BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka Shot peening merupakan salah satu perlakuan permukaan yang bertujuan untuk memberikan tegangan sisa tekan pada permukaan suatu komponen sehingga dapat memperbaiki sifat bahan terhadap beban dinamis. Selain dapat memperbaiki karakteristik ketahanan terhadap beban dinamis, perlakuan shot peening juga dapat berpengaruh terhadap kekerasan bahan. Penelitian ini berpedoman pada penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga diharapkan dapat membandingkan adanya perbedaan dengan penelitianpenelitian terdahulu. Berikut macam-macam pengelompokan dari beberapa penelitian tentang metode perlakuan dingin (coold working) berdasarkan parameter pengujiannya (Anugrah, 2013). 1. Variasi jarak penembakan Pada penelitian Hidayat (2013) dengan jarak 88 mm, sedangkan pada penelitian Sunardi (2013) dan Saputra (2015) menggunakan jarak penembakan shot peening 100 mm, Wibowo dan Setianingrum (2015) menggunakan jarak 100 – 150 mm, Karo (2002) menggunakan jarak 750 mm, dan Setiawan (2013) menggunakan jarak 150 mm. Pada penelitian ini penulis menggunakan jarak penembakan shot peening 80 – 120 mm. 2. Bentuk material yang diuji Arifvianto dkk (2011) dengan ukuran plat 100 mm × 50 mm × 4 mm, Multigner dkk (2009) dengan plat berbentuk silinder dengan diameter 20 mm dan ketebalan 2 mm, Adriawan (2011) menggunakan plat berdiameter 10 mm × 10 mm × 3 mm, As’ad (2008) dan Ashari (2008) menggunakan benda uji yang sama dengan ukuran 100 mm× 50 mm × 7 mm.
4
5
3. Beberapa material shot peening Jiang dkk (2006) menggunakan silika oksida yang memiliki diameter 200 – 300 μm, Adriawan (2011) menggunakan bahan slag ball dengan variabelnya adalah ukuran dari slag ball tersebut. Ashari dan As’ad (2008) melakukan perlakuan shot peening menggunakan serbuk besi standar ISO 9001, sedangkan Tang dan Li (2008) menggunakan pasir silika dengan ukuran ayakan atau mesh yang berukuran 500 – 700 μm, Multigner dkk (2009) menggunakan bahan alumina ((Al₂O₃) yang memiliki
diameter
750
μm.
Beberapa
penelitian
lain
yang
menggunakan pasir silika (SiO2) adalah Pramudia (2011), Widodo (2011), Ishak (2011), Arivianto dkk (2011), dan Mukhsen (2012). 4. Variabel tekanan Wang dan Li (2003); Jiang dkk (2006) dengan tekanan penyemprotan 300 Psi. Ashari (2008); As’ad (2008) menggunakan variabel tekanan mulai dari 4-6 kg/cm². Tang dan Li (2008) menggunakan tekanan 300 kPa, hampir sama dengan Multigner dkk (2009) yang menggunakan 350 kPa. Arifvianto dkk (2011a) menggunakan 8 kg/cm², sedangkan Pramudia (2011) menggunakan tekanan 6-7 kg/cm². Adriawan (2011); Widodo (2011); Ishak (2011) menggunakan 5-7 kg/cm². Pada penelitian ini penulis menggunakan tekanan sebesar 6 bar. 5. Material yang diuji Penelitian sebelumnya yang menggunakan SS-316L Adalah Arifvianto (2011), Adriawan (2011), Pramudia (2011), Widodo (2011), Ishak (2011), dan Mukhsen (2012). Wang dan Li (2003) menggunakan bahan kuningan. Jiang dkk (2006) menggunakan Ti (titanium murni). Tang dan Li (2008) membandingkan pengaruh sandblasting pada bahan Al 2024 dan Ti-Al 2024 sebagai benda ujinya. Ashari (2008) dan As’ad (2008) menggunakan material logam baja ST 37. Multigner dkk (2009) menggunakan material baja tahan karat AISI 316LVM. Berdasarkan hasil penelitian – penelitian tersebut menunjukan adanya perubahan yaitu adanya peningkatan kekerasan permukaan, peningkatan
6
kekasaran, pengurangan ukuran/dimensi spesimen dan pengecilan struktur mikro pada butiran permukaan. Berikut merupakan hasil dari beberapa pengujian penelitian – penelitian sebelumnya (Anugerah, 2013).
2.1.1. Struktur Mikro Perlakuan
shot peening dapat merubah ukuran butiran pada bagian
permukaan akibat terjadinya deformasi penumbukan material abrasif sehingga pada permukaan terjadi peningkatan kekerasan. Terjadinya peningkatan kekerasan karena adanya proses several plastic deformation (SPD) sehingga menyebabkan penghalusan ukuran butiran (Multigner dkk), dan strain hardening. Hukum HallPetch menyatakan bahwa kekerasan akan meningkat seiring penurunan ukuran butiran. Ukuran butiran mengalami pengecilan hingga berukuran nano (Multigner dkk, 2009). Butiran kembali membesar seiring dengan bertambahnya jarak kedalaman permukaan hingga mencapai ukuran material dasarnya. Hasil pengambilan foto struktur mikro permukaan ditunjukkan pada Gambar 2.1. a
b
c
d
Gambar 2.1 Struktur mikro sampel shot peening (a) Raw material, variasi waktu shot peening (b) 2 menit, (c) 6 menit, (d) 10 menit (Hidayat 2013) 2.1.2. Kekasaran
7
Kekasaran merupakan ukuran tekstur dari permukaan. Untuk menentukan tingkat kekasaran suatu material tidak cukup hanya dengan melihat langsung atau rabaan tangan pada permukaannya, tetapi harus ada standar baku yang digunakan dalam pengukuran permukaan yaitu Ra, Rz, atau Rmax. Ra adalah tinggi rata-rata, Rz adalah tinggi maksimum rata-rata, sedangkan Rmax adalah jarak antara bukit tertinggi dengan lembah terendah. Adapun cara analisis dalam penentuan nilai Ra yaitu menggunakan rumus seperti persamaan 1 dan visualisasinya pada gambar 2.2. ............................................................(1) Dimana : Ra
= Kekasaran rata-rata (µm)
a
= Nilai hasil uji kekasaran 1 (µm)
b
= Nilai hasil uji kekasaran 2 (µm)
c
= Nilai hasil uji kekasaran 3 µm)
n
= Jumlah banyaknya data
Parameter pengukuran kekasaran diukur dengan menghitung selisih simpangan permukaan asli dari permukaan ideal dengan besaran jarak. Simpangan besar dapat diketahui bahwa permukaan kasar, begitu pula sebaliknya simpangan kecil menunjukkan bahwa permukaannya halus. Untuk mengukur kekasaran permukaan dapat menggunakan metode kontak langsung pada permukaan material. Prinsip kerja metode ini menggunakan jarum yang berjalan sepanjang permukaan material. Jarum tersebut memiliki ukuran tersendiri tergantung dari keakuratan alat surface roughness yang digunakan. Sepanjang perjalanan, pengukuran stylus bergerak naik turun megikuti bentuk kekasaran permukaan.
8
(a)
(b) Gambar 2.2 (a) Rz, (b) Ra dan Rmax (Hidayat, 2013)
Gambar 2.3 Skema stylus membaca permukaan sampel (Hidayat, 2013)
9
2.1.3. Ketebalan Plat Pada proses perlakuan shot peening terjadi deformasi plastis akibat dari pengaruh penumbukan material abrasif yang berupa bola-bola baja (steel ball). Hal inilah yang mengakibatkan struktur mikro mengalami pengikisan (deformasi plastis) dan cenderung pipih. Fenomena deformasi plastis akibat perlakuan permukaan telah diteliti oleh peneliti sebelumnya seperti Arifvianto dkk (2011), Multigner dkk (2009), Pramudia (2011), Adriawan (2011), dan Mukhsen (2012). Hasil penelitian tersebut menunjukkan terjadinya pemadatan, pengikisan, pemipihan struktur mikro, dan perbedaan batas butir antara daerah permukaan material dengan daerah inti material. Hasil penelitian Iqbal dkk (2011) menunjukaan dimensi dari spesimen uji setelah diberi perlakuan sandblasting mengalami pengurangan ukuran diameter (Gambar 2.5.a). Sedangkan pada penelitian Arifvianto (2011), menunjukan terjadi pengurangan massa dari spesimen uji akibat perlakuan SMAT (Gambar 2.5.b). Sehingga dapat ditarik hipotesis bahwa perlakuan shot peening pada bagian permukaan material menyebabkan deformasi plastis.
a
10
b
Gambar 2.4 Pengaruh perlakuan permukaan terhadap ukuran dimensi sampel (a) Pada perlakuan sandblasting (Iqbal dkk, 2011) dan (b) Pada perlakuan SMAT (Arifvianto, 2011)
Pada penelitian ini menggunakan variabel jarak penyemprotan shot peening yang diharapkan dapat melihat pengaruh perlakuan shot peening terhadap pengurangan ukuran dimensi ketebalan akibat pemadatan dan terkikisnya permukaan plat.
2.1.4. Kekerasan Hasil pengujian kekerasan yang ditunjukan oleh Multigner dkk (2009), Arifvianto dkk (2011), Pramudia (2011), dan Adriawan (2011), Setiawan (2013), Anugerah (2013) dan Hidayat (2013) menunjukkan perbandingan nilai kekerasan dengan jarak kedalaman spesimen akibat adanya perlakuan permukaan dengan metode shot peening. Gambar 2.4 menunjukkan bahwa bagian permukaan material benda uji yang terkena material abrasif pada perlakuan shot peening tingkat kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah dalam materialnya. Semakin dalam jarak dari permukaan maka tingkat kekerasannya akan menurun mendekati kekerasan dari material dasarnya. Penurunan kekerasan permukaan akibat perlakuan shot peening hingga kedalaman tertentu ini terjadi pada beberapa peneliti sebelumnya.
11
Gambar 2.5 Distribusi nilai kekerasan mikro pada perlakuan shot peening (Hidayat, 2013) 2.2. Dasar Teori 2.2.1. Stainless Steel Baja tahan karat atau lebih dikenal dengan Stainless Steel adalah senyawa besi yang mengandung kromium 10,5% untuk mencegah proses korosi (pengkaratan logam). Kemampuan tahan karat diperoleh dari terbentuknya lapisan film oksida kromium, dimana lapisan oksida ini menghalangi proses oksidasi besi (Ferum). Baja tahan karat memiliki daya tahan terhadap oksidasi yang tinggi di udara dalam suhu lingkungan biasa dapat dicapai karena adanya tambahan krom. Krom membentuk sebuah lapisan yang tidak aktif dapat melindungi material baja ketika bertemu dengan oksigen. Lapisan krom tersebut sangat tipis sehingga logam akan tetap berkilau. Logam yang dilapisi akan tahan terhadap air dan udara, fenomena tersebut biasa disebut pasivation. Baja tahan karat dibagi menjadi empat yaitu: a. Ferritik Baja tahan karat ferritik yang paling sederhana hanya mengandung besi dan kromium dengan struktur kristal BCC (Gambar 2.6) anti karat. Hal ini disebabkan karena klorida magnetik dan kekuatan luluhnya sangatt tinggi tetapi rendah keuletaannya, artinya getas. Secara umum ferritic stainless steel memiliki beberapa keunggulan dalam bidang keteknikan dibanding jenis baja
12
tahan karat yang lain. Tetapi disamping itu baja tahan karat jenis ini tingkat ketahan korosinya kurang karena kandungan nikel dan kromium yang lebih sedikit.
a) b) c) Gambar 2.6 Struktur Kristal ferrite stainless steel body centered cubic (BCC) (a) sel atom bulat penuh, (b) sel atom yang disederhanakan, (c) gabungan dari banyak sel. (Callister, 2001)
b. Austenitic Austenitic stainless steel memiliki struktur kristal FCC (Gambar 2.7) didapatkan dari fase ferrite stainless steel dengan penambahan nikel mangan, dan nitrogen pada suhu ruang. Austenitic ini memiliki kekuatan luluh yang sedikit rendah, tetapi ketangguhannya lebih tinggi (Davis, 2001). Baja tahan karat jenis ini sangat umum hampir 70% baja tahan karat adalah jenis ini. Baja jenis ini memiliki kandungan 0,15% karbon, 16% kromium, dan beberapa mangan atau nikel untuk menahan struktur pada saat temperatur dari cryogenic sampai titik leleh.
a) b) c) Gambar 2.7 Struktur kristal austenite stainless steel face centered cubic (FCC) (a) unit sel atom bulat penuh, (b) sel atom yang model, (c) gabungan dari banyak sel. (Callister, 2001)
13
c. Martensitic Martensitic stainless steel memiliki struktur kristal body centered tetragonal (Gambar 2.8) dengan tingkat krom yang rendah dan tingkat karbonnya tinggi, dengan mendapatkan struktur austenitic pada temperatur tinggi kemudian didinginkan secara tiba-tiba untuk mengubah fase austenitic ke martensitic (Davis, 2001). Pada baja tahan karat jenis ini, tidak begitu memiliki ketahanan karat yang begitu baik tetapi memiliki sifat yang kuat dan tangguh, dan tingkat machineable yang sangat baik, dan juga dapat diberi perlakuan panas.
Gambar 2.8 Struktur Kristal martensitic stainless steel body centered tetragonal. (Callister, 2001)
d. Duplex Duplex
stainless
steel
dapat
dianggap
sebagai
kromium-
molibdenum. Precipitation hardening stainless steel mempunyai struktur martensitic atau austenitic dengan penambahan unsur tembaga, titanium, aluminium, molibdenum, niobium, atau nitrogen. Ferrite stainless steel dibentuk dengan keseimbangan ferritic dan austenitic pada suhu kamar menghasilkan kromium tinggi dan molibdenum, bertujuan agar ketahanan korosi yang baik dari ferrite stainless steel serta menguntungkan sifat mekanik austenitic stainless steel (Davis, 2001: 259). Stainless steel merupakan baja tahan karat yang sudah banyak digunakan sebagai bahan pembuatan alat-alat kedokteran. Baja tahan karat sedikit mengandung karbon, maka sulit untuk bereaksi terhadap udara dan air (Callister, 2001: S-231). Baja tahan karat AISI 304 merupakan salah satu dari tipe material
14
yang tahan karat. Penggunaan baja tahan karat AISI 304 sudah banyak digunakan dalam dunia biomedis, khususnya implan terhadap jaringan tulang manusia. Baja tahan karat AISI 304 ini sangat banyak digunakan sebagai alat orthopedic, walaupun pengaruh untuk aplikasi biologis hasilnya masih kurang (Bordji dkk, 1996). Baja tahan karat merupakan material yang sering digunakan oleh para medis sebagai alat bantu, walaupun baja AISI 304 masih rendah tingkat ketahanan korosinya dibanding titanium tetapi telah memenuhi standar medis. Tabel 2.1 Komposisi kimia baja AISI 304 (Wijaya makmur sentosa) Unsur
Berat (wt%)
C
0.07
Mn
2.00
P
0.045
S
0.03
Si
0.75
Cr
17.5-19.5
Ni
8-10.5
Mo
0
N
0.10
Cu
0
Fe
Balance
Stainless steel AISI 304 merupakan baja austenite yang memiliki struktur face centered cubic (FCC). Struktur ini berkat penambahan unsur paduan seperti nikel, dan nitrogen. Selain itu tidak bersifat magnetik dan tidak dapat dikeraskan dengan perlakuan panas. Stainless steel 304 merupakan baja tahan karat yang memiliki kandungan karbon rendah maksimal 0,07% dan kandungan chromium 17,5-19,5%. Baja tahan karat AISI 304 merupakan material yang mudah didapat di pasaran, dan harga relatif murah. Baja ini memiliki sifat yang mudah dibentuk, tahan karat, dan ringan. Kekuatan dari baja tahan karat AISI 304 tidak sebaik baja tahan karat martensit, tetapi memiliki elastisitas lebih tingi. Aplikasi baja tahan karat 304 banyak digunakan pada tabung tekanan tinggi, pipa pada reaktor nuklir
15
(Zhao, 2000: 358), mesin jet, pesawat terbang (Adriawan, 2011), turbin, industri kimia (McGuire, 2008: 72), material kawat implan (Disegi dan Zardiackas, 2003) dan aplikasi ortopedik lainnya (Shanbhag dkk, 2006).
2.2.2. Shot peening Shot peening adalah metode perlakuan permukaan yang digunakan untuk meningkatkan kekerasan dan memperhalus ukuran butiran dengan cara menembakkan steel ball secara tegak lurus ke permukaan material dengan tekanan tinggi. Peningkatan kekerasan terjadi akibat dari proses several plastic deformation (SPD) yang menyebabkan terjadinya penghalusan butiran dan strain hardening. Hukum hall-Petch menyatakan bahwa kekerasan akan meningkat seiring penurunan butiran.
Gambar 2.9 Mekanisme pembentukan tegangan tekan akibat tumbukan material abrasif (Kumar, 2013) Pada proses perlakuan shot peening yaitu steel ball dan udara secara bersamaan menyemprot permukaan spesimen. Pada gambar 2.9 menunjukkan skema shot peening dimana steel ball akan ikut tersemprot karena adanya kevakuman dalam box camber, sehingga steel ball akan ikut tersemprot bersama udara bertekanan tinggi. Biasanya dalam proses shot peening yang digunakan sebagai media penyembur adalah kompresor yang bertekanan tinggi dan spray gun sebagai nozzle untuk mengatur kecepatan steel ball.
16
Gambar 2.10 Skema proses shot peening 2.2.3. Uji Kekerasan Kekerasan yaitu kemampuan suatu material untuk menahan goresan dan menahan penekanan supaya tidak terdeformasi. prinsip kerjanya yaitu indentor ditekan pada permukaan material dengan gaya tertentu sehingga terjadi deformasi karena adanya perubahan secara elastis dan plastis pada permukaan benda kerja. Suatu material pasti memiliki tingkat kekerasan, karena kekerasan merupakan salah satu sifat mekanik yang pasti dimiliki suatu material. Kekerasan yaitu kemampuan suatu material untuk menahan tekanan atau goresan (Callister, 2001). Dari uraian diatas maka dapat di simpulkan bahwa kekerasan suatu material adalah ketahanan material tehadap gaya penekanan yang diberikan dari material lain yang lebih keras. Tekanan tersebut bisa berupa metode penggoresan (scratching), metode elastis/pantulan, dan metode indentasi dari material keras pada suatu permukaan material yang diuji (Fauji, 2010). Gambar 2.11 merupakan metode yang dilakukan dengan cara benda uji ditekan menggunakan indentor dengan gaya dan waktu indentasi yang ditentukan. Pada gambar tersebut memperlihatkan skema alat uji kekerasan permukaan dengan metode indentasi. Cara kerjanya yaitu dengan menentukan jejak dari indentasi yang dihasilkan kemudian nilai kekerasan material dilihat dari
17
kedalaman jejak yang ditinggalkan. Jejak yang ditinggalkan menunjukkan bahwa material tersebut sudah terdeformasi plastis.
Gambar 2.11 Skema proses uji kekerasan universal dengan metode indentasi (Kuhn, 2000)
Gambar 2.12 Skematik prinsip indentasi dengan metode Vickers (Kuhn, 2000) Gambar 2.12 merupakan metode vickers menggunakan indentor intan piramida dengan sudut 136º. Prinsip pengujiannya sama dengan metode brinell, perbedaannya terletak pada indentor dan hasil injakan. Metode vickers menghasilkan injakan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Nilai kekerasan ini diperkirakan berdasarkan ukuran injakan sisa pada benda uji. Bekas injakan
18
diukur berdasarkan panjang rata-rata kedua diagonalnya supaya dpat dihitung hasil dari nilai kekerasannya. Panjang diagonal pada bekas injakan diukur dengan skala pada mikroskop pengukur. Nilai kekerasan suata material diukur menggunakan standar ASTM E384-84 (dalam Saputra, 2015) ditunjukkan pada persamaan (2.1). HVN=1,854
.......................................................(2.1)
dengan : HVN = Hardness vickers (
)
F = Beban yang diberikan (kgf) d²= Panjang diagonal rata-rata (mm)
Gambar 2.13 Tipe-tipe lekukan piramid intan : (a) lekukan sempurna, (b) lekukan bantal jarum, (c) lekukan berbentuk tong (Dieter, 1987) Bekas injakan yang benar tipe (a). Pada proses pengujian kekerasan berbentuk persegi (Gambar 2.13). Bekas injakan diukur dengan panjang rata-rata kedua diagonalnya agar dapat dihitung hasil dari nilai kekerasannya. Lekukan bantal jarum tipe (b) adalah akibat terjadinya penurunan logam disekitar permukaan piramida yang datar. Keadaan demikian terjadi pada logam-logam yang dilunakkan dan mengakibatkan pengukuran panjang panjang diagonal yang berlebihan. Lekukan berbentuk tong tipe (c) akibat penimbunan keatas logam disekitar permukaan pernekan terdapat pada logam-logam yang mengalami proses pengerjaan dingin.