Digitally signed by Institut Teknologi Bandung DN: cn=Institut Teknologi Bandung, o=Digital Library, ou=UPT Perpustakaan ITB,
[email protected], c=ID Date: 2013.06.17 09:34:14 +07'00'
Bab II Kajian Pustaka II.1
Tinjauan Aspek Hidrologi di Daerah Aliran Sungai
II.1.1 Definisi dan Karakteristik Fisik Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS di sebelahnya oleh suatu pembagi (divide), atau pungung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi. Semua air permukaan yang berasal dari daerah yang dikelilingi oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan. (Linsley, R.K. and Franzini. J.B.,1985). DAS juga dikatakan sebagai suatu area daratan yang mengalirkan air ke suatu aliran pada lokasi tertentu. Batas DAS adalah sebuah garis yang membagi lahan yang mengalirkan aliran dari lahan tersebut menuju ke arah sungai. Batas sistem digambar mengelilingi DAS tersebut arah vertikal ke atas maupun ke bawah (Chow V. T., dkk., 1964) seperti gambar berikut :
Precipitation I(t)
System boundary Watershed divide
Watershed surface Stream flow Q(t)
Gambar II.1 DAS Sebagai Sistem Hidrologi Dengan menggunakan konsep water runs downhill sebuah DAS didefinisikan sebagai semua titik-titik pada suatu area tertentu dimana jika terjadi hujan pada titik-titik tersebut, aliran air akan menuju pada satu outlet (Mc Cuen, R.H., 1998).
7
Karakteristik fisik utama dari DAS adalah luas areanya, bentuk, elevasi, kemiringan lahan, orientasi, jenis tanah, sistim sungai atau drainase, kapasitas tampungan air dan tumbuhan penutup. Efek dari faktor-faktor fisik tersebut adalah nyata. Sebagai contoh jenis tanah, dapat mengontrol infiltrasi, tampungan permukaan (surface storage), air tanah (soil water) dan tampungan air tanah (ground water storage). Terkait dengan jenis tanah adalah tata guna lahan (land use) dan tumbuhan penutup (plant cover). Efek kombinasi dari faktor-faktor fisik akan menunjukkan klasifikasi hidrologi dari besar kecilnya DAS. Luas area bukan faktor penentu, karena dua DAS yang mempunyai luas yang sama mungkin mempunyai sifat-sifat fisik yang berbeda. Secara hidrologis suatu DAS dikatakan besar apabila dampak terhadap tampungan dalam wadah air dan danau dominan. DAS yang besar ini tidak sensitive terhadap variasi intensitas hujan dan tataguna lahan. Kebanyakan DAS besar dalam ukurannya, dengan sungai-sungai dan danaunya yang besar, termasuk ke dalam kategori ini. DAS kecil dikendalikan oleh aliran permukaan dan tataguna lahan, kemiringan dan faktor fisik lainnya yang mempunyai pengaruh kuat terhadap besarnya debit puncak. Efek tampungan kecil dan DAS sangat sensitive terhadap hujan, yang direspon cepat. Dengan catatan DAS kecil bisa jadi mempunyai sifat hidrologi DAS besar. Gambaran karakteristik fisik dari DAS tidak mudah untuk dirumuskan. Studi interaktif mengenai iklim dan bentuk geologi berada pada cabang ilmu geomorfologi. Struktur fisik dari pola limpasan permukaan (surface runoff) adalah terbuka dan ada keserupaan tertentu dalam bentuk tanah jika mempunyai kondisi geologi dan iklim yang serupa. Beberapa keserupaan itu mungkin tahap awal untuk mengklasifikasi dan formalitas dalam menggambarkan permukaan DAS. Karakteristik dari pola limpasan bawah permukaan (subsurface runoff) berada pada sisi lain yaitu yang tersembunyi dari pandangan dan hanya dapat terungkap melalui eksplorasi geofisik yang sangat mahal. (Raudkivi, A. J., 1979).
8
II.1.1.1
Daerah Aliran (Drainage Area)
Daerah aliran (A) merupakan parameter utama yang paling penting dalam perencanaan hidrologi. Daerah aliran ini juga merupakan refleksi volume air yang diturunkan dari hujan. Biasanya dalam perencanaan hidrologi kedalaman hujan dianggap seragam diatas DAS. Berdasarkan asumsi ini, maka volume air yang tersedia dari aliran permukaan pada DAS tersebut dihasilkan dari kedalaman hujan dan luas daerah aliran. Dalam daerah aliran suatu DAS diperlukan garis batas sebagai batas dari DAS (watershed boundaries) itu sendiri. Sistem Informasi Geografis (SIG) biasanya dipergunakan dalam membuat batas daerah aliran tersebut. Dengan SIG, luasan dapat secara otomatis dihitung. Batas DAS dapat diindikasikan dengan elevasi dan titik koordinat, yang merupakan garis linier antara pasangan titik-titiknya. (Mc Cuen, R.H., 1998).
II.1.1.2
Panjang DAS
Panjang DAS (L) adalah karakteristik dari DAS kedua yang menarik. Sedangkan pertambahan panjang DAS berbanding lurus dengan pertambahan luas daerah aliran.
Panjang DAS ini merupakan parameter penting dalam perhitungan
hidrologi, misalnya : digunakan dalam perhitungan waktu konsentrasi. Panjang DAS ini juga sangat besar kaitannya dengan panjang sungai. Panjang DAS biasanya didefinisikan sebagai panjang yang diukur sepanjang sungai utama dari outlet sampai ke batas DAS. Karena sungai tidak sampai ke batas DAS, maka diperlukan garis untuk menghubungkan dari ujung sungai ke batas DAS mengikuti jalur perjalanan volume air terbesar. Daerah aliran (A) dan panjang (L) DAS keduanya merupakan parameter ukuran DAS yang merefleksikan perbedaan ukuran DAS. Daerah aliran digunakan dalam mengindikasikan kapasitas volume tampungan air dari curah hujan potensial, sedangkan panjang DAS digunakan dalam perhitungan waktu konsentrasi (Mc Cuen, R.H., 1998). Secara ilustrasi panjang DAS dapat dilihat pada Gambar II.2 berikut :
9
- - - - = panjang DAS ____ = panjang sungai utama Gambar II.2 Perbedaan Pajang Sungai dan Panjang DAS Menurut Gray, 1961 untuk DAS sejenis segi empat, perbandingan luas dengan panjang DAS-nya adalah sebagai berikut : L = 1,312A 0,568 dimana :
(II.1)
L = panjang DAS (km) A = luas DAS segiempat (km2)
II.1.1.3
Kemiringan Daerah Aliran Sungai
Besarnya banjir menggambarkan bagaimana kejadian dari limpasan permukaan. Kemiringan DAS merupakan faktor penting dalam kejadian ini. Kemiringan DAS menggambarkan tingkat perubahan elevasi dengan panjang alur aliran utama. S=
ΔE L
(II.2)
Dimana : - S = kemiringan DAS - ΔE = perbedaan elevasi antara titik awal dan titik akhir alur aliran utama - L = panjang alur aliran utama Perbedaan elevasi (ΔE) tidak perlu merupakan beda tinggi maksimum dalam DAS tersebut, karena boleh jadi tinggi maksimum terjadi di sepanjang batas DAS.
II.1.1.4
Bentuk Daerah Aliran Sungai
Bentuk DAS biasanya tidak langsung dipergunakan dalam perencanaan hidrologi. DAS mempunyai variasi bentuk tak terbatas dan bentuk DAS itu diduga dapat 10
menggambarkan pola aliran permukaan menuju outlet. DAS berbentuk lingkaran akan menghasilkan aliran permukaan dari berbagai variasi alur dalam mencapai outlet dengan waktu yang sama. Sejumlah parameter DAS telah dikembangkan untuk menggambarkan bentuk DAS. Berikut ini beberapa contoh dari parameter bentuk DAS : 1. Panjang ke pusat luas DAS (Lca), jaraknya dalam satuan mile yang diukur sepanjang sungai utama dari outlet sampai ke titik pusat luas DAS. 2. Faktor bentuk (Lt) : Lt = (LLca) 0,3
(II.3)
dimana : L adalah panjang DAS dalam mile 3. Perbandingan Bentuk Lingkaran (Fc) : P (II.4) Fc = (4πA )0,5 dimana : P dan A masing-masing adalah keliling (ft) dan luas (ft2) DAS 4. Perbandingan Bentuk Lingkaran dalam bentuk lain (Rc) : A (II.5) Ao dimana : Ao adalah luas lingkaran yang kelilingnya sama dengan keliling DAS. Rc =
5. Perbandingan Panjang (Re) : 2 ⎛A⎞ Rc = ⎜ ⎟ Lm ⎝ π ⎠
0,5
(II.6)
dimana : Lm adalah panjang maksimum DAS paralel ke garis drainase utama.
II.1.1.5 Penggunaan Penutup Lahan (Land Cover) Ada contoh konsep yang menggambarkan bahwa penutup lahan sangat berarti dalam mempengaruhi karakteristik aliran permukaan DAS. Ketika karakteristik DAS yang lain selain penutup lahan konstan, maka karakteristik aliran permukaan DAS, yaitu volume aliran permukaan, waktu aliran permukaan dan tingkat aliran banjir maksimum dapat mempunyai nilai yang berbeda. Oleh karena itu tataguna dan penutup lahan penting sebagai masukan dalam perencanaan dan 11
analisis hidrologi. Paling sering diskripsi kwalitatif dari penutup lahan diubah ke dalam sebuah indeks kwantitatif aliran permukaan potensial. Sebagai contoh, metode Rasional menggunakan koefisien aliran permukaan (C) untuk mencerminkan aliran permukaan pada DAS. Semakin besar nilai C, mencerminkan penambahan aliran permukaan potensial. Nilai C untuk daerah komersial (C=0,75) lebih besar daripada daerah perukimanbiasa, dimana keduanya mempunyai nilai aliran permukaan lebih besar dari hutan (C=0,15). Dari sini jelas bahwa aliran permukaan potensial bertambah seiring dengan perubahan lahan penutup dari hutan ke pemukiman. (dari pasal II.1.1.3 – II.1.1.5 ringkasan dari Mc Cuen, R.H., 1998)
II.1.2 Hidrograf Inflow di Muara (Outlet) DAS II.1.2.1
Analisis Hidrograf
II.1.2.1.1 Proses Aliran Permukaan Hidrograf adalah debit setiap saat (realtime) yang diplot menerus dengan waktu. Hidrograf juga merupakan hasil kombinasi dari kondisi meteorologi dan fisiografi dalam sebuah DAS dan mengambarkan dampak terpadu dari iklim, kehilangan air (hydrologic losses), limpasan permukaan (surface runoff), aliran sub permukaan (interflow) dan aliran air tanah (base flow). Faktor-faktor iklim yang berpengaruh terhadap bentuk hidrograf dan volume aliran permukaan terdiri dari (1) pola dan intensitas hujan, (2) distribusi area curah hujan diatas DAS dan (3) lama waktu kejadian hujan. Sedangkan faktor-faktor fisiografi yang penting terdiri dari (1) ukuran dan bentuk dari DAS, (2) kondisi alam dari jaringan sungai, (3) kemiringan lahan dan sungai utama dan (4) tampungan daerah tangkapan dalam DAS (Sherman, 1932). Selama terjadi hujan, kehilangan air seperti infiltrasi, cekungan pada tampungan (depression storage), dan tampungan akibat penahan (detention storage) terjadi penjenuhan terlebih dahulu sebelum mulai terjadinya aliran permukaan. Ketika kedalaman permukaan air tangkapan bertambah, maka terjadi aliran permukaan (overland flow) di dalam bagian DAS. Air dengan cepat bergerak ke anak sungai, sungai kecil dan akhirnya sungai utama dalam DAS tersebut. Sebagian air yang terinfiltrasi ke dalam tanah lalu bergerak secara lateral sampai ke muncul 12
permukaan tanah dan selanjunya masuk ke sungai, dimana proses ini selanjutnya dinamakan interflow atau subsurface stormflow. Sebagian air hujan juga terjadi perkolasi ke lapisan permukaan air tanah bawah yang biasanya memberikan kontribusi terhadap aliran dasar (baseflow), jika lapisan tersebut berpotongan dengan sungai (Raudkivi, A. J., 1979) seperti pada Gambar II.3 berikut :
Precipitation Initial dention Depression storage
Surface stotage Subsurface or interflow
Infiltration
Gambar II.3 Permukaan (Surface Runoff) Sedangkan secara skematis proses aliran permukaan dan runoff dapat dilihat pada gambar II.4 di bawah ini (Gupta Ram S., 1989) : Rainfall Overland flow
Soil Moisture storage
Subsurface flow
Groundwater storage
Base flow
Evaporation
Direct runoff
Evapotranspiration
Stream flow
Interception and depression storage
Deep percolation
Evaporation
Infiltration
Evaporation
Gambar II.4 Skema Proses Runoff
Dalam bentuk grafik hubungan antara curah hujan seragam, limpasan permukaan dengan waktu dapat dilihat pada gambar II.5 dan II.6 di bawah ini :
13
Uniform rainfall
Infiltration Depression storage
Runoff (in/hr) Rainfall (in/hr)
Detention storage
Runoff from storage
Direct runoff
Time (hr)
Gambar II.5. Komponen Distribusi Hujan Seragam
Rainfall Runoff (cfs) Rainfall (in/hr)
Equilibrium discharge P
Time (hr)
Gambar II.6. Kesimbangan Debit Pada Distribusi Hujan Seragam Jika curah hujan terjadi menerus dengan intensitas yang konstan, maka keseimbangan debit dapat dicapai dimana inflow akan sama dengan outflow (lihat Gambar II.6).
Titik P merupakan titik awal terjadinya keseimbangan debit,
dimana waktu yang diperlukan untuk mencapai titik tersebut dinamakan waktu konsentrasi, tc. Kondisi keseimbangan debit jarang diamati di alam, kecuali untuk DAS yang sangat kecil, karena waktu dan intensitas curah hujan yang bervariasi. Aliran dasar pada sungai alam terjadi akibat adanya kontribusi dari air tanah dangkal dan komponen hidrograf lainnya. Pada DAS yang besar, aliran dasar mungkin merupakan bagian yang berarti dari aliran sungai, sedangkan untuk DAS kecil dapat diabaikan, seperti aliran di perkotaan dimana aliran permukaan yang dominan. Jika aliran dasar dipisahkan dan dikurangi dari total hidrograf, maka
14
akan didapatkan hidrograf aliran permukaan langsung (DRO = Direct Runoff Hidrograph). Volume air pada hidrograf DRO harus sama dengan curah hujan efektif, yang didapatkan dengan pengurangan infiltrasi dan kehilangan pada tampungan dari curah hujan total. Hidrograf DRO juga menggambarkan respon DAS dari curah hujan efektif dengan bentuk dan waktu relatif terhadap durasi dan intensitas curah hujan (Bedient, P.B. dan Huber, W.C., 1992).
II.1.2.1.2 Komponen Hidrograf Hidrograf terbuat dari beberapa komponen, yaitu aliran di atas permukaan (overland flow atau surface runoff), aliran bawah permukaan (interflow) dari hasil infiltrasi dan aliran air tanah (base flow). Kontribusi masing-masing komponen tergantung pada besarnya curah hujan relatif (i) terhadap nilai infiltrasi (f) seperti halnya tingkat kelembaman tanah (soil moisture storage, SD) versus kapasitas lahan (field capacity, F) yang didefinisikan sebagai jumlah air yang ditangkap dalam tanah setelah setelah air gravitasi mengalir. (Horton, 1935). Tidak akan terjadi aliran di atas permukaan apabila i < f, demikian juga interflow dan aliran air tanah adalah nol jika F < SD. Secara praktis, total aliran dibagi ke dalam dua bagian, yaitu Direct Runoff (DRO) dan Base Flow (BF) seperti pada gambar II.7 di bawah ini. DRO termasuk didalamnya interflow, sedangkan base flow kebanyakan dari aliran air tanah.
Net rainfall = volume DRO Crest Falling limb
Recession
Direct runoff (DRO)
Inflection point Recession
Base flow (BF)
Gambar II.7 Hidrograf Aliran Permukaan Langsung (DRO) 15
Hidrograf pada Gambar II.7 di atas terdiri dari bagian peningkatan (rising limb), bagian yang memuncak (crest segment) dan bagian yang turun (recession). Kemiringan rising limb tergantung dari besarnya intensitas dan titik bengkok (inflection point) pada awal penurunan ditandai dengan waktu dimana aliran permukaan berhenti dan selanjutnya penurunan dari kolam tampungan.
II.1.2.1.3 Pemisahan Aliran Dasar Dengan DRO Pada Kurva Resesi Beberapa teknik telah ada untuk memisahkan DRO dengan base flow pada analisis kurva resesi air tanah. Dalam beberapa kasus, kurva resesi dapat digambarkan dengan persamaan eksponensial secara umum sebagai berikut : q = q e − kt t o
(II.7)
dimana : qo = debit awal qt = debit setelah waktu t k = konstanta resesi Bentuk persamaan ini sering digunakan untuk menggambarkan order pertama dari kurva. Persamaan II.7 di atas akan memplot sebagai garis lurus pada kertas semilogaritma dan berbeda antara kurva ini dan total hidrograf pada kertas yang sama. Secara praktis garis resesi base flow normalnya adalah penarikan garis sampai di bawah puncak hidrograf selanjutnya dihubungkan ke akhir aliran permukaan (seperti ABD) pada gambar berikut :
Q
Time N after Peak
A
D
B Time
Gambar II.8 Contoh Metode Pemisahan Base Flow
16
Metode yang lain juga ada yang lebih sederhana yaitu dengan cara menarik garis horizontal dari titik A ke titik D. Metode-metode tadi sebenarnya mempunyai kekurangan karena dengan menarik garis singgung akan terjadi kekurang akuratan. Pada saat ini pemisahan base flow lebih banyak unsur seninya dari pada dasar ilmunya, dalam beberapa kasus praktis misalnya drainase kota, base flow sering diabaikan karena relatif kecil dibandingkan dengan total aliran. Base flow biasanya akan menjadi penting pada aliran alam dan sungai-sungai besar, karena memberikan kontribusi dalam cadangan air. (Bedient, P.B. dan Huber, W.C., 1992).
II.1.2.1.4 Curah Hujan Efektif dan Hidrograf Persamaan kontinuitas untuk penomena proses aliran permukan dapat dituliskan sebagai berikut : Gross rainfall = depression storage + evaporation + infiltration + surface runoff. dimana detention storage sudah termasuk dari limpasan permukaan bagian akhir. Umumnya metode di atas diterapkan untuk menentukan curah hujan efektif (rainfall excess) yang termasuk dalam metode infiltrasi Horton dan Green-Ampt dengan kehilangan awal terjadi untuk depression storage. Atau metode infiltrasi φ indeks yang mempunyai kehilangan konstan selama perioda curah hujan lebat. Secara praktis nilai koefisien kehilangan infiltrasi sulit untuk diperkirakan dan yang paling sederhana yang mungkin sering digunakan karena kekurangan data infiltrasi adalah metode φ indeks.
Rainfall and infiltration
Depression storage Net storm rainfall
Φ indeks
Horton Infiltration
time
Gambar II.9 Kurva Kehilangan Akibat Infiltrasi (Bedient, P.B. dan Huber, W.C., 1992).
17
Sesuai dengan gambar di atas, infiltrasi dari Horton (1933, 1939) dapat dituliskan dalam persamaan seperti berikut : f ( t ) = fc + (fo − fc)e − kt
(II.8)
Dengan : f(t) : nilai infiltrasi pada waktu tertentu, fc : infiltrasi saat mencapai konstan, fo : kondisi awal infiltrasi, k : konstanta. Sedangkan menurut metoda Φ indeks pemisahan nilai infiltrasi lebih sederhana lagi yaitu mempunyai distribusi yang seragam selama hujan dengan persamaan : Φ=
Vp − Vd
(II.9) D Dengan : Φ : infiltrasi = intensitas hujan (in/hr) , Vp = curah hujan komulatif, Vd = aliran permukaan langsung (DRO) dan D = durasi hujan.
II.1.2.2
Unit Hidrograf
Sherman (1932) adalah orang pertama yang mengemukakan teori tentang unit hidrograf (UH), yang mendefinisikan UH sebagai ” outflow suatu DAS dari 1 inchi ( 1 cm) DRO bangkitan yang seragam di atas daerah genangan (DAS) pada curah hujan seragam selama periode yang ditetapkan dari durasi curah hujan”. Beberapa asumsi yang tidak dapat dipisahkan dalam unit hidrograf untuk aplikasi dalam DAS (Johnstone and Cross,1949) adalah sebagai berikut : •
Curah hujan efektif dari waktu yang sama diasumsikan untuk menghasilkan hidrograf dengan padanan waktu dasar (time base) tanpa melihat intensitas hujan.
•
Ordinat DRO untuk durasi yang besar diasumsikan proporsional langsung terhadap volume curah hujan efektif.
•
Distribusi waktu DRO diasumsikan tidak tergantung hujan sebelumnya.
•
Distribusi curah hujan diasumsikan sama untuk semua besaran dari durasi yang sama, spasial dan sementara.
Dalam pernyataan klasik teori unit hidrograf dapat diresumekan sebagai : sistem hidrologi adalah linier dan waktu invarian (Dooge, 1973).
18
Tipe hidrograf dan hietograf curah hujan untuk sebuah DAS dapat dilihat pada
Rainfall (in/hr)
gambar di bawah ini : (a) 0
Rainfall losses Rainfall excess TP
1,5
Q(cfs)
TR 140 120 100 80 60
Direct Runoff Inflection point
40 20
Base flow
0 0 1
2
3
4
5
6 7 8 Time (hr)
9 10 11 12 13
Q(cfs)
Rainfall (in/hr)
Gambar II.10 Total Hidrograf (b) 0,0
Vol rainfall = 2 in.
1,0 T P=4 hr
120 100 80 60 40 20 0 0 1
Qp = 100 cfs 2,0 in. Direct Runoff 2
3
4
5 Tb
Q(cfs)
Rainfall (in/hr)
Gambar II.11
6
7
8
9 10 11 12 13
Time (hr)
Hidrograf Dikurangi Baseflow
( ) 0,0 0,5 120 100 80 60 40 20 0 0 1
Vol rainfall = 1 in. T P=4 hr
Qp = 50 cfs
1,0 in. Direct Runoff 2
3
4
5 Tb
6
7
8
9 10 11 12 13
Tim e (hr)
Gambar II.12 Unit Hidrograf
19
Parameter waktu, misalnya curah hujan efektif, D dan waktu puncak, tp dapat dilihat pada gambar di atas. Hidrograf juga merupakan gambaran dari karakter bagaian yang naik (rising limb), bagian puncak (crest regment) dan bagian yang turun (recession curve). Aspek-aspek waktu dalam hidrograf dapat digambarkan dengan parameter berikut ini : •
Waktu puncak/tunggu (Lag time, L atau tp) adalah waktu dari pusat massa hujan efektif sampai ke puncak hidrograf.
•
Time of rise (TR) adalah waktu dari awal hujan efektif sampai ke puncak hidrograf.
•
Waktu konsentrasi (time of concentration, tc) adalah waktu terjadinya keseimbangan di DAS, dimana debit yang keluar sama dengan debit yang masuk, atau waktu yang diperlukan titik hujan terjauh dalam DAS mengalir sampai ke outlet.
•
Waktu dasar (Time base, TB) adalah total waktu DRO dalam sebuah hidrograf.
II.1.3 Penelusuran Aliran (Flow Routing) Penelusuran aliran adalah prosedur untuk menentukan waktu dan besarnya aliran (hidrograf) pada suatu titik di sungai/anak sungai dimana hidrograf di sebelah hulunya diketahui atau diasumsikan. Untuk penelusuran pada aliran banjir, biasanya dinamakan khusus yaitu penelusuran banjir (flood routing). Dalam pengertian luas, penelusuran aliran akan mempertimbangkan analisa trase aliran melalui sebuah sistem hidrologi dengan memberikan input. Ada dua sistem penelusuran yaitu lumped dan distributed, dimana di dalam model sistem lumped aliran dihitung hanya sebagai fungsi waktu pada lokasi tertentu, sedangkan dalam model sistem distributed, penelusuran aliran dihitung sebagai fungsi ruang dan waktu dalam seluruh sistem. Selajutnya model sistem lumped sering dinamakan sebagai hydrologic routing, sedangkan model sistem distributed sering dinamakan hydraulic routing (Chow V. T., dkk., 1964).
II.1.3.1
Penelusuran Sistem Lumped
Ada tiga variabel yang menentukan penelusuran sistem hidrologi ini yang dihubungkan dalam persamaan kontinuitas yaitu nilai masukan berupa I(t),
20
keluaran Q(t) dan tampungan S(t) seperti yang dituliskan dalam persamaan berikut : dS = I( t ) − Q ( t ) dt
(II.10)
Persamaan di atas dapat diaplikasikan untuk penelusuran aliran di daerah aliran sungai, reservoir dan sungai. Ada beberapa model yang telah dikembangkan untuk mengetahui hubungan besar dan intensitas curah hujan dan besar limpasan (run off) yang diramalkan akan terjadi, diantaranya model SWMM (Huber, 1982) dan model HEC-1 (HEC1, 1981) kedua model ini adalah model deterministik (Ibrahim, 1992). Model ANSWERS yang diterapkan dalam disertasi Pengaruh Tataguna Lahan dan Kondisi Permukaan Tanah Terhadap Aliran Permukaan, Hasanudin 2004. Dan sebagai salah satu model lain adalah yang dikembangkan oleh Department of Hydrodynamics and Water Resources pada Technical University of Denmark, yaitu model NAM. Metoda Muskingum yang dikembangkan oleh McCarthy, 1938 dengan menggunakan persamaan kontinuitas membuat hubungan ketergantungan inflow dan outflow dalam sebuah tampungan (storage). Sedangkan metoda Range-Kutta mengembangkan persamaan lamped untuk penelusuran di reservoir yang ditulis dalam persamaan kontinuitas sebagai berikut dS = I( t ) − Q ( H ) dt
(II.11)
Dengan : S adalah volume air dalam reservoir, I(t) adalah inflow yang masuk ke reservoir dan Q(H) adalah outflow dari reservoir yang ditentukan dengan head atau kedalaman di reservoir.
II.1.3.2
Penelusuran Sistem Distributed
Model sistem ini didasarkan pada persamaan differensial parsial (persamaan Saint Venant untuk aliran satu dimensi) yang mengijinkan aliran dan elevasi muka air dihitung sebagai fungsi waktu dan ruang. Penelusuran model sistem distributed dapat digunakan untuk menggambarkan transformasi curah hujan ke dalam aliran
21
permukaan di atas sebuah Daerah Aliran Sungai dalam menghasilkan hidrograf di outlet DAS tersebut. Contoh model yang menggunakan distributed ini diantaranya adalah Watershed Modelling System (WMS) dan
Model Hidrologi Sebar
Keruangan dan Sistem Informasi Geografis yang dikembangkan oleh Tunggul Sutan Haji, 2005. Model ini juga dapat dipergunakan untuk aliran lambat, misalnya aliran untuk suplai irigasi melalui saluran atau sungai. Persamaan Saint Venant ini pertama kali dikembangkan oleh Barre de Saint Venant pada tahun 1871. Disamping model satu dimensi untuk aliran di sungai, model distributed telah dikembangkan juga dalam memprediksi genangan yang terjadi akibat banjir dengan model dua dimensi, diantaranya model MIKE FLOOD yang dikembangkan oleh DHI Denmark.
II.1.4 Persamaan Model Aliran Rainfall Runoff II.1.4.1
Persamaan Umum Aliran
Beberapa ahli hidrologi terdahulu telah berusaha mengembangkan hubungan persamaan antara curah hujan, evaporasi dan aliran permukaan dalam sebuah DAS apabila dalam DAS tersebut yang diberi pola hujan tertentu. Faktor-faktor misalnya curah hujan, kelembaman tanah, infiltrasi dan aliran permukaan dipengaruhi oleh iklim dan membuat pengembangan hubungan diantaranya menjadi sulit. Kohler dan Linsley (1951) mengemukakan sebuah hubungan yang terdiri dari durasi hujan dan antecedent precipitation index (API), dimana kelembaman tanah akan habis selama waktu tidak ada hujan. The Soil Conservation Service (SCS), 1964 mengemukaan ada hubungan manfaat antara kurva rainfall runoff yang terdiri dari tutupan lahan, tipe tanah dan kehilangan awal (abstraksi) dalam menentukan aliran permukaan langsung (DRO).
22
Salah satu persamaan sederhana dari rainfall runoff adalah metoda rasional, yang memprediksi debit puncak (Qp) dengan hubungan : Qp = CIA
(II.12)
Dimana : C = koefisien runoff, tergantung dari tataguna lahan, I = intensitas hujan yang tergantung dari waktu konsentrasi (tc), tc = waktu konsentrasi, yaitu waktu yang diperlukan titik hujan terjauh sampai ke outlet dan A = luas DAS, Kuichling (1889) dan Lioyd-Davies (1906). Metoda ini mengasumsikan bahwa aliran merupakan aliran tetap dan curah hujan seragam sehingga akan menghasilkan aliran permukaan maksimum di outlet DAS saat terjadi waktu konsentrasi. Metode yang lebih kompleks adalah menggunakan persamaan kontinuitas dan momentum untuk gelombang kinematik aliran permukaan yang dikembangkan oleh Henderson dan Wooding (1964) dan Wooding (1965). Persamaan tersebut adalah : ∂y ∂q + = i − f = ie ∂t ∂x
(II.13)
dan q = αy m =
1,49 So y 5 / 3 N
(II.14)
Dimana : y = y(x,t) q = q(x,t) i-f = ie α M N So yo
= kedalaman aliran permukaan (ft) = debit aliran permukaan persatuan lebar (ft2/s) = hujan efektif (ft/s) = faktor angkutan = (1,49/N) Sc0,5 yang diperoleh dari persamaan Manning = 5/3 yang diperoleh dari persamaan Manning = koefisien kekasaran efektif = Kemiringan permukaan lahan rata-rata = Kedalaman aliran permukaan
Selain metoda rasional dan kinematic wave di atas, telah dikembangkan juga metoda lain yaitu untuk curah hujan yang tidak seragam dan area yang tidak beraturan yaitu melalui metoda time-area. Juga pengembangan dari teori hidrograf dan aplikasi dari metoda hidrograf digunakan juga untuk analisis yang lebih kompleks dari curah hujan pada DAS yang besar.
23
II.1.4.2
Model Aplikasi Rainfall – Runoff (RR) Dalam MIKE
Berikut ini mulai dari pasal II.1.4.2 sampai dengan II.1.4.3 merupakan cuplikan dari manual software MIKE. Ada beberapa model pengembangan untuk perhitungan Rainfall-Runoff yang tersedia dalam MIKE, yaitu : •
NAM model yang mempunyai karakter sebagai lumped model yaitu model konseptual rainfall-runoff yang merupakan simulasi dari komponenkomponen aliran permukaan (overland flow), aliran bawah permukaan (interflow), dan aliran dasar (base flow) sebagai fungsi kandungan kelembaban dalam 4 (empat) tampungan.
•
UHM model adalah model unit hidrograf yang dikembangkan oleh metode SCS .
•
SMAP model adalah model perhitungan berdasarkan kelembaban tanah bulanan.
•
Urban model, terdapat dua model perhitungan perhitungan dalam metode ini, yaitu a). Metode waktu vs luas (time-area) dan b). Metode kinematik wave (non-linier reseroir)
a.
NAM Model
Model hidrologi NAM ini mensimulasikan proses rainfall-runoff yang terjadi pada skala DAS. NAM model disini merupakan bagian modul yang ada pada sistim model sungai MIKE. Modul rainfall runoff ini dapat diterapkan atau digunakan pada satu atau beberapa DAS yang menghasilkan debit lateral ke dalam sebuah jaringan sungai. Cara ini adalah mungkin yaitu dengan memperlakukan sebuah DAS atau DAS besar yang terdiri dari beberapa atau banyak sub-DAS dan jaringan sungai serta saluran yang komplek dalam satu kerangka jaringan yang sama. NAM singkatan dari Danish ” Nedbor-Afstromnings-Model” yang artinya precipitation-runoff-model. Model ini aslinya dikembangkan oleh Department of Hydrodynamics and Water Resources pada Technical University of Denmark. Model matematika yang dikembangkan adalah model matematika dalam bentuk kuantitatif sederhana sesuai dengan perilaku phase tanah dalam siklus hidrologi. NAM menyediakan variasi komponen dari proses rainfall-runoff dengan
24
perhitungan yang menerus dalam empat tampungan berbeda yang saling berhubungan. Masing-masing tampungan
menggambarkan elemen fisik DAS
yang berbeda. Model NAM dapat dikarakteristikkan sebagai model deterministic (berdasarkan persamaan matematika dan kaidah-kaidah yang berlaku), lumped (karakter DAS mempunyai parameter yang sama), model konseptual dengan data masukan yang moderat. Model NAM adalah alat teknik yang telah terbukti baik yang dapat diterapkan untuk DAS di seluruh dunia, dengan perbedaan regime hidrologi dan kondisi iklim.
b.
UHM Model
Model UHM saat ini merupakan simulasi runoff dari kejadian tunggal dengan penggunaan teknik unit hidrograf yang baik dan dilandasi oleh alternatif model NAM untuk simulasi banjir pada lahan. Model perhitungan runoff dari beberapa DAS dilakukan secara serempak termasuk parameter-parameter lainnya. Dalam unit hidrograf, hujan efektif dihitung berdasarkan asumsi bahwa kehilangan akibat infiltrasi dihitung sebagai kondisi awal dan merupakan kehilangan konstan, sesuai dengan metode SCS. Hujan efektif ditelusuri ke sungai dengan metode unit hidrograf. Model ini termasuk model hidrograf tidak berdimensi SCS yang baik untuk pengaturan dan kemantapan data dengan menggunakan unit hidrograf dan time series dari curah hujan dan debit sungai.
c.
SMAP Model
SMAP adalah model simulasi hidrologi rainfall-runoff tipe lumped. Model ini menghitung secara kontinu terhadap kelembaban tampungan pada zona akar dan air tanah pada DAS yang mempunyai interaksi yang baik antara kedua tampungan tersebut dan pengaruh masing-masing terhadap evaporasi dan runoff. Seperti halnya kelembaban kontinu lainnya, perhitungan model rainfall runoff SMAP memerlukan data series curah hujan dan evapotranspirasi selama simulasi sebagai input dan debit bulanan hasil observasi pada periode 4 s/d 8 tahun untuk kalibrasi.
25
d.
Urban Model
Ada dua konsep perhitungan yang berbeda dalam model Urban, yaitu : a. Metode time-area b. Metode non-linier reservoir (kinematik wave) Model pertama yang dinamakan metode ”Time Area” ,
yaitu dengan cara
mengkontrol jumlah runoff dengan kehilangan saat awal, ukuran kontribusi area dan dengan kehilangan menerus secara hidrologi. Bentuk dari hidrograf runoff dikontrol dengan waktu konsentrasi dan dengan kurva time-area. Model yang kedua yaitu metode kinematik wave yang menghitung
aliran
permukaan dianggap sebagai saluran terbuka (open channel), dengan hanya mempertimbangkan gaya gravitasi dan gaya friksi. Jumlah runoff dikontrol dengan kehilangan variasi parameter hidrologi dan ukuran area kontribusi nyata. Sedangkan bentuk hidrograf runoff dikontrol dengan parameter DAS, yaitu panjang, kemiringan dan kekasaran permukaan DAS. Parameter-parameter tersebut adalah format dasar untuk perhitungan kinematik wave dengan persamaan Manning. Sesuai dengan alasan-alasan yang telah diungkapkan di atas, terutama karakteristik DAS yang besar yang terdiri dari beberapa sub DAS dan kalibrasi yang terbukti akurat untuk perbedaan regime hidrologi dan kondisi iklim, maka dalam simulasi selanjutnya digunakan NAM model.
II.1.4.3
Model Aplikasi NAM
II.1.4.3.1 Struktur Model Konsep model NAM didasarkan pada struktur fisik dan persamaan yang digunakan bersama dengan semi empiris. NAM merupakan model lump dan memperlakukan DAS sebagai satu unit tunggal (lihat gambar II.13). Parameter dan variabel mempresentasikan rata-rata nilai dari keseluruhan DAS. Hasil-hasil dari parameter model dapat dievaluasi dengan data fisik DAS, akan tetapi perkiraan parameter akhir harus dipenuhi dengan kalibrasi hasil observasi.
26
Q OF
Overland Flow
SNOW RAIN
OF
P
Umax
Ep
Surface storage
IF
U Q IF Inter Flow Ep
DL
Root zone storage
Lmax
L
CAFlux
G
GW Pump BFu BF
GWL
Groundwater storage
Base Flow
Gambar II.13. Stuktur Model NAM Gambar di atas menunjukkan pendekatan siklus hidrologi pada lapisan tanah. Simulasi NAM pada proses rainfall-runoff dihitung secara kontinu pada empat perbedaan kandungan air dan masing-masing tampungan saling berhubungan yang digambarkan berbeda dalam sebuah DAS.
Masing-masing tampungan
tersebut adalah : •
Tampungan Salju (Snow storage)
•
Tampungan Permukaan (Surface storage)
•
Tampungan Zona Akar (Lower or root zone storage)
•
Tampungan Air Tanah (Groundwater storage)
Hasil runoff dari simulasi model NAM ini dipisah dalam komponen overland flow, interflow dan baseflow.
II.1.4.3.2 Komponen Dasar Model a.
Tampungan Permukaan (Surface Storage), U
Yang termasuk ke dalam surface sorage adalah intersepsi pada tumbuhan, air yang terperangkap dalam cekungan permukaan (depression storage) dan pada bagian tanah yang ditanami. Umax adalah notasi batas maksmum jumlah air dalam surface storage ini. Jumlah air, U dalam surface storage secara menerus berkurang oleh adanya evaporasi konsumtif dan juga oleh adanya aliran horizontal (interflow). Ketika surface storage maksimum, air efektif (excess water), PN, 27
akan mengalir menjadi overland flow dan sisanya dialihkan infiltrasi masuk ke tampungan zona akar dan air tanah. b. Tampungan Zona Akar (Root Zone Stotage), L Kelembaban dalam zona akar, yaitu pada lapisan bawah permukaan tanah dimana tanaman dapat mengisap air untuk transpirasi dinamakan Lower zone atau Root Zone Storage. Lmax adalah notasi untuk batas maksimum dari jumlah air yang ada dalam tampungan tersebut. Kelembaban pada zona ini adalah bagian utama dari kandungan air yang hilang akibat transpirasi dan juga mengontrol jumlah air yang masuk ke tampungan air tanah sebagai recharge, interflow dan aliran permukaan (overland flow). c. Evapotranspirasi, Ep Kebutuhan untuk evapotranspirasi yang pertama kali akan dipenuhi oleh surface storage. Jika nilai U pada surface storage lebih kecil dari pada yang dibutuhkan (U < Ep), maka sisanya akan diserap dari tampungan zona akar pada nilai evapotranspirasi aktual (Ea). Oleh karena itu nilai Ea sebanding dengan Ep dan berbanding lurus dengan kelembaban tanah relatif
L L max
dari zona akar. Maka nilai
Ea dapat dirumuskan sebagai berikut : Ea = (Ep − U )
L
(II.15)
L max
d. Aliran Permukaan (Overland Flow), QOF Ketika tampungan permukaan melimpas, yaitu ketika U > Umax, maka air efektif (excess water, PN) akan akan menjadi aliran permukaan (overland flow) dan infiltrasi. QOF merupakan notasi dari bagian PN yang menjadi overland flow. Diasumsikan bahwa PN berbanding lurus dengan kelembaban tanah relatif
L L max
,
maka persamaannya dapat dituliskan menjadi : L ⎧ − TOF ⎪ L max L ⎪⎪CQOF > TOF PN untuk 1 − TOF L max QOF = ⎨ ⎪ L ⎪0 untuk ≤ TOF ⎪⎩ L max
Dimana : CQOF adalah koefisien aliran permukaan ( 0 ≤ CQOF ≤ 1 )
28
(II.16)
TOF adalah nilai awal untuk overland flow (0 ≤ TOF ≤ 1 ). Aliran air efektif yang tidak mengalir menjadi overland flow, menjadi infilrasi (PN-QOF) masuk ke zona akar menambah kelembaban dalam zona akar sebesar ΔL. Kandungan jumlah infiltrasi diasumsikan dapat berkurang dengan adanya perkolasi yang masuk ke dalam tanah menjadi aliran tanah (G). e. Interflow, QIF Kontribusi interflow, QIF diasumsikan sebanding dengan U dan berbanding lurus dengan kelembaban tanah relatif (
L ), sehingga dapat dirumuskan menjadi : L max
L ⎧ − TIF ⎪ L −1 L max ⎪⎪CKIF U untuk > TIF 1 − TIF L max QIF = ⎨ ⎪ L ⎪0 untuk ≤ TIF ⎪⎩ L max
(II.17)
Dimana : CKIF adalah konstanta waktu untuk interflow dan TIF adalah nilai awal untuk interflow ( 0 ≤ TIF ≤ 1 )
f.
Pengisian Kembali Air Tanah (Groundwater Recharge)
Jumlah infiltrasi yang mengisi air tanah tergantung pada kandungan kelembaban zona akar, seperti yang dirumuskan sebagai berikut : L ⎧ − TG ⎪ L max ⎪⎪(PN − QOF) 1 − TG G=⎨ ⎪ ⎪0 ⎩⎪
untuk untuk
L L max L L max
> TG
(II.18)
≤ TG
Dimana : TG adalah nilai awal untuk pengisian air tanah ( 0 ≤ TG ≤ 1 ) g.
Kandungan Kelembaban Tanah (Soil Moisture Content)
Tampungan zona akar direpresentasikan sebagai kandungan air dalam zona akar. Setelah membagi hujan efektif antara overland flow dan infiltrasi dengan aliran air tanah, kelebihan hujan efektif menambah kandungan kelembaban tanah pada zona akar sebesar ΔL . ΔL = PN − QOF − G
(II.19)
29
h.
Aliran dasar (Baseflow)
Baseflow dari tampungan air tanah dihitung sebagai outflow secara linier dengan waktu konstan, CKBF dalam persamaan berikut : ⎧(GWL BF0 − GWL)Sy(CKBF) −1 untuk GWL ≤ GWL BF0 BF = ⎨ untuk GWL > GWL BF0 ⎩0
(II.20)
Dimana : Sy adalah nilai spesifik reservoir, GWL adalah kedalaman muka air tanah dan GWLBF0 adalah kedalaman maksimum GWL akibat baseflow.
II.1.4.3.3 Parameter Model a.
Kandungan Air Maksimum dalam Tampungan Permukaan, Umax
Tampungan permukaan ini sudah termasuk kandungan intersepsi yang ada pada tumbuhan, cekungan permukaan dan elevasi sedikit di atas permukaan tanah. Nilai Umax ini berkisar antara 10 – 20 mm. Salah satu karakter yang penting dalam model adalah tampungan permukaan harus di atas kapasitas maksimum, yaitu U ≥ Umax sebelum air efektif (PN) terjadi. Pada periode musim kemarau, curah hujan harus terjadi dahulu sebelum aliran permukaan terjadi dan dapat digunakan untuk estimasi Umax. b. Kandungan Air Maksimum dalam Tampungan Zona Akar, Lmax Lmax adalah kandungan kelembaban maksimum dalam zona akar yang tersedia untuk proses transpirasi tumbuhan. Idealnya, Lmax dapat diestimasi dengan mengalikan antara kapasitas lahan dan titik layu pada tanah aktual dengan kedalaman akar efektif. Perbedaan antara kapasitas lahan dengan titik layu ditunjukkan dengan kapasitas simpan air yang tersedia (AWHC). Sebagai catatan bahwa Lmax merepresentasikan nilai rata-rata untuk seluruh DAS, yaitu nilai rata-rata untuk variasi tipe tanah dan kedalaman akar dari setiap jenis tumbuhan, oleh karen aitu Lmax secara praktis tidak dapat diestimasi dari data lapangan, tetapi didefinikan pada suatu interval tertentu. c. Koefisien Limpasan Aliran Permukaan, CQOF CQOF adalah parameter yang sangat penting yang menentukan luas hujan efektif yang menjadi aliran permukaan dan besarnya infiltrasi. CQOF adalah parameter tanpa dimensi yang nilainya berkisar antara 0 sampai dengan 1. Secara fisik dalam cara lump, CQOF mencerminkan infiltrasi dan juga luasnya recharge yang terjadi. 30
Nilai CQOF kecil dapat diduga bahwa terjadi pada DAS yang datar dan kasar, jenis tanahnya banyak mengandung pasir dan sebagian besar tanahnya tidak jenuh air, sedangkan sebaliknya untuk nilai CQOF yang besar diduga DAS mempunyai jenis tanah yang rendah terhadap tembus air misalnya tanah liat dan batuan terbuka. d. Konstanta Waktu Interflow, CKIF CKIF (dalam jam) bersama dengan Umax menentukan besarnya interflow . CKIF-1 adalah jumlah kandungan air permukaan (U) yang mengalir menjadi interflow setiap jam. Secara fisik interpretasi interflow sulit, karena jarang menjadi komponen aliran sungai yang dominan. CKIF umumnya bukan parameter yang penting, biasanya mempunyai nilai antara 500 – 1000 jam. e. Konstanta Waktu untuk Penelusuran Interflow dan Overland Flow, CK12 Konstanta waktu untuk penelusuran interflow dan aliran permukaan, CK12 (dalam jam) menentukan bentuk puncak hidrograf. Nilai CK12 tergantung pada ukuran DAS dan bagaimana kecepatan responnya terhadap curah hujan. Nilai CK12 berada pada interval 3 – 48 jam. f. Nilai Awal Zona Akar untuk Aliran Permukaan, TOF Tidak akan terjadi aliran permukaan, apabila kelembaban relatif dari zona akar (L/Lmax) lebih kecil dari TOF. Untuk dicatat bakwa nilai awal tidak penting pada periode musim hujan. Pada lahan yang ada musim hujan dan musim keringnya, TOF dapat diestimasi dengan simulasi dasar dimana kejadian hujan lebat tidak menaikkan respon cepat terhadap komponen aliran permukaan. Berdasarkan hasil penelitian, nilai TOF berada pada interval 0 – 0,7. g. Nilai Awal Zona Akar untuk Interflow, TIF Nilai awal zona akar untuk interflow mempunyai fungsi yang sama seperti TOF pada aliran permukaan. Biasanya parameter ini bukan merupakan yang sangat penting dan pada kebanyakan kasus diberi nilai nol. h. Konstanta Waktu Baseflow, CKBF Konstanta waktu dari baseflow, CKBF ( dalam jam) menentukan bentuk dari simulasi hidrograf pada periode musim kering/kemarau. CKBF dapat diestimasi dari analisa resesi (perubahan bentuk garis) hidrograf. Menurut pengalaman, nilai CKBF berkisar antara interval 500 – 5000 jam.
31
i. Nilai Awal Zona Akar untuk Pengisian Air Tanah, TG Nilai awal zona akar untuk pengisian mempunyai dampak yang sama pada pengisian seperti TOF pada aliran permukaan. Parameter ini penting untuk simulasi kenaikan muka air tanah pada awal musim hujan.
j. Pengisian untuk Tampungan Air Tanah Terendah, CQLOW Dalam beberapa kasus bentuk resesi hidrograf berubah menjadi lambat setelah periode tertentu. Untuk mensimulasikan ini, CQLOW dimasukkan. Parameter CQLOW menentukan proporsi dari pengisian kembali melalui perkolasi ke tampungan air tanah terendah. CQLOW bersama-sama dengan Cklow dapat diestimasi dari analisa resesi hidrograf. k. Konstanta Waktu untuk Penelusuran Baseflow Terendah, CKlow Baseflow dari tampungan air tanah terendah dimodelkan menggunakan persamaan linier reservoir dengan konstanta waktu,
CKlow (dalam jam). Cklow dapat
diestimasi dari analisa resesi hidrograf, biasanya Cklow lebih besar daripada CKBF. l. Kedalaman Maksimum Air Tanah Akibat Baseflow, QWLBFO Kedalaman maksimum muka air tanah yang terjadi pada baseflow, GWLBFO (m) merepresentasikan elevasi aliran ke luar (outflow) dari tampungan air tanah, digambarkan sebagai jarak antara elevasi rata-rata air tanah pada DAS dan elevasi minimum pada sungai yang memungkinkan dapat terjadi aliran. m. Specifik Yield, Sy Nilai specifik yield untuk tampungan air tanah sering ditaksir dari data hidrologi yaitu dengan tes pompa. Sebagai alternatif, nilai Sy dapat diestimasi dari literatur untuk jenis tanah yang berbeda. Nilai yang rendah diketahui untuk tanah liat (clay) dengan kisaran nilai 0,01 – 0,1 dan nilai yang tinggi untuk pasir dengan nilai antara 0,1 – 0,3. n. Kedalaman Air Tanah untuk Perubahan Satuan Kapilaritas, WLFL1 GWLFL1 adalah kedalaman muka air tanah yang menghasilkan kenaikan setiap perubahan satu kapiler 1 mm/ hari ketika kandungan kelembaban lapisan tanah atas pada titik layu, yaitu L = 0. Parameter ini tergantung pada jenis tanah dan nilai untuk 20 jenis tanah (Rijtema, 1969) dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
32
Table II. 1
Kedalaman Muka Air Tanah Sesuai Dengan Perubahan Satuan Kapilaritas per 1 mm/hari Untuk 20 Jenis Tanah. Jenis Tanah 1. Coarse sand
GWLFL1 [m] 0.5
2. Medium coarse sand
0.6
3. Medium fine sand
0.9
4. Fine sand
1.5
5. Humus loamy medium coarse sand
1.2
6. Light loamy medium coarse sand
0.7
7. Loamy medium coarse sand
0.5
8. Loamy fine sand
1.7
9. Sandy loam
0.7
10. Loess loam
1.5
11. Fine sandy loam
2.5
12. Silty loam
2.8
13. Loam
1.9
14. Sandy clay loam
2.2
15. Silty Clay Loam
1.8
16. Clayey Loam
1.0
17. Light clay
2.9
18. Basin clay
0.4
19. Silty clay
1.4
20. Peat
0.6
II.1.4.3.4 Kalibrasi Model Dalam kalibrasi model biasanya ada beberapa tujuan yang perlu dipertimbangkan seperti yang diuraikan di bawah ini : •
Adanya kesesuaian antara rata-rata limpasan hasil simulasi dengan hasil observasi
•
Adanya kesesuaian bentuk hidrograf
•
Adanya kesesuaian antara aliran puncak dengan hubungan waktu, nilai dan volume
•
Adanya kesesuaian pada aliran rendah.
Hubungan tersebut di atas penting untuk dicatat, bahwa secara umum trade off yang terjadi antara berbagai tujuan. Dalam proses kalibrasi, perbedaan tujuan antara 1 sampai dengan 4 di atas harus diperhitungkan. Secara umum evaluasi dari kalibrasi model adalah dengan cara membandingkan antara hasil simulasi dengan hasil pengukuran. Bentuk numerik pengukuran termasuk kesalahan keseimbangan air dan pengukuran semua bentuk hidrograf didasarkan pada koefisien determinan dari Nash-Sutcliffe Coefficient sebagai berikut :
33
∑ [Q
2
N
R = 1− 2
i =1
∑ [Q
sim,i
(II.21)
]
2
N
i =1
Dimana : Q
obs ,i
− Q sim ,i ]
obs ,i
− Q obs
adalah debit hasil simulasi pada waktu i dan Q
obs,i
adalah debit
hasil pengukuran. Untuk simulasi yang sempurna akan diperoleh angka R2 = 1. Kenyataannya harus ada kesepakatan antara simulasi dan abservasi, karena tidak selamanya sesuai dengan yang diharapkan. Yang paling baik dari kalibrasi model adalah jika termasuk pengaruh-pengaruh dari perbedaan berbagai sumber kesalahan, yaitu : •
Kesalahan dalam input data meteorologi
•
Kesalahan dalam mencatat data observasi
•
Kesalahan dan penyederhanaan dalam struktur model
•
Kesalahan akibat penggunaan nilai parameter yang tidak optimal.
II.2
Tinjauan Aspek Hidrodinamik Banjir
II.2.1 Banjir dan Implementasi Solusi Hidraulik Dengan Numerik II.2.1.1
Persepsi Tentang Banjir
Banjir adalah aliran tinggi relatif yang melimpah (overtopping) terhadap tanggul alam atau buatan pada beberapa bagian sungai. Ketika tanggul overtopping, air menyebar pada dataran banjir (flood plain) dan pada umumnya mendatangkan masalah pada manusia (Chow V. T. dkk, 1964). Banjir dapat didefinisikan sebagai aliran yang overtopping terhadap tanggul sungai. Definisi ini tidak lengkap secara hidrologi karena tidak memasukkan faktor geomorfologi, teknik dan manajemen air. Bank-full capacity sungai tergantung pada kondisi geologi dan topografi sekitar dan struktur hasil rekayasa manusia (Raudkivi, A. J., 1979). Sesuai dengan dua definisi di atas, yang dimaksud banjir dalam disertasi ini adalah terjadinya overtopping aliran akibat kapasitas penampang Sungai Citarum Hulu yang tidak dapat menampung beban debit yang mengalir di atasnya. Selanjutnya aliran yang overtopping tersebut menyebar pada bantaran banjir
34
(flood plain area) yang pada umumnya sudah dihuni atau diberdayakan oleh manusia sehingga mendatangkan masalah atau malapetaka.
II.2.1.2
Dataran Banjir (Flood Plain)
Flood plain adalah daerah lahan kering dalam keadaan normal yang berada di sekitar sungai, danau, teluk atau pantai yang tergenang pada saat terjadi banjir. Flood plain dapat berupa lembah yang lebar sepanjang sungai atau lembah yang datar seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawahi ini. Sections
Section A Base of slope
Limit of 100-year flood
Limit of 10-year flood
Section B Alluvium
Flood Plain
Channel
Flood Plain
Flood Plain for 100 year Stream valley
100-year flood level
Section A
10-year flood level Section B
Bed level channel
Gambar II.14. Tipikal Potongan dan Profil Sungai ( Waananen, et al.,1977)
35
II.2.1.3
Metode Numerik Sebagai Solusi Persamaan Hidraulik
Ada dua persamaan umum yaitu persamaan kontinuitas dan momentum untuk menyelesaian penelusuran aliran air di sungai. Kedua persaman tersebut selanjutnya terkenal dengan persamaan Saint Venant. Karena kedua persamaan tersebut tidak dapat diselesaikan secara biasa, maka digunakan metoda numerik dengan bantuan komputer untuk menyelesaikannya. Pendekatan awal untuk menyelesaikan penelusuran banjir dengan numerik adalah berdasarkan metode Characteristic . Metode ini pada dasarnya mengubah bentuk persamaan differensial parsial ke dalam empat bentuk persamaan differensial biasa yang kemudian diselesaikan secara numerik. Pendekatan ini pertama kali dikembangkan oleh Monge pada tahun 1789 kemudian secara detail dipresentasikan oleh Stoker (1957), Henderson (1966), Abbott (1979), Overton dan Meadows (1976) dan Lai (1986). Metode Explisit digunakan untuk menyelesaikan perhitungan kecepatan dan kedalaman aliran pada sistem grid berdasarkan data yang sudah diketahui sebelumnya. Metode ini dipelopori oleh Stoker (1957) dan Issacson, et al. (1956). Sedangkan metoda Implisit digunakan untuk menyelesaikan persamaan pada setiap tahapan waktu. Metode implisit empat titk ini dikembangkan oleh Amien dan Fang (1970).
II.2.2 Persamaan Model Satu Dimensi di Sungai Ada tiga hukum konservasi, yaitu massa, momentum dan energi yang digunakan untuk menggambarkan aliran saluran terbuka. Dua variabel aliran yaitu kedalaman dan kecepatan atau kedalaman dan nilai debit, cukup untuk mendefinisikan kondisi aliran pada sebuah penampang melintang. Karena itu dua persamaan pengatur digunakan untuk menganalisa keadaan jenis aliran yaitu persaman kontinuitas dan persamaan momentum atau persamaan energi. Untuk aliran yang kontinu digunakan persamaan energi, sedangkan pada aliran yang tidak kontinu, misalnya jika melalui terjunan atau lubang digunakan persamaan momentum, karena perlu diketahui berapa jumlah kehilangan (losses) yang terjadi (Chaudhry, M.H., 1993).
36
Persamaan energi dan persamaan momentum sepadan untuk kedalaman aliran dan kecepatan yang kontinu, kecuali nilai-nilai koefisien tinggi kecepatan, α dan koefisien momentum, β (Cunge, et al, 1980) Persamaan Saint Venant adalah persamaan yang digunakan untuk menyelesaikan persamaan kontinuitas dan persamaan momentum dalam hidrodinamik aliran satu dimensi. Dari penurunan persamaan kontinuitas bahwa inflow dikurangi outflow sama dengan perubahan tampungan dapat digambarkan sebagai berikut : q
ΔX Continuity
q FH
y Fg
Fr
FH
So ΔX Force balance
Gambar II.15 Elemen-elemen Kontinuitas dan Momentum di Sungai (Sumber : Bedient, Philip B., Huber, Wayne C., 1992)
Dimana : q = debit aliran lateral per unit panjang sungai A = luas penampang melintang
37
Persamaan kontinuitas menjadi : (II.22)
Dalam satuan lebar dengan kecepatan rata-rata v, persamaan kontinuitas di atas menjadi : (II.23) Persamaan momentum dalam arah x dibangun dari keseimbangan gaya pada elemen sungai mengikuti arah dengan hukum Newton II. Dari gambar II.15 di atas dapat ditulis besarnya gaya-gaya :
Dimana : γ = berat jenis air = jarak dari permukaan air ke pudat tekanan Sf = kemiringan friksi So = kemiringan dasar Perubahan momentum diekspresikan dari fluida mekanik sebagai :
(II.24) Dimana :
Dengan mensubtitutikan gaya-gaya yang bekerja, maka persamaan II.24 menjadi :
+
(II.25)
Untuk lateral inflow yang diabaikan dan lebar sungai yang sangat besar, persamaan di atas menjadi (Henderson, 1966) : (II.26) Dari persamaan di atas, untuk masing-masing bentuk adalah jelas sebagai berikut :
38
•
Untuk aliran tetap dan seragam (steady and uniform flow), kemiringan energi sama dengan kemiringan dasar saluran (Kinematic Wave).
•
Untuk aliran tetap dan berubah lambat laun (steady and gradually varied flow), diperoleh dengan memasukkan variasi kedalaman aliran dan tinggi kecepatan dalam arah x.
•
Untuk aliran tidak tetap dan tidak seragam (unsteady and nonuniform flow), diperlukan aliran yang shahih untuk aliran tersebut dalam hal ini termasuk perubahan kecepatan terhadap waktu.
(Chaudhry, M.H., 1993) Dalam penelitian disertasi ini model sofware yang digunakan untuk simulasi satu dimensi di sungai menggunakan MIKE 11. Sofware ini digunakan dengan alasan persamaan pengatur yang digunakan sudah memenuhi persamaan yang lengkap berupa dynamic wave (unsteady and nonuniform flow).
II.2.2.1
Persamaan Saint Venant Dalam Model Mike 11
MIKE 11 mengaplikasikan fully dymanic untuk menyelesaikan persamaan intergrasi dari konservasi volume dan momentum dari persamaan Saint Venant yang diperoleh atas dasar asumsi-asumsi sebagai berikut : •
A ir merupakan zat yang tidak mampu mampat dan homogen.
•
K emiringan dasar sungai kecil
•
G elombang panjang lebih besar dibandingkan dengan kedalaman aliran. Maksudnya adalah yakinkan bahwa dimanapun aliran dapat diamati, mempunyai arah yang sejajar dengan dasar sungai, yaitu kecepatan arah vertikal dapat diabaikan dan variasi tekanan hidrostatis dalam arah vertikal dapat diasumsikan.
• Aliran adalah sub kritis.
39
Untuk penampang segi empat dengan kemiringan dasar horizontal dan lebar tetap, konservasi massa dan momentum diekspresikan sebagai berikut (pada awal kejadian, friksi dan aliran lateral diabaikan) : Untuk persamaan konservasi massa dengan tidak ada aliran lateral q = 0 :
(
∂ (ρHb ) ∂ ρHbu =− ∂t ∂x
)
(II.27)
Sedangkan untuk konservasi momentum serupa dengan persamaan II.26 dengan asumsi kemiringan dasar So = 0 diperoleh : 2 1 ⎞ ⎛ ∂⎜ α' ρHb u + ρgbH 2 ⎟ ∂ ρHb u 2 ⎠ =− ⎝ ∂x ∂t
(
)
Dimana ρ = rapat massa, H = kedalaman air, b = lebar dasar saluran,
(II.28) = rata-rata
kecepatan aliran sepanjang vertikal dan α’= koefisien distribusi kecepatan ratarata vertikal. Apabila kemiringan dasar adalah Ib dan mempertimbangkan lebar sungai yang berbeda, maka persamaan momentum akan bertambah dua suku. Kedua suku tersebut menggambarkan proyeksi arah aliran berdasarkan kemiringan dasar dan dinding samping untuk tekanan hidrostatis. Maka persamaan II.28 menjadi : 2 1 ⎞ ⎛ ∂⎜ α' ρHb u + ρgbH 2 ⎟ ∂b ρgH 2 ∂ ρHb u 2 ⎠ ⎝ + − ρgHbI b =− ∂x ∂x 2 ∂t
(
=−
)
(
∂ α' ρHb u ∂x
2
)
(II.29)
⎞ ⎛1 ∂⎜ ρgbH 2 ⎟ 2 ⎠ − ρgHbI −b ⎝ b ∂x
Jika elevasi muka air h diganti menjadi hubungan kedalaman air H,, maka akan diperoleh : ∂h ∂H = Ib + ∂x ∂x
Dan persamaan di atas dibagi dengan rapat massa ρ, persamaan konservasi massa dan momentum manjadi :
40
(
∂ (Hb ) ∂ Hbu =− ∂t ∂x
(
(
)
)
∂ Hbu ∂ α' Hbu =− ∂t ∂x
(II.30) 2
) − Hbg ∂h
(II.31)
∂x
Persamaan di atas dapat diintegrasikan untuk menggambarkan aliran melalui penampang melintang yang dibagi dalam beberapa bentuk segiempat, seperti pada gambar II.16 berikut ini:
B b
Δx
h
Gambar II.16 Penampang Melintang Dalam Model Pendekatan
Menurut asumsi sebelumnya, bahwa penampang melintang sungai adalah konstan dan tidak terjadi pertukaran momentum antara subchannel. Jika integrasi luas penampang dinamakan A dan integrasi debit Q, dan B adalah lebar total dari penampang maka : B
A = ∫ Hdb
(II.32)
0
B
Q = ∫ H udb = uA
(II.33)
0
Jika persamaan konservasi massa dan momentum yang digunakan dalam MIKE 11 (pers. II.30 dan II.31) diintegrasikan dan dimasukkan nilai-nilai yangada pada persamaan II.32 dan II.33 maka akan diperoleh :
41
∂ (Q ) ∂ (A ) + =0 ∂x ∂t
⎛ Q2 ∂⎜⎜ α' A ∂ (Q ) +− ⎝ ∂x ∂t
(II.34) ⎞ ⎟⎟ ⎠ + gA ∂h = 0 ∂x
(II.35)
Dengan memasukkan nilai tahanan hidraulik, misalnya Chezy dan alian lateral sebesar q ke dalam persamaan terakhir di atas, maka akan menjadi persamaan dasar yang digunakan dalam MIKE 11 : ∂ (Q ) ∂ (A ) + =q ∂x ∂t ⎛ Q2 ∂⎜⎜ α' A ∂ (Q ) +− ⎝ ∂x ∂t
(II.36) ⎞ ⎟⎟ ⎠ + gA ∂h + gQ Q = 0 ∂x C 2 AR
(II.37)
Apabila dimasukkan nilai Sf dan So pada persamaan II.37, maka akan sama dengan persamaan II.26.
II.2.2.2
Skema Penyelesaian
Penyelesaian dari sistem kombinasi persamaan pada selang waktu (time step) dilakukan mengikuti prosedur di bawah ini. Metode penyelesaian adalah sama untuk masing-masing tingkatan model (kinematic, diffusive dan dynamic). Transformasi persamaan II.36 dan II.37 diset pada persamaan beda hingga implisit yang dilakukan pada perhitungan dalam grid sebagai titik Q dan h. Dimana titik debit (Q ) dan kedalaman muka air (h) dihitung pada masing-masing time step seperti pada gambar II.17 di bawah. Perhitungan grid dibangkitkan secara otomatis dengan model sesuai dasar kebutuhan pengguna. Titik Q selalu ditempatkan ditengah antara titik h, sedangkan jarak antara titik h bisa berbeda. Sesuai hukum, debit didefinisikan positif dalam arah x-positif. h 7
Q 6
h
42
h h 1
Q 2
3
Q 4
5
Gambar II.17 Penampang Saluran dalam Perhitungan Grid Dengan mengadopsi skema 6 – titik dari Abbott dapat digambarkan sebagai berikut :
timestep
J‐1
J
n+1
J+1
n+1/2
CENTERPOINT
J‐1
J
J+1
Δt
n
Gambar II.18 Skema 6-titik dari Abbott
a.
P ersamaan Kontinuitas
Dalam persamaan kontinuitas lebar tampungan, bs dikenalkan sebagai : ∂A ∂h = bs ∂t ∂t
(II.38)
Sehingga memberikan : ∂Q ∂h + bs =q ∂x ∂t
(II.39)
Hanya Q yang mempunyai turunan dengan hubungan ke x, persamaan dapat dengan mudah dipusatkan pada titik h. Δ2xj
timestep
Δxj Q
Δxj+1 h
Q
n+1
n+1/2
CENTERPOINT
43 Q
h
Q
j‐1
j
J+1
n
Δt
Gambar II.19 Penempatan Persamaan Kontinuitas dalam Skema 6-titik dari Abbott Turunan dari persamaan II.39 diekspresikan pada tingkat n+1/2 adalah sebagai berikut :
∂Q ≈ ∂x
(Q
n +1 j+1
+ Q nj+1 2
2Δx j
(
h nj +1 − h nj ∂h ≈ ∂t Δt bs =
) − (Q
n +1 j−1
+ Q nj−1
)
2
(II.40)
)
(II.41)
A oj + A o +1
(II.42)
2Δx j
dimana : Aoj
= luas permukaan antara grid titik j-1 dan j
Aoj+1
= luas permukaan antara grid titik j dan j+1
Δ2xj
= jarak antara titik j-1 dan j+1
Dengan mensubtitusikan persamaan turunan di atas ke persamaan II.39 maka diperoleh :
α jQ nj−+11 + β j h nj +1 + γ j Q nj++11 = δ j
(II.43)
dimana : α, β dan γ adalah fungsi dari b dan δ juga tergantung pada nilai Q dan h pada tingkat n dan Q pada tingkat n+1/2.
b. Persamaan Momentum Persamaan momentum dipusatkan pada titik Q seperti pada gambar berikut : Δ2xj
timestep
Δxj h
Δxj+1 Q
h
n+1
n+1/2
CENTERPOINT
44 h
Q
h
j‐1
j
J+1
n
Δt
Gambar II.20 Penempatan Persamaan Momentum Dalam Skema Abbott 6-titik
(
)
n +1 n ∂Q Q j − Q j ≈ ∂t Δt
⎛ Q2 ⎞ ⎟⎟ ∂⎜⎜ α ⎝ A ⎠≈ ∂x
∂h ≈ ∂x
(h
n +1 j+1
(II.44) n +1 / 2
⎡ Q2 ⎤ ⎢α ⎥ ⎣ A ⎦ j+1
+ h nj+1 2
) − (h
n +1 / 2
⎡ Q2 ⎤ − ⎢α ⎥ ⎣ A ⎦ j−1 2Δx j
n +1 j−1
+ h nj−1
)
2
2Δx j
(II.45)
(II.46)
Apabila semua aturunan di atas disubtitusikan ke persamaan momentum II.37, maka akan diperoleh :
α j h nj−+11 + β j Q nj +1 + γ j h nj++11 = δ j
(II.47)
dimana : α j = f (A)
(
β j = f Q nj , Δt , Δx, C, A, R
)
γ j = f (A ) δ j = f (A, Δx , Δt , α, q, v, θ, h nj−1 , Q nj−+11 / 2 , Q nj , h nj+1 , Q nj++11 / 2 )
II.2.2.3
Syarat Batas
Dalam MIKE 11 ada (3) tiga syarat batas yang dapat diaplikasikan, yaitu : •
Elevasi muka air dalam fungsi waktu
•
Debit aliran dalam fungsi waktu
•
Hubungan antara elevasi muka air dengan debit (Q/h)
Masing-masing jenis syarat batas dihitung dengan menggunakan persamaan titik yang berbeda.
45
II.2.3 Persamaan Model Dua Dimensi di Dataran Banjir Pada sub bab sebelumnya sudah dijelaskan mengenai aliran satu dimensi, dimana asumsi yang digunakan tidak dapat berlaku pada banyak situasi, misalnya aliran pada saluran non prismatis (yaitu saluran dengan penampang melintang dan alinyemen yang bervariasi), aliran di hilir bendung atau aliran lateral dari tanggul yang jebol. Walaupun pada kenyataannya aliran dalam kondisi tiga dimensi, kita dapat menyederhanakan analisanya dengan menganggap aliran dua dimensi dengan menggunakan rata-rata nilai vertikalnya. Selanjutnya yang harus kita lakukan adalah menelusuri persamaan aliran dua dimensi tidak tetap, kemudian menurunkannya dalam metode explicit atau implicit finite difference untuk menyelesaikannya. Persamaan pengatur yang dapat digunakan untuk penurunkan aliran dua dimensi adalah dengan mengintergrasikan persamaan Navier-Stokes (Jimenez, 1987) untuk aliran tak mampu mampat pada kedalaman aliran (Lai, 1986). Persamaan Navier-Stokes untuk aliran tak mampu mampat pada koordinat kartesian adalah sebagai berikut : Persamaan Kontinuitas : ∂u ∂v ∂w + + =0 ∂x ∂y ∂z
(II.48)
Persamaan Momentum : ∂u ∂u ∂u ∂u 1 ∂p μ 2 +u +v +w = gx − + ∇ u ∂t ∂x ∂y ∂z ρ ∂x ρ
(II.49)
∂v ∂v ∂v ∂v 1 ∂p μ 2 +u +v +w = gy − + ∇ v ∂z ρ ∂y ρ ∂t ∂x ∂y
(II.50)
∂w ∂w ∂w ∂w 1 ∂p μ 2 +u +v +w = gw − + ∇ w ∂t ∂x ∂y ∂z ρ ∂z ρ
(II.51)
Dimana : •
u, v dan w adalah komponen kecepatan pada arah x, y dan z.
•
g = (gx, gy dan gz) adalah gaya gravitasi persatuan massa
•
μ adalah viskositas dinamik
•
p adalah tekanan
46
•
∇ 2 adalah operator Laplace ,
II.2.3.1
∇2 =
∂2 ∂2 ∂2 + + ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
Persamaan Dua Dimensi Aliran Dangkal Pada Mike 21
Integrasi dari persamaan momentum horizontal dan persamaan kontinuitas pada kedalaman h= η+d dalam persamaan dua dimensi air dangkal sebagai berikut :
∂h ∂h u ∂h v = hS + + ∂y ∂x ∂t
(II.52)
2
∂h u ∂h u ∂h v u ∂η gh 2 ∂ρ τ sx τ bx ∂ ∂ + + = f vh − gh − + − + (hTxy ) + (hTxy ) + hu sS ∂t ∂x ∂y ∂x 2ρ o ∂x ρ o ρ o ∂x ∂y (II.53) 2
∂h u ∂h u v ∂h v ∂η gh 2 ∂ρ τ sy τ by ∂ ∂ + + = f uh − gh − + − + (hTxy ) + (hTyy ) + hv sS ∂t ∂x ∂y ∂y 2ρ o ∂y ρ o ρ o ∂x ∂y (II.54)
Kedalaman pada kecepatan rata-rata didefinisikan dengan : η
η
h u = ∫ udz , h v = ∫ vdz −d
(II.55)
−d
Tegangan lateral Tij termasuk viscositas friksi, turbulen friksi, dan perbedaan adveksi, ketiganya dihitung dengan menggunakan formula viskositas eddy yang didasarkan pada kedalaman gradien kecepatan rata-rata.
Txx = 2A
II.2.3.2
⎛ ∂u ∂ v ⎞ ∂u ∂v , Txy = A ⎜⎜ + ⎟⎟ , Tyy = 2A ∂x ∂y ⎝ ∂x ∂y ⎠
(II.56)
Tegangan Pada Dasar Saluran
Tegangan dasar saluran ditentukan berdasarkan hukum friksi kuadrat : τb = cf u b u b ρo
(II.57)
Dengan cf = koefisien geser dan ūb = (ub,vb) adalah kecepatan aliran di atas dasar . Gabungan kecepatan friksi dengan tegangan pad dasar saluran diberikan sebagai berikut :
U τb = c f u b
2
(II.58)
Untuk perhitungan aliran dua dimensi ūb adalah kedalaman kecepatan rata-rata dan koefisin geser dapat ditentukan dari angka Chezy, C atau angka Manning, M
47
cf =
cf =
g C2
(II.59) g
(II.60)
(Mh )
1/ 6 2
Angka Manning dapat diestimasi dari kekasaran dasar dengan persamaan berikut : M=
25,4 k 1s / 6
(II.61)
Di permukaan yang tidak tertutup es, tegangan ditentukan dengan rumus empiris sebagai berikut : τs = ρ o c d u w u w
(II.62)
ρa kerapatan udara, cd = koefisien gesek udara, dan ūw =(uw, vw) kecepatan angin pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut. Hubungan kecepatan friksi dengan tegangan permukaan diberikan sebagai berikut :
U τs =
ρa cf u w
2
(II.63)
ρo
Koefien gesek dapat juga berupa nilai konstan atau tergantung pada kecepatan angin. Rumus empiris diusulkan Wu (1980,1994) adalah digunakan untuk parameter koefisien gesek sebagi berikut :
(II.64)
dengan ca, cb, wa,
dan wb adalah konstanta empiris sedangkan w10 adalah
kecepatan pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut. Harga default ca = 1.255x10-3, cb = 2.425x10-3, wa = 7 m/s, dan wb=25 m/s. II.2.3.3
Penyesaian Numerik
Dengan mengintegrasikan persamaan 2D aliran dangkal dalam koordinat cartesian dapat ditulis : ∂U + ∇.F( U ) = S( U ) ∂t
(II.65)
48
Dimana U adalah vektor variabel conserve, F = FI – FV adalah fungsi vektor flux dan S adalah vektor masukan. Dengan U adalah : (II.66)
(II.67)
(II.68)
(II.69)
Huruf yang ditulis di atas yaitu I dan V masing-masing menandakan kekentalan flux. Integrasi dari persamaan di atas dengan menggunakan teori Gauss memberikan :
(II.70)
Dimana A adalah luas elemen, Ω adalah variabel integrasi fungsi dari A. Γ adalah keliling elemen dan ds adalah variabel integrasi sepanjang keliling. n adalah unit vektor normal uang keluar.
II.2.4 Persamaan Model Banjir
Salah satu model hidrodinamik yang dilakukan dalam model MIKE FLOOD adalah dengan cara lateral link, yaitu dengan mengalirkan aliran dari MIKE 11 melalui pembatas lateral yang diaplikasikan ke dalam MIKE 21. Metode lateral link adalah variasi dari standar source/sinks dengan cara sebagai berikut : 1. Aliran sepanjang link tergantung pada persamaan struktur dan elevasi muka air di MIKE 11 dan MIKE 21. 49
2. Aliran sepanjang link didistribusi dari titik h pada MIKE 11 ke dalam selsel MIKE 21. 3. Lateral link tidak menjamin terjadinya konservasi momentum. Sebuah struktur diperlukan untuk menghitung aliran antara MIKE 11 dan MIKE 21. Tipikal struktur ini adalah sebuah pelimpah (weir) yang dipresentasikan sebagai aliran limpas (over topping) dari tanggul sungai. Bentuk geometri struktur tersebut ditentukan dengan tanda batas pada penampang melintang di MIKE 11. Debit yang melintasi weir adalah debit kritis dia atas lebar struktur dengan rumus sebagai berikut :
QC = ∫
W 0
gh s ( x )h s ( x )dx
(II.71)
Dimana : W adalah lebar struktur, hs(x) kedalaman air lokal di atas struktur dan x adalah koordinat sepanjang penampang melintang. Tinggi kecepatan pada struktur ditentukan sebagai : W
H velocity
∫ = ∫ 0
1 2
W 0
gh s ( x ) h s2 ( x )dx gh s ( x ) h s ( x )dx
(II.72)
Untuk pelimpah struktur segi empat, kedalaman tidak tergantung dari x, maka persaman menjadi : Q C = gh s h s W
Q
velocity
=
(II.73)
1 hs 2
(II.74)
Selanjutnya dengan metode sel ke sel, struktur geometri dibagi menjadi struktur internal seri. Masing-masing struktur internal mempunyai elevasi dasar dan lebar yang tergantung dari resolusi titik-titik yang didefinisikan sepanjang struktur. Perhatikan skema diagram pada gambar di bawah yang mendefinisikan struktur titik h pada MIKE 11 sebagai berikut : 50
Gambar II.21 Definisi dari Struktur Internal Pada Lateral Link Struktur internal digambarkan sedemikian sehingga semua informasi yang tersedia dalam struktur geometri dapat digunakan. Selama perhitungan, masingmasing struktur internal dihubungkan elevasi air dari MIKE 11 dan MIKE 21. Nilai-nilai ini ditemukan dengan cara interpolasi pada titik perhitungan yang ada ke dalam struktur internal. Perhatikan skema diagram pada gambar II.26 di bawah ini adalah gambaran struktur eksternal dimana lokasi struktur internal berbeda dari lokasi sel MIKE 21 dan lokasi titik h pada MIKE 11. Seperti yang ditunjukkan gambar di bawah bahwa elevasi muka air diinterpolasi dari sel MIKE 21 dan titik h MIKE 11 ke lokasi khusus struktur internal.
51
Gambar II.22 Interpolasi Elevasi Muka Air Pada Lateral Link
Dengan menggunakan perhitungan lebar dan elevasi dasar dan interpolasi elevasi muka air, masing-masing aliran silang struktur internal dihitung menggunakan persamaan struktur pelimpah sederhana. Aliran dari struktur internal didistribusi dari titik kedalaman h MIKE 11 ke sel MIKE 21. Seperti yang diperlihatkan pada gambar II.22, jika titik ketinggian h bayangan pada MIKE 11 dalam interval pengaruh dari struktur internal, aliran didistribusi menyilang pada titik-titik mengikuti kedalaman air pada masing-masing titik. Jika bukan titik bayangan dalam interpal pengaruh, aliran didistribusi ke titik-titik hulu atau hilir terdekat menggunakan interpolasi jarak.
Gambar II.23 Interpolasi Aliran pada Lateral Link Pendekatan ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih tinggi ketika dalam perencanaan menggunakan lateral link. Dengan lateral link ini distribusi dari titik h pada MIKE 11, sel pada MIKE 21 dan struktur internal akan menghasilkan solusi yang lebih akurat. 52
II.3
Resiko Akibat Kejadian Banjir
Banjir mempunyai jenis yang berbeda-beda, dan mempunyai penyebab serta dampak pada wilayah yang berbeda juga. Sebuah pemahaman dalam konteks lingkungan yang menyatakan bahwa kejadian banjir penting untuk diidentifikasi dengan ukuran yang sesuai untuk keperluan mitigasi terhadap dampaknya (Brammer, H. and Khan, H.R.,1991). Fenomena banjir di atas dimungkinkan dapat diprediksi terhadap dampak gangguan, termasuk antisipasi pola kematian dan luka-luka pada manusia, kerusakan bangunan dan infrastruktur lainnya, kerusakan pada pertanian, peternakan dan cadangan makanan, dan kehilangan nilai ekonomi lainnya. Profil kasus dan pola kerusakan sangat bervariasi diantara berbagai resiko. Resiko didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya bahaya atau penderitaan atau kehilangan. Dalam hubungan dengan bencana, resiko lebih digambarkan khusus sebagai kemungkinan bahwa bencana terjadi. Penggunaan nilai banding seperti resiko tinggi, resiko rata-rata dan resiko rendah adalah untuk mengindikasikan tingkat atau derajat kemungkinan (Davis, I dan Gupta, S.P., 1991). Resiko sebuah sistem adalah tidak memadainya kebutuhan, yang didefinisikan sebagai kemungkinan gagal pf pada umur hidup sistem yang ditetapkan, dalam kondisi operasional yang ditetapkan juga. Kebalikannya adalah keandalan yang dinotasikan sebagai r yaitu kemungkinan sistem tidak gagal, r = 1- pf (Kottegoda N.T. dan Rosso, R., 1997).
II.3.1 Penilaian Terhadap Resiko (Hazard Assesment)
Bencana-bencana yang terjadi pada lokasi-lokasi kondisi rawan sebelumnya, menyingkap adanya potensi resiko. Oleh karena itu tahap awal dalam mengambil tindakan mitigasi adalah menilai resiko. Maksud penilaian resiko adalah sebagai pegangan dalam menilai : (a) tingkat kekerasan dan frekwensi dari resiko, (b) area yang mungkin terpengaruh, (c) waktu dan lamanya dampak.
53
Penilaian resiko dimulai dengan koleksi data yaitu penilaian kondisi eksisting dan pemetaan resiko, data ilmiah (hidrologi, meteorologi dll), cerita lokal dan catatan historis, dan survey sosio agro ekonomi. Selanjutnya data dan peta dianalisa untuk mendapatkan penilaian resiko. Pada tahap akhir dari penilaian resiko ini adalah membuat peta kemungkinan resiko akan terjadi dari waktu ke waktu. Kemungkinan resiko peristiwa tersebut dapat diprediksi berdasarkan catatan data historis dan data ilmiah. Dengan peralatan yang canggih saat ini bisa membantu memetakan penilaian terhadap resiko, misalnya dengan pemotretan udara atau citra satelit, dapat dilihat lanscape, genangan dan kondisi topografi dari objek lokasi yang ditinjau. Dengan majunya teknologi komputer dapat diaplikasikan sebagai tempat menyimpan data geografis yang relatif murah dan andal. Selanjutnya dengan memanfaatkan teknik Geographic Information System (GIS), peta resiko dapat dipersiapkan, diperagakan dan disimulasikan. (Davis, I. and Gupta, S.P. 1991). Penilaian resiko dan keamanan dalam sistem teknik sipil dan lingkungan secara tradisional berdasarkan faktor keamanan (factor of safety) yang diizinkan. Ada yang berdasarkan pada estimasi dari kejadian sebelumnya pada sistem tertentu atau dari hasil observasi respon sistem yang sama. Pengukuran konvensional dari faktor keamanan (S) biasanya berdasarkan perbandingan dari nilai kapasitas R dan nilai beban atau kebutuhan L, maka S = R/L. Apabila kemungkinan resiko dihubungkan dengan nilai faktor keamanan, maka akan diperoleh hubungan sebagai berikut : Pf = P [S ≤ 1] = Fz(1)
(II.75)
Atau sebaliknya : Pr = 1 - Pf = P [S ≥ 1] = 1 – Fz(1)
(II.76)
(Kottegoda N.T. dan Rosso, R., 1997).
II.3.2 Analisis Kerawanan (Vulnerability Analysis)
Setelah dimensi bentuk ruang, waktu dan intensitas dari resiko stabil seperti lazimnya, maka langkah selanjutnya adalah analisis terhadap kerawanan. Proses ini digunakan untuk mengidentifikasi kondisi rawan yang peka terhadap resiko 54
alami. Jika suatu area mempunyai sifat berbagai dengan resiko, maka analisa kerawanan harus dilakukan terhadap masing-masing jenis resiko. Seperti resikonya sendiri, sifat kerawanan dapat digambarkan pada peta baik sebagai kerawanan tunggal untuk masing-masing resiko atau overlay kerawanan dengan multi resiko. Secara umum analisis kerawanan menyediakan informasi tentang : S
a.
ektor-sektor yang berhadapan dengan resiko misalnya fisik (bangunan, infrastruktur, fasilitas kritis dan pertanian), sosial (kelompok resiko, mata pencaharian, institusi lokal dan kemiskinan) dan ekonomi (alat produksi, cadangan, pendapatan, gangguan pemasaran) dan J
b.
enis resiko (kerusakan pada infrastruktur publik, fasilitas produksi, perumahan atau kecelakaan korban) Analisis kerawanan menghasilkan suatu pemahaman pada tingkat awal terhadap para orang dan pemilik berbagai resiko. (Davis, I. and Gupta, S.P. 1991). Analisis kerawanan yang berkaitan dengan banjir meliputi perumahan, infrastruktur dan tanaman pangan, gangguan pada aktifitas ekonomi, pelayanan sosial dan kehilangan hidup.
II.4
Kajian Nilai Indeks
II.4.1 Pengertian Nilai Indeks
Indeks menurut pengertian yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka (2003) adalah rasio antara dua unsur kebahasaan tertentu yang mungkin menjadi ukuran suatu ciri tertentu atau petunjuk. Sedangkan berdasarkan teori yang dikembangkan Spiegel M.R., (1961), indeks adalah sebuah desain pengukuran statistik untuk melihat perubahan sebuah variabel atau hubungan antara kelompok variabel dengan fungsi waktu, lokasi geografi atau karakteristik lain. Ada beberapa pengertian indeks yang dijelaskan dalam buku tersebut seperti berikut : a). Simple Aggregate Method
55
Metode ini digunakan untuk menghitung INDEKS HARGA, yang diekspresikan sebagai perbandingan antara total harga komoditi tahun yang ditinjau terhadap total harga tahun dasar (awal peninjauan). Simple Aggregate Price Index =
∑ pn
(II.77)
∑ po
Dimana :
∑p ∑p
o
= jumlah harga komoditi pada awal waktu yang ditinjau
n
= jumlah harga komoditi pada waktu yang ditinjau
Hasilnya diekspresikan dalam bentuk persentase sebagai nilai indeks secara umum.
Meskipun
metode
ini
mempunyai
keuntungan
mudah
untuk
diimplementasikan, akan tetapi mempunyai dua kekurangan besar yaitu : •
Tidak dapat menghitung hal yang penting (relatif) dari jenis komoditi. Sebagai contoh pentingnya komoditi A dengan komoditi B yang kurang penting dianggap sama saja.
•
Satuan tertentu yang digunakan dalam quota harga, misal liter, gram dan sebagainya mempengaruhi nilai indeks.
b). Simple Average atau Relatives Method
Dalam metode ini ada beberapa kemungkinan, tergantung pada prosedur yang digunakan untuk merata-rata harga relatif, misalnya dengan rata-rata aritmatik, rata-rata geometrik, rata-rata harmonik, median dan lain lain. Sebagai contoh dengan cara aritmatik sebagai berikut :
Simple Arithmetic Mean of Relative Price Index =
⎛p ⎜ ∑⎜ n ⎜p ⎝ o
Dimana : ⎛ pn ⎞ ⎟ ⎟ o ⎠
∑ ⎜⎜⎝ p
= jumlah semua harga relatif komoditi
N
= jumlah komoditi yang digunakan
c). Weighted Aggregate Method
56
N
⎞ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠
(II.78)
Untuk menutup kekurangan pada metode simple aggregate, maka pada metode ini masing-masing harga komoditi dipertimbangkan sebagai faktor yang perlu diambil jumlah atau volumenya selama waktu yang ditinjau. Ada tiga kemungkinan formula yang terjadi, tegantung pada waktu awal, waktu yang ditinjau atau tipe jumlah waktu, ditandai berturut-turut dengan qo, qn dan qt.
Laspeyres’index or base year method :
Weight Aggregate Price Index =
(II.79)
∑ poqo
Paasche’index, or given year method :
Weight Aggregate Price Index =
∑ pnqo
∑ pnqn
(II.80)
∑ poq n
Typical Year method :
Weight Aggregate Price Index =
∑ pnq t
(II.81)
∑ poq t
d). Fisher’s Ideal Index
Ini mendefinisikan : Fisher' s Ideal Index =
⎛ ∑ pnqo ⎜⎜ ⎝ ∑ poqo
⎞⎛ ∑ p n q n ⎟⎟⎜⎜ ⎠⎝ ∑ p o q n
⎞ ⎟⎟ ⎠
(II.82)
Nilai Indeks ini adalah rata-rata geometrik dari nilai Laspeyres’index dan Paasche’index. e). The Marshall – Edgeworth Index
Persamaan ini sama dengan Typical Year method, dengan mensubtitusikan pertimbangan jumlah waktu dengan rata-rata aritmatik dari q t = 12 (q o + q n ) , maka persamaan menjadi : The Marshall − Edgeworth Index =
( (
∑ pn qo + qn ∑ po qo + q n
) )
(II.83)
f). Weighted Average Of Relative Method
Ada tiga formula yang dikembangkan, yaitu : •
Weight arithmetic mean of price relatives using base year value weight :
(
)
⎛p ⎞ ∑ ⎜⎜ n ⎟⎟ p o q o po ⎠ ∑ pnqo = ⎝ = ∑ poqo ∑ poq o
(II.84)
57
•
Weight arithmetic mean of price relatives using given year value weight :
(
⎛p ⎞ ∑ ⎜⎜ n ⎟⎟ p n q n po ⎠ = ⎝ ∑ pn q n
•
) (II.85)
Weight arithmetic mean of price relatives using typical year value weight :
(
⎛p ⎞ ∑ ⎜⎜ n ⎟⎟ p t q t po ⎠ = ⎝ ∑ ptqt
) (II.86)
g). Quantity or Volume Index Numbers
Persamaan ini sama dengan indeks harga dengan cara Simple Average , akan tetapi nilai p (harga) diganti dengan q (volume), sebagai berikut : ⎛q n ∑⎜ ⎜q ⎝ o Simple Arithmetic Mean of Relative Volume Index = N
⎛ qn ⎞ ⎟ ⎟ o ⎠
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
∑ ⎜⎜⎝ q
= jumlah semua volume relatif komoditi
N
= jumlah volume relatif komoditi yang digunakan
(II.87)
II.4.2 Nilai Indeks Banjir Studi Terdahulu a. Flash Flood Potential Index ( NOAA's National Weather Service - Las Vegas, Nevada, 2007)
Indeks potensial banjir tiba-tiba ini dirancang untuk kota Las Vegas dalam memprediksi terjadinya badai hujan angin dengan petir. Penilaian indeks didasarkan pada peramalan dari hujan dan angin badai dalam 700-400 mb, yang bersyarat dapat berkembang menjadi hujan badai dengan petir. Klasifikasi nilai indeks didasarkan atas resiko yang mungkin ditimbulkan ke dalam 5 (lima) tingkatan dan ditandakan dengan jenis warna pada blok wilayah yang dipantau. Kelima tingkatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Red (index value=6): "VERY HIGH RISK" (memenuhi syarat dalam pembentukan badai hujan petir, dengan besar hujan yang terjadi melebihi 1,0" dalam periode waktu 30 menit) 2. Orange (index value=5): "HIGH RISK" (memenuhi syarat dalam pembentukan badai hujan petir, dengan besar hujan yang terjadi antara 0,75-1,0" dalam periode waktu 30 menit) 3. Yellow (index value=4): "MODERATE RISK"
58
(memenuhi syarat dalam pembentukan badai hujan petir, dengan besar hujan yang terjadi antara 0,50-0,75" dalam periode waktu 30 menit) 4. Green (index value=1-3): "LOW RISK" (memenuhi syarat dalam pembentukan badai hujan petir, dengan besar hujan yang terjadi antara 0,25-0,50" dalam periode waktu 30 menit) 5. Black (index value=0): "NEGLIGIBLE RISK" (tidak mungkin terjadi badai hujan petir)
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa indeks banjir digunakan untuk pemantauan badai hujan petir yang diakibatkan potensi oleh hujan dan angin yang terjadi selama pemantauan 30 menitan. Resiko badai besar terjadi apabila Indeks mempunyai nilai 6 (enam) dengan warna merah dan ini diakibatkan oleh potensi hujan yang terjadi diatas 1 " atau 25,4 mm dalam waktu 30 menit. Hal ini sesuai dengan karakteristik pola hujan di wilayah tersebut yang terkonsentrasi dalam 1 sampai 3 hari dalam satu bulan yang besarnya sampai kurang lebih 500 mm/bulan seperti terlihat pada gambar II.24 di bawah ini :
Gambar II.24 Contoh Peta Karakteristik Curah Hujan di Las Vegas Kecenderungan bulan hujan terjadi seperti di Indonesia yaitu mulai bulan November sampai dengan bulan April, akan tetapi jumlah hujan dalam satu bulan cukup besar bisa mencapai 500 mm. Seperti terlihat pada gambar di atas, ternyata jumlah hujan dalam satu bulan, kejadian hujannya hanya terkonsentrasi dalam waktu 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) hari saja. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan apabila terjadi hujan dalam waktu satu hari saja, bisa terjadi curah hujan yang sangat besar (mencapai 150 mm) yang dapat mengakibatkan badai hujan petir.
59
b. Indeks Banjir (Sutan Haji, T., 2005)
Indeks Banjir digunakan untuk menyatakan perbandingan antara selisih debit puncak banjir yang terjadi, Qp dengan debit puncak banjir kondisi DAS paling baik,Qp100 (DAS dengan kondisi 100% hutan) berbanding dengan selisih debit puncak banjir untuk kondisi DAS paling buruk, Qpo (DAS dengan 100% pemukiman) dengan debit puncak banjir kondisi DAS paling baik (Qp100), atau dapat dituliskan dalam bentuk rumus sebagai berikut :
Indeks Banjir =
(Qp − Qp100 ) (Qp 0 − Qp100 )
(II.88)
Karena ini merupakan rasio selisih antara debit banjir dari kejadian yang sebenarnya terhadap kondisi ekstrim, maka nilai Indeks Banjir berkisar antara 0 – 1. Artinya apabila tingkat kondisi DAS semakin baik, selisih Qp dengan Qp100 relatif semakin kecil, maka nilai indeks banjir mendekali angka 0 (nol) dan sebaliknya apabila kondisi DAS semakin buruk nilai Qp mendekati Qp0, sehingga nilai indeks banjir mendekati nilai 1 (satu).
c. CFI-A Coastal Flood Index to Asses Flooding Potensial and Magnitude on Oceanic Coasts (Elson, D.B., 2001) Coastal Flood Index dikembangkan dari kontribusi faktor-faktor utama dari
penyebab banjir di pantai. Ada 4 (empat) parameter utama yang diperhitungkan yaitu : wave runup (ft), wave setup(ft), predicted tide(ft) dan anomaly from predicted tide (ft).
Walaupun CFI dalam satuan panjang (satuan feet atau dikonversi dalam meter), mungkin lebih baik diperlakukan sebagai suatu nilai yang tanpa unit. Dengan ini memungkinkan CFI lebih dianggap sebagai indeks pembanding, bukannya sebagai suatu ukuran mutlak dari kenaikan vertikal air laut di pantai. Dalam rangka menentukan nilai CFI, maka diperlukan data historis yang lengkap mengenai banjir atau tidak banjir di suatu lokasi pantai. Pengujian manual dari parameter kunci, seperti tingginya gelombang dan periode gelombang yang dominan, dapat mengidentifikasi nilai CFI yang ditinjau saat kejadian. Perhitungan berdasarkan histori tadi akan menghasilkan nilai antara CFI diantara nilai kritisnya. 60
Contoh perhitungan nilai CFI sebagai berikut : kedalaman air laut dekat suatu pantai adalah 23 ft ( 7.0 m), dengan periode yang dominan dari 15 detik. Dengan mengasumsikan jenis tanah di pantai adalah pasir dengan kemiringan 0.02, maka hasil perhitungan diperoleh nilai runup sekitar 3 ft ( 0.9 m) dan tinggi gelombang 6 ft ( 1.8 m). Hasil pengukuran pasang surut terdekat diperoleh nilai pasang sekitar 10 ft ( 3.0 m) di atas Mean Lower Low Water. Maka dengan menggunakan unit ft, jumlah dari runup, tinggi gelombang dan tingginya pasang di atas MLLW menghasilkan nilai CFI sebesar 19. CFI dikembangkan sebagai suatu alat operasional untuk membantu dalam peramalan untuk mengukur penting/besar dari peristiwa banjir di pantai. Dengan memanfaatan variabel tinggi dan kala gelombang, mengumpamakan karakteristik fisik pantai yang tetap dan jangkauan runup, maka formula CFI dapat didekati. Susunan dan jangkauan runup gelombang dijumlahkan dengan data pasang surut untuk menghasilkan nilai CFI.
d. Flood Index Evaluation Based On Climate And Soil Properties ( Gioia, A., Iacobelli,V., Margiotta, M. R., 2004) Indeks banjir mempunyai peran penting dalam meramalkan banjir pada DAS yang
tidak terukur (ungauged basins), seperti halnya dalam konteks analisis regional. Dikatakan bahwa " turunan geomorphoclimatic" dari indeks banjir adalah kerangka teori yang menurunkan nilai indeks banjir dari distribusi frekuensi banjir, pemanfaatan informasi yang berhubungan dengan geomorphology, tumbuh-tumbuhan, lahan dan iklim. Informasi yang diberikan sangat terbatas, sehingga tidak bisa terlihat lebih jauh apa yang akan dihasilkan dari penelitian ini, akan tetapi penelitian ini pada prinsipnya mempunyai tujuan yaitu memperoleh nilai indeks banjir sebagai fungsi dari karakteristik geomorphoclimatic berdasarkan hipotesa sederhana bahwa ada hubungan antara banjir dengan distribusi intensitas hujan.
e. Flood Index (Byun dan Wilhite, 1999)
Pada penelitian ini (Byun dan Wilhite, 1999), Indeks Banjir dihitung dengan mempertimbangkan terjadinya hujan pada suatu stasiun dan menghitung
61
standarisasi indeks pada intensitas banjir dengan mempertimbangkan jumlah maksimum hujan yang terjadi. Rumus yang dikembangkan adalah sebagai berikut : FI =
(EP − EPma)
(II.89)
EPms
Dimana : FI
= indeks banjir (flood index)
EP
= hujan harian
Epma = nilai rata-rata hujan efektif maksimum tahunan di suatu stasiun Epms = simpangan baku Dari persamaan di atas terlihat bahwa indeks banjir hanya menunjukkan selisih jumlah hujan harian yang terjadi terhadap rata-rata hujan efektif maksimum dibandingkan dengan simpangan baku hujan maksimum.
f. Indeks Banjir Sebagai Fungsi Komulatif Banjir Harian
Indeks Banjir Harian (Daily Flood Index, DFI (t)) adalah sebuah indeks banjir yang dikembangkan berdasarkan fungsi komulatif banjir harian (Comulative Flood Days, CFD). Untuk sementara informasi siapa dan dari mana yang mengembangkan rumus ini belum diperoleh. Komulatif Banjir Harian (CFD) yang dikembangkan berdasarkan dua kondisi, yaitu kondisi untuk kedalaman genangan yang terjadi diatas 2,0 ft dan kondisi kedalaman genangan lebih kecil dari 2,0 ft. Untuk kondisi kedalaman air > 2,0 ft, CFD dirumuskan sebagai berikut : (II.90)
CFD( t ) = CFD( t −1) + 1,0
Untuk kondisi kedalaman air < 2,0 ft, CFD dirumuskan sebagai berikut : (II.91)
CFD( t ) = CFD( t −1) + 0,5
Sedangkan Indeks Banjirnya dirumuskan sebagai berikut : DFI ( t ) =
1,0
(1,0 + 0,0023.e
0, 039.CDF( t )
)
(II.92)
Persamaan-persamaan di atas dalam bentuk grafik dapat dilihat seperti pada gambar berikut :
62
Gambar II.25 Grafik Hubungan Antara DFI (t) dengan CFD (t) Dari gambar di atas terlihat bahwa semakin banyak hari hujan, maka nilai indeks banjir hariannya semakin kecil. Jadi kalau komulatif harian banjirnya mendekati setahun (360 hari) maka nilainya mendekati nol. II.4.3 Partial Least Square Sebagai Metoda Untuk Merumuskan Nilai Indeks
Penjelasan mengenai PLS ini dicuplik dari buku Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan PLS, Prof. DR. Iman Ghozali. M.Com, 2006. Partial Least Square (PLS) adalah alternatif dari Covarian Base Structural Equation Modeling (CBSEM), yang pendekatannya berdasarkan varian atau
komponen. Dengan metode ini orientasi analisis bergeser dari menguji model kausalitas/teori menjadi model komponen berdasarkan perkiraan. CBSEM lebih berorientasi untuk menjelaskan kovarian dari semua indikators, sedangkan PLS adalah prediksi. Variabel laten didefinisikan sebagai jumlah dari indikatornya. Menurut Wold (1985), PLS merupakan model analisis yang powerfull oleh karena tidak didasarkan pada banyak asumsi. Data tidak harus berdistribusi normal multivariate (indikator dengan skala kategori sampai ratio dapat digunakan pada
model yang sama), sampel tidak harus besar dan terdistribusi residual. Walaupun PLS dapat juga digunakan untuk mengkonfirmasi teori, tetapi dapat juga digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antar variabel laten.
63
Oleh karena lebih menitikberatkan pada data dan dengan prosedure estimasi yang terbatas, maka spesifikasi model tidak begitu berpengaruh terhadap estimasi parameter. Dibandingkan dengan CBSEM, komponen berdasarkan SEM-PLS menghindarkan dua masalah serius yaitu solusi yang tidak dapat diterima (inadmissible solution) dan faktor ketidakpastian (factor indeterminacy). (Fornell and Bookstein, 1982). PLS dapat menganalisis sekaligus mengkonstruksi yang dibentuk dengan indikator refleksif dan indikator formatif yang hal ini tidak mungkin dijalankan dalam CBSEM karena akan terjadi unidentified model. Oleh karena algoritma dalam PLS menggunakan analisis series ordinary least square, maka identifikasi model bukan masalah dalam model rekursive dan juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu dari pengukuran variabel. Lebih jauh efisiensi perhitungan algoritma mampu mengestimasi model besar dan komplek dengan ratusan variabel laten dan ribuan indikator (Falk dan Miller, 1992). II.4.3.1
Metode Partial Least Square
Secara filosofis perbedaan antara CBSEM dengan PLS adalah apakah kita akan menggunakan model persamaan struktural untuk menguji teori atau pengembangan teori untuk tujuan prediksi (Anderson dan Gerbing, 1988). Pada situasi di mana kita mempunyai dasar teori yang kuat dan pengujian teori atau pengembangan teori sebagai tujuan utama riset,maka metode dengan berdasarkan kovarian (Maximum Likelihood atau Generakized Least Squares) lebih sesuai. Namun demikian karena adanya ketidakpastian dari
estimasi factor score maka akan kehilangan ketepatan prediksi. Untuk tujuan prediksi, pendekatan PLS lebih cocok. Dengan pendekatan PLS diasumsikan bahwa semua ukuran varian adalah varian yang berguna untuk dijelaskan. Oleh karena pendekatan untuk mengestimasi variabel laten dianggap sebagai kombinasi linear dari indikator maka menghindarkan masalah ketidakpastian dan memberikan definisi yang pasti dari komponen skore. (Wold, 1982). PLS memberikan model umum yang meliputi teknik korelasi
kanonikal,
redundancy
analisis,
regresi
berganda,
multivariate dari varian (MANOVA) dan analisis komponen.
64
analisis
Oleh karena PLS menggunakan iterasi algoritma yang terdiri dari seri analisis least square biasa, maka persoalan identifikasi model tidak menjadi masalah untuk model pengulangan (recursive), juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu untuk skala ukuran variabel. Lebih jauh lagi jumlah sampel dapat kecil dengan perkiraan kasar yaitu (1) sepuluh kali skala dengan jumlah terbesar dari indikator (kausal) formatif, atau (2) sepuluh kali dari jumlah terbesar structural path yang diarahkan pada konstruk tertentu dalam model struktural. PLS dapat dianggap sebagai model alternatif CBSEM. Menurut Joreskog dan Wold (1982), CBSEM berorientasi pada teori dan menekankan transisi dari analisis exploratory ke confirmatory. Sedangkan PLS dimaksudkan untuk analisis yang bersifat prediksi-kausal dalam situasi kompleksitas yang tinggi dan dukungan teori yang rendah.
II.4.3.2
Cara Kerja Partial Least Square
Estimasi parameter yang didapat dengan PLS dapat dikategorikan menjadi tiga. Kategori pertama, adalah weight estimate yang digunakan untuk menciptakan skore variabel laten. Kedua mencerminkan estimasi jalur (path estimate) yang menghubungkan antar variabel laten dan blok indikatornya
(loading), Kategori ketiga adalah berkaitan dengan means dan lokasi parameter (nilai konstanta regresi) untuk indikator dan variabel laten. Untuk memperoleh ketiga estimasi ini, PLS menggunakan proses iterasi tiga tahap dan setiap tahap iterasi menghasilkan estimasi. Tahap pertama menghasilkan weight estimate, tahap kedua menghasilkan estimasi untuk inner model dan outer model, dan tahap ketiga menghasilkan estimasi means dan lokasi (konstanta). Pada dua tahap pertama proses iterasi indikator dan variabel laten diperlakukan sebagai deviasi (penyimpangan) dari nilai means (rata-rata). Gambar II. 31 terdiri dari empat block (dua variabel exogen-Ksi dimana satu variabel menggunakan refleksif indikator dan satu variabel dengan formatif indikator sedangkan dua variabel endogen-Eta keduanya menggunakan refleksif indikator). 65
Konstruksi Refleksif X1
X2
X3
Inner model
Ksi 1
X10
Outer model X7
Eta 1
X8
X11
X12
Eta 2
X9
Ksi 2 X4
X5
X6
Konstruksi Formatif
Gambar II.26 Contoh Multiblok Model Sebagai langkah awal iterasi algoritma adalah menghitung outside approximation estimate dari variabel laten dengan cara menjumlahkan
indikator dalam setiap block dengan bobot yang sama (equal weight). Weight untuk setiap iterasi diskalakan untuk mendapatkan unit varian dari skore variabel laten untuk N kasus dalam sampel. Dengan menggunakan skore untuk setiap variabel laten yang telah diestimasi dilakukan inside approximation estimate variabel laten. Model analisis jalur semua variabel laten dalam PLS terdiri dari tiga set hubungan: (1) inner model yang menspesifikasi hubungan antar variabel laten (structrual model), (2) outer model yang menspesifikasi hubungan antara
variabel
laten
dengan
indikator
atau
variabel
manifestnya
(measurement model), dan (3) weight relation dalam mana nilai kasus dari variabel laten dapat diestimasi. Tanpa kehilangan generalisasi, dapat diasumsikan bahwa variabel laten dan indikator diskala zero means dan unit variance sama dengan satu sehingga parameter lokasi (parameter konstanta) dapat dihilangkan dalam model.
a.
Inner Model
Inner model yang kadang disebut juga dengan (inner relation, structural model dan subtantive theory) menggambarkan hubungan antar variabel laten
66
berdasarkan pada substantive theory. Model persamaannya dapat ditulis seperti di bawah ini. (II.93)
η = β0 + βη + Γξ + ζ
Dimana η menggambarkan vektor endogen (dependen) variabel laten, ξ adalah vektor variabel laten exogen, dan ζ adalah vektor variabel residual (unexpalined variance). Oleh karena PLS didesain untuk model recursive, maka hubungan antar variabel laten, setiap variabel laten dependen, η , atau sering disebut causal chain system dari variabel laten dapat dispesifikasikan sebagai berikut : ηj =
∑
i
β ji ηi +
∑
i
(II.94)
γ jb ξ b + ζ j
Dimana β ji dan γ ji adalah koefisien jalur yang menghubungkan prediktor endogen dan variabel laten exogen, ξ dan η sepanjang range indeks i dan b, dan ζ j adalah inner
b.
Outer Model
Outer model sering juga disebut (outer relation atau measurement model)
mendefinisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. Blok dengan indikator refleksif dapat ditulis persamaannya sebagai berikut x = ∧x ξ + ε x
(II.95)
y = ∧y η + εy
(II.96)
Dimana x dan y adalah indikator atau manifest variabel untuk varaibel laten exogen dan endogen ξ dan η , Sedangkan ∧ x dan ∧ y merupakan matrik loading
yang
menggambarkan
koefisien
regresi
sederhana
yang
menghubungkan variabel laten dengan indikatornya. Residual yang diukur dengan ε x dan ε y dapat diinterpretasikan sebagai kesalahan pengukuran atau noise. Blok dengan indikator formatif dapat ditulis persamaannya sebagai berikut
∏ ξ x + δξ η = ∏ η y + δη ξ =
(II.97) (II.98)
67
Dimana ξ , η , x dan y sama dengan yang digunakan pada persamaan (II.97 dan II.98).
∏x
dan y adalah koefisien regresi berganda dari variabel laten
dan blok indikator dan δ x dan δy adalah residual dari regresi.
c. Weight Relation
Inner dan outer model memberikan spesifikasi yang diikuti dalam estimasi algoritma PLS, Kita memerlukan definisi weight relation. Nilai kasus untuk setiap variabel laten diestimasi dalam PLS sebagai berikut
ξ b = ∑ kb wkb x kb ηi =
∑
ki
(II.99) (II.100)
w ki y ki
Dimana wkb dan wki adalah k weight yang digunakan untuk membentuk estimasi variable laten ξb dan ηi . Estimasi variabel laten adalah linear agregat dari indikator yang nilai weightnya didapat dengan prosedur estimasi PLS seperti dispesifikasi oleh inner dan outer model dimana η adalah vektor variabel laten endogen (dependen) dan ξ adalah vektor variabel laten exogen (independen), ζ merupakan vektor residual dan β serta Γ adalah matrik koefisien jalur (path coefficient)
d. Evaluasi model
Oleh karena PLS tidak mengasumsikan adanya distribusi tertentu untuk estimasi parameter, maka teknik parametrik untuk menguji signifikansi parameter tidak diperlukan (Chin, 1998). Model evaluasi PLS berdasarkan pada pengukuran prediksi yang mempunyai sifat non-parametrik. Model pengukuran atau outer model dengan indikator refleksif dievaluasi dengan convergent dan discriminant validity dari indikatornya dan composite reliability untuk block indikator. Sedangkan outer model dengan formatif
indikator dievaluasi berdasarkan pada substantive contentnya yaitu dengan membandingkan besarnya relatif weight dan melihat signifikansi dari ukuran weight tersebut (Chin, 1998). Model struktural atau inner model dievaluasi dengan melihat persentase variance yang dijelaskan yaitu dengan melihat nilai R2 untuk konstruk laten dependen dengan menggunakan ukuran StoneGeisser Q squares test (Stone, 1974; Geisser, 1975) dan juga melihat
68
besarnnya koefisien jalur strukturalnya. Stabilitas dari estimasi ini dievaluasi dengan
menggunakan
uji
t-statistik
yang
didapat
lewat
prosedur
bootstraping.
II.5
Studi Banjir Citarum Hulu Terdahulu
II.5.1 Kajian Komprehensif Penanganan Banjir di Citarum Hulu
Studi ini dilaksanakan oleh Pusat Litbang Sumber Daya Air tahun 2006. Dari hasil studi ini diperoleh beberapa penyebab terjadinya banjir di Citarum Hulu adalah sebagai berikut : 1. Terjadi hujan secara simultan di beberapa DAS anak S. Citarum atau keseluruhan 2. Sungai Citarum saat ini tidak mampu mengalirkan debit banjir karena alur sungai tertutup sedimen, dangkal, penyempitan alur & penampang melintang sungai. 3. Pertemuan anak sungai yang hampir tegak lurus 4. Tidak berfungsinya saluran drainase karena sampah dan dimensi yang tidak jelas 5. Adanya penyusutan hutan (konversi hutan menjadi kebun, real estate dll; perubahan tata guna lahan
(Land-use Change) sehingga laju sedimentasi
meningkat. 6. Perilaku masyarakat membuang sampah ke sungai Sedangkan hasil penelitiannya mengusulkan penanggulangan banjir sebagai berikut : Pendekatan Struktural :
1. Pengerukan dan pelebaran alur sungai dan lain-lain. Pendekatan Non Struktural :
1. Konservasi, reboisasi, dan perencanaan tata ruang 2. Penyuluhan masyarakat melalui media masa dan elektronik tentang membuang sampah dan limbah ke sungai, perubahan tata guna lahan, pembalakan liar dan lain-lain. 3. Penyuluhan penegakan hukum (Law enforcement) 4. Koordinasi antar instansi terkait Dan sebagai kesimpulannya adalah :
69
1. Keberadaan Curug Jompong yang berjarak sekitar 20 km di hilir Dayeuhkolot sesungguhnya bukan penyebab utama banjir Dayeuhkolot. 2. Menurunkan elevasi dasar Curug Jompong sampai tiga meter relatif tidak menurunkan elevasi banjir di Dayeuhkolot secara signifikan (Gradien Maks = 0,000428) 3. Tanpa melakukan normalisasi Sungai Citarum, elevasi banjir di daerah Dayeuhkolot hanya turun 1,11 m atau pada elevasi +660,85 m meskipun elevasi dasar Curug Jompong diturunkan sampai 3,0 m. 4. Dengan melakukan normalisasi Sungai Citarum, elevasi banjir di daerah Dayeuhkolot turun 1,68 m atau pada elevasi +658,53 m setelah elevasi dasar Curug Jompong diturunkan sampai 3,0 m. 5. Banjir Dayeuhkolot disebabkan pula oleh sistem drainase yang buruk dan dari luapan Sungai Cikapundung yang belum tersentuh oleh normalisasi. 6. Penanggulangan banjir dengan pendekatan struktur seperti pengerukan alur Sungai Citarum dapat menurunkan elevasi banjir di Dayeuhkolot setinggi 1,75 m, tetapi kondisi ini tidak dapat bertahan lama jika dilakukan secara parsial. 7. Banjir lokal di Majalaya, Rancaekek, Gedebage, Cijagra dan Kopo lebih disebabkan oleh buruknya sistem drainase, pengaturan tata ruang yang buruk dan kurangnya pemeliharaan rutin. Saluran drainase yang ada dibangun tanpa mengikuti desain teknis yang benar. 8. Elevasi banjir +658,53 m tidak menjamin Dayeuhkolot bebas banjir karena Sungai Cikapundung belum terjamah normalisasi. Sedangkan saran yang diusulkannya adalah :
1. Jika pada suatu saat, menurunkan elevasi dasar Curug Jompong sudah sangat mendesak maka disarankan membangun”bendung pengatur” (regulating dam) yang dioperasikan pada saat banjir saja. 2. Upaya penanggulangan banjir melalui pengerukan alur sungai biayanya sangat mahal. Oleh karena itu, penanggulangan banjir dapat dilakukan juga melalui penanggulan (levee) pada daerah-daerah yang sering dilanda banjir seperti di Dayeuhkolot dan Sapan. 3. Penanggulangan banjir di Dayeuhkolot tidak dapat didekati melalui pendekatan struktur saja tetapi juga harus melalui pendekatan non-struktur yaitu: reboisasi, konservasi lahan, pengendalian perubahan tata guna lahan 70
(land-use change), penegakan hukum, sosialisasi tentang sampah dan lainlain. 4. Segera lakukan normalisasi Sungai Cikapundung karena setiap musim hujan daerah Palasari dan Dayeuhkolot berpotensi tergenang banjir. 5. Operasi dan Pemeliharaan (O & P) sungai dan drainase di Kabupaten dan Kota Bandung harus dilakukan secara rutin. Perbaiki saluran-saluran drainase dan sungai yang tidak sesuai dengan dimensi teknis.
II.5.2 Pengaruh Perubahan Hidrograf Infow [Waktu Dasar (Tb), Waktu Puncak (Tp) Dan Debit Puncak (Qp)] Terhadap Fluktuasi Muka Air Di Sungai Dalam Rangka Melihat Potensi Banjir
Penelitian ini adalah hasil tulisan yang disampaikan pada PIT HATHI di Menado tahun 2006. Dari hasil analisa dapat dibuat beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut :
Perubahan debit puncak hidrograf inflow (Qp) berpengaruh terhadap besar tingginya muka air diatas tanggul terendah dan lama waktu terluapi . Pada hidrograf inflow dengan Qp bertambah besar, Tp dan Tb tetap, semakin besar kapasitas penampang melintang sungai, semakin besar pula gradien rasio ht/ho. Hal ini menunjukan seolah-olah ada kebalikan dari logika semestinya, ternyata setelah diselidiki ada faktor geometri penampang sungai dan elevasi tanggul terendah yang menentukan. (seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini :
GRAFIK Qpt/Qpo vs ht/ho 2.00 1.80 1.60 1.40
Qpt/Qpo
1.20 1.00
KETERANGAN :
0.80 0.60
CROSS SECT ION CT R 800.62
0.40
CROSS SECT ION CT R 3655.78
0.20
CROSS SECT ION CT R 4293.70
0.00 0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
ht/ho
6.00
7.00
8.00
Qpo = debit puncak awal Qpt = debit puncak setelah diperbesar n kali ho = kedalaman awal diatas tanggul ht = kedalaman diatas tanggul setelah diperbesar n kali
Gambar II.27 Perbandingan Penambahan Rasio Qp Inflow Terhadap
71
Rasio Penambahan Ketinggian Muka Air di Atas Tanggul
Rasio penambahan Tp pada hidrograf inflow pada jarak yang ditinjau berbanding lurus dan linier untuk semua penampang pada hidrograf outflownya.
Perubahan Tb pada hidrograf inflow berbanding lurus dengan perubahan Tb pada hidrograf outflow.
Rasio penambahan Tb pada hidrograf inflow berbanding lurus dan linier terhadap penambahan lama terluapi pada outflow yang ditinjau.
Tinggi muka air di atas tanggul terendah adalah indikasi terjadinya banjir di daerah tersebut.
Lama terluapi tanggul mempunyai indikasi lama terjadinya genangan.
Sedangkan untuk lebih lengkapnya penelitian ini disarankan sebagai berikut :
Agar diperhatikan juga parameter bentuk geometri dan elevasi tinggi tanggul dari penampang melintang sungai .
Agar penelitian ini dilanjutkan dengan sarana dua dimensi yang dapat mempresentasikan luapan air sungai menjadi limpasan ke daerah banjir dan dapat mengecek apakah lama terluapi sama dengan lama genangan di lahan ?
II.5.3 The Study on Review of Flood Control Plan
Studi ini dilaksanakan oleh Pacific Consultants International yang berasosiasi dengan PT. Raya Konsult, PT. Geo Ace, PT. Barunadri Engineering Consultant dan PT. Binatama Wirawredha Konsultan yang selesai pada tahun 1997. Hasil studi dari kegiatan review ini secara garis besar adalah sebagai berikut : a. Latar Belakang Review Study
•
Adanya penambahan banjir dari runoff Sungai Citarum dan anak-anak sungainya.
•
Ada penambahan debit sedimen yang masuk ke sungai
•
Terjadi pengurangan tekanan air tanah akibat banyaknya abstraksi (pemindahan) air tanah dan berkurangnya infiltrasi air hujan.
•
Terjadinya polusi air Sungai Citarum
b. Tujuan Studi
72
Dalam rangka mengecek pekerjaan yang sedang berjalan dan proyek perbaikan sungai ke depan, berikut ini adalah tujuan review studi yang harus diperoleh : •
Untuk menjadikan jelas permasalahan yang ada di DAS
•
Mengevaluasi dampak dari percepatan urbanisasi pada debit rencana
•
Menilai dampak yang lain dari pengontrol banjir dan erosi
•
Mengecek studi pengontrol banjir dan erosi
•
Merekomendasi hasil pengecekan banjir/erosi dan pengelolaan DAS.
c. Hasil Studi
Dengan melihat penambahan data hujan selama 10 tahun dari tahun 1986 sampai dengan tahun 1995 diperoleh hasil sebagai berikut : •
Rancangan perbaikan sungai untuk menghadapi perubahan debit akibat perubahan tata guna lahan dimungkinkan dengan memperdalam atau memperlebar desain penampang sebelumnya tanpa ada penambahan pembebasan lahan.
•
Merubah kondisi hidrolik sesuai perbaikan tidak akan berpengaruh besar terhadap desain sebelumnya dan juga masalah pengelolaan banjir dapat disesuaikan tanpa banyak perubahan.
•
Banjir pada anak-anak sungai bisa diperbaiki dengan pemeliharaan yang sesuai pada penampang sungainya.
•
Konstruksi sabo atau cek dam direkomendasikan pada daerah-daerah pegunungan dimana terjadi erosi sebagai tanggul penahan dan mencegah aliran sedimen.
•
Disarankan untuk direvisi terhadap izin pengembangan di dataran tinggi khususnya diatas elevasi 750 m, dalam rangka mencegah terjadinya erosi dan sebagai daerah recharge sebagai konservasi alami yang perlu dilestarikan.
•
Perlu ditempatkan kolam retensi pada daerah-daerah pengembangan baru dalam dataran banjir.
II.5.4 The Study on The Flood Control Plan of The Upper Citarum Basin
Studi ini dilaksanakan oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) yang bekerjasama dengan pemerintah Indonesia pada tahun 1987 sampai dengan tahun
73
1988 dan menjadi dasar pelaksanaan dalam pengendalian banjir di DAS Citarum Hulu sampai sekarang. Hasil studi dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Wilayah Studi
Wilayah studi ini meliputi 1.771 km2 pada wilayah yang dibatasi oleh barisan gunung dengan ketinggian kurang lebih + 2.000 m di atas permukaan laut. Sungai Citarum mengalir pada bagian datar daerah Bandung Selatan pada elevasi ratarata + 660 m dan berada di pusat DAS tersebut. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.800 mm sampai dengan 2.800 mm. Musim hujan terjadi antara bulan November sampai April dengan perkiraan jumlah hujan 70% dari total hujan tahunan. Populasi penduduk bertambah dari 3,6 juta pada tahun 1980 dan 4,0 juta pada tahun 1985. Diperkirakan terjadi penambahan jumlah penduduk hingga 5,5 juta pada tahun 2005. Kepadatan penduduk pada tahun 1985 adalah 1.758 orang/km2. Distribusi penggunaan lahan di wilayah studi terdiri dari daerah terbangun 7,1 %, daerah pertanian 68,7 %, hutan dan daerah basah seluas 24,2 %. Daerah terbangun diperkirakan bertambah menjadi 16 % seiring dengan pertambahan jumlah penduduk pada tahun 2005.
b. Kondisi Sungai dan Bahaya Banjir
Sungai Citarum terdiri dari Sungai Citarum Utama dan beberapa anak sungai, Sungai Citarum Hulu, Sungai Citarik, Sungai Cikeruh, Sungai Cisangkuy dan yang lainnya. Kapasitas debit Sungai Citarum terlalu kecil, khususnya pada ruas antara Dayeuh Kolot dan Curug Jompong sepanjang 25 km untuk mambawa debit banjir dari catchment Area. Ketidak seimbangan ini yang menyebabkan banjir pada daerah
daerah rendah sekitar sungai. Daerah potensial yang selalu siap terhadap banjir seluas 7.000 ha yaitu pada daerah hulu Dayeuh Kolot. Pada daerah ini seluas 2.000 ha tergenang sampai 2 (dua) atau 3 (tiga) kali dalam setahun.
74
Pada tahun 1986 terjadi banjir yang cukup serius sehingga terjadi genangan seluas 7.249 ha yang merusak 27.310 tempat tinggal dengan kerugian sekitar 17,5 milyar.
c. Rancangan Pengendalian Banjir Menyeluruh
Pendekatan terintegrasi baik secara struktural maupun non struktural dalam mengontrol banjir yang dibutuhkan untuk mencapai solusi yang tuntas dalam masalah banjir di Sungai Citarum ini. Diusulkan rancangan pengontrol banjir menyeluruh terdiri dari perbaikan sungai sebagai pekerjaan struktur dan pengelolaan praktis banjir sebagai pekerjaan non struktur.
d. Rancangan Perbaikan Sungai Jangka Panjang
Perbaikan sungai jangka panjang direncanakan dan didesain dengan kriteria dan kebijakan sebagai berikut : 1. Rancangan disiapkan untuk populasi penduduk dan tata guna lahan pada proyeksi tahun 2005. 2. Perbaikan sungai diterapkan untuk rancangan dengan perioda ulang 20 tahun. 3. Pengontrol banjir secara lengkap Sungai Citarum tidak dapat dicapai sepenuhnya. Genangan diperkirakan masih akan terjadi kurang lebih 1.000 ha pada daerah datar. Perbaikan sungai yang diusulkan adalah Sungai Utama Citarum dan cabangcabang sungai besarnya, yaitu Citarum Hulu, Citarik, Cikeruh dan Cisangkuy. Total perbaikan sungai sepanjang 61,4 km dengan rincian sebagai berikut : -
Sungai Utama Citarum
: 31,2 km
-
Sungai Citarum Hulu
: 6,0 km
-
Sungai Citarik
: 14,8 km
-
Sungai Cikeruh
: 2,0 km
-
Sungai Cisangkuy
: 7,4 km
Pekerjaan utama perbaikan sungai adalah pekerjaan pengerukan termasuk 14 sudetan sungai dan konstruksi yang berhubungan dengan struktur sungai.
e. Manajemen Praktis Banjir
Manajemen praktis banjir dirancang untuk mendukung bangunan pengontrol banjir. Manajemen praktis banjir ini akan dibentuk untuk daerah yang masih kena 75
banijr setelah rancangan perbaikan sungai jangka panjang. Area yang ditargetkan seluas 1.300 ha. Rekomendasi non struktural dari manajemen praktis banjir ini adalah : -
Pengaturan tata guna lahan termasuk relief (lokasi) untuk rumah daerah bencana
-
Mendirikan sistem peringatan dan prakiraan banjir
f. Evaluasi Secara Ekonomi
Estimasi proyek akan membutuhkan dana sebesar Rp 120,596 milyar pada harga yang berlaku tahun 1987. Sedangkan keuntungan (benefit) diharapkan dengan pengurangan bencana banjir sebesar Rp 16,006 milyar setiap tahunnya dengan harga yang berlaku tahun 1997. IRR untuk proyek ini diperkirakan sebesar 11,6 %.
g. Rekomendasi
1. Usulan proyek secara teknis, ekonomik dan sosial dapat dibenarkan. Direkomendasikan proyek ini segera dilasanakan dengan mempertimbangkan masalah banjir yang serius. 2. Keberlangsungan proyek, pengelolaan DAS dan perbaikan anak-anak sungai hingga wilayah Kota Bandung direkomendasikan untuk dikembangkan atas usulan pemerintah Indonesia dalam memandang pentingnya Rancangan Pengendalian Banjir Terpadu DAS Citarum Hulu. 3. Karena dibutuhkan biaya yang besar dalam implementasi proyek ini, maka bantuan dana asing diperlukan. 4. Manajemen praktis banjir terdiri dari pengaturan tata guna lahan dan prakiran banjir, peringatan dan sistem evakuasi harus diterapkan untuk daerah resiko banjir seluas 5.600 ha. 5. Beberapa perkampungan pada daerah rendah masih akan terkena banjir setelah proyek dilaksanakan. Sistem drainase utama dari perkampungan tersebut diperbaiki untuk membuang air banjir yang stagnant dengan segera setelah muka air sungai surut. 6. Pembuangan sampah ke sungai menyebabkan berkurangnya kapasitas sungai. Pembuangan sampah ini sebaiknya dikontrol untuk memelihara kondisi kesehatan sungai. 76
7. Material kerukan yang mempunyai kualitas baik dapat dipertimbangkan sebagai keuntungan yang bermanfaat.
77