BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teoris 1. Identifikasi Kesalahan a. Definisi Konsep Santrock (2007) dalam bukunya mendefinisikan bahwa konsep adalah kategori-kategori yang mengelompokkan objek, peristiwa, dan karakteristik berdasarkan ciri-ciri umum. Konsep juga merupakan cara mengelompokkan dan mengkategorikan secara mental berbagai objek atau peristiwa yang mirip dalam hal tertentu. Menurut Bruner sebuah konsep dapat mengklasifikasikan objek dan peristiwa yang sama membuat kehidupan lebih sederhana dan lebih mudah dipahami (Ormrod, 2008). Slavin (2011) mengartikan konsep sebagai gagasan abstrak yang digeneralisasi dari contoh-contoh spesifik. Misalnya bola merah, pensil merah, dan kursi merah semuanya mengilustrasikan konsep sederhana “merah”. Konsep juga dijelaskan sebagai abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antarmanusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir sehingga dengan konsep-konsep dapat mempermudah dan menyimpulkan informasi (Santrock, 2007). Memes menyatakan konsep adalah ide atau gagasan yang digeneralisasi dari pengalaman yang dialami manusia dengan beberapa peristiwa, benda, dan fakta. Setiap pengalaman yang dialami manusia dengan atau peristiwa di sekitarnya kemudian disimpulkan menjadi gagasan, itulah konsep yang dimaksud (Yuliana, 2012). Lebih lanjut Nasution mengartikan bahwa seseorang dapat menghadapi benda atau peristiwa sebagai kelompok, golongan kelas, atau kategori maka orang tersebut sudah belajar konsep (Yuliana, 2012). Konsep dilabeli serangkaian objek, simbol, atau kejadian yang memiliki karakteristik sama, atau sifat penting. Sebuah konsep merupakan susunan nyata atau representasi kategori yang membuat orang-orang mampu mengenali contoh-contoh dan yang bukan contoh kategori. Konsep-konsep mencangkup objek konkret atau ide-ide abstrak (Schunk, 2012). Beberapa pengertian konsep di atas dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan ide atau gagasan yang diklasifikasikan berdasarkan karakteristik yang sama agar mudah dipahami.
5
6 b. Konsepsi Menurut Berg konsepsi yaitu pengertian atau penafsiran seseorang terhadap suatu konsep tertentu dalam rangka pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya dan setiap konsep baru didapatkan dan diproses dengan konsep-konsep yang telah dimiliki (Yuliana, 2012). Konsepsi menurut Handjoyo adalah suatu konsep yang dimiliki seseorang melalui penalaran, lebih lanjut Ozdemir mengklasifikasikan konsep menjadi 2 macam yaitu konsepsi alternatif dan konsepsi ilmiah. Konsepsi ilmiah adalah konsepsi seseorang yang sama dengan konsepsi yang dimiliki para pakar, sedangkan konsepsi alternatif adalah konsepsi seseorang yang berbeda dengan konsepsi yang dimiliki oleh para pakar (Yuliana, 2012). Pada proses belajar mengajar perlu diperhatikan perbedaaan konsepsi yang dimiliki satu siswa dengan siswa yang lain. Guru perlu mengetahui konsepsi awal yang dimiliki oleh siswa karena konsepsi awal merupakan suatu faktor penting untuk membantu siswa memahami konsep matematika (Eckstein dan Shemesh, 1993). Gustone mengatakan bahwa konsep awal yang dimiliki siswa sering tidak sesuai dengan konsep ilmiahnya. Hal ini perlu menjadi perhatian seorang guru supaya dapat meminimalisasi kesalahan konsepsi (miskonsepsi) pada saat proses pembelajaran (Yuliana, 2012). c. Miskonsepsi Miskonsepsi berasal dari bahasa Inggris misconception. Menurut Webster’s Dictionary, mis berarti salah atau tidak sedangkan conception berarti kemampuan, fungsi atau proses membentuk ide, abstrak, atau berkenaan pemahaman maksud sebuah simbol yang mewakili ide atau abstrak sehingga misconception dapat diartikan pembentukan ide, atau sebuah pemahaman yang salah (Yuliana, 2012). Sedangkan menurut Ormrod (2008) mendefinisikan miskonsepsi sebagai kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima umum dan terbukti sahih tentang suatu fenomena atau peristiwa. Miskonsepsi muncul dari niat baik siswa untuk memahami apa yang mereka lihat. Nakhleh mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu konsep yang berbeda dari pengertian secara umum yang disajikan dalam materi, sedangkan Berg menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan konsepsi dari siswa yang berbeda atau bertentangan dengan konsepsi dari para ahli (Yuliana, 2012). Penelitian ini mengacu pada pendapat Bergyang menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan konsepsi dari siswa yang berbeda atau bertentangan dengan konsepsi dari para ahli.
7 d. Tipe-tipe kesalahan Suhertin mengungkapkan bahwa penyebab kesalahan-kesalahan siswa dalam mengerjakan soal matematika dikarenakan siswa tidak menguasai bahasa, contohnya siswa tidak paham dengan pertanyaan dalam soal matematika, siswa tidak memahami arti kata, tidak menguasai konsep dan kurang menguasai teknik berhitung. Tipe kesalahan siswa dalam mengerjakan soal matematika menurut Watson dapat digolongkan menjadi 8 tipe kesalahan (Yuliana, 2012). Adapun tipe kesalahan siswa dalam mengerjakan soal matematika menurut Watson dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Data yang tidak tepat, siswa berusaha mengoperasikan langkah-langkah yang tepat dalam penyelesaian masalah namun pemilihan informasi atau data tidak tepat. 2) Prosedur yang tidak tepat, siswa berusaha mengoperasikan langkahlangkah penyelesaian masalah pada level yang tepat namun penggunaan prosedur atau caranya tidak tepat. 3) Data hilang, dalam penyelesaian masalah siswa kehilangan satu data sehingga penyelesaian menjadi tidak benar namun siswa berusaha melakukan langkah-langkah penyelesaian pada level yang tepat. 4) Kesimpulan hilang, siswa menunjukkan alasan yang tepat namun gagal dalam penarikan kesimpulan. 5) Konflik level respon dimana siswa menunjukkan kompetisi operasi pada level tertentu kemudian menurunkan operasi yang lebih rendah, biasanya untuk penarikan kesimpulan. 6) Manipulasi tidak langsung, siswa menunjukkan langkah-langkah penyelesaian yang tidak urut, acak, bahkan sederhana namun kesimpulan dapat ditemukan dan secara umum data yang ada digunakan secara keseluruhan. 7) Masalah hierarki ketrampilan, siswa tidak dapat menyelesaikan permasalahan karena siswa tidak trampil dalam memanipulasi angka khususnya dalam aljabar. 8) Tipe kesalahan selain dari ketujuh tipe kesalahan yang sudah diungkapkan, siswa melakukan kesalahan diantaranya pengkopian data dan tidak adanya respon yang dimiliki siswa. Pendapat lainnya dalam pengelompokan tipe-tipe kesalahan dikemukakan Newman. Tipe kesalahan menurut Newman dapat digolongkan
8 menjadi 6 tipe kesalahan. Adapun keenam tipe kesalahan tersebut diuraikan sebagai berikut. 1) Reading error (kesalahan membaca) yaitu siswa melakukan kesalahan dalam membaca kata-kata penting atau informasi utama pada sebuah pertanyaan sehingga siswa tidak dapat menggunakan informasi tersebut untuk menyelesaikan soal. 2) Reading comprehension difficulaty (kesalahan memahami soal) yaitu siswa hanya sekedar memahami soal namun tidak benar-benar menangkap informasi yang terkandung dalam pertanyaan tersebut sehingga siswa tidak dapat memproses lebih lanjut solusi dari permasalahannya. 3) Transform error (kesalahan informasi) dimana siswa gagal memahami soal-soal untuk diubah ke dalam kalimat matematika yang benar. 4) Weakness in process (kesalahan dalam ketrampilan proses) pada tipe kesalahan ini siswa menggunakan kaidah atau aturan penyelesaian soal dengan benar, tetapi melakukan kesalahan perhitungan dalam komputasi. 5) Encoding error (kesalahan dalam menggunakan notasi) dalam hal ini siswa melakukan kesalahan dalam menggunakan notasi yang benar. 6) Corelles error (kesalahan karena kecerobohan atau kurang cermat), siswa melakukan kesalahan dalam proses penyelesaian soal matematika. Tipe-tipe kesalahan dibagi ke dalam indikator-indikator agar penggolongan kesalahan lebih spesifik. Tabel tipe kesalahan berdasarkan indikator Newman disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Indikator kesalahan menurut Newman Tipe Kesalahan Reading error
Indikator a. b. c. d.
Reading comprehesion difficulty
a. b.
c.
Kesalahan membaca Kesalahan dalam membaca kata-kata penting dalam pertanyaan Siswa salah dalam membaca informasi utama Siswa tidak menggunakan informasi tersebut untuk menyelesaikan soal Jenis kedua dalam memahami soal Siswa sebenarnya sudah dapat memahami soal, tetapi belum menangkap informasi yang terkandung dalam pertanyaan. Siswa tidak dapat memproses lebih lanjut solusi dari permasalahan
9 Tipe Kesalahan Transform error
a. b.
Weakness in process
a.
Encoding error Corelles error
a. b.
Indikator Kesalahan transformasi Siswa gagal dalam memahami soal-soal untuk diubah ke dalam kalimat matematika yang benar Kesalahan dalam melakukan perhitungan atau komputasi Kesalahan dalam menggunakan notasi Kesalahan karena kecerobohan atau kurang cermat
Penelitian ini mengacu pada pengelompokan tipe-tipe kesalahan berdasarkan Newman, dimana pengelompokan kesalahan berdasarkan indikatornya. Pengelompokan tipe-tipe kesalahan jawaban siswa dalam penelitian ini berdaarkan pedoman pengelompokan kesalahan pada materi operasi pengurangan pecahan bentuk aljabar pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Pedoman Pengelompokan Kesalahan pada Materi Operasi Pengurangan Pecahan Bentuk Aljabar Tipe Kesalahan Reading error Reading comprehesion difficulty Transform error Weakness in proses skill
Encoding error Corelles error
Indikator a. Memahami maksud soal pengurangan pecahan bentuk aljabar tetapi tidak memahami cara menyelesaikannya a. Tidak menguasai konsep peyederhanaan bilangan pecahan b. Tidak menguasai konsep pengurangan bilangan bulat c. Tidak menguasai konsep pengurangan bilangan pecahan bentuk aljabar a. Kesalahan dalam menuliskan operasi hitung b. Kesalahan menuliskan variable a. Lupa menuliskan variable b. Menuliskan variabel baru (menambahakan variabel) c. Kesalahan dalam menyamakan penyebut d. Kesalahan dalam menentukan pecahan senilai a. Kesalahan menuliskan operasi kurang b. Kesalahan menuliskan tanda negative a. Salah hitung
2. Scaffolding a. Teori belajar Konstruktif Konstruktivisme adalah presektif psikologi dan filosofis yang memandang bahwa masing-masing individu membentuk dan membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan pahami. Pengaruh besar yang mendorong kemunculan konstruktivisme adalah teori dan penelitian
10 dalam ilmu perkembangan manusia, terutama teori-teori Piaget dan Vygotsky (Schunk, 2012). Konstruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses kesimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru (Nursalim, 2007). 1) Prinsip teori Piaget Menurut Piaget bahwa semua anak dilahirkan dengan kecenderungan bawaan untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan untuk memahaminya. Ketika anak berusaha membangun pemahaman mengenai dunia, otak berkembang membentuk skema. Skema merupakan tindakan atau representasi mental yang mengatur pengetahuan (Slavin, 2011). Piaget memberikan konsep asimilasi dan akomodasi untuk menjelaskan bagaimana anak-anak menggunakan skema mereka. Proses menyesuaikan skema sebagai tanggapan atas lingkungan melalui asimilasi dan akomodasi disebut adaptasi. Asimilasi terjadi ketika anak-anak memasukkan informasi baru ke dalam skema mereka yang sudah ada sebelumnya. Akomodasi terjadi ketika anak-anak menyesuaikan skema mereka agar sesuai dengan informasi dan pengalaman baru mereka (Santrock, 2004). Piaget yakin bahwa manusia melampaui empat tahap dalam memahami dunia. Masing-masing tahap terjadi dengan usia dan terdiri dari cara berpikir atau berperilaku yang khas. Cara yang berbeda dalam memahami dunia yang menyebabkan satu tahap lebih berkembang dibandingkan tahap yang lain. Menurut pandangan Piaget, mengetahui lebih banyak informasi tidak menyebabkan pemikiran anak lebih berkembang. Inilah yang dimaksud Piaget ketika mengatakan bahwa kognisi anak berbeda secara kualitas pada suatu tahap dibandingkan dengan tahap lain. Empat tahap perkembangan kognisi itu adalah sensomotorik (0-2 tahun), pra operasional (2-7 tahun), operasional konkrit (7-11 tahun), dan operasional formal (11 tahun-dewasa) (Nursalim, 2007). 2) Prinsip teori Vygotsky Teori Vygotsky masih menjadi kekuatan yang amat besar dalam kajian psikologi perkembangan yang didasarkan pada dua hal. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bisa ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman individu. Kedua, perkembangan tergantung pada sistem-sistem isyarat membantu orang untuk berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya bahasa budaya, sistem penulisan atau sistem perhitungan. Vygotsky juga yakin bahwa peroleh sistem-sistem isyarat
11 itu terjadi dalam urutan langkah-langkah yang tidak berubah atau sama pada semua anak (Nursalim, 2007). Teori Vygotsky mengatakan bahwa pembelajaran mendahului perkembangan. Pembelajaran melibatkan perolehan isyarat melalui pengajaran dan informasi dari orang lain. Perkembangan melibatkan penghayatan anak terhadap tanda-tanda sehingga sanggup berpikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain disebut pengaturan diri atau self-regulation (Slavin, 2011). a) Pengaturan diri (self-regulation) Tahap pertama dalam perkembangan pengaturan diri dan pemikiran mandiri adalah mempelajari bahwa sesuatu hal memiliki makna. Tahap kedua dalam pengembangan struktur-struktur internal dan pengembangan diri melibatkan latihan dan pengulangan. Sedangkan tahap terakhir adalah kemampuan menggunakan isyarat dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Pada titik ini, anak-anak menjadi mandiri atau mengatur diri sendiri (Nursalim, 2007). Suatu mekanisme yang ditekankan Vygotsky untuk mengalihkan pengetahuan milik bersama menjadi pengetahuan pribadi adalah percakapan pribadi (private speech). Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak menyerap percakapan orang lain dan kemudian menggunakan percakapan itu untuk membentuk diri sendiri memecahkan masalah (Slavin, 2011). Piaget mengartikan private speech sebagai egosentris dan tidak dewasa. Vygotsky tidak sependapat dengan Piaget dan mengartikan bahwa private speech adalah alat penting dari pemikiran selama bertahun-tahun pada masa kanakkanak awal. Selain itu, Vygotsky berargumen bahwa anak-anak yang menggunaka private speech lebih kompeten secara sosial dibandingkan yang tidak menggunakan. Private speech merepresentasikan suatu transisi awal untuk menjadi lebih komunikatif secara sosial dan memainkan peran positif dalam perkembangan anak (Santrock, 2007). Nursalim (2007) mengatakan bahwa self-regulated learner (pembelajar yang memiliki pengaturan diri yang baik) adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan itu. Lebih dari itu, pembelajar semacam ini termotivasi oleh belajar itu sendiri, bukan hanya karena nilai atau motivator eksternal lain. Mereka juga mampu menekuni tugas berjangka panjang hingga tugas itu terselesaikan.
12 b) Zona perkembangan terdekat (Zone of Proximal Development/ ZPD) Ide pembelajaran sosial konstruktivisme modern telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek dan penemuan. Terdapat empat prinsip kunci yang diturunkan dari teori Vygotsky yang memegang peranan penting. Pertama adalah penekanannya pada hakekat sosial dari pembelajran. Vygotsky menemukan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Konsep kunci kedua adalah ide bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat (Zone of Proximal Development) mereka. Ketiga adalah perkembangan kognitif berkaitan dengan proses seseorang yang sedang belajar secara tahap demi tahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan pakar. Pakar itu bisa orang dewasa, orang yang lebih tua atau teman sebaya yang menguasai permasalahannya. Konsep kunci keempat adalah siswa seharusnya diberintugas-tugas kompleks, sulit dan realistik, kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas ini. Bantuan semacan ini disebut juga scaffolding (Nursalim, 2007). Slavin (2011) menjelaskan bahwa zona perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan yang berbeda sedikit di atas tingkat perkembangan individu pada saat tertentu. Vygotsky percaya bahwa belajar terjadi pada saat anak-anak sedang bekerja di dalam zona terdekat. Tugas-tugas dalam zona perkembangan proksimal adalah sesuatu yang masih belum dapat dikerjakan seorang anak sendirian tetapi benar-benar dapat dikerjakan dengan bantuan teman yang lebih kompeten atau orang dewasa. Zona Perkembangan Proksimal menjelaskan tugas yang masih belum dapat dipelajari seorang anak tetapi sanggup dipelajari pada waktu tertentu. Sejalan dengan itu Santrock (2007) menjelaskan bahwa Zona perkembangan proksimal adalah kisaran tugas-tugas yang terlalu sulit saat seorang anak melakukannya sendiri, tetapi dapat dipelajari dengan bimbingan dan bantuan dari orang dewasa atau anak-anak yang terampil. Batas bawah dari ZPD adalah tingkat ketrampilan yang dapat diraih oleh anak yang dilakukan secara mandiri. Batas atasnya adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima anak dengan bantuan seorang pengajar yang kompeten. ZPD menangkap ketrampilan kognitif anak yang sedang dalam proses kematangan dan hanya dapat dicapai dengan bantuan seseorang yang lebih terampil.
13 Konsep yang terkait erat dengan konsep ZPD adalah konsep scaffolding. Scaffolding adalah perubahan tingkat dukungan. Dukungan dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, memerinci masalah kedalam langkah-langkah, pemberian contoh, atau tindakan lain yang memungkinkan siswa tumbuh mandiri sebagai pembelajaran. Scaffolding mengacu pada bantuan yang diberikan oleh teman-teman sebaya atau orang dewasa yang lebih kompeten. Scaffolding digunakan untuk membantu siswa mencapai patas atas dari zona perkembangan proksimal (Santrock, 2007). Dialog adalah alat yang penting dalam ZPD. Vygotsky memandang anak-anak kaya konsep tetapi tidak sistematis, acak dan sepontan. Suatu dialog, konsep-konsep tersebut dapat dipertemukan dengan bimbingan yang sistematis, logis, dan rasional. Mengajukan pertanyaan- pertanyaan mendalam adalah sebuah cara yang sangat baik untuk menunjang pembelajaran siswa dan mengembangkan ketrampilan berpikir yang lebih rumit (Santrock, 2007). c) Definisi Scaffolding Meirita (2013) menyebutkan bahwa teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding merupakan suatu istilah pada proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui Zone of proximal development-nya. Scaffolding berasal dari kata scaffold yang berarti tangga untuk pijakan tukang batu ketika membangun tembok. Sehingga scaffolding dapat diartikan sebagai bantuan yang disediakan teman yang lebih kompeten atau orang dewasa. Istilah scaffolding juga dikenal dengan pentanggaan, yang berarti menyediakan banyak dukungan kepada seseorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi dukungan setelah anak sanggup memikul tanggungjawabnya (Slavin,2011). Wood, Bruner & Ross memperkenalkan gagasan tentang “scaffolding” untuk menggambarkan cara belajar anak-anak yang dapat didukung, dukungan pada akhirnya dihapus ketika anak dapat belajar secara mandiri The notion of “scaffolding” has been used to reflect the way adult support is adjusted as the child learns and is ultimately removed when the learner can “stand alone”. Lebih lanjut Anghileri mengemukakan tiga tingkat scaffolding sebagai serangkaian strategi pengajaran yang efektif yang mungkin atau tidak mungkin terlihat di kelas. Tingkat yang paling dasar adalah environmental provisions, yaitu penataan lingkungan belajar yang memungkinkan berlangsung tanpa intervensi langsung dari guru. Selanjutnya pada tingkat kedua, interaksi guru semakin diarahkan untuk mendukung siswa belajar, yaitu melalui penjelasan, peninjauan, dan restrukturisasi,
14 sementara pada tingkat ketiga interaksi guru diarahkan untuk pengembangan pemikiran konseptual (Felayani, 2013). Ketiga tingkat scaffolding tersebut ditunjukkan dengan Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Strategi guru dalam pembelajaran Scaffolding menurut Anghileri Berdasarkan tingkatan scaffolding yang dikemukakan Julia Anghileri, maka praktik scaffolding yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3 Tingkatan scaffolding Komponen Scaffolding Level 1 Environmental provisions
Kegiatan yang dilakukan a. b.
Mengkondisikan kelas, menyusun lembar tugas secara terstruktur. Menyediakan media atau gambar-gambar yang sesuai dengan masalah yang diberikan
Level 2 Explaining
a.
Meminta siswa untuk membaca ulang masalah yang diberikan.
15 Komponen Scaffolding Explaining
b.
Reviewing
a. b.
Restructuring
c. a.
b.
Level 3 Developing Conceptual Thinking
a. b. c.
Kegiatan yang dilakukan Mengajukan pertayaan arahan, hingga siswa dapat memahami masalah dengan benar Diskusi tentang jawaban yang telah dikerjakan oleh siswa. Meminta siswa untuk melakukan refleksi terhadap jawaban yang telah dibuatnya sehingga dapat menemukan kesalahan yang telah dilakukan Meminta siswa untuk memperbaiki pekerjaannya. Mengajukan pertayaan arahan, hingga siswa dapat menemukan kembali semua fakta yang ada pada masalah. Meminta siswa untuk menyusun kembali rancangan jawaban yang lebih tepat untuk masalah yang dihadapinya. Diskusi tentang jawaban yang telah dibuat oleh siswa. Meminta siswa untuk mencari alternatif lain untuk menyelesaikan masalah. Mengajukan pertanyaan arahan, sehingga siswa dapat menemukan kemungkinan konsep lain yang terkait dengan masalah yang sedang dihadapinya.
B. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang dilakukan Sahriah (2012) dengan judul “Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika Materi Operasi Pecahan Bentuk Aljabar Kelas VIII SMP Negeri 2 Malang“ dengan tujuan ingin melihat lebih dalam dan luas pemahaman siswa terkait materi operasi pecahan bentuk aljabar. Berdasarkan hasil penelitiannya ditemukan kesalahan siswa meliputi kesalahan konseptual dan prosedural. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2012) dengan judul “Penelusuran Kesalahan Siswa dan Pemberian Scaffolding dalam Menyelesaikan Bentuk Aljabar” bertujuan untuk menelusuri kesalahan siswa kelas 8F SMP Laboratorium Malang dalam menyelesaikan operasi bentuk aljabar, menentukan jenis kesalahan yang dilakukan siswa serta pemberian scaffolding. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ria disimpulkan bahwa kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan operasi bentuk aljabar berupa kesalahan konseptual dan kesalahan prosedural serta scaffolding yang diberikan berada pada level 2 yaitu explaining, reviewing, dan restructuring.
16 Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayati (2012) berjudul “Wawancara Klinis Berbasis scaffolding berbatuan LKS menggunakan multi representasi pada penjumlahan pecahan di SMP” bertujuan untuk mengungkap dampak wawancara klinis berbasis scaffolding berbantuan LKS multi representasi dalam mengatasi kesulitan siswa pada penjumlahan pecahan. Hasill penelitian menunjukkan bahwa dengan wawancara klinis berbasis scaffolding berbantuan LKS multi representasi dapat meminimalisir kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam menyelesaikan pre test sehingga terjadi peningkatan hasil belajar pada post test. Penelitian yang telah dilakukan Sahriah (2012) dan Rahmawati (2012) telah mencoba untuk mengetahui letak kesalahan siswa dengan menggolongkan kesalahan berdasarkan kesalahan konseptual dan procedural, sedangkan penelitian yang dilakukan Rahmawati (2012) dan Nurhidayati (2012) menggunakan wawancara berbasis scaffolding untuk mengatasi kesulitan siswa. Penelitian ini mengidentifikasi letak kesalahan siswa berdasarkan indikator-indikator kesalahan menurut Newman pada materi pecahan bentuk aljabar. Selain itu, peneliti juga akan menggunakan wawancara berbasis scaffolding berdasarkan level yang dikemukakan Anghileri seperti pada penelitian yang telah dilakukan oleh Rahmawati (2012).