BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1.
Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam a.
Definisi Pembelajaran Istilah pembelajaran cenderung merujuk pada terjadinya proses belajar-mengajar dan meliputi suatu proses yang kompleks. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Murdiono (2012: 21) bahwa, “Pembelajaran merupakan suatu
sistem instruksional
yang kompleks”. Sistem
instruksional yang kompleks tersebut terdiri atas berbagai komponen yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu tujuan. Komponen dalam pembelajaran meliputi tujuan, bahan ajar, siswa, guru, metode, media, dan evaluasi pembelajaran. Agar tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara maksimal, maka seluruh komponen yang ada harus diorganisasikan sehingga dapat saling bekerja sama dan melaksanakan fungsinya masing-masing dengan baik. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pembelajaran merupakan proses belajar-mengajar. Belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Berkaitan dengan pentingnya belajar, Suryani dan Agung (2012) berpendapat bahwa: Belajar merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang, karena dengan belajar, seseorang dapat memahami dan menguasai sesuatu sehingga orang tersebut dapat meningkatkan kemampuannya. Belajar merupakan perkembangan hidup manusia yang dimulai sejak lahir dan berlangsung seumur hidup. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang terjadi dari hasil latihan yang dilakukan secara sadar, bersifat fungsional, menetap, bersifat aktif dan positif berdasarkan atas latihan bertujuan dan terarah, serta mencakup keseluruhan aspek kepribadian. Dalam hal ini, siswa merupakan subjek dan objek pembelajaran (hlm. 34). Sitepu (2014: 18) berpendapat bahwa, “Belajar adalah usaha sadar yang dilakukan secara terencana, sistematis, dan menggunakan
11
12
metode tertentu untuk mengubah perilaku relatif menetap melalui interaksi dengan sumber belajar”. Sedangkan mengajar dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau suatu aktivitas untuk menciptakan suatu situasi yang mampu mendorong siswa untuk belajar. Situasi ini tidak harus berupa transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa, akan tetapi dapat dengan cara lain misalnya belajar melalui media pembelajaran yang sudah disiapkan. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Seseorang dikatakan telah mengalami proses belajar apabila di dalam dirinya telah terjadi perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya (Aunurrahman, 2009). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, mengajar secara singkat diartikan sebagai suatu kegiatan membimbing seseorang yang sedang belajar. Kegiatan belajar mengajar merupakan suatu proses yang dilakukan karena adanya suatu tujuan yang ingin dicapai. Mengenai hal ini, Majid (2014: 5) berpendapat bahwa, “Pembelajaran pada dasarnya merupakan kegiatan terencana yang mengkondisikan atau merangsang seseorang agar bisa belajar dengan baik sesuai dengan tujuan pembelajaran”. Sedangkan Sagala (2011) berpendapat bahwa: Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas maupun teori belajar dan menjadi penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran (hlm. 164). Menurut Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 1 Ayat 20 (Depdiknas, 2003: 2), “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Menurut Miarso (2008), terdapat lima jenis interaksi yang dapat berlangsung dalam proses pembelajaran, yaitu interaksi antara pendidik dengan peserta didik, interaksi antar sesama peserta didik, interaksi peserta didik
13
dengan narasumber, interaksi peserta didik bersama pendidik dengan sumber belajar, dan interaksi peserta didik bersama pendidik dengan lingkungan sosial dan alam (Warsita, 2008: 85),. Interaksi antara pendidik dan peserta didik pasti terjadi dalam pembelajaran. Bila dilihat dari sisi peserta didik, pembelajaran merupakan kegiatan peningkatan kemampuan kognitif, afektif, dan prikomotorik. Kemampuan kognitif dapat berupa penguasaan peserta didik terhadap sejumlah pengetahuan atau informasi yang diperoleh melalui proses belajar. Komponen afektif mencerminkan nilai-nilai yang menjadi acuan bagi peserta dalam bersikap dan berperilaku, sedangkan kemampuan psikomotorik berupa keterampilan peserta didik. Nata
berpendapat,
“Pembelajaran
adalah
sebuah
usaha
mempengaruhi emosi, intelektual, dan spiritual seseorang. Melalui pembelajaran akan terjadi proses pengembangan moral keagamaan, aktivitas, dan kreatifitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar” (2008: 85). Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pembelajaran bukan hanya mempengaruhi pengetahuan seseorang, melainkan juga mempengaruhi spiritual atau moral keagamaan maupun psikomotorik seseorang. Pembelajaran dilakukan agar terjadi proses pemerolehan
ilmu
pengetahuan,
penguasaan
kemahiran
atau
keterampilan, dan pembentukan tabiat, sikap serta kepercayaan diri pada peserta didik. Pada prakteknya, pembelajaran merupakan sebuah proses transfer ilmu yang dilakukan oleh guru kepada peserta didik, akan tetapi dalam kegiatan transfer ilmu tersebut tidak hanya semata-mata dengan jalan menjelaskan materi pelajaran kepada peserta didik, namun juga pemanfaatan potensi yang ada pada peserta didik disertai dengan penguatan nilai-nilai moral dan karakter. Goodman (1987) berpendapat bahwa: Peserta didik belajar dengan menggunakan tiga (3) cara, yaitu melalui pengalaman (dengan kegiatan langsung atau tidak langsung), pengamatan (melihat contoh atau model), dan bahasa. Dengan cara-cara seperti itu, peserta didik belajar
14
melalui kehidupan secara langsung. Mereka menggali, melakukan, menguji coba, menemukan, mengungkapkan, dan membangun secara aktif pengetahuan yang baru melalui konteks yang autentik” (Majid, 2012: 107). Salah satu komponen pembelajaran yang pokok selain peserta didik adalah pendidik atau guru. Guru memiliki tanggung jawab yang cukup besar bagi pendidikan. Guru bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah dalam arti menuntut peserta didik untuk belajar, turut serta membina kurikulum sekolah, melakukan pembinaan terkait sikap pada diri peserta didik, memberikan bimbingan personal kepada peserta didik, mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami peserta didik, dan mengadakan penilaian atas kemajuan belajar peserta didik (Hamalik, 2009). Guru harus mampu melakukan suatu inovasi yang menyangkut tugasnya sebagai pendidik yang berkaitan dengan tugas mengajar siswa. Inovasi yang dilakukan oleh guru dalam tugasnya sebagai pendidik diharapkan mampu meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Hamruni (2012) menyatakan bahwa: Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar (hlm. 44). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pembelajaran berarti menjadikan peserta didik sebagai pusat dari kegiatan belajar (student center). Meskipun demikian, peran guru sebagai pengajar tidak sepenuhnya dihilangkan, melainkan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam suatu pembelajaran. Menempatkan peserta didik sebagai pusat pembelajaran dimaksudkan untuk membentuk watak, budaya, dan meningkatkan mutu hidup peserta didik. Pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagaimana yang diungkapkan oleh Subini (2012: 8), yaitu: 1) Pembelajaran terjadi apabila ada perubahan tingkah laku yang kekal.
15
2) Pembelajaran terjadi secara sadar. 3) Proses pembelajaran berlaku sepanjang hidup. 4) Pembelajaran merupakan suatu proses yang sejalan dengan perkembangan kognitif. Lebih lanjut, Agung dan Wahyuni (2013) mengatakan bahwa ciri-ciri pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Belajar pembelajaran memiliki tujuan, yakni untuk membentuk peserta didik dalam suatu perkembangan tertentu. 2) Kegiatan belajar pembelajaran ditandai dengan suatu penggarapan materi yang khusus. 3) Dalam
belajar
pembelajaran
terdapat
suatu
strategi
yang
direncanakan dan didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 4) Belajar pembelajaran ditandai dengan aktivitas peserta didik. 5) Dalam belajar pembelajaran, guru berperan sebagai pembimbing. 6) Dalam kegiatan belajar pembelajaran dibutuhkan disiplin. 7) Dalam kegiatan belajar pembelajaran ada batas waktu. 8) Dalam kegiatan belajar pembelajaran ada evaluasi. Pembelajaran juga memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pembelajaran merupakan hal
yang sentral
dan penting dalam
pembelajaran. Murdiono (2012: 24) mengatakan bahwa, “Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu mengubah sikap atau kepribadian siswa menjadi baik”. Perubahan kepribadian peserta didik sangat ditentukan oleh kemampuan dan pengalaman guru dalam mengorganisir atau mengelola pembelajaran. Guru tidak lagi sebagai pemeran utama yang memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada peserta didik. Guru bukanlah yang maha tahu dalam pembelajaran, tetapi guru sebagai fasilitator dan mediator bagi peserta didik yang membantu dalam mengolah berbagai sumber belajar yang didapat peserta didik. Rumusan tujuan belajar mengandung unsur ABCD, yaitu audience (siapa yang harus memiliki kemampuan), behavior (perilaku
16
yang bagaimana yang diharapkan dapat dimiliki), condition (dalam kondisi dan situasi yang bagaimana subjek dapat menunjukkan kemampuan sebagai hasil belajar yang telah diperolehnya), dan degree (kualitas dan kuantitas tingkah laku yang diharapkan dicapai sebagai batas minimal) (Sanjaya, 2013). Mager (1962) merumuskan konsep tujuan pembelajaran yang menitikberatkan pada tingkah laku siswa atau perbuatan (performance) sebagai output (keluaran) pada diri siswa, yang dapat diamati. Keluaran tersebut menjadi petunjuk bahwa siswa telah belajar. Pada mulanya siswa tidak menunjukkan tingkah laku tertentu, setelah belajar siswa melakukan tingkah laku tersebut. Hal ini berarti siswa telah belajar. Dengan kata lain, proses pembelajaran dapat memberikan dampak tertentu pada tingkah laku siswa (Hamalik, 2009: 109). Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran merupakan suatu target yang ditetapkan yang mampu mengubah kepribadian peserta didik menjadi baik, yang meliputi perubahan perilaku kognitif, afektif dan psikomotor sebagai output (keluaran) pada diri peserta didik sebagai tolak ukur pencapaian kegiatan pembelajaran yang sudah dilaksanakan. b. Definisi Sejarah Kebudayaan Islam Definisi Sejarah Kebudayaan Islam dapat dijelaskan dalam tiga (3) kata yang masing-masing memiliki arti, yaitu sejarah, kebudayaan, dan Islam. Sejarah merupakan bagian dari ilmu sosial yang mempelajari tentang peristiwa masa lampau. Kuntowijoyo (2005) menyatakan bahwa, “istilah sejarah memiliki pelafalan dan sekaligus pengertian dengan istilah kata syajarah yang berarti pohon atau syajara yang berarti terjadi. Kedua kata dalam bahasa Arab inilah yang kemudian dilafalkan sebagai sejarah dalam bahasa Indonesia” (Arif, 2011: 5). Berkaitan dengan istilah kata syajarah yang berarti pohon, maka lazimnya sebuah pohon akan memiliki akar dan cabang. Diinspirasikan dari keadaan pohon seperti itulah dikembangkan pengertian dasar dari
17
sejarah, bahwa kata syajarah dikonotasikan terhadap pengertian sejarah sebagai (1) suatu urutan asal-usul keturunan yang berkesinambungan, sejak jauh sebelum buyut, lalu secara berturut-turut diteruskan oleh buyut, kakek, ayah, hingga sampai pada keberadaannya sekarang ini; (2) suatu silsilah keturunan yang bercabang-cabang, sejak orang tua, anak, cicit, dan seterusnya; (3) pertumbuhan dan perkembangan dari peristiwa yang satu menuju peristiwa yang lain secara berkesinambungan (kontinuitas) sesuai dengan garis waktu (Arif, 2011). Lebih lanjut, Abdillah (2012) juga mengemukakan bahwa: Kata syajarah yang diambil menjadi sejarah, mengalami perluasan makna sebagai: apa yang telah terjadi atau kisah dari semua yang telah terjadi, dan uraian ilmiah tentang hal yang telah terjadi. Dalam bahasa Arab untuk pengertian sejarah digunakan tarikh, yang mengandung arti penggalan, waktu, zaman, kurun zaman, perhitungan tahun (hlm. 13). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa sejarah menyangkut waktu dan peristiwa. Oleh karena itu, masalah waktu memegang peranan penting dalam memahami satu peristiwa. Hal ini membuat para sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodisasi. Mengenai sejarah di negeri barat, Rochmat (2009) mengemukakan bahwa: Kata yang paling umum dipergunakan di negeri Barat untuk sejarah adalah kata seperti dalam bahasa Inggris history. Kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Yunani Kuno historia yang berarti inquiry (penelitian), interview (wawancara), interogasi dari seorang saksi mata, dan laporan mengenai hasil tindakantindakan itu; witness (saksi mata), judge (seorang hakim), dan seorang yang tahu (hlm. 2). Pernyataan di atas menjelaskan bahwa sejarah terdiri dari pengamatan langsung, penelitian, dan laporan hasil penelitian. Sesuatu yang terjadi di masa lalu tidak dapat disebut sejarah dengan begitu saja apabila tidak ada catatan yang valid mengenai peristiwa itu. Mengenai arti sejarah, dapat dikaji dari dua segi, pertama dari arti istilahnya dan kedua dari makna dasar yang terkandung dalam istilah sejarah itu.
18
Sejarah selalu berarti sejarahnya manusia. Peristiwa atau kejadian alam di masa lampau seperti proses terjadinya bumi tidak termasuk pengertian sejarah. Pengertian sejarah sebagai peristiwa ini menyangkut makna dasar sejarah adalah peristiwa, kejadian, aktivitas manusia yang telah terjadi di masa lampau (Daliman, 2012). Sejarah secara garis besar merupakan suatu penggambaran atau rekonstruksi peristiwa, kisah maupun cerita yang benar-benar terjadi pada masa lalu (Supardan, 2011). Sejarah merupakan kajian yang sangat penting. Bahkan, Hasan (1999) menyatakan bahwa, “....di Indonesia sendiri, sejarah merupakan wahana pendidikan yang tertua dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, baik pada masa sebelum maupun sesudah kemerdekaan” Arif (2011: 13). Kebudayaan
merupakan
hasil
karya-cipta
(pengolahan,
pengerahan, dan pengarahan terhadap alam) oleh manusia dengan kekuatan jiwa dan raganya yang menyatakan diri dalam berbagai kehidupan dan penghidupan manusia sebagai balasan atas segala tantangan, tuntutan, dan dorongan dari dalam diri manusia menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan manusia (Anshari, 1980). Mengenai istilah kebudayaan, Mahfud (2011) berpendapat bahwa: Kebudayaan merupakan wadah tempat hakikat manusia mengembangkan diri. Kebudayaan lahir dari olah akal budi, jiwa atau hati nurani manusia. Bentuk kebudayaan tersebut selalu mencerminkan nilai-nilai kehidupan yang diyakini, yang dirasa, dan diharapkan memberikan kebaikan dalam hidup. Oleh karena itu, kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan tersebut juga disebut peradaban. Kebudayaan atau peradaban yang dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam disebut kebudayaan atau peradaban Islam (hlm. 185). Pengertian kebudayaan dapat disimpulkan sebagai suatu wadah bagi manusia untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang diyakini sehingga tercapailah kesejahteraan hidup manusia. Kebudayaan ini dapat berupa cara hidup, kepercayaan, kesenian, teknologi, dan sebagainya.
19
Istilah Islam merupakan agama yang berasal dari wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia sepanjang masa dan setiap tempat. Sumber ajaran Islam adalah Al-Qur‟an sebagai penyempurna wahyu-wahyu Allah SWT sebelumnya. Islam sebagai diin, meliputi agama dan kebudayaan. Jadi agama Islam dan kebudayaan Islam adalah diin yang berasaskan AlQur‟an, Sunnah, dan Ijtihad (Anshari, 1980). Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata arab “Al-Hadharah Al-Islamiyyah”. Kata ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah kebudayaan Islam. Kebudayaan dalam bahasa Arab adalah Al-Tsaqafah, di Indonesia sebagaimana juga yang ada di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata ini “kebudayaan (Arab: Al-Tsaqafah, Inggris: Culture), dan “peradaban” (Arab: AlHadharah, Inggris: Civilization). Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat, kebudayaan lebih direfleksikan dalam bentuk seni, sastra, religi (agama) dan moral, sedangkan peradaban terefleksikan dalam bentuk politik, ekonomi, dan teknologi (Hariyono, 1995). Mahfud (2011: 186-192) mengemukakan ciri-ciri dan nilai-nilai kebudayaan Islam. Adapun ciri-ciri kebudayaan Islam sebagai berikut: 1) Bernafaskan tauhid, karena tauhid menjadi prinsip pokok Islam. 2) Hasil
pemikiran
dan
pengolahannya
untuk
meningkatkan
kesejahteraan dan membahagiakan umat manusia. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan Islam adalah sebagai berikut: 1) Berorientasi pada pengabdian dan kebenaran Ilahi, karena itu seluruh kegiatan manusia dalam kehidupan ini harus berorientasi pada pengabdian kepada Allah SWT. 2) Berpikir kritis dan inovatif. Berpikir kritis merupakan berpikir secara objektif dan analitis, sedangkan berpikir inovatif adalah berpikir untuk menemukan pikiran-pikiran baru. Dengan berpikir kritis dan
20
inovatif inilah seseorang akan lebih maju dan telah mengantarkan kemajuan intelektual Islam pada masa keemasannya. 3) Bekerja keras. Manusia adalah makhluk yang diciptakan secara sempurna dengan menganugerahkan akal dan budi. Allah SWT memerintahkan manusia untuk berusaha meraih kebahagiaan baik dunia maupun akhirat. 4) Bersikap terbuka, berarti mau menerima masukan dari siapapun. Kemajuan akan mudah dicapai dengan sikap terbuka, manfaatkan pemikiran, kemajuan yang dicapai orang lain, sepanjang tetap sejalan dengan nilai-nilai kebenaran yang ditetapkan Allah SWT. 5) Jujur, kejujuran akan membimbing manusia dalam proses penemuan kebenaran dan mengemukakan kebenaran secara objektif. Kejujuran menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang merugikan. 6) Adil, merupakan tindakan yang menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adil menunjukkan sikap yang professional dalam mengambil keputusan dalam berbagai persoalan yang berkaitan dengan banyak pihak. 7) Ikhlas, berarti murni, bersih dari segala unsur yang mengotori atau mencemari niat seseorang untuk berbuat sesuatu sebagai wujud pengabdian ketaatan kepada Allah SWT. Menurut Hasimy (1975: 14), “Sejarah Kebudayaan Islam adalah kemajuan politik atau kekuasaan Islam yang berperan melindungi pandangan hidup Islam terutama dalam hubungannya dengan ibadah, penggunaan bahasa, dan kebiasaan hidup bermasyarakat”. Sedangkan menurut Nata (2002), Sejarah Kebudayaan Islam yaitu: Peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguhsungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Diantara cakupannya itu ada yang berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya, tokohtokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran agama Islam tersebut, sejarah kemajuan dan kemunduran yang dicapai oleh umat Islam dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan umum, kebudayaan, arsitektur,
21
politik pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya (hlm. 315). Syalabi (1983) berpendapat bahwa: Sejarah Kebudayaan Islam adalah satu bagian dari Ilmu Pengetahuan Agama Islam yang tidak dapat dipisahkan. Ini adalah kenyataan yang selama ini dilupakan orang. Sejarah Kebudayaan Islam haruslah ditulis oleh orang yang memiliki pengetahuan Agama Islam, baik itu Al-Qur‟an, Hadits, Fiqh, Tauhid, Tarikh Tasyri‟ Islami, dan lainnya. Hal ini agar dalam pembahasannya lebih mendalam (hlm. 16). c.
Definisi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) merupakan salah satu dari empat (4) mata pelajaran yang terhimpun dalam Pendidikan Agama Islam, yang terdiri dari Al – Qur‟an Hadits, Akidah Akhlak, Fikih dan Sejarah Kebudayaan Islam. Sesuai dengan lampiran Peraturan Menteri Agama No. 912 Tahun 2013 tentang Kurikulum Madrasah 2013 bahwa Sejarah Kebudayaan Islam merupakan cacatan perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke masa dalam
hal
beribadah,
bermuamalah,
dan
berakhlak
dalam
mengembangkan sistem kehidupan atau menyebarkan ajaran Islam yang dilandasi oleh akidah. Karakteristik SKI menekankan pada kemampuan mengambil ibrah atau hikmah (pelajaran) dari sejarah Islam, meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan seni untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam pada masa kini dan pada masa yang akan datang (Permenag, 2013). d. Fungsi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang diberikan di lembaga pendidikan formal sudah sepatutnya diintegrasikan dengan kedudukan dan posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, yang dilengkapi dengan akal dan budi guna menjalankan perannya sebagai pemimpin dan pembuat sejarah dan
22
kebudayaan. Agar pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dapat memberikan nilai edukasi tinggi kepada siswa, maka guru harus mengetahui Kebudayaan
dan
memahami
Islam.
Adapun
fungsi
dari
pembelajaran
Sejarah
fungsi
dari
pembelajaran
Sejarah
Kebudayaan Islam menurut Martanto (2008) antara lain sebagai berikut: a) Fungsi Inspiratif, Sejarah Kebudayaan Islam memberikan inspirasi mengenai
gagasan-gagasan
dan
konsep-konsep
yang
dapat
digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan masa kini, khususnya yang berkaitan dengan semangat untuk mewujudkan identitas sebagai masyarakat Islam. b) Fungsi rekreatif, melalui membaca dan mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam seakan-akan kita melakukan perlawatan Sejarah Kebudayaan Islam karena menerobos batas waktu dan tempat menuju zaman masa lampau untuk mengikuti setiap peristiwa yang terjadi. c) Fungsi instruktif, Sejarah Kebudayaan Islam merupakan salah satu bidang keilmuan yang diyakini dapat menunjang keterampilanketerampilan tertentu. d) Fungsi edukatif, Sejarah Kebudayaan Islam dapat memberikan nilai kearifan bagi siapa saja yang mempelajarinya. Selain itu, melalui Sejarah Kebudayaan Islam dapat dilakukan pewarisan nilai-nilai budaya Islam dari generasi terdahulu ke generasi masa kini. Dari pewarisan nilai-nilai itulah akan menumbuhkan kesakdaran sejarah, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan masyarakat Islam. Fungsi
pembelajaran
Sejarah
Kebudayaan
Islam
pada
hakikatnya adalah membantu meningkatkan iman peserta didik dalam rangka pembentukan pribadi muslim, disamping memupuk rasa kecintaan dan kekaguman terhadap Islam dan kebudayaannya, memberi bekal kepada peserta didik dalam rangka melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi atau bekal untuk menjalani kehidupan bila putus
23
sekolah, mendukung perkembangan Islam masa kini dan mendatang disamping meluaskan cakrawala pandangannya terhadap makna Islam bagi kepentingan kebudayaan umat manusia (Daradjat, 1975). e.
Tujuan Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Tsanawiyah Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 912 Tahun 2013. Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Tsanawiyah merupakan salah satu mata pelajaran yang menelaah tentang asal-usul, perkembangan, peranan kebudayaan/peradaban Islam dan para tokoh yang berprestasi dalam Sejarah Islam di masa lampau, mulai dari perkembangan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, Khulafaurasyiddin, Bani Ummayah, Abbasiyah, Ayyubiyah sampai perkembangan Islam di Indonesia. Secara substansial, mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam memiliki konstribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati Sejarah Kebudayaan Islam, yang mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah
Tsanawiyah
bertujuan
agar
peserta
didik
memiliki
kemampuan-kemampuan sebagai berikut: a) Membangun
kesadaran
peserta
didik
tentang
pentingnya
mempelajari landasan ajaran, nilai-nilai dan norma-norma Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW dalam rangka mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam. b) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan. c) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah.
24
d) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah Islam sebagai bukti peradaban umat Islam di masa lampau. e) Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil ibrah dari
peristiwa-peristiwa
bersejarah,
meneladani
tokoh-tokoh
berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek, seni, untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam. f.
Ruang Lingkup Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Tsanawiyah Ruang lingkup Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Tsanawiyah berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 912 Tahun 2013 meliputi: a) Memahami sejarah Nabi Muhammad SAW periode Makkah. b) Memahami sejarah Nabi Muhammad SAW periode Madinah. c) Memahami peradaban Islam pada masa Khulafaurasyiddin. d) Perkembangan masyarakat Islam pada masa Dinasti Bani Ummayah. e) Perkembangan masyarakat Islam pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. f)
Perkembangan
masyarakat
Islam
pada
masa
Dinasti
Bani
Ayyubiyah. g) Memahami perkembangan Islam di Indonesia. Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dinilai sebagai mata pelajaran yang penting untuk dipelajari sebab dasar-dasarnya telah termuat dalam sumber pokok ajaran Islam yaitu Al-Qur‟an dan Hadits. Hal yang mendasar pada pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam terletak pada kemampuan menggali nilai, hikmah, dalil, dan teori dari fakta sejarah. Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam bukan hanya sekedar transfer of knowledge namun juga mengedepankan pendidikan nilai.
25
Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam bagi umat Islam memiliki nilai-nilai yang penting. Menurut Ash-Shiddiqie (1997), ada empat aspek penting yang dapat diambil dari sejarah, yakni: a.
Kewajiban kaum muslimin untuk meneladani Rasulullah SAW.
b.
Untuk menafsirkan dan memahami maksud Al-Qur‟an dan AlHadist, perlu memahami setting sosial historis dan kondisi psikologis masyarakat Islam pada saat itu.
c.
Sebagai alat ukur sanad. Untuk mengetahui keautentikan sebuah hadist, apakah dhabit atau tidak.
d.
Untuk merekam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam (Syukur, 2010: 4). Melalui konteks inilah lembaga pendidikan Islam mengajarkan
Sejarah Kebudayaan Islam agar nilai-nilai keteladanan yang terkandung didalamnya dapat dilestarikan dan ditransformasikan ke dalam pribadi siswa melalui proses pembelajaran. Proses transformasi ini kemudian diterapkan dalam kehidupannya saat ini maupun masa depannya. Selain itu, proses yang dapat diterapkan adalah dengan meneladani para tokoh Islam yang mudah dipraktekkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Proses transformasi nilai keteladanan masa lalu dapat disajikan kepada siswa melalui mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Misalnya guru mengemas kisah teladan para tokoh yang gigih berjuang demi kemajuan Islam baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Dengan mengemas keteladanan tokoh Islam dalam kondisi belajar yang menyenangkan, diharapkan dapat menggugah semangat dan kekaguman siswa yang muncul dari sikap gigih tokoh Islam yang mendapat dorongan batin untuk ikut memperjuangkan kebenaran. Hal ini penting sebab dalam setiap tokoh tersimpan nilai-nilai keteladanan yang dapat ditiru oleh siswa dengan mudah (Fauziyah, 2013).
26
2.
Nilai-Nilai Keteladanan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 734), akar kata nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai atau value sebenarnya berasal dari bahasa Latin „vale’re‟ yang artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai suatu yang dipandang baik, bermanfaat, dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat (Adisusilo, 2013). Nilai merupakan suatu preferensi yang tercermin dari perilaku atau tingkah laku seseorang, termasuk yang baik atau yang buruk. Nilai akan berhubungan dengan kebaikan, kebajikan, dan keluhuran budi pekerti. Tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh setiap orang, sesungguhnya memiliki nilai-nilai tertentu, akan tetapi penekanan nilai yang diharapkan dapat diambil dan dicontoh dalam kehidupan adalah nilai-nilai kebaikan. Dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan suatu tolak ukur ataupun indikator yang menunjukkan apakah seseorang telah melakukan tindakan yang baik atau tidak baik, pantas atau tidak pantas, serta tindakan individu yang bermoral atau tidak bermoral. Sedangkan Steeman (1987) menyatakan bahwa: Nilai adalah sesuatu yang memberikan makna pada hidup, yang memberi acuan, titik tolak dan tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada hubungan yang amat erat antara nilai dan etika (Adisusilo, 2013: 56). Menurut Kamus Besar Bahasia Indonesia (2008: 619), keteladanan berasal dari kata teladan yang artinya hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh. Menurut Armai (2002): Sedangkan dalam bahasa Arab, keteladanan diungkapkan dengan kata uswah dan qudwah. Kata uswah terbentuk dari huruf-huruf: hamzah, sin, dan waw. Secara etimologi setiap kata bahasa Arab yang terbentuk dari ketiga huruf tersebut memiliki persamaan arti yaitu pengobatan dan perbaikan. Al-uswah dan al-iswah
27
sebagaimana al-qudwah dan al-qidwah berarti suatu keadaan ketika seorang manusia mengikuti manusia lain, baik dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan atau kemurtadan. Namun, keteladanan yang dimaksud lebih kepada keteladanan yang dapat dijadikan sebagai alat pembelajaran Islam, yaitu keteladanan baik atau uswatun hasanah (hlm. 117). Keteladanan dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran Islam karena hakekat pendidikan Islam ialah mencapai keridhaan kepada Allah SWT dan mengangkat tahap akhlak dalam bermasyarakat berdasarkan pada agama serta membimbing masyarakat pada rancangan akhlak yang dibuat oleh Allah SWT untuk manusia (Mohammad, 1976). Hal tersebut secara eksplisit akan membentuk pribadi individu peserta didik menjadi manusia yang utuh, sehat jasmani dan rohani sehingga mampu berinteraksi sosial dengan penuh tanggung jawab dalam tatanan hidup bermasyarakat. Bentuk keteladanan dibagi menjadi keteladanan disengaja dan tidak disengaja. Muchtar (2005: 224) menjelaskan bentuk-bentuk keteladanan yang disengaja dan tidak disengaja sebagai berikut: 1) Keteladanan disengaja Keteladanan kadang kala diupayakan dengan cara disengaja, yaitu pendidik sengaja memberi contoh yang baik kepada peserta didik agar ditiru. Misalnya, pendidik memberi contoh cara membaca yang baik agar peserta didik menirunya. Dalam proses belajar mengajar, keteladanan yang disengaja dapat berupa pemberian secara langsung kepada peserta didik melalui kisah-kisah Rasulullah SAW yang mengandung beberapa hal yang patut dicontoh oleh peserta didik. 2) Keteladanan tidak disengaja Keteladanan
ini
terjadi
ketika
pendidik
secara
alami
memberikan contoh-contoh yang baik dan tidak ada unsur sandiwara di dalamnya. Dalam hal ini, pendidik tampil sebagai figur yang dapat memberikan contoh-contoh yang baik di dalam maupun di luar kelas. Bentuk pendidikan semacam ini keberhasilannya banyak bergantung
28
pada kualitas kesungguhan dan karakter pendidik yang diteladani, seperti kualitas keilmuannya, kepemimpinannya, dan keikhlasannya.. Dalam kondisi pendidikan seperti ini, pengaruh teladan berjalan secara langsung tanpa disengaja. Oleh karena itu, setiap orang yang diharapkan menjadi pendidik hendaknya memelihara tingkah laku, disertai kesadaran bahwa ia bertanggung jawab di hadapan Allah SWT dan segala hal yang diikuti oleh peserta didik sebagai pengagumnya. Semakin tinggi kualitas pendidik akan semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pendidikannya. Andayani dan Majid (2012) mengungkapkan bahwa: Strategi keteladanan dapat dibedakan menjadi keteladanan internal (internal modelling) dan keteladanan eksternal (external modelling). Keteladanan internal dapat dilakukan melalui pemberian contoh yang dilakukan oleh sendiri dalam proses pembelajaran. Sementara keteladanan eksternal dilakukan dengan pemberian contoh-contoh yang baik dari para tokoh yang dapat diteladani, baik tokoh lokal maupun tokoh internasional (hlm. 23). Berkaitan dengan strategi keteladanan internal dan eksternal tersebut, maka penerapan nilai-nilai keteladanan kepada peserta didik dapat dilakukan melalui dua hal, yaitu ketokohan dan keteladanan guru/pendidik. Ketokohan berasal dari kata tokoh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian tokoh adalah orang yang terkemuka dan kenamaan (dalam bidang politik, kebudayaan, dan sebagainya), tokoh adalah seorang politik yang disegani (Depdikbud, 2000). Tokoh dalam karya sastra dicirikan segi-segi wataknya sehingga dapat dibedakan dari tokoh yang lain, tokoh dalam karya sastra yang hanya diungkapkan satu segi wataknya, tidak dikembangkan secara maksimal, dan apa yang dilakukan atau dikatakannya tidak menimbulkan kejutan pada pembaca. Keteladanan guru/pendidik erat kaitannya dengan proses pendidikan yang sedang berlangsung di sekolah. Keteladanan sangat penting dalam proses pendidikan, beberapa poin tentang pentingnya keteladanan adalah sebagai berikut: 1) Keteladanan merupakan sarana terjadinya saling mempengaruhi antar sesama manusia, utamanya guru mempengaruhi peserta didik.
29
2) Keteladanan lebih tajam dari nasehat, terutama jika nasehat berasal dari guru yang tidak melakukan ucapannya. 3) Keteladanan merupakan kebutuhan semua orang, utamanya peserta didik terhadap guru yang mengajar dan mendidiknya. 4) Keteladanan yang baik menghasilkan pahala dan keberhasilan peserta didik sedangkan keteladanan yang buruk menghasilkan dosa dan kegagalan peserta didik (Mirza, 2013). Keteladanan hendaknya diartikan dalam arti luas, yaitu berbagai ucapan, sikap, dan perilaku yang melekat pada pendidik. Keteladanan telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sangat berhasil, karena Muhammad adalah guru manusia, guru bangsa, guru ummat, atau guru paripurna, bahkan dapat dikatakan sebagai guru multidimensi yang tiada taranya. Keteladanan yang dilakukan Rasulullah SAW setidak-tidaknya mengandung dua unsur, yaitu metodik dan implementatif. Dengan dua unsur tersebut berdampak pada daya serap dan hasil pendidikan yang tinggi. Keteladanan yang bersifat metodik-implementatif akan tergambar bagaimana cara-cara menerapkan. Dengan diketahui dan dipahaminya aspek metodik tersebut, maka akan memudahkan untuk diterapkan sehingga apa yang telah diteladankan akan menjadi menarik dan menyenangkan (Hidayatullah, 2009). Keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik anak didik. Penerapan nilai-nilai keteladanan salah satunya berasal dari guru sebagai figur yang akan ditiru oleh peserta didik yang tindak tanduk seorang guru atau pendidik terus diperhatikan baik perkataan, penampilan, dan tingkah laku sehari-hari. Jika seorang guru tidak mampu menjadi figur sentral di hadapan peserta didiknya, guru akan kewalahan dan tidak akan memperoleh apa yang diharapkan dari peserta didik. Kondisi demikian menyebabkan pendidikan yang difungsikan untuk menggali potensi dasar peserta didik sebagai sumber daya manusia terhambat karena tidak ada lagi yang dapat dijadikan teladan. Dari sini terlihat jelas bahwa profesi pendidik atau guru sangat menentukan kelangsungan hidup suatu bangsa. Kejayaan atau kehancuran suatu bangsa boleh dikatakan sangat bergantung pada keberadaan guru-guru yang
30
membidani lahirnya generasi muda. Alasannya, karena potensi manusia mempunyai makna dan dapat memanfaatkan sumber daya alam yang selanjutnya berguna bagi kehidupan manusia, hanya setelah digali melalui pendidikan, dan subjek yang paling berperan secara langsung dalam proses pendidikan adalah guru (Rusn, 2009). Lebih lanjut, Antonio (2007) menyatakan bahwa: Salah satu faktor penting kejayaan pendidikan Rasulullah SAW adalah karena beliau menjadikan dirinya sebagai model dan teladan bagi umatnya. Rasulullah SAW adalah Al-Qur‟an hidup. Artinya, pada diri Rasulullah SAW tercermin ajaran Al-Qur‟an yang nyata. Beliau adalah pelaksana pertama semua perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Oleh karena itu, para sahabat dimudahkan dalam mengamalkan ajaran Islam, yaitu dengan meniru Rasulullah SAW (Hidayatullah, 2009: 103). Keteladanan dalam pendidikan merupakan pendekatan atau metode yang sangat berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan, membentuk, dan mengembangkan potensi peserta didik. Pendidik atau guru harus bisa menjadi contoh yang baik bagi setiap peserta didik. Pentransformasian nilai-nilai keteladanan memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui. Menurut Krathwohl (1964), proses pembentukan nilai pada anak dapat dikelompokkan dalam lima tahap yaitu: 1) Tahap Receiving (menyimak) Tahap ini merupakan tahap seseorang secara aktif dan sensitif menerima
stimulus
dan
menghadapi
fenomena-fenomena,
sedia
menerima secara aktif, dan selektif dalam memilih fenomena. Pada tahap ini nilai belum terbentuk melainkan baru menerima adanya nilai-nilai yang berada di luar dirinya dan mencari nilai-nilai itu untuk dipilih yang paling menarik bagi dirinya. 2) Tahap Responding (menanggapi) Tahap ini merupakan tahap seseorang sudah mulai bersedia menerima dan menanggapi secara aktif stimulus dalam membentuk respon yang nyata. Tahap ini memiliki dua peningkatan yakni tahap compliance (patuh) dan willingness to respond (sedia menanggapi). Pada
31
tahap ini seseorang mulai aktif menanggapi nilai yang berkembang di luar dan meresponnya. 3) Tahap Valueing (memberi nilai) Tahap ini merupakah tahap seseorang sudah mampu menangkap stimulus atas dasar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan mulai mampu menyususn persepsi tentang objek. Tahap ini terdiri dari dua tahap yakni percaya terhadap nilai yang dipercayai dan memperjuangkan nilai-nilai yang diterima dan diyakini. 4) Tahap Organization (mengornanisasikan nilai) Tahap ini merupakan tahap yang lebih kompleks dari tiga tahap di atas. Seorang mulai mengatur sistem nilai yang diterima dari luar untuk mengorganisasikannya dalam diri. Tahap ini memiliki dua tahap organisasi nilai, yakni mengkonsepsikan nilai dalam dirinya dan mengorganisasikan sistem nilai dalam dirinya yakni cara hidup dan tata perilaku sudah didasarkan atas nilai-nilai yang diyakininya. 5) Tahap karakteristik nilai Tahap ini ditandai dengan ketidakpuasan seseorang untuk mengorganisir sistem nilai yang diyakininya dalam kehidupannya yang konsisten sehingga tidak dapat dipisahkan lagi dengan pribadinya. Tahap ini merupakan tahap menerapkan sistem nilai dalam karakterisasi dengan mempribadikan sistem nilai tersebut (Lubis, 2011: 20). Pentransformasian nilai-nilai keteladanan terhadap peserta didik melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang biasanya diwujudkan dengan kisah-kisah teladan merupakan hal yang penting, karena dapat memberikan spirit hidup kepada peserta didik agar tidak apatis dan mendorong kebangkitan batin untuk perjuangan menegakkan kebenaran sebagai tokoh teladan yang telah lulus menghadapi ujian berat. Kenyataan demikian dikarenakan dalam setiap tokoh teladan tersimpan nilai-nilai keteladanan yang dapat ditiru. Tata nilai ini dapat diambil dari sejarah kehidupan manusia, karena nilai-nilai yang dibawa para tokoh teladan menentukan jatuh bangun sejarah kehidupan manusia (Saefuddin, 1993).
32
3.
Khalifah a.
Definisi Khalifah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 677), Khalifah adalah (1) wakil (pengganti) Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat (dalam urusan negara dan agama) yang melaksanakan syariat (hukum) Islam dalam kehidupan agama, (2) gelar kepala agama dan raja di negara Islam, (3) penguasa, pengelola. Menurut Sulasman dan Suparman (2013): Kata khalifah diambil dari bahasa Arab, yang secara harfiah berarti seseorang yang menggantikan kedudukan orang lain karena hilang atau meninggal dunia. Menurut konteks masyarakat Islam, kata “khalifah” berarti pemimpin umat yang menggantikan posisi Rasulullah SAW, sebagai pemimpin politik, militer, dan segala urusan umat Islam (hlm. 53).
b. Definisi Khulafaurasyiddin Kata al-Rasyidun secara harfiah berasal dari kata rasyada yang artinya cerdas, jujur, dan amanah. Kata Rasyada kemudian berubah menjadi kata benda atau kata nama rasyid dan jamaknya rasyidun yang berarti orang-orang yang cerdas, jujur, dan amanah. Dengan demikian Khulafaurasyidin adalah para pemimpin yang menggantikan kedudukan pimpinan sebelumnya dan menunjukkan sikap yang cerdas, jujur, dan amanah. Selain itu khalifah dapat pula diartikan pimpinan yang diangkat sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, untuk menggantikan beliau melanjutkan
tugas-tugas
sebagai
pemimpin
agama
dan
kepala
pemerintahan (Nata, 2011). Kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan setelah Nabi Muhammad SAW wafat digantikan oleh para khalifah yang dikenal dengan nama Khulafaurasyiddin. Selain menjadi pemimpin pemerintahan dan mengepalai negara, khalifah-khalifah tersebut juga bertugas memelihara dan menyelamatkan kemurnian ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Khulafaurasyiddin terdiri dari empat orang sahabat Rasulullah SAW, yaitu Abu Bakar Ash- Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
33
B. Penelitian yang Relevan Terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian terkait Penerapan
Nilai-Nilai Keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam
Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam ini, antara lain: 1.
Penelitian dari Hamjadid yang berjudul “Nilai-Nilai Sosial dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta”, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Tahun 2008. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai sosial yang terkandung dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta dan metode yang digunakan guru dalam mentransformasikan nilai-nilai sosial tersebut melalui pembelajaran SKI Kelas XI di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) Nilai sosial yang terkandung dalam materi pembelajaran SKI kelas XI di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta adalah sikap toleransi yaitu terdapat pada materi perkembangan Islam di India. Kedua, sikap bekerjasama yaitu terdapat pada materi perkembangan Islam di Brunei Darrusalam, dan ketiga, sikap saling menghargai yang terdapat pada materi perkembangan Islam di Thailand dan Filipina. (2) Metode yang digunakan guru SKI dalam mentransformasikan nilai-nilai sosial melalui pembelajaran SKI kelas XI adalah melalui metode cerita, pemberian nasehat, dan penekanan pada materi yang mempunyai aspek sosial. Relevansi penelitian “Nilai-nilai Sosial dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta” dengan penelitian “Penerapan Nilai-Nilai Keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam Pembelajaran Sejarah Kebudaaan Islam Kelas VII (Studi Kasus di MTs Negeri 2 Surakarta)” ialah sama-sama mendeskripsikan mengenai nilainilai yang terkandung dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, yaitu nilai-nilai sosial berupa sikap toleransi, kerjasama, dan saling menghargai beserta metode yang digunakan dalam mentransformasikan nilai-nilai tersebut. Perbedaannya, penelitian “Nilai-nilai Sosial dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta”
34
hanya mengkaji nilai-nilai sosial secara umum dalam materi perkembangan Islam di India, Brunei, Thailand, dan Filipina, sedangkan penelitian “Penerapan Nilai-Nilai Keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas VII (Studi Kasus di MTs Negeri 2 Surakarta)” mengkaji nilai-nilai keteladanan yang dimiliki oleh salah satu tokoh Islam secara khusus yaitu Khalifah Umar bin Khattab. Perbedaan lainnya terdapat pada lokasi penelitian, yaitu SMA dengan MTs. 2.
Penelitian
oleh
Lilik
Widayati
berjudul
“Implementasi
Nilai-Nilai
Humanisme dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di SMA MTA Surakarta)”, FKIP UNS Tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pemahaman pengurus yayasan SMA MTA Surakarta terhadap nilai-nilai humanisme, (2) pemahaman guru sejarah di SMA MTA Surakarta terhadap nilai-nilai humanisme, (3) implementasi nilai-nilai humanisme dalam pembelajaran sejarah di SMA MTA Surakarta, (4) kendala yang dialami guru dalam implementasi nilai-nilai humanisme dalam pembelajaran sejarah di SMA MTA Surakarta, dan (5) tanggapan siswa terhadap implementasi nilai-nilai humanisme dalam pembelajaran sejarah di SMA MTA Surakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) pengurus yayasan dan guru sejarah SMA MTA Surakarta memahami nilai-nilai humanisme sebagai nilai kemanusiaan yang tercermin dalam nilai-nilai agama. (2) pelaksanaan pembelajaran sejarah berdasarkan nilai-nilai humanisme di SMA MTA Surakarta sudah berjalan dengan baik, karena di dalam proses pembelajaran sejarah, guru selalu memunculkan nilai-nilai humanisme yang terdiri dari nilai kebebasan, tanggungjawab, kerjasama, toleransi, kejujuran, demokratis, kesabaran, keaktifan, dan nilai kesopanan kepada peserta didik. (3) kendala utama yang dialami oleh guru dalam penanaman nilai-nilai humanisme adalah berupa waktu yang terbatas dalam proses pembelajaran. (4) peserta didik merespon nilai-nilai humanisme sebagai sesuatu yang penting yang harus dilaksanakan, baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam pembelajaran.
35
Relevansi penelitian “Implementasi Nilai-Nilai Humanisme dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di SMA MTA Surakarta)” dengan penelitian “Penerapan Nilai-Nilai Keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas VII (Studi Kasus di MTs Negeri 2 Surakarta)” terletak pada kesamaan mendeskripsikan mengenai penerapan nilai-nilai dalam proses pembelajaran. Perbedaannya, penelitian “Implementasi Nilai-Nilai Humanisme dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di SMA MTA Surakarta)” mendeskripsikan penerapan nilai-nilai humanisme secara umum melalui pembelajaran sejarah, sedangkan penelitian “Penerapan Nilai-Nilai Keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas VII (Studi Kasus di MTs Negeri 2 Surakarta)” mendeskripsikan penerapan nilai-nilai keteladanan yang secara khusus dimiliki oleh Khalifah Umar bin Khattab melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Perbedaan lainnya terletak pada lokasi penelitian, yaitu SMA dengan MTs. 3.
Penelitian oleh Puji Lestari berjudul “Implementasi Nilai – Nilai Karakter dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di SMA Negeri 1 Karanggede, Boyolali)”, FKIP UNS Tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) Perencanaan Pembelajaran Sejarah berbasis nilai-nilai karakter di SMA Negeri 1 Karanggede, (2) Pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai karakter di SMA Negeri 1 Karanggede. (3) Evaluasi yang dilakukan guru sejarah dalam pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai di SMA Negeri 1 Karanggede. (4) Kendala yang dialami guru sejarah dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai karakter di SMA Negeri 1 Karanggede. Hasil penelitian ini menemukan bahwa (1) Perencanaan pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai karakter di SMA Negeri 1 Karanggede dimulai dengan penyusunan perangkat pembelajaran berupa RPP yang berpedoman pada silabus
Kurikulum
2013. (2) Pelaksanaan
Pembelajaran Sejarah berbasis nilai-nilai karakter di SMA Negeri 1 Karanggede dilakukan dengan kegiatan tatap muka dan penyampaian nilai-
36
nilai karakter yang dapat diambil dari suatu materi pembelajaran. (3) Evaluasi pembelajaran dilakukan dengan penilaian terhadap aspek kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik. (4) Kendala yang dihadapi yaitu peserta didik masih dirasa sulit untuk menanamkan nilai-nilai karakter dalam diri, serta minimnya sumber belajar dalam mengikuti pembelajaran sejarah. Relevansi penelitian “Implementasi Nilai – Nilai Karakter dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di SMA Negeri 1 Karanggede, Boyolali)” dengan penelitian “Penerapan Nilai-Nilai Keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas VII (Studi Kasus di MTs Negeri 2 Surakarta)” terletak pada kesamaan mendeskripsikan penerapan nilai-nilai karakter atau keteladanan dalam proses pembelajaran, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan kendala yang ditemui saat pelaksanaannya. Perbedaannya, penelitian “Implementasi Nilai – Nilai Karakter dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di SMA Negeri 1 Karanggede, Boyolali)” mendeskripsikan penerapan nilai-nilai karakter secara umum melalui pembelajaran Sejarah, sedangkan penelitian “Penerapan Nilai-Nilai Keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas VII (Studi Kasus di MTs Negeri 2 Surakarta)” mendeskripsikan penerapan nilai-nilai keteladanan yang khusus dimiliki oleh Khalifah Umar bin Khattab melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Perbedaan lainnya adalah pemilihan lokasi penelitian, yaitu SMA dan MTs. C. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang hubungan teori dan faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Penelitian ini berusaha memaparkan dan menganalisis penerapan nilai-nilai keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam pembelajaran SKI di MTs Negeri 2 Surakarta. Hal yang diteliti yaitu pemahaman guru SKI terhadap nilai-nilai keteladanan yang dimiliki Khalifah Umar bin Khattab, relevansi nilai-nilai keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dengan KI dan KD Mapel SKI Kurikulum 2013, perencanaan
37
pembelajaran SKI yang menerapkan nilai-nilai keteladanan Khalifah Umar bin Khattab, pelaksanaan pembelajaran SKI yang menerapkan nilai-nilai keteladanan Khalifah Umar bin Khattab, dan hasil akhir, kendala, dan solusi dari penerapan nilai-nilai keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam pembelajaran SKI di MTs Negeri 2 Surakarta. Nilai-nilai Keteladanan Khalifah Umar bin Khattab
Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
Perencanaan Pembelajaran
Pelaksanaan Pembelajaran
Kendala dan Solusi
Evaluasi Pembelajaran
Pemahaman Peserta Didik secara mendalam dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir “Penerapan Nilai-Nilai Keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas VII (Studi Kasus di MTs Negeri 2 Surakarta) Keterangan: Permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia terkait nilai-nilai moral dan karakter saat ini sangat memprihatinkan. Perlu adanya penanganan segera terhadap permasalahan ini agar tidak berlarut-larut. Salah satu cara penanganan yang bisa ditempuh adalah melalui jalur pendidikan. Namun, pendidikan Indonesia saat ini cenderung masih berorientasi pada intelektual atau
38
kognitif saja. Aspek afektif dan psikomotor dirasa masih sulit dikembangkan. Padahal, aspek afektif merupakan salah satu solusi dari permasalahan moral dan karakter bangsa Indonesia. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dirasa mampu mengemban tugas sebagai media penerapan nilai-nilai moral dan karakter kepada peserta didik. Substansi mata pelajaran SKI banyak diisi oleh kisah-kisah dari tokoh-tokoh Islam yang membangun peradaban Islam di masa lalu. Tokohtokoh Islam tersebut memiliki karakter, perilaku, keistimewaan, dan keutamaan yang dapat diteladani oleh peserta didik. Penerapan nilai-nilai keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam Pembelajaran SKI di MTs Negeri 2 Surakarta dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Guru harus merencanakan pembelajaran melalui RPP sebelum melaksanakan pembelajaran SKI. Dalam perencanaan tersebut, akan terlihat jalannya pelaksanaan penerapan nilai-nilai keteladanan dalam kelas. Setelah peserta didik menerima pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai keteladanan Khalifah Umar bin Khattab, diharapkan peserta didik memahami nilai-nilai keteladanan tersebut secara mendalam dan evaluasi/penilaian afektif peserta didik menunjukkan hasil yang bagus. Tentu akan timbul berbagai kendala yang menghambat penerapan nilai-nilai keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam pembelajaran SKI. Meskipun demikian, diharapkan ada solusi-solusi terkait masalah tersebut, baik dari peneliti maupun guru SKI.