BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep-konsep dan definisi 2.1.1 Produktivitas pertanian Teori, historiografi dan bukti empiris menunjukkan bahwa pertanian mempunyai peran besar bagi pembangunan ekonomi suatu negara. Sektor industri dapat saja secara substansial tidak mengalami perkembangan atau bahkan akan mati saat produktivitas pertanian berada pada tingkat terendah. Sejarah secara global menunjukkan bahwa sektor industri baru dapat berkembang saat sistem pertanian tradisional telah berubah menjadi sistem pertanian modern dengan menerapkan teknologi canggih.Karena itulah peningkatan produktivitas pertanian menjadi fokus utama pembangunan di banyak negara (Ang, 2013). Kemampuan
sektor
pertanian
dalam
peningkatan
produksi
dan
pengentasan kemiskinan akan ditentukan oleh tiga faktor, yaitu 1) kemampuan mengatasi kendala pengembangan produksi, 2) kapasitas dalam melakukan reorientasi dan implementasi arah dan tujuan pengembangan agribisnis padi, dan 3) keberhasilan pelaksanaan program diversifikasi usaha tani di lahan sawah dengan mempertimbangkan komoditas alternatif nonpadi seperti palawija dan asparagus . Kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah: 1) memfasilitasi pengembangan infrastruktur fisik dan kelembagaan, perbaikan sistem insentif usaha tani, dan mendorong pengembangan agroindustri padat 12
tenaga kerja di pedesaan, 2)reorientasi arah dan tujuan pengembangan agribisnis padi dengan sasaran peningkatan pendapatan dan ketahanan pangan rumah tangga petani padi, serta sebagai wahana dinamisasi perekonomian desa, dan 3) pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan), teknologi, permodalan, kebijakan stabilisasi, dan penyuluhan untuk komoditas alternatif nonpadi yang bernilai ekonomi tinggi tetapi memiliki risiko yang besar (Sudaryanto, 2006). Peningkatan produktivitas yang signifikan dari waktu ke waktu telah dipercaya dapat meningkatkan kualitas pembangunan di sektor manufaktur pada sebuah negara. Pertanian di banyak negara
merupakan sumber pendapatan pajak yang dapat membiayai
pembangunan infrastruktur sebuah negara. Peningkatan produktivitas pertanian dapat menimbulkan efek positif bagi pertumbuhan ekonomi negara. Ini tentunya dapat dilakukan dengan menciptakan keunggulan kompetitif dari komoditas pertanian yang dihasilkan (Chang, 2006). Peningkatan produktivitas pertanian pada semua komoditas telah menjadi perhatian selama 50 tahun terakhir ini. Perhatian ini diberikan agar tidak terjadi ketimpangan antara pertumbuhan jumlah penduduk dengan ketersediaan bahan pangan. Selama lima puluh tahun terakhir hingga tahun 2010 telah terjadi peningkatan yang signifikan pada pertumbuhan produktivitas pertanian. Iindikasinya adalah dengan makin terjangkaunya seluruh produk pertanian pada semua lapisan masayarakat. Pertumbuhan produktivitas pertanian memerlukan dukungan berupa ketersediaan lahan, tenaga kerja, pupuk, energi, dan permodalan (Fuglie, 2012).
2.1.2 Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Sektor pertanian berperan sangat penting dalam pembangunan ekonomi khususnya
pada negara-negara yang sedang berkembang. Kuznets (dalam Ghatak, 1984) mengatakan bahwa sektor pertanian dalam negara yang sedang berkembang mempunyai empat kemampuan potensial dalam memberikan konstribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan nasional. Keempat kontribusi itu adalah : 1) Kontribusi Produk Ekspansi dalam sektor non pertanian sangat berkaitan dengan sektor pertanian. Sektor pertanian tidak saja secara kontinyu dalam meningkatkan persediaan bahan pangan, juga untuk menyediakan bahan mentah untuk produk industri, seperti tekstil. Kontribusi produk sektor pertanian ditunjukkan oleh sumbangan sektor pertanian terhadap
pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB) dan juga keterkaitan (linkages) sektor pertanian terhadap sector lainnya. 2) Kontribusi Pasar Oleh karena adanya bias ekonomi pada tahap awal pembangunan, sektor pertanian secara substansial memberikan kontribusi terhadap pasar. Kontribusi ini ditunjukkan oleh pengeluaran petani untuk barang-barang industri, baik untuk konsumsi maupun sebagai input antara. Dipihak lain, sektor pertanian juga menjual outputnya untuk keperluan sektor lainnya. 3) Kontribusi Faktor Sebagai sektor yang paling tua, sektor pertanian menyumbangkan outputnya untuk faktor produksi kepada sektor lainnya. Kontribusi tersebut dapat berupa kapital dan juga tenaga kerja termasuk sumberdaya manusia. Transfer kapital terjadi karena surplus pada sektor pertanian disumbangkan kepada sektor non pertanian, hal ini disebabkan karena sektor non pertanian umumnya mempunyai permintaan kapital yang lebih elastis
dibandingkan pada sektor pertanian. Transfer tenaga kerja dari sektor pertanian disumbangkan ke sektor non pertanian, hal ini disebabkan karena sektor non pertanian umumnya mempunyai persediaan tenaga kerja yang berlimpah. Dengan tingkat upah yang rendah pada sektor pertanian, maka tenaga kerja akan terdorong untuk pindah dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. 4) Kontribusi Devisa Pada negara-negara yang sedang berkembang, sektor pertanian sangat berperan dalam menyumbangkan devisa, karena ekspor utama negara-negara yang sedang berkembang adalah komoditas pertanian. Devisa hasil ekspor komoditas pertanian ini umumnya digunakan untuk membiayai pembangunan sektor-sektor non pertanian. Hal ini pertama, disebabkan karena ekspansi produksi pada komoditas ekspor pertanian seperti kopi, kakao atau kapas dapat dilakukan dengan sistem perluasan tanaman secara subsistem (largely subsistence cropping system) untuk menghindari investasi baru. Kedua, karena sektor pertanian umumnya sering menggunakan tambahan modal yang relatif sedikit.
2.1.3 Pembangunan Pertanian Mosher (1981)
mengatakan
bahwa pembangunan pertanian
merupakan bagian
integral dari pembangunan ekonomi dan masyarakat secara umum. Hal ini dimaksudkan bahwa pembangunan pertanian menjamin pembangunan menyeluruh itu (overall development) akan benar-benar bersifat umum, yang mana penduduk yang hidup dari bertani jumlahnya besar di berbagai negara dan dalam beberapa tahun mendatang akan terus hidup bertani. Untuk melaksanakan pembangunan pertanian tidak dapat hanya oleh petani saja tetapi lebih lanjut, makin lama petani makin tergantung pada pihak- pihak di luar, seperti untuk memenuhi kebutuhan pupuk, bibit unggul, saluran irigasi, obat-obatan, alat mesin pertanian dan
lain-lain. Demikian pula hasilnya harus dijual ke pasar, pengetahuan diperoleh dari sekolah atau universitas, dinas pertanian, petugas penyuluh lapangan dan sebagainya. Dengan demikian agar sektor pertanian dapat maju diperlukan interaksi yang positif antara bidang pertanian dengan bidang-bidang lainnya (Hadisapoetro, 1973). Dalam membangun pertanian, Mosher (1981) menyebutkan tidak bisa lepas dari penggunaan teknologi baru. Hal ini disebabkan karena preferensi konsumen akan produk pertanian sangat dinamis atau cepat berubah. Berkaitan dengan hal itu, lima faktor pokok yang perlu diperhatikan dan senantiasa dipenuhi dalam pembangunan pertanian, yaitu : a) Adanya pasar produk pertanian. b) Adanya teknologi yang selalu berubah yang dikuasai petani. c) Adanya ketersediaan sarana produksi secara lokal. d) Adanya insentif produksi bagi petani. e) Adanya transport yang memadai. Menurut J.H. Boeke (dalam Mubyarto, 1987) di Indonesia terdapat sistem dualisme ekonomi atau dua sistem ekonomi yang berbeda, namun berdampingan kuat. Orang-orang Indonesia pada dasarnya bersifat tradisional dan kebutuhannya yang menonjol adalah kebutuhan sosial. Oleh karena itu, pemecahan masalah pembangunan pertanian di Indonesia yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik, dilakukan dengan pendekatan teori ekonomi dualisme Boeke, karena teori ekonomi barat dianggap tidak cocok bagi sebagian besar masalah - masalah yang dihadapi di Indonesia. Oleh sebab itu diusulkan dikembangkannya teori ekonomi dan teori pembangunan ekonomi tersendiri bagi Indonesia. Menurut Boeke, implikasi kebijakan berlakunya teori ekonomi dualisme adalah : pertama, pada suatu kebijakan tidak mungkin diberlakukan di seluruh negara, kedua, kebijakan yang memberikan manfaat pada
suatu kelompok masyarakat mungkin dapat merugikan kelompok lainnya. Kelangsungan hidup sektor pertanian tidak bisa lepas dari perkembangan global. Menurut Soekartawi (2004), delapan aspek yang perlu diantisipasi pada era global sekarang ini dan masa mendatang khususnya dalam bidang pertanian yaitu : a) Pentingnya penguasaan teknologi dan informasi. b) Meningkatnya jumlah key players di sektor pertanian. c) Meningkatnya perubahan preferensi konsumen pada produk-produk pertanian. d) Perubahan harga yang cepat karena munculnya key players baru di perdagangan produk-produk pertanian. e) Meningkatnya kesadaran kesehatan menyebabkan perubahan kualitas produk pertanian. f) Perubahan iklim yang kini mulai sulit diprediksi. g) Pembiayaan usahatani yang sudah terlanjur mahal karena ekonomi biaya tinggi. h) Menyempitnya lahan pertanian. Dalam upaya menjaga kelangsungan hidup sektor pertanian, Mangunwidjaja dan Sailah (2005) menyebutkan bahwa visi pembangunan pertanian abad ke-21 yang masih tetap aktual untuk dijadikan salah satu acuan pembangunan pertanian saat ini atau pada masa yang akan datang adalah : a) Menciptakan produk dan jasa pertanian yang berdaya saing tinggi. b) Memelihara kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan pertanian. c) Meningkatkan dan pemerataan kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia pada umumnya dan pelaku pertanian pada khususnya. d) Meningkatkan kontribusi pertanian dalam ekonomi nasional.
Model pembangunan yang berlangsung selama ini menurut Hafsah (2008), menyebabkan laju perkembangan sektor pertanian berjalan relatif lamban. Oleh karena itu petani produsen di tingkat on-farm belum semua menjadi sejahtera, karena masih ada yang belum keluar dari lingkaran kemiskinan. Oleh karena itu, pembangunan pertanian mendatang tidak saja sebagai sektor pendukung tetapi harus menjadi fundamen dan motor penggerak perekonomian nasional. Berkaitan dengan hal itu, paradigma pembangunan pertanian ke depan, seyogyanya berorientasi pada terwujudnya pertanian modern yang berbudaya industri, berkelanjutan dengan bertumpu pada kemampuan bangsa untuk mensejahterakan masyarakat. Demikian juga pembangunan pertanian ke depan juga harus dilakukan melalui upaya-upaya perubahan struktural secara sistematis dan komprehensif serta lintas sektoral, yakni berdasarkan sistem pengambilan keputusan yang terpadu dan terkoordinasi secara efektif guna tercapainya tujuan pembangunan pertanian yang berdaya saing, berkerakyatan, berkeadilan serta berkelanjutan.
2.1.4 Petani Petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan hidupnya di bidang pertanian dalam arti luas yang meliputi usahatani pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil laut. Peranan petani sebagai pengelola usahatani berfungsi mengambil keputusan dalam mengorganisir faktor-faktor produksi yang diketahui (Hernanto, 1993). Menurut Samsudin (1982), yang dimaksud dengan petani adalah mereka yang untuk sementara waktu atau tetap menguasai sebidang tanah pertanian, menguasai suatu cabang usahatani atau beberapa cabang usahatani dan mengerjakan sendiri, baik dengan tenaga sendiri maupun dengan tenaga bayaran. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Mardikanto dan Sri Sutarni (1982), yang menyatakan bahwa petani adalah penduduk atau orang-orang yang secara de facto memiliki
atau menguasai sebidang lahan pertanian serta mempunyai kekuasaan atas pengelolaan faktorfaktor produksi pertanian (meliputi : tanah berikut faktor alam yang melingkupinya, tenaga kerja termasuk organisasi dan skill, modal dan peralatan) di atas lahannya tersebut secara mandiri (otonom) atau bersama-sama dengan pihak lain. Petani sebagai orang yang menjalankan usahataninya mempunyai peran yang jamak (multiple roles) yaitu sebagai juru tani dan juga sebagai kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga petani dituntut untuk dapat memberikan kehidupan yang layak dan mencukupi kepada semua anggota rumah tangganya. Sebagai manajer dan juru tani yang berkaitan dengan kemampuan mengelola usahataninya akan sangat dipengaruhi oleh faktor di dalam dan di luar pribadi petani itu sendiri yang sering disebut sebagai karakteristik sosial ekonomi petani. Apabila keterampilan bercocok tanam sebagai juru tani pada umumnya adalah keterampilan sebagai pengelola mencakup kegiatan pikiran didorong oleh kemauan (Mosher, 1981). Petani adalah mereka yang sementara waktu atau tetap menguasai sebidang tanah pertanian, menguasai suatu cabang usahatani atau beberapa cabang usahatani dan mengerjakan sendiri maupun dengan tenaga bayaran. Menguasai sebidang tanah diartikan sebagai penyewa, bagi hasil (penyakap) atau pemilik (Samsudin, 1982). Menurut Horton dan Hunt (1999), ada petani yang disebut sebagai petani marginal yaitu petani yang hanya memiliki lahan, peralatan dan modal yang sangat sedikit atau daya kerja dan kemampuan mengelola yang sangat terbatas untuk dapat mengolah usaha pertanian yang menghasilkan keuntungan. Istilah ”petani” dari banyak kalangan akademis sosial akan memberikan pengertian dan definisi yang beragam. Sosok petani ternyata mempunyai banyak dimensi sehingga berbagai kalangan memberi pandangan sesuai dengan ciri-ciri yang dominan. Moore mencatat tiga karakteristik petani, yaitu: subordinasi legal, kekhususan kultural dan pemilikan de facto atas tanah. Wolf memberikan istilah peasants untuk petani yang dicirikan penduduk yang secara
eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan otonom tentang proses cocok tanam (Lansberger dan Alexandrov dalam Anantanyu, 2004). Petani adalah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai lahan sendiri, yang matapencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah pertanian (Jaya, 1989). Khusus petani di Indonesia pada umumnya bukan termasuk petani dengan berhektar-hektar tanah pertanian tetapi kebanyakan merupakan peasant dengan sebidang kecil sawah atau ladang, bahkan kadang- kadang hanya sekedar buruh tani saja (Moertopo, 1975). Menurut Hadisapoetra dalam Mardikanto (1994), secara ringkas mengatakan bahwa petani kecil merupakan golongan ”ekonomi lemah” tidak saja lemah dalam hal permodalannya (sebagai akibat dari sempitnya lahan yang diusahakan, rendahnya produktivitas asparagus, dan rendahnya pendapatan) tetapi juga lemah dalam semangatnya untuk maju. Petani sebagai seseorang yang mengendalikan secara efektif sebidang tanah yang dia sendiri sudah lama terikat oleh ikatan-ikatan tradisi dan perasaan. Tanah dan dirinya adalah bagian dari satu hal, suatu kerangka hubungan yang telah berdiri lama. Suatu masyarakat petani bisa terdiri sebagian atau bisa juga seluruhnya dari para penguasa atau bahkan menggarap paksa tanah bila mana mereka menguasai tanah sedemikian rupa sehingga memungkinkan mereka menjalankan cara hidup biasa dan tradisional yang di dalamnya pertanian, mereka masuk secara intim, akan tetapi bukan sebagai penanam modal usaha demi keuntungan (Robert, 1985). Blanckenurg, et al. (dalam Anantanyu (2004), menyebutkan bahwa salah satu ciri terpenting masyarakat pertanian yang membedakannya dari masyarakat industri adalah makna kelompok primer sebagai unsur membentuk masyarakat. Kelompok primer ditandai oleh kecilnya kelompok, lemahnya tingkat formalisasi, baik fungsi yang dipikul oleh kelompok maupun persatuan dan solidaritas anggota kelompok, juga lemahnya keterkaitan dengan
norma-norma kelompok. Dalam masyarakat pertanian, kelompok primer lebih penting artinya dibandingkan kelompok sekunder yang bercirikan organisasi rasional, berorientasi ke tujuan yang spesifik dan mempunyai jumlah anggota yang lebih banyak. Petani pedesaan yang subsistem dan tradisional ini kerap dituding sebagai penyebab terhambatnya proses modernisasi pertanian. Karena dengan ciri hidup yang bersahaja dan bermotto yang didapat hari ini untuk hidup hari ini, maka tidak mudah bagi petani untuk mengadopsi teknologi di bidang pertanian yang bisa dibilang menghilangkan kesahajaan mereka Riri (2008). Adopsinya teknologi seperti traktor, sedikit demi sedikit mengikis budaya gotong royong dan barter tenaga diantara petani, hal ini disebabkan karena umumnya teknologi hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja manusia. Berkaitan dengan hal itu, akibat selanjutnya nilai-nilai keakraban yang lama terbina mulai luntur seiring dengan berkurangnya rasa saling tergantung antar petani. Bagi sebagian besar petani di Indonesia menurut Riri (2008), pertanian adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood). Hal ini disebabkan karena pertanian (agriculture) di Indonesia bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja, namun dalam prakteknya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Sehingga bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal. 2.1.5 Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Produktivitas asparagus Menurut Mardikanto (1996), produktivitas asparagus petani dipengaruhi oleh status sosial ekonomi dan persepsinya terhadap inovasi. Status sosial ekonomi dalam masyarakat dapat dimengerti melalui apa yang dimiliki oleh individu-individu ataupun melalui kemampuan kepala keluarga untuk mengusahakannya, misalnya dengan kekuasaan ataupun kewenangan
yang dimiliki. Status sosial ekonomi masyarakat dapat dilihat dari status sosial keluarga yang diukur melalui tingkat pendidikan kepala keluarga, perbaikan lapangan pekerjaan dan tingkat penghasilan keluarga (Sajogyo dan Pudjiwati, 2002). Indikator status sosial ekonomi menurut Rogers (1985) adalah kasta, umur, pendidikan, status perkawinan, aspirasi pendidikan, partisipasi sosial, hubungan organisasi pembangunan, pemilikan lahan, pemilikan sarana pertanian serta penghasilan sebelumnya. Hampir sama dengan pendapatan tersebut, Melly G. Tan dalam Koentjaraningrat (1989) menyebutkan bahwa status sosial ekonomi seseorang itu diukur lewat pekerjaan, pendidikan dan pendapatan. Konsep kedudukan status sosial ekonomi seperti dalam pengetahuan masyarakat sudah lumrah mencakup tingkat pendidikan, faktor pekerjaan, dan penghasilan. Umur petani dapat mempengaruhi kecepatan petani dalam menerapkan teknologi budidaya tanaman pertanian. Petani yang berusia lanjut tidak mempunyai gairah lagi untuk mengembangkan usahataninya. Sedangkan pada umur muda dan dewasa petani berada pada kondisi ideal untuk melakukan perubahan dalam membudidayakan tanaman pertanian. Hal ini dikarenakan pada usia muda petani mempunyai harapan akan usaha taninya. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir yang sistematisn dalam menganalisis suatu masalah. Kemampuan petani menganalisis
situasi
ini diperlukan dalam
memilih komoditas pertanian. Pendapatan bersih dari usahatani juga dapat memotivasi petani dalam bekerja, seperti yang
dikemukakan
Soekartawi
(1986).
Pendapatan
bersih usahatani merupakan selisih
antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani yang merupakan imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan kedalam usahatani, oleh karena
itu indikator keuntungan usahatani dapat dipakai untuk membandingkan kinerja beberapa usahatani. Petani yang mempunyai tingkat pendapatan lebih tinggi akan mempunyai kesempatan yang lebih untuk memilih jenis tanaman daripada yang berpendapatan rendah. Bagi petani yang mempunyai pendapatan yang kecil tentu tidak berani mengambil resiko karena keterbatasan modal (Yatno, et. al., 2003). Pada proses motivasi ada dua pengaruh yang paling penting, yaitu pertama pengaruh dari diri sendiri berupa memahami diri sendiri, bayangan dan ide-ide yang dimiliki (Moekijat, 1990). Pengaruh penting lainnya dalam proses motivasi adalah bagaimana individu-individu melihat lingkungan dimana mereka berada, berupa interaksi atau hubungan individu dan lingkungannya. Hal yang sama dikemukakan oleh Syafruddin (2008) bahwa motivasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi maupun harapan-harapan yang akan diperolehnya. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa lingkungan ekonomi merupakan kekuatan-kekuatan ekonomi finansial yang ada di sekitar seseorang. Diantaranya lembaga pemerintah maupun swasta yang berhubungan dengan pemberian kredit bagi seseorang. Berkaitan dengan hal itu Maslow (1994), mengungkapkan
bahwa
motivasi
manusia tidak
akan
terlepas
dari
lingkungan sekitarnya, baik dari situasi dan dengan orang lain. Setiap teori motivasi dengan sendirinya harus memperhitungkan fakta ini, dengan menyertakan peranan penentuan kebudayaan dalam lingkungannya. Menurut Mardikanto (1996), bahwa lingkungan ekonomi yang dapat memotivasi petani terdiri dari : a) Lembaga perkreditan yang harus menyediakan kredit bagi para petani kecil. b) Produsen dan penyalur sarana produksi atau peralatan pertanian. c) Pedagang serta lembaga pemasaran yang lain.
d) Pengusaha atau industri pengolahan hasil pertanian. Hernanto (1993) menyatakan bahwa petani saja tidak mempunyai kemampuan untuk mengubah keadaan usahataninya sendiri. Karena itu bantuan dari secara
langsung
dalam
bentuk
bimbingan
luar
diperlukan,
baik
dan pembinaan usaha maupun tidak
langsung dalam bentuk insentif yang dapat mendorong petani menerima hal-hal baru dan mengadakan tindakan perubahan. Bentuk-bentuk insentif ini, seperti jaminan tersedianya sarana produksi yang diperlukan petani dalam jumlah yang cukup dan mudah dicapai harganya, dapat dipertimbangkan dalam usaha dan selalu dapat diperoleh secara kontinyu. Menjamin pemasaran hasil, menjamin tersedianya kredit yang tidak memberatkan petani, informasi
teknologi
yang
kontinyu
adalah
menjamin
adanya
bentuk insentif yang lain. Tidak kurang
pentingnya bentuk insentif yang diperlukan guna tercapainya modernisasi usahatani adalah peraturan-peraturan yang melindungi hak-hak petani dan kebijakan-kebijakan yang memberikan keleluasaan petani bertindak dalam pengembangan usahataninya. Faktor utama dalam motivasi dan mempengaruhi keputusan yang secara langsung bagi individu adalah kemampuan untuk berbuat. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan mendorong orang untuk menghasilkan dan bekerja. Kilvington, et al. (1999) menyebutkan bahwa pengambilan keputusan yang baik, pada semua tingkatan bergantung pada informasi. Oleh karena itu, pengelolaan informasi adalah komponen penting dalam memotivasi orang untuk melakukan tindakan yang diinginkan. Handoko (1992) menyatakan bahwa motivasi yang bekerja pada diri individu mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Setiap tindakan manusia digerakkan dan dilatarbelakangi oleh dorongan tertentu, tanpa motivasi tertentu orang tidak berbuat apa-apa. Untuk menumbuhkan motivasi pada petani pada umumnya sangat sulit, karena terbatasan yang ada pada petani.
Pengalaman seseorang dalam berusahatani berpengaruh dalam menerima inovasi dari luar seperti yang dikemukakan Soekartawi (1999). Petani yang sudah lama berusahatani akan lebih mudah menerapkan inovasi atau teknologi dan mudah menjalankan anjuran dari para penyuluh. Upaya meningkatkan motivasi bertani dapat dilakukan dengan cara meningkatkan rasa percaya diri petani akan keberhasilan usahanya dan PPL harus memahami perilaku petani, apa
yang dibutuhkan dan
hambatan
serta peluang untuk meningkatkan produksinya.
Demikian juga kebijakan harga dan sarana produksi harus berorietansi pada keuntungan petani (Assagaf, 2004). Keberadaan motivasi tidak dapat dipisahkan dengan faktor yang mempengaruhinya. Terdapat hubungan yang nyata antara pendidikan formal dan pendidikan non formal dengan motivasinya (Wicaksono, 2005). Selanjutnya, menurut Yusnidar (2009), terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik pribadi, lingkungan ekonomi dengan motivasi kebutuhan ekonomi dan sosiologis.
2.1.6 Asparagus
Asparagus menyimpan banyak manfaat kesehatan untuk tubuh. Berikut manfaat kesehatan dari asparagus, 1) Kaya nutrisi Asparagus mengandung banyak nutrisi, kaya serat, folat, vitamin A, C, E dan K, serta chromium, dan mineral yang meningkatkan kemampuan insulin untuk mengangkut glukosa dari aliran darah ke dalam sel. 2) Memiliki zat antikanker Merupakan sumber sangat kaya glutation, suatu senyawa detoksifikasi yang membantu memecah karsinogen dan senyawa berbahaya lainnya seperti radikal bebas. Inilah sebabnya mengapa konsumsi asparagus dapat membantu melindungi dan melawan bentuk-bentuk kanker tertentu, seperti tulang, payudara, laring usus, dan kanker paruparu. 3) Kaya antioksidan Antioksidan dalam asparagus menduduki peringkat teratas di antara buah-buahan dan sayuran karena kemampuannya untuk menetralisir radikal bebas yang merusak sel. Ini, menurut penelitian pendahuluan, dapat membantu memperlambat proses penuaan. 4) Memiliki sifat antipenuaan Karena memiliki sifat anti penuaan, asparagus sering dijadikan menu vegetarian yang lezat. Tak hanya itu, asparagus dapat membantu otak kita untuk memerangi penurunan kognitif. Seperti sayuran hijau pada umumnya, asparagus mengandung folat, yang bekerja dengan vitamin B12 yang biasa ditemukan pada ikan, daging unggas, dan susu untuk membantu mencegah kerusakan kognitif. Dalam sebuah studi dari Tufts University, orang dewasa dengan tingkat sehat folat dan B12 dilakukan uji kecepatan,
hasilnya, mereka yang mengasup folat sehat dan B12 memiliki respon uji kecepatan lebih baik dan fleksibilitas mental yang baik. 5) Diuretik alami Salah satu manfaat lebih dari asparagus mengandung tingkat tinggi asparagin asam amino, yang berfungsi sebagai diuretik alami. Meningkatkan buang air kecil tidak hanya melepaskan cairan tetapi membantu membersihkan tubuh dari kelebihan garam. Hal ini sangat bermanfaat bagi orang yang menderita edema (akumulasi cairan dalam jaringan tubuh) dan mereka yang memiliki tekanan darah tinggi atau penyakit jantung. Namun, perlu Anda tahu, mengonsumsi asparagus bisa menyebabkan bau urin yang kuat. Demi mengasup manfaat asparagus secara maksimal, ada cara memasak agar nutrisi dan antioksidan di dalamnya tidak hilang. Memasak dengan cara dipanggang atau ditumis tanpa air bisa menjaga kandungan antioksidan dalam asparagus, nikmati asparagus tanpa garam, mentega atau saus untuk mendapatkan hasil maksimal dari sifat diuretik. Sebab, garam dapat menyebabkan retensi air pada beberapa orang. (UMKM Kabupaten Badung, 2013). Asparagus dapat tumbuh di kawasan tinggi, yang bersuhu sedang antara 25-30 derajat celcius.
Dengan lahan yang agak berpasir. Untuk kecamatan Petang yang
memungkinkan dapat ditanami asparagus adalah daerah Pelaga, dan Belok/Sidan. Pembudidayaan Asparagus menggunakan biji, biji disemai dalam tempat penyemaian khusus.
2.1.7 Konsep Biaya Produksi Menurut Alma (2000) biaya adalah setiap pengorbanan untuk membuat suatu barang atau untuk memperoleh suatu barang yang bersifat ekonomis rasional. Jadi dalam pengorbanan ini
tidak boleh mengandung unsur pemborosan sebab segala pemborosan termasuk unsur kerugian, tidak dibebankan ke harga pokok. Jenis dan perilaku biaya merupakan elemen kunci dalam proses penganggaran, terutama menyangkut tanggung jawab manager. Biaya dapat dipecah ke dalam : 1) Biaya Variabel, yaitu biaya yang berubah-ubah secara langsung dengan tingkat aktivitas yang ada, misalnya komponen penjualan menurut metode komisi langsung. 2) Biaya Semi Variabel, yaitu biaya yang bervariasi dengan tingkat aktivitas yang ada tetapi tidak dalam propasi langsung. 3) Biaya tetap, yaitu biaya yang tidak berpengaruh oleh perubahan aktivitas tetapi bersifat konstan selama periode tertentu. Biaya juga dapat dikelompokkan menjadi : 1) Biaya langsung, yaitu biaya yang langsung dibebankan pada aktivitas atau bagian tertentu dari organisasi. 2) Biaya tidak langsung, yaitu biaya yang tidak dapat dikaitkan dengan produk tertentu. Hubungan antara biaya produksi dengan pendapatan bahwa biaya produksi berpengaruh negatif terhadap pendapatan/penghasilan petani asparagus (Tanaman Hias) di Denpasar. Oleh karena itu biaya produksi harus ditekan agar tidak terjadi pemborosan atau kerugian. Menurut Sukirno (2002), untuk mengetahui jumlah penerimaan yang diperoleh dapat diketahui dengan rumus : TR = P .Q Keterangan : TR = Total Revunue / Total Penerimaan (Rp) P = Harga Produk (Rp)
Q = Jumlah Produk (Kg) Jumlah biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi dapat dihitung dengan rumus: TC = TFC + TVC Keterangan : TC = Total Cost / biaya Total (Rp) TFC = Total Fixed Cost / Total Biaya Tetap (Rp) TVC = Total Variable Cost / Total Biaya Variabel (Rp) Menurut Boediono (1992), pendapatan dihitung dengan cara mengurangkan total penerimaan dengan total biaya, dengan rumus sebagai berikut I = TR –TC Keterangan : I = Income (Pendapatan) TR = Total Revenue (Total Penerimaan) TC = Total Cost (Total Biaya) Penelitian ini menghitung biaya produksi, penerimaan, dan pendapatan dari tiga tanaman asparagus yang diusahakan, maka masing-masing tanaman dihitung dan kemudian dijumlahkan pendapatan keseluruhannya, dengan demikian akan diketahui jumlah pendapatan pola tanam beruntun pada tanaman asparagus yang dilakukan dalam waktu satu tahun. Kontribusi masingmasing tanaman
terhadap pendapatan petani dengan pola tanam beruntun dapat diketahui
berdasarkan besarnya pendapatan dari masing-masing tanaman.
2.1.8 Konsep Luas Lahan Luas lahan dapat diartikan sebagai lahan sawah dan lahan bukan sawah baik yang digunakan dan tidak digunakan termasuk lahan yang sementara tidak digunakan atau di usahakan
(BPS Provinsi Bali, 2013). Pengertian atau definisi luas lahan dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Lahan adalah lahan pertanian yang berpetak petak dan dibatasi pematang (galengan atau saluran) untuk menahan atau mengalirkan air yang biasanya ditanami varietas unggul tanaman yang dibudidayakan. 2. Bukan Lahan Sawah adalah semua lahan selain lahan sawah yang biasanya ditanami dengan tanaman palawija atau padi gogo. Lahan asparagus yaitu suatu lahan yang dipergunakan oleh petani asparagus untuk menanami asparagus. Pendapatan petani dipengaruhi oleh luas lahan, dimana semakin luas lahan petani asparagus, maka pendapatannya juga akan meningkat. Hubungan antara luas lahan dengan
pendapatan
bahwa
luas
lahan
berpengaruh
negatif
terhadap
pendapatan/penghasilan petani asparagus di Badung. Lahan yang dikelola dengan baik tentunya akan memberikan hasil yang baik dan menguntungkan bagi petani asparagus.
2.1.9
Konsep Pelatihan Menurut Rivai (2004:226) menegaskan bahwa pelatihan adalah proses sistematis mengubah tingkah laku pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan saat ini. Pelatihan memiliki orientasi saat ini dan membantu pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil melaksanakan pekerjaan. Menurut Simamora (2004:276) bahwa tujuan pemberian pelatihan adalah sebagai berikut : 1) Memperbaiki kinerja. 2) Memutahirkan keahlian para karyawan sejalan dengan kemajuan teknologi.
3) Mengurangi waktu pembelajaran bagi karyawan baru agar konpeten dalam bekerja. 4) Membantu dalam memecahkan masalah operasional. 5) Mempersiapkan karyawan untuk promosi. 6) Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi. 7) Memenuhi kebutuhan pertumbuhan pribadi. Dari pendapatan di atas, maka dapat diartikan bahwa tujuan pelatihan itu sebenarnya untuk meningkatkan kecerdasan serta meningkatkan keahlian pegawai pada masing-masing bidang pekerjaan agar nantinya dapat bekerja secara efektif dan efisien. Jenis pelatihan menurut Simamora (2004:278), jenis-jenis pelatihan yang dapat diselenggarakan didalam organisasi adalah sebagai berikut : 1) Pelatihan keahlian, merupakan pelatihan yang sering dijumpai didalam organisasi. Kriteria penilaian efektivitas pelatihan juga berdasarkan pada sasaran yang didefinisikan dalam tahap penilaian. 2) Pelatihan ulang, adalah subset pelatihan keahlian. Pelatihan ulang berupaya memberikan para pegawai keahlian-keahlian yang mereka butuhkan untuk menghadapi tuntutan kerja yang berubah-ubah. 3) Pelatihan lintas fungsional. Melibatkan pelatihan pegawai untuk melakukan aktivitas kerja dalam bidang lainnya selain pekerjaan yang ditugaskan. Adapun beberapa manfaat dari sebuah pelatihan diantaranya, menurut Simamora (2004:280) adalah sebagai berikut : 1) Manfaat untuk karyawan (1) Membantu karyawan dalam membuat keputusan dan pemecahan masalah yang lebih efektif.
(2) Membantu mendorong dan mencapai pengembangan diri dan rasa percaya diri. (3) Membantu karyawan mengatasi stress, tekanan, frustasi dan konflik. 2) Manfaat untuk perusahaan (1) Mengarahkan untuk meningkatkan profitabilitas atau sikap yang lebih positif terhadap orientasi profit. (2) Membantu karyawan untuk mengetahui tujuan perusahaan. (3) Menciptkan hubungan antara karyawan dan atasan. 3) Manfaat dalam hubungan SDM, antar grup dan pelaksanaan kebijakan. (1) Meningkatkan komunikasi antar grup dan individual (2) Memberikan iklim yang baik untuk belajar, pertumbuhan dan koordinasi. (3) Membuat perusahaan menjadi tempat yang lebih baik untuk bekerja dan hidup Hubungan antara pelatihan dengan pendapatan bahwa pelatihan berpengaruh positif terhadap pendapatan/penghasilan petani asparagus (Tanaman Hias) di Kota Denpasar. Pelatihan sangat diperlukan guna meningktakn ketrampilan tenaga kerja. Pelatihan hendaknya diberikan agar dapat membantu kinerja para pegawai sehingga dapat meningkatkan tingkat produktivitas perusahaan.
2.1.10 Konsep Jumlah Tenaga Kerja Struktur pekerja menurut lapangan usaha secara makro merupakan gambaran karakteristik perekonomian suatu daerah ditinjau dari sisi produksi jumlah penduduk yang besar, apabila dapat dibina dan dikerahkan sebagai tenaga kerja yang efektif akan merupakan modal pembangunan yang besar dan sangat menguntungkan bagi usaha-usaha pembangunan disegala bidang. Besarnya jumlah penduduk usia kerja adalah pembangunan usia kerja. Apabila kualitas sumber daya manusia sangat tinggi, maka
modal pembangunan relevan, tetapi kualitasnya rendah karena penduduk tersebut lebih merupakan beban pembangunan. Menurut Undang-undang No.14 tahun 1969, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (pasal 1). Jadi pengertian tenaga kerja menurut ketentuan ini meliputi tenaga kerja yang bekerja didalam maupun diluar hubungan kerja, dengan alat produksi utamanya dalam proses produksi adalah tenaganya sendiri, baik tenaga fisik maupun pikiran. Menurut Simanjuntak (1990:69) tenaga kerja (man power) mengandung pengertian. Pertama, tenaga kerja mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal ini tenaga kerja mencerminkan kualitas usaha yang diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Kedua, tenaga kerja mencakup orang yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut, mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis yaitu kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Mulyadi Subri (2002:57), tenaga kerja (man power) adalah penduduk dalam usia kerja (15-64 tahun) yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap mereka dan mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Tenaga kerja atau man power terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Menurut Simanjuntak (1990:16) angkatan kerja dibedakan dalam 3 golongan yaitu : 1) Penganggur (open unemployment), yaitu orang yang sama sekali tidak bekerja dan berusaha mencari pekerjaan.
2) setengah pengangguran (underemployment), yaitu jam kerja mereka kurang dimanfaatkan, sehingga produktivitas kerja dan pendapatan mereka rendah. Setengah pengangguran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (1)
Setengah pengangguran kentara (visible underempyoment) yakni mereka yang
bekerja kurang dari 35 jam seminggu, dan (2)
Setengah pengangguran tidak kentara (invisible underemployment) yaitu mereka
yang produktivitas kerja dan pendapatannya rendah 3). Bekerja penuh, dimana dalam prakteknya suatu negara telah mencapai tingkat penggunaan
tenaga
kerja
penuh
bila
dalam
perekonomian
tingkat
penganggurannya kurang dari 4 persen (Sukirno, 1997:19-20). Sedangkan untuk golongan bukan angkatan kerja merupakan bagian dari penduduk bukan angkatan kerja yang non aktif secara ekonomi. Mereka terdiri dari yang bersekolah, mengurus rumah rangga, penerimaan pensiun, mereka yang hidupnya tergantung pada orang lain karena lanjut usia, cacat, dalam penjara atau sakit kronis. Hubungan tenaga kerja dengan pendapatan bahwa tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pendapatan/penghasilan asparagus di Badung dengan melihat kebutuhan akan tenaga kerja pada perusahaan tersebut. Akan tetapi penyerapan jumlah tenaga kerja tentunya tidak berlebihan karena akan meningkatkan pemborosan atau kerugian. Tenaga kerja berperan penting dalam sebuah perusahaan karena dapat membantu produktivitas perusahaan.
2.2 Teori yang Digunakan 2.2.1 Teori Produksi
Teori produksi yaitu teori yang mempelajari bagaimana cara mengkombinasikan berbagai penggunaan inputpada tingkat teknologi tertentu untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Sasaran teori produksi adalah untuk menentukan tingkat produksi yang efisien dengan sumber daya yang ada (Sudarman, 2004). Selanjutnya Bishop dan Toussaint (1979) menyatakan bahwa produksi adalah suatu proses di mana beberapa barang dan jasa yang disebut input diubah menjadi barang-barang dan jasa lain yang disebut output. Mubyarto (1986) menyatakan bahwa produksi pertanian adalah hasil yang diperoleh sebagai akibat bekerjanya beberapa faktor produksi sekaligus yaitu modal, tenaga kerja dan tanah. Dalam pengertian teknisnya produksi berarti proses memadukan (menjadikan) barang-barang atau zat dan tenaga yang sudah ada. Dalam pengertian ekonomis, produksi berarti pekerjaan yang menimbulkan guna, memperbesar guna yang ada dan mengabaikan guna itu di antara orang-orang banyak. Teori produksi dapat diperjelas dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi. Fungsi produksi menurut Soekartawi (2003) adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dengan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan berupa input. Dalam pembahasan teori ekonomi produksi maka telaahan yang banyak diminati dan dianggap penting adalah telaahan fungsi produksi ini. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal, sebagai berikut. 1) Melalui Fungsi produksi, maka dapat diketahui hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output) secara langsung dan hubungan tersebut dapat lebih mudah dimengerti;
2) Melalui Fungsi produksi, maka dapat diketahui hubungan antara variabel dependen (Y) dan variabel independen (X) serta sekaligus mengetahui hubungan antarvariabel penjelas, secara matematis dan dapat dijelaskan sebagai berikut. Y = f (X1, X2 , ..., Xi , ... , Xn) ............................................................................... (2.1) Digunakannya fungsi produksi maka hubungan Y dan X diketahui dan sekaligus hubungan Xi , ... , Xn dan X lainnya juga dapat diketahui. Pada tingkat teknologi tertentu, hubungan antara inputdan output tercermin dalam suatu rumusan fungsi produksi sebagai berikut (Nicholson, 2001): Q = f (K, T, M,....)............................................................... (2.2) Keterangan: Q K T M
= = = =
jumlah output yang dihasilkan selama periode tertentu jumlah inputyang berupa faktor produksi modal jumlah inputyang berupa faktor produksi tenaga kerja jumlah inputyang berupa faktor produksi bahan mentah
Tanda titik-titik menunjukkan bahwa masih terdapat kemungkinan variabel yang lain mempengaruhi output di dalam proses produksi. Suatu asumsi dasar sifat fungsi produksi adalah menunjukkan hubungan bahwa jumlah barang produksi bergantung pada jumlah faktor produksi, sehingga jumlah barang produksi merupakan variabel tidak bebas sedangkan faktor-faktor produksi merupakan variabel bebas. Kondisi demikian, output akan mencapai tingkat maksimum untuk kemudian turun kembali ketika semakin banyak input variabel yang ditambahkan kepada input lain yang sudah tetap, maka fungsi produksi dianggap tunduk pada suatu hukum yang disebut The Law of Diminishing Returns, yaitu: “Bila satu macam input penggunaannya terus ditambah sedangkan input-input yang lain tetap, maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input yang
ditambahkan tadi mula-mula menaik, tetapi kemudian menurun bila input tersebut terus menerus ditambah” (Boediono, 1998). Untuk dapat melihat berlakunya hukum tersebut dapat dilihat dari kurva-kurva sebagai berikut. 1. Kurva Total Physical Product (TPP), adalah kurva yang menunjukkan tingkat produksi total (Q) pada berbagai tingkat penggunaan input variabel dan input-input lain dianggap tetap, secara matematis dapat ditulis (Boediono, 1998) TPP = f(X) ..............................................................................
(2.3)
2. Kurva Average Physical Product (APP), adalah kurva yang menunjukkan hasil rata-rata per unit input variabel pada berbagai tingkat penggunaan input tersebut, secara matematis dapat ditulis : APPX
TPP ............................................................................... (2.4) X
Keterangan : APPX TPP X
= besarnya produksi rata-rata = besarnya produksi total = input variabel;
3. Kurva Marginal Physical Product (MPPX), adalah kurva yang menunjukkan tambahan TPP X karena adanya tambahan penggunaan satu input variabel, secara matematis ditulis : MPPX
TPP .................................................................................... (2.5) X
Keterangan : MPPX = produksi marjinal rata-rata ΔTPP = perubahan produksi total ΔX = perubahan input variabel Menurut Boediono (1998) hubungan antara ketiga kurva TPP, APP, dan MPP mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1. Penggunaan input X sampai tingkat dimana TPP X cekung ke atas (0 sampai A), maka MPPX menaik, demikian pula APP X ; 2. Pada tingkat penggunaan input X yang menghasilkan TPPX yang menaik dan cembung ke atas (yaitu antara A dan C), maka MPP X menurun; 3. Pada tingkat penggunaan input X yang menghasilkan TPPX yang mulai menurun, maka MPPX menjadi negatif; dan 4. pada tingkat penggunaaan input X dimana garis singgung pada TPPX persis melalui titik origin (B), maka MPPX = APPX maksimum. Secara grafik hubungan antara ketiga kurva tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1.
TPP Y
C B
TPPX
A
Ep>1
Ep<1
1>Ep>0
0
X
MPP/APP Y A
B
C 0
X1
X2
X
X3
APPX
MPPX
Gambar 2.1 Hubungan antara Kurva TPP, APP dan MPP Dari Gambar 2.1 menunjukkan pembagian tahap-tahap (daerah-daerah) produksi menjadi tiga tahap didasarkan pada efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi untuk mencapai tingkat output yang optimum. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut.
Tahap I;
daerah produksi mulai dari titik 0 sampai B dimana APP X mencapai maksimum. Elastisitas produksi lebih besar atau sama dengan satu, artinya jika input variabel ditambah sebesar satu persen maka total produksi akan bertambah paling sedikit satu persen. Pada tahap ini merupakan daerah produksi yang belum optimal;
Tahap II;
daerah produksi mulai dari APP X maksimum di titik B sampai MPPX = 0 di titik C. Elastisitas produksi adalah antara nol dan satu, artinya jika input variabel ditambah sebesar satu persen maka total produksi akan bertambah sekitar nol sampai dengan satu persen. Pada tahap ini merupakan daerah produksi yang optimal.
Tahap III;
daerah produksi mulai dari MPPX = 0 di titik C dan seterusnya. Elastisitas produksi adalah sama dengan nol atau negatif, artinya input variabel ditambah berapapun jumlahnya maka total produksi akan semakin berkurang.
Dari ketiga tahap tersebut, maka tahap II adalah daerah produksi rasional yang menghasilkan total produksi yang optimal. Akan tetapi keadaan tersebut baru menggambarkan efisiensi teknis dan belum tentu terjadi efisiensi ekonomis. Untuk mencapai tahap efisiensi ekonomis harus dimasukkan unsur harga, baik harga produksi maupun harga hasil produksi atau nilai tambah output yang dihasilkan sama dengan nilai tambah input yang digunakan. Elastisitas produksi adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan dari input. Elastisitas produksi ditulis melalui rumus sebagai berikut (Soekartawi, 2003): Ep
Y / Y ; atau ........................................................................... (2.6) X / X
Ep
X Y ..................................................................................... (2.7) . Y X
Keterangan :
Ep ΔY ΔX Y X
= elastisitas produksi = perubahan output = perubahan input = Output = input
Karena ΔY / ΔX adalah MPP, maka besarnya Ep tergantung dari besar kecilnya MPP dari suatu input, misalnya input X. Produksi Marjinal (Marginal Productivity = MP) merupakan tambahan jumlah yang diproduksi karena ada tambahan salah satu faktor produksi yang ada. Produksi Marjinal ditulis melalui rumus sebagai berikut (Soekartawi, 2003): MP = P’ = ðP/ ðQ ……………………..…………………………….(2.8) Keterangan: MP = turunan pertama dari fungsi produksi
2.2.2 Biaya Produksi Menurut Soekartawi (2002) biaya produksi dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Biaya tetap (fixed cost), dan (b) Biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap, umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dalam jangka pendek. Biaya tetap total jumlahnya sama sepanjang proses produksi. Artinya walaupun produk yang diperoleh banyak atau sedikit jumlahnya akan tetap. Namun biaya tetap rata-rata tergantung pada besar kecilnya produksi. Di pihak lain biaya variabel atau biaya tidak tetap adalah merupakan biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh besar kecilnya produk yang dihasilkan. Cara menghitng biaya tetap (fixed cost) adalah sebagai berikut. n
FC X i Pxi ................................................................................ (2.9) i 1
Keterangan :
Xi(i=1,2,3,dst) : banyaknya input tetap ke-i PXi(i=1,2,3,dst) : harga dari input tetap ke-i Rumus 2.10 dapat digunakan untuk menghitung biaya total. Total biaya atau total cost (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (fixed cost / FC) dan biaya tidak tetap (variable cost / VC). Rumusnya adalah sebagai berikut (Soekartawi, 2002): TC = FC + VC ...................................................................................... (2.10)
2.2.3 Pengertian Pendapatan Kegiatan usaha tani bertujuan untuk memperoleh produksi pertanian, yang pada akhirnya akan dinilai dengan uang. Bagi petani pendapatan yang tinggi merupakan tujuan dari usaha taninya. Soekartawi dkk (1986) membagi pengertian pendapatan usaha tani menjadi tujuh. Dua di antaranya sebagai berikut: 1) Gross Farm Income, yaitu pendapatan kotor petani adalah perkalian antara nilai produksi (Value of Production) atau penerimaan kotor usaha tani (Gross Return) yang diperoleh dengan harga jual; 2) Net Farm Income, yaitu pendapatan bersih petani adalah selisih antara pendapatan kotor usaha tani dengan pengeluaran biaya usaha tani. Dari pengertian pendapatan usaha tani tersebut, secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi, 2002). TR = Y . Py .......................................................................................................................................... (2.11) Dimana: TR = total penerimaan Y = produksi asparagus Py = harga Y; dan Pd = TR – TC ................................................................................ (2.12)
Keterangan: Pd = pendapatan bersih TR = total penerimaan TC = total biaya Dalam perhitungan pendapatan usaha tani dikenal dua pendekatan yaitu pendekatan pendapatan (income approach) dan pendekatan keuntungan (profit approach). Pendekatan pendapatan diterapkan pada usaha tani yang subsistem sampai semi komersial. Pendekatan keuntungan umumnya diterapkan pada usaha tani yang komersial, di mana sudah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi secara keseluruhan. Menurut Nicholson (2001), untuk memperoleh laba yang paling maksimum, akan memilih tingkat output pada saat mana penerimaan marjinal (Marginal Revenue = MR) sama dengan biaya marjinal (Marginal Cost = MC), MR = dR/dQ = dC/dQ = MC ...................................................... (2.13)
2.2.4 Teori Tenaga Kerja Istilah employment dalam bahasa Inggris berasal dari kata kerja to employ yang berarti menggunakan dalam suatu proses atau usaha memberikan pekerjaan atau sumber penghidupan. Jadi employment berarti keadaan orang yang sedang mempunyai pekerjaan. Penggunaan istilah employment sehari-hari biasa dinyatakan dengan jumlah orang dan yang dimaksudkan ialah sejumlah orang yang ada dalam pekerjaan atau mempunyai pekerjaan. Pengertian ini mempunyai dua unsur yaitu lapangan atau kesempatan kerja dan orang yang dipekerjakan atau
yang melakukan pekerjaan tersebut. Jadi pengertian employment dalam bahasa Inggris sudah jelas yaitu kesempatan kerja yang sudah diduduki (Soeroto, 2006). Pengangguran dalam suatu negara adalah perbedaan diantara angkatan kerja dengan penggunaan tenaga kerja yang sebenarnya. Angkatan kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terdapat dalam suatu perekonomian pada suatu tertentu. Untuk menentukan angkatan kerja diperlukan dua informasi yaitu (1) jumlah penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun dan belum ingin bekerja (contoh adalah pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga dan pengangguran sukarela), dan (2) jumlah penduduk usia 15 tahun keatas yang masuk pasar kerja (yang sudah ingin bekerja) jumlah penduduk dalam golongan (2) dinamakan angkatan kerja dan penduduk golongan (1) dinamakan bukan angkatan kerja. Dengan demikian angkatan kerja dalam suatu periode tertentu dapat dihitung dengan mengurangi jumlah penduduk usia kerja dengan jumlah bukan angkatan kerja. Perbandingan diantara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja yang dinyatakan dalam persen dinamakan tingkat partisipasi angkatan kerja. Dalam prakteknya suatu negara dianggap sudah mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh atau kesempatan kerja penuh (Sukirno, 1994). Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 1969, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (pasal 1). Jadi pengertian tenaga kerja menurut ketentuan ini meliputi tenaga kerja yang bekerja di dalam maupun di luar hubungan kerja, dengan alat produksi utamanya dalam proses produksi adalah tenaganya sendiri, baik tenaga fisik maupun pikiran. Menurut Simanjuntak (2000) tenaga kerja (man power) mengandung dua pengertian. Pertama, tenaga kerja mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal ini tenaga kerja mencerminkan kualitas usaha yang diberikan oleh
seorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa.
Kedua, tenaga kerja
mencakup orang yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut, mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis, yaitu kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tenaga kerja atau man power terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Menurut Simanjuntak (2000) angkatan kerja dibedakan dalam tiga golongan seperti berikut. 1) Penganggur (open unemployment), yaitu orang yang sama sekali tidak bekerja
dan
berusaha mencari pekerjaan. 2) Setengah pengangguran (underemployment), yaitu mereka yang kurang dimanfaatkan dalam bekerja dilihat dari segi jam kerja, produktivitas kerja dan pendapatan. Setengah pengangguran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : a) setengah pengangguran kentara (visible underemployed) yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, dan b) setengah pengangguran tidak kentara (invisible underemployed) yaitu mereka yang produktivitas kerja dan pendapatannya rendah. c) Bekerja penuh, yaitu keadaan dimana bekerja sesuai dengan jam kerja yaitu 35 jam seminggu dan pendapatannya, produktivitas kerja tinggi. Menurut Manning, (1990) dalam Marhaeni dan Manuati, (2004), permintaan terhadap tenaga kerja selain dapat dilihat secara mikro yaitu dari segi perusahan juga dapat dilihat secara makro baik secara sektoral, jenis jabatan, dan status hubungan kerja. Permintaan tenaga kerja secara makro juga sering dikenal dengan istilah kesempatan kerja atau jumlah orang yang bekerja. Konsep bekerja atau kesempatan kerja mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Suatu negara dianggap baru mulai mendekati titik balik atau turning point dalam pembangunan
apabila jumlah tenaga kerja disektor pertanian mulai turun secara absolut.Lebih lanjut dikatakan bahwa pembangunan biasanya disertai dengan perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor manufaktur dan sektor jasa, serta keberhasilan strategi pembangunan biasanya sering dikaitkan dengan kecepatan pertumbuhan sektor manufaktur yang dianggap berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas pekerja.
2.2.5 Pengaruh luas lahan terhadap pendapatan petani Kebutuhan pangan dunia selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Luas lahan pertanian yang ada pada saat ini dirasakan masih belum memadai untuk pemenuhan target tersebut. Karena itulah diperlukan perluasan lahan. Permasalahan yang ada adalah petani seringkali tidak memiliki biaya yang cukup untuk perluasan lahan. Luas lahan garapan yang ada pada saat ini saja telah membuat petani mengeluarkan banyak biaya produksi. Karena itulah banyak petani menyiasati dengan memaksimalkan lahan yang ada dengan mengefisienkan pembiayaan produksinya (Fuglie, 2010) Ahishakiye (2011) yang meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas pertanian di Burundi menyebutkan bahwa luas lahan merupakan faktor penentu pada besaran biaya yang dikeluarkan oleh petani. Semakin luas lahan garapan maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan oleh petani.Pertimbangan luas lahan ini juga didukung dengan tingkat kesulitan pengolahan lahan, seperti kontur lahan yang berbukit atau berdinding curam sehingga rawan longsor. Semakin luas lahan maka kesulitan pada pengolahan lahan akan semakin besar dan berdampak pada besarnya biaya produksi.
2.2.6 Pengaruh kualitas tanah terhadap pendapatan petani
Tanah merupakan media dari berbagai jenis tanaman pangan. Tanah sebagai sumber daya alam yang terperbaharui bukan berarti tidak dapat mengalami kualitas. Zhang (2011) yang melakukan penelitian di Cina menemukan bahwa kualitas tanah mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Karena itulah Zhang menyarankan agar dapat tercipta sebuah sistem yang mengintegerasikan antara konservasi tanah dengan pengelolaan tanaman pangan. Upaya konservasi ini perlu dilakukan untuk keberlanjutan usaha pertanian di Cina, namun tetap dengan mengedepankan efisiensi dalam konservasi tanah tersebut. Efisiensi menjadi sangat penting karena mengingat beban biaya konservasi tidaklah sedikit. Killham (2011) menyatakan bahwa konservasi tanah untuk menjaga kualitas tanah dari waktu ke waktu memerlukan berbagai inovasi. Hal ini terjadi mengingat penurunan kualitas tanah dari waktu ke waktu akan semakin meningkat. Kondisi ini berdampak pada penerapan inovasi baru dengan tekonologi maju yang tentunya akan memakan banyak biaya. Karena itulah upaya konservasi ini perlu didukung dengan tindakan manajemen yang tepat sehingga selain dapat menjaga kualitas tanah, juga akan dapat menghemat biaya.
2.2.7 Pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap pendapatan petani Pertanian merupakan sumber mata pencaharian bagi banyak petani baik sebagai pemilik lahan maupun sebagai penggarap. Pemilik lahan berperan untuk memperhitungkan gaji bagi para petani penggarap lahannya. Gaji bagi petani merupakan imbal balik dari pemakaian faktor produksi yang berupa sumber daya manusia. Karena itulah semakin besar tenaga kerja yang digunakan maka semakin besar biaya produksi yang dikeluarkan (Dharmasiri, 2010). Rajović (2012) yang meneliti produktivitas pertanian di North-Eastern Montenegro menyebutkan bahwa skala produksi pertanian sangat ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh pemilik lahan. Semakin besar jumlah tenaga kerja yang dilibatkan tentunya
akan semakin besar juga biaya gaji yang harus dikeluarkan oleh pemilik lahan. Karena itulah penggunaan mesin khususnya traktor menjadi pilihan yang lebih ekonomis bila dibandingkan dengan memperkerjakan banyak tenaga kerja dalam proses produksi pertanian.
2.2.8 Pengaruh luas lahan terhadap produktivitas pertanian Lahan sebagai tempat tumbuh kembangnya berbagai macam produk pertanian tentunya mempunyai peran yang sangat penting bagi pertumbuhan jumlah produktivitas pertanian. Hasil penelitian Olujenyo (2005) di Nigeria menunjukkan bahwa petani yang mempunyai lahan yang lebih luas mampu menghasilkan jumlah produksi yang lebih besar dibandingkan petani yang memiliki lahan lebih sempit. Pertumbuhan produktivitas di Nigeria juga sangat dipengaruhi oleh luas kepemilikan lahan dari masing-masing petani. Hasil penelitian yang dilakukan Masood (2012) di Pakistan menunjukkan hasil yang sedikit berbeda dengan hasil penelitian Olujenyo (2005). Hasil penelitian Masood menunjukkan bahwa luas lahan dapat saja berpengaruh positif dan signifikan terhadappertumbuhan jumlah produktivitas pertanian. Namun dalam jangka panjang pengaruh positif tersebut dapat saja tidak berpengaruh atau bahkan berpengaruh negatifmenurunkan jumlah produktivitas pertanian. Hal ini dapat saja terjadi jika pemanfaatan lahan tidak ditunjang oleh sebuah metode pertanian yang dapat menjamin keberlanjutan fungsi biologis tanah. Artinya pemanfaatan lahan harus diimbangi dengan tindakan konservasi lahan. Saragih (2013) yang meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan produksi Kopi Arabica di Sumatera Utara menyatakan bahwa luas lahan yang digunakan berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi kopi petani. Namun pada beberapa kondisi menunjukkan bahwa luas lahan tidak berpengaruh terhadap jumlah biji kopi berkualitas yang dihasilkan dari setiap lahan yang ada.
2.2.9 Pengaruh kualitas tanah terhadap produktivitas pertanian Tanah merupakan salah satu komponen yang paling penting dari produksi pertanian dan dapat memiliki pengaruh dominan pada hasil panen dan kualitas. Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa petani akan selalu memperhitungkan lebih dahulu kualitas tanahnya untuk menentukan jenis tanaman yang sesuai maupun teknologi pengolahan tanah yang tepat. Hal tersebut hingga era digital ini masih tetap dilakukan, apalagi pada saat ini penentuan kualitas tanah telah menggunakan sensor satelit. Tujuannya selain kualitas hasil panen, juga pada jumlah produksi yang melimpah (Yufeng, 2011). Yang (2012) menyebutkan bahwa semua tanah mempunyai kualitas yang baik. Baik atau buruknya tanah lebih didefinisikan pada kesesuaian tanah untuk memediasi tumbuh kembangnya sebuah varietas tanaman pangan. Satu tipe tanah belum tentu sesuai untuk ditanami semua jenis varietas tanaman pangan. Namun bila dilihat dari kemampuan tanah untuk memediasi jumlah produksi pangan maka dapat dinyatakan bahwa semua tipe tanah akan selalu mengalami penurunan kualitas. Penurunan kualitas tanah inilah yang berpengaruh besar terhadap naik atau turunnya jumlah produksi pertanian.
2.2.10 Pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap produktivitas pertanian Tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi tentunya berpengaruh terhadap jumlah produktivitas pertanian. Namun demikian jumlah tenaga kerja yang dilibatkan dalam usaha pertanian perlu mempertimbangkan beberapa faktor. Faktor yang dimaksud adalah sektor hulu dan hilir. Sektor hulu merupakan sektor pertanian yang memproduksi kebutuhan utama masyarakat di suatu kawasan. Sektor hilir adalah sektor yang menghasilkan produk-produk yang menjadi unggulan sebuah kawasan. Kedua sektor ini perlu dipertimbangkan agar jumlah tenaga
kerja yang dilibatkan dapat lebih efisien dan efektif dalam mencapai target produktivitas (Shively, 2006). Chaudry (2009) yang melakukan penelitian di Pakistan menyatakan bahwa pada era industrialisasi ini juga berimbas pada usaha pertanian. Industrialisasi komoditas pertanian bukan hanya pada penambahan mesin ataupun modal. Jumlah tenaga kerja yang memadai jumlahnya dan keterampilan yang cukup tentunya akan mendorong peningkatan produktivitas pertanian. 2.3 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Olujenyo tahun 2005 melakukan penelitian pada produktivitas pertanian di Nigeria. Faktorfaktor yang diteliti sebagai variabel yang mempengaruhi produktivitas pertanian adalah umur petani, luas lahan, pendidikan petani, gender, curahan jam kerja, biaya produksi dan musim. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua variabel berpengaruh signifikan secara simultan dan variabel curahan jam kerja sebagai variabel yang berpengaruh dominan. Shively tahun 2006 melakukan penelitian pada skema distribusi tenaga kerja pada dua sektor pertanian yaitu sektor hulu dan hilir di Palawa Filipina. Distribusi tenaga kerja terbukti lebih besar pada sektor hulu dibandingkan sektor hilir. Namun demikian bila terkait dengan keterampilan dan gaji tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Chaudry tahun 2009 melakukan penelitian terhadap elastisitas faktor produksi yang mempengaruhi produktivitas pertanian di Pakistan. Faktor produksi yang diteliti adalah modal dan tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua faktor berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas pertanian dan kedua faktor berada pada posisi increasing. Dharmasiri tahun 2010 melakukan perhitungan Indeks Rata-rata Produktivitas (Average Productivity Index – API) pada produksi pertanian di Sri Lanka. Perhitungan API ini
memperhtiungkan faktor geografi dan sosio geografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi geografi tertentu menjadi faktor pembeda dalam menghasilkan produk pertanian. Fuglie tahun 2010 melakukan kajian kualitatif pada seluruh faktor yang mempengaruhi produktivitas
(Total Factor Productivity - TFP)
pertanian secara global. Hasil kajian
merekomendasikan peningkatan kualitas maupun kuantitas faktor yang mempengaruhi produktivitas pertanian. Tujuannya selain untuk menciptakan ketahanan pangan, juga untuk memacu pertumbuhan perekonomian setiap negara di dunia ini dengan keunggulan produk pertanian yang menjadi ciri khasnya. Ahishakiye tahun 2011 mengkaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan di Burundi. Variabel yang digunakan adalah jumlah tanggungan keluarga, penggunaan pupuk kimia, penggunaan pupuk, pengomposan, pemanfaatan mulsa, pemanfaatan irigasi rawa, fasilitas penahan erosi, keikutsertaan dalam pelatihan, luas lahan dan akses permodalan. Hasil uji menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga, luas lahan dan kemudahan akses permodalan merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya ketahanan pangan di Burundi. Faruq tahun 2011 yang meneliti tentang produktivitas pertanian yang dapat mempengaruhi pertumbuhan manufaktur di negara-negara yang ada di Asia.
Hasil uji
menunjukkan bahwa peningkatan investasi modal fisik di sektor manufaktur memberikan kontribusi untuk peningkatan produktivitas produksi. Pasar bebas dan investasi luar negeri terbukti mendorong pertumbuhan produksi pertanian yang memicu pertumbuhan manufaktur pada banyak negara di Asia. Killham tahun 2011 meneliti tentang penerapan integrated soil management (ISM) pada pertanian secara global. Metode ISM ini menekankan pada efisiensi pengolaan tanah untuk menekan biaya produksi pertanian dan efektivitas untuk meningkatkan jumlah maupun kualitas
produk pertanian. Selain itu Yufeng tahun 2011 meneliti tentang peran penginderaan jarak jauh untuk menentukan kualitas tanah yang digunakan sebagai lahan pertanian. Penelitian ini menekankan tentang arti penting kualitas tanah bagi pertanian pada jenis tanaman apapun. Zhang tahun 2011 mengkaji tentang penerapan metode integrated soil–crop system management (ISSM) untuk meningkatkan produksi padi. Metode ini diterapkan untuk mengkonservasi tanah sehingga menjamin ketersediaan air. Dampak bagi tanah sendiri adalah terjaminnya kualitas tanah secara berkelanjutan, seddangkan Masood tahun 2012 mengkaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi pertanian sehingga berdampak pada status sosial dari petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah, minimnya pengetahuan tentang teknik pertanian, sumber daya air yang terbatas, kondisi cuaca tak menentu, kebijakan pemerintah yang buruk, bencana alam, kurangnya modal dan kondisi pertanian yang miskin merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi pertanian. Rajović tahun 2012 mengkaji secara kualitatif tentang intensifikasi produksi pertanian di Montenegro. Intensifikasi produksi pertanian dapat dilakukan dengan penerapan teknologi tepat guna dan penambahan modal bagi petani. Namun intensifikasi ini juga tidak akan berhasil bila tidak ada dukungan dari pemerintah. Dukungan yang dimaksud adalah kebijakan yang melindungi sektor pertanian hingga produtivitas komoditas pertanian dapat ditingkatkan. Yang tahun 2012 meneliti tentang penerapan Beneficial Management Practise (BMP) bagi pengelolaan tanah dan air dalam konteks pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bila BMP ini dapat diterapkan dengan baik maka akan dapat menjaga kualitas tanah. Efisiensi dan efektivitas BMP ini akan mengurangi biaya pengelolaan lahan dan tentunya akan mampu meningkatkan jumlah produksi tanaman pangan.
Saragih tahun 2013 meneliti tentang pengaruh faktor sosial ekonomi dan ekologi pada produksi kopi Arabika di Sumatera Utara. Hasil uji menunjukkan peningkatan produksi kopi arabika dapat dilakukan dengan strategi intensifikasi, melalui: peningkatan pupuk yang cocok, fasilitasi kredit bagi petani kopi, optimasi penggunaan lahan (tumpang sari atau multistrata system), mengoptimalkan tenaga kerja keluarga yang digunakan, penerapan praktek pertanian yang baik, yaitu pohon rindang, pupuk organik, pemangkasan, konservasi lahan, dan pengendalian hama biologis CBB. Strategi ekstensifikasi dapat dilakukan jika upaya intensifikasi telah menunjukkan peningkatan produksi. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Komala Dewi dan Sudiartini (1999) yang berjudul Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani Dalam Sistem Penjualan Sayuran, mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi petani dalam penjualan sayuran di Desa Candikuning Kabupaten Tabanan. Analisis menggunakan regresi logistik binomial, menyimpulkan bahwa dari tujuh faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam sistem penjualan sayuran (sistem tebasan atau tidak) hanya tiga faktor yang berpengaruh nyata, yaitu pendapatan usahatani, kebutuhan uang tunai sebelum panen dan resiko harga, sedangkan umur, lama pendidikan, ketersediaan tenaga kerja keluarga dan intensitas tanam tidak berpengaruh nyata. Peluang petani untuk menebaskan lebih tinggi daripada tidak menebaskan apabila pendapatan usahatani rendah, kebutuhan uang tunai sebelum panen tinggi dan resiko harga tinggi. Yanuar Pribadi, dkk. (2002) dengan penelitian yang berjudul Analisis Produksi dan Faktor Penentuan Adopsi Pola Tanam Sawit Dupa Pada Usahatani Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan, menyimpulkan bahwa adopsi teknologi sawit dupa dipengaruhi oleh biaya modal, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan petani, pendapatan dari usahatani padi, luas
areal tanaman padi, resiko dari penggunaan varietas tinggi dan jarak antara tempat tinggal petani dengan lahan sawahnya. Menurut Yatno, et al. (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Motivasi Petani Samin Dalam Menanam Kacang Tanah (Studi Kasus di Dukuh Tanduran Desa Kemantren Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora), menyimpulkan bahwa motivasi petani Samin dalam menanam kacang tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi petani responden. Faktor-faktor sosial
ekonomi petani
dalam
penelitiannya
terdiri
dari
umur,
tingkat
pendidikan,
pendapatan rumah tangga, dan tingkat kekosmopolitan, yaitu kesadaran adanya perbedaan dan menyadari bahwa hidup tidak hanya menjadi bagian dari masyarakat di negara tempat kita tinggal, namun juga menjadi bagian dari masyarakat dunia. Terdapat hubungan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen antara umur dengan tingkat motivasi ekonomi, artinya semakin bertambahnya umur seseorang maka semakin tinggi tingkat motivasi ekonomi seseorang. Antara tingkat pendidikan dengan tingkat motivasi ekonomi terdapat hubungan yang nyata pada taraf kepercayaan 95 persen. Antara tingkat pendapatan dengan motivasi ekonomi mempunyai hubungan yang nyata, maksudnya semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka semakin tinggi pula motivasi ekonominya. Sumaryanto
(2007)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi Keputusan Petani Menerapkan Pola Tanam Diversifikasi : Kasus di Wilayah Persawahan
Irigasi
Teknis
Berantas.
Penelitian
ini
menggunakan regresi
logistik
multinomial. Hasil penelian ini menyimpulkan bahwa faktor- faktor yang berpengaruh dalam penerapan pola tanam diversifikasi adalah jumlah anggota keluarga yang bekerja di usahatani, kemampuan permodalan, peranan usahatani dalam menopang ekonomi keluarga, tingkat kelangkaan air irigasi pada lahan petani dan tingkat kepemilikan pompa irigasi.
Fauzy (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Strategik Pengembangan Agribisnis di Kota Depok dengan menggunakan metode AHP (Analytical Herarchi Proces) menyimpukan bahwa peluang utama pengembangan komoditas unggulan di Kota Depok adalah faktor lokasi, karena kota ini dekat dengan ibukota Jakarta. Dipihak lain kelemahannya adalah terjadinya alih fungsi lahan menyebabkan komoditas yang sebelumnya unggul akan menjadi tidak unggul. Yusnidar
(2009)
penelitiannya
yang
berjudul
Motivasi
Masyarakat
Membudidayakan Tanaman Hias di Kota Surakarta, menyimpulkan
Dalam
bahwa terdapat
hubungan yang nyata antara karakteristik pribadi, lingkungan ekonomi dengan motivasi masyarakat menanam tanaman hias di Kota Surakarta. Dalam penelitian ini variabel bebas yaitu pelatihan, pendidikan, umur, luas lahan, jumlah tenaga kerja dan modal, dengan variabel terikat produktivitas asparagus petani asparagus, penelitian asparagus yang telah dilakukan oleh Hendra (2006) dengan topik Analisis Pendapatan dan Efisiensi Usaha Tani Asparagus di Mojokerto. Penelitian tentang usahatani asparagus juga telah dilakukan di Desa Kedunggede Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto bertujuan untuk mengetahui tingkat pendapatan ushatani asparagus, efisiensi usahatani asparagus dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani asparagus yang meliputi luas lahan, bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja. Hipotesis penelitian diduga usahatani asparagus menguntungkan, efisien untuk diusahakan dan faktor-faktor produksi seperti luas lahan, bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja berpengaruh terhadap pendapatan usahatani asparagus. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan daerah tersebut merupakan sentra usahatani asparagus di Mojokerto. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan metode sensus atau sampel total. Metode sensus digunakan apabila jumlah populasi yang diambil relatif kecil, dalam hal ini sampel yang diambil sekitar petani responden. Analisa data yang digunakan adalah analisa pendapatan dan analisa efisiensi usahatani. Analisa pendapatan digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani asparagus dan analisa efisiensi usahatani digunakan untuk mengetahui kelayakan dari usahatani asparagus di Mojokerto. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani asparagus (Y) menggunakan analisa regresi linier berganda, dimana variabel independen terdiri dari luas lahan, bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja. Berdasarkan hasil analisis, diketahui rata-rata penerimaan yang diterima dalam satu musim sebesar Rp. 43.752.508,36,- perhektar dan rata-rata pendapatan yang diterima dalam satu musim sebesar Rp. 25.621.374,03 perhektar. Pada usahatani asparagus diperoleh R/C ratio rata-rata sebesar 2,4 dan B/C ratio rata-rata sebesar 1,41 sehingga usahatani asparagus di Desa Kedunggede Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto dapat dikatakan menguntungkan dan layak diusahakan. Dari hasil analisis juga diketahui bahwa penggunaan faktor produksi yang berupa luas lahan, bibit dan pestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat pendapatan petani asparagus, hal ini terbukti dari nilai thitung ≥ t tabel pada taraf kepercayaan 95 persen, dengan demikian Ho ditolak dan menerima Hi sehingga secara nyata luas lahan, bibit, dan pestisida mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani asparagus. Sedangkan faktor produksi berupa pupuk dan tenaga kerja secara nyata tidak berpengaruh terhadap pendapatan usahatani asparagus di karenakan nilai t-hitungnya lebih kecil dari nilai t tabel.