BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Belajar
2.1.1
Hakikat Belajar Menurut Moh. Surya (Uno & Mohamad, 2012: 139) belajar dapat diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap baru Crow & Crow (Uno & Mohamad, 2012: 139). Selain itu, definisi belajar menurut Cronbach (Thobroni, 2015: 19) “Learning is shown by a change in behavior as result of experience”. Belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan belajar merupakan perubahan tingkah laku yang terbentuk karena pengalaman maupun ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Pengalaman tersebut diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya maupun melalui ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
2.1.2 Pembelajaran Menurut Gagne dan Briggs (Uno & Mohamad, 2012: 144) mengatakan bahwa: “Instruction atau pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal.” Definisi pembelajaran menurut Rombepajung (Thobroni, 2015: 17) adalah pemerolehan suatu mata pelajaran atau pemerolehan suatu keterampilan melalui pelajaran, pengalaman, atau pengajaran. Selain itu, Zainal Aqib (2013: 66) juga berpendapat bahwa proses belajar mengajar (pembelajaran) adalah upaya secara sistematis yang dilakukan guru untuk mewujudkan proses pembelajaran berjalan secara efektif dan efisien yang 5
6
dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses yang dilaksanakan individu guna memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. 2.1.3
Hasil Belajar Hasil belajar adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor (Susanto, 2015: 5). Menurut Suprijono, 2009 (Thobroni, 2015: 20) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Selain itu, hasil belajar menurut Abin Syamsuddin Makmum, 1995 (Taufiq, dkk, 2011: 5.20-5.21) mengemukakan 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa di sekolah yaitu; faktor input, faktor proses, dan faktor output. Faktor input (masukan) meliputi: (1) raw input (masukan dasar) yang menggambarkan kondisi individual anak dengan segala karakteristik fisik dan psikis yang dimilikinya; (2) instrumental input (masukan instrumental) yang mencakup guru, kurikulum, materi dan metode, sarana dan fasilitas; (3) environmental input (masukan lingkungan) yang mencakup lingkungan fisik, geografis, sosial, dan lingkungan budaya. Faktor proses menggambarkan bagaimana ketiga jenis input tersebut saling berinteraksi satu sama lain terhadap aktivitas belajar anak. Faktor output adalah perubahan tingkah laku yang diharapkan terjadi pada anak setelah anak melakukan aktivitas belajar. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan hasil belajar adalah usaha yang telah dilakukan oleh siswa secara sadar untuk mengembangkan dan mengubah perilaku dan pribadi dimana siswa mengembangkan gagasan, sikap, pengetahuan, apresiasi dan keterampilan setelah siswa melakukan aktivitas belajar.
7
2.2
Matematika
2.2.1
Hakikat Matematika Kata Matematika berasal dari Bahasa Yunani, mathein atau manthenein yang artinya mempelajari. Kata Matematika diduga erat hubungannya dengan kata Sangsekerta, medha atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan, atau intelegensia Sri Subarinah (Wahyudi & Budiono, 2012: 3) Menurut Soedjadi (Heruman, 2013: 1) matematika yaitu objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif. Selain itu, matematika menurut Marshall Walker (Sundayana, 2014: 3), yaitu “Mathematic maybe defined as the study of abstract structures and their interrelations”. Matematika adalah studi tentang struktur-struktur abstrak dengan berbagai hubungannya. Pengertian matematika menurut D. T. E Marjoram (1974: 9) “In school, of course, nearly all our mathematics has to be applied in the sense that, before any abstraction or generalization is possible, particular concrete starting points are necessary. Sometimes in the history of the subject, when a concrete situation has demanded analysis, it has been found that the required model has already been in existence as a piece of pure mathematics for years or even centuries.” “Di sekolah, tentu saja hampir semua matematika harus diterapkan dalam arti bahwa, sebelum memakai model abstraksi atau keseluruhan yang akan dilaksanakan, sebaiknya dimulai secara konkret terlebih dahulu karena hal itu sangat diperlukan. Dalam sejarah matematika, model tersebut sudah ditemukan selama bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad tahun yang lalu, karena ketika situasi konkret meminta untuk dianalisis model tersebut sudah ada sebagai bagian dari matematika murni.” Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur-struktur abstrak, konkret dan pola hubungan yang ada di dalamnya.
Dikatakan
konkret
karena
matematika
membutuhkan
pembuktian secara nyata bukan hanya angan-angan saja. Siswa membutuhkan media pembelajaran sebagai alat bantu mereka untuk
8
memahami materi pelajaran, media tersebut bisa dilihat, dipegang, dan dipraktikkan langsung di kelas. Sehingga saat siswa belajar di rumah, dapat mengulang pembelajaran yang telah diterima dari sekolah. Karena mengulang adalah salah satu hal yang paling penting dalam proses pembelajaran. 2.2.2
Hasil Belajar Matematika Slameto (Uno & Mohamad, 2012: 139-140) mengatakan bahwa “belajar merupakan suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Hasil belajar menurut Nawawi (Susanto, 2015: 5) menyatakan bahwa hasil belajar dapat diartikan sebagi tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, yang dimaksud hasil belajar matematika adalah perubahan tingkah laku dalam diri siswa, yang diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan, tingkah laku, sikap dan keterampilan setelah mempelajari matematika, dengan maksud terjadinya peningkatan dan pengembangan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
2.2.3 Pembelajaran Matematika di SD Dalam pembelajaran Matematika di SD, agar bahan pengajaran yang disampaikan lebih mudah dipahami oleh siswa, diperlukan alat bantu pembelajaran yang disebut media. Menurut (Muhsetyo, dkk, 2011) media adalah alat bantu pembelajaran yang secara sengaja dan terencana disiapkan atau disediakan guru untuk mempresentasikan atau menjelaskan bahan pelajaran, serta digunakan siswa untuk dapat terlibat langsung dengan pembelajaran matematika. Peralatan yang digunakan dalam kelas dapat digunakan untuk mengerjakan suatu tugas, tempat menulis pelajaran, membuat grafik, menampilkan gambar atau tabel, memberikan penjelasan,
9
mengamati dan mempelajari hasil perhitungan, menyelidiki suatu pola, dan berlatih soal-soal. Media dalam pembelajaran matematika relatif sama dengan media dalam pembelajaran bidang yang lain, yaitu dapat dikelompokkan berupa media: (1) sederhana, misalnya papan tulis, papan grafik, (2) cetak, misalnya LKS (Lembar Kerja Siswa), petunjuk praktikum, dan modul (3) media elektronik, misalnya LCD (Liquid Crystal Display), audio (radio dan tape), audio & video (TV, VCD, dan DVD), computer, internet, serta kalkulator. Pengelompokkan di atas dapat saja diganti berdasarkan alasan tertentu, misalnya media sederhana dan media modern (berbasis elektronik), media cetak dan non-cetak, media proyeksi dan media nonproyeksi. Oleh sebab itu, guru harus selektif dalam menentukan media pembelajaran. Beberapa kriteria utama dalam memilih media adalah kecocokan dengan materi pelajaran, ketersediaan alat dan pendukungnya, kemampuan
financial
untuk
pengadaan
dan
operasional,
dan
kemampuan/keterampilan menggunakan media dengan tepat dan benar. Masih bertolak dari kurikulum 2006, tujuan pembelajaran Matematika dirumuskan agar siswa dapat: a. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; b. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; c. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; d. mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperoleh keadaan atau masalah; dan e. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
10
mempelajari Matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. 2.3
Contextual Teaching and Learning (CTL)
2.3.1
Pengertian Model Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Nurhadi (Rusman, 2011), pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Sementara itu menurut Howey R, Keneth (Rusman, 2013) mendefinisikan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai berikut “Contextual teaching is teaching that enables learning in which students employ their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others.” Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif ataupun nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah satu bagian dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). Kesimpulan dari beberapa pengertian pembelajaran Contextual Teaching and Learning adalah suatu proses pembelajaran yang mengasyikkan dan bermakna, sehingga siswa dapat memusatkan perhatiannya secara penuh selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, dengan menerapkan PAKEM dalam pembelajaran, khusunya pada item menyenangkan, maka diharapkan tercipta perasaan senang, nyaman dan tidak bosan selama mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut sehingga materi atau informasi dari guru dapat dengan mudah diterima atau dipahami oleh siswa.
11
2.3.2
Keunggulan dan Kelemahan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Suyadi (2013: 95-96) keunggulan dan kelemahan model Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai berikut: 1. Keunggulan model Contextual Teaching and Learning (CTL) a. pembelajaran kontekstual dapat mendorong peserta didik menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menggali, berdiskusi, berpikir kritis, dan memecahkan masalah nyata yang dihadapinya dengan cara bersama-sama; b. pembelajaran kontekstual mampu mendorong peserta didik untuk menerapkan hasil belajarnya dalam kehidupan nyata, sehingga dengan memahami materi pelajaran itu dapat mewarnai tingkah laku (karakter/akhlak) dalam kehidupan mereka sehari-hari; c. pembelajaran kontekstual menekankan pada proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan materi, oleh sebab itu proses belajar dalam konteks (CTL) tidak mengharapkan peserta didik hanya menerima materi pelajaran, melainkan dengan cara proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. 2. Kelemahan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) a. (CTL) membutuhkan waktu yang lama bagi peserta didik untuk bisa memahami semua materi; b. guru lebih intensif dalam membimbing, karena dalam model (CTL) guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi; dan c. upaya untuk menghubungkan antara materi di kelas dengan realitas di dalam kehidupan sehari-hari peserta didik rentan kesalahan. Atas dasar ini, agar menemukan hubungan yang tepat, sering kali peserta didik harus mengalami kegagalan berulang kali.
2.3.3
Langkah-Langkah Model Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Rusman (2011: 192) langkah-langkah (CTL) sebagai berikut:
12
1) mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya; 2) melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan; 3) mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan; 4) menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok, berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya; 5) menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya; 6) membiasakan siswa untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan; dan 7) melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada siswa. 2.3.4
Prinsip Model Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Rusman (2011: 193-199) ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru yaitu: 1) Konstruktivisme (Constructivism) Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam (CTL), yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Manusia harus
membangun
pengetahuan
itu
memberi
makna
melalui
pengalaman yang nyata. Oleh karena itu, dalam (CTL), strategi untuk membelajarkan siswa menghubungkan antara setiap konsep dengan kenyataan merupakan unsur yang diutamakan dibandingkan dengan penekanan terhadap seberapa banyak pengetahuan yang harus diingat oleh siswa.
13
2) Menemukan (Inquiry) Menemukan, merupakan kegiatan inti (CTL), melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan sendiri. 3) Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu, bertanya merupakan strategi utama dalam (CTL). Penerapan unsur bertanya dalam (CTL) harus difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa bertanya atau kemampuan guru dalam menggunakan
pertanyaan
yang
baik
akan
mendorong
pada
peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran. 4) Masyarakat Belajar (Learning Community) Maksud dari masyarakat belajar adalah membiasakan siswa untuk melakukan kerja sama dan memanfaatkan sumber belajar dari temanteman belajarnya. Seperti disarankan dalam learning community, bahwa hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerja sama dengan orang lain melalui berbagi pengalaman (sharing). Melalui sharing ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan menerima, sifat ketergantungan yang positif dalam learning community dikembangkan. 5) Pemodelan (Modeling) Perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
rumitnya
permasalahan hidup yang dihadapi serta tuntutan siswa yang semakin berkembang dan beranekaragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang memiliki kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, tahap pembuatan model dapat dijadikan alternatif untuk mengembangkan pembelajaran agar siswa bisa memenuhi harapan siswa secara menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh para guru.
14
6) Refleksi (Reflection) Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja dipelajari. Melalui model (CTL), pengalaman belajar bukan hanya terjadi dan dimiliki ketika seorang siswa berada di dalam kelas, akan tetapi jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut ke luar dari kelas, yaitu pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan memecahkan permasalahan nyata yang dihadapi sehari-hari. 7) Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment) Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan penilaian. Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. 2.4
Media Cuisenaire Rods Media Cuisenaire Rods adalah salah satu media pembelajaran berupa balok kayu atau bisa menggunakan kertas terdiri dari 10 warna yang mampu menjembatani anak tentang pemahaman konsep pecahan secara nyata. Menurut (Sundayana, 2013: 6) media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi dan digunakan untuk pesan pembelajaran. Pembelajaran adalah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar, dan bahan ajar. Bentuk-bentuk stimulus dapat dipergunakan sebagai media, diantaranya adalah hubungan atau interaksi manusia, realitas, gambar bergerak atau tidak, tulisan dan suara yang direkam. Menurut Sudono (Prihatini & Christina, 2013) bahwa media balok Cuisenaire banyak digunakan dalam proses pembelajaran mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Dasar, alat ini sangat membantu anak dan besar manfaatnya. Salah satu manfaat media adalah menarik minat belajar anak. Sedangkan menurut Sudjana dan Rivai (Prihatini & Christina, 2013) manfaat media antara lain siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan
15
uraian guru. Adapun gambar media Cuisenaire Rods disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Media Cuisenaire Rods 2.5
Penerapan Model (CTL) dengan Media Cuisenaire Rods Penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan memanfaatkan media Cuisenaire Rods pada pembelajaran Matematika, dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) menyiapkan media Cuisenaire Rods untuk mengembangkan pemikiran siswa agar dapat membangun pengetahuan sendiri (konstruktivisme); 2) membimbing siswa melakukan kegiatan pengamatan (menemukan); 3) melakukan kegiatan tanya jawab untuk mengembangkan sifat ingin tahu siswa (bertanya); 4) mengelompokkan siswa secara heterogen dan membimbing siswa dalam diskusi (masyarakat belajar); 5) membimbing siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya (pemodelan); 6) melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dipelajari (refleksi); dan 7) memberikan penilaian proses dan hasil pembelajaran (penilaian autentik).
16
2.6
Penelitian Tindakan Kelas Penelitian ini termasuk jenis Penelitian Tindakan Kelas (action research). Penelitian Tindakan Kelas adalah penelitian praktis yang dimaksudkan untuk memperbaiki pembelajaran di kelas. Penelitian ini merupakan salah satu upaya guru atau praktisi dalam bentuk berbagai kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan mutu pembelajaran di kelas (Slameto, 2015). Penelitian ini akan dilaksanakan dua siklus berdasarkan pada teori Hopkins (1993) dimana dapat dilihat seperti bentuk spiral yang mengaitkan perencanaan, tindakan dan observasi serta refleksi. Adapun gambar spiral Penelitian Tindakan Kelas disajikan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Spiral Penelitian Tindakan Kelas (adapatsi dari Hopkins, 1993) 2.7
Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Galih Candra Irawan (2014) yang berjudul Peningkatan Hasil Belajar Matematika melalui Pendekatan Kontekstual (CTL) pada Siswa Kelas 4 SD Jatiharjo Kecamatan Pulokulon Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2013/2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar Matematika meningkat setelah diterapkannya
pembelajaran
Contextual
Teaching
and
Learning.
Peningkatan hasil belajar siswa yaitu pada pra siklus siswa yang tuntas 14 siswa (61%), pada siklus I siswa yang tuntas 18 siswa (78%), sedangkan
17
pada siklus II, semua siswa yang terdiri dari 23 siswa sudah memenuhi KKM (60) atau dapat dikatakan tuntas 100%. Yessy Pandanwangi (2014) dalam penelitian skripsi yang berjudul Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika dengan Metode Pemberian Reward melalui model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) pada Siswa Kelas III Semester II Tahun 2012/2013 di Sekolah Dasar Negeri Tlogodalem Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah terjadi peningkatan pemahaman ditandai dengan ketuntasan hasil belajar. Peningkatan pemahaman belajar siswa tersebut terjadi secara bertahap, dimana pada pra siklus hanya terdapat 14 siswa (35%) yang telah tuntas dalam belajarnya, pada siklus I melalui 2 pertemuan ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 24 siswa (60%) yang telah tuntas, dan pada siklus II ketuntasan belajar siswa menjadi 38 siswa (95%). 2.8
Kerangka Berpikir Pada kondisi awal pembelajaran di kelas IV SD Negeri Dukuh 03 Salatiga masih tergolong pembelajaran konvensional, di mana peran guru dalam pembelajaran sangat kuat, kurangnya interaksi antara guru dengan siswa dan interaksi antara siswa dengan siswa sehingga menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika siswa. Berdasarakan hasil observasi yang dilakukan, terdapat siswa yang kurang antusias untuk mengikuti pelajaran. Ketika guru memberi contoh soal banyak siswa yang pasif dan hanya beberapa siswa saja yang berani untuk mengerjakan ke depan tanpa ditunjuk oleh guru, banyak di antara mereka yang disuruh untuk maju selalu menggelengkan kepala dan sebagian besar siswa masih banyak salah dalam mengerjakan soal latihan. Hal tersebut disebabkan karena guru kurang optimal dalam memanfaatkan model pembelajaran dan penggunaan media sebagai sarana penunjang proses belajar mengajar. Pemilihan model pembelajaran dan media yang tepat, dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
18
Berdasarkan beberapa kendala dalam proses belajar mengajar yang penulis amati, maka untuk meningkatkan hasil belajar matematika, peneliti menggunakan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan media Cuisenaire Rods. Model Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan model pembelajaran yang dapat mendidik siswa berpikir secara sistematis, maupun mencari jalan keluar dari suatu masalah yang dihadapi, dan dapat belajar menganalisis suatu masalah. Selain itu, pembelajaran ini juga mengaitkan materi dengan dunia nyata kehidupan siswa, sehingga akan terasa manfaat dari materi yang disajikan, motivasi belajar muncul, dan dunia pikiran siswa menjadi konkret. Tindakan lain yang dilakukan untuk menunjang pembelajaran matematika, penulis juga memanfaatkan media Cuisenaire Rods untuk membantu siswa dalam mendalami materi. Cuisenaire Rods adalah salah satu media pembelajaran berupa balok kayu atau bisa menggunakan kertas terdiri dari 10 warna yang mampu menjembatani anak tentang pemahaman konsep pecahan secara nyata. Kondisi akhir yang diharapkan melalui model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan menggunakan media Cuisenaire Rods dalam proses belajar mengajar adalah dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Adapun skema kerangka berpikir dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.3. KONDISI AWAL
TINDAKAN
Guru belum menerapkan model Contextual Teaching and Learning melalui media Cuisenaire Rods. Menerapkan model Contextual Teaching and Learning.
Iklim pembelajaran di kelas kurang menyenangkan
Siklus I Menerapkan CTL pada pembelajaran Siklus II Menerapkan CTL pada pembelajaran
KONDISI AKHIR
Iklim pembelajaran di kelas menjadi menyenangkan.
Hasil belajar siswa masih di bawah KKM yang telah ditentukan yaitu ≥64. Hasil belajar mengalami kenaikan.
Diduga melalui penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran matematika pada kelas IV SD N Dukuh 03 Salatiga.
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berpikir
19
2.9
Hipotesis Tindakan Berdasarkan uraian dan kajian teori di atas, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya peningkatan hasil belajar matematika melalui penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan media Cuisenaire Rods pada siswa kelas IV SD Negeri Dukuh 03 Salatiga.