8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisi apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial dan epistimologis yang panjang (Mulyana, 2003: 9). Menurut Guba dan Lincoln, paradigma adalah seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama dalam menentukan pandangan tentang dunia dan menjelaskannya pada penganutnya tentang alam dunia. Sudut pandang ataupun cara pandang tidak pernah bersifat netral dan objektif. Oleh karena itu menurut Thomas Samuel Kuhn (1970) paradigma menentukan apa yang hanya ingin kita ketahui, yang ingin kita inginkan, hanya yang ingin kita lihat dan kita ketahui. Paradigma inilah yang sangat mempengaruhi pandangan seseorang dalam mengambil suatu tindakan atau sesuatu hal apapun. Misalnya ada dua orang yang dihadapkan pada suatu fenomena yang sama, kemungkinan kedua orang tersebut akan memberikan respon yang berbeda terhadap fenomena tersebut. Kedua orang tersebut juga akan menghasilkan penilaian, sikap, tindakan, bahkan pandangan yang berbeda pula. Perbedaan ini bisa terjadi karena kedua orang tersebut memiliki paradigma yang berbeda, yang secara otomatis mempengaruhi persepsi dan tindakan komunikasinya (Bungin, 2008: 237).
2.1.1
Paradigma Konstruktivisme Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu
realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk
8
Universitas Sumatera Utara
9
komunikasi yang dikembangkan oleh Jesse Delia dan rekan sejawatnya pada tahun 1970-an. Konstruktivisme ini lebih berkaitan dengan program penelitian dalam komunikasi antarpersona. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Realitas tidak menunjukkan diri dalam bentuk yang kasar tetapi harus disaring dulu melalui bagaimana seseorang itu melihat sesuatu (Morissan, 2009: 107). Von
Glasersfled
dalam
Bettencourt
(1989)
mengatakan
bahwa
konstruktivisme merupakan pengetahuan yang tidak terlepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi atau bentukan kita sendiri. Pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif. Subjek pengamat tidaklah kosong dan tidak mungkin tidak terlibat dalam tindakan pengamatan. Keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada benak subjek pengamat, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang diamati. Pada proses komunikasi pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Kontruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta dalam hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Konstruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisisasi dan bermakna (Ardianto & Qannes, 2007: 151).
Universitas Sumatera Utara
10
Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang ada sebelumnya yaitu konstruksi menyatakan
pribadi atau konstruksi personal oleh George Kelly. Ia
bahwa
orang
memahami
pengalamannya
dengan
cara
mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan berbagai hal melalui perbedaannya. Sistem kognitif terdiri atas sejumlah perbedaan. Perbedaan ini menjadi dasar penilaian ihwal sistem kognitif individual yang bersifat pribadi. Individu yang cerdas secara kognitif dapat membuat banyak perbedaan dalam satu situasi dibandingkan dengan orang yang lemah secara kognitif. Inilah yang disebut dengan diferensiasi kognitif dan diferensiasi ini mempengaruhi bagaimana pesan menjadi kompleks (Morissan, 2009: 107). Delia dan koleganya kemudian menegaskan hubungan antara kompleksitas kognitif dengan tujuan dari pesan. Pesan sederhana hanya memiliki satu tujuan sementara pesan kompleks memiliki banyak tujuan. Dalam komunikasi antar persona pesan-pesan sederhana berupaya mencapai keinginan satu pihak saja tanpa mempertimbangkan keinginan dari pihak lain. Sementara pesan kompleks dirancang untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Prinsip dasar konstruktivisme adalah bahwa tindakan ditentukan oleh konstruk diri sekaligus juga konstruk dari luar diri (Ardianto & Q-annes, 2007: 159). Paradigma konstruktivisme dipengaruhi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan perspektif struktural fungsional. Perspektif interaksionalisme simbolik mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Realitas
sosial
itu
memiliki
makna
manakala
realitas
sosial
tersebut
dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain.
2.1.2
Interaksionisme Simbolik Paham mengenai interaksi simbolik adalah suatu cara berpikir mengenai
pikiran (mind), diri dan masyarakat yang telah memberikan banyak konstribusi kepada tradisi sosiokultural dalam membangun teori komunikasi. Para pemikir dalam tradisi Interaksionisme Simbolik dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran
Universitas Sumatera Utara
11
Iowa dan aliran Chicago. Kalangan pemikir aliran Iowa banyak yang menganut tradisi epistimologi dan post-positivist sedangkan aliran Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan dari George Herbert Mead. George Herbert Mead dipandang sebagai pembangun paham interaksi simbolik ini. Ia mengajarkan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi di antara manusia baik secara verbal maupun non verbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan dan karenanya kita dapat memahami satu peristiwa dengan cara-cara tertentu. Menurut paham interaksi simbolik, individu berinteraksi dengan individu lainnya sehingga menghasilkan suatu ide tertentu mengenai diri yang berupaya menjawab siapakah anda sebagai manusia ? Manfort Kuhn menempatkan peran diri sebagai pusat kehidupan sosial. Diri merupakan hal yang sangat penting dalam interaksi. Orang memahami dan berhubungan dengan berbagai hal atau objek melalui interaksi sosial. Menurut Kuhn, komunikator melakukan percakapan dengan dirinya sendiri sebagai bagian dari proses interaksi. Dengan kata lain kita berbicara sendiri di dalam pikiran kita guna membuat perbedaan diantara benda-benda atau orang. Ketika seseorang membuat keputusan bagaimana bertingkah laku terhadap suatu objek sosial maka orang itu menciptakan apa yang disebut oleh Kuhn suatu rencana tindakan (a plan of action) yang dipandu dengan sikap atau pernyataan verbal yang menunjukkan nilai-nilai terhadap kemana tindakan itu akan diarahkan (Morissan & Wardhani, 2009: 75). Interaksi simbolik mendasarkan gagasannya atas enam hal yakni: 1. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan pengertian subjektifnya. 2. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial buakanlah struktur atau bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah. 3. Manusia memahami pengalamannya melalui makna dari simbol yang digunakan dilingkungan terdekatnya dan bahasa meruapakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial.
Universitas Sumatera Utara
12
4. Dunia terdiri atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial. 5. Manusia berdasarkan tindakannya atas interpretasi mereka dengan mempertimbangkan dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan yang relevan pada situasi saat itu. 6. Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial lainnya diri didefenisikan melalui interaksi sosial (Morissan & Wardhani, 2009: 143). Karya Mead yang paling terkenal yang berjudul Mind, Self, and Society, menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Hal pertama yang harus dicatat adalah bahwa tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) dimana kita hidup. Ketiga konsep tersebut memiliki aspekaspek yang berbeda namun berasal dari proses umum yang sama yang disebut tindakan sosial (social act) (Ardianto & Q-annes, 2007: 136). Kemampuan menggunakan simbol-simbol signifikan untuk menanggapi diri yang memungkinkan diri berpikir, inilah yang disebut Mead sebagai pikiran (mind). Pikiran bukanlah suatu benda, tetapi suatu proses yang tidak lebih dari kegiatan interaksi dengan diri anda. Kemampuan berinteraksi yang berkembang bersama-sama dengan diri adalah sangat penting bagi kehidupan manusia karena menjadi bagian dari setiap tindakan. Berpikir (minding) melibatkan keraguan ketika anda menginterpretasikan situasi. Disini, anda berpikir sepanjang situasi itu dan merencanakan tindakan ke depan. Anda membayangkan berbagai hasil, memilih alternatif dan menguji berbagai alternatif yang mungkin. Manusia memiliki simbol signifikan yang memungkinkan mereka menamakan objek. Kita selalu memberi makna pada sesuatu berdasarkan pada bagaimana anda bertindak terhadap sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
13
Menurut Mead, ‘diri’ memiliki dua sisi yang masing-masing memiliki tugas penting yaitu diri yang mewakili saya sebagai subjek atau I dan saya sebagai objek atau ME. Saya sebagai subjek adalah bagian dari diri saya yang bersifat menuruti dorongan hati, tidak teratur dan tidak langsung dan tidak dapat diperkirakan. Saya sebagai objek adalah konsep diri yang terbentuk dari pola-pola yang teratur dan konsisten yang anda dan orang lain pahami bersama. Setiap tindakan dimulai dari dorongan hati dari saya subjek dan secara cepat dikontrol oleh saya objek. Saya subjek adalah tenaga pendorong untuk melakukan tindakan sedangkan konsep diri atau saya objek memberikan arah atau panduan. Mead menggunakan konsep saya objek untuk menjelaskan perilaku yang dapat diterima dan sesuai secara sosial dan saya subjek menjelaskan dorongan hati yang kreatif namun sulit diperkirakan. Mead mendefenisikan masyarakat sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Syarat untuk dapat terjadinya kerjasama diantara anggota masyarakat adalah adanya pengertian terhadap keinginan atau maksud orang lain, tidak hanya pada saat ini tapi juga di masa yang akan datang (Morissan & Wardhani, 2009: 145). Mead
dan
pengikutnya
menggunakan
banyak
konsep
untuk
menyempurnakan cara lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok sosial. Konsep penting lainnya dalam teori interaksionisme simbolik adalah significant others atau orang lain yang signifikan yaitu orang lain yang berpengaruh dalam kehidupan, lalu kemudian ada orang lain yang digeneralisasikan atau generalised others yakni konsep tentang bagaimana orang lain merasakan anda dan tata cara yang dipakai atau role taking yaitu pembentukan perilaku setelah perilaku orang lain. Konsep ini disusun bersama dalam teori interkasionisme simbolik untuk menyediakan sebuah gambaran kompleks dari pengaruh persepsi individu dan
Universitas Sumatera Utara
14
kondisi psikologis, komunikasi simbolik serta nilai-nilai sosial dan keyakinan dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat (Ardianto & Q-annes, 2007: 136). Herbert Blumer menyebutkan bahwa pada masyarakat yang sudah maju sebagian besar dari tindakan kelompok terdiri atas pola-pola yang berulang-ulang dan stabil yang memiliki makna bersama dan mapan bagi anggota masyarakat bersangkutan. Pola-pola tindakan kelompok yang sangat sering diulang-ulang tidak ada yang bersifat permanen. Tidak peduli betapapun solid dan kompaknya, tampaknya suatu tindakan satu kelompok tetapi semuanya berasal dari pilihan tindakan orang per orang secara individu. Dalam suatu tindakan sosial melibatkan hubungan tiga pihak yaitu adanya isyarat awal dari gerak atau isyarat tubuh seseorang, adanya tanggapan terhadap isyarat itu oleh orang lain dan ada hasilnya. Hasil adalah makna tindakan bagi komunikator. Makna adalah hasil komunikasi yang penting. Makna yang kita miliki adalah hasil interaksi kita dengan orang lain. Kita menggunakan makna untuk menginterpretasikan peristiwa disekitar kita. Interpretasi merupakan proses internal di dalam diri kita. Kita harus memilih, memeriksa, menyimpan, mengelompokkan dan mengirim makna sesuai dengan situasi dimana kita berada dan arah tindakan kita. Dengan demikian, jelaslah, bahwa kita tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa memiliki makna yang sama terhadap simbol yang kita gunakan (Morissan & Wardhani, 2009: 145).
2.2 Kajian Pustaka 2.2.1
Komunikasi Massa Komunikasi merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan
manusia dalam kaitannya dengan hubungan antar individu. Komunikasi merupakan sarana vital untuk mengerti diri sendiri, orang lain dan memahami apa yang dibutuhkan orang lain serta untuk mencapai pemahaman tentang dirinya dan sesama. Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan melalui media massa dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi kapada khalayak luas. Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang Universitas Sumatera Utara
15
melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal pula (Bungin, 2008: 72). Saverin dan Tankard menyatakan bahwa komunikasi massa adalah sebagian keterampilan (skill), sebagian seni (art) dan sebagian ilmu (science). Maksudnya tanpa ada dimensi menata pesan tidak mungkin media massa memikat khalayak yang pada akhirnya pesan tersebut dapat mengubah sikap, pandangan dan perilaku komunikan (Effendi, 2005: 210). Karakteristik dari komunikasi massa (Ardianto & Komala 2004: 7) yakni: a. Komunikatornya melibatkan
terlembagakan,
lembaga
dan
karena
komunikasi
komunikatornya
bergerak
massa dalam
organisasi yang kompleks. b. Pesannya bersifat umum, komunikasi massa bersifat terbuka yang ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Hingga pesannya pun bersifat umum yang berupa fakta, peristiwa dan opini. c. Komunikannya anonim dan heterogen, dalam komunikasi massa, komunikator
tidak
mengenal
komunikannya,
karena
komunikasinya melalui komunikasi massa dan tidak tatap muka. Komunikasinya heterogen karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat
yang
berbeda-beda
dan
dapat
dikelompokkan
berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi. d. Menimbulkan
keserempakan,
komunikasi
massa
memiliki
kelebihan dalam hal jumlah sasaran khalayak. Keserempakan media massa yakni keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang cukup jauh dari komunikator dan penduduk tersebut satu sama lain dalam keadaan terpisah. e. Komunikasinya mengutamakan isi ketimbang hubungan, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
16
f. Sifatnya satu arah, komunikasi massa tidak melakukan kontak langsung antara komunikan dan komunikator. Komunikasi ini terjadi melalui media massa, komunikator aktif menyampaikan pesan dan komunikan aktif menerima pesan. Namun keduanya tidak melakukan feed back dalam proses komunikasinya sehingga dikatakan bersifat satu arah. g. Stimulasi alat indera terbatas, komunikasi massa terbatas penggunaannya sesuai dengan media massa yang digunakan oleh komunikan. h. Umpan
balik
tertunda,
komunikasi
massa
tidak
mampu
menjalankan fungsi umpan balik, karena sifatnya yang satu arah. Para pakar komunikasi mengkhawatirkan pengaruh media massa ini bukannya menimbulkan dampak positif konstruktif, melainkan yang negatif destruktif. Para pakar komunikasi mempertanyakan fungsi yang sebenarnya dari komunikasi massa atau media massa itu. Joseph R. Dominick menyatakan fungsi komunikasi massa sebagai berikut: a. Fungsi Pengawasan Hal ini mengacu pada yang kita kenal sebagai peranan berita dan informasi dari media massa. Media mengambil tempat dari para pengawal yang pekerjaannya mengadakan pengawasan. Pekerja media di seluruh dunia mengumpulkan informasi untuk kita yang tidak bisa kita peroleh kemudian informasi itu diberikan kepada organisasi-organisasi media massa yang dengan jaringan yang luas dan alat-alat canggih disebarkan keseluruh jagat. b. Fungsi Interpretasi Media massa tidak hanya menyajikan data dan fakta tetapi juga informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu. c. Fungsi Hubungan
Universitas Sumatera Utara
17
Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Misalnya melalui perikanan. d. Fungsi Sosialisasi Mentransmisikan nilai-nilai yang mengacu pada cara-cara dimana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok. Media massa menyajikan penggambaran masyarakat, dan dengan membaca,
mendengarkan,
dan
menonton
maka
seseorang
mempelajari bagaimana khalayak berperilaku dan nilai-nilai apa yang penting. e. Fungsi Hiburan Fungsi hiburan ini terlihat jelas pada medium televisi, film dan rekaman suara. Sementara untuk media cetak hiburan mempunyai ruang tersendiri, misalkan certa pendek, cerita panjang, atau cerita bergambar (Effendi, 2005: 30&31). Secara umum fungsi komunikasi dan komunikasi massa dibagi menjadi empat fungsi yang lebih sedehana yakni: 1. Untuk menyampaikan informasi (to inform) 2. Untuk mendidik (to educate) 3. Untuk menghibur (to entertain) 4. Untuk mempersuasi (to persuade) Media massa memiliki arti penting dalam kehidupan modern masyarakat. Media massa memiliki jangkauan yang luas. Melalui media massa khalayak dapat mengetahui hampir segala sesuatu yang kita tahu tentang dunia diluar lingkungan kita. Media massa dibutuhkan oleh orang-orang untuk mengekspresikan ide-ide kepada khalayak luas. Negara-negara kuat menggunakan media massa untuk menyebarkan ideologinya untuk tujuan komersial. Media massa menjadi sumber informasi dan juga sebagai sumber hiburan bagi khalayak. Informasi didapatkan khalayak lebih banyak dari pemberitaan yang dilakukan di media massa baik elektronik maupun media massa cetak. Hampir semua media massa mengandung
Universitas Sumatera Utara
18
unsur entertainment walaupun tidak ada medium yang sepenuhnya bersifat hiburan. Mayoritas media massa merupakan campuran dari informasi, entertainment dan juga persuasi (Vivian, 2008: 5&6).
2.2.2
Film Sebagai Komunikasi Massa Istilah industri media massa menggambarkan 8 jenis usaha atau bisnis
media massa. Kata industri ketika dipakai untuk menggambarkan usaha atau bisnis media massa di Amerika Serikat adalah untuk menghasilkan uang. Kedelapan industri media tersebut adalah buku, surat kabar, majalah, rekaman, radio, film, televisi, dan internet (Biagi, 2010: 11). Film merupakan media komunikasi yang muncul pada abad ke-20, film sendiri merupakan perkembangan dari fotografi yang ditemukan oleh Joseph Nicephore Niepce dari Prancis pada tahun 1826. Penyempurnaan dari fotografi berlanjut hingga pada akhirnya mendorong rintisan penciptaan film itu sendiri. Nama-nama penting dalam sejarah penemuan film antara lain Thomas Alva Edison
dan Lumiere bersaudara
(Sumarno, 1996: 2). Film dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan
dengan
sistem
proyeksi
mekanik,
elektronik
dan
lainnya
(http://kpi.go.id). Industri film telah disebutkan sebagai industri yang dibangun dari mimpi karena sifatnya yang imajinatif dan sebagai media kreatif. Sangat mudah menganggap industri film sebagai salah satu bisnis media terbesar karena publisitas disekitarnya seperti selebriti film yang menangkap banyak perhatian (Biagi, 2010: 169). Film adalah fenomena sosial, psikologi, dan estetika yang kompleks. Film merupakan dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi kata-kata dan musik. Melalui perkembangannya, film telah memainkan banyak peran
Universitas Sumatera Utara
19
dengan memberikan informasi, drama, music, dan lain-lain. Film sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari khalayak dalam banyak hal. Film bisa membuat orang tertahan, setidaknya saat mereka menonton secara lebih intens dibanding dengan medium lain. Orang terpesona oleh film sejak awal penciptaan teknologi film meski saat itu tak lebih dari gambar putus-putus dan goyang di tembok putih. Dengan masuknya suara pada 1920-an dan kemudian warna serta banyak kemajuan teknis lainnya
film semakin membuat orang semakin terpesona.
Menonton film dibioskop masih merupakan pengalaman yang mengasyikkan, pengalaman yang tidak bisa diperoleh dari media lain (Vivian, 2008: 160). Pada awalnya film adalah hiburan bagi kelas bawah di perkotaan, dengan cepat film mampu menembus batas-batas kelas dan menjangkau kelas yang lebih luas. Kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial
kemudian
menyadarkan para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayak. Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual, karena selalu bertautan dengan nilainilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik (Irawanto, 1999: 13). Unsur- unsur ideologi dan propaganda yang terselubung dan tersirat dalam banyak film hiburan umum, suatu fenomena yang tampaknya tidak tergantung pada atau tidak adanya kebebasan masyarakat. Fenomena semacam itu mungkin berakar dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat atau mungkin juga bersumber dari keinginan untuk memanipulasi. Sehingga pemanfaatan film dalam pendidikan perlu untuk ditambahkan. Pentingnya pemanfaatan film dalam pendidikan didasari oleh pertimbangan bahwa film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan mengantar pesan secara unik. Ringkasnya terlepas dari dominasi pengunaan film sebagai alat hiburan dalam sejarah film, tampaknya ada semacam aneka pengaruh yang menyatu dan mendorong kecenderungan sejarah film menuju ke penerapannya yang bersifat manipulatif (Mc Quail, 1996: 14).
2.2.2.1 Jenis-jenis Film
Universitas Sumatera Utara
20
Film sebagai suatu bentuk komunikasi massa yang dikelola menjadi suatu bentuk komoditi. Didalamnya terdapat produser, pemain film dan perangkat kesenian lainnya yang mendukung. Adapun pengelompokan film menurut Ardianto dan Erdinaya dalam bukunya yang bejudul “Komunikasi Massa Suatu Pengantar” (2004: 138), antara lain: a. Film Cerita Jenis
film
yang
mengandung
suatu
cerita
yang
lazim
dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan didistribusikan sebagai barang dagangan. Film jenis ini disebut juga film fiksi. Film fiksi erat hubungannya dengan hukum kausalitas
atau
sebab-akibat.
Ceritanya
memiliki
karakter
protagonis dan antgonis, masalah dan konflik, penutupan serta pengembangan cerita yang jelas. b. Film Berita Film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi, terdapat nilai berita yang penting dan menarik bagi khalayak. c. Film Dokumenter Karya cipta mengenai kenyataan, hasil interpretasi pembuatannya mengenai kenyataan dari film tersebut. Film jenis ini berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. d. Film Kartun Film animasi yang sasaran utamanya adalah anak-anak, namun semua kalangan menyukainya karena sisi kelucuannya yang biasa hadir disetiap tayangannya. Jenis film yang digunakan dalam penelitian ini adalah film cerita. Film cerita adalah sebuah film yang sudah dituliskan dalam bentuk naskah, kemudian diperankan oleh bintang film yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga penontonnya. Film ini menyajikan berbagai unsur yang menyentuh perasaan manusia. Film ini bersifat auditif visual yang disajikan dalam bentuk gambar yang dapat dilihat serta suara yang dapat didengar dan dinikmati khalayak. Film ini
Universitas Sumatera Utara
21
lazimnya dipertunjukkan di bioskop dan didistribusikan sebagai barang dagangan yang diperuntukkan untuk publik dimana pun mereka berada.
2.2.2.2 Genre Film Himawan Pratista dalam bukunya yang berjudul “Memahami Film” (Pratista:
2008)
mengatakan
bahwa
selain
jenisnya,
film
juga
dapat
dikelompokkan berdasarkan klasifikasi film. Klasifikasi film yang paling banyak dikenal adalah klasifikasi berdasarkan genre film. Istilah genre berasal dari bahasa Prancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Di dalam film, genre diartika sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama seperti setting, isi, dan subjek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Fungsi utama dari genre adalah untuk membantu kita memilah-milah atau mengklasifikasikan film-film yang ada sehingga lebih memudahkan untuk mengenalinya. Genre-genre pokok dalam film antara lain : 1. Aksi 2. Drama 3. Epik Sejarah 4. Fantasi 5. Fiksi Ilmiah 6. Horor 7. Komedi 8. Kriminal dan Gangster 9. Musikal 10. Petualangan 11. Perang 12. Western Film The Interview yang menceritakan rencana pembunuhan pemimpin tertinggi dari negara Korea Utara Kim Jong Un, termasuk dalam kategori genre drama komedi. Meskipun tema yang diangkat adalah “pembunuhan”, tapi tingkah laku dan karakter, situasi, isi serta peristiwa dalam film ini dikemas dengan gaya
Universitas Sumatera Utara
22
yang lucu dan tidak menegangkan, sebagaimana film-film yang bercerita tentang pembunuhan pada umumnya.
2.2.3
Dramaturgi Dramaturgi merupakan suatu seni atau teknik dari komposisi dramatis dan
representasi teatrikal, dalam persektif ini, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukkan teater atau drama diatas panggung. Dramaturgi memiliki kepentingan utama untuk mendeskripsikan kehidupan sosial sehari-hari sebagai drama dan memahami bagaimana individu berusaha memenuhi kebutuhan sosial psikologis dibawah kondisi tersebut. Karena manusia merupakan aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukkan dramanya sendiri. Erving Goffman melalui bukunya The Presentation of Self in Everyday Life yang diterbitkan pada tahun 1959, secara rinci memberikan penjelasan dan analisis terhadap proses dan makna dalam interaksi. Erving Goffman mengeksplorasi rincian identitas individu, hubungan antar kelompok, dampak lingkungan, serta gerakan dan makna informasi yang bersifat interaksi. Erving Goffman memulai proyeknya dari pengembangan karya-karya sosiolog Prancis Emile Durkheim, yang ditetapkan untuk mengungkapkan tatanan moral yang ada dalam masyarakat. Komunikasi menjadi tema sentral dalam kajian sosiologinya yang pada akhirnya ia menganalisis interaksi sosial, ritus dan kesopanan, pembicaraan dan semua hal yang menjalin hubungan sehari-hari. Interaksi dianggap sebagai dasar kebudayaan dimana di dalamnya memiliki norma, mekanisme dan regulasi. Ritual-ritual interaksi dianggap sebagai ajang untuk menegaskan adanya tatanan moral dan sosial, sehingga dalam suatu pertemuan diri sang aktor berusaha untuk memunculkan tatanan citra yang ditentukan oleh dirinya sendiri berupa wajah atau nilai sosial positif yang dituntut seseorang melalui jalur tindakan jika ditarik pada kerangka interaksionisme simbolik bagaimana memunculkan diri subjek yang positif (Umiarso & Elbadiansyah, 2014: 247).
Universitas Sumatera Utara
23
Karya-karya Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh George Herbert Mead yang memfokuskan pandangannya pada The Self. Bagi Mead, The Self lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. The Self
juga
merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya didalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya. Aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon terhadap tindakan tersebut. The Self bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan The Self (Surip, 2011: 131). Konsep diri Erving Goffman tidak lepas dari pandangan atau konsep yang dilontarkan oleh Charles Horton Cooley yaitu “the looking glass self”. Konsekuensinya diri sang aktor mampu untuk menampilkan suatu pertunjukkan bagi orang lain tetapi kesan pelaku terutama diri sang aktor lain terhadap pertunjukkan tersebut dapat berbeda-beda. Oleh sebab itu, diri sang aktor akan mampu untuk bertindak atau menampilkan sesuatu yang diperlihatkannya, tapi belum tentu perilaku diri sang aktor pada konteks waktu tertentu atau sehari-hari tidak sama seperti ketika diperlihatkan pada waktu lalu. Hal ini tidak terlepas dari pengelolaan kesan sebagai suatu cara yang dilakukan diri sang aktor yang ingin menyajikan gambaran diri yang akan diterima sang aktor lain. Dalam proses ini diri sang aktor yang membuat pernyataan dapat memanipulasi pernyataan yang diberikan maupun pernyataan lepas. Sang aktor berusaha untuk mengendalikan perilaku sang aktor lain dengan jalan memberikan pernyataan yang dapat menghasilkan kesan yang diinginkan (Umiarso & Elbadiansyah, 2014: 257). Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukan. Kenneth Burke mengatakan bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif dan impresif aktivitas manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Burke memberikan
Universitas Sumatera Utara
24
pengertian yang berbeda antara gerakan dan aksi. Aksi terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Seseorang dapat berkata-kata atau berbicara tentang ucapan-ucapan, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerjasama dalam aksiaksi mereka maka bahasapun membentuk perilaku. Konsep yang digunakan oleh Goffman yang berasal dari gagasan Burke sering disebut dengan konsep “peran sosial” yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang didefenisikan secara sosial yang dimainkan seseorang dalam suatu situasi untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku tergantung pada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu ganbaran diri yang akan diterima oleh orang lain. Ia menyebut itu dengan istilah pengelolaan kesan, yaitu teknikteknik yang digunakan oleh aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu (Surip, 2011: 136). Kontribusi Erving Goffman yang juga memiliki pengaruh adalah tentang stigma. Dalam bukunya “stigma: notes on the management of spoiled identity” dimana ia mencoba utnuk meneliti bagaimana diri sang aktor mengelola penampilan diri mereka sendiri. Terlebih ketika penampilan mereka tidak sesuai dengan standart yang disetujui dalam perilaku atau penampilan yang semestinya, maka mereka mencoba untuk melindungi identitas mereka tersebut dengan cara mengelola penampilan dirinya. Perlindungan ini terutama dilakukan melalui penyembunyian penampilan yang tidak sesuai tersebut dengan mengelola penampilannya kembali. Stigma mengacu pada perasaan rendah diri atau perasaan malu bahwa seseorang mungkin merasa gagal untuk memenuhi standar orang lain, sehingga meyebabkan mereka untuk tidak mengungkapkan kesalahan mereka. Dalam memperkenalkan konsep stigma, Erving Goffman mengidentifikasi tiga jenis stigma yaitu, stigma sifat karakter, stigma fisik, dan stigma identitas kelompok. Stigma sifat karakter merupakan cacat karakter yang melekat pada diri individu yang dianggap lemah, dominan, atau ambisi yang wajar, keyakinan yang
Universitas Sumatera Utara
25
berbahaya dan kaku dan ketidakjujuran. Stigma fisik mengacu pada kelainan tubuh sang aktor. Stigma identitas kelompok merupakan stigma yang berasal dari ras mahkluk tertentu, ras, bangsa dan agama dan sebagainya. Stigma ini ditransimisikan melalui garis keturunan dan mencemari semua anggota keluarga (Umiarso & Elbadiansyah, 2014: 254). Semua diri sang aktor terlibat dalam proses manajemen kesan karena mereka semua memprioritaskan memunculkan kesan yang baik pada orang lain. Dengan demikian dramaturgi merupakan suatu perspektif sosiologis yang mendekripsikan tentang diri sang aktor yang secara aktif mencoba utnuk membentuk persepsi orang lain dari mereka dengan menghadirkan diri dengan cara memunculkan penampilan atau citra terbaik yang akan membantu mereka mencapai tujuan tersebut. Diri sang aktor akan bertindak berbeda didepan orang yang berbeda dan dalam lingkungan yang berbeda pula untuk membentuk penampilan citra yang terbaik sebagaimana mereka merasakan.
2.2.3.1 Panggung Depan dan Panggung Belakang Dalam perspektif dramaturgi, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukkan diatas panggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan oleh para aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku nonverbal tertentu serta menggunakan atribut tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo lidah, menjaga kendali diri, melakukan gerak gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi (Surip, 2011: 136). Panggung Belakang (Back Stage) adalah ruang privat yang tidak diketahui orang lain, tempat seseorang atau sekelompok orang leluasa menampilkan wajah aslinya. Di panggung inilah segala persiapan aktor disesuaikan dengan apa yang akan dihadapi di lapangan, untuk menutupi identitas aslinya. Biasanya juga disebut dengan back region atau kamar rias untuk mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan, ditempat ini pula si aktor bersantai dan memunculkan siapa dirinya.
Universitas Sumatera Utara
26
Panggung Depan (Front Stage) adalah ruang publik yang digunakan seseorang atau sekelompok orang untuk mempresentasikan diri dan memberikan kesan kepada orang lain melalui pengelolaan kesan (management of impression). Disini individu kemungkinan akan menampilkan peran formal
atau berperan
layaknya seorang aktor. Di panggung inilah aktor akan membangun dan menunjukkan sosok ideal dari identitas yang akan ditonjolkan dalam interaksi sosialnya. Wilayah ini juga disebut dengan front region (wilayah depan) yang ditonton oleh khalayak. Panggung depan mencakup setting, personal front (penampilan diri), expresive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri), appearance (penampilan) dan manner (gaya) (Mulyana, 2003: 58). Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian yakni front pribadi dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya. Ciri yang relatif tetap dan sulit untuk disembunyikan adalah ciri fisik termasuk ras dan usia, namun aktor sering memanipulasinya dengan menekankan atau melembutkannya. Sementara itu setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukkan misalnya dokter bedah memerlukan ruang operasi atau supir taksi memerlukan kendaraan. Aspek lain dari dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak dari pada jarak sosial yang sebenarnya. Goffman mengatakan bahwa orang tak selamanya ingin menunjukkan peran formalnya di dalam panggung. Orang memainkan sesuatu perasaan, meskipun ia enggan
akan
peran
tersebut
atau
menunjukkan
keengganannya
untuk
memainkannya padahal ia senang bukan kepalang akan peran tersebut (Surip, 2011: 138). Seorang aktor terkadang menyembunyikan rahasia pribadi mereka dihadapan diri aktor lain. Hal ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan yakni,
Universitas Sumatera Utara
27
pertama,
aktor
mungkin
ingin
menyembunyikan
kesenangan-kesenangan
tersembunyi; kedua, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunjukkan; ketiga, aktor mungkin merasa perlu menunjukkan hanya produk akhir dan menyembunyikan proses memproduksinya; dan keempat, aktor mungkin perlu menyembunyikan kerja kotor yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak. Erving Goffman menyadari, bahwa masyarakat memaksa diri sang aktor utnuk menciptakan diri dan peran yang berbeda. Sampai batas tertentu, diri sang aktor perlu untuk menyajikan citra diri sosial mereka yang berbeda, sehingga masyarakat memaksa diri sang aktor untuk menjadi tidak konsisten dan tidak benar (Umiarso & Elbadiansyah, 2014: 261).
2.2.3.2 Kerjasama Tim Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai kata tim. Kata tim memang cukup populer, lebih-lebih pada wakti ini. Tim merupakan sebuah kelompok dengan ciri-ciri tertentu. Artinya tidak setiap keompok merupakan sebuah tim. Sebuah tim mempunyai ciri-ciri: 1. Masing-masing anggota menyadari interdependensi yang positif untuk mencapai tujuan bersama. 2. Sementara itu, mereka mengadakan interaksi. 3. Menyadari siapa yang masuk dalam tim dan yang tidak masuk. 4. Mempunyai peran dan fungsi yang spesifik. 5. Mempunyai limited life span keanggotaan Menurut Johnson & Johnson (2000) tim merupakan a set of interpersonal interactions structured to achieve established goals (sekumpulan interaksi antarpribadi yang terstruktur untuk mencapai sebuah tujuan bersama) (Walgito, 2008: 69). Perhatian Erving Goffman sebenarnya bukan hanya berfokus pada individu, tapi juga pada kelompok apa yang dia sebut sebagai sebuah ‘tim’. Selain membawakan peran karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat
Universitas Sumatera Utara
28
bekerja, partai politik, atau organisasi yang mereka wakili. Semua anggota itu Goffman sebut sebagai ‘tim pertunjukkan’ yang mendramatisasikan suatu aktivitas. Kerjasama sering dilakukan para anggota untuk menciptakan dan menjaga penampilan dari wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan yang matang, memainkan pemain inti yang layak, memainkan pertunjukkan sefesien dan secermat mungkin. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal agar pertunjukkan dapat berjalan dengan mulus. Goffman menekankan bahwa pertunjukkan yang dibawakan sebuah tim sangat bergantung pada kesetiaan anggota timnya. Setiap anggota memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Disamping itu khalayak juga bagian dari pertunjukkan. Artinya pertunjukkan akan sukses apabila khalayak berpartisipasi untuk menjaga agar pertunjukkan secara keseluruhan dapat berjalan dengan lancar (Surip, 2011: 138).
2.2.4
Dramaturgi Film Kata drama berasal dari bahasa Yunani dromai yang berarti berbuat,
berlaku, bertindak, bereaksi dan sebagainya, dan drama berarti perbuatan atau tindakan. Menurut Balthazar Verhagen drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak. Drama dapat juga diartikan sebagai kualitas komunikasi, situasi, action, yang menimbulkan perhatian, kehebatan dan ketegangan pada pendengar dan penonton. Selain itu drama memiliki arti sebagai cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunnakan percakapan dan action di hadapan penonton (Harymawan, 1989: 1). Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang
Universitas Sumatera Utara
29
disajikan. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, seorang filosof asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater. Dalam Poetics, Aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang penampilan/drama-drama berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi. Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari puisi, Aristoteles bekerja secara utuh untuk menganalisa drama secara keseluruhan. Bukan hanya dari segi naskahnya saja tapi juga menganalisa hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot dan cerita. Ia memberikan contoh-contoh plot yang baik dan meneliti reaksi drama terhadap penonton. Nilai-nilai yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam maha karyanya ini kemudian dikenal dengan “aristotelian drama” atau drama ala aristoteles, dimana deus ex machina adalah suatu kelemahan dan dimana sebuah akting harus tersusun secara efisien. Banyak konsep kunci drama, seperti anagnorisis dan katharsis, dibahas dalam Poetica. Sampai sekarang “aristotelian drama” sangat terlihat aplikasinya pada tayangan-tayangan tv, buku-buku panduan perfilman dan bahkan kursus-kursus singkat perfilman (dramaturgi dasar) biasanya sangat bergantung kepada dasar pemikiran yang dikemukakan oleh Aristoteles (duniailmukomunikasi.blogspot.com/2011/05/dramaturg-erving-goffman.html). Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan
perilaku-perilaku
yang
mendukung
perannya
tersebut.
Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan
kelengkapan
pertunjukan.
Kelengkapan
ini
antara
lain
memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang
Universitas Sumatera Utara
30
dunia teater katakan sebagai breaking character. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi
interaksi
yang
kemudian
memberikan
makna
tersendiri
(http://miniriauteater.blogspot.com). Genre yang sudah ada sejak masa Yunani adalah tragedi dan komedi. Disamping itu terdapat pula genre-genre melodrama, farce, tragikomedi, komedi gelap, sejarah, dokumenter, dan musikal yang sekarang kelihatan menjadi genre utama dalam drama modern. Unsur-unsur yang mempengaruhi dramaturgi (film) antara lain: 1. Tema: Inti atau pokok dalam suatu drama atau lakon 2. Alur/Plot: Kerangka penceritaan jalannya cerita 3. Karakter/Penokohan: Watak suatu tokoh cerita 4. Latar/Setting: Tempat terjadinya peristiwa Selain keempat hal diatas beberapa hal lain yang menjadi unsur penting dalam sebuah film adalah teknik penggunaan kamera atau pengambilan gambar, komunikasi non verbal seperti tulisan, gambar yang terdapat dalam scene film, komunikasi verbal baik prolog, monolog dan dialog, musik yang digunakan, dan penggunaan noise atau suara-suara yang mendukung. Konsepsi Dramaturgi klasik Aristotelian merupakan kesatuan dramatik yang merupakan suatu cerita yang terjadi di satu tempat dan waktu yang tak lebih dari satu kali dua puluh empat jam, peristiwa-peristiwa dan adegan-adegan secara beruntun, diikat dengan ketat satu sama lain oleh hukum sebab akibat. Manusia cenderung digambarkan sebagai makhluk yang tingkah lakunya ditentukan oleh semangat yang berkobar-kobar, emosi yang kuat, nafsu yang meluap dan menghanyutkan. Maka mudah ditemukan adegan-adegan yang luar biasa, resah, penuh kekerasan, hujatan pedang dan belati, darah dan racun. Itu pulalah sebabnya, gerakan ini kemudian melahirkan gagasan romantik dalam drama dan teater. (http://ephanzpunk.blogspot.com/2009/04/dramaturgi.html).
2.2.4.1 Unsur-unsur yang Terdapat dalam Film The Interview
Universitas Sumatera Utara
31
Unit analisis yang digunakan peneliti dalam penelitian ini menggunakan unsur-unsur yang terdapat dalam panggung depan dan panggung belakang dalam teori Dramaturgi Erving Gofman antara lain sebagai berikut: 1. Penampilan (appeearance) Ketika bertemu dengan orang lain, hal yang pertama kali diperhatikan adalah penampilan fisiknya. Seringkali orang memberi makna tertentu pada penampilan ataupun karakteristik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut dan sebagainya. Ketika melihat penampilan seseorang, maka kita akan mempersepsi kehidupan orang tersebut, baik itu busananya (model kualitas atau warna), jam tangan, kalung, kacamata, sepatu, tas dan ornamen lainnya yang diapakainya (Mulyana, 2007: 392). 2. Sentuhan (touch) Studi tentang sentuh-menyentuh disebut haptika (haptics). Sentuhan seperti foto adalah perilaku nonverbal yang multimakna, dapat menggantikan seribu kata. Kenyataannya sentuhan ini bisa merupakan tamparan, pukulan, cubitan, senggolan, tepukan, belaian, pelukan, pegangan, rabaan, hingga sentuhan lembut sekilas. Sentuhan kategori terakhirlah yang sering diasosiasikan dengan sentuhan. Sentuhan tidak bersifat acak melainkan suatu strategi komunikasi yang penting. Beberapa studi menunjukkan bahwa sentuhan bersifat persuasif. Sentuhan mungkin jauh lebih bermakna daripada kata-kata. Menurut Heslin ada lima kategori sentuhan yang merupakan suatu rentang dari yang sangat impersonal hingga yang sangat personal. Kategori tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fungsional-profesional Disini sentuhan bersifat dingin dan berorientasi bisnis, misalnya pelayan toko membantu pelanggan memilih pakaian.
Universitas Sumatera Utara
32
2. Sosial-sopan Perilaku dalam situasi ini membangun dan memperteguh pengharapan, aturan praktik sosial yang berlaku, misalnya berjabat tangan. 3. Persahabatan-kehangatan Kategori ini meliputi setiap sentuhan yang menandakan afeksi atau hubungan yaang akrab misalnya dua orang yang saling merangkul setelah mereka lama berpisah. 4. Cinta-keintiman Kategori ini merujuk pada sentuhan yang menyatakan keterikatan emosional, misalnya mencium pipi orangtua dengan lembut, orang yang sepenunya memeluk orang lain.
5. Rangsangan seksual Kategori ini berkaitan erat dengan kategori sebelumnya, hanya saja motif bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman (Mulyana, 2007: 380). 3. Ekspresi (expression) Banyak orang menganggap perilaku nonverbal yang paling banyak berbicara adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata meskipun mulut tidak berkata-kata. Albert Mehrabian mengatakan bahwa andil wajah dalam mempengaruhi sebuah pesan sebanyak 55%, sementara vokal 30% dan verbal 7%. Ekspresi wajah merupakan perilaku nonverbal utama yang mengekspresikan keadaan emosional seseorang. Sebagian pakar mengakui, terdapat beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan oleh ekspresi wajah
yang
tampaknya
dipahami
secara
universal
yakni
kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, keterkejutan, kemarahan, kejijikan dan minat. Ekspresi-ekspresi wajah tersebut dianggap
Universitas Sumatera Utara
33
murni sedangkan keadaan emosional lainnya misalnya malu, rasa berdosa, bingung, puas dan lainnya dianggap sebagai campuran. Kontak mata memunyai dua fungsi dalam komunikasi antarpribadi. Pertama sebagai fungsi pengatur yakni untuk memberitahukan kepada orang lain apakah anda akan melakukan hubungan dengan orang itu atau akan menghindarinya. Kedua sebagai fugsi ekspresif yakni untuk memberitahukan kepada orang lain bagaimana perasaan anda terhadapnya. Pentingnya pandangan mata sebagai pesan nonverbal terlukis dalam berbagai ungkapan sehari-hari seperti mata yang cerdas, mata yang mempesona, mata yang sayu, mata yang sedih, mata yang tajam, mata yang liar, mata yang penih curiga, mata yang licik, mata yang genit, mata yang sensual, mata keranjang, mata duitan dan lainnya (Mulyana, 2007: 373).
4. Jarak (distance) Edward T. Hall mengemukakan empat zona spasial dalam interaksi sosial yakni zona intim (0-18 inci) untuk orang yang paling dekat dengan kita; zona pribadi (18 inci – 4 kaki) hanya untuk kawan-kawan akrab, meskipun terkadang kita mengijinkan orang
lain
utnuk
memasukinya,
misalnya
orang
yang
diperkenalkan kepada kita; zona sosial (4-10 kaki), yaitu ruang yang kita gunakan untuk kegiatan bisnis sehari-hari, seperti antara menajer dan pegawainya; dan zona publik (10 kaki – tak terbatas) yang mencerminkan jarak antara orang-orang yang tidak saling mengenal
juga jarak antara penceramah dengan pendengarnya
(Mulyana, 2007: 408). 5. Karakter (character) Pengertian lain dari karakter adalah watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan orang dengan orang lain. Karakter ataupun sifat manusia inilah yang
Universitas Sumatera Utara
34
menjadi dasar pemikiran cara seseorang untuk mengambil langkah dalam suatu tindakan.
Karakteristik sifat manusia yang paling
mendasar terbagi menjadi empat yaitu a. Plegmatis merupakan karakter manusia yang introvert, cukup diam, pesimis dan pecinta kedamaian. Tipe plegmatis mempunyai daya humor yang cukup dan tidak sulit untuk mengucapkan maaf apabila melakukan kesalahan. b. Sanguinis Sanguinis
dijuluki
sebagai
yang
terpopuler
dan
berlawanan dengan sifat plegmatis. Sanguinis memiliki tipe yang terbuka, suka berbicara, suka bergaul dan bisa menjadi penyemangat bagi orang lain. Tipe sanguinis lebih
mengedepankan
keputusan
secara
emosional
daripada hal yang rasional.
c. Kolerik Kolerik disebut juga si ‘kuat’ karena mampu memotivasi orang lain dan pekerja keras. Kolerik cukup terbuka atau ekstrovert namun tidak seterbuka sanguinis. Koleris merupakan orang yang mempunyai disiplin kerja yang tinggi dan kadang mendapat reputasi dengan memperalat orang lain. d. Melankolik Karakter yang terakhir adalah melankolis. Tipe ini memiliki perilaku yang tertutup namun memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Tipe ini mempunyai sifat mau mengorbankan diri sendiri, serius dan takut akan kegagalan namun juga suka murung dan mudah putus asa (http://www.berbagiinfo4u.com). 6. Latar (setting)
Universitas Sumatera Utara
35
Setting atau latar adalah tempat atau waktu berlangsungnya cerita. Orang yang bertanggung jawab terhadap setting atau latar adalah penata artistik. Setting harus memberikan informasi lengkap tentang peristiwa-peristiwa yang sedang disaksikan oleh penonton (Sumarno, 1996: 66). 7. Dialog (dialogue) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dialog merupakan percakapan dalam sandiwara, cerita, karya tulis dan lainnya diantara dua tokoh atau lebih (http://kbbi.web.id/dialog). 8. Monolog (monologue) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia monolog diartikan sebagai pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri dan atau adegan sandiwara dengan pelaku tunggal yang membawakan percakapan seorang diri (http://kbbi.web.id/dialog). 9. Musik (music) Musik memiliki bagian yang besar dalam sebuah film. Musik memiliki efek yang luar biasa, sangat memperkaya dan memperbesar reaksi keseluruhan kita terhadap sebuah film. Marselli Sumarno mengatakan ada delapan fungsi musik dalam sebuah film, yaitu: a. Membantu
merangkaikan
adegan
sehingga
menimbulkan kesan adanya kesatuan. b. Menutupi kelemahan film. Kelemahan film teletak pada acting yang lemah atau dialog yang dangkal sehingga dapat diubah lebih dramatik jika diiringi musik yang tepat. c. Menunjukkan suasana batin para tokoh utama film. d. Menunjukkan suasana waktu dan tempat. Misalnya penggunaan musik dan alat tradisonal daerah dengan bahasa suatu daerah akan memudahkan penonton mempersepsi lokasi tertentu.
Universitas Sumatera Utara
36
e. Mengiringi kemunculan credit title f. Mengiringi adegan dengan ritme cepat. Misalnya kejarkejaran polisi dengan penjahat, jika diiringi musik, maka adegan akan tampak lebih seru. g. Mengantisipasi adegan mendatang dan membentuk ketegangan yang dramatik. h. Menegaskan karakter lewat musik. Misalnya tokoh utama wanita diberi iringan musik yang lembut.
10. Penggunaan Kamera Selain suara, gambar juga memiliki peran penting dalam sebuah film. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika kamera sebagai alat untuk menyajikan elemen visual kepada penonton memiliki peran yang penting dalam penyampaian pesan. Komposisi gambar yang baik akan mampu menyampaikan pesan dengan sendirinya. Beberapa teknik pengambilan gambar berdasarkan besar kecilnya subjek, antara lain:
1. Extreme Long Shot (ELS) Shot ini diambil apabila ingin mengambil gambar yang sangat jauh, panjang, luas dan berdimensi lebar. Extreme Long Shot biasanya digunakan untuk opening scene yang akan membawa penonton mengenal lokasi cerita. 2. Very Long Shot (VLS) Very Long Shot adalah gambar yang panjang, jauh, dan luas tetapi lebih kecil daripada ELS. Teknik ini digunakan biasanya untuk pengambilan gambar adegan kolosal atau banyak objek misalnya adegan perang dipegunungan, adegan kota metropolitan dan lain sebagainya. 3. Long Shot (LS)
Universitas Sumatera Utara
37
Ukuran shot ini adalah dari ujung kepala ke ujung kaki. Long Shot mengantarkan mata penonton kepada keluasan suatu suasana dan objek. 4. Medium Long Shot (MLS) Medium Shot berupakan pengambilan gambar mulai dari ujung kepala hingga setengah kaki. Tujuan shot ini adalah untuk memperkaya keingahan gambar yang disajikan ke mata penonton. Angle ini dapat dibuat sekreatif mungkin untuk menghasilkan tampilan yang atraktif. 5. Medium Shot (MS) Ukuran dari shot ini adalah dari tangan hingga ke atas kepala. Tujuan dari shoot ini adalah agar penonton dapat melihat dengan jelas ekspresi dan emosi para pemain. 6. Middle Close Up (MCU) Shot Middle Close Up ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan Medium Shot yaitu dari ujung kepala hingga ke perut. Dengan angle ini penonton masih tetap dapat melihat latar belakang yang ada. Namun, shot ini mengajak penonton untuk mengenal lebih dalam profil, bahasa tubuh, dan emosi para pemain. 7. Close Up (CU) Komposisi gambar ini adalah komposisi yang paling populer dan memiliki banyak fungsi. Close Up merekam gambar penuh dari leher hingga ujung kepala. Melalui angle ini sebuah gambar dapat berbicara dengan sendirinya kepada penonton. Emosi dan juga reaksi dari mimik wajah tergambar dengan jelas. 8. Big Close Up (BCU) Komposisi gambar ini lebih dalam lagi dibandingkan dnegan Close Up. Kedalaman pandangan mata, kebencian raut wajah, kehinaan emosi hingga keharuan yang tiada
Universitas Sumatera Utara
38
bertepi adalah ungkapan yang terwujud dari komposisi ini. Komposisi ini memang sulit untuk menghasilkan gambar yang fokus, tetapi disitulah nilai artistiknya. 9. Extreme Close Up (ECU) Komposisi ini berfokus pada satu objek saja. Misalnya hidung, mata, atau alis saja. Komposisi ini jarang digunakan untuk penyutradaraan sebuah film drama. Selain penggunaan kamera berdasarkan besar hingga kecil atau berdasarkan frame size, penggunaan kamera juga dilihat dari gerakan kamera itu sendiri. Terdapat tiga gerakan kamera yang disebutkan Askurifai Baksin dalam bukunya yang berjudul “Jurnalistik Televisi” antara lain: 1. Zoom In/Zoom Out Disini kamera tidak bergerak, yang ditekan adalah tombol zooming pada kamera. Dalam pembuatan sebuah film biasanya penggunaan kamera dengan cara seperti ini tidak digunakan, karena kadang-kadang durasinya akan dihitung berdasarkan satuan detik. Biasanya juru kamera akan menggunakan teknik track-in dan track-out. Zoom in merupakan gerakan kamera yang semakin dekat dengan objek sementara zoom out merupakan gerakan kamera yang semakin menjauh dari objek. 2. Tilting Ada beberapa adegan dalam film yang memeperlihatkan sosok seseorang yang diambil dari bawah kemudian sedikit demi sedikit bergera ke atas. Dengan cara seperti itu penonton disuguhi suatu gambaran sosok seseorang secara perlahan-lahan sampai muncul secara utuh. Ada dua cara tilting yaitu gerakan dari bawah ke atas disebut tilt-up dan dari atas ke bawah yang disebut tilt-down.
Universitas Sumatera Utara
39
3. Panning Jika ingin menunjukkan deretan pasukan yang sedang berbaris atau objek lain yang berderet, seorang juru kamera akan menggunakan teknik panning, yakni menggerakkan kamera mengikuti urutan objek baik dari kanan ke kiri yang disebut pan left, sedangkan gerakan kamera dari kiri ke kanan pan right (Baksin, 2006: 131).
2.2.5
Media Massa dan Konstruksi Sosial Realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial dari proses komunikasi
tertentu. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality : A Tertise in The Sosiological of Knowladge tahun 1996. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisas. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192). Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehinggakonstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang dikonstruksi juga membentuk opini massa, massa yang cenderung aprori dan opini massa yang cenderung sinis (Bungin, 2008: 203). Tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa terjadi melalui: 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi, ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: kebepihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu pada masyarakat, dan keberpihakan kepada kepentingan umum. 2. Tahap ebaran konstruksi, prinsip dasar dari sebaran konsruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang penting bagi media, penting pula bagi pemirsa atau pembaca.
Universitas Sumatera Utara
40
3. Tahap
pembentukan
berlangsung
melalui
konstruksi
realitas.
Pembentukan
konstruksi
konstruki
realitas
pembenaran,
kesediaan
dikonstruksi oleh media massa, dan sebagai pilhan konsumtif. 4. Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberikan argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi (Bungin, 2008: 188). Pada kenyataannya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna manakala realitas itu dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksikan realitas sosial itu dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.
2.2.6
Citra Informasi adalah segala sesuatu yang mengurangi ketidakpastian atau
mengurangi jumlah kemungkinan alternatif dalam situasi. Citra menunjukkan keseluruhan informasi tentang dunia yang telah diolah, diorganisasikan dan disimpan oleh individu. Citra adalah peta kita tentang dunia. Tanpa citra kita akan selalu berada dalam suasana tak pasti. Frank Jefkins, dalam bukunya Public Relation Technique, menyimpulkan bahwa secara umum citra diartikan sebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalaman. Jefkins mengatakan bahwa citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang tentang fakta-fakta dan atau kenyataan. Sementara Jalaluddin Rakhmat mengatakan dalam bukunya Psikologi Komunikasi bahwa citra itu adalah penggambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas, citra itu adalah dunia menurut persepsi. Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu objek dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Salomon dalam Rakhmat menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, pada informasi dan pengetahuan Universitas Sumatera Utara
41
yang kita miliki. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang (Soemirat, 2004: 114). Salah satu sarana yang digunakan untuk memperoleh informasi adalah media massa. Lazarsfeld dan Merton menjelaskan fungsi media dalam memberikan status. Karena namanya, gambarnya atau kegiatannya dimuat oleh media, maka orang, organisasi, atau lembaga mendadak mendapat reputasi yang tinggi. Dalam hal ini dikenal dengan names makes news. Sebaliknya dalam kaitannya dengan citra yang sekarang adalah news makes name. Artinya orang yang tidak terkenal mendadak melejit namanya karena ia diungkapkan secara besar-besaran dalam media massa. Bahkan orang yang terkenal perlahan-lahan akan dilupakan orang karena tidak pernah diliput oleh media. George
Gerbner
(1969)
mengatakan
media
massa menyebabkan
munculnya kepercayaan tertentu mengenai realitas yang dimiliki bersama oleh konsumen media massa. Menurutnya, sebagian besar yang kita ketahui atau apa yang kita pikir kita tahu, tidak kita alami sendiri. Kita mengetahuinya karena ada berbagai cerita yang kita lihat dan kita dengar. Dengan kata lain kita memahami realitas melalui perantaraan media massa sehingga realitas yang kita terima adalah realitas yang diperantarai atau mediated reality (Morisan, 2010: 252). Berger dan Luckman dalam Subiakto (1997: 93) mengatakan bahwa realitas sosial terdiri dari tiga macam yaitu realitas subjektif, realitas objektif dan realitas simbolik. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sementara itu realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi (Bungin, 2008: 5). Realitas yang disampaikan oleh media massa adalah realitas yang sudah diseleksi, yang disebut realitas tangan kedua (second hand reality). Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu dan mengeyampingkan tokoh-tokoh lain. Surat Universitas Sumatera Utara
42
kabar melalui proses yang disebut gate keeping menapis berbagai berita dan memuat berita tentang darah dan dada daripada tentang keteladanan dan kesuksesan. Dikarenakan khalayak tidak dapat dan tidak sempat untuk mengecek apa yang disampaikan oleh media massa, maka khalayak cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan apa yang dilaporkan oleh media massa. Sehingga pada akhirnya khalayak membentuk citra tentang lingkungan sosial berdasarkan realitas kedua yang disampaikan oleh media massa (Riswandi, 2013: 114). George Gerbner meyakini media massa memiliki kekuatan yang berasal dari pesan simbolik drama kehidupan nyata. Kata simbolik menunjukkan bahwa pesan yang disampaikan media hanya bersifat simbolik dan bukan senyatanya. Media dalam hal ini TV merupakan institusi penyampai cerita yang menyampaikan satu gambaran mengenai apa yang ada, apa yang penting, apa yang berhubungan dengan apa serta apa yang benar (Morissan, 2010: 253). Media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media massa mempengaruhi citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias dan tidak cermat. Oleh karena itu terjadilah stereotype. Streotype adalah gambaran umum tentang individu, kelompok, porfesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah bersifat klise dan seringkali timpang serta tidak benar. Beberapa ahli memandang komunikasi massa sebagai ancaman terhadap nilai dan dehumanisasi manusia. Media massa bukan saja menyajikan realitas kedua tapi karena distorsi media massa juga menipu manusia dan memberikan citra dunia yang keliru. Dalam hal ini C. Wright Mills menyebutnya sebagai pseudoworld yang tidak sesuai dengan perkembangan manusia. Bagi kritikus sosial, media massa sering menampilkan lingkungan sosial yang tidak sebenarnya. Dengan cara itu media massa membentuk citra khalayaknya ke arah yang dikehendaki media. Selain berperan membentuk citra, media massa juga berperan dalam mempertahankan citra yang sudah dimiliki oleh khalayaknya. Reflective-projective theory beranggapan bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang mencerminkan suatu citra yang ambigu, artinya
Universitas Sumatera Utara
43
menimbulkan tafsir yang macam-macam sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan
atau melihat citranya. Media massa mencerminkan citra
khalayak dan khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa (Riswandi, 2013: 115). Menurut Klapper media bukan saja mempertahankan citra khalayak media lebih cenderung mempertahankan status quo ketimbang perubahan. Roberts menganggap kecenderungan timbul karena ada hal sebagai berikut: 1. Reporter dan editor memandang dan menafsirkan dunia sesuai dengan citranya tentang realitas seeprti kepercayaan dan nilai dan norma. 2. Karena citra itu disesuaikan dengan norma yang ada maka ia cenderung untuk melihat atau mengabaikan alternatif lain untuk mempersepsi dunia. 3. Wartawan selalu memberikan respon pada tekanan halus yang merupakan kebijaksanaan pemimpin media. 4. Media massa sendiri cenderung menghindari hal-hal yang kontrovesial karena kuatir hal-hal tersebut akan menurunkan jumlah khalayak. Media massa mengubah citra khalayak tentang lingkungannya, media massa memberikan perincian, serta analisis dan tinjauan mendalam tentang berbagai peristiwa. Penjelasan itu tidak mengubah tetapi menjernihkan citra kita tentang lingkungan. Oleh karena itu kita dapat menentukan mana yang penting dan mana yang tidak penting (Riswandi, 2013: 117).
Universitas Sumatera Utara
44
2.3 Model Teoritik Bagan Model Teoritik Penelitian Dramaturgi Citra Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un Dalam Film The Interview
Objek Penelitian Gambar hasil screen shoot dari scene atau adegan film The Interview
Dramaturgi Erving Goffman 1. Panggung Depan 2. Panggung Belakang
Citra Pemimpin Korea Utara “Kim Jong Un”
Universitas Sumatera Utara