BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Pertumbuhan Ekonomi Regional Pola pertumbuhan ekonomi antar regional tidak sama dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini disebabkan oleh analisa pertumbuhan ekonomi regional. Namun, kedua ilmu tersebut mempunyai ciri yang sama yaitu memberi tekanan pada unsur waktu yang merupakan faktor utama dalam analisis pertumbuhan ekonomi. Teori ekonomi regional memberikan juga pada unsur ruang, maka beberapa faktor utama yang menjadi perhatian juga berbeda dengan yang dibahas pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pada pertumbuhan ekonomi nasional faktor-faktornya adalah modal, lapangan pekerjaan dan kemajuan teknologi yang bisa muncul dalam berbagai bentuk. Sedangkan pada teori pertumbuhan ekonomi regional beberapa faktor yang mendapat perhatian utama adalah keuntungan lokasi, aglomerasi migrasi dan arus lalulintas modal antar wilayah. Pendapat lain dikemukakan oleh Glasson (1977), bahwa pertumbuhan regional ditentukan oleh faktor endogen ataupun exogen yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam daerah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor di luar daerah atau kombinasi dari keduanya. Adisasmita (2008) berpendapat bahwa pertumbuhan dari suatu regional
8
dapat dilihat dari hubungan struktural (keterkaitan antar sektor) dan hubungan fungsional (interaksi antar sub sistem dalam suatu wilayah). Sedangkan pertumbuhan eksternal dari suatu regional yaitu keterkaitan suatu regional dengan regional lain yang berada di luar regional tersebut. 2. Investasi Teori ekonomi mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barangbarang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan. Investasi yang lazim disebut dengan istilah penanaman modal atau pembentukan modal, menurut Jhingan (2002), investasi atau pembentukan modal merupakan jalan keluar utama dari masalah negara terbelakang ataupun berkembang dan kunci utama menuju pembangunan ekonomi. Investasi dibedakan atas dua hal yaitu
investasi otonom
(otonomous investment) dan investasi terpengaruh (induced investment). Investasi otonom adidefinisikan investasi yang tidak dipengaruhi oleh pendapatan nasional, artinya tinggi rendahnya pendapatan nasional tidak menentukan jumlah investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Jenis investasi ini umumnya dilakukan oleh pemerintah dengan maksud sebagai landasan pertumbuhan ekonomi berikutnya, misalnya investasi untuk pembuatan jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya.
9
Sedangkan
yang dimaksud dengan adalah
investasi
yang
terpengaruh investasi yang terpengaruhi oleh pendapatan nasional, artinya pendapatan nasional yang tinggi akan
memperbesar pendapatan
masyarakat dan selanjutnya pendapatan masyarakat yang tinggi tersebut akan memperbesar permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa. Maka keuntungan perusahaan akan bertambah tinggi dan ini akan mendorong dilakukannya lebih banyak investasi. Menurut Irawan dan Suparmoko (2010), ada beberapa teori yang dapat menjelaskan seberapa besar tingkat investasi yang dapat diusahakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu negara ataupun wilayah, yaitu : a. Teori Usaha Perlahan-lahan (Gradualist Theory) Teori ini berpendapat jika negara yang masih terbelakang disarankan untuk tidak mengadakan proses industrialisasi terlalu dini, sebab akan terjadi resko yang berat. Kapital yang terlalu banyak membuat daya serap perekonomian tidak mampu untuk menyerapnya. Pemilihan teknik didaalam produksi dan investasi harus didasarkan pada biayabiaya
relatif
daripada
faktor-faktor
produksi.
Kegiatan
yang
membutuhkan kapital yang banyak akan diusahakan bila keuntungan melebihi dari kegiatan yang sifatnya padat karya (labor intensive). b. Teori Dorongan Besar (Big Push) Teori ini secara singkat mengatakan bahwa hanya ada sedikit usaha untuk menaikkan pendapatan, hal ini akan mendorong pertambahan
10
penduduk dan menghambat kenaikan pendapatan perkapita. Oleh karena itu, adanya suatu usaha harus dilaksanakan secara maksimal untuk mengatasi perubahan penduduk. Implikasinya adalah diadakan investasi
secara
umum
untuk
mengurangi
kemiskinan,
memaksimumkan output dengan menggunakan strategi produktif yang membutuhkan kapital yang besar. Fokus pada investasi yang selanjutnya menghasilkan peralatan kapital untuk mempertahankan pendapatan dan pertumbuhan output. Konsumsi sebaliknya ditekan, sehingga investasi dapat terus ada. Titik berat dari skala ekonomi adalah produksi masa (large scale production) dan kapital. c. Teori Pembangunan Seimbang (Balanced Growth) Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Rosenstein-Rodan, yang menitikberatkan bahwa dalam perekonomian ada kemungkinan untuk berkembang apabila ada perimbangan yang baik antara sektor-sektor yang ada di dalam perekonomian. Dengan pertumbuhan yang seimbang (balanced growth) tersebut diartikan sebagai perkembangan ekonomi tidak akan berhasil apabila investasi hanya pada “titik pertumbuhan” (growing point) tertentu atau sektor-sektor yang sedang berkembang, sebab sektor-sektor saling bersimbiosis. Investasi harus menyeluruh pada semua sektor sehingga memperluas pasar antara satu sektor dengan sektor lainnya. Semaakin erat hubungan saling ketergantungan antar berbagai sektor maka pasar akan semakin kuat. Untuk
11
mewujudkan teori ini tentu saja harus didukung oleh investasi yang besar. d. Teori Pembangunan Tidak Seimbang (Unbalanced Growth) Teori ini dikemukakan oleh Hirschman yang pada awalnya teori ini mengkritik teori pembangunan seimbang. Menurutnya masyarakat yang masih rendah tingkat pendapatannya tidak dapat mengubah sistem perekonomian tradisional menjadi sistem perekonomian modern. Disamping itu, modal yang besar tidak dapat disediakan oleh negara yang masih berkembang. Dengan tidak adanya keseimbangan akan mendorong proses pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan biaya-biaya ekspansi dapat diminimumkan. Apabila satu sektor masih rendah outputnya maka akan ada permintaan di sektor lain dan akan ada keuntungan normal pada sektor yang outputnya rendah. 3. Growth Pole Beberapa pakar telah mendefinisikan tentang pusat petumbuhan, dimana MCCrone (1969) dalam Gore (1985) menjelaskan bahwa suatu pusat pertumbuhan terdiri dari suatu kompleks industri yang saling berkaitan dan mendapat keunggulan ekonomi dari keuntungan lokasi. Boudeville dalam Gore (1985) mendefinisikan kutub pertumbuhan regional sebagai sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut keseluruh daerah pengaruhnya. Konsepkonsep yang dikemukakan di dalam teori pusat pertumbuhan antara lain:
12
a. Konsep leading industries dan perusahaan propulsive Dinyatakan
pada
pusat
kutub
pertumbuhan
terdapat
perusahaan-perusahaan besar yang bersifat propulsif yaitu perusahaan yang relatif besar, menimbulkan dorongan dorongan pertumbuhan
nyata
terhadap
lingkungannya,
mempunyai
kemampuan inovasi tinggi, dan termasuk ke dalam industry industri yang cepat berkembang. Dalam konsep ini leading industries yaitu: pertama relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang mendorong iklim pertumbuhan kondusif ke dalam suatu daerah permintaan terhadap produknya mempunyai elastisitas pendapatan yang tinggi dan biasanya dijual ke pasar-pasar nasional. Kedua mempunyai kaitan-kaitan antara industri yang kuat dengan sektor-sektor lainnya sehingga terbentuk forward linkages dan backward linkages. b. Konsep polarisasi. Konsep tersebut diasumsikan bahwa pertumbuhan leading industries yang sangat cepat (propulsive growth) akan mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke kutub pertumbuhan. c. Konsep spread effect Konsep ini mengemukakan bahwa pada suatu waktu kualitas propulsive dinamis dari kutub pertumbuhan akan memencar dan memasuki ruang-ruang di sekitarnya (Spread effect atau
13
trickling down effect). Dengan kata lain bersifat mendorong wilayah belakangnya, yang berarti antara kota dan wilayah belakangnya
terdapat
hubungan
yang
harmonis.
Kota
membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat mengembangkan diri. Apabila terdapat hubungan yang harmonis dengan wilayah belakangnya, maka otomatis kota itu akan berfungsi untuk mendorong wilayah belakangnya. Jadi agar sesuatu konsentrasi kegiatan ekonomi dapat dianggap pusat pertumbuhan, apabila konsentrasi itu dapat mempercepat pertumbuhanekonomi baik ke dalam (diantara berbagai sektor didalam kota) maupun keluar (ke wilayah belakangnya). Kini paradigma baru pembagunan daerah telah berubah seirinng sengan perkembangan industri-industri yang ada di daerah-daerah beberapa komponen seperti kesempatan kerja, basis pembangunan, asetaset lokasi dan sumber daya pengetahuan telah berubah dari konsep lama ke konsep baru seperti yang dijelaskan oleh Tabel 2.1.
14
Tabel 2.1 Perubahan paradigma pembangunan KOMPONEN
KONSEP LAMA
KONSEP BARU
Kesempatan Kerja
Semakin banyak perusahaan = semakin banyak peluang kerja
Perusahaan harus mengembangkan pekerjaan yang sesuai “kondisi” penduduk daerah
Basis Pembangunan
Pengembangan sektor ekonomi
Pengembangan lembaga-lembaga ekonomi baru
Aset-aset Lokasi
Keunggulan kompratif didasarkan pada aset fisik
Keunggulan kompetitif didasarkan pada kualitas lingkungan
Sumberdaya Pengetahuan
Ketersediaan angkatan kerja
Pengetahuan sebagai pembangkit ekonomi
Sumber : Todaro, Michael P., dan Smith, Stephen C (2006) Pembangunan Ekonomi, Erlangga, Jakarta.
4. Area Terpadu Area Terpadu atau yang lebih sering disebut sebagai Mixed Use Area adalah penggunaan campuran berbagai tata guna lahan atau fungsi dalam bangunan (Procos, 1976), Namun fungsi campuran ini bila dikaitkan dengan bangunan disebut sebagai Mixed Use atau area terpadu. Mixed Use Building adalah salah satu usaha menyatukan berbagai aktivitas dan fungsi yang berada di bagian area suatu kota ( luas area terbatas, harga tanah mahal, letak strategis, nilai ekonomi tinggi) sehingga terjadi satu struktur yang kompleks dimana semua kegunaan dan fasilitas saling berkaitan menjadi sebuah kesatuan yang kuat. Sedangkan yang dimaksud dengan single use area adalah wujud fisik dari hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam 15
tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
5. Dampak Dampak akan terjadi apabila satu aktivitas pelaku ekonomi yang terdiri dari produksi dan konsumsi mempengaruhi kesejahteraan pelaku ekonomi lain dan peristiwa yang ada terjadi di luar mekanisme pasar. Sehingga ketika terjadi dampak, maka private choice oleh konsumen dan produsen dalam private markets umumnya tidak menghasilkan sesuatu yang secara ekonomi efisien (Fisher : 1996) Dampak memiliki dua macam bentuk, yaitu dampak positif dan negatif. Dampak negatif (biaya eksternal) adalah biaya terhadap pihak ketiga selain pembeli dan penjual pada suatu macam barang yang tidak direfleksikan dalam harga pasar. Ketika terjadi dampak yang negatif, harga barang atau jasa tidak menggambarkan biaya sosial tambahan (marginal sosial cost) secara sempurna pada sumber daya yang dialokasikan dalam produksi. Baik pembeli maupun penjual barang tidak memperhatikan biaya- biaya ini pada pihak ketiga.Sedangkan Dampak positif adalah keuntungan terhadap pihak ketiga selain penjual atau pembeli barang atau jasa yang tidak direfleksikan dalam harga. Ketika terjadi dampak positif, maka harga tidak sama dengan keuntungan sosial tambahan (marginal sosial benefit) dari barang dan jasa yang ada. Dapat disimpulkan bahwa
16
yang dimaksud dengan eksternalitsa adalah bila tindakan individu mempunyai dampak terhadap individu yang lainnya/golongan tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor-faktor produksi.
6.Disparitas Menurut Abipraja (2002), disparitas di dalam pendapatan adalah kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi pada awal pembangunan. Pada umumnya kesenjangan/disparitas antar daerah yang ada di Negara Indonesia diikuti dengan disparitas pendapatan antar daerah. Akibat dari ketimpangan maka timbul permasalahan yaitu ketimpangan yang ekstrim akan menyebabkan inefisiensi didalam ekonomi.
7. Ekspektasi Rasional Teori ekspektasi rasional (rational expectations) dikemukakan oleh John F. Muth dalam tulisannya yang berjudul “Rational Expectations and the Theory of Price Movements”. Teori tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Robert E. Lucas Jr. untuk memodelkan bagaimana agen ekonomi melakukan peramalan di masa yang akan datang. Sukirno (2006) menjelaskan ada 2 asumsi yang menjadi dasar teori ekspektasi rasional (rational expectations). Pertama, teori ini menganggap bahwa semua pelaku kegiatan ekonomi bertindak secara rasional, mengetahui seluk beluk kegiatan ekonomi dan mempunyai informasi yang
17
lengkap mengenai peristiwa-peristiwa dalam perekonomian. Keadaan yang berlaku di masa depan dapat diramalkan, selanjutnya dengan pemikiran rasional dapat menentukan reaksi terbaik terhadap perubahan yang diramalkan akan berlaku. Akibat dari asumsi ini, teori ekspektasi rasional mengembangkan analisis dari prinsip-prinsip yang terdapat dalam teori mikroekonomi yang juga bertitik tolak dari anggapan bahwa pembeli, produsen, dan pemilik faktor produksi bertindak secara rasional dalam menjalankan kegiatannya. Asumsi kedua adalah semua jenis pasar beroperasi secara efisien dan dapat dengan cepat membuat penyesuaian-penyesuaian ke arah perubahan yang berlaku. Asumsi kedua ini sesuai dengan pendapat ahli-ahli ekonomi klasik, dan merupakan salah satu alasan yang menyebabkan teori ini dinamakan new classical economics.
8. Tenaga Kerja dan Pasar Tenaga Kerja Menurut Simanjuntak (1998), Tenaga kerja atau manpower adalah cakupan dari penduduk yang sudah bekerjaatau yang sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Pengertian tenagakerja sendiri dan bukan tenaga kerja secara praktis dibedakan dari batas umur. Tujuan dari batas umur tersebut supaya definisi yang diberikan sedapat mungkin dapat menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Setiap negara dapat
18
memilih batas umur yang berbeda karena situasi tenagakerja masingmasing. Misalnya pada negara India, menggunakan batasan umur 14 sampai dengan 60 tahun. Jadi di negara India tenaga kerja sendiri adalah penduduk yang berumur 14 sampai dengan 60 rtahun sedangkan orang yang berumur di bawah 14 atau di atas 60 adalah bukan tenaga kerja. Akan tetapi di negara Amerika awalnya menggunakan batasan umur minumum 14 tahun tanpa batas umur maksimum. Kemudian aturan tersebut diubah pada tahun 1967 batas umur dinaikan menjadi 16 tahun. Jadi di tenagakerja di negara Amerika Serikat sendiri Sedangkan di Indonesia sendiri, Menurut Undang-Undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah menetapkan bahwa Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenagakerja atau manpower terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja atau labor force terdiri dari (1) golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan, dan (2) golongan yang bekerja. Sedangkan yang termasuk didalam kelompok bukan angkatan kerja terdiri atas (1) golongan lain-lain atau penerima pendapatan, (2) golongan bersekolah, (3) golongan yang mengurus rumah tangga. Ketiga golongan dalam kelompok angkatan kerja dapat sewaktu-waktu menawarkan
19
jasanya berupa tenaga dan pikiran untuk bekerja. Oleh sebab itu, kelompok ini sering juga dinamakan sebagai potential lobor force. Besarnya penyediaan atau supply tenagakerja didalam masyarakat adalah jumlah individu yang menawarkan jasanya untuk proses produksi. Jumlah individu yang bekerja tergantung dari seberapa besar permintaaan atau demand dalam masyarakat. Kegiatan ekonomi dan tingkat upah dapat mempengaruhi permintaan dalam bekerja. Proses terjadinya penempatan atau hubungan kerja melalui penyediaan dan permintaan tenagakerja disebur pasar tenagakerja.
9. Penyerapan Tenagakerja dan Elastisitas Tenagakerja Menurut Simanjuntak (1998) perbedaan laju pertumbuhan di setiap sektor sebuah negara dapat mengakibatkan dua hal. Pertama, terdapat perbedaan laju peningkatan produktivitas kerja di masing-masingf sektor. Yang kedua, akan terjadi perubahan sektoral secara berangsur-angsur, baik secara penyerapan tenagakerja maupun dalam kontribusinya terhadap pendapatan nasional. Perbedaan laju pertumbuhan pendapatan nasional dan kesemptana kerja tersebut juga dapat menunjukkan perbedaan elastisitas masingmasing sektor untuk penyerapan tenagakerja. Elastisitas kesempatan kerja adalah perbandingan antara laju pertumbuhan kesempatan kerja dengan laju pertumbuhan ekonomi. Konsep elastisitas dapat digunakan untuk memperkirakan kebutuhan tenaga kerja untuk suatu periode tertentu, baik
20
untuk tiap-tiap sektor maupun untuk ekonomi secara menyeluruh. Elastisitas tenaga kerja digunakan untuk menyusun simulasi kebijakan pembangunan untuk ketenagakerjaan yaitu dengan memilih beberapa alternatif laju pertumbuhan tiap sektor, maka dihitung kesempatan kerja yang dapat diciptakan. Kemudian dipilih kebijakan pembangunan yang paling sesuai dengan kondisi pasata ketenagakerjaan pada suatu wilayah.
10. Valuasi/Monetisasi Valuasi lingkungan diidentifikasi dari sejumlah nilai yang beragam dan kompleks yang bisa dikonseptualisasikan dengan berbagai macam cara (berdasarkan Willis and Garrod 1996), antara lain: Nilai guna langsung (direct use values): sumber daya untuk ekstraksi, jasa air, rekreasi dan pariwisata Nilai guna tak langsung (indirect use values): pengaturan iklim, perlindungan fisik Nilai non-guna (non-use values): nilai opsi (misal kesediaan untuk membayar), nilai keberadaan (misal nilai mengetahui keberadaan sumber daya) Nilai intrinsik (intrinsic values): Nilai-nilai tidak terkait dengan penggunaan oleh manusia Sekumpulan barang, jasa dan nilai tersebut saling terjalin untuk membentuk sistem sosio-ekologis yang kompleks, seperti penyediaan satu manfaat yang biasanya terikat dengan manfaat lainnya. Hal tersebut menyoroti pentingnya pendekatan yang luas dalam valuasi lingkungan untuk mempertimbangkan banyaknya nilai-nilai yang berbeda di seluruh bentang alam (landscape), serta bagaimana hal ini menyediakan barang-barang dan
21
jasa secara kolektif yang dihargai oleh masyarakat. Valuasi secara luas juga mempertimbangkan beragam manfaat non-ekonomi dan non-material, serta cara-cara dimana manfaat-manfaat lingkungan tersebut dirasakan dan dinilai secara berbeda oleh kelompok pemegang saham yang berbeda pula. Valuasi berpotensi untuk memperkuat penuntutan, mencegah potensi terjadinya tindak pidana, menjamin kompensasi kepada para pihak yang dirugikan, serta memulihkan kembali sumberdaya alam yang rusak. Semakin banyak negara berupaya untuk mengukur dan menilai dampakdampak tersebut guna memperkuat tata kelola lingkungan hidup (misalnya Schopp dan Pendergrass 2003; EC 2004).
B. Pembahasan Penelitian yang Relevan/Terkait Klasifikasi Penelitian Terdahulu : 1. Aglomerasi Industri dan Perubahan Sosial Ekonomi Santoso dan Prabatmodjo (2012) dalam penelitiannya meneliti keterkaitan sejauh mana aglomerasi mempengaruhi perubahan wilayah secara sosial-ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauhmana keterkaitan aglomerasi industri dengan perubahan sosial ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sasaran-sasaran sebagai berikut (1). Terpetakannya dinamika aglomerasi industri di Kabupaten Bekasi. (2). Terpetakannya perubahan sosial ekonomi penduduk Kabupaten
Bekasi.
(3).
Teridentifikasikannya
keterkaitan
antara
aglomerasi industri dengan perubahan sosial ekonomi di Kabupaten
22
Bekasi. Penelitian ini menggunakan tiga metode analisis. Analisis pertama, yaitu: dinamika aglomerasi industri akan menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif, begitu pula dengan analisis kedua, yaitu: perubahan sosial ekonomi penduduk Kabupaten Bekasi. Analisis dilakukan dengan menjabarkan dan menjelaskan fakta, informasi dan keadaan obyek penelitian, namun juga tidak melupakan dukungan statistik deskriptif, yaitu proses penggambaran unsur data statistik baik dalam bentuk Tabel, grafik maupun gambar. Analisis ketiga, yaitu keterkaitan antara aglomerasi industri dan perubahan sosial ekonomi akan menggunakan metode regresi berganda. Sandhika dan Hendarto (2012) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Aglomerasi, Tenaga Kerja, Jumlah Penduduk, dan Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kendal. Penelitian ini menggunakan metode regresi linier berganda dengan metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Squere (OLS) untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Variable yang digunakan diambil dari pendekatan model pertumbuhan agregat yang merupakan model pertumbuhan ekonomi jangka panjang, maka model yang dikembangkan adalah total output regional Kabupaten Kendal tidak lain adalah PDRB riil atas harga konstan 2000. Terdapat perbedaan hasil dari penelitian tersebut yaitu pada penelitian Santoso dan Prabatmodjo (2012) perubahan sosial ekonomi di Kabupaten Bekasi secara signifikan telah terjadi dilihat dari komponen
23
perubahan jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, penduduk usia produktif, penduduk buta huruf, tingkat kesejahteraan penduduk (PDRB per kapita), dan kontribusi sektor industri dalam PDRB Kabupaten Bekasi. Perubahan terbesar terjadi pada daerah di sekitar kawasan industri (dalam penelitian disebut Kecamatan Industri). Pertumbuhan aglomerasi industri yang tidak terkendali juga dapat menimbulkan tumbuhnya sektor-sektor informal yang menimbulkan dampak yang negatif, pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana, kurangnya pelayanan akan infrastruktur, fasilitas umum dan fasilitas sosial, bahkan juga penurunan kualitas lingkungan. Sedangkan pada penelitian Sandhika dan Hendarto (2012) hanya ditampilkan hubungan positif dari Pertumbuhan Ekonomi yaitu dengan Aglomerasi, Tenaga Kerja, dan modal. Serta untuk variabel Jumlah penduduk signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
2. Pertumbuhan Ekonomi dan Peran Karakteristik Regional Kurniawan dan Mardhono (2013) dalam penelitiannya menggunakan indeks balasa, semakin tinggi nilai indeks Balasa menunjukkan aglomerasi yang semakin kuat. Aglomerasi dikatak kuat apabila angka Indeks Balasa diatas 4, rata-rata atau sedang bila nilainya antara 2 dan 4, lemah bila nilainya antara 1 sampai 2, sedangkan nilai 0 sampai satu berati tidak terjadi aglomerasi atau wilayah tersebut tidak memiliki keunggulan
24
komeratif untuk terjadinya aglomerasi. Selain menggunakan indeks belasa jurnal ini juga menggunakan analisis regresi. Hasil dari penelitian tersebut adalah variabel tenaga kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan
ekonomi
(PDRB).
Variabel
ekspor
tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). Variabel efisiensi sektor public mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). Ini berarti variabel aglomerasi, tenaga kerja, dan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah(PDRB). Berbeda
dengan
penelitian
dari
Prishardoyo
(2008)
yang
menggunakan menggunakan metode LQ, SS analisis gravitasi untuk studi kasus di Kabupaten Pati. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis sektor-sektor ekonomi mana yang paling strategis untuk dikembangkan dan menganalisis keterkaitan-keterkaitan Kabupaten Pati dengan daerah di sekitarnya sehingga saling menunjang pertumbuhan ekonominya.
3. Pembangunan Ekonomi Sriwinarti (2005) meneliti tentang “Dampak Pembangunan Ekonomi dan Keterbukaan Terhadap Pertumbuhan Kota di Indonesia Tahun 1970 – 2002”. Dalam penelitian tersebut menggunakan pendekatan Error Correction Model (ECM) dengan alasan bahwa jika nilai koefisien ECT signifikan maka berarti terdapat indikasi bahwa antara variable pertumbuhani kota, size of country (GDP), pembangunan ekonomi
25
(GDPC), industrialisasi dan keterbukaan (X/GDP) mempunyai hubungan kointegrasi, spesifikasi modelnya benar, teorinya benar dan terdapat hubungan kausalitas paling tidak satu. Pendekatan kointegrasi merupakan salah satu cara yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian ekonomi dalam rangka menghindari adanya regresi lancung. Sedangkan Erika dan Mintarti
(2013) menggunakan metode kuantitatif deskriptif meneliti
tentang “Analisis Sektor-Sektor Ekonomi dalam Rangka Pengembangan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Kota Kediri”. Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif. Metode analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Location Quotient (LQ), Model Rasio Pertumbuhan (membandingkan pertumbuhan suatu kegiatan dalam wilayah referensi dan wilayah studi), dan analisis klaassen (gabungan atau perpaduan antara hasil analisis LQ dengan MRP). Perbedaan hasil penelitian ini menunjukkan pembangunan ekonomi yang tercermin melalui besarnya GDPC akan merupakan daya tarik bagi penduduk. Karena itu proses pembangunan harus merata dan tidak terpusat pada satu kota saja (dalam Sriwinarti, 2005). Erika dan Mintarti (2013) sektor unggulan pertama di Kota Kediri adalah sektor industri pengolahan karena merupakan sektor basis dan memiliki kontribusi besar terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Kediri. Sektor yang menjadi unggulan kedua adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dimana di Kota Kediri meskipun masih sektor yang non basis namun laju pertumbuhannya di Kota Kediri cukup tinggi jika
26
dibandingkan dengan Propinsi Jawa Timur sehingga sektor ini merupakan sektor potensial yang masih dapat berkembang cepat. Sektor yang menjadi unggulan ketiga dan keempat adalah sektor konstruksi dan sektor jasa– jasa, tidak berbeda jauh dengan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor tersebut juga merupakan sektor potensial yang memiliki peluang masih dapat berkembang lagi walaupun nilai kontribusinya masih kecil.
4. Pengembangan kawasan Wafa dan Sunfianah (2013) meneliti menggunakan analisis pendekatan metode penelitian kualitatif. Pendekatan kualitatif difokuskan untuk mengidentifikasi berbagai faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan pada Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti sejauh mana implementasi dari agropolitan yang berada pada Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang dan untuk menemukan prospek pembangunan kawasan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo. Sedangkan menurut penelitian Sirait (2009), tentang konfigurasi proses kegiatan ruang di daerah pengembangan kota yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan dan pengembangan yang menggunakan metode study literatur. Hasil dari penelitian Wafa dan Sunfianah (2013) adalah (1) Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang belum sepenuhnya menjadi
27
kawasan
agropolitan
dikarenakan
pengembangannya
yang
belum
maksimal, (2) Pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan pada tahun 2008-2010 masih difokuskan pada pembangunan sarana dan prasarana guna menunjang produksi pertanian, sedangkan untuk tahun 2011 sudah mulai dilakukan program peningkatan produksi pertanian dan program peningkatan sub sistem pendukung peningkatan produksi pertanian, (3) Pada tahun 2008 sampai sekarang pengembangan konsep kawasan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo relevan dan prospektif berdasarkan potensi dan kapasitas daerahnya, (4) Pemerintah setempat mengharapkan di masa mendatang daerah kawasan Agropolitan ini akan menjadi daerah agrowisata dan akan menjadi daerah hinterland untuk kawasan di sekitarnya. Berbeda dengan hasil penelitian dari Sirait (2009) yaitu Perencanaan pengembangan Kawasan Kota, secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang Kabupaten dan Kota serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan.
Penanganan
penataan
ruang
masingmasing
Kawasan
Kabupaten dan Kota tersebut perlu dibedakan antara satu dengan lainnya. Ada 3 klasifikasi Kawasan Perkotaan yang diuraikan alam Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan, yaitu: Kawasan Perkotaan Metropolitan; Kawasan Perkotaan yang berstatus
28
daerah; Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten.
5. Valuasi Ekonomi Sipahutar dan Susilowati (2012) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk Tujuan dari penelitian ini adalah megidentifikasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang disebabkan oleh perpindahan kampus Undip Pleburan di Kecamatan Tembalang, mengestimasi dampak positif dan negatif aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang disebabkan oleh perpindahan kampus Undip Pleburan di Kecamatan Tembalang, dan menyusun strategi pengembangan wilayah Kecamatan Tembalang. Penelitian lain tentang valuasi ekonomi dikemukakan oleh Mubarok dan Ciptomulyono (2012) tentang keberadaan aktivitas pertambangan dan pengolahan marmer di Kecamatan Besuki dan Kecamatan Campurdarat Tulungagung menimbulkan berbagai dampak baik di bidang transportasi, penurunan kualitas udara, peningkatan kebisingan dan dampak dalam bidang sosial ekonomi kemasyarakatan. Penelitian ini mengukur nilai dari WTP masyarakat di kawasan pertambangan dan pengolahan marmer terhadap dampak sosial ekonomi yang diakibatkan dengan menggunakan pendekatan metode valuasi ekonomi nilai pengganti. Perbedaan dari dua penelitian tersebut adalah obyek dan hasil penelitian. Sipahutar dan Susilowati (2012) secara umum, perpindahan
29
kampus Undip pleburan ke Tembalang memberi dampak positif yang lebih banyak dari pada dampak negatifnya di Kecamatan Tembalang. Biaya yang timbul akibat perpindahan kampus Undip Pleburan di Tembalang telah dibebankan kepada masyarakat Kecamatan Tembalang padahal biaya tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Total nilai nominal dampak positif perpindahan kampus Undip Pleburan di Tembalang dalah Rp1.500.568.432.066.00 dan total nilai nominal dampak negatifnya adalah Rp178.504.222.620.000. Berdasarkan hasil diskusi, wawancara mendalam dengan para key person, dan AHP, prioritas dalam menyusun strategi pengembangan wilayah di Kecamatan Tembalang dilakukan dengan (1) perbaikan jalan yang rusak (nilai bobot 0,126); (2) pengaturan perijinan warung atau usaha-usaha baru (nilai bobot 0,100); dan (3) pembangunan jalan tembus atau jalur alternatif (nilai bobot 0,90). Ketiga prioritas tersebut lebih condong ke arah mengatasi kemacetan yang terjadi di sekitar kampus Undip Tembalang. Sedangkan hasil penelitian dari Mubarok dan Ciptomulyono (2012) adalah penilaian ekonomi terhadap dampak lingkungan yang dilakukan adalah dampak bidang sosial ekonomi, dimana diperoleh nilai WTP dari masyarakat diperoleh sebesar Rp 14.722,00/bulan. Berdasarkan hasil Clustering dan pembobotan dapat dilakukan perancangan informasi ekonomi dampak lingkungan aktivitas peratambangan dan pengolahan marmer dari sosial ekonomi kemasyarakatan, antara lain sebagai berikut: Ada beberapa variabel yang memiliki pengaruh dominan terhadap respon
30
masyarakat terhadap aktivitas pertambangan dan pengolahan marmer. Variabel tersebut terdiri dari: pendapatan, pendidikan, lokasi rumah dan pekerjaan. Tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan tingkat kedekatan jarak lokasi pemukiman masyrakat dari kawasan marmer memiliki hubungan yang sebanding terhadap nilai WTP.Sebagian besar masyarakat menunjukan sikap dan tanggapan yang positif terhadap upaya pelestarian dan pengendalian laingkungan di kawasan pertambangan dan pengolahan marmer. Secara ringkas, studi empirik dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini : Tabel 2.2 Ringkasan Penelitian Terdahulu
NO
Peneliti, Tahun dan Lokasi Penelitian
Santoso dan Prabatmodjo (2012) 1 Studi kasus : Bekasi, Jawa Barat
Metodologi dan Variabel
Metode Analisis : Analisis pertama, yaitu: dinamika aglomerasi industri akan menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif, analisis kedua, yaitu: dilakukan dengan menjabarkan dan menjelaskan fakta, informasi dan keadaan obyek penelitian, namun juga tidak melupakan dukungan statistik deskriptif. Analisis ketiga, menggunakan metode regresi berganda Untuk analisis keterkaitan anatara Aglomerasi dengan keterkaitan industri : a. Variabel Dependen : Aglomerasi b. Variabel Independen : jumlah tenaga kerja, PDRB Konstan
31
Hasil Studi
Perubahan sosial ekonomi di Kabupaten Bekasi secara signifikan telah terjadi dilihat dari komponen perubahan jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, penduduk usia produktif, penduduk buta huruf, tingkat kesejahteraan penduduk (PDRB per kapita), dan kontribusi sektor industri dalam PDRB Kabupaten Bekasi. Perubahan terbesar terjadi pada daerah di sekitar kawasan industri (dalam penelitian disebut Kecamatan Industri). Pertumbuhan aglomerasi industri yang tidak terkendali juga dapat menimbulkan tumbuhnya sektor-sektor informal yang menimbulkan dampak yang negatif, pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana, kurangnya pelayanan akan infrastruktur, fasilitas umum
NO
Peneliti, Tahun dan Lokasi Penelitian
Metodologi dan Variabel
Hasil Studi
dan fasilitas sosial, bahkan juga penurunan kualitas lingkungan.
Sandhika dan Hendarto (2012) 2 Studi Kasus : Kabupaten Kendal
Prihasdoyo (2008) 3 Studi kasus: Kabupaten Pati
Metode analisis : kuantitatif menggunakan regresi linier berganda Dengan persamaan regresi sebagai berikut : Y = β0 + β1AGLOt + β2 logLABt + β3 logJPt + β4 logKAP+Et Fungsi di atas menjelaskan pengertian bahwa pertumbuhan ekonomi yang di ukur dari PDRB dipengaruhi oleh aglomerasi, tenaga kerja, dan kepadatan penduduk, diasumsikan bahwa variabel lain diluar variable penelitian tidak berubah. Keterangan : Y = Pertumbuhan Ekonomi β0 = Intercep atau konstan β1 = Parameter AGL β2 = Parameter LAB β3 = Parameter JP β4 = Parameter KAP AGLO = Aglomerasi TK = Tenaga Kerja JP = Jumlah Penduduk KAP = Modal L = Logaritma natural Et = Ganguan stokhastik
hubungan positif dari Pertumbuhan Ekonomi yaitu dengan Aglomerasi, Tenaga Kerja, dan modal. Serta untuk variabel Jumlah penduduk signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Metode analisis data: 1. Analisis Location Quatient (LQ) 2. Analisis Shift Share 3. Analisis Gravitasi (keterkaitan wilayah) Adalah analisis untuk mengetahui seberapa kuat keterkaitan (inter linkage) antara Kabupaten Pati dengan Kabupaten lain di sekitar.
Berdasarkan hasil analisis location quotient sektor-sektor potensial yang dapat diandalkan selama tahun analisis 20002005 adalah sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air minum, sektor bangunan, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan. 2. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan wilayah (Gravitasi) selama tahun analisis 2000-2005
32
NO
Peneliti, Tahun dan Lokasi Penelitian
Erika; Mintarti 4
(2013) Studi kasus : Kediri, Jawa Timur
Kurniawan; Mardhono 5 (2013)
Metodologi dan Variabel
Metode penelitian : metode kuantitatif deskriptif. Alat analisis: 1. 1. Location Quotient (LQ) 2. Model Rasio Pertumbuhan (MRP) 3. 3. Klaassen Typology
Metode analisis : Regresi menggunakan metode Commonyang diestimasi menggunakan metode
33
Hasil Studi
menunjukkan bahwa Kabupaten yang paling kuat interaksinya dengan Kabupaten Pati adalah Kabupaten Kudus dengan nilai interaksi rata-rata sebesar 1,491,863,31. Sedangkan yang paling sedikit interaksinya adalah Kabupaten Jepara dengan nilai interaksi rata-rata sebesar 138,810,362.3. Sektor unggulan pertama di Kota Kediri adalah sektor industri pengolahan karena merupakan sektor basis dan memiliki kontribusi besar terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Kediri. Sektor yang menjadi unggulan kedua adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dimana di Kota Kediri meskipun masih sektor yang non basis namun laju pertumbuhannya di Kota Kediri cukup tinggi jika dibandingkan dengan Propinsi Jawa Timur sehingga sektor ini merupakan sektor potensial yang masih dapat berkembang cepat. Sektor yang menjadi unggulan ketiga dan keempat adalah sektor konstruksi dan sektor jasa–jasa, tidak berbeda jauh dengan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor tersebut juga merupakan sektor potensial yang memiliki peluang masih dapat berkembang lagi walaupun nilai kontribusinya masih kecil. 1. Pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. 2. Pertumbuhan ekonomi
NO
Peneliti, Tahun dan Lokasi Penelitian
Studi kasus : Regional Jawa Timur
Metodologi dan Variabel
Generalized Least Square (CrossSection Weighting). Variabel Independen : aglomerasi (X1), tenaga kerja (X2) ekspor (X3), inflasi(X4), dan pendidikan (X5) Variabel Dependen : pertumbuhan ekonomi (Y) Persamaan regresi : Y = -5970009 + 2831784 X1 + 4,237149 X2 - 0,095872 X3 - 439534,7 X4 + 343,4049 X5
Alat analisis : pendekatan Error Correction Model (ECM) Sriwinarti (2005)
6
7
Studi Kasus : Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar, Semarang, Medan
Wafa; Sunfianah
Persamaan : IP= β0 + β1LGDP + β2LGDPC + β3LDENS + β4IND + β5OPEN +U Variabel dependen : IP = Pertumbuhan Kota di Indonesia Variabel independen: GDP = Gross Domestic Product (GDP) Riil Indonesia GDPC= Pendapatan Perkapita DENS= Kepadatan Penduduk Metode penelitian : Penelitian ini menggunakan
34
Hasil Studi
berbanding lurus dengan glomerasi, tenaga kerja, dan pendidikan. 3. Jawa Timur cenderung katagori propinsi yang belum terjadi aglomerasi, karena sekala angka aglomerasi hanya sekitar 0 samai dengan 2. 4. Aglomerasi di Provinsi Jawa Timur memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. 5. Variable ekspor memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Pengaruh negatif ekspor tidak sepenuhnya mutak benar, karena pengaruh yang diberikan terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. 6. Variabel pendidikan berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 7. Variable tenaga kerja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin besar GDP maka tingkat primacy-nya akan semakin menurun yang berarti penduduk tidak akan terpusat pada satu kota saja. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan baru dengan tujuan untuk mendesentralisasikan penduduk agar tidak terpusat pada satu kota saja. Pembangunan ekonomi yang tercermin melalui besarnya GDPC akan merupakan daya tarik bagi penduduk. Karena itu proses pembangunan harus merata dan tidak terpusat pada satu kota saja. Kecamatan Kabupaten
Poncokusumo Malang belum
NO
Peneliti, Tahun dan Lokasi Penelitian
(2013)
Metodologi dan Variabel
pendekatan metode penelitian kualitatif yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah atau obyek yang apa adanya jenis penelitian : penelitian studi kasus
8
Sirait (2009)
Studi Literatur
35
Hasil Studi
sepenuhnya menjadi kawasan agropolitan dikarenakan pengembangannya yang belum maksimal, (2) Pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan pada tahun 20082010 masih difokuskan pada pembangunan sarana dan prasarana guna menunjang produksi pertanian, sedangkan untuk tahun 2011 sudah mulai dilakukan program peningkatan produksi pertanian dan program peningkatan sub sistem pendukung peningkatan produksi pertanian, (3) Pada tahun 2008 sampai sekarang pengembangan konsep kawasan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo relevan dan prospektif berdasarkan potensi dan kapasitas daerahnya, (4) Pemerintah setempat mengharapkan di masa mendatang daerah kawasan Agropolitan ini akan menjadi daerah agrowisata dan akan menjadi daerah hinterland untuk kawasan di sekitarnya. Perencanaan pengembangan Kawasan Kota, secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang Kabupaten dan Kota serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan. Penanganan penataan ruang masingmasing Kawasan Kabupaten dan Kota tersebut perlu dibedakan antara satu dengan lainnya. Ada 3 klasifikasi Kawasan Perkotaan yang diuraikan alam Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan, yaitu: Kawasan
NO
Peneliti, Tahun dan Lokasi Penelitian
Metodologi dan Variabel
Hasil Studi
Perkotaan Metropolitan; Kawasan Perkotaan yang berstatus daerah; Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten.
Mubarok dan Ciptomulyono
9
(2012) Studi kasus : aktivitas pertambangan dan pengolahan marmer di Kecamatan Besuki dan Kecamatan Campurdarat Tulungagung
Tahapan awal dalam penelitian ini dilakukan dengan kegiatan wawancara, tinjauan lapangan dan studi pustaka. Wawancara dilakukan dilakukan dengan masyarakat yang bermukim di kawasan pertambangan dan pengolahan marmer. Studi pustaka yang dilakukan mencakup mengenai: logika fuzzy, valuasi ekonomi, regresi logistik dan uji statistik (validitas, reliabilitas, crosstab) Selanjutnya mengidentifikasi kebutuhan data baik data primer maupun data sekunder yang akan dipergunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya. Data primer diperoleh melalui proses penyebaran kuisioner sedangkan data sekunder diperoleh dari data penelitian sebelumnya. Proses selanjutnya adalah menyusun kuisoner baik untuk penduduk maupun tim ahli untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap nilai WTP. Serangkaian proses tersebut berupaya untuk menyusun saran dan masukan bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan dalam pengelolaan dan pengendalian lingkungan di kawasan pertambangan dan pengolahan marmer. Proses pada tahapan ini dilakukan dengan metode pembobotan variabel prediktor beberapa tim ahli yang nantinya akan dibandingkan dengan hasil penilaian dari penduduk terhadap variabel prediktor
36
penilaian ekonomi terhadap dampak lingkungan yang dilakukan adalah dampak bidang sosial ekonomi, dimana diperoleh nilai WTP dari masyarakat diperoleh sebesar Rp 14.722,00/bulan. Berdasarkan hasil Clustering dan pembobotan dapat dilakukan perancangan informasi ekonomi dampak lingkungan aktivitas peratambangan dan pengolahan marmer dari sosial ekonomi kemasyarakatan, antara lain sebagai berikut: Ada beberapa variabel yang memiliki pengaruh dominan terhadap respon masyarakat terhadap aktivitas pertambangan dan pengolahan marmer. Variabel tersebut terdiri dari: pendapatan, pendidikan, lokasi rumah dan pekerjaan. Tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan tingkat kedekatan jarak lokasi pemukiman masyrakat dari kawasan marmer memiliki hubungan yang sebanding terhadap nilai WTP.Sebagian besar masyarakat menunjukan sikap dan tanggapan yang positif terhadap upaya pelestarian dan pengendalian laingkungan di kawasan pertambangan dan pengolahan marmer
NO
Peneliti, Tahun dan Lokasi Penelitian
Metodologi dan Variabel
Hasil Studi
tersebut.
Sipahutar dan Susilowati 10
(2012) Studi kasus : Kecamatan Tembalang
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah valuasi ekonomi dan penyusunan strategi. Valuasi ekonomi dilakukan dengan analisis manfaat dan biaya (B/C analysis) dan penilaian resiko (risk assassment). Analisis manfaat dan biaya bertujuan untuk membandingkan besarnya manfaat dengan biaya yang timbul akibat perpindahan kampus Undip Pleburan di Kecamatan Tembalang. Analisis penilaian resiko bertujuan untuk mengestimasi besarnya resiko yang timbul dari perpindahan kampus ini. Penilaian resiko (risk assessment) dilakukan dengan menanyakan dampak apa yang paling dirasakan setelah terjadinya perpindahan kampus Undip Pleburan di Kecamatan Tembalang. Dampak-dampak tersebut adalah adanya kemacetan, penurununan pendapatan usaha karena meningkatnya jumlah saingan usaha, dan adanya polusi yang mengganggu. Penyusunan strategi dilakukan dengan FGD (Focus Discussion Grup) dan AHP (Analysis Hierarchy Process).
Secara umum, perpindahan kampus Undip pleburan ke Tembalang memberi dampak positif yang lebih banyak dari pada dampak negatifnya di Kecamatan Tembalang. Biaya yang timbul akibat perpindahan kampus Undip Pleburan di Tembalang telah dibebankan kepada masyarakat Kecamatan Tembalang padahal biaya tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Total nilai nominal dampak positif perpindahan kampus Undip Pleburan di Tembalang dalah Rp1.500.568.432.066.00 dan total nilai nominal dampak negatifnya adalah Rp178.504.222.620.000. Berdasarkan hasil diskusi, wawancara mendalam dengan para key person, dan AHP, prioritas dalam menyusun strategi pengembangan wilayah di Kecamatan Tembalang dilakukan dengan (1) perbaikan jalan yang rusak (nilai bobot 0,126); (2) pengaturan perijinan warung atau usaha-usaha baru (nilai bobot 0,100); dan (3) pembangunan jalan tembus atau jalur alternatif (nilai bobot 0,90). Ketiga prioritas tersebut lebih condong ke arah mengatasi kemacetan yang terjadi di sekitar kampus Undip Tembalang.
Sumber : Beberapa jurnal terpilih (2005-2013), diolah seperlunya
37
C. Penyusunan Kerangka Berfikir Pertumbuhan ekonomi membuat lahirnya pusa-pusat kota baru yang membutuhkan properti. Di sisi lain, pertumbuhan tersebut juga membawa dampak baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak tersebut dapat dianalisis melalui sebuah kajian. Dari dampak-dampak tersebut nantinya akan di monetisasi/valuasi. Dalam penelitian ini menggunakan
mix
methods
dimana
deskripsi
kualitatif
untuk
mendeskripsikan dampak sosial yang ditimbulkan dari adanya area terpadu tersebut dan deskripsi kuantitatif untuk mendeskripsikan dampak ekonomi yang ditimbulkan. Hasil dari penelitian ini adalah megidentifikasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan area terpadu, mengestimasi dampak positif dan negatif aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan area terpadu serta mendeskripsikan secara sosial ekonomi keadaan di Desa Ngringo, Kecamatan Jaten, dan menyusun strategi pengembangan wilayah Desa Ngringo, Kecamatan Jaten.
38
Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi membuat lahirnya pusat-pusat kota baru yang membutuhkan properti. Disisi lain, pertumbuhan ini juga membawa dampak baik dampak positif maupun negatif terkait dengan masalah lingkungan. Masalah lingkungan ini dapat dikaji dan dikelompokkan ditinjau dari dampak yang ditimbulkan dari sebelum pembangunan dan sesudah pembangunan area terpadu
Tinjauan umum : Dampak Sosial-ekonomi pembangunan area terpadu
Permasalahan Dibutuhkannya sebuah kebijakan untuk menanggulangi atau meminimalisir dampak sosial ekonomi dari pembangunan area terpadu tersebut.
Analisis
Tinjauan khusus : a. Dampak Sosial : Dampak sosial dan parameter sosial (Sex Ratio, Kepadatan Penduduk, dsb) b. Dampak Ekonomi:
analisis deskriptif kualitatif : studi lapangan, dan studi literatur analisis deskriptif kuantitatif, dan matematis
Dampak market (pasar tenaga kerja, dan dampak ekonomis lainnya) Dampak non market ekonomi
Output : mengidentifikasi dampak negatif dan positif dari segi sosial-ekonomi dan mendeskripsikan secara sosial ekonomi
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
39