BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Anjing Anjing merupakan salah satu hewan yang memiliki kemampuan berpikir dan
bertingkah laku. Anjing adalah mamalia karnivora, yang telah mengalami demostikasi dari serigala sejak 14.000 tahun yang lalu (Koler-Matznicl, 2002; Akey et al., 2010). Domestikasi merupakan pengadopsian hewan dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan seharihari manusia. Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses "penjinakan" yang dilakukan terhadap hewan liar. Perbedaannya, apabila penjinakan lebih pada individu, domestikasi melibatkan populasi, seperti seleksi, pemuliaan (perbaikan keturunan), serta perubahan perilaku/sifat dari organisme yang menjadi objeknya. Demostikasi tersebut ada yang menduga mungkin sudah dimulai sejak 100.000 tahun yang lalu, berdasarkan bukti berupa penemuan fosil dan tes DNA. Namun ada juga penelitian lain yang mengungkapkan sejarah demostikasi anjing begitu lama. Terlepas dari kontroversi tersebut, anjing telah berkembang menjadi ratusan ras dengan berbagai macam variasi, mulai dari anjing dengan tinggi badan beberapa puluh sentimeter hingga tingginya lebih dari satu meter (Dharmawan, 2009). Anjing domestik merupakan mamalia yang sangat polimorfik, yaitu hewan yang mempunyai keragaman yang luas dalam bentuk, perilaku dan temperamen (Puja, 2011). Anjing bersifat karnivora. Jika dilihat dari sejarah domestikasi nya anjing termasuk keluarga Canidae, dan bersaudara dengan srigala, rubah dan anjing rukun. Ciri ciri keluarga ini antara lain tubuhnya kecil memanjang, telinga dan moncongnya runcing. Selain indera penciumannya tajam, anjing dapat berlari jauh lebih cepat dari binatang karnivora lainya. Disamping itu, kemampuan berenangnya juga termasuk ciri khas dari semua anggota Canidae. Menurut Budiana (2006) dan Dharmawan (2009, anjing memiliki beberapa kelebihan dibandingkan denganhewan lainnya. Kelebihan tersebut berupa indera penciuman, indera pendengaran dan indera penglihatan yang tajam serta naluri dan insting yang kuat. Menurut beberapa peneliti, anjing pertama kali dijinakkan di Asia Timur, kemungkinan di Tiongkok. Manusia pertama yang menginjakan kaki di Amerika utara diduga membawa serta anjing dari Asia. Sebagian pecinta hewan percaya bahwa anjing-anjing ras dunia berasal
12
daari daratan Asia. Berhasil hasil penelitian genetic, terdapat sedikitnya 14 anjing ras kuno yang berasal dari daratan Cina dan Jepang (Dharmawan, 2009). Hampir di banyak daerah di Indonesia, diketahui bahwa ada hubungan yang erat antara masyarakaat dengan anjing. Hubungan ini Nampak begitu intim di beberapa daerah di Indonesia seperti Bali, Flores, Sulawesi Utara, Sumatra Barat dan mungkin di beberapa daerah lainyya (Harjosworo, 1984; Putra dkk, 2009). Secara umum anjing berfungsi sebagai penjaga rumah, penjaga kebun, hewan kesayangan dan hewan untuk berburu. Di beberapa tempat, bahkan daging anjing dikonsumsi oleh masyarakat sehingga anjing menjadi komoditi perdagangan (Harjosworo, 1984; Putra dkk., 2009). Di beberapa daerah tertentu seperti di Bali (Putra, 2009; Dharmawan, 2009) dan Flores (Putra, 2009) anjing dengan tanda-tanda tertentu digunakan sebagai sarana upacara. Dharmawan (2009) menyebutkan ada berbagai alasan mengapa manusia menetapkan untuk memilih anjing sebagai hewan kesayangan, diantaranya karena anjing memiliki beberapa kelebihan dibandingkan hewan lainya. Anjing dikarunai kelebihan pada indera penciuman, pendengaran, dan penglihatan. Disamping itu, seperti halnya dengan manusia, anjing merupakan hewan sosial. Kedekatan pola perilaku anjing dengan manusia menjadikan anjing bisa dilatih, diajak bermain, tinggal bersama manusia, dan diajak bersosialisasi dengan manusia dan anjing yang lain (Dharmawan, 2009; Caffazzo et al., 2010. Anjing memiliki posisi unik dalam hubungan antar spesies. Kesetiaan dan pengabdian yang ditunjukkan anjing sangat mirip dengan konsep manusia tentang cinta dan persahabatan (Dharmawan, 2009). Anjing merupakan hewan yang memiliki kapasitas otak setara dengan anak manusia berumur 3 tahun, oleh sebab itu anjing banyak di pelihara atau dijadikan teman ooleh manusia (Calvin, 2011). 2.2
Zoonosis Menurut UU No.6 tahun 1967 pengertian zoonosis adalah penyakit yang dapat menular
dari hewan ke manusia dan sebaliknya atau disebut juga Anthropozoonosis. Begitu pula dalam UU No.18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, sebagai pengganti UU No.6 tahun 1967 dinyatakan bahwa penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia dan sebaliknya. Sedangkan pengertian zoonosis yang diberikan WHO, zoonosis adalah suatu penyakit atau infeksi yang secara alami ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia.
13
Zoonosis, menurut badan Kesehatan sedunia (OIE = Office Internationale Epizooticae) merupakan penyakit yang secara alamiah dapat menular diantara hewan vertebrata dan manusia. Penyakit yang tergolong dalam zoonosis dengan penyebaran penyakit tersebar ke seluruh penjuru dunia dan yang sering ditemukan di Indonesia misalnya antraks, rabies, leptospirosis, brucelosis, toxoplasmosis, tuberkolosis, salmonellosis, avian Influenza, dan lainlain. (Mangku Sitepoe, 2009, Hal 1). Dari beberapa pengertian diatas bahwa dapat disimpulkan zoonosis adalah infeksi yang ditularkan antara hewan vertebrata dan manusia, zoonosis adalah penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan kepada manusia dan sebaliknya. 2.3
Rabies Rabies di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Schoorl di Jakarta pada tahun 1884
pada seekor kuda, kemudian Esser pada tahun 1889 juga menemukan rabies pada seekor kerbau di Bekasi. Rabies di Indonesia menjadi populer di beberapa daerah setelah ditemukan rabies pada seekor anjing pada tahun 1990 di Penning. Sedangkan rabies pada manusia di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh de Haan pada tahun 1894 pada seorang anak di Cirebon. Secara kronologis tahun kejadian penyakit rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), DI Aceh (1970), Jambi dan DI Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan pulau Flores (1997). Pada akhir tahun 1997, wabah rabies muncul di Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai akibat pemasukan secara ilegal anjing dari pulau Buton Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik rabies. Sampai saat ini daerah tertular rabies terdapat di 24 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia dan hanya terdapat 9 provinsi yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas rabies yaitu sebagai berikut: Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, NTB, Jawa Timur, Papua Barat dan Papua. Provinsi Banten dinyatakan daerah baru tertular Rabies, setelah terjadi kasus luar biasa (KLB) di Kabupaten Lebak pada tahun 2008. Provinsi Bali merupakan daerah yang sebelumnya tidak pernah terjadi kasus rabies yang secara historis dinyatakan bebas rabies, tetapi pada bulan September tahun 2008 terjadi KLB rabies pada beberapa kabupaten di Bali. Rata-rata kasus rabies pada manusia di Indonesia yaitu 168 kasus/tahun.
14
Rabies atau biasa disebut anjing gila adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus golongan Rhabdovirus yang menyerang hewan berdarah panas dan manusia. Penyakit rabies yang juga disebut Lyssa, Hydrophobia atau penyakit anjing gila, merupakan penyakit menular akut, bersifat fatal bagi penderitanya, yang disebabkan oleh virus neurotropik dengan sasaran akhirnya pusat susunan saraf, otak, dan sunsum tulang belakang, dari hewan berdarah panas dan manusia. Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk familia Rhabdoviridae, genus Lyssa. (Subroto, 2006) Rabies adalah penyakit hewan menular yang bersifat akut disebabkan oleh virus dan dapat menular kepada manusia. Virus rabies masuk dalam keluarga Rhabdoviridae dan genus Lysavirus (CFSPH, 200). Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas negativ RNA yang tidak bersegmen (Wirblich, 2008). Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan. Hewan hewan yang diketahui dapat menjadi perantara rabies antara lain raccoon (Procyon lotor) dan sigung (Memphitis memphitis) di Amerika Utara, rubah merah (Vulpes vulpes) di Eropa, dan anjing di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Afrika, Asia dan Amerika Latin memiliki tingkat rabies yang masih tinggi (Sacramento et al. 1992). Virus ini mendekati virus species Vesicular Stomatitis Virus (VSV) dari genus Vesiculovirus. Memiliki persamaan morfologi, struktur kimia dan siklus hidup yang mirip (Wunner, 2002). Struktur virus rabies mirip dengan family Rhabdoviridae yang lain yaitu berbentuk batang seperti peluru dengan ukuran rata rata panjang 180 nm dan lebar 75 nm, memiliki ukuran speke 10 nm. Virus ini terdiri dari RNA (2-3%) protein (67-74%), lemak (2026% dan karbohidrat (3%) yang menyatu menjadi struktur utama virus ini (Wunner, 2002). Virus rabies sangat peka terhadap zat pelarut lemak (seperti sabun,ether, chloroform, acetone), ethanol, dan yodium. Virus ini cepat rusak apabila terkena sinar matahari terutama sinar ultraviolet. Sifat virus rabies lainnya adalah relative stabil pada pH 5-10, mati pada pH 3, mati pada suhu 56 derajat C selama 30 menit. Di laboratorium, virus rabies sangat mudah mati dengan pemberian beta propiolactone (Kaplan, 1996). Hampir semua hewan berdarah panas bisa terinfeksi virus rabies. Namun dari beberapa species, ada yang bisa digolongkan sebagai spesies yang mempunyai kepekaan sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah terhadap infeksi virus rabies. Species yang termasuk memiliki kepekaan sangat tinggi adalah musang, coyote dan srigala. Species yang memiliki tingkat kepekaan tinggi adalah hamster, skunk, raccoon, kucing, kelelawar, tikus (rat) mongoose dan 15
sapi. Species hewan yang memiliki tingkat kepekaan sedang adalah anjing, domba, kambing, kuda dan primate (bukan manusia). Sedangkan opossum adalah species dengan tingkat kepekaan paling rendah (Geering et al., 1995 dalam Putra, 2009). Penularan dan penyebaran rabies di Indonesia hampir 90% terjadi melalui gigitan anjing. Sedangkan di luar negeri dapat melalui kelelawar, rubah, musang,cerpelai. Setelah terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa inkubasi biasanya 14 sampai 90 hari, tetapi bisa mencapai 2 tahun, tergantung jarak masuknya virus ke otak penderita. Virus masuk melalui air liur (saliva) hewan yang terinfeksi dan ditularkan melalui gigitan, goresan, jilatan, aerosol (apabila mampu melewati membrane mukosa), virus mampu bereplikasi ditempat gigitan pada otot atau jaringan ikat, selanjutnya virus masuk ke saraf perifer melalui receptor nicotinic acetylcholine pada persambungan neuron muscular dan berpindah mengikuti aliran retrograde axoplasmic transport sampai mencapai system saraf pusat dengan kecepatan 12 – 100 mm per hari. Selama penyebaran antar neuron di SSP, virus terbawa ke saraf cranial oleh aliran anterograde axonal. Hal ini menyebabkan terjadinya infeksi pada berbagai jaringan non saraf, seperti glandula savila, glandula submandibular dan lain lain sehingga virus bisa ditemukan di dalam savila hewan yang terinfeksi. Terajadinya infeksi pada jaringan saraf dan non saraf yang secara bersamaan menyebabkan hewan yang terinfeksi rabies bisa menunjukan agresivitas sekaligus terjadi pasasevirus kedalam saliva (McGavin dan Zachary, 2007). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kasus gigitan oleh hewan penular rabies dan sekaligus penularan virus rabies kepada korban gigitannya. Akoso (2007) menyebutkan gejala klinis yang tampak pada anjing dapat dibedakan menjadi 3 tahap seperti uraian berikut : 2.3.1. Tahap prodromal Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung2 sampai 3 hari. Pada anjing rabies, tahapan ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Perilakunya sudah mulai berubah seolah olah tak mengenal, menghindar dari pemilik, dan mulai acuh terhadap perintah tuannya. Anjing menjadi sangat perasa, mudah terkejut, dan cepat berontak bila ada profolasi. Kenaikan suhu badan, pupil mata mengalami dilatasi dan reflex kornea menjadi lamban terhadap rangsangan. 2.3.2. Tahap Eksitasi 16
Tahap ini berlangsung selama 3 sampai 7 hari. Pada tahap ini anjing berperilaku cepat merasa terganggu, emosional, dan cepat bereaksi agresif terhadap apa saja yang dirasa mengganggunya. Anjang mengalami fotopobia, terlihat gelisah dan hiperestesia. Tingkah lakunya kadang kadang aneh dengan gerakan halusinasi, yaitu bersikap seolah olah sedang berusaha mencaplok serangga. Sering terlihat adanya kecendrungan mengunyah atau menggigit dan memakan objek yang tidaak sewajarnya dimakan. Terjadi perubahan menciri dari nada suara pada waktu menyalak, yaitu suaranya menjadi parau akibat mulai terjadinya proses kelumpuhan atau paralisa dari perototan pita suara atau laring. Anjing mengalami kesulitan untuk menelan, dan hipersalivasi. 2.3.3. Tahap paralisis Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga gejalanya sulit untuk dikenali, atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Tahapan ini lebih dikenal dengan bentuk rabies dungu dengan ciri rahang menggantung karena kelumpuhan otot pengunyah sehingga anjing tersebut tidak mungkin lagi mampu makan atau minum. Bila virus rabies telah menyerang daerah kepala dan leher , kelumpuhan akan berlanjut keseluruh tubuh karena infeksi susunan saraf pusat. Bila hal tersebut telah terjadi, maka kematiab anjing akan terjadi dalam waktu 2 sampai 4 hari kemudian. 2.4.
Kejadian Rabies di Bali Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian
rabies yaitu: kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), kasus yang divaksinasi dengan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan kasus yang positif rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa. Penentuan suatu daerah dikatakan tertular rabies berdasarkan ditemukannya positif hasil pemeriksaan laboratorium terhadap hewan, kewenangan ini ditentukan oleh Kementerian Pertanian.
17
Berdasarkan laporan dari Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan bahwa dari tahun 2008 sampai tahun 2012 jumlah spesimen positif Hewan Penular Rabies (HPR) menunjukkan peningkatan. Tahun 2012 kasus GPHR yaitu sebesar 84.750 kasus. Jumlah spesimen yang diperiksa pada tahun 2012 sebanyak 1.155 spesimen, sedangkan kematian karena rabies pada manusia berdasarkan uji Lyssa sebanyak 137 kasus. Jumlah kasus Lyssa pada tahun 2012 terjadi di 16 provinsi dan 62 kabupaten/kota. Pada tahun 2013 sampai bulan Juli, kasus GPHR yaitu sebesar 18.548 kasus dan jumlah kasus rabies pada manusia berdasarkan uji Lyssa yaitu sebesar 31 kasus (Gambar 1 dan 2). Pada Gambar 1 dapat terlihat bahwa persentase penatalaksanaan kasus gigitan/Post Exposure Treatment (PET) mengalami peningkatan yaitu 71.843 dari 84.010 (85,52%) pada tahun 2011 menjadi 74.331 dari 84.750 (87,71%) pada tahun 2012. Gambar 1 Situasi GHPR dan PET di Indonesia Tahun 2008 – Juli 2013
Sumber: Subdit Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Kemenkes RI 2013 GHPR singkatan dari Gigitan Hewan Penular Rabies, sedangkan PET kepanjangan yaitu Post Exposure Treatment dengan Vaksin Anti Rabies (VAR).
18
memiliki
Gambar 2 Kasus rabies pada manusia di Indonesia tahun 2008 – Juli 2013 Sumber: Subdit Pengendalian Zoonosis, DIt. PPBB, Kemenkes RI 2013 Kasus Lyssa merupakan kasus pada manusia yang positif rabies berdasarkan uji Lyssa. Pada tahun 2012 terdapat 79.192 kasus gigitan hewan penular rabies yang dilaporkan terjadi pada 23 provinsi di Indonesia. Kasus GHPR paling banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 55.836 kasus dengan kasus positif rabies pada manusia berdasarkan uji Lyssa dan meninggal yaitu berjumlah 8 orang. Menyusul kemudian Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan kasus GHPR sebesar 5.564 kasus dan 8 kasus positif rabies pada manusia serta Sumatera Utara dengan kasus GHPR sebanyak 4.563 kasus dan 18 kasus positif rabies pada manusia. Sebaran kasus rabies (GHPR dan Lyssa) di Indonesia selama tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Situasi rabies (GHPR dan Lyssa) di Indonesia tahun 2012 Sumber: Ditjen PP & PL, Kemenkes RI 2013
19
Kasus rabies yang disebabkan oleh gigitan anjing hampir dilaporkan setiap tahun dari berbagai daerah tertular di Indonesia terutama Sumatera Barat, Jawa Barat dan NTT. Sepanjang tahun 2008 – 2010 telah terjadi kasus rabies di daerah bebas seperti pulau Bali, kabupaten Garut, kabupaten Tasikmalaya, kabupaten Cianjur, kabupaten/kota Sukabumi, kabupaten Lebak di provinsi Banten, dan kota Gunungsitolai di pulau Nias. Pada tahun 2008 provinsi Bali melaporkan adanya kasus gigitan pertama yang dikonfirmasi sebagai Rabies. Kasus ini menjadi kasus pertama yang pernah dilaporkan dari pulau dengan populasi anjing yang tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. Menurut perkiraan populasi anjing di Bali sekitar 600 ribu ekor (tidak ada data pasti mengenai jumlah populasi anjing yang sebenarnya di Bali) atau sekitar 96 ekor per km2. Kasus GHPR yang terjadi di Bali mengalami peningkatan pada tahun 2012 dimana pada tahun 2011 kasus GHPR sebesar 52.798 kasus meningkat menjadi 55.836 pada tahun 2012. Sedangkan kasus rabies pada manusia berdasarkan uji Lyssa (kasus Lyssa) mengalami penurunan pada tahun 2012 dimana pada tahun 2011 kasus Lyssa sebesar 8 kasus dan pada tahun 2012 kasus Lyssa menurun sebesar 23 kasus (Gambar 4). Kumulatif kasus rabies di provinsi Bali tahun 2009 – 23 Agustus 2013 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Kumulatif kasus rabies di provinsi Bali tahun 2009 – 23 Agustus 2013 Semenjak terjadinya kasus gigitan anjing yang mengakibatkan kematian di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung pada tanggal 26 November 2008 dan dari hasil pemeriksaan dinyatakan menderita rabies, maka sejak saat itu Bali dinyatakan 20
sebagai daerah tertular rabies. Hal ini tertuang dalam peraturan Menteri Pertanian Nomor : 1637/2008 yang menyatakan pulau Bali berstatus wabah rabies. Sampai bulan Oktober 2009, telah dilaporkan sebanyak 15 orang telah meninggal akibat gigitan anjing rabies. Laporan Dinas Peternakan Propinsi Bali per tanggal 18 Pebruari 2010menunjukkan bahwa sebanyak 32 orang positif tertular rabies dan sebanyak 6842 kasus gigitan anjing di Bali. Kasus rabies pada hewan pembawa rabies (HPR) dari bulan November 2008 hingga Mei 2010 sudah tersebar di 1 Kota dan 7 kabupaten, 40 kecamatan dan 164 desa di Bali. Sejak bulan November 2008 hingga Mei 2010 terdapat 2.599 sampel yang sudah diuji dan hasilnya sebanyak 276 sampel menunjukkan hasil positif FAT. Sampai Desember 2011 desa yang tertular rabies 12 bulan terakhir 73 desa positif, 9 bulan terakhir 52 desa positif, 6 bulan terakhir 32 desa positif. Dari laporan jumlah sampel yang diuji Balai Besar Veteriner Denpasar, total desa tertular rabies sampai tahun 2011 adalah 4.011, dan yang dinyatakan positif rabies 571 sampel (Data Dinas Peternakan Provinsi Bali).
21