BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Teluk Hurun Kabupaten Pesawaran adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung yang diresmikan pada tanggal 2 Nopember 2007 berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Pesawaran. Kabupaten ini sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan, memiliki luas wilayah 117.377 Ha, terletak pada koordinat antara 5º8’30” 5º52’30” Lintang Selatan dan 104º54’30” - 105º26’30” Bujur Timur. Kabupaten ini berada di bagian pesisir Selatan Wilayah Provinsi Lampung yang sebagian wilayahnya menghadap ke Teluk Lampung (Pemkab Pesawaran 2010). Teluk Hurun merupakan bagian dari Teluk Lampung, berada di arah Timur Laut dari Teluk Lampung. Secara geografis Teluk Hurun terletak pada 105o 12’ 45’’ sampai 105o 13’ 0’’ BT dan 5o 31’30’’ sampai 5o 31’ 36’’LS. Luas Teluk Hurun kurang lebih 5 km2 dengan panjang 2,5 km dan lebar 2 km. Dasar perairan teluk di bagian Barat Daya dan Selatan umumnya landai dengan kedalaman kurang dari 5 m. Dasar perairan di bagian Tenggara (sekitar mulut teluk) cukup dalam yaitu sekitar 10-15 m (Kurniastuty 1989 dalam Kamali 2004). Kondisi muara teluk di bagian Utara diselimuti hutan mangrove sementara bagian Selatan terdapat beberapa tambak tradisional. Di bagian mulut teluk terdapat 3 unit Keramba Jaring Apung (KJA) milik Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung serta lepas pantai terdapat kegiatan budidaya kerang mutiara. Kedalaman rata-rata teluk sekitar 15 m (Santoso 2005). Teluk Hurun memiliki iklim tropis basah yang dipengaruhi oleh angin yang bertiup dari Samudera Indonesia. Musim tahunan di Teluk Hurun adalah musim kemarau, musim peralihan dan musim hujan. Musim hujan terjadi pada bulan Desember – Maret, sedangkan musim peralihan terjadi pada bulan April – Mei dan Oktober – November dan musim kemarau terjadi pada bulan Juni – September (Wihartoyo 1994 dalam Susanti 2001). Suhu udara di wilayah Teluk Hurun berkisar antara 24 ºC – 34 ºC. Angin bertiup dari arah Barat dan Barat Laut
7
8
pada bulan November – Maret. Sedangkan pada bulan Juli – Agustus bertiup dari arah Timur (Kurniastuty 1989 dalam Kamali 2004).
2.2 Kesesuaian dan Pemilihan Lokasi Budidaya Menurut Sitorus (1985), kesesuain lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya. Pengembangan daerah yang optimal dan berkelanjutan membutuhkan suatu pengelolaan keruangan wilayah pesisir yang matang. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kajian tentang model pengelolaan dan arahan pemanfaatan wilayah pesisir yang berbasis digital dengan menggunakan SIG merupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu dikaji lebih lanjut. Pemilihan lokasi budidaya umumnya didasarkan pada spesies yang ingin dibudidaya dan teknologi yang digunakan, tetapi pada beberapa kejadian urutannya dapat dibalik. Hartoko dan Helmi (2004) mengatakan bahwa penentuan lokasi pengembangan budidaya lebih berdasarkan feelling atau trial dan error. Padahal semestinya data atau informasi tentang kesesuain lahan (land suitability) sengatlah diperlukan untuk memecahkan masalah dalam kompetisi pemanfaatan pesisir (Radiarta et al 2005). Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi adalah kondisi teknis yang terdiri dari parameter fisika, kimia, dan biologi dan non teknis berupa pangsa pasar, keamanan dan sumberdaya manusia (Milne 1979 ; Pillay 1990 dalam Kangkan 2006).
2.3 Tiram Mutiara Tiram mutiara merupakan salah satu biota yang hampir semua bagian dari tubuhnya mempunyai nilai jual, baik mutiara, cangkang, daging dan organisme tiram itu sendiri (benih maupun induk). Jenis-jenis tiram mutiara yang ada di Indonesia adalah Pinctada maxima, Pinctada margaritifera, Pinctada chemnitzi, Pinctada fucata dan Pteria penguin. Dari kelima spesies tersebut yang dikenal
9
sebgai penghasil mutiara terpenting
yaitu Pinctada maxima, Pinctada
margaritifera dan Pteria penguin.
2.3.1 Klasifikasi Klasifikasi jenis-jenis tiram mutiara dilakukan berdasarkan bentuk, ukuran dan warna cangkang. Barnes (1976) mengklasifikasikan tiram mutiara sebagai berikut : Phylum
: Mollusca
Klass
: Pallecypoda atau Lemellibranchia
Ordo
: Pterioidea
Famili
: Ptridae
Genus
: Pinctada
Spesies
: Pinctada maxima
2.3.2 Morfologi dan Anatomi Tiram mutiara merupakan hewan laut yang bertubuh lunak, tidak bertulang punggung dan dilindungi oleh dua belah keping cangkang yang tidak simetris, tebal dan sangat keras. Bentuk luar tiram mutiara tampak seperti batu karang yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. (Sutaman, 1993). (Gambar 2)
Gambar 2. Cangkang bagian luar tiram mutiara (Pinctada maxima) (Sumber : Sutaman 1993)
10
Sepasang cangkang pada mutiara memiliki bentuk yang tidak sama dimana cangkang sebelah kanan agak pipih sedangkan cangkang sebelah kiri lebih cembung (Mulyanto 1987 dalam Harramain 2008)
Cangkang tiram mutiara
memiliki ketebalan berkisar antara 1-5 mm. Pada bagian luar cangkang terdapat garis-garis melingkar yang jumlahnya bervariasi antara 6-8 garis yang berwarna merah tua, coklat kemerahan dan merah kecoklatan. Warna-warna ini terlihat sangat jelas pada tiram muda, sedangkan pada tiram dewasa warna akan memudar (Sintawati 1989 dalam Harramain 2008). Menurut Sutaman (1993) cangkang pada tiram mutiara jika dipotong melintang, maka dapat kita lihat cangkang tersebut terdiri dari 3 lapisan yang tampak, yaitu : 1) Lapisan periostrakum, merupakan lapisan kulit terluar yang kasar yang tersusun dari zat organik yang menyerupai tanduk. 2) Lapisan prismatik, merupakan lapisan kedua yang tersusun dari kristalkristal kecil yang berbentuk prisma dari hexagonal calcite dan tersusun padat pada kerangka conchiolin (C32H48N2O11) 3) Lapisan mutiara atau nacre, ini merupakan lapisan kelit sebelah dalam yang tersusun dari kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh sel-sel dari ephitelium luar dalam bentuk kristal aragonite. (Gambar 3)
Gambar 3. Struktur kulit tiram mutiara (Pinctada maxima) (Sumber : Sutaman 1993)
11
Secara umum, organ tubuh tiram mutiara terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, mantel dan organ dalam. Menurut Mulyanto (1987) dalam Harramain (2008) kaki pada tiram mutiara berfungsi sebagai alat gerak dan berbentuk seperti lidah yang dapat memanjang dan memendek. Kaki ini tersusun dari jaringan otot yang menuju ke berbagai arah, sehingga merupakan alat gerak pada masa muda tiram mutiara sebelum tiram mutiara hidup menetap dan menempel pada substrat. Mantel merupakan jaringan yang dilindungi oleh sel-sel epithelium dan dapat membungkus organ tubuh bagian dalam. Mantel terletak diantara cangkang bagian dalam atau epithelium luar dan organ dalam atau visceral mass (Sutaman, 1993). Sedangkan organ dalam pada tiram mutiara letaknya tersembunyi karena terlindungi oleh mantel dan merupakan pusat aktivitas kehidupan yang terdiri dari mulut, lambung, usus, anus, insang, jantung, susunan syaraf, alat reproduksi dan otot (Sutaman 1993). Secara anatomis tubuh tiram mutiara dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini :
Gambar 4. Anatomi tiram mutiara (Pinctada maxima) (Sumber : Sutaman 1993)
12
2.3.3 Reproduksi Tiram mutiara (Pinctada maxima) biasanya memiliki kelamin yang terpisah, kecuali dalam beberapa kasus ada yang hermaprodit (Harramain 2008). Winanto (1992) berpendapat bahwa tiram mutiara dapat berubah kelamin, dalam hal ini Pinctada maxima bersifat protandrous hermaphrodite pada umumnya di awal kehidupannya tumbuh sebagai individu jantan dan selanjutnya kelamin betina
mulai keluar seiring pertumbuhannya.
Salah
satu faktor
yang
mempengaruhi perubahan kelamin tersebut adalah jumlah makanan yang tersedia dalam tubuhnya, apabila persediaan makan cukup tinggi maka individu akan menjadi betina dan sebaliknya (Sintawati 1989 dalam Harramain 2008). Pembuahan pada tiram mutiara terjadi secara eksternal. Dalam proses pemijahan tiram mutiara, induk jantan selalu mengeluarkan sel sperma lebih dulu dan selanjutnya akan merangsang induk betina mengeluarkan sel telur, kurang lebih 45 menit kemudian (Saoruddin 2004). Telur yang dikeluarkan oleh individu betina dibuahi oleh gamet jantan di dalam air. Telur-telur ini menempel pada lipatan mantel induknya dan kemudian dibuahi oleh sperma yang ada didekatnya (Setyobudiandi 1989 dalam Harramain 2008).
2.3.4 Habitat Hampir di seluruh perairan laut Indo-Pasifik bahkan hingga ke perairan Indo-Australia memiliki ekosistem yang cocok sebagai habitat tiram mutiara. Menurut Sutaman (1993) dan Martin (2004) tiram mutiara jenis Pinctada sp. yang banyak dijumpai di berbagai negara seperti Filipina, Thailand, Birma, Australia dan perairan Indonesia, sebenarnya lebih menyukai hidup di daerah terumbu karang atau dasar perairan yang berpasir. Dalam konteks budidaya tiram mutiara, daerah yang terlindung dari gelombang dan arus yang kuat serta mempunyai kondisi iklim yang hampir stabil sepanjang tahun sangat cocok untuk pembudidayaan. Tiram mutiara dalam pertumbuhannya sangat bergantung pada temperatur air, salinitas, makanan yang cukup dan kandungan parameter kimia dalam air laut. Pada musim panas, dimana suhu air naik, tiram mutiara dapat tumbuh secara
13
maksimal. Namun jika suhu dan salinitas sepanjang tahun stabil dengan kondisi lingkungan yang ideal, maka pertumbuhan pun akan stabil pula, dengan pertambahan bisa mencapai 1 cm per bulan (Sutaman 1993).
2.3.5 Manfaat Tujuan utama dari pembudidayaan tiram mutiara tentu saja untuk mengambil mutiara dari dalam tubuh tiram mutiara. Menurut Sutaman (1993), mutiara yang terbentuk dalam tubuh tiram diakibatkan oleh adanya respon dari tiram untuk menolak kesakitan dari benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya. Seperti kebanyakan hewan lain , tiram mutiara pun dalam kehidupannya tidak lepas dari serangan hewan maupun benda lain yang masuk ke dalam tubuhnya seperti cacing ataupun pasir yang biasa masuk bersamaan dengan makanan yang diserap. Namun satu kelebihan dari tiram adalah bahwa benda asing yang melukai tubuhnya akan segera dilindungi dan dilapisi oleh mantel yang berbentuk nacre secara konsentris. Secara alami dengan bertambahnya waktu benda asing tersebut terus dilapisi nacre sehingga membentuk butiran dengan cahaya berkilauan. Inilah mutiara alam yang merupakan manfaat utama dari tiram, mutiara ini sangat dikagumi dan dianggap sebagai batu permata yang mahal harganya. Menurut Harramain (2008), selain sebagai perhiasan mutiara juga dimanfaatkan sebagai bahan dasar kosmetik, bahan industri farmasi dan pembuatan tekstil. Bahkan dari cangkang tiram dapat dimanfaatkan untuk industri kerajinan.
2.3.6 Penyebaran Tiram Mutiara di Indonesia Indonesia banyak memiliki teluk-teluk dan pulau-pulau yang terlindung dari hempasan ombak besar yang cocok unutk lokasi pengembangan budi daya laut terutama tiram mutiara. Dengan kondisi iklim yang stabil hampir sepanjang tahun dan kondisi alamnya yang tidak banyak mengalami perubahan sepanjang tahun, jenis tiram mutiara sebagai penghasil mutiara yang diproduksi di Indonesia merupakan salah satu jenis yang paling unggul dibandingkan negara lain. Beberapa daerah di Indonesia yang karakteristiknya sangat mendukung untuk
14
pengembangan usaha budi daya tiram mutiara, yaitu di Nusa Tenggara Barat, Halmahera, Lampung, Maluku Utara, Maluku Tenggara, dan Sulawesi Tenggara (Ambarjaya 2008). Dengan prospek di bidang budi daya tiram mutiara yang cukup cerah, dahulu kegiatan ini yang awalnya hanya bergantung pada hasil alam melalui penyelaman di daerah yang banyak terdapat kerang mutiara kini dengan semakin terlihatnya prospek dalam bidang ini sehingga penyebaran industri untuk budi daya tiram mutiara semakin meluas hampir ke seluruh Indonesia dan tidak hanya terbatas pada daerah yang merupakan habitat asli tiram mutiara tersebut.
2.3.7 Lokasi Budidaya Tiram Mutiara Untuk meningkatakan produksi tiram mutiara bisa dilakukan dengan cara budidaya. Keberhasilan budidaya tiram mutiara ditentukan oleh kondisi perairannya yang sesuai dengan persyaratannya untuk budidaya. Oleh karena itu, harus cermat dalam menentukan lokasi budidaya, hal ini dapat dilakukan melalui survei, baik dari segi teknis, lingkungan maupun sosial. Syarifudin (1996) mengatakan bahwa kualitas perairan dalam kegiatan budidaya cenderung bersifat given yaitu disediakan oleh alam. Kondisi perairan yang seperti ini relatif sulit untuk dikendalikan. Meskipun demikian, terdapat parameter kualitas air yang dapat direkayasa agar lebih sesuai untuk kehidupan larva, seperti oksigen dan temperatur. Akan tetapi, parameter tertentu, seperti salinitas, sulit direkayasa karena merupakan limpahan air tawar dari daratan. Kalaupun bisa dimanipulasi agar sesuai dengan kebutuhan hidup larva tiram mutiara, biaya operasional akan membengkak. Oleh karena itu, menurut BBL Lombok (2006) lokasi yang tepat untuk berdirinya hatchery budidaya tiram mutiara adalah wilayah pesisir dengan karakteristik asal sebagai berikut : 1. Terdapat induk dan spat kerang mutiara dari alam, 2. Jauh dari sumber banjir dan muara sungai yang masih aktif, 3. Terlindung dari gelombang dan arus yang kuat, 4. Jauh dari sumber sampah, 5. Terhindar dari potensi cemaran minyak
15
6. Hindari dasar perairan yang berlumpur dan bau. Lebih ideal apabila dasar perairan berbatu karang. 7. Memiliki kisaran suhu 27 – 32 ºC, salinitas 32 – 35 ppt, pH 7,8 – 8,6 , kecerahan 4,5 – 6,5 m 8. Lokasi yang terproteksi dan terlihat. Untuk menghindari bahaya pencurian, 9. Akses menuju lokasi mudah dilalui alat transportasi, seperti kendaraan roda empat, roda dua, dan perahu. Hal ini juga untuk mempermudah distribusi hasil panen.
2.4 Parameter yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tiram Mutiara Baku mutu air laut untuk biota laut sudah ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 (Lampiran 1). Untuk parameter yang mempengaruhi pertumbuhan tiram mutiara adalah sebagai berikut:
2.4.1 Kepadatan Fitoplankton Plankton merupakan organisme pelagik yang mengapung atau bergerak mengikuti arus (Bal dan Rao 1984 dalam Kangkan 2006), terdiri atas dua tipe yakni fitoplankton dan zooplankton. Plankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem laut, karena menjadi bahan makanan bagi berbaagai jenis hewat laut (Nontji 1993). Fitoplankton hanya dapat hidup di tempat yang mempunyai sinar yang cukup, sehingga fitoplankton hanya dijumpai pada lapisan permukaan air atau daerah-daerah yang kaya akan nutrien (Hutabarat dan Evans 1995 dalam Kangkan 2006). Ketersediaan fitoplankton pada suatu lokasi budidaya tiram mutiara merupakan suatu variable yang dianggap penting sebagai syarat utama, karena merupakan sumber pakan utama bagi tiram mutiara (Kangkan 2006). Tiram mutira yang tergolong sebagai binatang filter feeder hanya mengandalkan makanan dengan menyerap plankton dari perairan sekitar, sehingga ketersediaan pakan alami memegang peranan penting. Disamping sebagai pakan alami, fitoplankton mempunyai peran lain yakni berfungsi sebagai penyangga kualitas
16
air (Sutaman 1993). Menurut Basmi (2000), kepadatan fitoplankton yang baik dalam suatu lokasi budidaya yaitu berkisar antara 15.000 sampai 5 x 105 sel.l-1.
2.4.2 Suhu Suhu di laut adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu sangat mempengaruhi proses metabolisme dari organisme tersebut (Hutabarat dan Evans 1986). Kenaikan suhu meningkatkan kecepatan
metabolisme
dan
respirasi
organisme
air,
dan
selanjutnya
mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga bila suhu meningkat maka kadar oksigen semakin menurun (Effendi 2003). Perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat organisme akuatik, karena itu setiap organisme akuatik mempunyai batas kisaran maksimum dan minimum (Effendi 2003). Tiram mutiara akan mengalami pertumbuhan terbaiknya pada daerah yang memiliki iklim tropis karena memiliki perairan yang hangat sepanjang tahun (Harramain 2008). Suhu yang baik untuk bubidaya tiram mutiara berkisar antara 26 - 30 ºC (Wiradisastra, U.S. dkk 2004)
2.4.3 Salinitas Salinitas merupakan konsentrasi dari total ion yang terdapat di perairan. Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide telah digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi 2003). Menurut Brotowidjoyo dkk. (1995) dalam Kangkan (2006), salinitas air laut berkisar antara 30 – 36 ‰. Salinitas menimbulkan tekanan osmotik. Pada umumnya kandungan garam dalam sel-sel biota laut cenderung mendekati kandungan garam dalam kebanyakan air laut. Kalau sel itu berada di lingkungan dengan salinitas lain maka suatu mekanisme osmoregulasi diperlukan untuk menjaga keseimbangan kepekatan antara cairan sel dan lingkungannya (Romimohtarto 2003). Tiram mutiara sangat toleran terhadap perubahan salinitas, karena hewan ini termasuk Euryhaline artinya dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar, mampu bertahan
17
hidup pada salinitas antara 24-50 ‰, tetapi pada salinitas di bawah 14 ‰ ataupun di atas 55 ‰ dapat menyebabkan kematian tiram mutiara secara massal (Sutaman 1993). Untuk dapat tumbuh dan berkembang secara baik, tiram mutiara membutuhkan perairan dengan kisaran salinitas diantara 32 - 35 ‰ (Sutaman 1993). Salinitas juga mempengaruhi kualitas mutiara yang akan terbentuk di dalam tubuh kerang mutiara, kadar salinitas yang tinggi dapat menyebabkan mutiara yang dihasilkan berwarna keemasan.
2.4.4 Kecepatan Arus Arus merupakan proses pergerakan massa air laut menuju keseimbangan yang dapat menyebabkan perpindahan air secara vertikal dan horizontal secara terus menerus (Wyrtki 1961 dalam Andre 2007). Adanya arus di laut disebabkan oleh perbedaan densitas massa air laut, tiupan angin terus menerus di atas permukaan laut dan pasang-surut terutama di daerah pantai (Satriadi dan Widada 2004 dalam Kangkan 2006). Arus mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi kehidupan biota perairan. Tiram mutiara yang dibudidayakan sangat cocok pada lokasi yang terlindung dari pengaruh angin dan arus yang kuat serta pasang surut yang terjadi dapat menggantikan massa air secara total dan teratur untuk menjamin ketersediaan oksigen terlarut dan plankton (Sutaman 1993). Amplitudo pasang surut dan arus harus sesuai agar terjadi pembekalan oksigen yang cukup serta adanya pasokan alami berupa plankton dan dapat membuang bahan-bahan yang tidak bermanfaat. Pada arus yang kuat, biasanya pembentukan lapisan mutiara lebih cepat terjadi, namun kualitas mutiara yang dihasilkan kurang baik atau kasar (Harramain 2008). Kecepatan arus yang optimal untuk budidaya tiram mutiara berkisar antara 15 - 25 cm.detik-1 (DKP 2002).
2.4.5 Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan. Nilai kecerahan dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan
18
tersuspensi (Effendi 2003). Semakin cerah perairan tersebut, maka semakin dalam cahaya matahari yang menembus perairan tersebut dan sebaliknya. Untuk keperluan budidaya tiram mutiara sebaiknya dipilih lokasi yang mempunyai kecerahan antara 4,5 – 6,5 meter, sehingga kedalaman pemeliharaan bisa diusahakan antara 6 – 7 m. Sebab biasanya tiram yang dibudidayakan diletakkan di bawah kedalaman atau kecerahan rata-rata (Sutaman 1993).
2.4.6 Kedalaman Pertumbuhan tiram mutiara, sangat tergantung pada suhu perairan, salinitas, jumlah makanan alami dan presentase unsur kimia. Fungsi dari kedalaman sangat berpengaruh pada faktor-faktor tersebut, pada kedalaman yang berbeda nilai-nilai dari faktor tersebut berbeda pula, untuk keperluan itulah diperlukan pemilihan kedalaman yang tepat untuk pertumbuhan dan kehidupan tiram mutiara. Menurut Sutaman (1993), kedalaman yang cocok untuk budidaya tiram mutiara ialah berkisar antara 15 – 20 meter. Pada kedalaman ini pertumbuhan tiram mutiara akan lebih baik. Kedalaman perairan di lokasi budidaya juga mempengaruhi terhadap kualitas mutiara yang dihasilkan.
2.4.7 Derajat Keasaman (pH) Nilai pH adalah tingkat keasaman suatu benda. Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami menunjukkan terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat mengganggu kehidupan organisme laut (Andre 2007). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH. Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah (Effendi 2003). Nilai pH, biasanya dipengaruhi oleh laju fotosintesis, buangan industri serta limbah rumah tangga (Sastrawijaya 2000 dalam Kangkan 2006). Kisaran nilai pH yang optimum untuk lokasi budidaya tiram mutiara adalah 7,8 – 8,6 (Harramain 2008 ; Sujoko 2010).
19
2.4.8 Dissolved Oxygen (DO) Sumber utama oksigen terlarut adalah difusi dari udara dan hasil fotosintesis organisme yang mempunyai klorofil yang hidup di perairan. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi banyak faktor, yaitu suhu, salinitas, pergerakan air di permukaan, luas daerah permukaan perairan yang terbuka (Muhajir dkk. 2004). Tiap organisme akuatik mempunyai toleransi yang bervariasi terhadap kadar oksigen terlarut di perairan. Spesies yang mempunyai toleransi kisaran yang besar hanya terdapat di tempat tempat tertentu. Kebutuhan hewan akuatik akan oksigen terlarut bervariasi tergantung kepada jenis, stadia dan aktifitas organisme itu sendiri (Odum 1993 dalam Andre 2007). Oksigen terlarut juga bisa dijadikan sebagai indikator pencemaran suatu perairan, apabila kadar oksigen terlarut sangat rendah dari batas bawah yang dibutuhkan biota air maka perairan itu sudah tercemar. Perairan yang digunakan untuk kegiatan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut sebesar 5 mg.l-1, kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg.l-1 menimbulkan efek yang merugikan bagi semua biota air (Effendi 2003). Oksigen bagi kehidupan tiram mutiara diperlukan terutama untuk kegiatan respirasi. Respirasi mendukung proses metabolisme tiram mutiara sehingga kandungan oksigen terlarut dalam perairan sangat diperlukan bagi kelangsungan proses pertumbuhannya. Menurut Sujoko (2010) faktor yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan dalam pemeliharaan tiram mutiara adalah oksigen terlarut berkisar antara 4,9 – 6 mg.l-1.
2.4.9 Nitrat Senyawa nitrogen dalam air laut terdapat dalam tiga bentuk utama yang berada dalam keseimbangan yaitu amoniak, nitrit dan nitrat (Kangkan 2006). Nitrat merupakan nutrien yang diperlukan bagi tumbuhan air terutama fitoplankton. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkam dari oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003).
Senyawa ini dapat berasal dari limbah domestik sisa tanaman, senyawa organik ataupun limbah industri. Tersedianya nitrogen dalam bentuk nitrat secara
20
garis besar merupakan siklus dari aktivitas organisme dan masuknya air sungai dan juga air hujan, dalam hal ini nitrogen merupakan faktor pembatas bagi organisme sebab nitgrogen sebelum dimanfaatkan harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi amonia, direduksi menjadi ammonium dan terbentuk nitrat, dan baru pada tahap nitrat ini dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan dan hewan untuk pertumbuhan (Susanti 2001). Menurut Sujoko (2010), air laut yang berkualitas untuk budidaya tiram mutiara sebaiknya memilki kadar nitrat 0,252 – 0,664 mg.l-1.
2.4.10 Fosfat Dalam perairan fosfat berbentuk orthofosfat, organofosfat atau senyawa organik dalam bentuk protoplasma, dan polifosfat atau senyawa organik terlarut (Sastrawijaya 2000). Fosfat dalam bentuk larutan dikenal dengan orthofosfat dan merupakan bentuk fosfat yang digunakan oleh tumbuhan dan fitoplankton. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan rantai makanan diperairan orthofosfat terlarut sangat penting (Boyd 1981 dalam Kangkan 2006). Kandungan fosfat yang lebih tinggi dari batas toleransi dapat berakibat terhambatnya pertumbuhan tiram mutiara. Dalam suatu perairan untuk lokasi budidaya tiram mutiara sebaiknya memiliki kandungan fosfat antara 0,2 – 0,5 mg.l-1 (Romimohtarto 2003)
2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG) Menurut Zainuddin (2006) sistem informasi geografis adalah alat dengan sistem komputer yang digunakan untuk memetakan kondisi dan peristiwa yang terjadi di muka bumi. SIG memiliki kemampuan menghubungkan berbagai lapisan data di suatu titik yang sama pada tempat tertentu, mengkombinasikan, menganalisis data tersebut dan memetakan hasilnya. Berbagai bentuk analisis spasial bisa dilakukan dengan SIG, termasuk wilayah pesisir. Perencanaan spasial di wilayah pesisir lebih kompleks dibanding di daratan, karena (Dahuri 1997 dalam Andre 2007) 1. Perencanaan didaerah pesisir harus mengikutsertakan semua aspek yang berkaitan dengan daratan dan lautan.
21
2. Aspek daratan dan lautan tersebut tidak dapat dipisahkan secara fisik oleh garis pantai. 3. Bentang alam wilayah pesisir berubah secara cepat bila dibandingkan wilayah daratan. Data masukan SIG dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu (Andre 2007) : 1. Data lapangan, data ini diperoleh langsung dari pengukuran di lapangan, seperti suhu, salinitas dan sebagainya. 2. Data peta, informasi yang tersaji dalam peta kertas atau film, yang dikonversikan dalam bentuk digital. 3. Data citra penginderaan jauh, citra penginderaan jauh yang berupa foto udara dapat diinterpretasikan terlebih dulu sebelum dikonversi ke bentuk digital. Evaluasi lahan adalah suatu proses pendugaan potensi lahan yang telah dipertimbangkan
menurut
kegunaannya
dan
membandingkan
serta
menginterpretasikan serangkaian data. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui kondisi lahan berdasarkan parameter parameter tertentu. Proses penilaiannya menggunakan sistem bobot dan skoring berdasarkan kepentingan terhadap suksesnya kegiatan budidaya (Arief dkk. 2006). SIG bisa digunakan untuk analisis evaluasi lahan. Untuk mendapatkan zonasi kesesuian untuk budidaya tiram mutiara, secara umum pemrosesan data bisa dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu : persiapan data, overlay, matching dan scoring (Suryanto dkk. 2005). Dari zonasi kesesuaian untuk budidaya tiram mutiara bisa dihasilkan peta kesesuaian untuk lokasi budidaya tiram mutiara, peta bisa memberikan gambaran yang jelas tentang lokasi tersebut dan batas wilayah yang sesuai untuk lokasi budidaya.