BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Definisi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) “ DBD adalah penyakit demam akut disertai dengan manifestasi perdarahan bertendensi menimbulkan syok dan dapat menyebabkan kematian, umumnya menyerang pada anak < 15 tahun, namun tidak tertutup kemungkinan menyerang orang dewasa. Tanda-tanda penyakit ini adalah demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah, lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda-tanda perdarahan di kulit (petechiae), lebam (echymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock)” (Depkes RI, 2008 : 17) Demam dengue umumnya menyerang orang yang kekebalan tubuhnya sedang menurun. Sebenarnya saat seseorang terkena infeksi virus dengue, tubuh akan memproduksi kekebalan terhadap tipe virus dengue tersebut, kekebalan ini akan berlangsung seumur hidup. Demam dengue disebabkan oleh banyak strain atau tipe virus sehingga walaupun tubuh seseorang kebal terhadap salah satu tipe namun orang tersebut masih dapat menderita demam dengue dari tipe virus yang lain. Menurut WHO dikenal penyakit Demam Dengue (DD), yaitu penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengan gejala-gejala seperti sakit kepala, sakit pada sendi, tulang dan otot. Sedangkan DBD ditunjukkan oleh 4 (empat) manifestasi klinis yang utama, demam tinggi, fenomena perdarahan, sering dengan hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah (World Health Organization (World Health Organization (WHO), 1998 : 1).
2.1.2 Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) DBD mempunyai perjalanan yang sangat cepat dan sering menjadi fatal karena banyak pasien yang meninggal akibat penanganannya terlambat (Widoyono, 2008 : 59).
1
DBD merupakan penyakit endemik yang terdapat diperkotaan di Indonesia. Juga di negara-negara tetangga (ASEAN). DBD yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk yang asalnya dari Mesir ini kemungkinan hadir sebagai pendatang di Surabaya pada tahun 1968 bersama virusnya. Selama ini tidak ada obatnya dan belum ada vaksinnya. Oleh sebab itu, pengendalian nyamuk seperti misalnya kerja bakti menghilangkan breeding places tempat perindukan nyamuk merupakan satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya KLB (Achmadi, 2005 : 102). Dengue merupakan arbovirus paling penting, dengan 40-80 juta orang menjadi terinfeksi setiap tahun diseluruh dunia. 500.000 kasus dirawat di rumah sakit dengan komplikasi perdarahan (demam berdarah dengue/ dengue heamorrhagic fever, DHF) (Mandal dkk, 2008 : 272). Menurut riwayatnya, pada tahun 1779, David Bylon pernah melaporkan terjadinya letusan demam dengue (dengue fiver/ DF) di Batavia (sekarang Jakarta). Penyakit itu disebut demam 5 hari yang dikenal dengan knee trouble atau knokkel koortz. Wabah demam dengue terjadi pada tahun l87l - 1873 di Zanzibar kemudian di pantai Arab dan terus menyebar ke Samudera Hindia (Suroso dan Umar, 2004 : 14). Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 dimana terdapat 53 penderita DBD dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Sejak saat itu DBD menyebar ke beberapa provinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus yang bertambah setiap tahunnya. Setiap tahun kira-kira 18.000 orang harus dirawat inap karenanya dan 700-750 orang meninggal. Sejak tahun l968-1998 terjadi 4 kali kejadian luar biasa DBD yaitu pada tahun 1973, 1984, 1988, 1998. Pada tahun 1996 jumlah kasus DBD adalah 45.548 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.234 orang, sedangkan pada tahun 1998
jumlah kasus DBD adalah 72.133 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.414 orang. Peningkatan insiden DBD nampaknya terjadi setiap 5-10 tahun (Simon dan Kristina, 2004 dalam Fenny,2007 : 6-7). 2.1.3 Etiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Demam berdarah dengue dikarenakan oleh virus dengue dari famili Flaviviridae dan genus Flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempat serotipe ini menimbulkan gejala yang berbeda-beda jika menyerang manusia. Serotipe yang menyebabkan infeksi paling berat di Indonesia, yaitu DEN-3 (Satari dan Meiliasari, 2004 : 3). Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia. Virus dengue sebagai penyebabnya demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk. Oleh karena itu penyakit ini termasuk dalam kelompok arthropod borne diseases (Satari dan Meiliasari, 2004 : 4). Penyakit ini bisa menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak, sering menimbulkan kejadian luar biasa. Penyakit ini ditularkan oleh orang yang dalam darahnya terdapat virus dengue (Suroso dan Umar, 2004 : 15). Graham ialah sarjana pertama yang pada tahun 1903 dapat membuktikan secara positif peran nyamuk Aedes aegypti dalam transmisi dengue di Indonesia. Vektor DBD telah diselidiki, dan Aedes aegypti di daerah perkotaan diperkirakan sebagai vektor terpenting. Survei jentik yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM dan PLP) di 27 provinsi dalam kurun waktu 5 tahun (1992-1996) memperlihatkan rata-rata indeks premis 20%, suatu angka yang dianggap 5% lebih tinggi terhadap ambang risiko transmisi demam dengue (Soedarmo, 2004 : 6).
Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di bumi, biasanya antara garis lintang 35U dan 35S, kira-kira berhubungan dengan musim dingin isoterm 10C. Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi oleh ketinggian. Ini biasanya tidak ditemukan pada ketinggian 1000 m. Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat manusia dan sering hidup didalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan banyak spesies kompleks Aedes scutelalaris. Setiap spesies ini mempunyai distribusi geografisnya masing-masing; namun, mereka adalah vektor epidemik yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti (World Health Organization (WHO),2005 : 16). Di Indonesia sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti. Demikian pula halnya di Kotamadya Surabaya spesies utama adalah Aedes aegypti (Soegijanto, 2004 : 99). Menurut Soegijanto (2004 : 100-102) masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa dan dewasa, sehingga termasuk metamorfosis (holometabola) 1. Telur Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,50,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung, dan diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air. 2. Larva
Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis) dan larva yang berbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Laeva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dan perut (abdomen). Pada bagian kepala terdapat sepasang mata mejemuk, sepasang antenna tanpa duri-duri dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersususn atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernafas yang disebut corong pernafasan. Corong pernafasan tanpa duri-duri, berwarna hitam dan ada bulu-bulu (tuft). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) dibagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigi-gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan waktu istrahat membentuk sudut hampir tegal lurus dengan bidang permukaan air. 3. Pupa Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh tersebut yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-
8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah, bila dibandingkan dengan larva. Waktu istrahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukan air.
4. Dewasa Nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antenna yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-pengisap (piercing sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, kerena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antenna tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe plumose. Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah, Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam dengan belang-belang putih pada bagian badan, kaki dan sayapnya (Gandahusada, 2003 dalam Fenny, 2007 : 8). Nyamuk betina mengisap darah agar bisa memperoleh protein untuk mematangkan telurnya sampai dibuahi oleh nyamuk jantan. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia dari pada binatang (Tapan, 2004 : 85). Kebiasaan mengisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari suatu individu ke individu yang lain. Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk bisa mengisap darah sampai kenyang pada satu individu. Keadaan inilah yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi.
Nyamuk betina biasanya mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 06.00- 09.00) sampai petang hari (15.00-18.00). Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Nyamuk akan bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih, seperti tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari seperti : bak mandi, WC, tempayan, drum air, bak menara (tower air) yang tidak tertutup, sumur gali. Selain itu, wadah berisi air bersih atau air hujan: tempat minum burung, vas bunga, pot bunga, ban bekas, potongan bambu yang dapat menampung air, kaleng, botol dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air walau dengan volume kecil, juga menjadi tempat kesukaannya (Gama dan Betty, 2010 : 2). Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi juga secara tidak disadari memberikan peluang bagi berkembangnya nyamuk ini. Banyak tempat perindukan yang dinilai cocok bagi nyamuk ini untuk bertelur. Tempat-tempat tersebut tercipta akibat perkembangan teknologi seperti : penampungan air pada AC, kulkas, dispenser, talang-talang air yang tidak lancar, bangunan-bangunan beton yang terbengkalai. Sampah-sampah modern seperti Styrofoam. Semuanya adalah produk modern yang merubah pola hidup manusia dan juga turut menyumbangkan jumlah populasi nyamuk (Nindito, 2004 dalam Feny, 2007).
Sumber: Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, 2010. Gambar 2.1 Siklus Nyamuk Aedes aegypti Siklus hidup Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur – larva – pupa – nyamuk dewasa. Stadium telur, larva dan pupa hidup didalam air, sedangkan stadium nyamuk dewasa hidup diluar air (Widoyono, 2008 : 60). Menurut Depkes RI (2003), secara klinis ditemukan demam, suhu tubuh pada umumnya antara 39˚C – 40˚C menetap antara 5-7 hari, pada fase awal demam terdapat ruam yang tampak di muka leher dan dada. Selanjutnya pada fase penyembuhan suhu turun dan timbul petekia yang menyeluruh pada tangan dan kaki. Perdarahan pada kulit pada DBD terbanyak dilakukan uji tourniquet positif. World Health Organization (WHO), 1997 dalam Soegijanto : 28) membagi derajat DBD dalam 4 (empat) tingkat, yaitu sebagai berikut: Derajat I: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan ialah uji
tourniquet positif. Derajat II
: Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau pendarahan lain.
Derajat III
: Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (≤ 20 mm Hg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.
Derajat IV
: Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak dapat diukur.
2.1.4 Tanda dan Gejala Penyakit DBD Diagnosa penyakit DBD dapat dilihat berdasarkan kriteria diagnose klinis dan laboratoris. Berikut ini tanda dan gejala penyakit DBD yang dapat dilihat dari penderita kasus DBD dengan diagnosa klinis dan laboratoris : 1. Diagnosa Klinis a. Demam tinggi mendadak 2 sampai 7 hari (38 – 40 º C). b. Manifestasi perdarahan dengan bentuk: uji Tourniquet positif ,
Petekie (bintik
merah
pada kulit), Purpura(pendarahan kecil di dalam kulit), Ekimosis, Perdarahan konjungtiva (pendarahan pada mata), Epistaksis (pendarahan hidung), Perdarahan gusi, Hematemesis (muntah darah), Melena (BAB darah) dan Hematuri (adanya darah dalam urin). c. Perdarahan pada hidung dan gusi. d. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah. e. Pembesaran hati (hepatomegali). f. Renjatan (syok), tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau
kurang, tekanan sistolik
sampai 80 mmHg atau lebih rendah. g. Gejala klinik lainnya yang sering menyertai yaitu anoreksia (hilangnya selera makan), lemah, mual, muntah, sakit perut, diare dan sakit kepala.
2. Diagnosa Laboratoris a. Trombositopeni pada hari ke-3 sampai ke-7 ditemukan penurunan trombosit hingga 100.000 /mmHg. b. Hemokonsentrasi, meningkatnya hematrokit sebanyak 20% atau lebih (Depkes RI, 2005 : 7). 2.1.5 Penularan Penyakit DBD Ada tiga faktor yang memegang peranan pada penularan penyakit DBD, yaitu manusia, virus dan vektor perantara (Hadinegoro et al, 2001:3) Lebih jelasnya Depkes RI, 2005 menjelaskan mekanisme penularan penyakit DBD dan tempat potensial penularannya. 1. Mekanisme Penularan DBD Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit), sebelumnya menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersamaan air liur tersebut virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. 2. Tempat potensial bagi penularan DBD
Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Oleh karena itu tempat yang potensial untuk terjadi penularan DBD adalah: a. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis). b. Tempat-tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya orangorang yang
datang dari
berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue yang cukup besar seperti: sekolah, RS/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, tempat umum lainnya (hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah dan lain-lain). c. Pemukiman baru di pinggir kota, penduduk pada lokasi ini umumnya barasal dari berbagai wilayah maka ada kemungkinan diantaranya terdapat penderita yang membawa tipe virus dengue yang berbeda dari masing-masing lokasi. 2.1.6 Bionomik Vektor Bionomik vektor meliputi kesenangan tempat perindukan nyamuk, kesenangan nyamuk menggigit dan kesenangan nyamuk istirahat. 1. Kesenangan tempat perindukan nyamuk Tempat perindukan nyamuk biasanya berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana. Nyamuk Aedes tidak dapat berkembangbiak digenangan air yang langsung bersentuhan dengan tanah. Macam-macam tempat penampungan air: a. Tempat penampungan air (TPA), untuk keperluan sehari-hari
seperti:
drum, bak
mandi/WC, tempayan, ember dan lain-lain b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minuman burung, vas bunga, ban bekas, kaleng bekas, botol bekas dan lain-lain
c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang
batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan bambu dan lain-lain (Depkes RI, 1992 : 18). 2. Kesenangan nyamuk menggigit Nyamuk betina biasa mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan puncak aktivitasnya antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Berbeda dengan nyamuk yang lainnya, Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik untuk memenuhi lambungnya dengan darah. 3. Kesenangan nyamuk istirahat Nyamuk Aedes hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya, biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempattempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telur. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur tersebut dapat bertahan sampai berbulanbulan bila berada di tempat kering dengan suhu -2ºC sampai 42ºC, dan bila di tempat tersebut tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat (Depkes RI, 2005 : 38). 2.1.7 Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Penanggulangan penyakit DBD meliputi tindakan promotif, preventif, dan kuratif. Tindakan promotif dilaksanakan secara vertikal yaitu melalui edukasi dan informasi kepada masyarakat luas mengenai penyakit DBD dan cara pencegahannya. Upaya ini melibatkan
berbagai sektor untuk mendukung penyebarluasan informasi penyakit DBD. Tindakan preventif dilakukan seiring dengan tindakan promotif yaitu dengan melakukan berbagai kegiatan kebersihan lingkungan dengan fokus pembasmian tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti. Tindakan
kuratif
terus
dikembangkan
dengan
meningkatkan
pengetahuan
tentang
penatalaksanaan penyakit DBD. Mengingat bahwa pengobatan dan vaksinasinya yang efektif belum diketemukan maka pemberantasannya yang terbaik adalah menghilangkan sarang tempat berkembang-biaknya nyamuk Aedes aegypti. Lingkungan bersih sangat mendukung upaya ini (Wardhana, 2004 : 7).
a.Lingkungan. Metode lingkungan yaitu pengelolaan yang meliputi
berbagai perubahan yang menyangkut
upaya pencegahan atau mengurangi perkembangbiakan vektor sehingga mengurangi kontak antara vektor dengan manusia
(Suroso dan Umar,2004 : 16).
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia dan perbaikan desain rumah. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) ini dilakukan dengan cara : 1). Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali
seminggu.
2). Menutup dengan rapat tempat penampungun air, seperti tempayan, drum dan tempat air lain. 3). Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung sekurang-kurangnya seminggu sekali.
4). Mengubur barang bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah sehingga
tidak menjadi
sarang nyamuk. 5). Menutup lubang-lubang pada bambu pagar dan lubang pohon dengan tanah 6). Membersihkan penampungan air pada AC, kulkas dan dispenser
sekurang-kurangnya
seminggu sekali.
b. Biologi. Yaitu berupa pengendalian dengan memanfaatkan musuh-musuh (predator) nyamuk yang ada di alam seperti dengan menempatkan pemangsa jentik di tempat-tempat yang tidak mungkin dilakukan pengurasan seperti berbagai ikan pemakan jentik (ikan cupang dan lain-lain). Pengendalian biologis yang lebih ekstrim adalah dengan menempatkan sejenis bakteri yang dapat membunuh jentik nyamuk, namun penggunaan bakteri ini masih kontroversial karena belum diketahui dampaknya bagi kesehatan dan kehidupan manusia (Nindito, 2004 dalam Feny, 2007 : 14 ). c. Kimiawi. Yaitu berupa pengendalian vektor dengan bahan kimia, baik bahan kimia sebagai racun, bahan penghambat pertumbuhan, dan sebagai hormon. Penggunaan bahan kimia untuk pengendalian vektor harus mempertimbangkan kerentanan terhadap pestisida, bisa diterima masyarakat, aman terhadap manusia dan organisme lain. Caranya adalah sebagai berikut : 1). Pengasapan/fogging, 2). Memberi bubuk abate pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong, vas bunga, kolam, dan lain-lain. Metode lingkungan yaitu pengelolaan yang meliputi berbagai perubahan yang menyangkut upaya pencegahan atau mengurangi perkembangbiakan
vektor sehingga mengurangi kontak antara vektor dengan manusia (Soegijanto, 2004 : 106).
d. Terpadu. Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga cara yang dilakukan secara tepat/terpadu dan kerja sama lintas program maupun lintas sektoral dan peran serta masyarakat. Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala dan lain-lain sesuai dengan kondisi setempat. 2.1.8 Pengobatan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Haus dan dehidrasi terjadi akibat demam tinggi, anoreksia dan munta; sehingga masukan cairan per oral harus diberikan. Penggantian larutan elektrolit atau jus buah lebih dipilih dari pada air saja. Larutan rehidrasi oral, seperti yang digunakan untuk pengobatan penyakit diare, dianjurkan. Selama fase demam akut terdapat resiko kejang. Antipiretik dapat diberikan pada pasien dengan hiperpireksia, terutama bagi mereka yang mempunyai riwayat kejang demam. Salisilat harus dihindari karena dapat menyebabkan pendarahan dan asidosis, atau mencetuskan sindrom Reye atau seperti Reye. Parasetamol lebih dipilih untuk menurun demam tetapi harus digunakan dengan kewaspadaan, dengan dosis berikut :
< 1 tahun 60 mg/dosis 1-3 tahun 60-120 mg/dosis 3-6 tahun 120 mg/dosis 6-12 tahun mg/dosis Dosis harus sesuai diberikan bila suhu tubuh lebih tinggi dari 390C, tetapi tidak lebih dari 6 dosis harus diberikan dalam periode 24 jam. Pasien harus diobservasi dengan ketat terhadap tanda-tanda syok. Periode kritis adalah transisi dari demam ke fase tidak demam, dimana biasanya terjadi setelah hari ketiga. 2.2 Keberadaan dan Kepadatan Jentik Aedes aegypti Keberadaan jentik adalah terdapatnya jentik pada tempat penampungan air, baik tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari, maupun yang bukan tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari.Ada kemungkinan risiko terkena penyakit DBD pada lingkungan rumah yang jentiknya dengan lingkungan rumah yang tidak ada jentiknya (Sitorus, 2005 dalam Djafri, 2012 : 16). Keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu tempat merupakan indikator terdapatnya populasi nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut. Penanggulangan penyakit DBD mengalami masalah yang cukup kompleks, karena penyakit ini belum ditemukan obatnya. Tetapi cara yang paling baik untuk mencegah penyakit ini adalah dengan pemberantasan jentik nyamuk penularannya atau dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN – DBD). Selama jentik yang ada di tempat-tempat perindukan tidak diberantas setiap hari, akan muncul nyamuk-nyamuk baru yang menetas dan penularan penyakit akan terulang kembali.
Untuk meningkatkan upaya pemberantasan penyakit demam berdarah di Indonesia mulai tahun 1998 ini di selenggarakan penggerakan masyarakat dalam “Bulan Gerakan 3M” yang dilakukan secara serentak di tanah air. Untuk mengetahui kepadatan vector di suatu lokasi atau wilayah dapat dilakukan dengan cara: a. Cara Single larva Survey ini dilakukan dengan mengambil ratio jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk mengidentifikasi lebih lanjut jenis jentiknya. b. Cara Visual Survey ini cukup dilakukan dengan melihat atau tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Dalam program pemberantasan penyaakit DBD survey jentik yang biasa digunakan adalah cara visual. Ukuran yang dipakai untuk menghitung kepadatan jentik rumus sebagai berikut: 1). Angka Bebas Jentik (ABJ) Jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik X100% Jumlah rumah yang diperiksa Angka Bebas Jentik adalah presentasi angka bebas jentik > 95%
2). House Index (Hi) Jumlah rumah yang ditemukan jentik X 100% Jumlah rumah yang diperiksa
Aedes menggunakan
House Index (Hi) adalah presentase rumah yang positif jentik dari
seluruh rumah yang
diperiksa. 3). Container Index (Ci) Jumlah Container ada jentik X 100% Jumlah Container yang diperiksa Container Index (Ci) adalah presentase container yang positif jentik dari seluruh container yang di periksa, seperti bak mandi, ember, bak WC, penampungan kulkas, penampungan dispender, tempayan, ban bekas, vas bunga, kolam, dan drum. 4). Breteau Index (Bi) Jumlah Container dengan jentik X 100% 100 rumah Breteau Index (Bi) adalah jumlah Container dengan jentik dari 100 rumah. 2.2.1 Ciri-ciri Jentik (Larva) Aedes aegypti Ada 4 tingkatan (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut yaitu: a. Instar I
: berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
b. Instar II
: berukuran 2,5 – 3,8 mm
c. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II d. Instar IV : berukuran paling besar 5 mm Jentik (larva) Aedes mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: 1). Larva Mempunyai sifon (terompet) pada segmen abdomen VIII 2). Sewaktu istirahat sifon membentuk sudut dipermukaan ir jernih 3). Sifon dengan satu berkas rambut di seberang distal pekten.
Sumber: (Depkes RI, 2010 : 27) Gambar 2.2 Jentik Aedes aegypti 2.3 Kerangka Berpikir 2.3.1 Kerangka Teori Berdasarkan tinjauan kepustakaan, Kejadian DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor (multifaktor). Secara sistematik faktor-faktor tersebut dapat digambarkan dalam kerangka teori sebagai berikut :
Penjamu Penderita Terinfeksi Faktor Lingkungan -Kepadatan Rumah -Keberadaan Jentik -Kepadatan Jentik Faktor Sosial -Pengetahuan -Sikap -Prilaku
Penyebab Virus Dengue
Kejadian DBD
Penular Nyamuk Aedes aegypti
Pencegahan -Lingkungan -Biologis -Kimia -Terpadu
Gambar 2.3. Kerangka Teori Kejadian DBD dapat di pengaruhi oleh 2 faktor antara lain: a. Faktor Lingkungan yaitu keadaan lingkungan pemukiman seperti kepadatan rumah, keberadaan jentik dan kepadatan jentik sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat. b. Faktor Sosial yaitu faktor ekternal yang merupakan faktor yang dating dari luar tubuh manusia. Faktor ini tidak mudah dikontrol karena bergubungan dengan pengetahuan, sikap dan prilaku. Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti sebagai vector. Oleh sebab itu diharapkan kepada masyarakat untuk melakukan pecegahan dengan melinhat keadaan lingkungan sekitar, secara biologis yaitu memilihara ikan pemakan jentik, secara kimia yaitu dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida), dan dengan cara terpadu yaitu melaksanakan gerakan jumat bersih dengan program 3 M Plus. 2.3.2 Kerangka Konsep Penelitian
Kepadatan Jentik
Kejadian DBD
- House Indeks (HI)
Gambar 2.4 Kerangka Konsep :
Variabel Independen : Kepadatan jentik
:
Variabel Dependen
: Kejadian DBD
2.4 Hipotesis Ada hubungan kepadatan jentik Aedes aegypti dengan kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue DBD di Wilayah Puskesmas Telaga Biru Kecamatan Telaga Biru Tahun 2013.