7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tungkai 2.1.1 Tulang Tungkai berfungsi sebagai penopang tubuh dan merupakan bagian terpenting saat berdiri, berjalan, berlari, dan melompat. Tungkai terdiri dari tulang–tulang dan otot–otot yang berfungsi sebagai penopang dan penggerak tungkai. Tulang –tulang yang menyusun tungkai adalah tulang pangkal paha (coxae), tulang paha (femur), tulang kering (tibia), tulang betis (fibula), tempurung lutut (patella), tulang pangkal telapak kaki (tarsalia), tulang telapak kaki (meta tarsalia), ruas jari-jari kaki (phalangea) (Gibson, 2002). Tulangtulang penyusun tungkai disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Tulang Penyusun Tungkai Sumber: Gibson, 2002. Fisiologi Dan Anatomi Modern Untuk Perawat:Edisi 2. 7
8
2.1.2 Otot Otot adalah bagian penggerak tulang. Otot bergerak dengan cara berkontraksi (memendek) dan berileksasi (memanjang) sehingga otot disebut anggota gerak aktif. Permasalahan pada otot dapat diketahui dengan tes gerak aktif sesuai fungsi otot tersebut (Hislop et al., 1995). Otot- otot yang menyusun tungkai dibagi menjadi dua yaitu otot tungkai atas dan otot tungkai bawah. Pembagian otot tungkai berdasarkan fungsinya adalah: a. Otot-otot tungkai atas 1) Otot abduktor hip joint a) Muskulus abduktor maldanus b) Muskulus abduktor brevis c) Muskulus abduktor longus d) Muskulus Tensor Fascia Latae 2) Otot adduktor hip joint a) Muskulus pectineus b) Muskulus adduktor magnus c) Muskulus adduktor brevis d) Muskulus gracilis 3) Otot ekstensor hip joint a) Muskulus gluteus medius b) Muskulus gluteus maximus 4) Otot ekstensor knee joint (quadricep femoris) a) Muskulus rektus femoralis
9
b) Muskulus vastus lateralis eksternal c) Muskulus vastus medialis internal d) Muskulus vastus intermedial 5) Otot fleksor knee joint a) Muskulus biceps femoris b) Muskulus semi tendinosus c) Muskulus semi membranous ( berfungsi untuk fleksi knee joint dan memutar kedalam) d) Muskulus sartorius (berfungsi untuk membantu fleksi knee joint dan eksorotator femur) b. Otot-otot tungkai bawah 1) Otot ekstensor ankle joint a) Muskulus tibialis anterior b) Muskulus peroneus longus c) Muskulus peroneus brevis d) Muskulus ekstensor hallucis longus e) Muskulus ekstensor hallucis brevis f) Muskulus ekstensor digitorum longus g) Muskulus ekstensor digitorum brevis 2) Otot fleksor ankle joint a) Muskulus gastronomeus b) Muskulus soleus
10
Otot-otot tungkai jika dilihat dari anterior disajikan pada Gambar 2.2.
Keterangan Gambar : 1.
Muskulus tensor fascia lata
2.
Muskulus sartorius
3.
Muskulus rektus femoralis
4.
Muskulus illiotibial tract
5.
Muskulus vastus lateralis eksternal
6.
Muskulus peroneus longus
7.
Muskulus tibialis anterior
8.
Muskulus ekstensor digitorum longus
9.
Muskulus peroneus brevis
10. Muskulus illliopsoas 11. Muskulus pectineus 12. Muskulus gracillis 13. Muskulus adduktor brevis 14. Muskulus vastus medialis internal 15. Muskulus gastronomeus 16. Muskulus soleus 17. Muskulus plantaris
Gambar 2.2 Otot Tungkai Dilihat Dari Anterior Sumber : Putz dan Pabtst. 1994. Atlas Of Human Anatomy Sobotta
Sedangkan otot-otot tungkai jika dilihat dari posterior disajikan pada Gambar 2.3.
11
Keterangan Gambar :
18. Muskulus adduktor magnus 19. Muskulus gracilis 20.Muskulus semi tendinosus 21. Muskulus semi membranous 22. Muskulus sartorius 23. Muskulus gastronomeus 24. Muskulus plantaris 25. Muskulus gluteus medius 26. Muskulus gluteus maximus 27. Muskulus Illiotibial tract 28. Muskulus biceps femoris long head 29. Muskulus biceps femoris short head 30. Muskulus soleus 31. Muskulus fibularis longus 32. Muskulus fibularis brevis
Gambar 2.3 Otot Tungkai Dilihat Dari Posterior Sumber : Putz dan Pabtst. 1994. Atlas Of Human Anatomy Sobotta
2.1.3 Sendi Tungkai dibentuk oleh beberapa persendian, yaitu Articulatio Coxae/hip joint, Articulatio Genu/ knee joint, persendian pergelangan kaki/ankle joint dan
12
persendian pada telapak kaki. Adapun pembagiannya berdasarkan tulang penyusunnya adalah sebagai berikut : a. Pada Articulatio Coxae/hip jont dibentuk oleh caput femoris dan acetabulum. b. Articulatio Genu (sendi lutut) terdiri dari lima sendi yaitu : 1) Articulatio meniscofemoralis medialis yang dibentuk oleh meniscus ,facies articularis inferior condyli medialis, 2) Articulatio meniscofemoralis lateralis yang dibentuk oleh meniscus, facies articularis inferior condyli lateralis, dan facies articularis inferior condyli lateralis, 3) Articulatio meniscotibialis medialis yang dibentuk oleh meniscus dan facies articularis superior condyli medialis, 4) Articulatio meniscofemoralis lateralis yang dibentuk oleh meniscus dan facies articularis superior condyli lateralis, 5) Articulatio femoropatellaris yang dibentuk oleh facies patellaris, facies articularis mediale dan lateral patella. c. Persendian antara tibia dan fibula ada dua persendian yaitu : 1) Articulatio Tibiofibularis yang dibentuk oleh facies articularis fibularis tibiae dan Facies articularis capituli fibulae, 2) Syndesmosis Tibiofibularis yang dibentuk oleh Incisura fibularis tibiae, ligament tibiofibularia anterior dan posterior.
13
d. Pergelangan kaki/ ankle joint dibentuk oleh dua persendian yaitu : 1) Articulatio talocalcancaris (sendi loncat bagian belakang) yang dibentuk oleh facies articularis calcaneaposterior dan facies articularis talaris posterior, 2) Articulatio talocalcanconavicularis (sendi loncat bagian depan) yang dibentuk oleh facies articularis calcanea media, facies articularis calcanea anterior, facies articularis navicularis, facies articularis talaris media, facies articularis talaris anterior, dan facies articularis talaris. e. Persendian telapak kaki yang dibentuk oleh lima persendian yaitu : 1) Articulatio talonavicularis yang dibentuk oleh facies articularis navicularis dan Os. Naviculare bagian proximal 2) Articulatio calcaneocuboidea yang dibentuk oleh bagian proximal pada os. Cuboideum dan facies articularis cuboidea calcanei 3) Articulatio Tarsometatarsea Lisfranc yang dibentuk oleh basis ossium metatarsalium I-V, Permukaan sendi distal ossa cunciformia I-II Os. Cuboideum 4) Articulatio Metatarsophalangea yang dibentuk oleh capitulum metatarsale, dan basis phalang I 5) Articulatio Interphalangea yang dibentuk oleh trochlea phalang di atasnya dan basis phalang di bawahnya
14
2.1.4 Panjang Tungkai Menurut Sanjeev Sabharwal dan Ajay Kumar (2008) panjang tungkai adalah ukuran panjang tungkai seseorang mulai dari alas kaki sampai dengan pangkal paha. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (2015) panjang adalah tidak pendek, lanjut, selama dan seluruh, sedangkan tungkai adalah kaki (seluruh kaki dari pangkal paha ke bawah) jadi panjang tungkai adalah jarak vertikal dari pangkal paha menuju ke telapak kaki. Pengukuran panjang tungkai dilakukan meterline dengan tiga cara yaitu : a. Bone length, di mana pasien diposisikan tidur terlentang atau berdiri di ukur dari throchanter major hip ke tuberositas tibia b. Appreciate length, di mana pasien diposisikan tidur terlentang atau berdiri diukur dari umbilicus ke maleolus lateral ankle melewati pattela c. True length, di mana pasien diposisikan tidur terlentang atau berdiri ukur dari Spina Illiaca Anterior Superior (SIAS) ke maleolus medial ankle Di Amerika Utara pengukuran panjang tungkai dilakukan dari SIAS ke maleolus lateralis ankle. Pengukuran ini dianggap kurang efektif karena dipengaruhi oleh besar otot yang kurus atau gemuk. Sehingga metode ini sudah ditinggalkan. Dalam perkembangannya pengukuran panjang tungkai dilakukan dari SIAS ke maleolus medial ankle, karena lebih akurat dan tidak dipengaruhi oleh besar otot (Magee, 2014). Menurut Porter, 2013 pengukuran panjang tungkai dimulai dari SIAS menuju ke maleolus medialis ankle. Pengukuran tungkai kanan dan kiri biasanya terdapat perbedaan sekitar 1-2 cm dan ini dianggap normal. Michelle Zehr, 2013
15
menyebutkan 32 % dari 600 orang di Amerika Serikat memiliki perbedaan panjang tungkai 1-2 cm dan itu dianggap normal. Dalam penelitian ini peneliti memilih menggunakan metode True length karena lebih praktis dan lebih nyata dalam menentukan panjang tungkai seseorang . 2.1.5 Hubungan Panjang Tungkai Dengan Kecepatan Berjalan Schwartz, 2012 melakukan penelitian tentang jumlah langkah terhadap kecepatan berjalan. Hasilnya seseorang dengan tungkai yang panjang mampu melangkah lebih sedikit dari pada orang dengan tungkai pendek. Akibatnya orang yang tungkainya pendek banyak mengeluarkan energi dalam setiap langkahnya, dan bisa memerlukan lebih banyak langkah setiap menitnya. Sehingga orang kakinya pendek memerlukan lebih banyak langkah dibandingkan orang dengan tungkai panjang. Orang yang tungkainya pendek mengayunkan kakinya dalam jarak yang dekat setiap langkahnya. Akibatnya orang yang pendek menghabiskan banyak energi dalam setiap langkahnya dan bisa melangkah lebih banyak per menit, jika dibandingkan dengan orang yang lebih tinggi. Orang yang langkahnya lebih panjang bisa berjalan lebih cepat dari yang langkahnya lebih pendek jika mereka melangkah dalam jumlah yang sama permenitnya karena mereka bisa melewati lebih banyak jarak setiap langkahnya. Kaki yang pendek melangkah lebih banyak, energi yang dibutuhkan lebih banyak, dengan keseimbangan yang baik akan menghasilkan kecepatan yang tinggi. Pada lansia kekuatan otot dan keseimbangan sudah mulai berkurang sehingga kecepatan berjalan juga lebih rendah dibandingkan dengan usia muda dan produktif.
16
Sorongan et al., 2014 melakukan penelititan terhadap siswa pria SMA Negeri 6 Manado yaitu sebanyak 40 orang. Dari 40 siswa terdapat 4 orang (10%) yang memiliki panjang tungkai 90 – 93 cm, 13 orang (32,5%) memiliki panjang tungkai 94 – 97 cm, 13 orang (32,5) panjang tungkai 98 – 101 cm, dan 10 orang (25%) memiliki panjang tungkai 102 – 105 cm. Hasilnya Siswa yang memiliki ukuran tungkai lebih panjang secara otomatis memiliki langkah yang lebih panjang di bandingkan dengan siswa yang memiliki ukuran tungkai yang lebih pendek. Hal ini akan mempengaruhi kecepatan berjalan dari setiap responden.
Seseorang yang memiliki proporsi badan tinggi biasanya diikuti dengan ukuran tungkai yang panjang. Ukuran tungkai yang panjang akan memberikan panjang langkah yang lebih jauh. Ini memberikan keuntungan bagi kecepatan berjalan. Dengan langkah yang panjang waktu untuk berjalan menjadi lebih pendek. Kekuatan otot yang baik, koordinasi yang baik, keseimbangan, dan visual yang baik akan menghasilkan kecepatan berjalan yang baik juga .
2.2 Berjalan 2.2.1 Definisi Berjalan Berjalan adalah gerakan tubuh dari satu titik ke titik lain dimana salah satu tungkai kontak dengan satu lantai dan tungkai yang lain dengan lantai berbeda membentuk pola dan jarak yang sama, bergantian secara berulang, yang menggambarkan gerakan pusat massa tubuh sepanjang arah horizontal pada arah dan kecepatan tertentu (Wang, 2009).
17
2.2.2 Biomekanika Berjalan Secara umum proses berjalan adalah siklus ayunan bolak- balik secara terus menerus terhadap fase tumpuan dan ayunan. Apabila salah satu kaki menumpu, maka kaki yang lain mengayun. Adapun fase menumpu berawal dari tumit dan fase mengayun berawal dari ujung kaki. Pada saat berdiri dengan kedua kaki kontak dengan tanah sehingga energi kinetik akan mencapai titik maksimal. Kemudian gerakan melangkah dimulai dari tumit menuju ujung kaki, dimana energi kinetik digerakan oleh energi potensial yang menyebabkan tumit menempel pada tanah (fase menumpu).
Proses pengalihan energi ini terjadi
secara terus-menerus secara harmonis (Fishwick, 2013). Satu langkah berjalan digambarkan dengan satu siklus berjalan . Dimulai dari tumit salah satu kaki mengenai lantai (heel strike) hingga heel strike berikutnya pada kaki yang sama, disebut 100% total siklus berjalan (Fishwick, 2013). Gerakan dasar dari berjalan normal adalah sama untuk semua orang, walaupun demikian terdapat perbedaan kecil dalam derajat setiap gerakan yang dilakukan oleh masing-masing orang sebagai pola jalan yang khas setiap orang. Siklus gaya berjalan meliputi dua fase untuk masing-masing tungkai yaitu fase menumpu (stance phases) dan mengayun (swing phase). a. Fase menumpu (stance phases) yang mana mendasari sekitar 60% dari siklus gaya berjalan normal pada kecepatan normal, adalah interval di mana kaki dari ekstremitas acuan kontak dengan lantai. Proses berjalan dalam fase ini meliputi tumit menyentuh lantai (heel strike), telapak kaki dari tumit hingga ujung kaki
18
menyentuh lantai (foot flat), telapak kaki dari tumit hingga ujung kaki menyentuh lantai dengan salah tungkai menekuk dengan tumpuan berat badan (mid stance), dan akhir dari fase dimana tumit terangkat dan jari kaki menyentuh lantai dengan pergerakan tungkai yang lain ke arah depan (heel off). b. Fase mengayun (swing phase) yang mana mendasari 40% dari siklus, adalah di mana ekstremitas acuan di atas lantai (tidak kontak dengan lantai). Penumpuan kedua tungkai mengacu pada interval keduanya di dalam suatu siklus gaya berjalan, dimana perpindahan berat badan dari satu kaki kepada kaki yang lain dan kaki keduanya berada pada tempat yang sama. Proses berjalan dalam fase ini meliputi pergerakan awal dari jari kaki yang bergerak menjauhi lantai (preswing/toe off), telapak kaki terangkat dan lutut menekuk dengan tumpuan penuh pada tungkai yang lain (initial swing dan mid swing), dan akhir dari fase d imana tumit kontak dengan lantai (terminal swing). Fase berjalan (gait cycle) disajikan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Gait Cycle Sumber: Fishwick. 2013. Gait-A Simple Break Down.
19
Panjang langkah adalah jarak dari suatu siklus gaya berjalan penuh, dari titik tumit dari satu ekstremitas kepada titik tumit dari ekstremitas yang sama. Setiap orang memiliki panjang langkah berjalan yang berbeda-beda karena variasi pada panjang tungkai. Hal ini mengakibatkan gaya berjalan setiap orang juga berbeda- beda. Biomekanik selama berjalan sangat dipengaruhi oleh keseimbangan dan panjang langkah. Penelitian kinematik dari pengendalian pusat gravitasi tubuh selama berjalan menunjukkan bahwa pengendalian keseimbangan kasar dicapai dengan penempatan kaki, sementara pengendalian yang halus/baik diberikan oleh otot-otot pergelangan kaki ketika weight-bearing tungkai bawah (Winter, 2009). Untuk mempertahankan keseimbangan dan melakukan kegiatan yang bertujuan ketika berdiri maupun berjalan, orang mesti secara aktif mengendalikan gerakan pusat gravitasi tubuh terhadap landasan penopang (center of gravity). Ada tiga persendian pada anggota gerak bawah yang dapat dipakai untuk menggerakkan/memindahkan pusat gravitasi, yakni sendi pergelangan kaki, sendi lutut dan sendi pangkal paha (strategi gerakan). Strategi melangkah merupakan cara yang efektif untuk mencegah jatuh ketika pusat gravitasi menyimpang melampau batas stabilitas, jika orang jalan dengan goyang memerlukan penopang luar untuk mencegah jatuh seperti tongkat (Winter, 209). Kemampuan melangkah seseorang dipengaruhi oleh panjang langkah seseorang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Raab, 2010 menyebutkan bahwa panjang langkah seseorang ditentukan oleh panjang tungkai, kekuatan otot, dan fleksibilitas tungkai dimana terdapat jangkauan langkah yang panjang karena
20
sudut melangkah yang lebih besar. Selain itu dengan ditopang oleh otot yang besar dan kuat pergeseran tungkai dari satu titik ke titik yang lain menjadi lebih cepat. Data menyatakan suatu perubahan didalam koordinasi gerakan postur yang terkait dengan usia. Bahwa pada orang tua stabilitas lateral lebih berpengaruh dibanding stabilitas bidang sagital. Perubahan ini berhubungan dengan impairment yang terkait dengan usia di dalam sistem vestibular, hip proprioseption dan integritas sensasi dari permukaan kaki (Raab, 2010). 2.2.3 Gaya Berjalan Pada Lansia Gaya berjalan pada lansia berbeda pada usia lainnya. Gangguan gaya berjalan pada lansia dapat disebabkan oleh menurunnya kapasitas muskuloskeletal dan ini bersifat fisiologis. Pada lansia terjadi perubahan gaya berjalan, yaitu: a. Kecepatan berjalan tetap stabil hingga usia 70 tahun. Tetapi pada tahap usia berikutnya terjadi penurunan 15 % untuk berjalan biasa,dan 20 % untuk berjalan maksimal b. Terjadi penambahan fase berdiri dengan dua kaki (double stance phase), sehingga fase mengayun menurun dan langkah berjalan menjadi lebih pendek c. Berjalan dengan ibu jari kaki deviasi ke arah lateral sekitar 5 %. Ini merupakan adaptasi tubuh untuk memepertahankan keseimbangan. Tetapi ini dicurigai terjadi kelemahan otot panggul yang berfungsi untuk rotasi interna tungkai.
21
d. Panjang langkah pada lansia berkurang karena menurunnya kekuatan otot tungkai, keseimbangan, dan kontrol tubuh terutama saat fase single stance. Selain itu dengan berjalan langkah pendek lansia akan merasa lebih aman. e. Adanya rigiditas pada anggota gerak, terutama pada anggota gerak atas. Rigiditas akan berkurang pada saat tubuh bergerak. f. Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang. g. Penurunan rotasi badan, terjadi karena efek sekunder dari kekakuan sendi h. Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun i. Penurunan sudut antara tumit dan lantai. Ini disebabkan karena menurunnya fleksibilitas dan kekuatan otot plantar fleksor. Semua perubahan yang terjadi pada lansia mengakibatkan gerak berjalan menjadi lamban, langkah memendek, dan perubahan irama saat jalan. Hal ini mengakibatkan lansia susah untuk mengantisipasi jatuh ketika saat terpeleset, tersandung, dan kejadian tiba tiba yang membuat lansia mudah jatuh (Pudjiastuti dan Utomo, 2003). . Darmojo, 2004 mengklasifikasikan gangguan berjalan pada lansia, antara lain: a. Gangguan gaya berjalan Hemiplegic Pada gangguan gaya berjalan hemiplegic ini lansia berjalan dengan dengan spastisitas pada sisi unilateral dimana terdapat pola fleksi pada ekstremitas atas
22
dan ekstensi pada ekstremitas bawah. Ini mengakibatkan lansia harus memutar kakinya untuk melangkah. b. Gangguan gaya berjalan Diplegic Pada gangguan gaya berjalan diplegic lansia berjalan dengan spastisitas pada kedua tungkai. Kedua pangkal paha dan lutut dalam keadaan fleksi dan adduksi. Kedua pergelangan kaki dalam keadaan ekstensi dan rotasi interna. Jika berjalan kaki lansia membentuk gunting dengan gerakan kaki melingkar. c. Gangguan gaya berjalan Neuropathy Pada gangguan gaya berjalan neuropathy biasanya terjadi kerusakan saraf perifer terutama pada ekstremitas bawah pada saat gerakan dorso fleksi ankle joint. Hal ini mengakibatkan lansia berjalan dengan menekuk lutut lebih tinggi agar ujung kaki tidak bergesekan dengan lantai. d. Gangguan gaya berjalan Miopathy Adanya kelainan otot- otot penyangga pada hip joint yang mengakibatkan jalan menjadi miring kesisi sebelahnya sehingga terjadi goyangan saat jalan. e. Gangguan gaya berjalan Parkinsonian Gaya berjalan pada pasien parkinson memiliki kekhasan. Dimana pasien cenderung untuk takut jatuh ke depan. Disini terjadi rigiditas dan bradikinesia. Tubuh sedikit membungkuk, langkah memendek dan melangkah pelan. f. Gangguan gaya berjalan Khoreoform Gaya berjalan Khoreoform disebabkan oleh hiperkinesia akibat gangguan pada ganglia basalis. Disini terdapat pergerakan jalan seperti ular dan tidak disadari oleh pasien.
23
g. Gangguan gaya berjalan Ataxia Gaya berjalan ataxia disebabkan oleh kerusakan pada cerebellum. Jalan menjadi lebar dengan badan yang berputar tidak stabil dan mendadak. Jika berat akan mengakibatkan jatuh pada penderitanya. 2.2.4 Tes Kecepatan Berjalan Tes kecepatan berjalan dibuat untuk mengetahui seberapa cepat orang berjalan. Berjalan merupakan bagian penting pada kehidupan normal manusia. Jalan dan kemampuan ambulasi adalah masalah penting yang terjadi pada lansia di seluruh dunia. Tes kecepatan berjalan pada lansia digunakan untuk mengetahui seberapa kualitas kesehatan lansia termasuk yang berhubungan dengan resiko jatuh, keterbatasan gerak, perawatan rumah sakit, dan angka kematian lansia. Pengukuran kecepatan berjalan adalah cara praktis yang biasanya dipakai untuk mengetahui kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium. Pengukuran kecepatan berjalan banyak digunakan pada penelitian baik dalam bidang kesehatan maupun bidang yang lain (Combes dan Skinner, 2014). Suatu cara sederhana untuk mengukur kecepatan rata-rata, panjang langkah, dan untuk menghitung banyaknya langkah yang dilakukan pada waktu subyek berjalan keseberang suatu jarak yang diukur paling sedikitnya 10 meter (Combes dan Skinner, 2014) .
24
Sedangkan O’Sullivan et al., 2014 dalam penelitiannya antara lain menyatakan bahwa test berjalan 10 meter yang lebih pendek menyajikan informasi klinis yang sangat serupa dengan test berjalan 20 meter yang lebih panjang. Demikian juga test berjalan 6 menit yang lebih pendek menyajikan informasi klinis yang serupa dengan test berjalan 12 menit yang lebih panjang. Kecepatan berjalan telah diukur dalam berbagai studi menyilang (misalnya, dalam meter per detik, sentimeter per detik, kaki per detik atau dengan mengukur jarak yang ditempuh pada waktu yang telah ditentukan). Dengan mengabaikan penggunaan ukuran, kecepatan berjalan telah dikonversikan ke meter per detik untuk memastikan konsistensi studi menyilang dalam kalkulasi yang digunakan untuk meta analisis (Lapopolo et al., 2006). Tes waktu berjalan yang sederhana dan mudah diterapkan tetapi valid, reliabel, sensitive dan spesific. Salah satu tes berjalan jarak pendek untuk suatu jarak yang telah ditetapkan, adalah berjalan sejauh 10 meter (10 meter walking test). Tes ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan secara objektif untuk mengetahui luas gerak sendi dan kekuatan otot tergantung tujuaan dari latihan yang ingin dicapai. Tetapi jika tujuan latihan ingin meningkatkan kemampuan berjalan tes ini sangat akurat bila dilaksanakan (Fruth, 2014). Pada orang sehat, tes berjalan 10 meter ini memiliki kriteria kecepatan berjalan normal dan maksimal yang dijelaskan pada Tabel 2.1.
25
Tabel 2.1 Kecepatan Berjalan Normal dan Maksimal pada Orang Sehat Usia
Berjalan Normal
Berjalan Maksimal
(Tahun)
(m/min)
(m/min)
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
20-29
83,6
84,4
151,9
148,0
30-39
87,5
84,9
147,4
140,5
40-49
88,1
83,5
147,7
127,4
50-59
83,6
83,7
124,7
120,6
60-69
81,5
77,8
115,9
106,4
70-79
79,8
76,3
124,7
104,9
Sumber : Bohannon. 2006. Comfortable and Maximum Walking Speed Of Adult Aged 20-70 Years: reference values and determinants. Age Aging. 1997;26:15-19
Tes berjalan 10 meter sangat tepat dilaksanakan pada pasien lansia. Tes ini bisa digunakan untuk seberapa cepat lansia mampu berjalan. Keamanan saat berjalan sangat dipertimbangkan pada tes ini. Sebelum dilaksanakan tes diperiksa terlebih dahulu kondisi vital peserta seperti tekanan darah, nadi, dan respiratory rate. Itu dilakukan untuk keamanan saat berjalan untuk menghindari resiko jatuh. Selain itu petugas akan menemani lansia saat berjalan (Coombes dan Skinner, 2014) . Subyek normal mempunyai kemampuan untuk mengubah kecepatan berjalan dari berjalan biasa ke berjalan cepat dan lari, sehingga sulit untuk dibandingkan (Lehmkuhl, 1996). Kecepatan berjalan biasa telah digambarkan sebagai kecepatan berjalan yang nyaman. (misalnya, kecepatan yang dipilih sendiri, kecepatan yang lebih disukai atau kecepatan normal). Kecepatan berjalan maksimal telah digambarkan dalam beberapa jalan berbeda. Di dalam 14 dari 18
26
studi, peserta diminta berjalan pada kecepatan berjalan yang mungkin (dengan kata lain, pada kecepatan berjalan maksimal). Di dalam 4 studi lain, instruksi adalah untuk berjalan lebih cepat dari normal. (misalnya kecepatan yang dipilih sendiri tetapi aman) (Lapopolo et al., 2006).
2.3 Keseimbangan 2.3.1 Definisi Keseimbangan Keseimbangan merupakan komponen yang penting dalam gerak terampil. Keseimbangan adalah kemampuan untuk mendukung atau memulihkan stabilitas postur dengan memelihara atau mengembalikan pusat gravitasi pada landasan penopang. Yang merupakan proses kompleks, melibatkan penangkapan (reception) dan organisasi dari asupan sensoris, perencanaan (planning), dan pemunculan (execution) gerakan. Keseimbangan dibutuhkan pada saat aktivitas statis yaitu keseimbangan ketika suatu posisi dipertahankan untuk periode waktu tertentu misalnya untuk bisa tetap tegak (static balance) dan selama melakukan gerakan (dynamic balance) misalnya bangkit dari kursi berjalan atau bergerak dari duduk ke berbaring (Heyward dan Gibson, 2014). Keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif
untuk
mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support). Keseimbangan merupakan suatu proses dimana tubuh berusaha mempertahankan posisinya saat melakukan berbagai kegiatan. Variasi bentuk dan panjang tubuh pada seseorang membuat
27
jarak antara pusat masa tubuh
terhadap
biang tumpu mempengaruhi
keseimbangan seseorang (Stein et al., 2015). Untuk mempertahankan keseimbangan, perlu adanya informasi yang terus menerus tentang posisi tubuh yang berawal dari sistem sensoris. Berbagai masukan (input) sensoris khusus menuju ke nucleus vestibularis diproses secara terkoordinasi dengan serebelum yang memperoleh masukan dari alat vestibuler di telinga dalam, dan hasil proses tersebut menghasilkan keluaran yang mengatur kontraksi otot rangka badan dan anggota badan, serta gerakan bola mata serta persepsi seseorang tentang orientasi sikap dan gerakan tubuh (Satyanegara, 2010). Dalam pengaturan sikap dan keseimbangan, orientasi ruang diketahui dengan mengolah informasi yang berasal dari garis cakrawala (horizon), tekanan pada telapak kaki, kedudukan tulang dan persendian, panjang otot serta kedudukan kepala, yang diperoleh dari masukan (input) berbagai reseptor (Heyward dan Gibson, 2014). Pada lansia keseimbangan tubuh memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari seperti berdiri, berjalan, dan naik turun tangga. Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh penurunan kemampuan sensoris dan motoris dari sistem saraf. Peningkatan kekuatan otot dan luas gerak sendi mampu memperbaiki kemampuan keseimbangan pada lansia (Kane et al., 2004).
28
2.3.2
Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Keseimbangan Berdiri a.
Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG)
Pusat gravitasi terdapat pada semua objek, pada benda, pusat gravitasi terletak tepat di tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada tubuh yang akan mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara depan dan belakang vertebra sakrum ke dua (Stein et al., 2015). Jarak antara pusat gravitasi dengan bidang tumpuan seseorang menentukan tingkat keseimbangannya. Semakin rendah letak pusat gravitasi ini pada bidang tumpu maka semakin stabil tubuh tersebut. Jarak antara pusat gravitasi dengan bidang tumpuan seseorang dimanifestasikan dalam bentuk panjang tungkai. Panjang tungkai setiap orang berbeda-beda sehingga jarak pusat gravitasi dengan bidang tumpu juga berbeda–beda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, dan ukuran tubuh (Heyward dan Gibson, 2014). 1) Usia Pertumbungan manusia dari anak–anak dari kepala (cepallo) ke kaki (caudal) menunjukan letak titik gravitasi yang semakin dekat dengan tanah. Di sinilah awal manusia menyesuaikan keseimbangan terhadap bidang tumpu. Pertumbuhan manusia seiring dengan bertambahnya usia akan meningkatkan kemampuan dalam mempertahankan keseimbangan. Keseimbangan pada manusia
29
akan mulai terjadi penurunan pada usia menginjak pre lansia 35-45 tahun, seiring menurunnya kemampuan dan fungsi organ dari manusia itu sendiri . 2) Jenis kelamin Perbedaan keseimbangan tubuh pada pria dan wanita diperkirakan karena perbedaan struktur tulang pelvic dan tungkai pada wanita relatif lebih besar dan pendek. Perbedaan letak pusat gravitasi pria 57 % dari tinggi badan, sedangkan wanita 55 % dari tinggi badan. 3) Ukuran tubuh Tinggi badan dan berat badan seseorang mencerminkan ukuran tubuh seseorang. Orang yang tinggi besar akan memiliki keseimbangan lebih baik dari pada orang yang tinggi dan kurus. Hal itu berhubungan dengan benda yang besar dan berat memiliki kekuatan untuk menolak dorongan gaya dari luar. Perbedaan tinggi rendah seseorang juga mengakibatkan letak pusat gravitasi berbeda. Ukuran tubuh seseorang dapat dilihat dari Indeks Masa Tubuh (IMT). IMT diperoleh dengan rumus sebagai berikut: IMT
=
Berat Badan (kg) Tinggi Badan (m)2
Kriteria indeks masa tubuh dijelaskan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Batas Ambang Indeks Masa Tubuh (IMT) di Indonesia Klasifikasi Underweight Normal Overweight Obesitas
IMT (kg/m2) <18,5 18,50 – 24,99 25,00 – 29,99 ≥30,00
Sumber: WHO, 2004
30
b. Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG) Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu adalah menentukan derajat stabilitas tubuh. c. Bidang tumpu (Base of Support-BOS) Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi. 2.3.3 Tes Keseimbangan Berdiri Statis 2.3.3.1 Jenis-Jenis Tes Keseimbangan Berdiri Statis 1. Romberg Test Sejak pertengahan tahun 1800an , Romberg mengembangkan pemeriksaan untuk keseimbangan berdiri tanpa alat bantu. Pemeriksaan yang dilakukan adalah dengan berdiri dengan mata terbuka dan mata tertutup. Pada pemeriksaan Romberg, peserta berdiri dengan kaki berhimpitan dan ke dua lengan di sisi tubuh. Untuk tes yang sebenarnya peserta dilarang memakai alas kaki. Normal adanya jika tubuh sedikit bergoyang. Bila peserta jatuh karena hilangnya menandakan Test Romberg Positif. Tes ini dilakukan untuk mengetahui gangguan pada sistem sensorik, vestibular, dan visual (Manske dan Reiman, 2009).
31
Bagi lansia tes ini dapat dijadikan tolak ukur untuk membedakan seberapa baik buruk keseimbangan berdiri. Shubert et al., 2006 dalam Heyward dan Gibson, 2014 menyebutkan tes berdiri dengan ke dua tungkai pada lansia yang berusia 65 tahun ke atas memiliki korelasi terhadap kecepatan berjalan (r =0.50) dan keseimbangan statis (r =0.46). Tetapi Pajala, 2008 dalam Heyward dan Gibson, 2014 menyatakan test berdiri dengan ke dua kaki memiliki validitas yang kurang akurat terhadap prediksi resiko jatuh pada lansia dan tidak mampu menyatakan perbedaan antara keseimbangan yang baik dan yang kurang baik pada alat ukur keseimbangan (Heyward dan Gibson, 2014). 2. One Leg Stance Test / Unipedal Stance Test One Leg Stance Test / Unipedal Stance Test merupakan pemeriksaan keseimbangan statis yang lebih sederhana. Validitas dari hasil tes ini dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan berjalan, resiko jatuh, dan kemampuan aktivitas sehari-hari Bohanon (2006). Tes ini secara umum tepat diterapkan pada anak-anak dan lansia. Tes ini bertujuan mengetahui gangguan pada sistem sensorik, vestibular, dan visual. Di dalam perkembanganya hasil dari tes ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi penurunan kekuatan otot pada penderita low back pain pada lansia usia 70-85 tahun (Husu dan Suni, 2012 dalam Heyward dan Gibson, 2014). Untuk test ini peserta berdiri dengan mata terbuka dan tertutup dengan berdiri menggunakan kaki yang lebih dominan. Ke dua tangan bersilangan di depan dada. Perserta berdiri tanpa menggunakan alas kaki dengan salah satu kaki yang tidak dominan ditekuk dengan tidak menyentuh lantai. Stopwatch digunakan
32
setelah diberi aba-aba “mulai” dan dihentikan saat kaki yang tidak dominan menyentuh lantai. Peserta dilarang untuk melepas ke dua tangan dari dada. Tes ini memiliki durasi maksimum 60 detik (Heyward dan Gibson, 2014). Untuk Kriteria lama waktu berdiri dijelaskan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Kriteria Waktu Normal One Leg Stance Test Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
USIA (TAHUN) 18-39
MATA TERBUKA (DETIK) LAKI-LAKI PEREMPUAN
MATA TERTUTUP (DETIK) LAKI-LAKI PEREMPUAN
45,1
44,4
13,1
16,9
40-49
42,1
41,6
13,5
12,0
50-59
40,9
41,5
7,9
8,6
60-69
30,4
33,8
3,6
5,1
70-79
16,7
25,9
3,7
2,6
80-99
10,6
8,7
2,1
1,8
Sumber : Springer et al., 2007 dalam Heyward dan Gibson. 2014. Advanced Fitness Assesment And Exercise Prescription : 7th Edition Tes ini dilakukan pada permukaan yang keras, kering, rata, dan tidak licin. Posisi-posisi harus tidak berbahaya jika peserta jatuh. Kondisi angin/cuaca tertentu sangat bertentangan dan mempengaruhi validitas tes ini. Tes ini jangan diberikan pada orang dengan kelebihan berat badan lebih dari 50 pon (IMT > 25), atau impairment yang bertentangan dengan keseimbangan (Heyward dan Gibson, 2014).
33
2.3.3.2 Mekanisme Keseimbangan Berdiri Satu Kaki (One Leg Stance) Mempertahankan posisi berdiri tegak, yakni keseimbangan berdiri, sesuatu yang terjadi secara otomatis, di mana terjadi proses sensorimotoris aktif yang mempertahankan pusat gravitasi tubuh berada pada landasan penopang. Untuk menjamin terpeliharanya sikap tegak tubuh diperlukan informasi yang terintegrasi dari 3 komponen sistem sensori, yakni asupan visual, vestibular dan aktivitas kinestetik proprioseptif (Jean, 2013). Waktu berdiri satu tungkai memiliki hubungan dengan amplitudo dan kecepatan berjalan pada orang sehat. Kemampuan untuk mempertahankan berdiri satu tungkai adalah penting ketika melakukan aktivitas fungsional karena berjalan dan naik turun tangga memerlukan keseimbangan berdiri satu kaki. Kemampuan untuk memelihara berdiri satu tungkai biasanya berkurang dengan bertambahnya usia (Bohannon et al., 1995). Porvin melaporkan, kemunduran di dalam melakukan tes ini dari usia 20 80 tahun adalah 30 persen untuk berdiri satu tungkai dengan mata terbuka dan 100 persen dengan mata tertutup (Kaufman, 1994). Sedangkan Rossiter and Wolf (1995) menunjukkan pada lansia di dalam masyarakat bisa memelihara berdiri satu kaki untuk 10 detik sekitar 89% dan lansia yang dirawat di rumah 45% dari waktu yang ditetapkan (Bohannon et al., 1995). 2.3.4 Hubungan Keseimbangan Berdiri Statis One Leg Stance Terhadap Kecepatan Berjalan Keseimbangan berdiri statis satu tungkai (one –legged Stance) dan berjalan merupakan kelompok rintangan dalam aktivitas sehari-hari. Pada fase
34
bejalan keseimbangan satu kaki memegang peran penting hampir di seluruh fase berjalan. Keseimbangan satu kaki akan nampak pada fase menumpu (stance phase) yang merupakan 60 % dari proses berjalan. Dimulai dari tumit menyentuh lantai (heel strike), telapak kaki dari tumit hingga ujung kaki menyentuh lantai (foot flat), telapak kaki dari tumit hingga ujung kaki menyentuh lantai dengan salah tungkai menekuk dengan tumpuan berat badan (mid stance), dan akhir dari fase di mana tumit terangkat dan jari kaki menyentuh lantai dengan pergerakan tungkai yang lain ke arah depan (heel off). Berdiri statis satu tungkai sangat identik pada fase menumpu lantai (mid stance). Whitney, Pool, dan Cass ,1998 dalam Heyward dan Gibson, 2014 hasil tes ini adanya korelasi terhadap kemampuan berjalan seseorang dengan nilai (r= 0.91) untuk mata terbuka dan (r=0.74) untuk mata tertutup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin lama kemampuan keseimbangan berdiri satu kaki maka semakin seimbang dan stabil orang tersebut dalam berjalan sehingga kmampuan berjalan juga semakin baik.
2.4 Lanjut Usia 2.4.1 Definisi Lanjut Usia Lansia adalah masa di mana menurunnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki dan mempertahankan kemampuan fungsi jaringan tubuh. Hal ini mengakibatkan fungsi untuk memperbaiki jaringan yang rusak juga menurun. Penyakit pada lansia tidak sama pada golongan usia lainnya. Penyakit pada lansia cenderung bersifat multiple di mana merupakan gabungan anatara proses
35
fisiologis dan patologis. Penyakit pada lansia akan bertambah berat karena dipengaruhi faktor sosial, psikis, dan ekonomi (Pranarka, 2011). Usia lanjut dapat dikatakan sebagai usia emas karena tidak semua orang dapat mencapai usia tersebut. Hal ini mengakibatkan usia lanjut memerlukan perawatan yang bersifat promotif, preventif, dan rehabilitatif, sehingga orang dapat menikmati masa tua yang berguna dan bahagia. Definisi untuk manusia yang berusia lanjut tidak ada yang baku. Ada yang menyebutkan lansia sebagai manusia usia lanjut (Manula), manusia lanjut usia (Lansia), golongan lanjut umur (glamur), usia lanjut (Usila), bahkan di negara Eropa tepatnya di Inggris lansia disebut dengan istilah warga negara senior (Maryam et al, 2008). Defenisi lanjut usia berbeda dari satu negara dengan negara lain. Dan defenisi ini juga masih bisa berubah dan dipengaruhi oleh bentuk kegiatan ekonomi dan perbedaan jenis kelamin di masyarakat. Birren dan Jenner, 1997 dikutip oleh Kadir, 2007 membedakan usia menjadi tiga: 1. Usia biologis yaitu usia yang menunjuk kepada jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada dalam keadaan hidup dan mati. 2. Usia psikologis yaitu usia yang menunjuk kepada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya. 3. Usia sosial yaitu usia yang menunjuk kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan usia .
36
2.4.2 Batasan Umur Lanjut Usia Menurut Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad membagi usia menjadi masa bayi = 0-1 tahun, masa prasekolah =1-6 tahun, masa sekolah = 6-10 tahun, masa pubertas = 10-20 tahun, masa dewasa = 20-40 tahun, masa setengah umur (prasenium)= 40-65 tahun, masa lanjut usia (senium)= 65 tahun ke atas. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro membagi usia menjadi masa dewasa muda (elderly adulthood), masa dewasa penuh atau maturitas (middle years), masa lanjut usia (geriatric age). Masa lanjut usia (geriatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old (> 80 tahun). Undang Undang Nomor 13 tahun 1998 dalam Bab I Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi “ Lanjut Usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas “. Depkes RI 2009 mengklasifikasikan lansia berdasarkan usia yaitu masa lansia awal (46-55 tahun), masa lansia akhir (56-65 tahun), dan manula (65 tahun ke atas). Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), lanjut usia meliputi (1) Usia pertengahan (Middle Age) = antara 45–59 tahun, (2) usia lanjut (Elderly) = antara 60–70 tahun, (3) usia lanjut tua (Old) = antara 75–90 tahun, (4) usia sangat tua (Very old) = di atas 90 tahun. Kalau dilihat pembagian umur dapat disimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang telah berumur 60 tahun ke atas.
37
2.4.3 Proses Penuaan Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2001). Penuaan atau aging adalah hasil dari seluruh akumulasi dari perubahan organisme atau objek karena waktu. Penuaan pada manusia berkaitan dengan proses multidimensional fisik, psikologis dan perubahan sosial. Seluruh manusia akan mengalami masa penuaan. Umur merupakan tolak ukur seseorang yang mengalami penuaan (Wikipedia, 2015). Dalam bidang geriatri (ilmu yang mempelajari proses penuaan) terdapat bermacam–macam teori mengenai proses penuaan. Ini tentunya memberikan dampak positif terhadap filosofi ilmu yang mempelajari proses penuaan itu sendiri. Jika kita memperlakukan lansia hanya dengan menerima dan menyesuaikan dirinya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dan hanya fokus terhadap penyakit yang timbul tentunya kualitas hidup lansia tidak akan meningkat. Sebaliknya jika kita memberikan latihan perawatan diri untuk menghambat dan menghilangkan macam-macam akibat dari proses penuaan tentu kualitas hidup lansia akan meningkat (Pranarka, 2011). 2.4.4 Aspek Patofisiologis Akibat Proses Menua Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari ujung rambut sampai ujung kaki mengalami perubahan dengan makin bertambahnya
38
umur. Menurut Nugroho (2008) perubahan fisik yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut: a.
b.
Sel 1.
Jumlah sel menurun/menjadi sedikit.
2.
Ukuran sel lebih besar.
3.
Berkurangnya cairan tubuh dan cairan intra seluler.
4.
Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan hati.
5.
Jumlah sel otak menurun.
6.
Terganggunya mekanisme perbaikan sel.
7.
Otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%.
8.
Lekukan otak akan menjadi lebih dangkal dan melebar.
Sistem Respirasi 1.
Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofi, kehilangan kekuatan, dan menjadi kaku.
2.
Aktivitas silia menurun.
3.
Paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dengan kedalaman bernafas menurun.
4.
Ukuran alveoli melebar (membesar secara progresif) dan jumlah berkurang.
5.
Berkurangnya elastisitas bronkus.
6.
Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg.
7.
Karbondioksida pada arteri tidak berganti. Pertukaran gas terganggu.
39
8.
Refleks dan kemampuan untuk batuk berkurang.
9.
Sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun.
10.
Sering terjadi emfisema senilis.
11.
Kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernafasan
menurun seiring pertambahan usia. c.
Sistem Kardiovaskuler 1.
Katup jantung menebal dan menjadi kaku.
2.
Elastisitas dinding aorta menurun
3.
Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan kontraksi dan volume menurun (frekuensi denyut jantung maksimal= 200-umur)
4.
Curah jantung menurun.
5.
Kehilangan sensitivitas dan elastisitas pembuluh darah, efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi berkurang, perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan pusing mendadak).
6.
Kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan perdarahan.
7.
Tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer, sistol normal ±170 mmHg, diastol normal ± 95 mmHg.
d. Sistem Persarafan 1.
Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun.
40
2.
Berat otak menurun 10-20% (sel saraf otak setiap orang berkurang setiap harinya).
3.
Mengecilnya saraf panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan perasa, lebih sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah.
e.
4.
Kurang sensitif terhadap sentuhan.
5.
Defisit memori.
Sistem Pencernaan 1.
Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan gigi dan gizi yang buruk.
2.
Indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendir yang kronis, atrofi indra pengecap (±80%), hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah, terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa asin, asam, dan pahit.
3.
Esofagus melebar.
4.
Rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun), asam lambung menurun, motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun.
5.
Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.
6.
Fungsi absorbsi melemah (daya absorbsi terganggu, terutama karbohidrat).
41
7.
Hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.
f.
Sistem Genitourinaria 1.
Ginjal merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui urine darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang disebut nefron (tepatnya di gromerulus). Mengecilnya nefron akibat atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50% sehingga
fungsi tubulus berkurang. Akibatnya,
kemampuan mengonsentrasi urine menurun, berat jenis urine menurun, proteinuria (biasanya +1), BUN (blood urea nitrogen) meningkat sampai 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat. Keseimbangan elektrolit dan asam lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia muda, Renal plasma flow (RPF) dan glomerular filtration rate (GFR) atau klirens kreatinin menurun secara linier sejak usia 30 tahun. Jumlah darah yang difiltrasi oleh ginjal berkurang. 2.
Vesika urinaria. Otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat. Pada pria lanjut usia, vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga mengakibatkan retensi urine meningkat.
3.
Pembesaran prostat. Kurang lebih 75% dialami oleh pria usia di atas 65 tahun.
42
g.
Sistem Muskuloskeletal 1.
Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh.
2.
Gangguan tulang, yakni mudah mengalami demineralisasi.
3.
Kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terutama vertebrata, pergelangan, dan paha. Insiden osteoporosis dan fraktur meningkat pada area tulang tersebut.
4.
Kartilago yang meliputi permukaan sendi tulang penyangga rusak dan aus.
5.
Kifosis.
6.
Gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas.
7.
Gangguan gaya berjalan.
8.
Kekakuan jaringan penghubung.
9.
Diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya berkurang).
10. Persendian membesar dan menjadi kaku. 11. Tendon mengerut dan mengalami sklerosis. 12. Atrofi serabut otot, serabut otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi tremor (perubahan pada otot cukup rumit dan sulit dipahami). 13. Komposisi otot berubah sepanjang waktu (myofibril digantikan oleh lemak, kolagen, dan jaringan parut). 14. Aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua. 15. Otot polos tidak begitu berpengaruh.
43
h.
Sistem Penglihatan 1.
Sfingter pupil timbul sklerosis dan respons terhadap sinar menghilang.
2.
Kornea lebih berbentuk sferis (bola).
3.
Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, jelas menyebabkan gangguan penglihatan.
4.
Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap.
5.
Penurunan/hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbiopia, seseorang sulit melihat dekat yang dipengaruhi berkurangnya elastisitas lensa.
6.
Lapang pandang menurun: luas pandangan berkurang.
7.
Daya membedakan warna menurun, terutama warna biru atau hijau pada skala.
i.
Sistem Pendengaran 1.
Gangguan pendengaran. Hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur 65 tahun.
2.
Membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
3.
Terjadi pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya keratin.
4.
Fungsi pendengaran semakin menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan/stress.
44
5.
Tinitus (bising yang bersifat mendengung, bisa bernada tinggi atau rendah, bisa terus menerus atau intermitten).
6.
Vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa seperti bergoyang atau berputar).
j.
Sistem pengaturan suhu tubuh Pada pengaturan suhu hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu
thermostat yaitu menetapkan suatu suhu tertentu. Kemunduran terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhinya yang sering ditemukan antara lain: 1.
Temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ±350C ini akibat metabolisme yang menurun.
2.
Pada kondisi ini, lanjut usia akan merasa kedinginan dan dapat pula menggigil, pucat, dan gelisah.
3.
Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi penurunan aktivitas otot.
k.
Sistem Reproduksi Wanita 1.
Vagina mengalami kontraktur dan mengecil.
2.
Ovarium menciut, uterus mengalami atrofi.
3.
Atrofi payudara.
4.
Atrofi vulva.
5.
Selaput lender vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi berkurang, sifatnya menjadi alkali dan terjadi perubahan warna.
45
Pria 1.
Testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun ada penurunan secara berangsur-angsur.
2.
Dorongan seksual menetap sampai usia di atas 70 tahun, asal kondisi kesehatannya baik.
l.
Sistem Endokrin Kelenjar endokrin adalah kelenjar buntu dalam tubuh manusia yang
memproduksi hormon. Hormon pertumbuhan berperan sangat penting dalam pertumbuhan, pematangan, pemeliharaan, dan metabolisme organ tubuh. Yang termasuk hormon kelamin adalah: 1.
Estrogen, progesterone, dan testosterone yang memelihara alat reproduksi dan gairah seks. Hormon ini mengalami penurunan.
2.
Kelenjar pankreas (yang memproduksi insulin dan sangat penting dalam pengaturan gula darah).
3.
Kelenjar adrenal/anak ginjal yang memproduksi adrenalin. Kelenjar yang berkaitan dengan hormon pria/wanita. Salah satu kelenjar endokrin dalam tubuh yang mengatur agar arus darah ke organ tertentu berjalan dengan baik, dengan jalan mengatur vasokontriksi pembuluh darah. Kegiatan kelenjar adrenal ini berkurang pada lanjut usia.
4.
Produksi hampir semua hormon menurun.
5.
Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.
46
6.
Hipofisis: pertumbuhan hormon ada, tetapi lebih rendah dan hanya di dalam pembuluh darah; berkurangnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH.
7.
Aktivitas tiroid, BMR (basal metabolic rate) dan daya pertukaran zat menurun.
8.
Produksi aldosteron menurun.
9.
Sekresi hormon kelamin, misalnya progesterone, estrogen, dan testosterone menurun.
m. Sistem Integumen 1.
Kulit menjadi keriput dan mengkerut akibat kehilangan jaringan lemak.
2.
Permukaan kulit cenderung kusam, kasar, dan bersisik (karena kehilangan proses keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis).
3.
Timbul bercak pigmentasi akibat proses melanogenesis yang tidak merata pada permukaan kulit sehingga tampak berbintik-bintik atau noda cokelat.
4.
Terjadi perubahan pada daerah sekitar mata, tumbuhnya kerut-kerut halus di ujung mata akibat lapisan kulit menipis.
5.
Respons terhadap trauma menurun.
6.
Mekanisme proteksi kulit menurun: produksi serum menurun, produksi vitamin D menurun, pigmentasi kulit terganggu.
7.
Kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu.
47
8.
Rambut dalam hidung dan telinga menebal.
9.
Berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi.
10.
Pertumbuhan kuku lebih lambat.
11.
Kuku jari menjadi keras dan rapuh.
12.
Kuku menjadi pudar, kurang bercahaya.
13.
Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk.
14.
Jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.
2.5 Gangguan Keseimbangan Pada Lansia Perubahan postur pada lansia meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap resiko jatuh pada lansia. Gangguan keseimbangan lansia disebabkan oleh proses degeneratif pada vertebra. Degenerasi yang terjadi karena seluruh aktivitas tubuh membebani vertebra sehingga terjadi peradangan atau trauma vertebra yang dapat mengganggu aferen feed back ke saraf pusat (Pudjiastuti dan Utomo, 2003). Perubahan yang terjadi pada vertebra lansia meliputi kepala condong ke depan (kifosis cervikalis), peningkatan kurva kifosis thoracalis, kurva lumbal mendatar (kifosis lumbalis), penurunan ketebalan diskus intervertebra sehingga tinggi badan berkurang. Perubahan vertebra pada lansia akan membuat otot erector spine tidak normal yang diperuruk oleh kebiasaan atau aktivitas yang salah. Perubahan postur pada lansia disajikan pada Gambar 2.5.
48
Gambar 2.5 Perubahan Postur Pada lansia Sumber: Pudjiastuti dan Utomo, 2003. Fisioterapi Pada Lansia
2.5.1 Definisi Jatuh Jatuh adalah suatu kondisi yang tidak menyenangkan dan tidak disengaja akibat dari penurunan posisi dari tinggi (berdiri, berjalan, dan berlari) ke posisi rendah hingga di atas lantai. Pengertian jatuh lebih mengarah ke permasalahan secara klinis tentang penyebab dan akibat dari jatuh itu sendiri. Seseorang tidak bisa dikatakan jatuh apabila ditemukan dalam kondisi duduk di atas kursi, berpegangan pada pegangan tangan di tembok, dan bahkan saat seorang perawat menemukan seorang pasien di lantai tetapi pasien itu sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Pemeriksaan terhadap bagaimana jatuh itu sebenarnya adalah berdasarkan penyebab proses jatuh, seperti jatuh itu dari berdiri saat jalan, bangun dari tidur ke berdiri, dan saat naik turun tangga (Heyward dan Gibson, 2014).
49
2.5.2 Faktor – faktor Penyebab Jatuh Pada Lansia Faktor-faktor penyebab jatuh pada lansia terdiri dari faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari kelemahan otot, pengalaman pernah jatuh, gangguan sensoris dan motoris dari saraf, penyakit yang bersifat menahun, depresi, gangguan keseimbangan dan gangguan pengelihatan. Sementara faktor ekstrinsik terdiri dari lingkungan, penggunaan alat bantu, efek samping dari obatobatan (Enguidanos, 2006). 1. Kelemahan Otot, Jika seseorang bertambah tua, maka ukuran ototnya akan berkurang. Berkurangnya otot ini disebabkan berkurangnya protein, dan juga karena berkurangnya jumlah dan besar serabut-serabut otot. Seperti kita ketahui, bertambahnya kekuatan otot berhubungan erat dengan adanya pembesaran serabut otot tersebut. Atau dengan kata lain, kenaikan kekuatan otot sejajar dengan kenaikan ukuran serabut otot (Rubin, 2014). Pada orang-orang tua yang ukuran ototnya menurun atau berkurang, ternyata kekuatannya pun berkurang. Penurunan kekuatan itu terjadi secara bertahap dari umur 35-45 tahun. Tetapi bagaimanapun juga penurunan kekuatan otot orang tua pada usia 60 tahun tidak sampai kurang dari 20% kekuatan maksimal. Banyak pasien orang tua mengeluh kelemahan. Ini mungkin ditunjukkan dengan penyimpangan gaya berjalan akan terjadi pada nilai kekuatan otot kurang dari 4+ (berdasarkan nilai MMT 0-5).
50
2. Pengalaman Pernah Jatuh, Pada lansia pengalaman pernah jatuh membuat lansia takut untuk melangkah. Hal ini membuat lansia menjadi gemetar saat berjalan. Untuk kondisi yang parah lansia akan berusaha memegang segala sesuatu yang terdekat dengannya. 3. Gangguan Fungsi Sensoris dan Motoris Gangguan sensoris dan motoris pada lansia dapat dilihat dari menurunnya keseimbangan dan koordinasi pada lansia. Keseimbangan dan koordinasi merupakan integritas kerja seluruh organ tubuh termasuk sistem aferen dan eferen saraf. Fungsi sensomotoris berkaitan dengan sistem neuromuskular. Fungsi neuro muskular yang baik akan menghasilkan gerakan yang halus dan akurat. Aktivitas fungsional seperti jalan, bangun dari tempat tidur, makan , dan lain-lain memerlukan respon motorik kasar dan halus atau kombinasi ke duanya sehingga menghasilkan gerakan yang terkoordinasi. Beberapa pengujian konduktivitas saraf pada lansia menunjukan penurunan aktivitas listrik dan kecepatan konduktivitas saraf. Hal tersebut mengakibatkan waktu reaksi antara stimulus yang melibatkan saraf aferen, proses di otak, dan saraf eferen yang menghasilkan gerakan menjadi lebih lama atau lebih lambat. Waktu antara stimulasi rangsang dengan gerakan bertambah seiring dengan meningkatnya usia. Akibatnya reflek pada lansia menjadi lambat. Hal ini yang membuat lansia mengalami cedera berat saat jatuh ataupun terkena benda tajam atau panas (Pudjiastuti, dan Utomo, 2003).
51
4. Stroke Stroke terjadi bila aliran darah ke otak mendadak terganggu atau jika pembuluh darah di otak pecah sehingga darah mengalir ke luar ke jaringan otak di sekitarnya. Sel-sel otak akan mati jika tidak mendapatkan oksigen dan makanan atau akan mati akibat perdarahan yang menekan jaringan otak sekitar. Stroke dapat dibagi atas 2 kategori besar, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Yang pertama terjadi akibat penyumbatan aliran darah sedangkan yang ke dua karena pecahnya pembuluh darah. Delapan puluh persen kasus stroke disebabkan oleh iskemia dan sisanya akibat perdarahan. Penyakit pada lansia yang menahun membuat lansia menjadi sulit untuk beraktivitas. Ini disebabkan menurunnya kondisi umum lansia yang diperparah oleh penyakit yang dideritanya. Seperti pada lansia yang menderita stroke yang spastik. Lansia menjadi sulit berjalan dan rentan untuk jatuh karena pola spastik tersebut. 5. Penyakit Parkinson Penyakit Parkinson merupakan suatu penyakit saraf dengan gejala utama berupa tremor, kekakuan otot, dan postur tubuh yang tidak stabil. Penyakit ini terjadi akibat sel saraf (neuron) yang mengatur gerakan mengalami kematian. Ciri penyakit Parkinson merupakan kelompok gejala yang tergabung dalam kelainan gerakan. Empat gejala utama Parkinson adalah tremor atau gemetar di tangan, lengan, rahang, atau kepala, kekakuan di otot atau ekstremitas, bradikinesia, atau perlambatan gerakan;,postur tubuh yang tidak stabil atau gangguan keseimbangan. Gejala biasanya timbul secara perlahan dan semakin lama semakin parah. Pada
52
taraf gejala maksimal, pasien tidak dapat berjalan, berbicara, atau bahkan melakukan suatu pekerjaan yang sederhana. Penyakit ini bersifat menahun, progresif, tidak menular, dan tidak diturunkan. 6. Osteoartritis (OA) Pada penyakit ini, rasa kaku biasanya timbul pada pagi hari setelah tidur, dan sendi terasa nyeri jika digerakkan, tetapi dapat menghilang beberapa saat setelah digerak-gerakan. Rasa nyeri dan kaku dapat timbul secara bergantian selama beberapa bulan atau tahun. Peradangan ini paling bersifat asimetris. Osteoartritis terjadi akibat ausnya sendi, yang merusak tulang rawan pada lapisan terluar sendi karena penggunaan sendi yang berulang-ulang. Tulang yang berdekatan akan saling bergeser sehingga menimbulkan rasa nyeri. Penyakit ini biasanya mengenai daerah lutut dan punggung. 7. Rheumatoid Artritis (RA) Pada penyakit ini, kaku pada pagi hari tidak mereda setelah 1 atau 2 jam. Kadang-kadang kaku merupakan tanda awal penyakit ini. Peradangan sendi lain dapat berupa nyeri dan keletihan yang semakin berat. Pembengkakan sendi pada beberapa bagian tubuh seperti tangan, kaki, siku, pergelangan kanan-kiri yang terpapar secara simetris juga dimasukkan dalam kriteria rheumatoid arthritis. 8. Depresi Depresi pada lansia disebabkan oleh penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh yang mengakibatkan lansia banyak mengeluarkan biaya pengobatan. Selain itu perasaan dikucilkan dan sudah tidak mampu berproduksi seperti usia muda juga membuat lansia depresi.
53
9. Gangguan Proprioseptif dan Vestibular Gangguan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh menurunnya fungsi proprioseptif yang mengakibatkan langkah menjadi tidak beraturan. Selain itu fungsi vestibular yang melemah membawa pada suatu keadaan yang tidak tenang di dalam berjalan dan suatu ketidakmampuan untuk turun tangga tanpa pegangan. Ukuran panjang tungkai juga mempengaruhi keseimbangan pada lansia. Kondisi proprioseptif yang kurang baik pada sendi tungkai yang panjang mengakibatkan lansia rentan untuk jatuh (Heyward dan Gibson, 2014). 10. Gangguan Pengelihatan Gangguan pengelihatan pada lansia bersifat alamiah. Hal ini akan dialami oleh semua orang terutama yang berusia di atas 80 tahun. Ukuran pupil yang yang menurun, reaksi terhadap cahaya yang berkurang, penurunan kualitas lensa pada mata mengakibatkan lansia sulit melihat terutama pada tempat
yang
pencahayaannya kurang. Hal inilah yang mengakibatkan lansia rentan jatuh dan cedera. Selain faktor intrinsik, faktor ekstrinsik juga berpengaruh terhadap jatuh pada lansia. Faktor ekstrinsik jatuh pada lansia terdiri dari : 1. Lingkungan Lingkungan memiliki andil besar terhadap resiko jatuh saat berjalan pada lansia. Peralatan rumah tangga yang sudah tidak layak dimakan usia, lantai yang licin, permukaaan lantai yang tidak rata, jalanan naik dan turun, penerangan yang kurang baik, alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat dan cara
54
penggunaannya, penempatan benda-benda yang terlalu tinggi, serta tidak adanya fasilitas berpegangan pada lansia membuat resiko jatuh pada lansia sangat tinggi. 2. Penggunaan Alat Bantu Aktivitas ambulasi lansia dengan alat bantu yang banyak berjalan pada kehidupan sehari- hari membuat resiko jatuh pada lansia juga tinggi. Hal ini terjadi terutama pada lansia yang jarang bergerak dan beraktivitas dengan alat bantu. Ukuran alat bantu yang tidak terlalu tinggi atau rendah, dan terlalu berat membuat lansia sulit beraktivitas. Sebagian besar disebabkan oleh faktor kelelahan karena bekerja dengan intensitas tinggi. Perasaan masih terasa muda mengakibatkan lansia beraktivitas di luar kemampuannya (Kane et al., 2004). 3. Efek Samping Dari Obat-obatan Perubahan menurunnya kapasitas fisik pada lansia mengakibatkan lansia harus
mengkonsumsi
obat
obatan.
Jenis
kandungan
obat-obatan
yang
menyebabkan lansia jatuh antara lain alcohol abuse, antidepressant, betablockers, diuretic, digitalis dan neuroleptics. Rasa kantuk yang berat, penurunan keseimbangan , kelemahan otot membuat lansia rentan jatuh (Stolze et al., 2004).