkadang mampu memecahkan masalah-masalah pribadi yang sedang dihadapi terutama berkaitan dengan terapi mental. Meskipun setiap agama memiliki kelima karakteristik diatas, namun harus diingat bahwa setiap agama memiliki penekanan yang berbeda-beda terhadap kelima karakteristik tersebut. Ada agama yang sangat kaya dengan ritual dan seremoni, namun ada juga agama yang hanya memberikan sedikit perhatian pada hal tersebut. Oleh karena itu, berbagai macam pendekatan telah dikembangkan oleh kalangan sosiolog untuk melihat fenomena keagaman di masyarakat dengan mendasarkan pada fokus
perhatian
yang
ingin
dikaji
dari
fenomena
tersebut
(http:arifinzain.wordpress.com). Sementara itu menurut Betty R Scharf (2004) dalam bukunya Sosiologi Agama, suatu agama secara spesifik terkait dengan suatu kelompok, dan begitu suatu kelompok berakhir dan kelompok lain muncul agama pun berubah. Dari sudut pandang asal-usulnya, struktur kelompok merupakan ubahan primer sedangkan agama merupakan ubahan dependennya.
Universitas Sumatera Utara
Namun dari sudut pandang Durkheim memandang agama sebagai sesuatu yang dengan kokoh menguatkan struktur sosial yang ada, dengan mencegah terjadinya penyimpangan dan membatasi perubahan dengn memberikan otoritas yang mutlak dan sakral kepada aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dalam kelompok yang bersangkutan. Dengan demikian agama bersumber dari solidaritas sosial dan pada gilirannya ia memperkuatnya. Ia tidak hanya mengekspresikan loyalitasloyalitas kelompok tetapi juga melestarikannya. Namun meskipun agama bisa menghalangi terjadinya perubahan tetapi ia juga dapat menahan terjadi perubahan itu sama sekali. Berbagai kondisi keberadaan suatu kelompok berubah dan sebagainya struktur itu akan berubah. Baik secara eksplisit ataupun secara terselubung, secara tiba-tiba atau secara berangsur-angsur, sistem agama pun berubah meskipun senantiasa dengan perlawanan terhadap kegiatan di garis belakang pertahanannya. Senantiasa ada sejumlah kelompok yang dinilai sakral oleh para anggotanya, meskipun lantaran agama-agama berubah dan berkembang, tidak ada sebuah masyarakat pun bisa gagal dalam menimbulkan agama, dan tidak ada sebuah agama pun bisa gagal memperkuat masyarakat khususnya penganutnya. Durkheim juga menambahkan dalam agama akan ditemui hal-hal berikut sebagai upaya mempelajari agama dengan kata lain agama memiliki ciri-ciri, yaitu : a.
Diakui sebagai kekuasaan atau kekuatan.
b.
Ambigus, seperti human-cosmic, postif-negatif, menarik-menjijikan, perintahlarangan dan lainnya.
c.
Tidak utilitarian.
d.
Tidak empirik.
Universitas Sumatera Utara
e.
Tidak melibatkan pengetahuan.
f.
Memperkuat dan mendukung para pemuja.
g.
Membuat tuntunan moral bagi para pemujanya. Adapun fungsi agama dalam masyarakat (Ishomuddin, 2002 : 54-56) yaitu :
a. Fungsi edukatif b. Fungsi penyelamat c. Fungsi sebagai perdamaian d. Fungsi sebagai Social Control (Pengendalian Sosial) e. Fungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas f. Fungsi transformatif g. Fungsi kreatif h. Fungsi sublimatif Sementara itu J.P. Williams mengatakan bahwa setidak-tidaknya ada empat tingkat tipe keagamaan yaitu: -
Tingkat rahasia yakni seseorang memegang ajaran agama yang dianut dan diyakininya itu untuk dirinya sendiri dan tidak dianut dan tidak didiskusikan dengan atau dinyatakan kepada orang lain.
-
Tingkat privat atau pribadi yakni dia mendiskusikan dengan atau menambah dan menyebarkan pengetahuan dan keyakinannya keagamaannya dan kepada sejumlah orang tertentu dan keyakinan keagamaannya yang digolongkan sebagai orang yang secara pribadi amat dekat hubungan dengan dirinya.
Universitas Sumatera Utara
-
Tingkat denominasi, individu mempunyai keyakinan keagamaan yang sama dengan yang dipunyai oleh individu-individu lainnya dalam suatu kelompok besar, dan karena itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia atau privat.
-
Tingkat masyarakat, individu memiliki keyakinan kegamaan dari warga masyarakat tersebut.
2.2.
Agama dan Politik Agama dan politik adalah institusi sosial yang berbeda secara fungsi dan
peranannya. Namun sebuah institusi yang berbeda tidaklah menutup kemungkinan untuk bersatu saat sebuah nilai-nilai dalam agama mampu diwujudkan dalam membentuk sebuah sistem yang lebih tidak hanya terbatas pada urusan peribadatan pemeluknya. Nilai-nilai pada agama tidaklah menutup kemungkinan baginya untuk dijadikan sandaran politik. Roland Robertson Alford mengatakan bahwa hubungan antar politik dan agama muncul sebagai masalah pada bangsa-bangsa yang tidak homogen secara agama, ia juga menambahkan pemikir politik klasik seperti Aristoteles menegaskan bahwa homogenitas agama adalah suatu kondisi kestabilan politik. Apabila kepercayaan-kepercayaan berlawanan dengan nilai-nilai tertinggi masuk ke arena politik, mereka akan mulai bertikai dan makin jauh dari kompromi (Alford, 1988:379). Dari segi sikap negara terhadap agama dibagi menjadi empat bagian, yaitu negara agama, negara yang punya agama tertentu, negara membantu pembangunan agama dengan bersikap adil terhadap agama-agama bangsanya, dan negara sekuler
Universitas Sumatera Utara
baik yang bersifat moderat juga ekstrim dimana memisahkan urusan negara dari agama. Teori kedaulatan Tuhan merupakan pengaruh agama dalam kehidupan politik, dimana dalam teori ini dikatakan bahwa kepala negara harus bertakwa kepada Tuhan. Yang mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu yang memiliki atau ada pada Tuhan. Teori ini berkembang pada abad pertengahan, yaitu antara abad ke V sampai abad ke XV. Di dalam perkembangannya teori ini sangat erat hubugannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu, yaitu agama kristen, yang kemudian diorganisir dalam suatu oraganisasi keagamaan, yaitu gereja, yang dikepalai oleh seorang Paus. Jadi pada waktu itu lalu ada dua organisasi kekuasaan, yaitu : organisasi kekuasaan negara yang diperintah oleh seorang raja, dan organisasi kekuasaan gereja yang dikepalai oleh seorang Paus, karena pada waktu itu organisasi gereja tersebut mempunyai alat-alat perlengkapan yang hampir sama dengan alat-alat perlengkapan organisasi negara. Ini adalah pendapat dari Thomas Aquinas. Para sosiolog memang tidak memandang dengan sebelah mata berbagai peran yang dapat dimainkan agama dalam proses-proses politik di tengah masyarakat. Peter Berger, misalnya yang mencoba menyintesiskan pandangan-pandangan Marx, Weber, dan Durkhiem, menggambarkan agama sebagai kekuatan world maintaning dan world shaking (1967). Dengan dua kekuatan itu, agama mampu melegitimasi atau menentang kekuasaan dan privilese. Meski demikian, para sosiolog menekankan berkurangnya signifikansi agama dalam kehidupan publik seiring proses sekularisasi dan privatisasi. Menurut Berger, sekularisasi mengantarkan pada demonopolisasi tradisi-tradisi keagamaan dan meningkatkan peran orang-orang awam. Berbagai
Universitas Sumatera Utara
pandangan keagamaan berbaur dan bersaing dengan pandangan dunia non-agama, sehingga organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan debirokratisasi. Hal yang sama dikemukakan Talcott Parsons, sosiolog terkemuka dari pendekatan fungsional. Menurut Parsons, dalam masyarakat multi-religius prosesproses politik yang berlangsung akan menjadi semacam diferensiasi yang menyediakan agama pada tempat yang lebih sempit tetapi jelas dalam sistem sosial dan kultural. Karena keanggotaan dalam suatu organisasi kemasyarakatan bersifat sukarela, maka konten dan praktik keagamaan dengan sendirinya mengalami privatisasi dan menyebabkan perkembangan civil religion. (http://unisosdem.org/)
2.3.
Teori Pilihan Rasional Weber menyatakan bahwa tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial,
sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut. Tindakan-tindakan sosial individu membentuk bangunan dasar untuk struktur-struktur sosial yang lebih besar, Weber meletakan dasar ini dengan distingsi-distingsi tipologis yang bergerak dari tingkat hubungan sosial ke tingkat keteraturan ekonomi dan sosial politik. (Johnson, 1994:226). Weber menggunakan konsep rasionalitas dalam kalsifikasinya mengenai tipetipe tindakan sosial. Tindakan sosial menurut Weber adalah pertimbangan sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Weber membagi rasionalisme tindakan kedalam empat macam yaitu rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan rasional dan tindakan rasional afektif. Rasional instrumental sangat
Universitas Sumatera Utara
menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingakan rasionalitas instrumnatal, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolute atau nilai akhir baginya. Teori pilihan rasional Coleman, memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Gagasan dasar dalam teori pilihan rasional bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan.
2.4. Sikap Sikap adalah sesuatu yang ada dalam diri yang mempengaruhi suatu tindakan dan prilaku seseorang. Menurut Baron dan Byrne (2003:158) sikap adalah evaluasi dari aspek dunia sosial dimanapun, seringkali kita mengevaluasi objek sikap baik secara positif dan negatif dan diperoleh melalui orang lain melalui proses pembelajaran sosial. Dan sikap juga merupakan sebuah evaluasi umum bagi manusia terhadap dirinya, orang lain dan obyek tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Allport (dalam Hogg dan Vaughan, 2002) mendefinisikan sikap merupakan kesiapan (mental dan neutral) yang didasarkan pada pengalaman yang menekankan pada pengaruh langsung dan dinamis pada respon indvidual terhadap semua objek dan situasi yang berhubungan. Dan juga D.G. Myers (dalam Sarwono, 2002) menyatakan sikap adalah suatu reaksi evaluatif berupa suka atau tidak suka terhadap sesuatu atau seseorang yang ditunjukan dengan keyakinan, perasaan, ataupun tingkah laku seseorang. Maka dari beberapa pengertian sikap diatas, bahwa yang menjadi ciri-ciri khas dari sikap yaitu mengandung penilaian/evaluasi (mendukung-tidak mendukung, memihak-tidak memihak, favourable-unfavourable) dan memiliki objek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi, benda, dan sebagainya). Sikap memiliki komponen-komponen yang membentuk pada struktur sikap. Adapaun komponen-komponen sikap adalah : -
Komponen kognitif (perseptual, kesadaran) yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan. Hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.
-
Komponen afektif (emosional, perasaan) adalah komponen yang berhubungan dengan perasaan senang atau tidak senang, postif atau negatif, sehingga bersifat evaluatif.
-
Komponen konatif (perilaku, aksi) adalah komponen sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk berperilaku, kecenderungan bertindak objek sikap. Sikap berpengaruh pada perilaku namun tidak selamanya, dalam penelitian
yang dilakukan La Pierre menyatakan kapan sikap mempengaruhi perilaku. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
salah satu determinan penentu berperilaku, tentu saja pada saat sikap akan menjalankan fungsinya sebagai perilaku dan pada saat lainnya justru tidak. Menurut Baron dan Byrne (2005) beberapa faktor penentunyan adalah : -
Situtional Constraint (hambatan sikap), yaitu faktor situasional dapat mempengaruhi hubungan antara sikap dan tingkah laku. Tekanan situasi membentuk kemungkinan sikap diekspresikan atau tidak diekspresikan dalam tingkah laku yang tampak.
-
Aspek sikap, yang mencakup pada sumber sikap (attitude origins) seperti pengalaman langsung, kekuatan sikap (attitude strength) seperti keekstriman atau intensitas; kemudahan infromasi; akal sehat; unsur kepentingan, dan kekhususan sikap (attitude spesificity) seperti sejauh mana terfokus pada objek tertentu atau situasi dibanding hal yang umum.
Universitas Sumatera Utara